Paradigma Hukum-Dunia Dan Terapan Hukum
Paradigma Hukum-Dunia Dan Terapan Hukum
Paradigma Hukum-Dunia Dan Terapan Hukum
Masrokhin1
1
Dosen Jurusan al-Ahwal al-Shakhsiyyah Fakultas Syar’iah Institut Keislaman
Hasyim Asy’ari (IKAHA) Tebuireng Jombang
A. PENDAHULUAN
Dulu, manusia adalah ummatan wahidatan, umat yang satu.
Awalnya, dari manusia yang cuma satu, diciptakan manusia kedua.
Seterusnya manusia berproduksi dan terus berreproduksi, melajulah
jumlah umat manusia. Akibat pesatnya perkembangan kuantitatif
manusia, juga pesatnya perkembangan masyarakat, timbullah
persoalan dan perselisihan, juga silang pendapat. Karenanya, Tuhan
mengutus Nabi dengan bekal kitab suci untuk menjadi pemberi kabar
gembira sekaligus pemberi peringatan (QS 2 : 213)
Diantara kitab suci yang diberikan kepada manusia adalah al-
Qur’an. Kitab ini adalah kitab ilahiyat terakhir yang bisa sampai pada
peradaban manusia. Terakhir, karena agennya disebut sebagai agen
terakhir (QS 33 : 40) sementara manusia masih ada, dan terus saja
menimbulkan silang-debat untuk menyelesaikan perselisihan dan
persoalan masing-masing. Tuhan tidak lagi menurunkan versi baru
dari cara penyelesaian persoalan bagi manusia baru, tetapi apa yang
telah diberikannya dulu melalui agennya diberlakukan abadi, seabadi
keberlangsungan hidup umat manusia. Manusia baru itu yang harus
menemukan cara baru untuk menyelesaikan perselisihan barunya
(kalau masih mau) dengan panduan barang lama. Al-Qur’an sendiri
menunjukkan bagaimana cara memfungsikan barang-lama itu supaya
masih bisa berfungsi dengan baik dengan cara mempelajari dan
memahaminya (QS 38 : 29). Selainnya, bahkan al-Qur’an menunjuk
bahwa masyarakat ideal adalah masyarakat yang terus berubah dan
berkembang menuju kesempurnaan (QS 49 : 29).
Kini, akibat perubahan itu justru masyarakat manusia,
sebagiannya, hendak keluar dari garis panduan al-Qur’an. Katakanlah
ada yang menyebut bahwa aturan-aturan dalam al-Qur’an tidak sesuai
dengan kondisi dan keinginan manusia saat ini sehingga beberapa
aturannya harus tidak dipakai. Diantaranya disebut dengan tidak
rasional dan tidak manusiawi. Atau yang lain sebagaimana ditulis oleh
al-Maududi adalah can a centuries old legal system be adequate to
fulfil the requirements of our modern and society ? is it’s not absurd
to think that the laws which had been framed under certain particular
circumtances in by-gone can hold good in every age and every clime
?2
Dinamika atau perubahan pandangan-dunia menurut Mulyadi
Kartanegara3 merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah dan
telah menjadi sifat dasar dari segala yang ada di bumi, termasuk
manusia dan lembaga-lembaga yang ia bangun. Semua lembaga, baik
keagamaan, negara, maupun kemasyarakatan, tidak ada yang luput
dari dinamika kehidupan ini. Bahkan, kelestarian lembaga itu sedikit
banyaknya tergantung dan dipengaruhi oleh sejauh mana mereka
dapat menyesuaikan diri dengan irama perubahan tersebut. Begitu
juga, dinamika paradigma keilmuan, misalnya ilmu hukum,
mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam perkembangan
disiplin ilmu. Buktinya, aliran positivisme Auguste Comte (1798-
1857) telah “memaksa” hukum menjadi sistem hukum yang
positivistik. Aliran hukum positivisme ini dikembangkan oleh John
Austin (1790-1859) yang mengatakan bahwa materi hukum itu adalah
hukum positif atau hukum yang ditetapkan oleh para politisi yang
berkuasa terhadap rakyat sebagai hukum yang berlaku dan yang
terutama paling disorot adalah aturan harus didasarkan pada logika
atau rasio. Hal-hal yang tak bisa dirasionalkan, termasuk di dalamnya
moral, harus dibuang.4
Sebaliknya, post-modernisme (post-positivisme) yang
menekankan keterkaitan antara wilayah empirik dan moral, telah
melahirkan pandangan bahwa hukum tidak dimaknai sebagai realitas
sosial yang empirik an sich, tetapi hukum juga dimaknai sebagai
realitas metafisik yang tidak dapat dijangkau oleh indera. Berdasarkan
2
Abul A’la Maududi, 1995. Islamic Law and Constitution (Karachi : Jemaat e-
Islami), hal. 13.
3
Mulyadi Kartanegara, 2000. “Membangun Kerangka Ilmu: Perspektif Filosofis”,
dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed.
Kamaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (Jakarta : Departemen Agama), hal. 245-
267.
4
Muslehuddin, 1997. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis : Studi
Perbandingan Sistem Hukum, terj. Yudian Wahyudi Asmin, (Yogyakarta : Tiara
Wacana), hal. 28-29.
B. TEORI UMUM
Satu hal yang tidak dapat diragukan adalah bahwa perbedaan
pertama yang mendasar dan yang paling jelas di antara perbedaan-
perbedaan lainnya adalah bahwa Hukum Barat, sebagaimana kita
ketahui bersama, pada dasarnya bersifat sekular sedangkan Hukum
Islam pada dasarnya bersifat keagamaan. Tetapi hal ini dikemukakan
sekedar untuk menunjukkan perbedaan fundamental secara garis besar
saja.
Secara umum dapat dikatakan, sebagaimana akan diketahui,
bahwa hukum yang berlaku di Eropa Kontinental bersumber pada
Hukum Romawi yang tentu saja hukum Romawi itu adalah hukum
yang dinyatakan berlaku oleh Kaisar Justinianus (Codex Justinian), di
saat dia telah memeluk agama Kristen. Namun hukum yang
dinyatakan berlaku oleh Kaisar Justinianus itu sendiri juga bersumber
pada pandangan-pandangan para hakim ternama di masa pemerintahan
Kaisar Antonius, yang ditulis pada saat agama asli mereka telah
kehilangan pengaruh terhadap orang-orang terpelajar pada masa itu
sebelum mereka terpengaruh oleh agama Kristen. Jadi pada dasarnya
hukum Romawi itu merupakan hukum karya manusia untuk
kepentingan manusia, suatu karya hukum pertama yang biasa
dianggap matang pada masanya. Karena itu ia merupakan hukum yang
sewaktu-waktu dapat diubah bila suasana menghendaki demikian,
sebagaimana ketika ia disusun sebelumnya.
Inilah hukum sipil yang diwarisi oleh negara-negara di dunia
sekarang ini. Di negara-negara yang menganut sistem hukum Barat
kita dapati sistem hukum yang sebagian besar didasarkan atas hukum
Romawi, persis seperti yang dinyatakan berlaku oleh kaisar atau para
5
Costaz Douzinas, 1991. Postmodern Jurisprudence: The Law of Text in The Texts
of Law (Routledge : London), hal. 28.
6
Badawi, Sansuri. 2004. Ushul al-Fiqh, Jombang : Majalis al-‘Ilm.
8
John Austin, 1954. The Province of Jurispridence Determined (London : John
Murray), hal. 9.
9
Hans Kelsen, 1949. General Theory of Law and State (Cambridge :
Massachusetts), hal. 123 dan 153.
10
Hermann Kantorowics, 1937. “Savigny and The Historical School of Law,” dalam
Law Quarterly Review (New York : Princeton University Press), hal. 332.
11
Oliver Wendell Holmes, "The Path of the Law: Conflicting Views of the Legal
World” dalam Joan I. Schwarz, The American Journal of Legal History Vol. 29, No.
3., July, 1985.
12
Karl Olivecrona, 1939. Law as Fact (London: Stevens & Sons.), hal. 17.
13
Joseph Schacht, 1950. The Origins of Muhammadan Jurisprudence, (Oxford :
Clarendon), hal. 190; Joseph Schacht, 1955. Law in the Middle East, (Washington :
Middle East Institute), hal. 39.
14
Ibid
15
Abu Dawud, t.th. Sunan Abi Dawud, vol.2 (Beirut: Dar al-Fikr), hal. 489.
16
Hamilton Alexander Rosskeen Gibb, 1947, Modern Trends in Islam, (The
University of Chicago Press), hal. 85-105.
Qur’an.17 Terma “ma anzal Allah ” pada deretan ayat al-Maidah 44,
45 dan 47 berbeda-beda maksudnya. Pertama menunjuk kitab al-
Turah dan disebut dua kali sebagai pengantar label “ kafirun” (44) dan
label “dzalimun”(45) yang tertuju kepada para pendeta Yahudi.
Kedua, kitab al-Injil. Disebut dua kali langsung dalam satu ayat
pendek (47). Di sinilah label “fasiqun” diberikan untuk pendeta
Nasrani yang menyimpang. Ketiga, adalah kitab suci al-Qur'an.
Disebut tiga kali. Satu kali pada ayat 48 dan dua kali pada ayat 49.
Kiranya perlu diperhatikan lebih seksama, ketika Tuhan
memerintahkan Rasulullah SAW menerapkan hukum dengan “ma
anzal Allah” (al-Qur'an) sama sekali tidak ada pelabelan “kafirun,
dzalimun maupun fasiqun”. Persoalannya, penerapan hukum yang
berujuk al-Qur'an apakah memang beda, sehingga tak ada pelabelan
seperti itu ? Atau, pelabelan tetap ada dengan cara analogik. Yaitu
memperkiraan sendiri secara cerdas dan arif, masuk kategori yang
mana – kafirun, dzalimun, fasiqun - jika seorang muslim tidak
memakai al-Qur'an sebagai dasar hukum ? Pendapat kedua paling
populis. Hal itu mengingat pesan al-Qur'an berlaku universal dan
lintas, selagi tak ada revisi radikal yang nyata.
Dari tiga penutup ayat di atas, label “dzalimun” dibahas karena
kebetulan bermuatan tentang hukum pidananya paling banyak
dibincangkan. Zalim sebagai cap atas siapa saja yang tidak
menerapkan syari’ah Islam sebagai rujukan memutus perkara pidana
(45). Itu artinya, syari’ah qishash sudah tertulis dalam kitab al-Taurah,
era nabi Musa A.S. dahulu serta terbukti efektif dan efesien, sehingga
kehidupan lebih aman dan nyaman. Para penjahat jera dan yang akan
berbuat jahat harus berpikir seribu kali. Karena membunuh orang,
berarti membunuh diri sendiri. Melukai orang, sama dengan melukai
diri sendiri.
Sejarah membuktikan, bahwa rakyat senang dengan syari’ah ini,
tapi justru sebagian pejabat, pembesar, tokoh dan orang berduit yang
tidak setuju. Kemudian bersekongkol dengan para pendeta dusta untuk
mendapatkan hukum khusus. Lalu al-Qur'an menegur dan
17
Al-Sayyid ‘Alawi bin al-Sayyid ‘Abbas Al-Maliki, 1960. Faidh al-Khabir wa
Khulasat al-Taqrin, Surabaya : al-Hidayah. (al-Maliki, 1960 : 30-31).
18
Kompas, 10 Januari 2010.
19
Satjipto Rahardjo, “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, dalam
Harian Kompas, 15 Juni 2002.
E. KESIMPULAN
Dari bahasan mengenai perbandingan hukum dari kacamata kaji
hukum Barat dan tentang al-Qur’an dapat diambil pelajaran sedikitnya
:
1. Pendapat-pendapat mazhab imperatif dalam Ilmu Hukum jelas
dapat diterapkan terhadap konsepsi Islam bila “politisi yang
berkuasa” menurut Austin dan “norma pokok” serta “konstitusi”
menurut Hans Kelsen ditafsirkan dalam pengertian ketuhanan
(teologik).
2. Pendapat-pendapat dari mazhab-mazhab historik dan sosiologik
dalam Ilmu Hukum, walaupun di sana-sini banyak memberikan
penjelasan mengenai sejarah perkembangan Hukum Islam, secara
mendasar tidak dapat diperbandingkan dengan teori-teori Hukum
Islam itu.
3. Pandangan-pandangan para realis –di Amerika maupun di Swedia–
justru secara diametral berlawanan dengan konsep Hukum Islam.
Di lain pihak, pendapat-pendapat para ahli hukum alam jauh lebih
mendekati ajaran Islam, walau di sana-sini terdapat beberapa
perbedaan penting. Mengenai kedudukan akal manusia, para
fuqaha’ sependapat bahwa ia memainkan peranan penting dalam
proses pengambilan ketetapan (istinbath) hukum dari sumber-
sumber wahyu (nas), walaupun ia tidak dianggap sebagai sumber
hukum.
4. Tafsir terhadap apa yang telah diturunkan Allah dan selanjutnya
tidak serta merta diterapkan oleh muslim sebagaimana dibicarakan
di atas diharap bisa menjadi pertimbangan akademik, sehingga
tidak mudah menuduh saudara sendiri sebagai kafir, gara-gara
dianggap tidak apresiatif terhadap gagasan diberlakukannya
syari’ah Islam. Padahal, untuk menuju ke sana banyak piranti yang
mesti dipersiapkan, semisal universalitas hukum, piranti sosial-
ekonomi, instrumen bertasyri’ dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA