Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Kti Agnes

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 46

KARYA TULIS ILMIAH

PERBANDINGAN JUMLAH DAN KERAGAMAN TELUR


CACING SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH)
MENGGUNAKAN METODE SEDIMENTASI
REAGENSIA NaOH 0,2 % DAN NaCl 0,9%

AGNES JUNITA SIHITE


P07534016002

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKEN RI MEDAN


JURUSAN ANALIS KESEHATAN
TAHUN 2019
KARYA TULIS ILMIAH

PERBANDINGAN JUMLAH DAN KERAGAMAN TELUR


CACING SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH)
MENGGUNAKAN METODE SEDIMENTASI
REAGENSIA NaOH 0,2 % DAN NaCl 0,9%

Sebagai Syarat Menyelesaikan Pendidikan Program Studi Diploma III


Jurusan Analis Kesehatan

AGNES JUNITA SIHITE


P07534016002

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKEN RI MEDAN


JURUSAN ANALIS KESEHATAN
TAHUN 2019
PERNYATAAN

PERBANDINGAN JUMLAH DAN KERAGAMAN TELUR


CACING SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH)
MENGGUNAKAN METODE SEDIMENTASI
REAGENSIA NaOH 0,2 % DAN NaCl 0,9%

Dengan ini saya menyatakan bahwa karya tulis ilmiah ini tidak
terdapat karya yang pernah diajukan untuk disuatu perguruaan tinggi dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebut dalam Daftar Pustaka.

Medan, Juni 2019

Agnes Junita Sihite


P07534016002
POLYTECHNIC HEALTH MINISTRY OF HEALTH MEDAN
DEPARTMENT OF HEALTH ANALIST
SCIENTIFIC PAPER, 28 June 2019

AGNES JUNITA SIHITE

COMPARISON AND DIVERSITY OF EGG SOIL TRANSMITTED


HELMINTH (STH) USE SEDIMENTATION METHOD NaOH 0,2 % AND
NaCl 0,9%

viii + 26 pages, 2 Tables, 6 Attachments


ABSTRACT
Various intestinal worms are still a public health problem and often found
both ini cities and village in Indonesia, it can causes anemia, nutrition disorders,
growth disorders and intelligence disorders. It also drives the right choice of
method to determine the status of Helminthiasis. The Helminthiasis status is
confirm by finding Helminth’s eggs from faeces. The examination of Helminth’s
eggs are often tu use by flotation method, tape method, thick sedimentary techiques
and sedimentation method.
The sedimentation method is often based on reagensia which NaOH 0.2%,
and NaCl 0.9%. This research was an observational study which is a comparison
and variety of egg Soil Transmitted Helminth (STH) by use sedimentation method
with NaOH 0,2 % and NaCl 0,9%. This research being used in Pardomuan Nauli
Selayang village Kab. Langkat, on june with samples from comunity that samples
fits the criteria as 20 samples and this test being used in the Parasitology
Laboratory at Poltekkes Kemenkes Medan that use sedimentation method NaOH
0,2 % and NaCl 0,9%.
The results that being used in Parasitology Laboratory at Poltekkes
Kemenkes Medan, obtained STH egg Helminth’s at faeces, from 20 samples there
are three positive hookworm samples with a NaCl 0,9% solution, and 20 negative
samples with NaOH 0,2% solution.

Keywords : Comparison of Methods, Examination of STH Worm Eggs


Reading List : 13 (2012 - 2018)

i
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
KTI, 28 Juni 2019

AGNES JUNITA SIHITE

PERBANDINGAN JUMLAH DAN KERAGAMAN TELUR CACING SOIL


TRANSMITTED HELMINTH (STH) MENGGUNAKAN METODE
SEDIMENTASI REAGENSIA NaOH 0,2 % DAN NaCl 0,9%

viii + 26 halaman , 2 Tabel, , 6 Lampiran

ABSTRAK
Berbagai jenis cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
dan sering dijumpai baik di kota maupun di desa di Indonesia, yang dapat
mengakibatkan anemia, gangguan gizi, gangguan pertumbuhan dan gangguan
kecerdasan. Hal ini juga yang menyebabkan pemilihan metode yang tepat untuk
menentukan status kecacingan seseorang. Status kecacingan dipastikan dengan
menemukan telur cacing dari faeces. Pemeriksaan telur cacing yang sering
dilakukan, metode flotasi/pengapungan, metode selotip, teknik sediaan tebal dan
metode sedimentasi.
Metode sedimentasi yang sering digunakan berdasarkan reagensia NaOH
0.2%, dan NaCl 0.9%. Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang
bertujuan membandingan dari kedua reagensi yang sering digunakan pada
pemerikasaan telur cacing STH. Penelitiaan ini tentang perbandingan jumlah dan
keragaman telur cacing STH dengan metode sedimentasi menggunakan reagensia
NaOH 0.2%, dan NaCl 0.9%. Penelitian ini di lakukan di Pardomuan Nauli Desa
Selayang Kab. Langkat, bulan Juni dengan sampel dari masyarakat yang telah
memenuhi kriteria sebanyak 20 sampel dan dilakukan pemeriksaan faeces di
Laboratorium Parasitologi Poltekkes Kemenkes Medan dengan metode sedimentasi
menggunakan reagensia NaCl 0,9% dan NaOH 0,2%.
Hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Parasitologi Poltekkes
Kemenkes Medan, didapat hasil telur cacing STH pada faeces, dari 20 sampel
terdapat 3 sampel positif cacing Hookworm dengan larutan NaCl 0,9% . dan 20
sampel negatif dengan larutan NaOH 0,2% .

Kata kunci : Perbandingan Metode, Pemeriksaan Telur Cacing STH


Daftar Bacaan : 13 (2012 – 2018)

ii
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Penyusunan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Perbandingan Jumlah Dan
Keragaman Telur Cacing Soil Transmitted Helminth (STH) Menggunakan
Metode Sedimentasi Reagensia NaOH 0,2 % Dan NaCl 0,9% ”

Karya Tulis Ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam
menyelesaikan pendidikan program Diploma III Politeknik Kesehatan Kemenkes
RI Jurusan Analis Kesehatan. Dalam penulisan dan penyususnan Karya Tulis
Ilmiah ini Saya telah berupaya sebaik-baiknya dengan kemampuan yang ada,
namun masih banyak kekurangan. Saya mengharapkan masukan masukan yang
sifatnya membangun dari semua pihak.

Dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini saya menyadari banyak


mendapatkan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu saya
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Dra. Ida Nurhayati, M.Kes selaku Direktur Politeknik Kesehatan
Kemenkes RI Medan.
2. Ibu Endang Sofia, S.Si, M.Si selaku Ketua Jurusan Analis Kesehatan
Kemenkes RI Medan.
3. Ibu Suparni, S.Si, M.Kes selaku pembimbing yang membantu penyelesaian
Karya Tulis Ilmiah.
4. Bapak Selamat Riadi, S.Si M.Si sebagai Penguji I dan Ibu Rosmayani
Hasibuan, S.Si, M.Si sebagai Dosen Penguji II yang telah memberikan
arahan dan masukan untuk Karya Tulis Ilmiah ini.
5. Seluruh Staf Pengajar dan Karyawan Jurusan Analis Kesehatan Kemenkes
RI Medan.
6. Teristimewa penulis ucapkan kepada kedua orang tua saya yang telah
memberikan kasih saying kepada penulis dan pengorbanan baik secara

iii
material maupun moral yang tidak dapat terbalas dan ternilai selama
mengikuti pendidikan.
7. Terima kasih untuk Mahasiswa/I Politeknik Kesehatan Kemenekes Medan
Jurusan Analis Kesehatan Angkatan 2016 yang telah membantu memberi
masukan kepada penulis sehingga Karya Tulis Ilmiah ini dapat
terselesaikan. Dan terima kasih kepada semua pihak yang ikut membantu
penulis yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

Akhir kata penulis berharap agar Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat
bagi penulis sendiri maupun bagi pihak-pihak lainnya. Semoga perbuatan baik yang
diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Dan tetap dalam lindungannya.

Medan, Juni 2019

Penulis

iv
DAFTAR ISI

ABSTRACT i
ABSTRAK ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 4
1.3. Tujuan Penelitian 4
1.3.1. Tujuan Umum 4
1.3.2. Tujuan Khusus 4
1.4. Manfaat Penelitian 4
1.4.1. Peneliti 4
1.4.2. Instansi 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1. Soil Transmitted Helminths 6
2.1.1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) 6
2.1.1.1.Klasifikasi Ascaris lumbricoides 6
2.1.1.2.Morfologi Ascaris lumbricoides 6
2.1.1.3.Siklus hidup Ascaris lumbricoides 7
2.1.1.4.Gejala klinik Ascaris lumbricoides 8
2.1.1.5.Diagnosis Ascaris lumbricoides 8
2.1.1.6.Pencegahann Ascaris lumbricoides 8
2.1.1.7.Pengobatan Ascaris lumbricoides 9
2.1.2. Trichuris trichiura 9
2.1.2.1.Klasifikasi Trichuris trichiura 9
2.1.2.2.Morfologi Trichuris trichiura 9
2.1.2.3.Siklus hidup Trichuris trichiura 10
2.1.2.4.Gejala klinik Trichuris trichiura 10
2.1.2.5.Diagnosis Trichuris trichiura 10
2.1.2.6.Pencegahan Trichuris trichiura 10
2.1.2.7.Pengobatan Trichuris trichiura 11
2.1.3. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale Dan Necator 11
americanus)
2.1.3.1.Klasifikasi Cacing Hookworm (Tambang) 11
2.1.3.2.Morfologi Cacing Hookworm (Tambang) 12
2.1.3.3.Siklus Hidup Cacing Hookworm (Tambang) 12
2.1.3.4.Gejala Klinik Cacing Hookworm (Tambang) 13
2.1.3.5.Diagnosis Cacing Hookworm (Tambang) 13
2.1.3.6.Pencegahan Cacing Hookworm (Tambang) 14
2.2. Metode Pemeriksaan Telur Cacing 14

v
2.2.1. Metode Natif 14
2.2.2. Metode Apung 15
2.2.3. Metode Kato 16
2.2.4. Metode Sedimentasi 16
2.3. Kerangka Konsep 17
2.4. Defenisi Operasional 17
BAB 3 METODE PENELITIAN 19
3.1.Jenis dan Desain Penelitian 19
3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian 19
3.2.1. Lokasi Penelitian 19
3.2.2. Waktu Penelitian 19
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 19
3.3.1. Populasi 19
3.3.2. Sampel 19
3.4. Metode Pengumpulan Data 20
3.5. Metode Pemeriksaan 20
3.5.1. Prinsip Metode 20
3.5.2. Alat, Bahan, Reagensia 21
3.5.3. Cara kerja 21
3.5.3.1. Cara Kerja NaOH 0,2% 21
3.5.3.2. Cara Kerja NaCl 0,9% 22
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23
4.1.Hasil Penelitian 23
4.2.Pembahasan 25
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 26
5.1. Kesimpulan 26
5.2. Saran 26

DAFTAR PUSTAKA

vi
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing STH 22
Tabel 4.2. Hasil persentasi telur cacing STH 24

vii
DAFTAR LAMPIRAN

1. Ethical Clearance
2. Surat Persetujuan Penelitian dari Poltekkes Kemenkes Medan
3. Surat Persetujuan Penelitian Pemerintahan Kab. Langkat Kec. Selesai
Desa Selayang
4. Gambar Dokumentasi
5. Jadwal Penelitian
6. Lembar Konsul Karya Tulis Ilmiah

viii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

World Health Organization (2016) menjelaskan bahwa cacingan adalah


infeksi cacing parasit usus dari golongan Nematoda usus yang ditularkan melalui
tanah, atau disebut Soil Transmitted Helminths (STH). (Dhia Irfan Hanif,Dkk,
2017)
Sumanto (2010) menjelaskan jika penyakit cacingan adalah contoh lain dari
penyakit parasitik yang mulai terabaikan atau Neglacted Tropical Desease (NTD).
Kasus infeksi oleh STH terjadi karena tertelannya telur cacing dari tanah atau
tertelannya larva aktif yang ada di tanah melalui kulit (WHO, 2016). Umar (2008)
mengatakan, penyakit cacingan menimbulkan dampak yang besar pada manusia
karena mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan
(absorbsi), dan metabolisme makanan. Akibat yang ditimbulkan dari infeksi cacing
berupa kerugian zat gizi karbohidrat dan protein (Umar, 2008). Masalah lain yang
ditimbulkan adalah kekurangan darah, menghambat perkembangan fisik,
perkembangan mental, kemunduran intelektual, dan menurunkan imunitas tubuh
pada anakanak (DEPKES RI, 2004). (Dhia Irfan Hanif,Dkk, 2017)
Infeksi cacing usus ditularkan melalui tanah yang tercemar telur cacing,
tempat tinggal yang tidak saniter dan cara hidup tidak bersih merupakan masalah
kesehatan masyarakat, di perdesaan dan di daerah kumuh perkotaan di Indonesia.
Tinggi rendahnya fekuensi kecacingan berhubungan erat dengan kebersihan pribadi
dan sanitasi lingkungan menjadi sumber infeksi. Diantara cacing usus yang menjadi
masalah kesehatan adalah kelompok “Soil Transmitted Helminth (STH)” atau
cacing yang ditularkan melalui tanah, seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris
trichiura dan hookworm (cacing tambang). Pencemaran tanah merupakan penyebab
terjadinya transmisi telur cacing dari tanah kepada manusia melalui tangan atau
kuku yang mengandung telur cacing, lalu masuk ke mulut bersama makanan. Di
Indonesia prevalensi kecacingan masih tinggi antara 60% – 90 % tergantung pada
lokasi dan kondisi sanitasi lingkungan (Budi Hairani Dkk,2014).

1
Pardomuan Nauli Desa Selayang Kab. Langkat adalah desa agak terpencil
yang memiliki jarak 40 km dari kota Binjai atau perjalanan sekitar 1 jam dari kota
Binjai melewati perkebunan kelapa sawit. Pardomuan Nauli Desa Selayang Kab.
Langkat adalah desa yang memilikiki jumlah penduduk sebanyak 500 orang
dengan mayoritas pekerja sebagai petani dan peternak sebagai mata pencarian
wajib, selain itu masyarakat setempat 90% memiliki hewan ternak berupa sapi,
babi, entok, bebek, dan ayam yang biasa di lepaskan dihalaman rumah masyarakat.
Berdasarkan hasil observasilansung hal ini menjadi acuan penulis sebagai syarat
pemilihan lokasi pengambilan sampel.
Berbagai jenis cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
dan sering dijumpai baik di kota maupun di desa di Indonesia, seperti cacing gelang
(Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang
(Hookworm) yang dapat mengakibatkan anemia, gangguan gizi, gangguan
pertumbuhan dan gangguan kecerdasan. Akan tetapi oleh karena infeksi yang
terjadi sering tanpa gejala, sehingga penyakit ini dianggap bukanlah merupakan
penyakit yang berbahaya (Budi Hairani Dkk,2014).
Secara umum terdapat dua cara masuknya nematoda usus dalam
menginfeksi tubuh manusia, yaitu melalui mulut dan kulit. Telur-telur tersebut
dapat masuk ke dalam tubuh manusia, diantaranya melalui tidak bersih dalam
mencuci, sayuran yang tidak dimasak sedangkan dari larva nematoda usus dapat
dimungkinkan melalui air yang terkontaminasi. Penularan kepada hospes baru
tergantung kepada tertelannya telur matang yang infektif atau larva, atau
menembusnnya larva ke dalam kulit atau selaput lendir. Seringkali larva di dalam
telur ikut tertelan dengan makanan (Cahyono Nugroho Dkk,2014)
Kecacingan mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, status gizi,
tingkat kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga menyebabkan kerugian
secara ekonomi. Perlu dilakukan upaya pencegahan, salah satunya dengan deteksi
dini infeksi STH pada kelompok yang berisiko (Marieta Puspa Regina,2018).
Penggunaan metode pemeriksaan tinja yang memiliki tingkat sensitifitas dan
spesifisitas tinggi sangat penting guna mendapatkan status kecacingan yang akurat.
Status kecacingan seseorang dapat dipastikan dengan menemukan telur cacing pada

2
pemeriksaan laboratorium tinja. Pemeriksaan tinja terdiri dari pemeriksaan
mikroskopik dan makroskopik. Pemeriksaan mikroskopis terdiri dari dua
pemeriksaan yaitu pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan kualitatif
dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti pemeriksaan langsung (direct slide)
yang merupakan pemeriksan rutin yang dilakukan, metode flotasi/pengapungan,
metode selotip, teknik sediaan tebal dan metode sedimentasi. Pemeriksaan
kuantitatif dikenal dengan beberapa metode yaitu metode Stoll, flotasi Kuantitatif
dan metode Kato-Katz (Marieta Puspa Regina,2018).
Metode natif (direct slide) merupakan gold standard pemeriksaan kualitatif
tinja karena sensitif, murah, mudah dan pengerjaan cepat, namun kurang sensitif
pada infeksi ringan. Metode lain yang sering digunakan untuk pemeriksaan
kualitatif tinja adalah metode sedimentasi (Marieta Puspa Regina,2018).
Metode sedimentasi adalah metode menggunakan larutan dengan berat jenis
yang lebih rendah dari organisme parasite dan memanfaatkan gaya sentrifugal,
sehingga parasit dapat mengendap di bawah. Metode sedimentasi yang sering
digunakan berdasarkan reagensia adalah metode sedimentasi dengan NaOH 0.2%
,dan metode sedimentasi dengan NaCl 0.9%.
Pada pemeriksaan identifikasi telur cacing metode pengendapan
menggunakan larutan NaCl 0,9%. Dapat juga menggunakan larutan NaOH 0,2%.
Metode ini didasarkan pada berat jenis telur sehingga telur akan mengendap dan
mudah diamati. Adapun kekurangan dan kelebihan dari metode ini :
Kekurangan :
a. Penggunaan feses yang terlalu banyak dan memerlukan waktu yang lama
b. Perlu ketelitian tinggi agar telur tidak larut kembali ke atas larutan
Kelebihan :
a. Dapat digunakan untuk infeksi ringan dan berat
b. Telur dapat terlihat jelas
Berdasarkan masalah diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul Perbandingan Jumlah dan Keragaman Telur Cacing Soil Ttransmitted
Helminth (STH) Menggunakan Metode Sedimentasi Dengan Reagensia NaOH
0,2% Dan NaCl 0,9%.

3
1.2.Rumusan Masalah

Dari metode sedimentasi yang menggunakan reagensia NaOH 0,2% dan


NaCl 0,9 % manakah yang lebih mampu mengidentifikasi telur STH berdasarkan
Keragaman telur dan jumlah telur.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dari Dari metode


sedimentasi yang menggunakan reagensia NaOH 0,2% dan NaCl 0,9 % manakah
yang lebih baik dalam mengidentifikasi telur STH.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui jumlah telur STH dengan penggunaan reagensia NaOH 0,2% dan
NaCl 0,9 % pada pemeriksaan telur STH
2. Mengetahui keragaman telur STH yang telah didapat dari hasil pemeriksaan
dengan menggunakan reagensia NaOH 0,2% dan NaCl 0,9 %

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Peneliti

1. Untuk mengetahui manakah dari metode sedimentasi dengan


penggunaan reagensia NaOH 0,2% dan NaCl 0,9 % pada pemeriksaan
telur STH
2. Sebagai sumber pengetahuan yang baru manakah ynag lebih bauk pada
penggunaan reagensia NaOH 0,2% dan NaCl 0,9 % pada pemeriksaan
telur STH
1.4.2. Instansi

Sebagai bahan referensi untuk mahasiswa Jurusan Analis Kesehata


Poltekkes Kemenkes Medan khususnya pada bidang Parasitologi.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Soil Transmitted Helminths

Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang dalam


siklusnya hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan
(Rusmatini,2009). Cacing ini di tularkan melalui telur cacing yang di keluarkan
bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi.di daerah ang tidak memiliki sanitasi
yang memadai, telur ini akan mencemari tanah. (Hotez,dkk). soil transmitted
helminthes yang terpenting bagi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris
trichura, Ancylostoma duodenale, dan Necator americanus. (Ni Nyoman, 2018)

2.1.1. Cacing Gelang ( Ascaris lumbricoides )

2.1.1.1.Klasifikasi Ascaris lumbricoides

Klasifikasi Ascaris lumbricoides


Phylum : Nemathelmithes
Class : Nematode
Ordo : Oscoridida
Family : Ascoridciidea
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris Lumnbricoides

2.1.1.2.Morfologi Ascaris lumbricoides

Cacing nematoda ini adalah cacing berukuran besar, berwarna putih


kecoklatan atau kuning pucat. Cacing jantan berukuran antara 101 cm, sedangkan
cacing betina panjang badannya antara 22-35 cm.kurtikula yang halus bergaris-
garis tipis, menutupi seluruh permukaan badan cacing. Ascaris lumbricoides
memiliki mulut dengan tiga buah bibir yang terletak disebelah bagian dorsal dan
dua buah bibir lainnya terletak pada subventral (Ni Nyoman, 2018)

5
Selain ukurannya lebih kecil dari cacing betina, cacing jantan mempunyai
ujung posterior yang runcing dengan ekor melengkung kearah ventral. Didalam
posterior ini terdapat dua buah spikulum yang ukuran panjangnya sekitar 2 mm,
sedangkan di ujung posteriorcacing terdapat juga papil-papil yang berukuran kecil.
Bentuk tubuh cacing betina membulat (conical) dengan ukuran badan yang lebih
besar dan lebih panjang dari cacing jantan dan bagian ekor yang lurus, tidak
melengkung (Ni Nyoman, 2018).
Ascaris lumbricoides mempunyai dua jenis telur yaitu telur yang sudah
dibuahi (fertilized eggs) dan teluryang belum dibuahi (infertilized eggs). Fertilized
eggs berbentuk lonjong, berukuran 45-70 mikron x 35 50 mikron, mempunyai kulit
telur yang tak berwarna. Kulit telur bagian luar tertutupi oleh lapisan albumin yang
permukaannya bergerigi (mamillation) dan berwarna coklat karena menyerap zat
warna empedu. Sedangkan dibagian dalam kulit telur terdapat selubung vitelin yang
tipis, tetapi kuat sehingga telur ascaris dapat bertahan di dalam tanah (Ni Nyoman,
2018)
Fertilized eggs mengandung sel telur (ovum) yang tidak bersegmen
sedangkan dikedua kutub telur terdapat rongga udara yang tampak sebagai daerah
yang terang terbentuk bulan sabit.infertilled eggs (telur yang tidak dibuahi) dapat
di temukan jika di dalam usus penderita terdapat cacing betina saja.telur yang tak
di buahi ini bentuknya lebih lonjong dan lebih panjang dari ukuran fertilized eggs
dengan ukuran sekitar 80x55 mikron telur ini tidak mempunyai rongga udara
dikedua kutubnya (Ni Nyoman, 2018)

2.1.1.3.Siklus Hidup Ascaris lumbricoides

Bentuk infektif ini bila tertelan manusia akan menetas menjadi larva di usus
halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran
limfa dan dialirkan ke jantung, lalu mengikuti aliran darah keparu-parumenembus
dinding pembuluh darah, lalu melalui dinding alveolus, masuk rongga alveolus,
kemudian naik ke trakea melalui bronkeolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju
ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke
esophagus, lalu menuju ke usus halus tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses

6
tersebut memerlukan waktu kurang lebih dua bulan sejak terlelan sampai menjadi
cacing dewasa (Ni Nyoman, 2018).

2.1.1.4.Gejala Klinik Ascaris lumbricoides

Ascaris terutama di derita anak di daerah dengan banyak pencemaran tanah


oleh tinja karena tidak atau kurangnya penggunaan jamban dan di daerah tertentu
yang mempunyai kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk. Larva cacing pada
saat menjalani lung migration dapat memberikan gejala demam, batuk, sesak nafas,
takikardi, nyeri dada dahak kadang kadang berdarah, pada pemeriksaan dahak dapat
di temukan eosinofil, Kristal charcot leyden, bahkan larva cacing. Kumpulan gejala
ini di namakan Loffler syndrome atau pneumonitis ascaris.
Laffler syndrome jarang di temukan di daerah endemis, pada umumnya di
te,mukan pada penderita Ascaris di daerah iklim sedang dan hanya pada kejadian
transmisi musiman (Ni Nyoman, 2018).

2.1.1.5.Diagnosis Ascaris lumbricoides

Cara menegakkan diagnosis penyakit ini adalah dengan pemeriksaan tinja


secara langsung, adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis selain
itu diagnosis dapat dibuat jika cacing Ascaris keluar sendiri baik melalui mulut atau
hidung maupun dari tinja (Ni Nyoman, 2018).

2.1.1.6.Pencegahann Ascaris lumbricoides

Untuk mencegah penularan penyakit yang di sebabkan oleh ascaris


lumbricoides dapat di lakukan dengan membiasakan berdefekasi dijamban,
sebelum melakukan persiapan makan dan hendak makan, tangan dicuci terlebih
dahulu dengan baik dan benar.

2.1.1.7.Pengobatan Ascaris lumbricoides

7
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal pada
masyarakat. Untuk perorangan dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya
piperasin dosis tunggal untuk orang dewasa 3-4 gram,untuk anak 25 mg/kgBB
selama 3 hari atau 500 mgn dosis tunggal 10 mg/kgBB mabedazol dosis tunggal
400 mg.

2.1.2. Trichuris trichiura

2.1.2.1.Klasifikasi Trichuris trichiura

Klasifikasi trichuris trichura


Phylum : Nemathelmithes
Class : Nematoda
Ordo : Enoplida
Family : Trichinelloidea
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris trichiura

2.1.2.2.Morfologi Trichuris tricura

Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira


4 cm, bagian anteriornya langsing seperti cambuk, panjangnya ¾ dari panjang
seruluh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina
bentuknya membulat tumpul dan pada cacing jantang melingkar dan terdapat satu
spikulum.
Telur cacing Trichuris trichiura memiliki ukuran 50-54 mikron x 32 mikron
berbentuk tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub.
Kulit telur bagian luar berwarna kekuning kuningan dan bagian dalamnya jernih.

2.1.2.3.Siklus Hidup Trichuris trichiura

8
Telur ini mengalami pematangan dan menjadi infektif di tanah dalam waktu
3-4 minggu lamanya. Jika manusia tertelan telur cacing yang infektif, maka di
dalam usus halus dinding telur pecah dan larva keluar menuju sekum dan
berkembang menjadi cacing dewasa. Dalam waktu satu bulan sejak masuknya telur
infektif ke dalam mulut, cacing telah menjadi dewasa dan cacing betina sudah mulai
mampu bertelur trichuris trichura dewasa dapat hidup beberapa tahun lamanya di
dalam usus manusia (Ni Nyoman, 2018).

2.1.2.4.Gejala Klinik Trichuris trichiura

Bagian anterior cacing dewasa Trichuris trichiura akan menembus mukosa


usus besar, akan merusak pembuluh darah dan akan mengakibatkan pendarahan.
Darah yang keluar akan di hisap sebagai bahan makanan bagi cacing dan sebagian
menyebabkan feses berdarah sehingga Nampak seperti gejala disentri. Pada infeksi
berat maka dapat terjadi anemia, bahkan dapat merusak pesyarafan di submukosa
usus besar yang berakibat menjadi kelumpuhan sehingga pada saat penderita
megejan dapat menyebabkan dinding usus besar terdorong keluar. (Ni Nyoman,
2018).

2.1.2.5.Diagnosis Trichuris trichiura

Diagnosis pasti Trichuriasis di tegakan dengan melakukan pemeriksaan


tinja untuk menemukan telur cacing yang khas bentuknya, pada infeksi ini yang
berat pemeriksaan proktoskopi dapat menunjukan adanya yang berbentuk cambuk
yang melekat pada rectum penderita.

2.1.2.6.Pencegahan Trichuris trichiura

Untuk mencegah penularan Trikuriasis selain dengan mengobati penderita


juga harus dilakukan pengobatan masal untuk mencegah terjadinya reinfeksi di
daerah endemis. Hygiene sanitasi perorangan dan lingkungan harus dilakukan
untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan oleh tinja penderita, misalnya
denganmembuat WC atau jamban yang baikdi setiap rumah.makanan dan minuman

9
harus selalu di masak dengan baikuntuk dapat membunuh telur infektif Trichuris
trichiura.

2.1.2.7.Pengobatan Trichuris tricura

Karena cacing dewasa membenamkan kepalanya di dalam dinding usus,


maka pengobatan terhadap infeksi cacing ini sukar di lakukan dengan cepat. Untuk
memberantas cacing Trichuris trichura sebaiknya di berikan kombinasi dua obat
cacing secara bersama-sama yaitu kombinasi pirantel pamoate dan oksantel
pamoat. Pada penderita yang anemia di obati dengan preparat besi di sertai dengan
perbaikan gizi penderita.

2.1.3. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)

2.1.3.1. Klasifikasi Cacing hookworm (Tambang)

Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Adeophorea
Ordo : Strongylida
Famili : Ancylostomatoidaea
Genus : Ancylostoma dan Necator
Species : Ancylostoma duodenale
Necator Americanus
Cacing ini telah dikenal sejak jaman mesir kuno dan mengenai penyakitnya
telah di tulis di italia. Ancylostoma duodenale di temukan oleh dubini pada tahun
1838, dalam tahun 1877 terjadi endemik di daerah terowongan swiss. Penyaki -
penyakit yang di timbulkan dinamakan ancylostomasis merupakan penyakit cacing
yang paling lama. Cacing tambang pada manusia di kenal 2 jenis :
a) Ancylostoma duodenale yang disebut jenis dunia lama
b) Necator americanus yang di kenal sebagai jenis dunia baru

2.1.3.2.Morfologi Cacing hookworm (Tambang)

10
Cacing dewasa berukuran kecil, silindris berbentuk silindris berbentuk
gelendong dan berwarna putih kelabu. Cacing betina berukuran 9-13 x 0,35-60 mm,
lebih besar dari yang jantan berukuran 5-10 x 0,3-0,45 mm, necator americanus
lebih kecil dari ancylostoma duodenale.
Cacing ini mempunyai kurtikula yang tebal. Bagian ujung belakang yang
jantan mempunyai bursa koputlaptrix seperti jari yang berguna sebagai alat
pemegang pada waktu kopulasi. Badan yang betina di akhiri dengan ujung yang
runcing. Bentuk badan Necator americanus biasanya menyerupai huruf S,
sedangkan Ancylostoma duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis
cacing ini besar. Necator americanus mempunyai benda kitin, sedangkan
Ancylostoma duodenale ada dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai bursa
kopulatriks.
Pada pemeriksaan tinja dibawah mikroskop bentuk telur berbagai spesies
cacing tambang memiliki bentuk yang sukar di bedakan spesiesnya. Telur cacing
tambang berbentuk lonjong tidak berwarna berukuran sekitar 65 x 40 mikron. Telur
cacing tambang yang berdinding tipis dan tembus sinar ini mengandung embrio
yang mempunyai empat blastomer. (Soedarto,2016)

2.1.3.3.Siklus Hidup Cacing hookworm (Tambang)

Telur keluar bersama tinja. Di alam luar telur ini cepat matang dan
menghasilkan larva rhabditiform, selama 1-2 hari di bawah kondisi yang
mengizinkan dengan suhu optimal 23-330 larva yang baru menetas aktif memakan
sisa-sisa pembusukan organic dan cepat bertambah besar, kemudian ia berganti
kulit untuk kedua kalinya dan berbentuk langsing menjadi larva filariform yang
infeksius.
Larva filariform aktif menembus kulit melalui folikel rambut, pori-pori atau
kulit yang rusak. Umumnya daerah infeksi adalah pada dorsum kaki atau di sela jari
kaki. Larva masuk mengembara ke saluran vena menuju ke jantung kanan
kemudian masuk ke paru-paru member jaringan paru-paru sampai ke alveoli,
kemudian naik ke bronchi dan trachea tertelan dan masuk ke usus. Peredaran larva
dalam sirkulasi daerah dan migrasi paru-paru berlangsung selama satu minggu,

11
selama priode ini mereka bertukar kulit untuk yang kedua kalinya. Setelah berganti
kulit empat kali dalam jangka waktu 13 hari mereka menjadi dewasa. Betina
bertelur 5-6 minggu setelah infeksi.larva dapat masuk kedalam badan melalui air
minum atau makanan yang terkontaminasi (Irianto,Koes,2013)

2.1.3.4.Gejala Klinik Cacing hookworm (Tambang)

Larva di sekitar tempat menembus kulit menyebabkan iritasi lokal di sebut


dengan ground itch yang merupakan reaksi alergi yang di tandai dengan kulit yang
memerah (eritemacus) atau vesicular rash dan di iringi rasa gatal yang sangat.
Lokasi ground itch sering terjadi di kaki atau tungkai bawah. Pada infeksi berat
migrasi larva dalam jumlah besar ke paru dapat menyebabkan pneumonitis yang
mirip dengan syndroma Loffler (lofflerlike syndrome) dengan gejla batuk, demam
dan malaise.
Keberadaan cacing dewasa di usu halus dengan bagian anterior menembus
mukosa usus menyebabkan keluhan dyspepsia, perasaan tidak enak pada perut baik
merupakan nyeri episgastrium, mual, muntah dan diare. Akibat lain dari bagian
anterior menembus mukosa usus dapat menyebabkan kapeler pecah, usus terluka
dan berakiban perdarahan secara terus menerus karena cacing mengeluarkan zat
anti pembekuan ( antikoagulan ) (Ni Nyoman, 2018).

2.1.3.5.Diagnosis Cacing hookworm (Tambang)

Dengan di temukannya gejala anemia hipekrom mikositer pada individu di


daerah maka perlu di curigai terjadi ancylostomiasis atau necatoriasis. Diagnosis
di tegakkan dengan jalan pemeriksaan tinja. Pada pemeriksaan mikroskopis
specimen tinja akan di periksa keberadaan bentuk diagnostic berupa telur..pada
penderita yang mengalami obstipasi bentuk mungkin sudah berupa larva
rabditiform. Dari morfologi telur dan larva rabditiform cacing tambang sering kali
sulit di lakukan idetifikasi spesies, karna itu menentukan spesies cacing tambang
perlu di lakukan pemeriksaan dengan cara biakan tinja sampai di temukan
perkembangan menjadi larva filariform(Ni Nyoman, 2018).

12
2.1.3.6.Pencegahan Cacing hookworm (Tambang)

Sebagai upaya pencegahan terjadi infeksi cacing tambang dapat di lakukan


dengan menghindari buang air besar di sembarang tempat dan menghindari
penggunaan tinja sebagai pupuk, dan tetap menjaga kebersihan lingkungan dan
kebersihan pribadi melalui pendidikan/ penyuluhan kesehatan berbasis sekolah
yang melibatkan guru , siswa dan orang tua siswa. Untuk pekerja tambang dan
perkebunan perlu di berikan himbauan agar dapat memakai alas kaki (sepatu) atau
sarung tangan untuk menghindari terjadinya infeksi cacing tambang. Khusus di
daerah endemis untuk mencegah infeksi dan reinfeksi selain di lakukan pengobatan
pada penderita dapat di lakukan juga pengobatan secara masal (Ni Nyoman, 2018).

2.2. Metode Pemeriksaan Telur Cacing

2.2.1. Metode Natif

Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk
infeksi berat, tetapiuntuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara
pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis 0,9% atau eosin 2%.
Penggunaa eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing
dengan kotoran disekitarnya.

Kelebihan metode ini adalah mudah dan cepat dalam pemeriksaan telur
cacing semua spesies, biaya yang diperlukan sedikit, serta peralatan yang
digunakan juga sedikit. Sedangkan kekurangan metode ini adalah dilakukannya
hanya untuk infeksi berat, infeksi ringan sulit dideteksi. Metode natif dilakukan
dengan cara mencampur feses dengan sedikit air dan meletakkannya di atas gelas
obyek yang ditutup dengan deckglass dan memeriksa di bawah mikroskop
2.2.2. Metode Apung

Metode ini menggunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula yang
memiliki BJ (berat jenis) yang lebih besar dari telur cacing. Metode ini dilakukan
dengan cara 2 gram feses yang akan diperiksa ditaruh dalam mortir, dan

13
ditambahkan sedikit air ke dalamnya kemudian diaduk sampai larut. Larutan ini
dituangkan ke dalam tabung sampai ¾ tabung dan disentrifuse selama 5 menit.
Hasil dari proses sentrifuse adalah cairan jernih dan endapan. Cairan jernih diatas
endapan tersebut dibuang dan sebagai gantinya dituangkan NaCl jenuh di atas
endapan sampai ¾ tabung. Larutan ini diaduk sampai merata dan disentrifuse lagi
selama 5 menit. Setelah disentrifuse tabung tersebut diletakkan diatas rak dengan
posisi tegak dan ditambahkan lagi NaCl jenuh sampai permukaan cairan menjadi
cembung, diamkan selama 3 menit. Untuk 8 mendapatkan telur cacing, obyek gelas
diletakkan pada permukaan yang cembung dan dibalik dengan hati-hati, kemudian
ditutup dengan deckglass dan periksa dibawah mikroskop dengan perbesaran
10×10.

Macam Larutan Pengapung.

• Larutan (Garam (NaCl) Jenuh, Magnesium sulfat (MgSO4) dan Gula Jenuh),
dapat mengapungkan telur cacing kelas Nematoda (kecuali Metastrongylus sp),
Kestoda serta Ookista dan Kista dari Protozoa.

• Larutan (Potassium Mercuri Iodide, Seng Chlorida , dapat mengapungkan telur


cacing kelas Nematoda, Kestoda dan Trematoda.

1. Larutan NaCl jenuh BJ 1,20

2. Larutan gula jenuh BJ 1,12-1,30

3. Larutan ZnSo4 33% BJ 1.18

4. Larutan MgSO4 35% BJ 1,28.

2.2.3. Metode Kato

Pemeriksaan ini pertama kali ditemukan oleh Kato dan Miura (1954).
Pemeriksaan ini sangat memuaskan hasilnya bila digunakan mendeteksi telur

14
cacing berukuran sedang dan besar, tetapi tidak baik digunakan untuk mendeteksi
trematoda kecil.

Cara Kerja :

1. Sebelum pemakaian, pita selophane di masukkan ke dalam larutan melachite


green selamkurang lebih 24 jam.
2. Di atas kertas minyak, di taruh tinja sebesar butir kacang, selanjutnya di atas

tinja tersebut di tumpangi dengan kawat saringan dan ditekan-tekan sehingga

di dapatkan tinja yang kasar tertinggal di bawah kawat dan tinja yang halus
keluar di atas penyaring.
3. Dengan lidi, tinja yang sudah halus tersebut di ambil di atas kawat penyaring
kuranglebih 300 mg, dengan menggunakan cetakan karton yang berlubang di
taruh gelas preparat yang bersih.
4. Selanjutnya ditutup dengan pita selophane dengan meratakan tinja di seluruh
permukaan pita sampai sama tebal, dengan bantuan gelas preparat yang lain.
5. Di biarkan dengan temperatur kamar selama 30-60 menit supaya menjadi
transparan.
6. Seluruh permukaan di periksa dengan menghitung jumlah semua telur yang
ditemukandengan perbesaran lemah ( Setya, A. 2015).

2.2.4. Metode Sedimentasi

Status kecacingan seseorang dapat dipastikan dengan menemukan telur


cacing pada pemeriksaan laboratorium tinja. Pemeriksaan tinja terdiri dari
pemeriksaan mikroskopik dan makroskopik. Pemeriksaan mikroskopis terdiri dari
dua pemeriksaan yaitu pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif. Metode yang sering
digunakan untuk pemeriksaan kualitatif tinja adalah metode sedimentasi. Metode
sedimentasi menggunakan larutan dengan berat jenis yang lebih rendah dari
organisme parasit, sehingga parasit dapat mengendap di bawah. Metode ini terdiri
dari metode sedimentasi biasa yang hanya memanfaatkan gaya gravitasi, dan
metode sedimentasi Formol-Ether (Ritchie) yang menngunakan gaya sentrifugal

15
dan larutan formalin-eter pada cara kerjanya. Metode sedimentasi biasa
menggunakan reagensia :
 NaOH 0,2% (Junus Widjaja, Dkk, 2014)
 NaCl 0,9% (Muhammad Rofiq Nezar, Dkk, 2014)

2.3. Kerangka Konsep

Variabel Terikat Variabel Bebas

Perbandingan Metode
Sedimentasi menggunakan
Pemeriksaan Telur Cacing
reagensia NaOH 0,2% dan
Soil Transmintted
NaCl 0,9% berdasarkan :
Helmint(STH)
 Jumlah
 Keragaman

2.4. Defenisi Opeasional

1. Pemeriksaan Telur Cacing Soil Transmintted Helmint(STH) adalah


pemeriksaan yang di lakukan untuk menentukan ada tidaknya telur
cacing dalam sediaan faeces.
2. Metode sedimentasi adalah metode menggunakan larutan dengan berat
jenis yang lebih rendah dari organisme parasite dan memanfaatkan gaya
sentrifugal, sehingga parasit dapat mengendap di bawah. Metode
sedimentasi yang sering digunakan berdasarkan reagensia adalah
metode sedimentasi dengan NaOH 0,2% ,dan metode sedimentasi
dengan NaCl 0,9%.
3. Jumlah adalah banyaknya jumlah telur cacing STH yang dijumpai pada
sediaan.
4. Keragaman adalah banyaknya variasi telur cacing STH yang di jumpai
pada sediaan.

16
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1.Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian observasi. Desain yang


digunakan cross sectional, yang digunakan untuk mengetahui Perbandingan Jumlah
dan Keragaman Pemeriksaan Telur Cacing Soil Transmitted Helminth (STH)
Menggunakan Metode Sedimentasi NaOH 0,2 % dan NaCl 0,9% .

3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi pengambilan sampel dilakukan di Pardomuan Nauli Desa Selayang


Kab. Langkat. Pemeriksaan Telur cacing dilakukan di Laboratorium Parasitologi
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Medan Jurusan Analis Kesehatan.

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dimulai pada bulan Maret – Juni 2019.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Pardomuan Nauli


Desa Selayang Kab. Langkat yang berusia 25- 40 berjumlah 100 orang .

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan kriteria:


 Jenis kelamin : Laki-laki dan Perempuan
 Usia : 25-40
 Pekerjaan : petani dan peternak
 Kebiasaan mencuci tangan : sebelum dan sesudah makan, sesedah
berinteraksi dengan hewan ternak, sesedah berinteraksi dengan tanah.

17
 Kebersihan kuku : panjang dan kotor
 Penggunaan alas kaki : saat bertani/beternak,
 Konsumsi obat cacing : selama 6 bulan terakhir
Berdasarkan kriteria di atas jumlah sampel yang memenuhi 80% kriteria
adalah 20 sampel dengan 10 laki laki dan 10 wanita.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang di
peroleh menggunakan analisa, pemeriksaan telur cacing yang dilakukan penulis.

3.5. Metode Pemeriksaan

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah pemeriksaan tinja dengan


metode sedimentasi. Pemeriksaan Feses menggunakan metode sedimentasi untuk
konsentrasi kista dan telur berdasarkan perbedaan BJ antara larutan kimia NaOH
0,2% dan NaCL 0,9% dengan telur cacing, telur cacing akan mengendap dibawah
larutan yang lebih ringan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan
pemakaian NaOH 0,2% dengan NaCl 0,9% terhadap jumlah telur Soil Transmitted
Helminths (STH).
Penggunaan metode pemeriksaan tinja yang memiliki sensitivitas dan
spesifitas tinggi terhadap Soil Transmitted Helminth sangat penting untuk deteksi
dini infeksi tersebut. Metode sedimentasi yang menggunakan prinsip perbedaan
berat jenis merupakan alternatif bagi metode natif yang adalah gold standard untuk
pemeriksaan tinja kualitatif.

3.5.1. Prinsip Metode

Prinsip pengendapan, menggunakan cairan yang memiliki berat jenis (BJ)


yang lebih rendah dibandingkan dengan BJ telur cacing, sehingga telur cacing akan
mengendap.

18
3.5.2. Alat, Bahan, Reagensia

Alat yang digunakan dalam pemeriksaan telur cacing terhadap feses, anatara
lain sebagai berikut.
1. Pot glass
2. Tabung reaksi
3. Objek glass
4. Kaca penutup
5. Label/ spidol
6. Ose
7. Mikroskop
8. Sentrifuge
Bahan yang digunakan dalam pemeriksaan telur cacing adalah feses atau
tinja masyarakat dean beberapa bahan tambahan seperti tisu, wadah penyimpan pot
feses, dan lain-lain.
Reagensia yang digunakan dalam pemeriksaan telur cacing yaitu NaOH
0,2% dan NaCl 0,9%.

3.5.3. Cara Kerja

3.5.3.1.Cara Kerja NaOH 0,2%

Pemeriksaan telur cacing dilakukan dengan metode Pengendapan NaOH.


Prosedur kerja dari pemeriksaan parasit adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan alat dan bahan.
2. Ambil 3-4 tetes konsentrat tinja, masukkan ke dalam tabung reaksi dan
tambahkan NaOH 0,2% hingga 3⁄4 tabung, kemudian di tutup dengan kapas.
3. Sentrifuge dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit
4. Terbentuk 2 lapisan yakni lapisan jernih dan endapan, dibuang bagian yang
jernih dengan jalan menuangkan tabung reaksi secara cepat dan endapan di
periksa.
5. Ambil endapan 1 tetes letakkan di atas objek glass, tutup dengan kaca penutup
.

19
6. Diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x dan 40x
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila salah satu atau kedua sediaan
ditemukan telur cacing dan hasil negatif bila kedua sediaan tidak ditemukan adanya
telur cacing.

3.5.3.2.Cara Kerja NaCl 0,9%

Pemeriksaan telur cacing dilakukan dengan metode Pengendapan NaCl.


Prosedur kerja dari pemeriksaan parasit adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan alat dan bahan.
2. Ambil 3-4 tetes konsentrat tinja, masukkan ke dalam tabung reaksi dan
tambahkan NaCl 0,9% hingga 3⁄4 tabung, kemudian di tutup dengan kapas.
3. Sentrifuge dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit
4. Terbentuk 2 lapisan yakni lapisan jernih dan endapan, dibuang bagian yang
jernih dengan jalan menuangkan tabung reaksi secara cepat dan endapan di
periksa.
5. Ambil endapan 1 tetes letakkan di atas objek glass, tutup dengan kaca
penutup .
6. Diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x dan 40x
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila salah satu atau kedua sediaan
ditemukan telur cacing dan hasil negatif bila kedua sediaan tidak ditemukan
adanya telur cacing.

20
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAAN

4.1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian diambil dari populasi Pardomuan Nauli Desa Selayang


Kab. Langkat yang memenuhi kriteria dan dilakukan pemeriksaan di Laboratorium
Parasitologi Poltekkes Kemenkes Medan, didapat hasil telur cacing STH pada
faeces.

Tabel 4.1. Hasil pemeriksaan telur cacing STH


NaCl 0,9% NaOH 0,2 %

No Sampel Al Tt Hookworm Al Tt Hookworm

1 X1 - - - - - -
2 X2 - - - - - -
3 X3 - - - - - -
4 X4 - - + - - -
5 X5 - - - - - -
6 X6 - - - - - -
7 X7 - - - - - -
8 X8 - - - - - -
9 X9 - - - - - -
10 X10 - - - - - -
11 Y1 - - - - - -
12 Y2 - - + - - -
13 Y3 - - - - - -
14 Y4 - - - - - -
15 Y5 - - - - - -
16 Y6 - - - - - -

21
17 Y7 - - - - - -
18 Y8 - - - - - -
19 Y9 - - + - - -
20 Y10 - - - - - -

KETERANGAN
Al = Ascaris lumbricoides
Tt = Trichuris trichiura
Hookworm = Ancylostoma duodenale dan Necator americanus
X = Perempuan
Y = Laki-laki
1-10 = No sampel
Berdasarkan Tabel 4.1. terdapat 15% sampel positif STH dari 20 sampel
yang diteliti.

Tabel 4.2. Hasil persentasi telur cacing STH


NaCl 0,9% NaOH 0,2 %
No Sampel
Al Tt Hookworm Al Tt Hookworm

1 X4 - - 33,33% - - -

2 Y2 - - 33,33% - - -

3 Y9 - - 33,33% - - -

Berdasarkan Tabel 4.2. 100% dari sampel positif ditemukan pada sedian
yang menggunakan reagensia NaCl 0.9%.
Dapat dilihat berdasarkan jumlah telur cacing yang didapat, pada reagensia
NaCl 0,9% ditemukan 1 telur cacing STH dari sampel 3 yang positif. Sedangkan
berdasarkan keragaman telur cacing dapat dilihat dari hasil ketiga sampel yang
positif penggunaan reagensia NaCl 0,9% ada keragaman telur cacing hookworm
daripada NaOH 0,2% yang tidak terdapat keragaman telur cacing apapun.

22
4.2. Pembahasaan
Penelitiaan tentang perbandingan jumlah dan keragaman telur cacing STH.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang bertujuan membandingan
dari kedua reagensi yang sering digunakan dalam pemerikasaan telur cacing STH.
Penelitian ini dilaksanakan pada 20 sampel faeces dari 10 perempuan dan 10 laki-
laki yang memenuhi kriteria di Pardomuan Nauli Desa Selayang Kab. Langkat.
Pemeriksaan telur cacing dilakukan di Laboratorium Parasitologi Politeknik
Kesehatan Kementerian Kesehatan Medan Jurusan Analis Kesehatan.
Berdasarkan Tabel 4.1. diketahui dari 20 sampel terdapat 3 sampel positif
cacing Hookworm dengan menggunakan larutan NaCl 0,9% . Sementara pada
pemeriksaan telur cacing menggunakan larutan NaOH 0,2% tidak terdapat telur
cacing dengan sampel positif yang menggunakan larutan NaCl 0,9%. Hal ini
disebabkan karena NaOH 0,2% bersifat sangat korosif terhadap kulit. Istilah yang
paling sering digunakan dalam industri yaitu soda kaustik. Soda kaustik apabila
dilarutkan dalam air akan menimbulkan reaksi eksotermis (Glory Riama, dkk,
2012). Dengan adaya sifat korosif dan bila dilarutkan dalam air akan menimbulkan
reaksi eksotermis dapat membantu penghancuran faeces dan melepaskan beberapa
telur cacing yang menempel pada faeces yang keras, hancurnya faeces mengubah
bentuk faeces yang semula keras menjadi butiran halus hingga sulit mengendap dan
membutuhkan waktu tambahan 15 menit untuk mengendapkan telur cacing. Hal ini
juga yang menyebabkan telur cacing hookworm ikut hancur pada saat menunggu
telur mengendap. Sedangkan untuk reagensia NaCl 0,9% tidak memiliki sifat
pelepasan panas bila dilarutkan dalam air dan tidak memiliki sifat korosif, hal ini
daat dilihat pada sedian faeces dimana sisa makanan masih mempertahankan
beberapa bentuk aslinya, karenanya hasil yang menggunakan reagensia NaCl 0,9%
lebih jernih dan bersih. Selain itu reagensia NaCl 0,9% dapat digunakan pada
metode sedimentasi dan metode apung. Berdasarkan pemeriksaan melalui berbagai
metode tersebut diketahui bahwa masing-masing metode memiliki efektivitas
tersendiri untuk menemukan jenis cacing yang berbeda morfologi dan fisiologinya
(M. Rofiq Nezar ,Dkk., 2014).
BAB 5

23
SIMPULAN DAN SARAN

5.1.Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan


penggunaan reagensia NaCl 0,9% lebih baik berdasarkan perbandingan jumlah dan
keragaman dengan hasil 100% dari 3 sampel positif.

Adapun keunggulan lain dari NaCl 0,9% adalah sebagai berikut:


1. Seluruh sampel positif ditemukan pada sedian reagensia NaCl 0,9%
2. Tampilan sediaan yang dilihat lebih persih dan jernih pada NaCl 0,9%
3. Harga NaCl 0,9% lebih terjangkau, Mudah ditemukan
4. Dengan cara kerja yang sama dan waktu yang sama reagensia NaOH 0,2%
membutuhkan waktu tambahan 15 menit didiamkan setelah dilakukan
sentrifuge.

5.2.Saran

1. Diharapkan untuk klinisi selanjutnya yang ingin melakukan pemerikaan


telur cacing metode sedimentasi mempertimbangankan penggunaan larutan
NaCl 0,9% .
2. Diharapkan klinisi lebih mendalami pemilihan reagensia sesuai kebutuhan
penggunaan.
3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sabagai sumber penambah wawasan
bagi peneliti dalam pemilihan metode pemeriksaan yang sama.

24
DAFTAR PUSTAKA

Auliana, Dkk., 2017, Perbandingan Pemakaian NaCl Jenuh dengan ZnSO4 Jenuh
Menggunakan Metode Flotasi Terhadap Jumlah Telur Cacing Soil
transmitted helminth (STH), Jurnal Akademi Kesehatan Borneo Lestari
Banjarbaru
Budi Hairani, Dkk.,2014, Prevalensi Soil Transmitted helminth (STH) pada anak
sekolah dasar di kecmatan malinau kota kabupaten malinauprovinsi
kalimantan utara, Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Sumber Binatang,
Vol:5 No:1 Hlm: 44
Cahyono Nugroho, Dkk., 2010, Identifikasi kontaminasi telur nematoda usus pada
sayuran kubis (Brassica oleracea) warung makan usaha monosari guning
kidul yogyakarta tahun 2010, Jurnal Kes Mas UAD, Vol:4 Hlm: 68-69
Dhia Irfan Hanif , Dkk., 2017, Gambaran Pengetahuan Penyakit Cacingan
(Helminthiasis) Pada Wali Murid Sdn 1, 2, 3, Dan 4 Mulyoagung,
Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Jurnal Preventia,
Glory Riama, Dkk, 2012, Pengaruh H2O2, Konsentrasi NaOH dan Waktu Terhadap
Derajat Putih Pulp dari Mahkota Nanas, Jurnal Tekni Kimia, No.3, Vol 18,
Hlm 26
Herbert Adrianto, 2018, Kontaminasi Telur Soil Transmitted Helminth pada Sayur
Selada (Lactuca sativa) di Pasar Tradisional, Jurnal Kedokteran Brawijaya,
Vol. 30 No. 2, Hlm: 164-166
Junus Wijdaja, Dkk., 2014, Prevelensi dan jenis cacing soil Transmintted
Helminth (STH) pada sayuran kemangi pedagang ikan bakar di kota palu,
Jurnal epidemiologi dan penyakit sumber Binatang, Vol: 5 No: 2 Hlm: 63
Leonardo Taruk Lobo, Dkk., 2016, Kontaminasi Telur Cacing Soil-transmitted
Helmints (STH) pada Sayuran Kemangi Pedagang Ikan Bakar di Kota Palu
Sulawesi Tengah, Jurnal Media Litbangkes, Vol. 26 No. 2, 65 – 70
Marieta Puspa Regina, Dkk., 2018, Perbandingan pemeriksaan tinja antara metode
sedimentasi biasa dan metode sedimentasi Formal Ether dalam Mendeteksi
Soil Transmintted Helminth, Jurnal kedokteran Dipenogoro, Vol:7 Hlm:
527-529,533
M. Rofiq Nezar ,Dkk., 2014, Jenis Cacing Pada Feses Sapi Di Tpa Jatibarang Dan
Ktt Sidomulyo Desa Nongkosawit Semarang, Unnes Journal of Life Science,
Vol :3 No: 2, Hlm : 99-100
Ni Nyoman, 2018, Identifikasi telur cacing soil Transmitted Helminth (STH) pada
anak sekolah dasar SDN 9 Baruga kota Kendari Sulawesi Tenggara,
Hlm:5-17
Rina Nitalessy, Dkk., 2015, Keberadaan Cemaran Telur Cacing Usus Pada
Sayuran Kemangi (Ocimum Basilicum) Dan Kol (Brassica Oleracea)
Sebagai Menu Pada Ayam Lalapan Di Warung Makan Jalan Piere Tendean
Kota Manado Tahun 2015, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sam Ratulangi, Hlm : 97-99
Rizka Yunidha Anwar, Dkk., 2013, Hubungan antara Higiene Perorangan dengan
Infeksi Cacing Usus (Soil Transmitted Helminths) pada Siswa SDN 25 dan
28 Kelurahan Purus, Kota Padang, Sumatera Barat Tahun 2013, Jurnal
Kesehatan Andalas, 5(3)
LAMPIRAN 4

Melakukan pendataan pada masyarakat

Alat, Bahan dan Reagensia

 Pipet tetes
 Objec glass
 Deck glass
 Gelas kimia
 Rak tabung
 Pipet volume
 Lidi
 Sentrifuge
Mahasiswa Melakukan Pemeriksaan
Telur Cacing Metode Sedimentasi

Hasil Pemeriksaan Telur Cacing


LAMPIRAN 5

Jadwal Penelitian

Bulan
A
M A G
J J
A P M U
No Jadwal U U
R R E S
N L
E I I T
I I
T L U
S
1 Penelusuran Pustaka

2 Pengajuan Judul KTI

3 Konsultasi Judul

4 Konsultasi dengan
Pembimbing

5 Penulisaan Proposal

6 Ujian Proposal

7 Pelaksanaan Penelitian

8 Penulisaan laporan KTI

9 Ujian KTI

10 Perbaikan KTI

11 Yudisium

12 Wisuda

You might also like