Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Bin Taro

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 87

AKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK BINTARO

(Cerbera manghas) TERHADAP LARVA NYAMUK


Aedes aegypti (DIPTERA: CULICIDAE)

DIDI TARMADI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
AKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK BINTARO
(Cerbera manghas) TERHADAP LARVA NYAMUK
Aedes aegypti (DIPTERA: CULICIDAE)

DIDI TARMADI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ABSTRACT

DIDI TARMADI. Larvicidal Activity of Bintaro (Cerbera manghas) Extract


Against Larvae Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). Under direction of DWI
JAYANTI GUNANDINI and SULAEMAN YUSUF.

Dengue is a very dangerous disease and contagious because it causes


deadth at short time on the patient. This desease was caused by dengue virus
which was infected by Aedes aegypti. Plants have potency to develop as larvacide
because itself containts chemical compound which have bioactive. Bintaro
(Cerbera manghas) have been known as poisonous tree. The aim of this research
is to know the activity of bintaro extract to larvae Ae. aegypti. First, we extracted
a leaf, steam bark, kernel and rind of bintaro. Then the best extract was fracinated,
after that it was done chromatography colom step. Futhermore, we did bioassay to
larvae Ae. aegypti for every step. The result showed that kernel of bintaro have
highest activity to mortality of larvae Ae. aegypti than steam bark, rind, and leaf;
with LC 50 517,3 ppm dan LC 90 964,8 ppm. Ethyl acetate fraction have great
activity to mortality of Ae. aegypti than n-hexane dan nonsoluble fraction with
LC 50 34,6 ppm dan LC 90 95,1 ppm. We had 10 sub fractions in this research and
the sub fraction 1, 7 and 10 had most toxic compound to Ae. aegypti than the
others. The kernel extract contains saponim, alkaloid, flavonoid, triterfenoid
glikosida and steroid.

Keywords: extract, larvicide, bintaro (Cerbera manghas), Aedes aegypti


RINGKASAN

DIDI TARMADI. Aktivitas Larvasida Ekstrak Bintaro (Cerbera manghas)


Terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). Dibimbing oleh
DWI JAYANTI GUNANDINI dan SULAEMAN YUSUF.
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang sangat
berbahaya dan termasuk kategori penyakit sangat menular serta dapat
menyebabkan kematian pada penderita dalam waktu yang sangat pendek.
Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes
aegypti. Indonesia merupakan salah satu negara dimana kasus DBD sangat tinggi.
Upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD dititik beratkan pada
pemutusan siklus penularan yaitu dengan cara pengendalian vektor.
Pengendalian menggunakan insektisida konvensional telah menimbulkan
masalah yaitu pengaruh terhadap lingkungan dan resistensi sehingga perlu dicari
alternatif bahan yang lebih ramah lingkungan. Salah satu alternatif pengendalian
yaitu menggunakan ekstrak dari tanaman obat tertentu. Tanaman memiliki
potensi sebagai bahan alternatif pengendalian serangga karena didalamnya
terkandung senyawa kimia yang bersifat bioaktif.
Bintaro (Cerbera manghas) merupakan pohon beracun yang menyebabkan
kasus keracunan di Kerala India. C. manghas memiliki khasiat sebagai anti
kanker, dapat menghambat perkembangan serangga hama Eurema spp, efektif
terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi, bersifat racun terhadap serangga hama
gudang Sitophilus oryzae.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas ekstrak bintaro
terhadap larva nyamuk Ae. aegypti. Penelitian dilakukan di Laboratorium
Pengendalian Serangga Hama dan Biodegradasi UPT. Balai Litbang Biomaterial
LIPI dan Laboratorium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan FKH IPB dari
bulan Januari-Agustus 2012. Bahan ekstrak yang digunakan yaitu daun, kulit
batang, kulit buah dan daging buah bintaro yang diperoleh dari sekitar Bogor.
Serangga uji yaitu larva instar III-IV nyamuk Ae. aegypti hasil rearing
insektarium Laboratorium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan FKH IPB.
Ekstraksi menggunakan metode maserasi. Daun, kulit batang, kulit buah
dan daging buah bintaro terlebih dahulu dikeringkan dan dihaluskan menjadi
serbuk dengan ukuran 40 mesh kemudian diekstrak dengan pelarut metanol.
Ekstraksi dilakukan sampai berwarna bening. Ekstrak metanol diperoleh dengan
menyaring residu dengan ekstraknya menggunakan kertas saring Whatman.
Larutan ekstrak kemudian dievaporasi menggunakan rotavapor pada suhu 40 oC
kemudian dikeringkan di atas waterbath untuk mendapatkan ekstrak kering.
Tahap fraksinasi dilakukan hanya pada bagian ekstrak bintaro yang paling tinggi
efikasinya terhadap larva nyamuk Ae.aegypti. Tahap kromatografi lapis tipis
dilakukan untuk menentukan eluen terbaik yang bisa memisahkan senyawa dalam
ekstrak. Penentuan eluen terbaik menggunakan kombinasi beberapa pelarut
dengan sistem gradien. Eluen terbaik akan digunakan pada kromatografi kolom.
Uji bioassay mengacu kepada protokol WHO (2005).
Pada penelitian menggunakan konsentrasi 0, 50 ppm, 100 ppm, 250 ppm,
500 ppm, 1000 ppm, 2000 ppm, 3000 ppm, 4000 ppm, 5000 ppm dengan
menggunakan 5 ulangan. Tiap konsentrasi ekstrak yang diuji dimasukkan dalam
gelas plastik dengan ditambahkan tween 0,5 ml sebagai surfaktan untuk
mengurangi tegangan permukaan, sehingga ekstrak dapat larut dalam air. 25 ekor
larva instar III-IV kemudian dimasukan ke dalam gelas plastik yang berisi 100 ml
larutan ekstrak. Pengamatan dilakukan dengan variasi waktu 6 jam, 12 jam, 24
jam dan 48.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daging buah memiliki aktivitas
paling tinggi terhadap mortalitas larva Ae. aegypti dibandingkan dengan kulit
batang, kulit buah dan daun dengan nilai LC 50 517,3 ppm dan LC 90 964,8 ppm.
Fraksi etil asetat memiliki aktivitas paling tinggi terhadap mortalitas larva Ae.
aegypti dibandingkan dengan fraksi n-heksan dan fraksi tidak terlarut dengan nilai
LC 50 34,6 ppm dan LC 90 95,1 ppm. Sub fraksi 1, 7 dan 10 memiliki aktivitas
paling tinggi terhadap mortalitas larva Ae. aegypti. Hasil analisis fitokimia
diketahui bahwa daging buah mengandung saponim, alkaloid, flavonoid,
triterfenoid glikosida dan steroid. Fraksi n-heksan mengandung saponim,
alkaloid, flavonoid, triterfenoid dan glikosida. Fraksi etil asetat mengandung
alkaloid, flavonoid, triterfenoid, steroid dan glikosida.

Kata kunci : ekstrak, larvasida, bintaro (Cerbera manghas), Aedes aegypti


SUMMARY
DIDI TARMADI. Larvicidal Activity of Bintaro (Cerbera manghas) Extract
Against Larvae Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). Under direction of DWI
JAYANTI GUNANDINI and SULAEMAN YUSUF.
Dengue is known as a contagious and calamitous seasonal disease in
Indonesia since its infection likely to trigger the large scale of sufferer mortality.
Dengue is caused by dengue virus carried by vector namely mosquitos belong to
genus Aedes. The occurrence of dengue in Indonesia remains strike high numbers
of cases. An effort to tackle this disease is underscored on the breaking of vector
life cycle.
Methods to control dengue vector by using inorganic pesticides have been
leading to negative effects on ecosystem for instance the increase of dengue
vectors resistance. One eco-friendlier method has been ongoing to be used to
combat dengue vector by which employing extractives from whole or part of
plants. Particular of plants has toxic substances that can be extracted and bio-
assayed towards dengue vector in order to consider it as an accountable of
alternative bio-pesticide.
Bintaro (Cerbera manghas) is a well-known poisonous tree that its toxicity
caused many Indians in Kerala got poisoned. C. manghas has anticancer
substances, suppressed the infestation of Eurema spp, effective to subterranean
termites (Coptotermes gestroi), and showed toxic effect on stored pest control
(Sitophilus oryzae)
The aim of this research is to know the activity of bintaro extract to larvae
Ae. aegypti. This research was carried out in the Laboratory of Pest Control and
Biodegradation, R&D Unit for Biomaterials, Indonesian Institute of Sciences as
well as in Laboratory of Parasitology and Entomology, Veterinary Faculty of
Bogor Agricultural Institute started from January to August 2012. The part body
of bintaro plants of which used in this research for instance leaves, bark, rind and
kernel were gathered from Bogor region and its suburb. The 3rd and 4th instar
larvae of Ae. aegypti that were subjected to extractive treatment were reared and
maintained in Laboratory of Parasitology and Entomology, Veterinary Faculty of
Bogor Agricultural University.
The maceration method initiated the extraction process in this study.
Leaves, bark, rind and kernel of the bintaro were desiccated and ground in to
particles with 40 mesh in size. Subsequently, those part plants’ particle was
extracted with methanol as the solvent, the extraction process was continuously
undertaken upon the mixture turned out to be transparent. The extract particles
were isolated by separating its residue with Whatman filtration paper. The extract
solution then was drained by using water-bath to obtain dried extract.
Fractionation stage was merely carried out if the extractives showed high
effectiveness against A. aegypti larvae. Thin layer chromatography was conducted
to determine the best eluent by which has capability to separate the essential
substances from its heterogeneous extract. The determination of best eluent was
conducted by applying gradient system on the combination of several solvents.
The best eluent was going to be employed on column chromatography and bio-
assay test was carried out according to WHO protocol (2005).
The serial concentrations of the bintaro extract of which used in this
research are 0, 50, 100, 250, 500, 1000, 2000, 3000, 4000 and 5000 ppm with 5
times replication. Each of those concentrations was applied in to plastic glasses in
which Tween was added as a surfactant agent so that the extracts could blend
properly in water. Twenty five 3rd and 4th instar larvae of Ae. aegypti were placed
in to a plastic glass containing 100 ml of extract solution. Observation and
mortality data record were undertaken in 6, 12, 24 and 48 hours upon the extract
treatments.
The result showed that kernel of bintaro have highest activity to mortality
of larvae Ae. aegypti than steam bark, rind, and leaf with LC 50 517,3 ppm dan
LC 90 964,8 ppm. Ethyl acetate fraction have great activity to mortality of Ae.
aegypti than n-hexane dan nonsoluble fraction with LC 50 34,6 ppm dan LC 90
95,1 ppm. We had 10 sub fractions in this research and the sub fraction 1, 7 and
10 had most toxic compound to Ae. aegypti than the others. An analysis of phyto-
chemistry confirmed that the bintaro kernel containing saponin, alkaloid,
flavonoid, glysoside, triterfenoid, and steroid. While n-hexane fraction containing
saponin, alkaloid, flavonoid, glycoside and atriterfenoid. Ethyl acetate fraction
containing alkaloid, flavonoid, triterfenoid, steroid and glycoside.

Keywords: extract, larvacide, bintaro (Cerbera manghas), Aedes aegypti


© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aktivitas Larvasida


Ekstrak Bintaro (Cerbera manghas) Terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti (Diptera:
Culicidae) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

Didi Tarmadi
NIM B252100021
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2012 ialah
pemanfaatan ekstrak bahan alam sebagai larvasida, dengan judul Aktivitas
Larvasida Ekstrak Bintaro (Cerbera manghas) Terhadap Larva Nyamuk Aedes
aegypti (Diptera: Culicidae).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini,
M.Si dan Bapak Prof. (R). Dr. Sulaeman Yusuf, M.Agr selaku pembimbing, serta
kepada Ibu Dr.drh. Min Rahminiwati, MSi selaku penguji luar komisi. Ucapan
terima kasih disampaikan juga kepada Bapak Prof. Dr. drh. Singgih H. Sigit,
M.Sc, Ibu Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.Si, Ibu Dr. drh. Susi Soviana, M.Si,
Bapak Dr. drh. M. Amin, M.Sc yang selama ini telah memberikan ilmunya, juga
kepada para staf di Jurusan Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) Ibu
Juju, Pak Heri, Alm. Pak Yunus, Pak Priyono, Bu Een dan Mas Budi Santoso
yang selama ini telah membantu penulis menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.
Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kementrian Riset dan
Teknologi yang telah membiayai kuliah serta rekan-rekan kerja di Laboratorium
Pengendalian Serangga Hama dan Biodegradasi UPT Balai Litbang Biomaterial
LIPI yang telah banyak membantu selama penelitian ini. Seluruh keluarga tercinta
yang selalu memberikan dorongan moril maupun materiil sehingga penulis
berhasil menyelesaikan penelitian ini.
Tesis ini dapat terselesaikan juga atas dukungan dan dorongan berbagai
pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Oleh karena itu, penulis
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2013

Didi Tarmadi
69

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lebak, 12 Januari 1980, dari ayah Jamsari dan Ibu Hj.
Sonah. Merupakan anak ke empat dari tiga bersaudara. Penulis menikah dengan
Lala Lusiana dan dikarunia dua orang anak bernama Keisya Adzkia Salsabila dan
Aditya Adzka Abimanyu.
Penulis Tamat Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Malingping tahun 1999
dan lulus Sarjana Kehutanan dari Departemen Teknologi Hasil Hutan Fakultas
Kehutanan IPB tahun 2004. Kemudian melanjutkan studi ke Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan tahun 2010.
Penulis bekerja sebagai staf peneliti di UPT Balai Penelitian dan
Pengembangan Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sejak tahun
2004 – sekarang.
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr.drh. Min Rahminiwati, M.Si
Judul Tesis : Aktivitas Larvasida Ekstrak Bintaro (Cerbera manghas)
Terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti (Diptera:
Culicidae)

Nama : Didi Tarmadi

NIM : B252100021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si Prof. (R). Dr. Sulaeman Yusuf, M.Agr
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana


Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian : 26 November 2012 Tanggal Lulus :


DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xvii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xviii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv

PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
Latar Belakang ............................................................................................ 1
Perumusan Masalah ..................................................................................... 2
Tujuan Penelitian ......................................................................................... 2
Hipotesa ....................................................................................................... 2
Manfaat Penelitian ...................................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 5


Penyakit Demam Berdarah Dengue ............................................................ 5
Biologi Nyamuk Aedes aegypti ................................................................... 7
Proses Ekstraksi .......................................................................................... 10
Larvasida dari Bahan Alam ......................................................................... 12
Pohon Bintaro (Cerbera manghas) ............................................................. `13

BAHAN DAN METODE PENELITIAN ........................................................ 15


Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................... 15
Bahan Penelitian .......................................................................................... 15
Serangga Uji ................................................................................................ 16
Metode Penelitian ........................................................................................ 16
Prosedur Ekstraksi ....................................................................................... 16
Prosedur Fraksinasi ..................................................................................... 17
Penapisan Fitokimia .................................................................................... 19
Kromatografi Lapis Tipis ............................................................................ 20
Kromatografi Kolom ................................................................................... 21
Penetasan Telur dan Pemeliharaan Larva Nyamuk Aedes aegypti ............. 22
xv

Uji Bioassay ................................................................................................ 23


Analisis Data ............................................................................................... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 25


Hasil Uji Larvasida Kulit Batang, Daging Buah, Kulit Buah dan Daun
Bintaro ......................................................................................................... 25
Nilai Lethal Concentration (LC) Ekstrak Kasar Bintaro............................. 28
Aktivitas Larvasida Fraksi n-Heksan, Etil asetat dan Fraksi Tidak Terlarut 29
Analisis Fitokimia ....................................................................................... 32
Aktivitas Larvasida Hasil Kromatografi Kolom ......................................... 33

SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 37


Simpulan...................................................................................................... 37
Saran …......................................................................................................... . 37

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 39

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... 43

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ....................................................................... 69


DAFTAR TABEL

Halaman
1 Kandungan ekstraktif dari bagian pohon bintaro........................ ……... 25
2 Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari ekstrak bintaro pengamatan
24 dan 48 jam…...................................................................................... 29
3 Kandungan ekstraktif pada fraksi n-heksan, etil asetat dan fraksi
tidak terlarut……………………………………………………….…. 30
4 Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap fraksi n-heksan,
etil asetat dan fraksi tidak …………….……………………..………… 31
5 Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) hasil fraksinasi daging buah
bintaro…………………………………………………………………. 31
6 Kandungan senyawa hasil analisis fitokimia pada ekstrak daging buah
bintaro…………………………………………………………………. 32
7 Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap sub fraksi
hasil kromatografi kolom …………………..………………………..... 34
8 Rendemen sub fraksi ………………………………………………......... 34
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Negara dengan resiko penularan dengue tahun 2008 ............................... 5
2 Telur Ae. aegypti ....................................................................................... 7
3 Larva nyamuk Ae. aegypti …………………..…………..……………... 8
4 Pupa nyamuk Ae. aegypti ........................................................................ 9
5 Nyamuk dewasa Ae. aegypti .................................................................... 10
6 Pohon bintaro ............................................................................................ 14
7 Bahan ekstrak dari tanaman bintaro .......................................................... 15
8 Diagram alir proses ekstraksi dan pengujian bioassay ............................. 16
9 Proses ekstraksi ........................................................................................ 17
10 Diagram alir tahapan fraksinasi dan uji bioassay...................................... 18
11 Pengocokan larutan ekstrak dan proses pemisahan larutan ...................... 19
12 Penetesan ekstrak pada plat silica dan chamber KLT ............................... 21
13 Diagram alir proses kromatografi kolom dan uji larvasida....................... 21
14 Proses pemisahan dengan kromatografi kolom dan proses pengeringan
eluen .......................................................................................................... 22
15 Penetesan telur nyamuk Ae. aegypt...................................................... …… 23
16 Pelarutan ekstrak menggunakan stirrer dan inkubasi................................ 24
17 Perbedaan warna dari bahan ekstrak yang diuji pada konsentrasi 1000
ppm ........................................................................................................... 26
18 Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap ekstrak kulit batang ..... 26
19 Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap ekstrak daging buah ..... 27
20 Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap ekstrak kulit buah ……. 27
21 Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap ekstrak kulit daun….... 28
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil uji ekstrak metanol kulit batang bintaro terhadap mortalitas larva
Ae. aegypti ................................................................................................ 43
2 Hasil uji ekstrak metanol daging buah bintaro terhadap mortalitas larva
Ae. aegypti................................................................................................. 45
3 Hasil uji ekstrak metanol kulit buah bintaro terhadap mortalitas larva
Ae. aegypti……………………………………………………………… 47
4 Hasil uji ekstrak metanol daun bintaro terhadap mortalitas larva
Ae. aegypti ................................................................................................. 49
5 Hasil uji fraksi n-heksan terhadap mortalitas larva Ae. aegypti ............... 51
6 Hasil uji fraksi etil asetat terhadap mortalitas larva Ae. aegypti .............. 52
7 Hasil uji fraksi tidak terlarut terhadap mortalitas larva Ae. aegypti .......... 53
8 Hasil uji sub fraksi hasil kromatografi kolom terhadap mortalitas larva
Ae. aegypti ................................................................................................. 55
9 Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari ekstrak kulit batang pada
pengamatan 24 jam ................................................................................... 57
10 Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari ekstrak kulit batang pada
pengamatan 48 jam ................................................................................... 58
11 Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari ekstrak daging buah pada
pengamatan 24 jam ................................................................................... 59
12 Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari ekstrak daging buah pada
pengamatan 48 jam ................................................................................... 60
13 Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari ekstrak kulit buah pada
pengamatan 24 jam ................................................................................... 61
14 Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari ekstrak kulit buah pada
pengamatan 48 jam ................................................................................... 62
15 Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari ekstrak daun pada
pengamatan 24 jam ................................................................................... 63
xxi

16 Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari ekstrak daun pada pengamatan


48 jam........................................................................................................ 64
17 Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari fraksi n-heksan pada
pengamatan 24 jam ................................................................................... 65
18 Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari fraksi n-heksan pada
pengamatan 48 jam ................................................................................... 66
19 Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari fraksi etil asetat pada
pengamatan 24 jam ................................................................................... 67
20 Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari fraksi n-heksan pada
pengamatan 48 jam ................................................................................... 68
1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang sangat


berbahaya dan termasuk kategori penyakit sangat menular serta dapat
menyebabkan kematian pada penderita dalam waktu yang sangat pendek (WHO
2003). Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk
Aedes aegypti. Penyakit DBD merupakan endemik terutama di wilayah Asia
Tenggara dan Pasifik Barat. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus
DBD yang sangat tinggi. Bahkan tahun 2007 Indonesia merupakan negara yang
melaporkan jumlah kasus dan kematian akibat DBD terbanyak di dunia (WHO
2009). Pada tahun 2010 Indonesia menduduki urutan tertinggi kasus demam
berdarah dengue di ASEAN dengan jumlah kematian sekitar 1.317 (Kompas
2011).
Upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD dititik beratkan
pada pemutusan siklus penularan yaitu dengan cara pengendalian vektor (WHO
2004). Pengendalian menggunakan insektisida konvensional menimbulkan
masalah yaitu pengaruh terhadap lingkungan dan resistensi sehingga perlu dicari
alternatif bahan yang lebih ramah lingkungan. Salah satu alternatif pengendalian
yaitu menggunakan ekstrak herbal dari tanaman obat tertentu (Promsiri et al.
2008). Tanaman memiliki potensi sebagai bahan alternatif pengendalian serangga
karena didalamnya terkandung senyawa kimia yang bersifat bioaktif. Produk dari
alam ini efektif, ramah lingkungan, mudah diurai oleh mikroorganisme, murah,
tersedia di berbagai tempat di dunia, dan bersifat selektif (Su dan Mulla 1999).
Beberapa jenis ekstrak tanaman telah diteliti aktivitasnya terhadap larva nyamuk
Ae. aegypti seperti Anacardium occidentale (Promsiri et al. 2006), Melia
azedarach L (Coria et al. 2008), Ocimum canum (Kamaraj et al. 2008),
Azadirachta indica (Atawodi 2009), Sapindus emarginatus (Koodalingan et al.
2009), Carica papaya ( Ahmad et al. 2011), dan lidah buaya (Subramaniam et al.
2012).
Bintaro merupakan pohon beracun dari famili Apocynaceae. Buahnya
sangat beracun, mengandung cerberin sebagai komponen aktif utama cardenolide.
2

Pohon ini termasuk ke dalam 50% pohon beracun yang menyebabkan 10% kasus
keracunan di Kerala India (Gaillard et al. 2004). C. manghas memiliki khasiat
sebagai anti kanker (Chang et al. 2000, Wang et al. 2010, Zhao et al. 2011).
Ekstrak biji bintaro dapat menghambat perkembangan serangga hama Eurema spp
(Utami 2010). Tarmadi et al. (2010) melaporkan bahwa ekstrak buah bintaro
sangat efektif terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi dan memiliki potensi
untuk dikembangkan sebagai insektisida alami. Disamping itu, ekstrak biji
bintaro bersifat toksik terhadap serangga hama gudang Sitophilus oryzae (Tarmadi
et al. 2012).
Walaupun telah diketahui bahwa bintaro sebagai pohon beracun dan
memiliki aktivitas insektisida tetapi belum ada penelitian mengenai aktivitasnya
sebagai larvasida.
Perumusan Masalah

Penggunaan larvasida konvensional dapat mencemari lingkungan dan


menimbulkan sifat resistensi terhadap larva sehingga perlu dicari alternatif
larvasida yang lebih ramah lingkungan. Kajian mengenai ekstrak bahan alam
sebagai larvasida telah banyak dilakukan tetapi aktivitasnya masih rendah
sehingga perlu kajian ekstrak tanaman lainnya yang memiliki daya bunuh yang
tinggi terhadap larva. Bintaro telah diteliti memiliki daya bunuh yang tinggi
terhadap serangga dan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai insektisida
nabati.
Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas ekstrak bintaro


terhadap larva nyamuk Ae. aegypti.
Hipotesa

1. Terdapat peningkatan mortalitas larva nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar


ekstrak kulit batang, daging buah, kulit buah dan daun bintaro.
2. Diperoleh satu bagian ekstrak dari bintaro yang paling toksik terhadap
larva Ae. aegypti.
3. Diperoleh konsentrasi yang rendah tetapi sangat toksik terhadap larva
nyamuk Ae. aegypti.
3

Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat


diantaranya:

1. Memberikan informasi ilmiah mengenai aktivitas pohon bintaro terhadap


larva nyamuk Ae. aegypti
2. Memberikan informasi ilmiah mengenai bagian pohon bintaro yang memiliki
aktivitas tinggi terhadap larva nyamuk Ae. aegypti.
3. Hasil penelitian dapat dikembangkan sebagai alternatif penanggulangan larva
nyamuk Ae. aegypti.
4
5

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Demam Berdarah Dengue

Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit virus yang


ditularkan oleh nyamuk dengan penyebaran paling cepat di dunia. Pada 50 tahun
terakhir, kejadian telah meningkat 30 kali lipat seiring dengan adanya perluasan
distribusi geografis negara-negara baru dan mobilitas yang sangat tinggi antara
desa dan kota (WHO 2009). Sejak tahun 1980, penyakit DBD menyebar luas di
berbagai wilayah tropis dan sub tropis meliputi benua Amerika, Afrika, Asia dan
Pasifik Barat. WHO memperkirakan telah terjadi 50 - 100 juta kasus DBD
pertahunnya di dunia, dengan 25.000 kasus kematian (Gubler 1997).

Gambar 1. Negara dengan resiko penularan dengue tahun 2008


(Sumber: WHO 2009)

Di Indonesia, penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan.


Penyakit ini telah menyebabkan kekhawatiran masyarakat karena perjalanan
penyakitnya yang cepat dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat
(DEPKES 2005). Kasus DBD di Indonesia, pertama kali dijumpai di Jakarta dan
Surabaya pada tahun 1968. Berdasarkan laporan World Health Organization
(WHO) (1999), terdapat empat kejadian luar biasa (KLB) DBD yang signifikan
selama periode 1968-1998, yaitu pada tahun 1973, 1983, 1988 dan 1998. Pada
6

tahun 1998, tercatat 72.133 kasus DBD dengan jumlah kematian 1.414 orang
(Case Fatality Rate (CFR) 2,0%). Dari tahun ke tahun, area sebaran maupun
jumlah kasus DBD cenderung meningkat. Berdasarkan data Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, kejadian DBD lima tahun terakhir semakin
memprihatinkan. Pada tahun 2004 terjadi 79.462 kasus dengan jumlah kematian
957 orang. Tahun 2005, kasus DBD di 32 provinsi mencapai 91.089 kasus,
sebanyak 1.214 orang meninggal dunia (CFR 1,3%). Tahun 2006 korban demam
berdarah mencapai angka yang sangat menakutkan yaitu 114.656 kasus. Laporan
Departemen Kesehatan menyebutkan penyakit demam berdarah sudah menjadi
masalah yang endemik di 33 provinsi dan di 330 kotamadya/kabupaten. Pada
2007, jumlah kasus DBD melonjak menjadi 158.115 kasus dengan 1.599 korban
meningggal dunia, atau tertinggi dalam 10 tahun terakhir, yang menjadikan
Indonesia negara dengan kasus dan kematian akibat DBD terbesar di dunia. DKI
Jakarta tercatat sebagai daerah endemik DBD terbesar yaitu terdapat 31.836 kasus,
sementara tingkat kematian tertinggi yaitu di Jawa Timur sebanyak 372 orang.
Kasus DBD 2001-2007 jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan dekade 1990-
an. Sampai medio Juli 2008, kasus DBD di Indonesia sudah mencapai 73.488
kasus dengan kematian 542 jiwa (CFR 0,74%) (DEPKES 2008).
Penyakit DBD tergolong penyakit yang sangat berbahaya dan termasuk
kategori penyakit sangat menular (WHO 2003). Penyakit ini disebabkan oleh
virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti (WHO 2009). Virus
dengue tergolong genus Flavivirus, famili Flaviridae yang terdiri dari empat
serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 (Seema dan Jain 2005).
Selama masa inkubasi di tubuh manusia (intrinsik) yaitu sekitar 3-14 hari
maka akan timbul gejala awal penyakit secara mendadak, yang ditandai dengan
demam, pusing, myalgia dan berbagai tanda non spesifik lainnya. Nyamuk Ae.
aegypti lebih aktif mencari mangsanya di siang hari di banding nyamuk lain yang
cenderung menyerang manusia pada malam hari. Setelah menggigit tubuh
manusia, perut nyamuk akan terpenuhi darah kira-kira dua hingga empat miligram
atau sekitar 1,5 kali berat badannya (Kristina et al. 2004).
7

Biologi Nyamuk Aedes aegypti

Siklus hidup. Di dalam siklus hidupnya, nyamuk mengalami


metamorfosis sempurna (holometabola) yaitu telur, larva, pupa dan dewasa (Hadi
dan Koesharto 2006). Larva dan pupa memerlukan air untuk kehidupannya,
sedangkan telur tahan hidup dalam waktu lama tanpa air, meskipun harus tetap
dalam lingkungan yang lembab (Christoper 1960).
Telur. Telur Ae. aegypti berwarna hitam, oval dan diletakkan di dinding
wadah air, biasanya di bagian atas permukaan air. Apabila wadah air itu
mengering, telur bisa tahan (dorman) selama beberapa minggu atau bahkan bulan
dan ketika wadah tersebut berisi air lagi dan menutupi seluruh bagian telur, maka
ia akan menetas menjadi jentik (Hadi dan Koesharto 2006). Menurut Becker et al
(2003), telur Ae. aegypti menyukai air yang jernih atau air dengan kandungan
bahan organik yang sedang. Telur nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang
hingga dewasa pada air dengan medium campuran kotoran ayam, kaporit dan air
sabun (Hadi dan Koesharto 2006). Menurut penelitian Mohammed dan Cadee
(2011), telur menetas hanya memerlukan waktu dua hari (48 jam) dengan tingkat
fertilitas mencapai 98% pada suhu 24-250C, 57% pada suhu 26-270C, 20% pada
suhu 29-300C, 3.7% pada suhu 32-330C dan 1.6% pada suhu 34-350C.

Gambar 2. Telur Ae. aegypti (Sumber: www.denguevirusnet.com)


8

Larva. Jentik nyamuk tidak berlengan, dadanya lebih besar dari kepalanya.
Kepalanya berkembang baik dengan sepasang antena dan mata majemuk, serta
sikat mulut yang menonjol. Perutnya terdiri atas 9 ruas yang jelas, dan ruas
terakhir dilengkapi dengan tabung udara (sifon) yang bentuknya silinder (Hadi
dan Koesharto 2006). Stadium larva mengalami empat fase larva yaitu instar I, II,
III dan instar IV. Perubahan fase instar ditandai dengan proses pergantian kulit
(Bates 1970). Antena larva Ae. aegypti kira-kira setengah kepala dan tanpa spikula.
Pada sternit abdomen VIII terdapat sisir (comb) berjumlah 6-12 dan bentuknya
seperti trisula. Siphon berpigmen sedang dengan siphonal index sekitar 1.8-2.5
dan acus tidak berkembang. Pecten memiliki 8-22 gigi (Becker at al. 2003).
Waktu stadium larva berkisar 4-8 hari, persentase larva menjadi pupa mencapai
87.7% pada suhu 24-250C, 98.5% pada suhu 26-270C, 97.2% pada suhu 29-300C,
87.6% pada suhu 32-330C dan 74.2% pada suhu 34-350 (Mohammed dan Cadee
2011).

Gambar 3. Larva nyamuk Ae. aegypti (Sumber: www. darnis.inbio.ac.cr)

Pupa. Mendekati ekdisi akhir atau pupa larva menjadi gemuk. Larva
cenderung berhenti makan dan tetap saat istirahat di permukaan. Ketika pertama
kali muncul, pupa berwarna putih, tetapi dalam waktu singkat menunjukkan
perubahan pigmen (Christoper 1960). Pupa nyamuk bergerak aktif seperti
kebanyakan pupa serangga lainnya (Bates 1970). Pupa nyamuk berbentuk seperti
koma, kepala dan dadanya bersatu dilengkapi dengan sepasang trompet
pernapasan. Stadium pupa tidak makan dan bila terganggu, pupa akan bergerak
9

naik turun di dalam wadah air. Dalam kurun waktu lebih dari dua hari dari pupa
akan munculah nyamuk dewasa (Hadi dan Koesharto 2006).

Gambar 4. Pupa nyamuk Ae. aegypti (Sumber: www.denguevirusnet.com)

Dewasa. Nyamuk betina berukuran sedang dengan ornamen di kepala,


skutum, tungkai dan abdomen. Ae. aegypti mudah dikenali dan dibedakan dari
anggota sub-genus lainnya denggan corak putih pada dorsal dada (punggung)
dengan pola seperti siku yang berhadapan. Probosis gelap, sedangkan palpi 1/5
panjang probosis dengan corak putih pada ujungnya, clypeus bercorak putih
lateral, dan pedicel dengan bercak putih di bagian samping. Vertex memiliki garis
medium putih dari interocular sampai ke belakang occiput, dan corak putih juga
di samping, dipisahkan oleh tambalan bercorak gelap. Skutelum secara dominan
ditutupi dengan sisik gelap. Skutelum memiliki sisik putih yang luas pada semua
lobus dan sisik gelap dipertengahan puncak lobus. Tibia seluruhnya gelap. Bagian
depan dan tengah tarsi memiliki pita dasar putih pada tarsomer I dan II, tarsus
belakang memiliki pita dasar putih yang lebar pada tarsomer I sampai IV dan
pada tarsomer V semuanya putih. Pada nyamuk jantan palpi sama panjang dengan
probosis dengan pita dasar putih pada palpomere II-IV. Dua segmen terakhir
ramping dengan seta yang pendek. (Becker et al. 2003). Nyamuk Aedes memiliki
ujung abdomen yang runcing, mempunyai cerci yang menonjol, dibagian lateral
dada terdapat rambut post-spiracular dan tidak memiliki rambut spiracular (Hadi
dan Koesharto 2006).
10

Gambar 5. Nyamuk dewasa Ae. aegypti (Sumber: www. aedes.caltech.edu)

Proses Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat


menjadi komponen-komponen terpisah. Ragam ekstraksi yang tepat tergantung
pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis
senyawa yang diisolasi. Bila mengisolasi senyawa dari jaringan hijau,
keberhasilan ekstraksi dengan alkohol berkaitan langsung dengan seberapa jauh
klorofil tertarik oleh pelarut tersebut. Bila ampas jaringan pada ekstraksi ulang
sama sekali tak berwarna hijau kembali, dapat dianggap semua senyawa berbobot
molekul rendah telah terekstraksi (Harborne 1987). Isolasi ekstraktif dapat
dilakukan dengan ekstraksi menggunakan campuran pelarut netral dan atau
dengan pelarut tunggal secara berurutan (Fengel dan Wegener 1995). Kelarutan
zat di dalam pelarut-pelarut itu tergantung dari ikatannya, apakah polar, semi
polar atau non polar. Pelarut polar misalnya: air, alkohol dan metanol, sedangkan
yang non polar misalnya heksan dan karbon tetra klorida. Zat-zat yang polar
hanya larut dalam pelarut polar, sedangkan zat-zat non polar hanya larut dalam
pelarut non polar (Yuliani dan Rusli 2003). Pemilihan pelarut yang akan
digunakan juga harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Beberapa syarat
pelarut yang ideal yaitu harus dapat melarutkan semua zat dengan cepat dan
sempurna, harus mempunyai titik didih yang cukup rendah agar pelarut mudah
diuapkan tanpa menggunakan suhu tinggi, pelarut tidak boleh larut air, pelarut
11

harus bersifat inert sehingga tidak bereaksi dengan komponen bahan, pelarut
harus mempunyai titik didih yang seragam, harga pelarut harus serendah mungkin
dan tidak mudah terbakar (Guenther 1988)
Menurut Kristanti et al. (2006) berdasarkan bentuk campuran yang
diekstraksi, dapat dibedakan dua macam ekstraksi yaitu:
1. Ekstraksi padat-cair jika substansi yang diekstraksi terdapat didalam
campuran yang berbentuk padat. Proses ini paling banyak ditemukan dalam
usaha mengisolasi suatu substansi yang terkandung di dalam suatu bahan
alam.
2. Ekstraksi cair-cair jika substansi yang diekstraksi terdapat didalam
campuran yang berbentuk cair.
Berdasarkan proses pelaksanaannya, ekstraksi dapat dibedakan sebagai
berikut:
1. Ekstraksi yang berkesinambungan (continous extraction)
Dalam ekstraksi ini pelarut yang sama dipakai berulang-ulang sampai
proses ekstraksi selesai
2. Ekstraksi bertahap (bath extraction)
Dalam ekstraksi ini setiap tahap ekstraksi selalu dipakai pelarut yang baru
sampai proses ekstraksi selesai
Ekstraksi dapat dikerjakan dengan pelarut organik seperti eter, aseton,
benzena, etanol, diklorometana atau campuran larutan tersebut (Achmadi 1990).
Menurut Kristanti et al. (2006) maserasi adalah suatu contoh metode ekstraksi
padat-cair bertahap yang dilakukan dengan jalan membiarkan padatan terendam
dalam suatu pelarut. Proses perendaman dalam usaha mengekstraksi suatu
substansi dari bahan alam ini bisa dilakukan tanpa pemanasan (suhu kamar),
dengan pemanasan atau bahkan pada titik didih. Sesudah disaring, tidak terlarut
dapat diekstraksi kembali menggunakan pelarut yang baru. Pelarut yang baru
dalam hal ini tidak berarti harus berbeda zat dengan pelarut yang terdahulu, tetapi
bisa berasal dari pelarut yang sama. Proses ini bisa diulang beberapa kali sesuai
kebutuhan.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses ekstraksi menurut Yuliani
dan Rusli (2003) adalah sebagai berikut: persiapan bahan, pemilihan pelarut,
12

metode ekstraksi, proses penyaringan, dan proses pemekatan. Bahan yang akan
diekstraksi sebelumnya dikeringkan terlebih dahulu, pengeringan tanaman yang
digunakan untuk pestisida nabati sebaiknya sampai kadar air mencapai 10 %
dengan suhu kurang dari 50 ºC agar bahan aktif yang terkandung tidak rusak.
Sebelum ekstraksi bahan perlu dikeringkan agar tidak terlalu banyak terjadi
perubahan kimia dan suhu rendah bertujuan agar komponen tertentu yang
diinginkan tidak rusak selama ekstraksi.

Larvasida dari Bahan Alam

Beberapa tanaman memiliki efektivitas terhadap larva nyamuk Ae. aegypti


seperti minyak buah Kamandarah (Croton tiglium) dan jarak pagar (Jutropha
curcas) (Astuti 2008). Ekstrak metanol kulit Cinnamomum cassia, buah Illicium
verum, buah Piper nigrum, buah Zanthoxylum piperitumdan Kaempferia galanga
memiliki potensi sebagai larvasida (Yang et al. 2004). Tanaman Anacardium
occidentale, Mammea siamensis, Phyllanthus pulcher, Anethum graveolens,
Kaempferia galanga, Cinnamomum porrectum, Costus speciosus, dan Acorus
calamus pada konsentrasi 100 µg/mL menyebabkan kematian larva 100 % selama
48 jam pengamatan sedangkan tanaman Strychnos nuxvomica, Knema globularia,
Stemona tuberosa, Samaneasaman, Annona muricata, Abutilon indicum pada
konsentrasi 100 µg/mL memberikan persentase kematian larva sebesar 93%, 88%,
80%, 78%, 69% dan 57% (Promsiri et al. 2006).
Hasil penelitian Rahuman et al. (2009) menunjukkan bahwa ekstrak aseton,
kloroform, air panas, metanol, petroleum ether (60–80°C) dari daun Calotropis
procera, Canna indica, Hibiscus rosa-sinensis, Ipomoea carnea, Sarcostemma
brevistigma memiliki potensi sebagai larvasida. Ekstrak etanol daun dan buah
Melia azedarach menyebabkan kematian yang tinggi terhadap larva nyamuk Ae.
aegypti (Coria et al. 2008). Ekstrak aseton, kloroform, etil asetat, n-heksan dan
metanol dari daun Ocimum canum, Ocimum sanctum dan R. nasutus memberikan
persentase kematian moderat pada larva nyamuk Ae. aegypti dan Culex
quinquefasciatus Say (Kamaraj et al. 2008). Ekstrak air buah Sapindus
emarginatus menyebabkan kematian 100% pada larva nyamuk Ae. aegypti
(Koodalingan et al. 2009). Begitu juga dengan ekstrak tanaman Azadirachta
13

indica (Atawodi 2009), Carica papaya (Ahmad et al. 2011), dan lidah buaya
(Subramaniam et al. 2012) memiliki aktivitas yang tinggi terhadap larva nyamuk
Ae. aegypti. Komponen flavonoid Poncirus trifoliate juga memiliki pengaruh
terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti (Rajkumar dan Jebanesan 2008).
Ekstrak benzen fraksi daun Citrullus vulgaris Schrad lebih efektif terhadap larva
nyamuk A.stephensi daripada A. aegypti (Mulaii et al. 2008).

Pohon Bintaro (Cerbera manghas)

Pohon bintaro banyak digunakan sebagai penghijauan dan juga sebagai


penghias taman kota. Pohon bintaro juga disebut Pong-pong tree atau Indian
suicide tree, mempunyai nama latin Cerbera manghas, termasuk tumbuhan non
pangan atau tidak untuk dimakan. Pohon bintaro sering disebut juga sebagai
mangga laut, buta badak, babuto, dan kayu gurita. Dalam bahasa Inggris tanaman
ini dikenal sebagai Sea Mango. Bintaro termasuk tumbuhan mangrove yang
berasal dari daerah tropis di Asia, Australia, Madagaskar, dan kepulauan sebelah
barat samudera pasifik (Gaillard at al. 2004). Bintaro merupakan pohon beracun
dari famili Apocynacea. Buahnya sangat beracun, mengandung cerberin sebagai
komponen aktif utama cardenolide. Pohon ini termasuk ke dalam 50% pohon
beracun yang menyebabkan 10% kasus keracunan di Kerala India (Gaillard et al.
2004). Disamping Cerberin terdapat dua cardenolide yang diidentifikasi dari akar
Cerbera manghas sebagai agent antiproliferatif dan antiestrogenik ketika
dievaluasi terhadap sel kanker usus besar manusia (Chang et al. 2000). Dalam
buah juga terkandung tanghinigenin dan Neriifolin masuk dalam kelas steroid
sebagai cardiac glycoside yang bersifat antikanker (Wang et al. 2010; Zhao et al.
2011). Ekstrak Cerbera manghas memiliki aktivitas analgesic, antikonvulsan,
cardiotonik dan hypotensif (Hien et al. 1991 dalam Zhao et al. 2011). Tarmadi et
al (2010) melaporkan bahwa ekstrak buah Bintaro (Cerbera manghas) sangat
efektif terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi dan memiliki potensi untuk
dikembangkan sebagai insektisida alami. Disamping itu, buah bintaro
mengandung alkaloid, saponim, tanin, triterpenoid dan steroid. Dimana komponen
kimia tersebut bersifat toksik terhadap serangga. Ekstrak bintaro dapat
menghambat perkembangan serangga hama Eurema spp (Utami 2010). Penelitian
14

Tarmadi et al. (2010) menunjukkan ekstrak buah bintaro sangat efektif terhadap
rayap tanah Coptotermes gestroi dan memiliki potensi untuk dikembangkan
sebagai insektisida alami. Disamping itu, ekstrak buah bintaro bersifat racun
terhadap serangga hama gudang Sitophilus oryzae (Tarmadi et al. 2012).

Klasifikasi tanaman bintaro (Gaillard at al. 2004) :

Kingdom : Plantae – Plants


Subkingdom : Tracheobionta - Vascular plants
Superdivision : Spermatophyta - Seed plants
Division : Magnoliophyta - Flowering plants
Class : Magnoliopsida – Dicotyledons
Subclass : Asteridae
Order : Gentianales
Family : Apocynaceae - Dogbane family
Genus : Cerbera L.
Species : Cerbera manghas L.

Gambar 6. Pohon bintaro (Sumber: www.litbang.deptan.go.id)


15

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengendalian Serangga Hama dan


Biodegradasi UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI dan
Laboratorium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan FKH IPB dari bulan
Januari-Agustus 2012.
Bahan Penelitian

Bahan ekstrak yang digunakan yaitu daun, kulit batang, kulit buah dan
daging buah bintaro yang diperoleh dari sekitar Bogor. Daun yang digunakan
yaitu daun yang sudah tua. Kulit batang diambil dari bagian batang bebas cabang
dari pohon bintaro yang sudah masak tebang dengan diameter 20 – 30 cm. Kulit
buah diambil dari buah yang sudah tua (berwarna ungu kemerahan dan hijau tua).
Daging buah yang digunakan berasal dari buah yang sudah tua. Bagian daging
buah diambil dengan cara membelah buah menggunakan gergaji mesin.

A B

C D
Gambar 7. Bahan ekstrak dari tanaman bintaro: daun (A), kulit batang (B),
kulit buah (C), daging buah (D)
16

Serangga Uji

Uji bioassay menggunakan larva instar III-IV nyamuk Ae. aegypti yang
merupakan hasil rearing insektarium Laboratorium Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan FKH IPB.
Metode penelitian

Prosedur Ekstraksi
Daun, kulit batang, kulit buah dan daging buah bintaro terlebih dahulu
dikeringkan dan dihaluskan menjadi serbuk dengan ukuran 40 mesh. Masing-
masing serbuk diekstrak dengan pelarut metanol dengan metode maserasi.
Ekstraksi dilakukan sampai berwarna bening. Ekstrak metanol diperoleh dengan
menyaring residu dengan ekstraknya menggunakan kertas saring Whatman.
Larutan ekstrak dievaporasi menggunakan rotavapor pada suhu 40 oC kemudian
dikeringkan di atas waterbath untuk mendapatkan ekstrak kering.

Serbuk daun, kulit batang,


kulit buah, daging buah

Metanol

Larutan ekstrak
metanol

Evaporasi

Ekstrak kering

Uji larvasida

Ekstrak terbaik

Gambar 8. Diagram alir proses ekstraksi dan pengujian bioassay


17

A B

C D
Gambar 9. Proses ekstraksi: ekstraksi menggunakan metode maserasi (A),
penyaringan larutan ekstrak (B), larutan ekstrak hasil penyaringan
(C), evaporasi (D).

Prosedur Fraksinasi

Tahap fraksinasi dilakukan hanya pada bagian ekstrak bintaro yang paling
tinggi aktivitasnya terhadap larva nyamuk Ae. aegypti. Sebanyak 175 gram
ekstrak kering hasil ekstraksi kemudian ditambahkan aquades sampai diperoleh
300 ml ekstrak. Ekstrak kemudian dimasukkan dalam corong pisah 1000 ml dan
diekstraksi dengan pelarut berikutnya yaitu n-heksana sebanyak 300 ml (1:1).
Ekstrak dalam corong pisah dikocok agar aquades dan n-heksana berinterksi lalu
diamkan beberapa saat sampai ada pemisahan yang jelas antara kedua pelarut.
Pada tahap ini diperoleh fraksi terlarut n-heksana dan tidak terlarutnya. Fraksi
tidak terlarut diekstraksi kembali dengan pelarut berikutnya yaitu etil asetat.
18

Tahap ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh ekstrak n-heksana dan etil
asetat yang jernih. Larutan ekstrak hasil fraksinasi kemudian dievaporasi
menggunakan rotavapor pada suhu 40 oC kemudian dikeringkan di atas waterbath
untuk mendapatkan ekstrak kering. Rendemen tiap ekstrak dihitung dengan
rumus:

Rendemen (%) = x 100 %

dimana:
BKA = Berat kering ekstrak padat yang diperoleh (gram)
BKS = Berat kering serbuk yang diekstraksi (gram)

Ekstrak metanol dari ekstrak


terbaik + Aquades

n-heksan

Fraksi terlarut n-heksan Fraksi tidak terlarut


Etil asetat

Fraksi terlarut etil asetat Fraksi tidak terlarut

Uji larvasida

Fraksi aktif

Gambar 10. Diagram alir tahapan fraksinasi dan uji bioassay


19

A B

Gambar 11. Pengocokan larutan ekstrak dalam corong pisah (A), proses
pemisahan larutan (B)
Penapisan Fitokimia

Ekstrak padat yang diperoleh kemudian diuji fitokimia sesuai dengan


metode Harborne (1987), kelompok senyawa yang diamati antara lain alkaloid,
saponin, triterpenoid, steroid, phenol, dan flavonoid . Menurut Kristanti (2006)
fitokimia merupakan langkah awal untuk mengetahui gambaran tentang golongan
senyawa yang terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti, dimana metode
yang digunakan sebagian besar merupakan reaksi pengujian warna dengan suatu
pereaksi warna.
a. Identifikasi golongan alkaloid
Ekstrak sebanyak 10mg dilembabkan dengan amonia 30%, digerus dalam
mortir, ditambahkan 20 ml kloroform dan digerus kuat. Campuran disaring
dengan kertas saring, filtrat berupa larutan organik diambil (sebagai
larutan A), sebagian dari larutan A (5 ml) diekstraksi dengan 5 ml larutan
HCL 1:10 dengan pengocokan tabung reaksi, diperoleh larutan bagian atas
(larutan B). Larutan A diteteskan pada kertas saring dan disemprot atau
ditetesi dengan pereaksi Dragendorff dan Mayer, terbentuk endapan merah
bata dengan pereaksi Dragendorff dan endapan putih dengan pereaksi
Meyer menunjukkan adanya senyawa alkaloid.
20

b. Identifikasi golongan steroid dan triterpenoid


Ekstrak sebanyak 10 mg simplisia dimaserasi dengan 100 ml eter selama 2
jam dalam wadah dengan penutup wadah rapat, disaring dan diambil
filtratnya, 5 ml dari filtrat tersebut diuapkan dalam cawan penguap hingga
diperoleh residu, ke dalam residu ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat
dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi Liebernman-Buchard),
terbentuknya warna hijau atau merah menunjukkan adanya senyawa
golongan steroid dan triterpenoid.
c. Identifikasi golongan flavonoid
Ekstrak sebanyak 20 mg simplisia ditambahkan 10 ml air panas, didihkan
selama 10 menit, saring dengan kertas saring, diperoleh filtrat yang akan
digunakan sebagai larutan percobaan. 5 ml larutan percobaan ditambahkan
serbuk atau lempeng magnesium secukupnya dan ditambah 1 ml asam
klorida pekat dan 5 ml amil alkohol, dikocok kuat dan dibiarkan memisah,
terbentuk warna merah pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya
senyawa flavonoid.
d. Identifikasi golongan saponin
Sebanyak 10 ml larutan percobaan yang diperoleh dari percobaan C,
dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dikocok selama 10 detik secara
vertikal, kemudian dibiarkan 10 menit, terbentuk busa yang stabil dalam
tabung reaksi menunjukkan adanya senyawa golongan saponin, bila
ditambahkan 1 tetes asam klorida 1 % (encer) busa tetap stabil.

Kromatografi Lapis Tipis

Tahap ini dilakukan untuk menentukan eluen terbaik yang bisa


memisahkan senyawa dalam ekstrak. Penentuan eluen terbaik menggunakan
kombinasi beberapa pelarut dengan sistem gradien. Eluen disiapkan dengan
mencampur sistem eluen yang diinginkan dalam bejana kromatografi. Bejana
dijenuhkan dengan eluen beberapa saat (+ 15 menit). Plat KLT yang digunakan
adalah silika gel G 60 F254. Larutan ekstrak dari hasil fraksinasi yang memiliki
efikasi paling tinggi terhadap larva nyamuk Ae. aegypti diteteskan pada
permukaan KLT dengan menggunakan pipa kapiler. Penetesan dilakukan sampai
21

diperoleh spot yang pekat. Plat KLT dimasukkan dalam bejana kromatografi.
Setelah pelarut mencapai batas atas KLT (0.5 cm dari tepi atas) lalu pelat KLT
diangkat. Spot yang terbentuk diamati dengan sinar UV 254 nm dan serium sulfat.
Selanjutnya Eluen terbaik akan digunakan pada kromatografi kolom.

A B
Gambar 12. Penetesan ekstrak pada plat silica (A), chamber KLT (B)

Kromatografi Kolom

Kolom dipasang pada statif secara tegak lurus. Bagian dasar kolom
dimasukkan glass wol secukupnya dan diatas glass wol dimasukkan Sea sand
sebagai penahan glass wol. Eluen dimasukkan dalam kolom sebanyak 1/3 bagian
kolom. Silika dilarutkan dalam eluen hingga menjadi bubur silika. Bubur silika
dimasukkan dalam kolom sedikit demi sedikit. Cerat kolom dibuka dan dialirkan
eluen sampai diperoleh silika yang homogen di dalam kolom. Ekstrak
dihomogenkan dengan cellite dan dimasukkan dalam kolom. Ekstrak yang keluar
dari kolom ditampung tiap 20 ml dalam botol. Senyawa dalam tiap botol dilihat
spotnya dengan KLT, Senyawa yang memiliki nilai R f yang sama disatukan
menjadi satu fraksi.

Fraksi Aktif Kromatografi Sub Fraksi Uji Larvasida


Kolom

Gambar 13. Diagram alir proses kromatografi kolom dan uji larvasida
22

A B
Gambar 14. Proses pemisahan dengan kromatografi kolom (A)
dan proses pengeringan eluen (B)

Penetasan Telur dan Pemeliharaan Larva Nyamuk Ae. aegypti

Telur Ae. aegypti yang diperoleh dari Laboratorium Parasitologi dan


Entomologi Kesehatan FKH IPB ditetaskan di dalam wadah berupa nampan
berdiameter ± 10 cm yang telah diisi air sumur. Setelah telur menetas menjadi
larva diberi makan berupa pellet ikan Setelah mencapai instar ke-3, larva
dipindahkan ke dalam wadah yang lebih besar berupa mangkuk agar
pertumbuhan larva maksimal. Makanan ditambahkan secukupnya pada pagi dan
sore, sedangkan air diganti setiap dua hari. Pemberian pakan harus secara berkala
untuk menjaga kestabilan pertumbuhan larva dan untuk mencegah terjadinya
kelaparan larva.
23

Gambar 15. Penetesan telur nyamuk Ae. aegypti

Uji Bioassay

Untuk mendapatkan konsentrasi yang optimal terlebih dahulu dilakukan


uji pendahuluan dengan cara menguji ekstrak pada konsentrasi tertinggi kemudian
diturunkan sampai mendapatkan persentase mortalitas larva 100%. Pada
penelitian menggunakan konsentrasi 0, 50 ppm, 100 ppm, 250 ppm, 500 ppm,
1000 ppm, 2000 ppm, 3000 ppm, 4000 ppm, 5000 ppm dengan menggunakan 5
ulangan. Uji bioassay mengacu kepada protokol WHO (2005). Tiap konsentrasi
ekstrak yang diuji dimasukkan dalam gelas dengan ditambahkan Tween 0,5 ml
sebagai surfaktan untuk mengurangi tegangan permukaan, sehingga ekstrak dapat
larut dalam air. Volume ekstrak dalam gelas yang akan diujikan adalah 100 ml.
Ekstrak dimasukkan dalam wadah gelas 200 ml bersama dengan 25 ekor larva
instar III-IV kemudian bagian atas gelas plastik ditutupi dengan kain kasa.
Pengamatan dilakukan dengan variasi waktu 6 jam, 12 jam, 24 jam dan 48.

Mortalitas (%) = x 100 %


dimana A = jumlah larva yang dimasukkan dalam gelas uji
B = jumlah larva yang hidup pada gelas uji.
24

A B

Gambar 16. Pelarutan ekstrak menggunakan stirrer (A), inkubasi (B)

Analisis Data

Uji statistik menggunakan SPSS 10.0 dan minitab 14. Analisis data
menggunakan uji ANOVA. Uji lanjut menggunakan uji Least Significant
Difference (LSD) untuk mengetahui kelompok perlakuan yang paling berbeda.
Penentuan konsentrasi efektif LC 50 , LC 90 menggunakan EPA Probit Analysis
Program Versi 1.5.
25

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan ekstrak terbanyak pada pohon bintaro diperoleh dari kulit buah
yaitu sebesar 12,98 % sedangkan kandungan terendah diperoleh dari ekstrak daun
yaitu sebesar 8,46 % (Tabel 1). Banyaknya kandungan ekstrak dalam suatu
bagian pohon tidak berbanding lurus dengan tingkat aktivitasnya, tetapi tingkat
aktivitas lebih ditentukan oleh senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak
tersebut.
Tabel 1. Kandungan ekstraktif dari bagian pohon bintaro

Jenis bahan Kandungan zat ekstraktif


ekstrak Berat (g) Rendemen (%)
Kulit batang 26,54 10,62
Daging buah 25,27 10,11
Kulit buah 32,45 12,98
Daun 21,15 8,46

Hasil Uji Larvasida Ekstrak Kulit Batang, Daging Buah, Kulit Buah,
dan Daun Bintaro

Ekstrak tanaman memiliki potensi sebagai produk untuk pengendalian


nyamuk dan memiliki kelebihan yaitu selektif, lebih mudah diurai menjadi produk
non toksik dan dapat diaplikasikan pada tempat perindukan nyamuk seperti
insektisida komersil (Sukumar et al. 1991). Aktivitas ekstrak terhadap larva
Ae .agypti ditentukan oleh tingkat mortalitas larva setelah terpapar ekstrak yang
diuji pada rentang waktu tertentu. Pada Gambar 17 terlihat perbedaan warna dari
masing-masing bahan ekstrak yang diuji. Warna yang paling pekat terdapat pada
larutan ekstrak daun yaitu berwarna hijau. Larutan ekstrak dari kulit batang
berwarna cokelat dan lebih pekat dari larutan ekstrak kulit buah dan daging buah.
Larutan ekstrak paling bening terdapat pada daging buah. Dari hasil pengamatan
diketahui bahwa kepekatan dan warna larutan tidak mempengaruhi tingkat
mortalitas larva Ae. aegypti. Tingkat mortalitas lebih disebabkan oleh kandungan
bahan aktif yang bersifat toksik dalam larutan ekstrak yang diuji. Dari hasil uji
larvasida diketahui bahwa bahan ekstrak yang diuji memiliki aktivitas yang
berbeda. Hasil uji larvasida pada kulit batang disajikan pada Gambar 18.
26

A B C D

Gambar 17. Perbedaan warna dari bahan ekstrak yang diuji pada kosentrasi 1000
ppm: kulit batang (A), daun (B), daging buah (C), kulit buah (D)

100
Tingkat mortalitas larva (%)

90 5000 ppm
80 4000 ppm
70 3000 ppm
60
50 2000 ppm
40 1000 ppm
30 500 ppm
20
250 ppm
10
0 100 ppm
0 6 12 24 48 50 ppm

Waktu pengamatan (Jam) air + tween 0.5 ml

Gambar 18. Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap esktrak kulit batang

Dari Gambar diatas terlihat bahwa ekstrak metanol kulit batang bintaro
hampir tidak memiliki aktivitas terhadap mortalitas larva Ae. aegypti pada
konsentrasi 1000 ppm ke bawah. Aktivitas larvasida baru terlihat pada konsentrasi
2000 ppm ke atas. Aktivitas tertinggi terjadi pada konsentrasi 5000 ppm dengan
tingkat mortalitas larva sebesar 96,8% pada pengamatan ke-48 jam. Hal ini
mengindikasikan bahwa senyawa yang bersifat toksik terhadap larva hanya sedikit
terkandung dalam kulit bintaro sehingga untuk memberikan tingkat mortalitas
27

larva membutuhkan konsentrasi yang besar. Hal yang sangat berbeda terlihat pada
uji bioassay dari ekstrak daging buah (Gambar 19).

100
Tingkat mortalitas larva (%) 90 5000 ppm
80 4000 ppm
70
3000 ppm
60
50 2000 ppm
40 1000 ppm
30 500 ppm
20 250 ppm
10
100 ppm
0
0 6 12 24 48 50 ppm
Air + tween 0.5 ml
Waktu pengamatan (jam)

Gambar 19. Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap esktrak daging buah

Ekstrak metanol daging buah bintaro memberikan tingkat mortalitas cukup


tinggi terhadap larva Ae. aegypti. Pada konsentrasi 1000 ppm mampu
menyebabkan mortalitas sebesar 87,2 %. Mortalitas 100 % dicapai pada
konsentrasi 3000 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat senyawa aktif yang
bersifat toksik terhadap larva nyamuk Ae. aegypti banyak terkandung dalam buah
bintaro.

100
Tingkat mortalitas larva (%)

90 5000 ppm
80 4000 ppm
70
3000 ppm
60
50 2000 ppm
40 1000 ppm
30 500 ppm
20
250 ppm
10
0 100 ppm
0 6 12 24 48 50 ppm
air + tween 0.5 ml
Waktu pengamatan (jam)

Gambar 20. Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap ekstrak kulit buah
28

Aktivitas larvasida ekstrak metanol kulit buah (Gambar 20) dan daun
(Gambar 21) hampir sama dengan ekstrak metanol kulit batang yaitu
menunjukkan aktivitas yang rendah. Pada ekstrak metanol kulit buah konsentrasi
1000 ppm hanya memberikan rata-rata persentase mortalitas larva sebesar 21,6%
dan pada ekstrak metanol daun bintaro sebesar 13,6 %. Walaupun demikian,
hampir pada semua bahan ekstrak yang diuji memiliki pola yang seragam.
Semakin tinggi konsentrasi maka rata-rata persentase mortalitas larva juga
meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa mortalitas yang lebih tinggi bisa dicapai
oleh ekstrak metanol kulit batang, kulit buah dan daun bintaro dengan konsentrasi
yang tinggi. Menurut Yang et al. (2004) ekstrak Cinnamomum cassia, buah
Illicium verum, buah Zanthoxylum piperitum, dan rimpang Kaempferia pada
konsentrasi 100 ppm menyebabkan mortalitas larva Ae. aegypti > 90%,
sedangkan buah Piper nigrum menyebabkan mortalitas larva Ae. aegypti 100%
pada konsentrasi 5 ppm.

100
Tingkat mortalitas larva (%)

90 5000 ppm
80 4000 ppm
70 3000 ppm
60
50 2000 ppm
40 1000 ppm
30 500 ppm
20
250 ppm
10
0 100 ppm
0 6 12 24 48 50 ppm
Waktu pengamatan (jam) air + tween 0.5 ml

Gambar 21. Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap ekstrak daun

Nilai Lethal Concentration (LC) Ekstrak Kasar Bintaro

Tabel 2 menunjukkan nilai LC 50 dan LC 90 dari kulit batang, daging buah,


kulit buah dan daun bintaro. Nilai LC berkorelasi dengan aktivitas larvasida.
Semakin rendah nilai LC maka semakin tinggi aktivitasnya terhadap mortalitas
larva Ae. aegypti. Dari Tabel 2 terlihat bahwa ekstrak daging buah bintaro
29

memiliki nilai LC 50 dan LC 90 paling rendah dibandingankan dengan ektrak


lainnya. Nilai LC 50 dan LC 90 paling tinggi terdapat pada ekstrak daun. Hal ini
mengindikasikan bahwa ekstrak daging buah bintaro memiliki aktivitas paling
tinggi terhadap mortalitas larva Ae. aegypti sedangkan ekstrak daun memiliki
aktivitas paling rendah.

Tabel 2. Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari ekstrak bintaro pengamatan 24


dan 48 jam
Lethal Concentration
Jenis ekstrak Pengamatan (Jam)
LC 50 (ppm) LC 90 (ppm)
24 3175,7 13840,2
Kulit batang
48 2198,3 9469,3
24 760,6 2364,1
Daging buah
48 517,3 964,8
24 5446,7 38986,2
Kulit buah
48 3056,5 23092,6
24 6901,8 64473,5
Daun
48 4889,6 44252,4

Nilai LC 50 dan LC 90 ekstrak buah bintaro pada pengamatan 24 jam


sebesar 760,6 ppm dan 2364,1 sedangkan pada pengamatan 48 jam sebesar 517,3
ppm dan 964,8 ppm. Ekstrak metanol O. canum, dan ekstrak aseton memiliki nilai
LC 50 sebesar 99.42 ppm, 94.43 ppm dan 81.56 ppm (Kamaraj et al. 2008). Nilai
LC 50 ekstrak metanol M. charantia, T. anguina, Luffa acutangula, Benincasa
cerifera dan Citrullus vulgaris sebesar 465.85 ppm, 567.81 ppm, 839.81 ppm,
1.189,30 ppm dan 1.636,04 ppm (Prabakar dan Jebanesan 2004). Ekstrak metanol
daun Vitex negundo, Vitex trifolia, Vitex peduncularis dan Vitex altissima
memiliki nilai LC 50 sebesar 212.57 ppm, 41.41 ppm, 76.28 ppm dan 128.04 ppm
(Kannathasan et al. 2007 dalam Kamaraj et al. 2008). Ekstrak kasar dengan
pelarut benzene memiliki LC 50 42.76 ppm (Mullai et al. 2008).

Aktivitas Larvasida Fraksi n-Heksan, Etil asetat dan Fraksi Tidak Terlarut

Tahapan fraksinasi dilakukan hanya pada ekstrak yang memiliki aktivitas


paling tinggi terhadap mortalitas larva Ae. aegypti. Dari hasil pengujian diketahui
bahwa ekstrak daging buah bintaro memiliki aktivitas paling tinggi dibandingkan
30

dengan ekstrak kulit batang, kulit buah dan daun. Oleh karena itu tahapan
fraksinasi dilakukan dari ekstrak daging buah. Agar didapatkan rendemen yang
cukup banyak maka kembali dilakukan ekstraksi dengan menggunakan metode
maserasi. 2000 mg serbuk kering daging buah bintaro kemudian diekstraksi dan
dihasilan 210,97 gram ekstrak kering. Kemudian sebanyak 175 gram ekstrak
metanol daging buah dipartisi dengan menggunakan dua pelarut dengan tingkat
kepolaran yang berbeda yaitu pelarut n-heksan (pelarut non polar) dan etil asetat
(semi polar). Hal ini dilakukan untuk memisahkan senyawa yang bersifat non
polar dan semi polar. Dari hasil fraksinasi didapatkan tiga fraksi yaitu fraksi n-
heksan, fraksi etil asetat dan fraksi tidak terlarut. Kandungan zat ekstraktif hasil
partisi disajikan pada Tabel 3. Hasil ekstrak yang diperoleh dipengaruhi oleh sifat
– sifat bahan alam dan bahan yang diekstraksi. Metode ekstraksi padat-cair
menghasilkan ekstraksi yang lebih sempurna (Kristanti et al. 2006). Dari hasil
tahapan fraksinasi diketahui bahwa zat ekstraktif dari daging buah bintaro lebih
banyak terlarut pada pelarut polar.

Tabel 3. Kandungan ekstraktif pada fraksi n-heksan, etil asetat dan fraksi tidak
terlarut
Kandungan zat ekstraktif
Jenis Fraksi Berat(g) Rendemen (%)
Fraksi terlarut n-heksana 45,48 25.99
Fraksi terlarut etil asetat 13,05 7.46
Fraksi tidak terlarut 116,47 66.55

Ekstrak metanol 175

Aktivitas larvasida dari ketiga fraksi yaitu fraksi n-heksan, fraksi etil asetat
dan fraksi tidak terlarut memiliki nilai yang berbeda. Fraksi n-heksan
menyebabkan mortalitas larva 100% pada konsentrasi 1000 ppm sampai dengan
48 jam pengamatan (Tabel 4). Aktivitas tersebut kemudian menurun pada
konsentrasi 500 ppm yaitu sebesar 81,6%. Sedangkan pada konsentrasi 100 ppm
dan 50 ppm menyababkan mortalitas larva di bawah 50%.
31

Tabel 4. Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap fraksi n-heksan, etil
asetat dan fraksi tidak terlarut terhadap mortalitas larva Ae. agypti

% Mortalitas (Rata-rata ± Stdev)


Konsentrasi
Fraksi Waktu pengamatan (jam)
(ppm)
6 12 24 48
50 0,8 ± 1,8 3,2 ± 1,8 5,6 ± 2,2 38 ± 3,6
100 1,6 ± 2,2 5,6 ± 3,6 9,6 ± 2,2 50 ± 5,4
n-Heksan 250 2,4 ± 2,2 11,2 ± 8,2 21 ± 5,2 65 ± 6,6
500 4 ± 2,8 33,6 ± 7,3 61 ± 6,6 82 ± 2,2
1000 10,4 ± 3,6 53,6 ± 7,8 80 ± 8,5 100 ± 0
50 15,2 ± 5,2 16,8 ± 5,2 26 ± 10 70 ± 5,4
100 29,6 ± 9,6 41,6 ± 4,6 73 ± 5,9 89 ± 3,3
Etil asetat 250 84 ± 4 89,6 ± 4,6 100 ± 0 100 ± 0
500 94,4 ± 2,2 97,6 ± 2,2 100 ± 0 100 ± 0
1000 100 ± 0 100 ± 0 100 ± 0 100 ± 0
50 0 ± 0 0,8 ± 1,8 0,8 ± 1,8 1,6 ± 2,2
100 0 ± 0 0,8 ± 1,8 1,6 ± 2,2 2,4 ± 2,2
Tidak
250 0 ± 0 0,8 ± 1,8 1,6 ± 2,2 4,8 ± 3,3
terlarut
500 0,8 ± 1,8 3,2 ± 3,3 4,8 ± 3,3 7,2 ± 3,3
1000 0,8 ± 1,8 3,2 ± 3,3 4,8 ± 3,3 13 ± 3,3

Fraksi etil asetat memiliki aktivitas yang sangat tinggi terhadap larva Ae.
aegypti. Pada konsentrasi 1000 ppm menyebabkan tingkat mortalitas larva 100 %
dalam waktu 1 jam. Pada konsentrasi 500 ppm menyebabkan mortalitas 100 %
selama 6 jam. Pada konsentrasi 250 ppm, mortalitas larva 100% mampu dicapai
sampai dengan 24 jam pengamatan. Aktivitas tersebut kemudian menurun pada
konsentrasi 100 ppm dan 50 ppm yang mencapai 88,8 % dan 69,6%.

Tabel 5. Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) hasil fraksinasi daging buah bintaro

Pengamatan Lethal Concentration


Fraksi
(Jam) LC 50(ppm) LC 90 (ppm)
24 424,4 1772,6
n-Heksan
48 98,4 694,8
24 70,5 135,5
Etil asetat
48 34,6 95,1
24 542049,9 79886688
Tidak terlarut
48 29483,4 1199143,2
32

Nilai LC 50 dan LC 90 fraksi etil asetat paling rendah dibandingkan dengan


fraksi n-heksan dan fraksi tidak terlarut (Tabel 5). Hal ini mengindikasikan bahwa
senyawa yang bersifat toksik terhadap larva Ae. aegypti lebih banyak terkandung
dalam fraksi etil asetat. Fraksi terlarut n-heksan, butanol dan air dari ampas
mimba memiliki efektivitas yang lebih rendah terhadap larva Ae. aegypti
dibanding fraksi terlarut etil asetat (Nicoletti et al. 2010).

Analisis Fitokimia

Analisis fitokimia dilakukan hanya pada daging buah dan hasil


fraksinasinya untuk mengetahui kelompok senyawa yang terkandung dalam
daging buah. Dari hasil analisis fitokimia diketahui bahwa daging buah
mengandung saponin, alkaloid, flavonoid, triterfenoid glikosida dan steroid.
Fraksi n-heksan mengandung saponin, alkaloid, flavonoid, triterfenoid dan
glikosida. Fraksi etil asetat mengandung alkaloid, flavonoid, triterfenoid, steroid
dan glikosida. Hasil penapisan fitokimia secara lengakap disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan senyawa hasil analisis fitokimia pada ekstrak daging buah
bintaro

Kelompok senyawa
Jenis ekstrak
Saponin, alkaloid, flavonoid, triterfenoid
Ekstrak metanol
glikosida, steroid
Saponin, alkaloid, flavonoid, triterfenoid
Fraksi n-hexan
glikosida
Alkaloid, flavonoid, triterfenoid, steroid,
Fraksi etil asetat
glikosida

Penelitian terhadap aktivitas biologi menunjukkan bahwa aktivitas ekstrak


buah terhadap serangga banyak dipengaruhi oleh kandungan alkaloid didalamnya,
seperti halnya Madhuca latifolia dan Calophyllum inophyllum yang memiliki
alkaloid yang bersifat racun (Katade et al. 2006). Triterpenoid yang diperoleh dari
ekstrak metanol daun mimba memiliki aktifitas larvisida seperti halnya senyawa
aktif lain dalam tanaman mimba (Siddiqui et al. 2002). Triterpen dari Junellia
aspera (Gillies ex Hook) (Verbenaceae) yaitu maslinic acid, daucosterol, and 3b-
hydroxy-12abromine-( 28-13)-oxide-oleanane memiliki pengaruh yang tinggi
terhadap mortalitas S. oryzae sedangkan asam oleanolic dan asam oleanonic
33

memiliki pengaruh yang rendah (Pungitorea et al. 2005). Flavonoid merupakan


pelindung dari serangan penyakit dan insektisida yang kuat (Harborne 1987).
Flavonoid merupakan salah satu jenis golongan fenol yang banyak ditemukan
dalam tumbuh – tumbuhan. Flavonoid dapat menimbulkan kelayuan pada saraf
dan kerusakan pada spirakel yang dapat mengakibatkan serangga mati. Saponim
dari ekstrak etil asetat daun A. aspera memiliki aktivitas terhadap larva Ae.
aegypti and Culex quinquefasciatus (Bagavan et al. 2008). Flavonoid pada
Poncirus trifoliate memiliki pengaruh terhadap mortalitas larva Ae. aegypti
(Rajkumar dan Jebanesan 2008).

Aktivitas Larvasida Hasil Kromatografi Kolom

Tahapan kromatografi kolom dilakukan pada fraksi etil asetat karena


fraksi ini memiliki aktivitas larvasida jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan
hasil bioassay fraksi n-heksan dan fraksi tidak terlarut. Pelarut terbaik yang
digunakan pada tahapan kromatografi kolom yaitu kombinasi antara pelarut n-
heksan dan kloroform. Kombinasi kedua pelarut ini menghasilkan pemisahan
senyawa yang paling baik dari fraksi etil asetat. Semua fraksi yang dihasilkan dari
kolom kromatografi diujikan pada konsentrasi yang sama yaitu 1000 ppm. Hasil
uji bioassay dari sub fraksi disajikan pada Tabel 7. Fraksi 1 dan 7 menyebabkan
mortalitas 100% pada pengamatan jam keenam. Fraksi 10 menyebabkan
mortalitas 100% pada pengamatan jam ke-24. Fraksi 6, 7, 8 dan 9 menyebabkan
mortalitas 100% pada pengamatan jam ke-48. Sedangkan fraksi lainnya tidak
menyebabkan mortalitas 100% sampai dengan akhir pengamatan. Hal ini
mengindikasikan bahwa senyawa yang bersifat toksik terhadap larva Ae. aegypti
terkandung dalam fraksi 1, 7 dan 10.
34

Tabel 7. Persentase mortalitas larva Ae. aegypti terhadap sub fraksi hasil
kromatografi kolom

% Mortalitas (Rata-rata ± Stdev)


Sub fraksi Waktu pengamatan (jam)
6 12 24 48
1 100 ± 0 100 ± 0 100 ± 0 100 ± 0
2 35,2 ± 2 50,4 ± 4 72 ± 7 81.6 ± 4
3 35,2 ± 6,8 50,4 ± 4 64 ± 3 82,4 ± 7
4 16 ± 9,5 34,4 ± 5,2 54,4 ± 2 71,2 ± 2
5 13,6 ± 2,3 31,2 ± 5,7 45,6 ± 4 70,4 ± 11
6 25,6 ± 11 49,6 ± 7,3 75,2 ± 3 100 ± 0
7 100 ± 0 100 ± 0 100 ± 0 100 ± 0
8 23,2 ± 8,6 52,8 ± 5,2 86,4 ± 7 100 ± 0
9 20 ± 3,8 61,6 ± 3,8 92 ± 6 100 ± 0
10 47,2 ± 5 64,8 ± 3,3 100 ± 0 100 ± 0

Tabel 8 menyajikan data rendeman dari masing-masing sub fraksi hasil


kromatografi kolom. Rendemen terbesar dihasilkan pada sub fraksi 3 yaitu
sebesar 0,95 %. Walaupun demikian, aktivitas bioassay dari sub fraksi 3 hanya
menyebabkan mortalitas 84% sampai dengan akhir pengamatan. Hal ini
menunjukkan bahwa kandungan senyawa aktif dalam sub fraksi 3 memiliki
aktivitas yang rendah terhadap mortalitas larva Ae. aegypti.

Tabel 8. Rendemen sub fraksi


Sub fraksi Rendemen (%)
fraksi 1 0,218
fraksi 2 0,389
fraksi 3 0,95
fraksi 4 0,301
fraksi 5 0,389
fraksi 6 0,212
fraksi 7 0,478
fraksi 8 0,376
fraksi 9 0,218
Fraksi 10 0,297

Dari hasil KLT diketahui bahwa sub fraksi 1, 7 dan 10 masih memiliki 3
spot. Hal yang sama juga terjadi pada fraksi 5, 6, 8, 9. Hal ini menunjukkan
35

bahwa di dalam fraksi tersebut masih terkandung beberapa senyawa. Prediksi


senyawa tunggal dengan menggunakan KLT didapatkan pada sub fraksi 3.
36
37

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan

1. Daging buah memiliki daya bunuh paling tinggi terhadap larva Ae. aegypti
dibandingkan dengan kulit batang, kulit buah dan daun.
2. Fraksi etil asetat memiliki daya bunuh paling tinggi terhadap larva Ae.
aegypti dibandingkan dengan fraksi n-heksan dan fraksi tidak terlarut
dengan nilai LC 50 34,6 ppm dan LC 90 95,1 ppm.
3. Dari 10 sub fraksi yang dihasilkan dari fraksi etil asetat ekstrak daging
buah diperoleh 3 sub fraksi yang memiliki potensi untuk dikembangkan
yaitu sub fraksi 1, 7 dan 10.

Saran
Perlu penelitian lanjutan untuk mengetahui kandungan senyawa yang
terkandung dalam fraksi 1, 7 dan 10.
38
39

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi SS. 1990. Bahan Pengajaran Kimia Kayu. Bogor : Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat
Antar Universitas Ilmu Hayat IPB.
Ahmad N, Fazal H, Ayaz M, Abbasi BH, Mohammad I, Fazal L. 2011. Dengue
fever treatment with Carica papaya leaves extracts. J Trop Biomed 1: 330-
333.

Astuti EP. 2008. Efektivitas minyak buah Kamandarah (Croton tiglium) dan Jarak
Pagar (Jatropha curcas) sebagai larvasida, anti-oviposisi dan ovisida
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Tesis). Bogor : Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Atawodi SE. 2009. Azadirachta indica (neem): a plant of multiple biological and
pharmacological activities. Phytochem Rev 8:601–620.

Bagavan A, Rahuman AA, Kamaraj C, Geetha K. 2008. Larvicidal activity of


saponin from Achyranthes aspera against Aedes aegypti and Culex
quinquefasciatus (Diptera: Culicidae). Parasitol Res 103 : 223-229

Bates M. 1970. The Natural History of Mosquitoes. New York.

Becker N. 2003. Mosquitoes and Their Control. Kluwer Academic/Plenum


Publishers. New York.

Chang LC, Joell JG, Krishna PL, Lumonadio L, Norman RF, John MP, A.
Douglas K. 2000. Activity-Guided Isolation of Constituents of Cerbera
manghas with Antiproliferative and Antiestrogenic Activities. Bioorganic
& Medicinal Chemistry Letters 10: 2431-2434.

Christopers SSR. 1960. Aedes aegypti (L) The Yellow Fever Mosquito.
Cambridge at University Press. London.

Coria C, W. Almiron, G. Valladares, C. Carpinella, F. Luduen˜a, M. Defago, S.


Palacios. Larvicide and oviposition deterrent effects of fruit and leaf
extracts from Melia azedarach L. on Aedes aegypti (L.) (Diptera:
Culicidae). Bioresource Technology 99: 3066–3070.

(DEPKES). Departemen Kesehatan. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan


Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Ditjen Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan.

(DEPKES). Departemen Kesehatan. 2008. Data jumlah kasus, kematian DBD,


Dati I/II terjangkit dan insiden pertahun di Indonesia tahun 1968-2008.
Depkes RI. Jakarta.
40

Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu : Kimia, Ultrasruktur, Reaksi-reaksi.


Diterjemahkan oleh Hardjono Sastrohamidjojo dengan penyunting
Soenardi Prawirohatmodjo. Yogyakarta : Gajah Mada University press.
Gillard Y, Ananthasankaran, K Fabien B. 2004. Cerbera odollam: a ‘suicide tree’
and cause of death in the state of Kerala, India. J Ethnopharmacology 95:
123–126.

Gubler DJ. 1997. Dengue and Dengue Haemorragic Fever. Dengue Bulletin Vol.
21. US Department of Health and Human Services.

Guenther E. 1988. Minyak Atsiri Jilid I. Penterjemah: S. Ketaren. UI Press:


Jakarta.
Hadi UK, Koesharto FX. 2006. Nyamuk. Dalam: Sigit SH & Upik K. Hadi 2006.
Hama Permukiman Indonesia; Pengenalan, Biologi dan Pengendalian.
UKPHP FKH IPB. Bogor. Hal 23 – 51.

Kamaraj C, Rahuman AA, Bagavan A. 2008. Antifeedant and larvicidal effects of


plant extracts against Spodoptera litura (F.), Aedes aegypti L. and Culex
quinquefasciatus Say. Parasitol Res 103:325–331.

Katade, Puspha VP, Radika DW, Nirmala. 2006. Sterculia guttata seeds
extractive-an affective mosquito larvacidea. Ind J Experimental Biology
44:662-665.

Kompas. 2011. Kasus DBD di Indonesia tertinggi di


ASEAN. http://megapolitan.kompas.com/read/2011/02/19/07163187/Kasu
s.DBD.di.Indonesia.Tertinggi.di.ASEAN [23 September 2012]

Koodalingan A, Periasamy M, Munusamy A. 2009. Antimosquito activity of


aqueous kernel extract of soapnut Sapindus emarginatus: impact on
various developmental stages of three vector mosquito species and
nontarget aquatic insects. Parasitol Res 105:1425–1434.

Kristanti AN, Nanik SA, Mulyadi T, dan Bambang K. 2006. Fitokimia.


Laboratorium Kimia Organik-Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Airlangga

Kristina, Isminah, Leni W. 2004. Kajian kesehatan Demam Berdarah Dengue.


Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan.
Jakarta Indonesia.

Mohammed A, Cadee DD. 2011. Effects of different temperature regimens on the


development of Aedes aegypti (L.) (Diptera: Culicidae) mosquitoes. Acta
Tropica 119 :38–43.
41

Mullai K, Jebanesan A, Pusphanathan T. 2008. Effect of bioactive fractions of


Citrullus vulgaris Schrad. Leaf extract against Anopheles stephensi and
Aedes aegypti. Parasitol Res 102:951–955.

Nicoletti M, Mauro S, Andrea A, Armando DA, dan Susanna M. 2010.Toxic


effects of neem cake extracts on Aedes albopictus (Skuse) larvae.
Parasitol Res 107:89–94

Prabakar K, Jebanesan A. 2004. Larvicidal efficacy of some Cucurbitacious plant


leaf extracts against Culex quinquefasciatus (Say). Bioresour Technol
95(1):113–114.

Promsiri S, Amara N, Maleeya K, Usavadee T. 2006. Evaluations of larvicidal


activity of medicinal plant extractsto Aedes aegypti (Diptera: Culicidae)
and other effects ona non target fish. Insect Science. 13: 179-188.

Pungitorea CR, Garcıa M, Gianelloa JC, Sosab ME, Tonn CE. 2005. Insecticidal
and antifeedant effects of Junellia aspera (Verbenaceae) triterpenes and
derivatives on Sitophilus oryzae (Coleoptera: Curculionidae). J Stored
Products Research 41: 433–443.

Rajkumar S, Jebanesan A. Bioactivity of flavonoid compounds from Poncirus


trifoliataL. (Family: Rutaceae) against the dengue vector, Aedes aegypti L.
(Diptera: Culicidae). Parasitol Res 104:19–25.

Seema, Jain SK. 2005. Molecular Mechanisme of Pathogenesis of Dengue Virus:


Entry and Fusion with Terget Cell. Ind J of Clinical Biochemistry 20(2):
92-103

Siddiqui BS, Afshan F, Faizi S, Naeem UHNS, Tariq RM. 2002. Two new
triterpenoids from Azadirachta indica and their insecticidal activity. J Nat
Prod 65(8):1216–1218

Su T, Mulla MR (1999) Oviposition bioassay responses of Culex tarsalis and


Culex quinquefasciatus to neem products containing azadirachtin. Entomol
Exp Appl 91:337–345.

Subramaniam J, K. Kovendan, K. Murugan, W. Walton. 2012. Mosquito


larvicidal activity of Aloe vera (Family: Liliaceae) leaf extract and
Bacillus sphaericus, against Chikungunya vector, Aedes aegypti. Saudi J
Biological Sciences 19:503-509.

Sukumar K, Perich MJ, Boobar LR (1991). Botanical derivatives in mosquito


control: a review. J Am Mosq Control Assoc 7:210–237

Tarmadi D, Ismayati M, Setiawan KH, Yusuf S. 2010. Antitermite activitiy of


Carbera manghas L seeds extracts. Proceeding of The 7th Pacific Rim
Termite Research Group. Singapura, 1-2 Maret 2010.
42

Tarmadi D, Guswenrivo I, Prianto AH, Yusuf S. 2012. The effect of Cerbera


manghas (Apocynaceae) Seed Extract against Storage Product Pest
Sitophilus oryzae (Coleoptera: Curculionidae). Proceeding of The 2th
International Symposium of Sustainable Humanosphere. Bandung, 29
August 2012.

Utami S. 2010. Aktivitas Insektisida Bintaro (Cerbera odollam Gaertn) Terhadap


Hama Eurema spp. Pada Skala Laboratorium. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman 7: 211-220.

Wang GF, Yue WG, Bo F, Liang L, Cai GH, Bing HJ. 2010. Tanghinigenin from
seeds of Cerbera manghas L. induces apoptosis in human promyelocytic
leukemia HL-60 cells. Environmental Toxicology and Pharmacology 30:
31–36.

[WHO]. World Health Organzation. 2003. Dengue, Dengue haemorrhagic fever


and Dengue shock syndrome in the context of the Integrated management
of childhood illness. Discussion Papers on Child Health.
WHO/FCH/CAH/05.13.

[WHO]. World Health Organzation. 2004. Prevention and control of dengue and
dengue haemorrhagic fever.

[WHO]. World Health Organzation. 2005. Guidelines for laboratory and field
testing of mosquito larvicides. World Healt Organization Communicable
Desease Control, Prevention and Eradication WHO Pesticides Evaluation
Scheme. WHO/CDS/WHOPES/GCDPP/2005.13

[WHO]. World Health Organzation. 2009. Dengue guidelines for diagnosis,


treatment, prevention and control. New edition. A joint publication of the
World Health Organization (WHO) and the Special Programme for
Research and Training in Tropical Diseases (TDR).

Yuliani S dan Rusli S. 2003. Ekstraksi Pestisida Nabati. Bogor : Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat
Zhao Q, Yuewei G, Bo F, Liang L, Caiguo H, Binghua J. 2011. Neriifolin from
seeds of Cerbera manghas L. induces cell cycle arrest and apoptosis in
human hepatocellular carcinoma HepG2 cells. Fitoterapia 82: 735–741.
43

Lampiran 1. Hasil uji ekstrak metanol kulit batang bintaro terhadap mortalitas
larva Ae. aegypti

% Mortalitas
Konsentrasi
Ulangan Waktu pengamatan (jam)
(ppm)
6 12 24 48
1 48 64 88 96
2 40 72 84 96
3 40 68 88 100
5000
4 44 72 88 96
5 44 68 84 96
Rata-rata 43,2 68,8 86,4 96,8
1 36 48 64 92
2 32 48 64 88
3 40 44 60 92
4000
4 32 52 64 84
5 28 40 60 92
Rata-rata 33,6 46,4 62,4 89,6
1 12 24 44 48
2 20 24 40 52
3 12 28 44 52
3000
4 24 28 48 48
5 16 28 44 52
Rata-rata 16,8 26,4 44 50,4
1 4 4 8 16
2 4 12 12 20
3 8 8 16 16
2000
4 4 4 16 20
5 0 8 12 12
Rata-rata 4 7,2 12,8 16,8
1 0 12 12 12
2 0 0 4 12
3 4 4 4 12
1000
4 0 8 8 8
5 0 8 12 16
Rata-rata 0,8 6,4 8 12
1 0 0 8 8
2 0 4 4 4
3 0 4 4 8
500 4 0 0 4 8
5 4 4 8 12

Rata-rata 0,8 2,4 5,6 8


44

1 0 0 0 4
2 0 0 4 4
3 0 0 0 4
250
4 0 0 4 4
5 0 4 4 8
Rata-rata 0 0,8 2,4 4,8
1 0 0 4 4
2 0 0 0 4
3 0 0 0 4
100
4 0 0 4 4
5 0 0 0 0
Rata-rata 0 0 1,6 3,2
1 0 0 0 0
2 0 0 0 0
3 0 0 0 4
50
4 0 4 4 4
5 0 0 4 4
Rata-rata 0 0,8 1,6 2,4
1 0 0 0 0
2 0 0 0 0
Air + tween 3 0 0 0 4
0.5 ml 4 0 0 4 0
5 0 0 0 0
Rata-rata 0 0 0,8 0,8
45

Lampiran 2. Hasil uji ekstrak metanol daging buah bintaro terhadap mortalitas
larva Ae. aegypti

% Mortalitas
Konsentrasi
Ulangan Waktu pengamatan (jam)
(ppm)
6 12 24 48
1 100 100 100 100
2 100 100 100 100
3 100 100 100 100
5000
4 100 100 100 100
5 96 100 100 100
Rat-rata 99,2 100 100 100
1 92 100 100 100
2 92 100 100 100
3 92 100 100 100
4000
4 96 100 100 100
5 92 100 100 100
Rata-rata 92,8 100 100 100
1 80 96 100 100
2 76 92 100 100
3 80 92 100 100
3000
4 76 96 100 100
5 76 92 100 100
Rata-rata 77,6 93,6 100 100
1 52 56 68 100
2 48 60 72 100
3 56 60 68 96
2000
4 52 64 76 100
5 48 60 76 92
Rata-rata 51,2 60 72 97,6
1 12 12 60 96
2 24 56 72 88
3 32 32 72 88
1000
4 24 40 64 84
5 16 40 68 80
Rata-rata 21,6 36 67,2 87,2
1 4 12 24 36
2 8 4 36 36
3 12 12 16 28
500 4 4 16 20 28
5 4 12 32 40

Rata-rata 6,4 11,2 25,6 33,6


46

1 0 4 12 12
2 0 8 8 8
3 0 4 4 8
250
4 4 4 4 4
5 4 8 8 8
Rata-rata 1,6 5,6 7,2 8
1 4 4 4 8
2 4 4 4 4
3 0 0 4 4
100
4 0 4 4 8
5 0 0 0 8
Rata-rata 1,6 2,4 3,2 6,4
1 0 0 0 8
2 0 4 4 4
3 0 0 0 4
50
4 0 0 0 4
5 4 4 4 4
Rata-rata 0,8 1,6 1,6 4,8
1 0 0 0 0
2 0 0 0 0
air + tween 3 0 0 0 4
0.5 ml 4 0 0 4 0
5 0 0 0 0
Rata-rata 0 0 0,8 0,8
47

Lampiran 3. Hasil uji ekstrak metanol kulit buah bintaro terhadap mortalitas larva
Ae. aegypti

% Mortalitas
Konsentrasi
Ulangan Waktu pengamatan (jam)
(ppm)
6 12 24 48
1 28 44 56 72
2 28 40 56 76
3 24 40 60 80
5000
4 24 44 60 80
5 24 40 56 72
Rata-rata 25,6 41,6 57,6 76
1 24 40 56 60
2 20 44 48 56
3 24 40 48 60
4000
4 16 36 44 56
5 12 40 44 56
Rata-rata 19,2 40 48 57,6
1 12 20 24 44
2 16 16 28 44
3 8 16 24 48
3000
4 12 16 24 44
5 12 20 28 40
Rata-rata 12 17,6 25,6 44
1 4 8 24 32
2 8 12 16 36
3 4 16 20 36
2000
4 8 12 16 28
5 8 12 16 28
Rata-rata 6,4 12 18,4 32
1 4 4 12 20
2 0 4 16 20
3 0 0 8 24
1000
4 0 4 12 24
5 0 0 16 20
Rata-rata 0,8 2,4 12,8 21,6
1 0 4 4 12
2 4 4 8 12
3 0 4 4 4
500 4 0 0 4 8
5 0 0 4 8

Rata-rata 0,8 2,4 4,8 8,8


48

1 0 0 4 8
2 0 0 0 0
3 0 0 4 4
250
4 0 0 4 8
5 0 0 0 4
Rata-rata 0 0 2,4 4,8
1 0 0 0 0
2 0 0 4 4
3 0 0 0 4
100
4 0 0 4 4
5 0 0 0 4
Rata-rata 0 0 1,6 3,2
1 0 0 0 4
2 0 0 0 0
3 0 0 0 0
50
4 0 0 0 4
5 0 0 0 4
Rata-rata 0 0 0 2,4
1 0 0 0 0
2 0 0 0 0
Air + tween 3 0 0 0 4
0.5 ml 4 0 0 4 0
5 0 0 0 0
Rata-rata 0 0 0,8 0,8
49

Lampiran 4. Hasil uji ekstrak metanol daun bintaro terhadap mortalitas larva Ae.
aegypti

% Mortalitas
Konsentrasi
Ulangan Waktu pengamatan (jam)
(ppm)
6 12 24 48
1 20 24 48 60
2 28 32 48 56
3 20 28 56 64
5000
4 20 28 60 64
5 16 20 48 56
Rata-rata 20,8 26,4 52 60
1 12 20 40 52
2 8 12 40 48
3 12 16 44 44
4000
4 12 20 40 48
5 12 16 44 44
Rata-rata 11,2 16,8 41,6 47,2
1 4 12 24 32
2 8 12 24 32
3 4 16 28 36
3000
4 8 12 28 40
5 12 12 32 40
Rata-rata 7,2 12,8 27,2 36
1 4 12 20 20
2 0 8 16 24
3 8 8 20 24
2000
4 8 8 20 28
5 8 12 16 28
Rata-rata 5,6 9,6 18,4 24,8
1 0 8 8 8
2 0 4 8 16
3 4 8 12 16
1000
4 0 4 4 12
5 8 8 12 16
Rata-rata 2,4 6,4 8,8 13,6
1 0 0 4 12
2 0 0 4 8
3 0 8 8 8
500 4 4 4 4 4
5 0 0 0 4

Rata-rata 0,8 2,4 4 7,2


50

1 0 0 0 0
2 0 0 4 4
3 0 4 4 8
250
4 0 0 4 4
5 4 4 4 0
Rata-rata 0,8 1,6 3,2 3,2
1 0 0 4 4
2 0 4 4 4
3 0 0 0 0
100
4 0 0 0 0
5 0 0 8 8
Rata-rata 0 0,8 3,2 3,2
1 0 0 0 0
2 0 0 0 0
3 0 0 0 0
50
4 0 4 4 4
5 0 0 0 4
Rata-rata 0 0,8 0,8 1,6
1 0 0 0 0
2 0 0 0 0
Air + tween 3 0 0 0 4
0.5 ml 4 0 0 4 0
5 0 0 0 0
Rata-rata 0 0 0,8 0,8
51

Lampiran 5. Hasil uji fraksi n-heksan terhadap mortalitas larva Ae. aegypti

% Mortalitas
Konsentrasi
Ulangan Waktu pengamatan (jam)
(ppm)
6 12 24 48
1 16 40 76 100
2 8 56 88 100
3 12 56 68 100
1000
4 8 60 80 100
5 8 56 88 100
Rata-rata 10,4 53,6 80 100
1 4 28 64 80
2 4 40 56 80
3 0 40 64 84
500
4 8 24 52 80
5 4 36 68 84
Rata-rata 4 33,6 60,8 81,6
1 4 4 16 60
2 4 20 24 68
3 0 20 20 68
250
4 0 8 16 56
5 4 4 28 72
Rata-rata 2,4 11,2 20,8 64,8
1 4 4 12 44
2 0 8 8 52
3 4 8 8 56
100
4 0 0 8 52
5 0 8 12 44
Rata-rata 1,6 5,6 9,6 49,6
1 0 4 8 36
2 0 0 8 40
3 4 4 4 44
50
4 0 4 4 36
5 0 4 4 36
Rata-rata 0,8 3,2 5,6 38,4
1 0 0 0 0
2 0 0 0 4
Air + 3 0 0 0 0
tween 4 0 0 0 0
5 0 0 0 4
Rata-rata 0 0 0 1,6
52

Lampiran 6. Hasil uji fraksi etil asetat terhadap mortalitas larva Ae. aegypti

% Mortalitas
Konsentrasi
Ulangan Waktu pengamatan (jam)
(ppm)
6 12 24 48
1 100 100 100 100
2 100 100 100 100
3 100 100 100 100
1000
4 100 100 100 100
5 100 100 100 100
Rata-rata 100 100 100 100
1 96 100 100 100
2 96 96 100 100
3 92 96 100 100
500
4 96 100 100 100
5 92 96 100 100
Rata-rata 94,4 97,6 100 100
1 80 92 100 100
2 88 88 100 100
3 80 84 100 100
250
4 88 96 100 100
5 84 88 100 100
Rata-rata 84 89,6 100 100
1 24 36 64 88
2 20 40 80 92
3 24 40 72 92
100
4 40 44 76 88
5 40 48 72 84
Rata-rata 29,6 41,6 72,8 88,8
1 12 12 12 64
2 12 16 36 72
3 24 24 36 72
50
4 16 20 24 76
5 12 12 24 64
Rata-rata 15,2 16,8 26,4 69,6
1 0 0 0 0
2 0 0 0 4
Air + 3 0 0 0 0
tween 4 0 0 0 0
5 0 0 0 4
Rata-rata 0 0 0 1,6
53

Lampiran 7. Hasil uji fraksi tidak terlarut terhadap mortalitas larva Ae. aegypti

% Mortalitas
Konsentrasi
Ulangan Waktu pengamatan (jam)
(ppm)
6 12 24 48
1 0 4 4 8
2 0 0 4 12
3 4 4 8 16
1000
4 0 8 8 16
5 0 0 0 12
Rata-rata 0,8 3,2 4,8 12,8
1 4 4 8 8
2 0 4 4 8
3 0 8 8 12
500
4 0 0 4 4
5 0 0 0 4
Rata-rata 0,8 3,2 4,8 7,2
1 0 4 4 8
2 0 0 4 8
3 0 0 0 4
250
4 0 0 0 0
5 0 0 0 4
Rata-rata 0 0,8 1,6 4,8
1 0 0 0 0
2 0 0 4 4
3 0 4 4 4
100
4 0 0 0 4
5 0 0 0 0
Rata-rata 0 0,8 1,6 2,4
1 0 0 0 4
2 0 4 4 4
3 0 0 0 0
50
4 0 0 0 0
5 0 0 0 0
Rata-rata 0 0,8 0,8 1,6
1 0 0 0 0
2 0 0 0 4
Air + 3 0 0 0 0
tween 4 0 0 0 0
5 0 0 0 4
Rata-rata 0 0 0 1,6
54
55

Lampiran 8. Hasil uji sub fraksi hasil kromatografi kolom terhadap mortalitas
larva Ae. aegypti

% Mortalitas
Sub
Ulangan Waktu pengamatan (jam)
fraksi
6 12 24 48
1 100 100 100 100
2 100 100 100 100
3 100 100 100 100
1
4 100 100 100 100
5 100 100 100 100
Rata-rata 100 100 100 100
1 36 52 72 80
2 36 52 80 88
3 32 44 72 80
2
4 36 52 64 80
5 36 52 72 80
Rata-rata 35,2 50,4 72 81,6
1 28 52 60 88
2 32 44 68 92
3 36 52 64 76
3
4 44 52 64 80
5 36 52 64 76
Rata-rata 35,2 50,4 64 82,4
1 12 32 52 72
2 8 36 56 72
3 28 40 52 68
4
4 24 28 56 72
5 8 36 56 72
Rata-rata 16 34,4 54,4 71,2
1 12 28 44 72
2 16 28 52 64
3 12 32 44 60
5
4 16 40 44 84
5 12 28 44 72
Rata-rata 13,6 31,2 45,6 70,4
1 40 52 80 100
2 32 40 76 100
3 20 56 72 100
6 4 16 44 76 100
5 20 56 72 100

Rata-rata 25,6 49,6 75,2 100


56

1 100 100 100 100


2 100 100 100 100
3 100 100 100 100
7
4 100 100 100 100
5 100 100 100 100
Rata-rata 100 100 100 100
1 36 56 88 100
2 16 60 92 100
3 20 48 88 100
8
4 24 52 76 100
5 20 48 88 100
Rata-rata 23,2 52,8 86,4 100
1 24 64 88 100
2 16 60 100 100
3 20 56 88 100
9
4 16 64 96 100
5 24 64 88 100
Rata-rata 20 61,6 92 100
1 48 64 100 100
2 40 64 100 100
3 48 68 100 100
10
4 52 60 100 100
5 48 68 100 100
Rata-rata 47,2 64,8 100 100
57

Lampiran 9. Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari ekstrak kulit batang pada
pengamatan 24 jam

EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LC/EC


VALUES Version 1.5

Proportion
Observed Responding Predicted
Number Number Proportion Adjusted for Proportion
Conc. Exposed Resp. Responding Controls Responding

50 125 2 0.0160 0.0160 0.0002


100 125 2 0.0160 0.0160 0.0013
250 125 3 0.0240 0.0240 0.0134
500 125 7 0.0560 0.0560 0.0537
1000 125 10 0.0800 0.0800 0.1572
2000 125 16 0.1280 0.1280 0.3436
3000 125 55 0.4400 0.4400 0.4802
4000 125 78 0.6240 0.6240 0.5796
5000 125 108 0.8640 0.8640 0.6536

Chi - Square for Heterogeneity (calculated) = 288.003


Chi - Square for Heterogeneity
(tabular value at 0.05 level) = 14.067
Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits
---------------------------------------------------------------------
Intercept -2.020353 3.092566 ( -9.334270, 5.293565)
Slope 2.004749 0.917746 ( -0.165721, 4.175219)

Theoretical Spontaneous Response Rate = 0.0000


Estimated LC/EC Values and Confidence Limits

Exposure 95% Confidence Limits


Point Conc. Lower Upper

LC/EC 1.00 219.516


LC/EC 5.00 480.131
LC/EC 10.00 728.752
LC/EC 15.00 965.804
LC/EC 50.00 3175.862
LC/EC 85.00 10443.213
LC/EC 90.00 13840.246
LC/EC 95.00 21006.969
LC/EC 99.00 45946.953
58

Lampiran 10. Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari ekstrak kulit batang bintaro
pada pengamatan 48 jam

EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LC/EC


VALUES Version 1.5

Proportion
Observed Responding Predicted
Number Number Proportion Adjusted for Proportion
Conc. Exposed Resp. Responding Controls Responding

50 125 3 0.0240 0.0240 0.0004


100 125 4 0.0320 0.0320 0.0033
250 125 6 0.0480 0.0480 0.0282
500 125 10 0.0800 0.0800 0.0969
1000 125 15 0.1200 0.1200 0.2447
2000 125 21 0.1680 0.1680 0.4669
3000 125 63 0.5040 0.5040 0.6075
4000 125 112 0.8960 0.8960 0.7003
5000 125 121 0.9680 0.9680 0.7646

Chi - Square for Heterogeneity (calculated) = 299.673


Chi - Square for Heterogeneity
(tabular value at 0.05 level) = 14.067
Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits
---------------------------------------------------------------------
Intercept -1.753340 2.697439 ( -8.132782, 4.626102)
Slope 2.020699 0.815716 ( 0.091530, 3.949867)

Theoretical Spontaneous Response Rate = 0.0000

Estimated LC/EC Values and Confidence Limits

Exposure 95% Confidence Limits


Point Conc. Lower Upper
LC/EC 1.00 155.184 0.000 617.138
LC/EC 5.00 337.331 0.000 981.502
LC/EC 10.00 510.324 0.000 1296.862
LC/EC 15.00 674.823 0.000 1610.845
LC/EC 50.00 2198.274 351.504 216150.563
LC/EC 85.00 7161.002 2827.075 % 103452716.197E+08
LC/EC 90.00 9469.300 3427.281 % 469996195.873E+10
LC/EC 95.00 14325.406 4446.283 % 100000002.004E+12
LC/EC 99.00 31139.928 6970.928 % 100000002.004E+12
59

Lampiran 11. Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari ekstrak daging buah bintaro
pada pengamatan 24 jam

EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LC/EC


VALUE Version 1.5

Proportion
Observed Responding Predicted
Number Number Proportion Adjusted for Proportion
Conc. Exposed Resp. Responding Controls Responding

50 125 2 0.0160 0.0160 0.0010


100 125 4 0.0320 0.0320 0.0109
250 125 9 0.0720 0.0720 0.1043
500 125 32 0.2560 0.2560 0.3177
1000 125 84 0.6720 0.6720 0.6214
2000 125 90 0.7200 0.7200 0.8627
3000 125 125 1.0000 1.0000 0.9395
4000 125 125 1.0000 1.0000 0.9697
5000 125 125 1.0000 1.0000 0.9833

Chi - Square for Heterogeneity (calculated) = 72.366


Chi - Square for Heterogeneity
(tabular value at 0.05 level) = 14.067
Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits
---------------------------------------------------------------------
Intercept -2.497658 1.248893 ( -5.451290, 0.455974)
Slope 2.602293 0.415565 ( 1.619481, 3.585105)

Estimated LC/EC Values and Confidence Limits

Exposure 95% Confidence Limits


Point Conc. Lower Upper

LC/EC 1.00 97.103 22.594 195.940


LC/EC 5.00 177.450 58.037 311.329
LC/EC 10.00 244.729 95.273 401.445
LC/EC 15.00 304.025 132.481 478.898
LC/EC 50.00 760.630 483.954 1113.359
LC/EC 85.00 1902.995 1283.928 3564.028
LC/EC 90.00 2364.080 1552.609 4889.002
LC/EC 95.00 3260.393 2028.699 7920.128
LC/EC 99.00 5958.212 3265.575 20081.973
60

Lampiran 12. Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari ekstrak daging buah bintaro
pada pengamatan 48 jam

EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LC/EC


VALUES Version 1.5

Proportion
Observed Responding Predicted
Number Number Proportion Adjusted for Proportion
Conc. Exposed Resp. Responding Controls Responding

50 125 6 0.0480 0.0480 0.0039


100 125 8 0.0640 0.0640 0.0308
250 125 10 0.0800 0.0800 0.2041
500 125 42 0.3360 0.3360 0.4846
1000 125 109 0.8720 0.8720 0.7733
2000 125 116 0.9280 0.9280 0.9380
3000 125 125 1.0000 1.0000 0.9772
4000 125 125 1.0000 1.0000 0.9900
5000 125 125 1.0000 1.0000 0.9951

Chi - Square for Heterogeneity (calculated) = 101.397


Chi - Square for Heterogeneity
(tabular value at 0.05 level) = 14.067

Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits


---------------------------------------------------------------------
Intercept -2.106886 1.423770 ( -5.474102, 1.260329)
Slope 2.618889 0.503403 ( 1.428341, 3.809437)

Estimated LC/EC Values and Confidence Limits

Exposure 95% Confidence Limits


Point Conc. Lower Upper

LC/EC 1.00 66.900 9.428 148.601


LC/EC 5.00 121.790 27.359 231.874
LC/EC 10.00 167.624 47.816 296.826
LC/EC 15.00 207.952 69.249 352.933
LC/EC 50.00 517.253 290.375 837.160
LC/EC 85.00 1286.599 799.313 3024.883
LC/EC 90.00 1596.139 964.799 4315.418
LC/EC 95.00 2196.815 1253.202 7432.889
LC/EC 99.00 3999.267 1983.600 21264.414
61

Lampiran 13. Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari ekstrak kulit buah bintaro
pada pengamatan 24 jam

EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LC/EC


VALUES Version 1.5

Proportion
Observed Responding Predicted
Number Number Proportion Adjusted for Proportion
Conc. Exposed Resp. Responding Controls Responding

50.0000 125 1 0.0080 0.0080 0.0011


100.0000 125 2 0.0160 0.0160 0.0046
250.0000 125 3 0.0240 0.0240 0.0224
500.0000 125 6 0.0480 0.0480 0.0600
1000.0000 125 16 0.1280 0.1280 0.1349
2000.0000 125 23 0.1840 0.1840 0.2571
3000.0000 125 32 0.2560 0.2560 0.3489
4000.0000 125 60 0.4800 0.4800 0.4203
5000.0000 125 72 0.5760 0.5760 0.4778

Chi - Square for Heterogeneity (calculated) = 24.041


Chi - Square for Heterogeneity
(tabular value at 0.05 level) = 14.067

Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits


---------------------------------------------------------------------
Intercept -0.601730 0.780452 ( -2.447499, 1.244039)
Slope 1.499339 0.232900 ( 0.948530, 2.050148)

Estimated LC/EC Values and Confidence Limits

Exposure 95% Confidence Limits


Point Conc. Lower Upper

LC/EC 1.00 152.962 31.358 328.203


LC/EC 5.00 435.562 158.550 729.570
LC/EC 10.00 760.951 368.336 1140.804
LC/EC 15.00 1108.908 636.662 1576.349
LC/EC 50.00 5446.705 3686.016 10793.614
LC/EC 85.00 26752.969 12780.458 123407.352
LC/EC 90.00 38986.199 16954.771 222178.781
LC/EC 95.00 68111.055 25701.861 532415.438
LC/EC 99.00 193947.828 55794.891 2756525.250
62

Lampiran 14. Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari ekstrak kulit buah bintaro
pada pengamatan 48 jam

EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LC/EC


VALUES Version 1.5

Proportion
Observed Responding Predicted
Number Number Proportion Adjusted for Proportion
Conc. Exposed Resp. Responding Controls Responding

50 125 3 0.0240 0.0240 0.0046


100 125 4 0.0320 0.0320 0.0151
250 125 6 0.0480 0.0480 0.0563
500 125 11 0.0880 0.0880 0.1256
1000 125 27 0.2160 0.2160 0.2395
2000 125 40 0.3200 0.3200 0.3940
3000 125 55 0.4400 0.4400 0.4953
4000 125 72 0.5760 0.5760 0.5677
5000 125 95 0.7600 0.7600 0.6224

Chi - Square for Heterogeneity (calculated) = 29.410


Chi - Square for Heterogeneity
(tabular value at 0.05 level) = 14.067

Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits


---------------------------------------------------------------------
Intercept -0.085848 0.666006 ( -1.660952, 1.489255)
Slope 1.459262 0.203881 ( 0.977084, 1.941439)

Estimated LC/EC Values and Confidence Limits

Exposure 95% Confidence Limits


Point Conc. Lower Upper

LC/EC 1.00 77.814 15.953 177.872


LC/EC 5.00 228.037 77.236 410.668
LC/EC 10.00 404.546 176.596 650.548
LC/EC 15.00 595.659 304.848 898.312
LC/EC 50.00 3056.470 2135.527 5041.308
LC/EC 85.00 15683.472 8351.190 50680.082
LC/EC 90.00 23092.580 11294.374 89324.906
LC/EC 95.00 40966.977 17585.061 207797.500
LC/EC 99.00 120055.602 40015.582 1020735.063
63

Lampiran 15. Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari ekstrak daun bintaro
pada pengamatan 24 jam

EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LC/EC


VALUES Version 1.5

Proportion
Observed Responding Predicted
Number Number Proportion Adjusted for Proportion
Conc. Exposed Resp. Responding Controls Responding

50 125 1 0.0080 0.0080 0.0024


100 125 4 0.0320 0.0320 0.0076
250 125 4 0.0320 0.0320 0.0285
500 125 5 0.0400 0.0400 0.0661
1000 125 11 0.0880 0.0880 0.1339
2000 125 23 0.1840 0.1840 0.2387
3000 125 34 0.2720 0.2720 0.3164
4000 125 52 0.4160 0.4160 0.3772
5000 125 65 0.5200 0.5200 0.4267

Chi - Square for Heterogeneity (calculated) = 23.765


Chi - Square for Heterogeneity
(tabular value at 0.05 level) = 14.067
Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits
---------------------------------------------------------------------
Intercept -0.069990 0.714805 ( -1.760503, 1.620523)
Slope 1.320667 0.214666 ( 0.812983, 1.828351)

Estimated LC/EC Values and Confidence Limits

Exposure 95% Confidence Limits


Point Conc. Lower Upper

LC/EC 1.00 119.537 19.266 278.831


LC/EC 5.00 392.152 127.320 685.616
LC/EC 10.00 738.828 338.318 1140.852
LC/EC 15.00 1132.940 633.338 1662.011
LC/EC 50.00 6901.795 4287.311 17050.875
LC/EC 85.00 42045.238 17027.191 298159.844
LC/EC 90.00 64473.465 23351.549 592915.875
LC/EC 95.00 121469.945 37190.391 1646089.875
LC/EC 99.00 398492.781 88587.203 11229149.000
64

Lampiran 16. Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari ekstrak daun bintaro
pada pengamatan 48 jam

EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LC/EC


VALUES Version 1.5

Proportion
Observed Responding Predicted
Number Number Proportion Adjusted for Proportion
Conc. Exposed Resp. Responding Controls Responding

50 125 2 0.0160 0.0160 0.0038


100 125 4 0.0320 0.0320 0.0118
250 125 4 0.0320 0.0320 0.0418
500 125 9 0.0720 0.0720 0.0923
1000 125 17 0.1360 0.1360 0.1779
2000 125 31 0.2480 0.2480 0.3015
3000 125 45 0.3600 0.3600 0.3881
4000 125 59 0.4720 0.4720 0.4535
5000 125 75 0.6000 0.6000 0.5052

Chi - Square for Heterogeneity (calculated) = 18.403


Chi - Square for Heterogeneity
(tabular value at 0.05 level) = 14.067
Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits
---------------------------------------------------------------------
Intercept 0.057620 0.563066 (-1.274031, 1.389271)
Slope 1.339661 0.170775 (0.935778, 1.743544)

Estimated LC/EC Values and Confidence Limits

Exposure 95% Confidence Limits


Point Conc. Lower Upper

LC/EC 1.00 89.700 23.082 190.399


LC/EC 5.00 289.353 119.827 482.343
LC/EC 10.00 540.278 283.314 805.831
LC/EC 15.00 823.471 497.683 1159.364
LC/EC 50.00 4889.641 3403.243 8535.508
LC/EC 85.00 29033.902 14489.302 100930.875
LC/EC 90.00 44252.414 20174.240 183204.297
LC/EC 95.00 82627.523 32853.707 444375.281
LC/EC 99.00 266539.281 81578.961 2353610.750
65

Lampiran 17. Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) dari fraksi n-heksan pada
pengamatan 24 jam

EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LC/EC


VALUES Version 1.5

Proportion
Observed Responding Predicted
Number Number Proportion Adjusted for Proportion
Conc. Exposed Resp. Responding Controls Responding

50 125 7 0.0560 0.0560 0.0276


100 125 12 0.0960 0.0960 0.0975
250 125 26 0.2080 0.2080 0.3175
500 125 76 0.6080 0.6080 0.5584
1000 125 100 0.8000 0.8000 0.7789

Chi - Square for Heterogeneity (calculated) = 12.261


Chi - Square for Heterogeneity
(tabular value at 0.05 level) = 7.815

Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits


---------------------------------------------------------------------
Intercept -0.424997 0.790159 (-2.939283, 2.089289)
Slope 2.064451 0.310459 ( 1.076571, 3.052330)

Estimated LC/EC Values and Confidence Limits

Exposure 95% Confidence Limits


Point Conc. Lower Upper

LC/EC 1.00 31.694 3.431 73.157


LC/EC 5.00 67.771 14.223 126.734
LC/EC 10.00 101.630 29.900 172.466
LC/EC 15.00 133.596 48.767 214.954
LC/EC 50.00 424.440 273.506 768.660
LC/EC 85.00 1348.460 750.451 5618.353
LC/EC 90.00 1772.600 919.868 9317.473
LC/EC 95.00 2658.212 1233.875 19871.740
LC/EC 99.00 5683.992 2110.715 83416.742
66

Lampiran 18. Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) fraksi n-heksan pada pengamatan
48 jam

EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LC/EC


VALUES Version 1.5

Proportion
Observed Responding Predicted
Number Number Proportion Adjusted for Proportion
Conc. Exposed Resp. Responding Controls Responding

50 125 48 0.3840 0.3840 0.3286


100 125 62 0.4960 0.4960 0.5043
250 125 81 0.6480 0.6480 0.7295
500 125 102 0.8160 0.8160 0.8568
1000 125 125 1.0000 1.0000 0.9358

Chi - Square for Heterogeneity (calculated) = 16.255


Chi - Square for Heterogeneity
(tabular value at 0.05 level) = 7.815

Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits


---------------------------------------------------------------------
Intercept 1.991367 0.698513 (-0.231300, 4.214035)
Slope 1.509650 0.305884 ( 0.536329, 2.482972)

Estimated LC/EC Values and Confidence Limits

Exposure 95% Confidence Limits


Point Conc. Lower Upper

LC/EC 1.00 2.831 0.001 15.391


LC/EC 5.00 8.005 0.027 29.698
LC/EC 10.00 13.931 0.125 42.505
LC/EC 15.00 20.250 0.351 54.459
LC/EC 50.00 98.386 22.813 187.620
LC/EC 85.00 478.024 242.674 3946.695
LC/EC 90.00 694.819 325.368 10588.098
LC/EC 95.00 1209.271 482.520 47574.777
LC/EC 99.00 3418.902 957.837 840464.813
67

Lampiran 19. Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) fraksi etil asetat pada
pengamatan 24 jam

EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LC/EC


VALUES Version 1.5

Proportion
Observed Responding Predicted
Number Number Proportion Adjusted for Proportion
Conc. Exposed Resp. Responding Controls Responding

50 125 33 0.2640 0.2640 0.2494


100 125 91 0.7280 0.7280 0.7535
250 125 125 1.0000 1.0000 0.9935
500 125 125 1.0000 1.0000 0.9999
1000 125 125 1.0000 1.0000 1.0000

Chi - Square for Heterogeneity (calculated) = 1.400


Chi - Square for Heterogeneity
(tabular value at 0.05 level) = 7.815

Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits


---------------------------------------------------------------------
Intercept -3.362164 0.845128 (-5.018616, -1.705713)
Slope 4.523815 0.448504 ( 3.644747, 5.402884)

Estimated LC/EC Values and Confidence Limits

Exposure 95% Confidence Limits


Point Conc. Lower Upper

LC/EC 1.00 21.589 15.764 26.816


LC/EC 5.00 30.540 24.123 36.032
LC/EC 10.00 36.743 30.215 42.249
LC/EC 15.00 41.627 35.133 47.096
LC/EC 50.00 70.547 64.540 76.745
LC/EC 85.00 119.557 107.202 138.309
LC/EC 90.00 135.449 119.677 160.584
LC/EC 95.00 162.962 140.513 200.870
LC/EC 99.00 230.521 189.037 307.013
68

Lampiran 20. Nilai LC 50 (ppm) dan LC 90 (ppm) fraksi etil asetat pada
pengamatan 48 jam

EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LC/EC


VALUES Version 1.5

Proportion
Observed Responding Predicted
Number Number Proportion Adjusted for Proportion
Conc. Exposed Resp. Responding Controls Responding

50 125 87 0.6960 0.6960 0.6800


100 125 111 0.8880 0.8880 0.9107
250 125 125 1.0000 1.0000 0.9939
500 125 125 1.0000 1.0000 0.9996
1000 125 125 1.0000 1.0000 1.0000

Chi - Square for Heterogeneity (calculated) = 1.754


Chi - Square for Heterogeneity
(tabular value at 0.05 level) = 7.815

Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits


---------------------------------------------------------------------
Intercept 0.516928 0.838041 (-1.125633, 2.159489)
Slope 2.914033 0.452691 ( 2.026758, 3.801308)

Estimated LC/EC Values and Confidence Limits

Exposure 95% Confidence Limits


Point Conc. Lower Upper

LC/EC 1.00 5.497 1.790 10.057


LC/EC 5.00 9.418 3.870 15.248
LC/EC 10.00 12.550 5.832 19.052
LC/EC 15.00 15.233 7.687 22.154
LC/EC 50.00 34.550 24.411 42.425
LC/EC 85.00 78.361 68.036 92.569
LC/EC 90.00 95.114 81.855 117.936
LC/EC 95.00 126.741 104.859 173.345
LC/EC 99.00 217.146 161.755 368.224

You might also like