Modul Utama Otologi
Modul Utama Otologi
Modul Utama Otologi
OTOLOGI
MODUL I.X
INJEKSI KORTIKOSTEROID
INTRATIMPANIK PADA SSNHL
EDISI II
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
2015
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik
DAFTAR ISI
A. WAKTU ...................................................................................... 2
B. PERSIAPAN SESI ...................................................................... 2
C. REFERENSI ......................................................................................... 2
D. KOMPETENSI ..................................................................................... 3
E. GAMBARAN UMUM ......................................................................... 4
F. CONTOH KASUS DAN DISKUSI ..................................................... 4
G. TUJUAN PEMBELAJARAN ............................................................... 4
H. METODE PEMBELAJARAN ............................................................. 5
I. EVALUASI .......................................................................................... 5
J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF .................. 6
K. INSTRUMEN PENILAIAN PSIKOMOTOR ...................................... 6
L. DAFTAR TILIK .................................................................................... 9
M. MATERI BAKU .................................................................................... 10
1
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik
A. WAKTU
B. PERSIAPAN SESI
C. REFERENSI
2
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik
3
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik
D. KOMPETENSI
Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. Menjelaskan cara kerja kortikosteroid lokal intra timpani pada kasus SSNHL
2. Menjelaskan indikasi injeksi kortikosteroid intra timpani pada kasus SSNHL
3. Menjelaskan manfaat injeksi kortikosteroid intra timpani pada kasus SSNHL
4. Menjelaskan saat yang paling tepat untuk melakukan injeksi kortikosteroid
intratimpani
5. Menjelaskan prosedur dan tehnik injeksi kortikosteroid intra timpani
6. Menjelaskan berapa kali dilakukan injeksi kortikosteroid intra timpani pada
kasus SSNHL
7. Menjelaskan risiko dan efek samping injeksi kortikosteroid intra timpani pada
kasus SSNHL
8. Melakukan injeksi kortikosteroid intra timpani pada kasus SSNHL
E. GAMBARAN UMUM
F. CONTOH KASUS
G. TUJUAN PEMBELAJARAN
Proses, materi dan metoda pembelajaran yang telah disiapkan bertujuan untuk alih
pengetahuan, keterampilan yang terkait dengan pencapaian kompetensi dan
keterampilan yang diperlukan dalam melakukan injeksi kortikosteroid intra
timpani pada kasus SSNHL
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Interactive lecture
• Small group discussion.
• Peer assisted learning (PAL).
• Mengetahui cara kerja kortikosteroid lokal intratimpani pada kasus SSNHL
• Mengetahui pengertian tentang indikasi, manfaat, saat paling tepat untuk
melakukan injeksi kortikosteroid intratimpani
• Mengetahui prosedur dan teknik melakukan injeksi kortikosteroid intratimpani
pada kasus SSNHL
• Mengetahui berapa kali melakukan injeksi kortikosteroid intratimpani pada
kasus SSNHL
• Mengetahui risiko serta efek samping injeksi kortikosteroid intratimpani
• Mampu melakukan injeksi kortikosteroid intratimpani pada kasus SSNHL
5
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik
H. METODE PEMBELAJARAN
6
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik
I. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre test dalam bentuk essay dan oral sesuai
dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai kinerja awal
yang dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada.
Materi pretest terdiri atas :
- Anatomi dan fisiologi telinga
- Penegakan diagnosa
- Teknik tindakan
- Follow up
2. Selanjutnya dilakukan “small group discussion” bersama dengan fasilitator
untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal
yang berkenaan dengan penuntun belajar, kesempatan yang akan diperoleh
pada saat bedside teaching dan proses penilaian.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini, mahasiswa diwajibkan untuk
mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam
bentuk “role play” dan teman-temannya (Peer Assisted Evaluation) atau kepada
SP (Standardized Patient). Pada saat tersebut, yang bersangkutan tidak
diperkenankan membawa penuntun belajar, penuntun belajar yang dipegang
oleh teman-temannya untuk melakukan evaluasi (Peer Assisted Evaluation)
setelah dianggap memadai, melalui metode bedside teaching dibawah
pengawasan fasilitator, peserta dididik mengaplikasikan penuntun belajar
kepada model anatomik dan setelah kompetensi tercapai peserta didik akan
diberikan kesempatan untuk melakukannya pada pasien sesungguhnya. Pada
saat pelaksanaan evaluator melakukan pengawasan langsung (direct
observation), dan mengisi formulir penilaian sebagai berikut :
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak
dilaksanakan.
- Cukup : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal pemeriksaan
terdahulu lama atau kurang memberi kenyamanan kepada pasien.
- Baik : pelaksanaan benar dan baik (efisien)
4. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk
mendapatkan penjelasan dari berbagai hal yang tidak memungkinkan
dibicarakan di depan pasien, dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
1. Self assesment dan Peer Assisted Evaluation dengan mempergunakan
penuntun belajar.
7
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik
2. Pendidik/ fasilitas :
- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist form
(terlampir)
- Penjelasan lisan dari peserta didik/ diskusi
- Kriteria penilaian keseluruhan : cakap/ tidak cakap/ lalai
3. Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi
tugas yang dapat memperbaiki kinerja (task-based medical education)
4. Pencapaian pembelajaran :
- Ujian OSCA (K,P,A), dilakukan pada tahapan bedah dasar oleh
kolegium I. THT
- Ujian akhir stase, setiap divisi/ unit kerja oleh masing-masing sentra
pendidikan.bedah lanjut oleh kolegium ilmu THT.
- Ujian akhir kognitif, dilakukan pada akhir tahapan bedah lanjut oleh
kolegium ilmu THT.
Kuesioner meliputi :
1. Sebelum pembelajaran
Soal :
Jawaban :
2. Tengah pembelajaran
Soal :
Jawaban :
3. Akhir pembelajaran
Soal :
Jawaban :
8
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik
PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR INJEKSI KORTIKOSTEROID INTRA TIMPANIK
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika
harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu
untuk kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
KEGIATAN KASUS
9
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik
KEGIATAN KASUS
- Posisikan mikroskop serta magnifikasinya sehingga dapat mengevaluasi
membran timpani dg baik
IV. PROSEDUR INJEKSI KORTIKOSTEROID INTRA TIMPANI
- Cuci tangan, mengenakan sarung tangan steril
- Dapat melihat membran timpani dengan baik dg menggunakan
mikroskop
- Tindakan pembersihan liang telinga dengan kapas aplikator dan alkohol
70 %
- Bola kapas kecil diberi larutan pehacain kemudian ditempelkan di
permukaan luar membran timpani, didiamkan selama 15 menit
selanjutkan bola kapas di angkat
- Insisi membran timpani di kuadran antero inferior sbg lubang ventilasi
- Needle G 25 di sambungkan dg wing needle
- Obat injeksi Deksametason(10 mg/ml) atau methylprednisolon(30
mg/ml) sebanyak 0,4-0,8 ml disedot dg spuite 1 ml kemudian
disambungkan dg wing needle yg sudah tersambung dg needle G 25
- Selanjutnya dengan aligator telinga, needle G 25 dipegang di bagian
tengah dan di tusukkan pada kuadran postero inferior dan cairan obat
diinjeksikan ke kavum timpani.
- Pasien tetap dalam posisi supinasi dan kepala fleksi 30-45 derajat selamat
15 sd 30 menit
- Selanjutnya dipasang tampon steril kecil di liang telinga dg gaas steril yg
bisa dilepas sendiri oleh pasien di rumah
- Tindakan selesai
PASCA injeksi
- Instruksi pasca tindakan
a. pemberian pentoksifilin 2x400 mg
b. pemberian mecobalamin 3x500 mcq
c. pemberian analgetik kalau perlu
d. rencana injeksi 2 hari sekali sebanyak 7 kali selanjutnya di
audiometri ulang
10
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik
DAFTAR TILIK
PROSEDUR INJEKSI KORTIKOSTEROID INTRATIMPANIK
KEGIATAN KASUS
11
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik
KEGIATAN KASUS
- Insisi membran timpani di kuadran antero inferior sbg lubang ventilasi
- Needle G 25 di sambungkan dg wing needle
- Penyuntikan obat
- Pasien tetap dalam posisi supinasi dan kepala fleksi 30-45 derajat selamat
15 sd 30 menit
- Selanjutnya dipasang tampon steril kecil di liang telinga dg gaas steril yg
bisa dilepas sendiri oleh pasien di rumah
- Tindakan selesai
V. FOLLOW UP PASCA TINDAKAN
M. MATERI BAKU
Insiden tuli sensorineural mendadak 5-20 kasus per 100.000 orang per tahun
Di Amerika setiap tahunnya terdapat 4.000 kasus baru tuli sensorineural
mendadak. Berdasarkan survei kesehatan indera penglihatan dan pendengaran
yang dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1994-1996 menunjukkan, bahwa
prevalensi tuli sensorineural mendadak sebesar 0,2%. RSUD dr. Soetomo,
Surabaya didapatkan 127 kasus tuli sensorineural mendadak selama periode tahun
2005 hingga tahun 2009. Sedangkan di RSAL dr. Ramelan Surabaya terdapat
179 kasus tuli sensorineural mendadak selama periode tahun 2005 hingga tahun
2009. Di RSUP Sanglah didapatkan 45 kasus tuli sensorineural mendadak
selama 5 periode Maret 2008 – Maret 2012. Tuli sensorineural mendadak terjadi
pada usia puncak 50-60 tahun dengan distribusi jenis kelamin yang sama antara
12
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik
laki-laki dan perempuan. Gejala vestibuler yang sering menyertai adalah tinitus
sebesar 85% dan vertigo tipe vesibuler perifer sebesar 30%.3,5,6
Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik dan THT untuk kasus tuli sensorineural mendadak
tidak didapatkan kelainan pada kanalis akustikus eksterna dan membran timpani.
Melalui pemeriksaan tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi
ke arah telinga yang sehat dan Swabach memendek. Pada pemeriksaan
audiometri nada murni didapatkan kelainan tuli sensorineural derajat ringan
sampai berat baik pada frekuensi rendah, sedang, tinggi atau pada seluruh
frekuensi.
Penatalaksanaan
Pengobatan tuli sensorineural mendadak seharusnya diberikan berdasarkan
penyebabnya, akan tetapi karena sebagian besar kasus tuli sensorineural
mendadak idiopatik sehingga pengobatan dilakukan secara empiris.
Kortikosteroid sistemik sering digunakan dalam terapi tuli sensorineural
mendadak dan sering digunakan sebagai terapi awal. Aksi spesifik dari steroid
belum diketahui secara pasti namun bermanfaat pada kasus-kasus infeksi,
14
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik
Wilson dkk13 pada tahun 1980 dalam penelitiannya mengamati dua kelompok
penderita tuli sensoerineural mendadak yang diberikan steroid dan plasebo.
Didapatkan hasil dari pengukuran audiometri pada minggu ke-4 dan bulan ke-3
setelah onset, jumlah penderita yang mengalami perbaikan pendengaran pada
kelompok yang mendapatkan steroid lebih banyak dibandingkan kelompok yang
hanya mendapat plasebo atau 61% berbanding dengan 32%. Efek samping dari
pemberian kortikosteroid sistemik ini adalah peningkatan gula darah,peningkatan
tekanan darah, peningkatan berat badan, insomnia, nyeri ulu hati. Oleh karena
efek samping ini maka pemberian kortikosteroid sistemik ini tidak dapat diberikan
pada penderita diabetes yang tidak terkontrol atau penderita diabetes tergantung
insulin, penderita hipertensi yang tidak stabil, penderita ulkus peptik, penderita
tuberkulosis. Alexander dkk14, 2009 mengemukakan bahwa dosis tinggi steroid,
prednison 30 mg/hari dapat diberikan hingga 22 minggu pada tuli sensorineural
mendadak karena autoimun. 8
Selain kortikosteroid sistemik juga digunakan obat antivirus karena salah satu
penyebab terjadinya tuli sensorineural mendadak diduga karena infeksi virus.
Oleh karena obat ini cenderung tidak memiliki efek samping yang merugikan,
banyak praktisi secara rutin mengobati pasien tuli sensorineural mendadak dengan
obat antivirus. Nechama dkk12, 2003 menyimpulkan bahwa penggunaan asiklovir
sebagai tambahan terapi pada tuli sensorineural mendadak tidak memberikan
dampak pada perbaikan pendengaran. Tucci dkk15, 2000 juga menyimpulkan
bahwa pemberian valsiklovir sebagai tambahan terapi pada tuli sensorineural
mendadak juga tidak didapatkan perbedaan perbaikan pendengaran signifikan.
Conlin dan Parnes16, 2007 dalam meta-analisanya menyimpulkan bahwa tidak
15
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik
16
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik
Kortikosteroid intratimpani
Penggunaan kortikosteroid intratimpani pada kasus tuli sensorineural
mendadak pertama kali dilakukan oleh Silverstein, 1996. Silverstein melakukan
injeksi kortikosteroid intratimpani pada 8 pasien dengan deksametason sebanyak
3 kali per minggu selama 4 minggu. Dan menyimpulkan terdapat perbaikan
pendengaran rata-rata > 10 dB. Ide dasar penggunaan steroid intratimpani yakni
memberi obat dengan konsentrasi tinggi langsung menuju pada organ target
dengan mengurangi paparan secara sistemik. Penggunaan steroid intratimpani
sebagai terapi primer tanpa steroid sistemik mulanya digunakan pada pasien yang
tidak dapat menggunakan steroid sistemik seperti pasien hipertensi dan diabetes
melitus tidak terkontrol atau tergantung insulin. AAO-HNS 2012 memberikan
rekomendasi pemberian kortikosteroid intratimpani pada kasus tuli sensorineural
mendadak sebagai terapi awalan maupun sebagai terapi penyelamatan atau
salvage therapy setelah terapi awalan gagal atau terdapat perbaikan pendengaran
yang tidak utuh setelah terapi awalan diberikan.2,3
tappering off pada hari kelima pada 121 pasien dengan pemberian
metilprednisolon secara intratimpani sebesar 40 mg/ml selama selama dua minggu
pada 129 pasien. Setelah dua bulan terapi, perbaikan pendengaran pada frekuensi
rendah diperoleh pada kedua kelompok. Berdasarkan panduan AAO-HNS 20123
terdapat beberapa pilihan kortikosteroid yang dapat digunakan dalam injeksi
intratimpani yakni deksametason 10 mg/ml atau metilprednisolon 30mg/ml.
Dengan dosis 0,4-0,8ml setiap 3 hingga 7 hari sebanyak 3-4 kali sesi injeksi.
Membran timpani kuadran anterosuperior dilakukan parasintesa sebagai ventilasi
dan injeksi kortikosteroid dilakukan pada kuadran posteroinferior. Penderita
diminta tetap berada dalam posisi supinasi 30-45º selama 15-30 menit paska
injeksi kortikosteroid. Spears dkk, 2011 menyimpulkan bahwa injeksi
kortikosteroid intratimpani sebagai terapi primer pada tuli sensorineural
mendadak memiliki efek yang sama seperti pada pemberian kortikosteroid oral
dosis tinggi. Lim Jin dkk, 2012 dalam studi mereka melaporkan bahwa tidak
didapatkan perbedaan signifikan pada pemberian kortikosteroid sistemik tunggal,
kortikosteroid intratimpani maupun gabungan keduanya. Ng dkk4 pada September
2014 melaporkan hasil meta-analisis mereka setelah menganalisa 184 studi
diperoleh kesimpulan terdapat perbaikan pendengaran yang signifikan melalui
injeksi kortikosteroid intratimpani dan penggunaan deksametason memiliki
keluaran atau outcome yang lebih baik dibandingkan dengan metil prednisolon.
Prognosis
Perbaikan pendengaran pada tuli sensorineural mendadak bergantung pada
beberapa faktor diantaranya tingkat keparahan kehilangan pendengaran, usia,
kecepatan pemberian obat, ada atau tidaknya keluhan vertigo, serta penyakit yang
menyertai. Byl dkk 13 melaporkan pasien tuli sensorineural mendadak dengan
derajat sangat berat memiliki tingkat perbaikan pendengaran yang rendah. Enache
dan Sarafolenau, 2008 melaporkan pasien tulisensorineural mendadak dengan
angka penurunan pendengaran lebih dari 50-60 dB memiliki tingkat pemulihan
yang rendah yakni kurang dari 20 dB. Mereka menyimpulkan bahwa makin berat
tingkat penurunan pendengaran maka makin buruk prognosisnya karena sifatnya
yang ireversibel. 3
Tiong 24, 2007 melaporkan pasien dengan kelompok umur kurang dari 60
tahun memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan kelompok pasien yang
19
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik
20