Miller Fisher Syndrome (Referat)
Miller Fisher Syndrome (Referat)
Miller Fisher Syndrome (Referat)
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................................ 3
1. Kelemahan ............................................................................ 11
4. Nyeri ........................................................................ 12
6. Pernapasan ............................................................................. 13
1
2. Fisioterapi ............................................................................ 14
3. Imunoterapi ............................................................................. 14
5. Imunoglobulin IV ................................................................................. 15
6. Kortikosteroid ............................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
Fisher juga perlu untuk diketahui. Pada referat kali ini akan membahas secara khusu tentang
Miller Fisher syndrome yang merupakan salah satu dari varian SGB. Miller Fisher syndrome
adalah varian dari sindrom Guillain-Barré. Secara klinis dicirikan oleh trias oftalmoplegia,
ataksia, dan areflexia. Gangguan sensorik, palsi bulbar, kelemahan anggota tubuh, dan
gangguan mikturisi juga dapat terjadi(1). Sindrom Miller Fisher sangat terkait dengan
antibodi anti-GQ1 b. Dari sudut pandang patofisiologi, dianggap sebagai gangguan autoimun
dengan mimikri molekuler yang berfungsi sebagai mekanisme potensial. Sindrom Miller
Fisher biasanya merupakan gangguan monophasic dan episode berulang sangat jarang(2).
1.2.Tujuan
Tujuan dibuat referat ini adalah untuk mengetahui miller fisher syndrome yang
merupakan salah satu dari 4 varian dari sindrom gullain barre mulai dari pengertian,
epidemiologi, patogenesis serta tatalaksananya
4
BAB II
SINDROM GUILLAIN BARRE
2.1 Sejarah
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali
menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan
oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut.
Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas
berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel.
Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh
Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk
menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan CSS, juga adanya
kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat
perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.
2.2. Definisi
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh
manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karekterisasi
berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnyaprogresif. Kelainan ini
kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom,maupun susunan saraf pusat. SGB
merupakan Polineuropati akut, bersifat simetris dan ascenden, yang,biasanya terjadi 1 – 3
minggu dan kadang sampai 8 minggu setelah suatu infeksi akut.
SGB merupakan Polineuropati pasca infeksi yang menyebabkan terjadinya demielinisasi
saraf motorik kadang juga mengenai saraf sensorik.
SGB adalah polineuropati yang menyeluruh, dapat berlangsung akut atau subakut,
mungkin terjadi spontan atau sesudah suatu infeksi
SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :
Polineuritis akut pasca infeksi
Polineuritis akut toksik
Polineuritis febril
Poliradikulopati,dan
Acute Ascending Paralysis
5
2.3 Epidemiologi
Sepuluh studi melaporkan kejadian pada anak-anak (0-15 tahun), dan menemukan
kejadian tahunan menjadi antara 0,34, dan 1.34/100 000. Kebanyakan penelitian menyelidiki
populasi di Eropa dan Amerika Utara dan melaporkan angka kejadian serupa tahunan , yaitu
antara 0,84 dan 1.91/100, 000. Rata-rata pertahun 1-3/100.000 populasi dan perempuan lebih
sering terkena daripada laki-laki dengan perbandingan rasio perempuan : laki-laki = 1,5 : 1
untuk semua usia. Penurunan insiden selama waktu antara tahun 1980-an dan 1990-an
ditemukan. Sampai dengan 70% dari kasus Sindroma Guillain Barre disebabkan oleh infeksi
anteseden. Inflamasi akut demielinasi poliradikuloneuropati (AIDP) adalah bentuk paling
umum di negara-negara barat dan berkontribusi 85% sampai 90% kasus. Kondisi ini terjadi
pada semua umur, meskipun jarang pada masa bayi. Usia termuda dan tertua dilaporkan
adalah, masing masing 2 bulan dan 95 tahun. Usia rata onset adalah sekitar 40 tahun,
dengan kemungkinan dominasi laki-laki.
Sindroma Guillain Barre adalah penyebab paling umum dari acute flaccid paralysis
pada anak - anak. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) sering didapatkan di daerah Jepang
dan Cina, terutama pada orang muda. Hal ini terjadi lebih sering selama musim panas,
sporadis AMAN seluruh dunia mempengaruh 10% sampai 20% pasien dengan Sindroma
Guillain Barre .
2.4. Klasifikasi
6
3. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB. Sindroma
ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada gaya jalan dan pada
batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena.
Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan
5. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi dari
sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi postural,
retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan
abnormalitas dari pupil.
Gambar 1. Sebuah diagram alur diagnostik untuk sindrom Guillain-Barré dan variannya. Kelompok yang khas meliputi (1)
polirikuloneuropati demielinasi akut inflamasi (AIDP), dan (2) neuropati aksonik sensorik akut akut (AMSAN) dan neuropati aksonal
motorik akut (AMAN). Kelompok atipikal meliputi (1) sindrom Miller Fisher (MFS), Bickerstaff brainstem encephalitis (BBE), varian
faring-serviks-brakialis (PCB), dan polyneuritis cranialis (PN), dan (2) pandysautonomia akut dan neuropati sensorik akut (ASN). ). CSF,
cairan serebrospinal; MRI, pencitraan resonansi magnetik.
7
2.5 Etiologi
Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan bukan
merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter. Penyakit ini
merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh kasus terjadi setelah
penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini :
Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV), enterovirus,
Human Immunodefficiency Virus (HIV).
Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.
Pascah pembedahan dan Vaksinasi.
50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.
Myelin sheath
Damage to
myelin sheath
(demyelination)
Nerve axon
2.6 Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi.
Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema
yang terjadi pada hari ketiga atau keempat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas
8
selubung mielin pada hari kelima, terlihat beberapa limfosit pada hari kesembilan dan
makrofag pada hari kesebelas, poliferasi sel schwan pada hari ketigabelas. Perubahan pada
mielin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari
keenampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Kerusakan mielin
disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung mielin dari
sel schwan dan akson.
2.7 Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini
adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan
mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity)
terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan
imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada SGB, gangliosid
merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi
terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut mielin ini
menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga
sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari
adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare, mengandung
protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh
Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada
akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk
merespon adanya epitop yang sama. Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi
imunitas humoral maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf
9
perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses
demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf.
10
Gambar 4. Patogenesis terjadinya SGB
11
2. Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan SGB. Saraf kranial III-
VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk sebagai
berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias, Dysarthria, Disfagia,
Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya
muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena. Varian Miller-Fisher dari SGB adalah unik
karena subtipe ini dimulai dengan defisit saraf kranial.
3. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori
cenderung minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau
perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia
umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya
tidak melebar keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Kehilangan getaran,
proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir.
4. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB, 89% pasien melaporkan
nyeri yang disebabkan SGB pada beberapa waktu selama perjalanannya. Nyeri paling parah
dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan
dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut.
Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan penyakit
mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi
shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas atas.
Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya
yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan SGB adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri
visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf,
ulkus dekubitus).
5. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan
parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat mencakup
sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi paroksimal, Hipotensi
12
ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan
dismotilitas usus dapat ditemukan.
6. Pernapasan
Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau
orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut; Dispnea saat
aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel. Kegagalan ventilasi yang
memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga dari pasien di beberapa
waktu selama perjalanan penyakit mereka.
Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
- Protein CSS meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP
serial;
- jumlah sel CSS < 10 MN/mm3; Varian ( tidak ada peningkatan protein CSS
setelah 1 minggu gejala dan Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3 ).
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnose adalah perlambatan konduksi saraf
bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.
1. Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g/dl ) tanpa
diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut sebagai disosiasi
albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak
memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu
pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan
jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic dissociation).
2. Pemeriksaan EMG
Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada
minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ke tiga
mulai menunjukkan adanya perbaikan.
13
3. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira pada
hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina
yang bertambah besar.
1. Sistem pernapasan
Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita SGB. Pengobatan
lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila perlu dilakukan tindakan
trakeostomi, penggunaan alat Bantu pernapasan (ventilator) bila vital capacity turun dibawah
50%.
2. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru.
Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah
penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan
meningkatkan kekuatan otot.
3. Imunoterapi
Tujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat
kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.
14
sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan
PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per
exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali
exchange.
5. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut. Pengobatan
dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena
efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah
gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari.
6. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
15
2.12 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke
dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam,
paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi.
2.13 Prognosis
Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada sebagian kecil
penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Penderita SGB dapat sembuh
sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa dropfoot atau tremor postural
(25-36%). Penyembuhan dapat memakan waktu beberapa minggu sampai beberapa tahun.
16
BAB III
MILLER FISHER SYNDROME
2.2. Epidemiologi
Miller Fisher Syndrome (MFS) adalah varian variabel geografis GBS yang diamati
pada sekitar 1% - 5% dari semua kasus GBS di negara-negara Barat, namun hingga 19% dan
25% di Taiwan dan Jepang, masing-masing. Ada dominasi laki-laki yang didirikan pada rasio
2: 1 dan usia rata-rata onset 43,6 tahun, meskipun kasus MFS telah dilaporkan di semua
rentang usia. Seperti di GBS, penyakit menular mendahului dapat diidentifikasi di sebagian
besar kasus MFS. Campylobacter jejuni dan Haemophilus influenza merupakan patogen yang
paling sering terlibat; Namun, beberapa lainnya juga terkait, termasuk pneumonia
Mycoplasma, dan cytomegalovirus. Infeksi saluran pernapasan atas adalah penyebab yang
paling sering dijelaskan, diikuti oleh penyakit gastrointestinal. Penyakit lainnya juga dapat
menyebabkan opthalmoplegia, ataksia, dan areflexia.
2.3 Patologi
Opthalmoplegia yang disebabkan oleh MFS memiliki onset yang lebih cepat
dibandingkan dengan penyakit kronis lainnya seperti distrofi myotonik, penyakit mata tiroid,
dan myasthenia gravis. Lebih dari 50% pasien dengan MG hadir dengan ptosis dan / atau
diplopia. Kelemahan otot-otot okular dapat beralih dari satu mata ke yang lain dan membaik
17
atau memburuk selama satu hari, tidak seperti MFS yang semakin memburuk sampai titik
terendah gejala telah tercapai sebelum pemulihan terlihat.
Ataksia dapat terjadi dalam banyak kondisi, sering mempengaruhi otak kecil, traktus
spinocerebellar, atau saluran proprioception di saraf perifer dan kolom dorsal. Cerebellar
ischemia terjadi karena gangguan sirkulasi posterior dan sering muncul dengan gejala non-
spesifik dari gaya berjalan tidak stabil, pusing, sakit kepala, disfungsi gerakan mata, serta
mual dan muntah. Seperti yang telah ditunjukkan oleh penulis lain, presentasi MFS dapat
disalahartikan dengan kejadian iskemik. Meskipun MFS dan gangguan vaskular adalah
kejadian akut, pasien ataksik dengan MFS biasanya tidak terdapat lateralisasi ataksia yang
membantu untuk membedakan MFS dari lesi serebelum kebanyakan. Racun dan obat juga
memiliki kemampuan menginduksi atsetia onset akut. Sodium channel modulator seperti
phenytoin dan agen kemoterapi seperti fluorouracil dapat menyebabkan episode ataxic. Bisa
dibilang penyebab ataksia yang paling sering, konsumsi alkohol, sebagian besar
mempengaruhi ekstremitas bawah dan juga berhubungan dengan kontrol motorik halus yang
buruk pada tangan, bicara cadel, dan gangguan penglihatan. perjalanan alamiah MFS adalah
perkembangan kelemahan dalam mode "kepala ke bawah", sedangkan gejala awal tidak akan
menjadi kelemahan dan ataksia pada ekstremitas bawah. Seringkali konsumsi alkohol dapat
ditentukan dengan riwayat pasien dan skrining toksikologi urin.
Areflexia adalah suatu tanda adanya defisit neurologi pada neuron motorik bagian
bawah, yang tidak akan terlihat pada kondisi kelainan pada sistem saraf pusat. Pasien dengan
syok spinal - pada transeksi atau kompresi sumsum tulang belakang - bersifat refleksis atau
hiporefleksik pada tahap subakut penyakit, yang kemudian berkembang menjadi hiperefleksia
ketika penyakit berkembang. Neuropati perifer, paling sering terlihat pada penderita diabetes
dan individu yang kekurangan gizi, dapat menyebabkan areflexia pada kasus yang berat.
Kerusakan sel tanduk anterior, terlihat pada polio dan amyotrophic lateral sclerosis (ALS),
akan membuat pasien juga mengalami arefleksia. Seperti MFS, syok tulang belakang adalah
kondisi akut, sedangkan ALS biasanya memiliki onset bertahap. Kelumpuhan sementara dan
areflexia mirip dengan MFS dan Guillain-Barre juga dapat disebabkan oleh infeksi virus
polio, dengan pemulihan fungsional terjadi 4-6 minggu setelah kelumpuhan
18
2.4. Tata Laksana
Miller Fisher syndrome merupakan penyakit yang bersifat self-limiting disease, tata laksana
untuk MFS tidak berbeda dari untuk GBS yaitu imunoglobulin intravena (IVIG) dan
plasmapheresis. Manfaat pengobatan tidak secara jelas pada MFS, alasan untuk pengobatan
adalah untuk mendorong resolusi gejala yang lebih cepat dan mungkin menurunkan
kemungkinan komplikasi.
19
BAB III
KESIMPULAN
Meskipun jarang, MFS adalah suatu diagnosis penting yang harus dipertimbangkan karena
gejala ataksia dan opthalmoplegia dapat membingungkan dokter akan kelainan disistem saraf
pusat sebagai penyebab utama. Adanya gejala neurologis tambahan dapat membantu
membuat evaluasi klinis lebih baik. Seorang klinisi dengan pemeriksaan neurologis yang
teliti akan menemukan temuan-temuan areflexia sehingga melokalisasi lesi dominan ke
sistem saraf perifer. Ini harus memicu evaluasi untuk gangguan demielinasi dan mengarah
pada konfirmasi MFS sebagai diagnosis dengan adanya autoantibodi GQ1b. MFS harus
dipertimbnagka dalam diagnosis banding dari siapa pun yang datang jika didapatkan temuan
sentral ataksia, areflexia, dan opthalmoplegia.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. "Guillain–Barré Syndrome Fact Sheet". NIAMS. June 1, 2016. Archived from the
original on 5 August 2016. Retrieved 13 August 2016.
2. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) is the most
widely recognized form of GBS in Western countries, but the variants known as acute
motor axonal neuropathy (AMAN), acute motor-sensory axonal neuropathy
(AMSAN), and Miller-Fisher syndrome also are well recognized.
3. Van Doorn PA, Ruts L, Jacobs BC. Clinical features, pathogenesis, and treatment of
Guillain-Barré syndrome. LancetNeurol2008;7:939e50.
4. Levin KH. Variants and mimics of Guillain-Barré Syndrome. Neurologist
2004;10:61e74.
5. Winer JB. Guillain-Barré syndrome: Clinical variants and their pathogenesis. J
Neuroimmunol 2011;231:70e2.
6. Susuki K, Koga M, Hirata K, Isogai E, Yuki N. A Guillain-Barré syndrome variant
with prominent facial diplegia. J Neurol 2009; 256:1899e905
7. Fisher, CM. An unusual variant of acute idiopathic polyneuritis (syndrome of
ophthalmoplegia, ataxia and areflexia) [abstract]. N Engl J Med. 1956;255(2):57-65.
8. Lo YL. Clinical and immunological spectrum of the Miller Fisher syndrome. Muscle
Nerve. 2007;36:615-627.
9. Berlit P, Rakicky J. The Miller Fisher Syndrome. Review of the Literature. J Clin
Neuroothalmol. 1992;12(1):57-63.
10. Mori M, Kuwabara S, Fukutake T, Yuki N, Hattori T. Clinical features and prognosis
of Miller Fisher Syndrome. Neurology. 2001;56(8):1104-1106.
11. Snyder LA, Rismondo V, Miller NR. The Fisher Variant of Guillain-Barre Syndrome
(Fisher Syndrome). J Neuro-Opthalmol. 2009;29:312-324.
12. Overell JR, Willison HJ. Recent developments in Miller Fisher syndrome and related
disorders. Curr Opin Neurol. 2005;18(5):562-566
13. Willison HJ, O’Hanlon GM. The Immunopathogenesis of Miller Fisher Syndrome. J
Neuroimmunol. 1999; 100:3-12.
14. Odaka M, Yuki N, Hirata K. Anti-GQ1b IgG antibody syndrome: clinical and
immunological range. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2001;70:50-55.
21
15. Chiba A, Kusunoki S, Shimizu T, Kanazawa I. Serum IgG antibody to ganglioside
GQ1b is a possible marker of Miller Fisher syndrome [abstract]. Ann Neurol.
1992;31(6):677-679.
16. Grob D, Brunner N, Namba T, Pagala M. Lifetime course of myasthenia gravis.
Muscle Nerve. 2008;37(2):141-149.
17. Anthony SA, Thurtell MJ, Leigh RJ. Miller Fisher Syndrome Mimicking Ocular
Myasthenia Gravis. Optom Vis Sci. 2012 89(12):e118-e123.
18. Eldow JA, Newman-Torker DE, Savitz SI. Diagnosis and initial management of
cerebellar infarction. Lancet Neurol. 2008;7(70):951-64.
19. Kozminski MP. Miller Fisher Variant of Guillain-Barre Syndrome: A Report of Case.
J Am Osteopath Assoc. 2008;108(2):51-52.
20. Das PP, Biswash S, Karim E, et al. Miller Fisher Variant of Guillain-Barre Syndrome:
A Case Report & Clinical Review. BSMMU J. 2012;5(1):69-71.
21. Wakerley BR, Yuki N. Mimics and chameleons in Guillain-Berre and Miller Fisher
syndromes [published online ahead of print August 25, 2014]. Pract Neurol. doi:
10.1136/practneurol-2014-000937.
22