Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Paradigma Hukum-Dunia Dan Terapan Hukum

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 20

Paradigma Hukum-Dunia dan Terapan Hukum al-Qur‘an

PARADIGMA HUKUM-DUNIA DAN TERAPAN


HUKUM AL-QUR‘AN
(Studi atas Islam, Muslim dan Perilaku Hukum)

Masrokhin1

Abstract: Allah has revealed al Qur’an long ago as a guidebook for


men does not change even though people change. God no longer
lose the new version of the solution to a problem for the new man,
but what he has given his agent applied first through timeless,
eternal as the survival of the human race. However, there is a
mention that the rules of the Qur’an are not in accordance with the
conditions and desires of people today that some rules should not
be used. Among them is called irrational and inhuman. Assessment
of the laws of the Qur'an can be seen from the two types of
paradigms, Western law and Islamic law paradigm. In western
paradigm there are a lot of legal reasoning that can be used as a
comparison how the paradigm of Islamic law judge applying the
law as outlined al-Qur'an to mankind. From the Qur'an which gives
labels as how the law of the Qur’an (not) be applied, giving
direction that to what Allah has revealed, and do not necessarily
implemented by Muslims must be understood that plurality (way of
thinking) of people should be considered . In this way, there is no
longer easy to accuse his own as a pagan, because considered not
appreciative of the idea of the implementation of Islamic Shariah.
There are many tools that should be prepared, such as the
universality of law, socio-economic tools and instruments to live
according to shariah '.

Keywords: legal paradigm, the application of the law, the law of


the Qur’an

1
Dosen Jurusan al-Ahwal al-Shakhsiyyah Fakultas Syar’iah Institut Keislaman
Hasyim Asy’ari (IKAHA) Tebuireng Jombang

MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012 87


Masrokhin

A. PENDAHULUAN
Dulu, manusia adalah ummatan wahidatan, umat yang satu.
Awalnya, dari manusia yang cuma satu, diciptakan manusia kedua.
Seterusnya manusia berproduksi dan terus berreproduksi, melajulah
jumlah umat manusia. Akibat pesatnya perkembangan kuantitatif
manusia, juga pesatnya perkembangan masyarakat, timbullah
persoalan dan perselisihan, juga silang pendapat. Karenanya, Tuhan
mengutus Nabi dengan bekal kitab suci untuk menjadi pemberi kabar
gembira sekaligus pemberi peringatan (QS 2 : 213)
Diantara kitab suci yang diberikan kepada manusia adalah al-
Qur’an. Kitab ini adalah kitab ilahiyat terakhir yang bisa sampai pada
peradaban manusia. Terakhir, karena agennya disebut sebagai agen
terakhir (QS 33 : 40) sementara manusia masih ada, dan terus saja
menimbulkan silang-debat untuk menyelesaikan perselisihan dan
persoalan masing-masing. Tuhan tidak lagi menurunkan versi baru
dari cara penyelesaian persoalan bagi manusia baru, tetapi apa yang
telah diberikannya dulu melalui agennya diberlakukan abadi, seabadi
keberlangsungan hidup umat manusia. Manusia baru itu yang harus
menemukan cara baru untuk menyelesaikan perselisihan barunya
(kalau masih mau) dengan panduan barang lama. Al-Qur’an sendiri
menunjukkan bagaimana cara memfungsikan barang-lama itu supaya
masih bisa berfungsi dengan baik dengan cara mempelajari dan
memahaminya (QS 38 : 29). Selainnya, bahkan al-Qur’an menunjuk
bahwa masyarakat ideal adalah masyarakat yang terus berubah dan
berkembang menuju kesempurnaan (QS 49 : 29).
Kini, akibat perubahan itu justru masyarakat manusia,
sebagiannya, hendak keluar dari garis panduan al-Qur’an. Katakanlah
ada yang menyebut bahwa aturan-aturan dalam al-Qur’an tidak sesuai
dengan kondisi dan keinginan manusia saat ini sehingga beberapa
aturannya harus tidak dipakai. Diantaranya disebut dengan tidak
rasional dan tidak manusiawi. Atau yang lain sebagaimana ditulis oleh
al-Maududi adalah can a centuries old legal system be adequate to
fulfil the requirements of our modern and society ? is it’s not absurd
to think that the laws which had been framed under certain particular

88 MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012


Paradigma Hukum-Dunia dan Terapan Hukum al-Qur‘an

circumtances in by-gone can hold good in every age and every clime
?2
Dinamika atau perubahan pandangan-dunia menurut Mulyadi
Kartanegara3 merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah dan
telah menjadi sifat dasar dari segala yang ada di bumi, termasuk
manusia dan lembaga-lembaga yang ia bangun. Semua lembaga, baik
keagamaan, negara, maupun kemasyarakatan, tidak ada yang luput
dari dinamika kehidupan ini. Bahkan, kelestarian lembaga itu sedikit
banyaknya tergantung dan dipengaruhi oleh sejauh mana mereka
dapat menyesuaikan diri dengan irama perubahan tersebut. Begitu
juga, dinamika paradigma keilmuan, misalnya ilmu hukum,
mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam perkembangan
disiplin ilmu. Buktinya, aliran positivisme Auguste Comte (1798-
1857) telah “memaksa” hukum menjadi sistem hukum yang
positivistik. Aliran hukum positivisme ini dikembangkan oleh John
Austin (1790-1859) yang mengatakan bahwa materi hukum itu adalah
hukum positif atau hukum yang ditetapkan oleh para politisi yang
berkuasa terhadap rakyat sebagai hukum yang berlaku dan yang
terutama paling disorot adalah aturan harus didasarkan pada logika
atau rasio. Hal-hal yang tak bisa dirasionalkan, termasuk di dalamnya
moral, harus dibuang.4
Sebaliknya, post-modernisme (post-positivisme) yang
menekankan keterkaitan antara wilayah empirik dan moral, telah
melahirkan pandangan bahwa hukum tidak dimaknai sebagai realitas
sosial yang empirik an sich, tetapi hukum juga dimaknai sebagai
realitas metafisik yang tidak dapat dijangkau oleh indera. Berdasarkan

2
Abul A’la Maududi, 1995. Islamic Law and Constitution (Karachi : Jemaat e-
Islami), hal. 13.
3
Mulyadi Kartanegara, 2000. “Membangun Kerangka Ilmu: Perspektif Filosofis”,
dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed.
Kamaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (Jakarta : Departemen Agama), hal. 245-
267.
4
Muslehuddin, 1997. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis : Studi
Perbandingan Sistem Hukum, terj. Yudian Wahyudi Asmin, (Yogyakarta : Tiara
Wacana), hal. 28-29.

MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012 89


Masrokhin

pemahaman ini, hukum dimaknai tidak saja sebagai fenomena sosial


tetapi juga fenomena rohani.5
Tulisan berikut akan melihat bagaimana hukum Barat yang man
made laws di dunia disandingkan dengan divine law yang belakangan
tampak lebih banyak digugat daripada dilihat secara hati cerdas.

B. TEORI UMUM
Satu hal yang tidak dapat diragukan adalah bahwa perbedaan
pertama yang mendasar dan yang paling jelas di antara perbedaan-
perbedaan lainnya adalah bahwa Hukum Barat, sebagaimana kita
ketahui bersama, pada dasarnya bersifat sekular sedangkan Hukum
Islam pada dasarnya bersifat keagamaan. Tetapi hal ini dikemukakan
sekedar untuk menunjukkan perbedaan fundamental secara garis besar
saja.
Secara umum dapat dikatakan, sebagaimana akan diketahui,
bahwa hukum yang berlaku di Eropa Kontinental bersumber pada
Hukum Romawi yang tentu saja hukum Romawi itu adalah hukum
yang dinyatakan berlaku oleh Kaisar Justinianus (Codex Justinian), di
saat dia telah memeluk agama Kristen. Namun hukum yang
dinyatakan berlaku oleh Kaisar Justinianus itu sendiri juga bersumber
pada pandangan-pandangan para hakim ternama di masa pemerintahan
Kaisar Antonius, yang ditulis pada saat agama asli mereka telah
kehilangan pengaruh terhadap orang-orang terpelajar pada masa itu
sebelum mereka terpengaruh oleh agama Kristen. Jadi pada dasarnya
hukum Romawi itu merupakan hukum karya manusia untuk
kepentingan manusia, suatu karya hukum pertama yang biasa
dianggap matang pada masanya. Karena itu ia merupakan hukum yang
sewaktu-waktu dapat diubah bila suasana menghendaki demikian,
sebagaimana ketika ia disusun sebelumnya.
Inilah hukum sipil yang diwarisi oleh negara-negara di dunia
sekarang ini. Di negara-negara yang menganut sistem hukum Barat
kita dapati sistem hukum yang sebagian besar didasarkan atas hukum
Romawi, persis seperti yang dinyatakan berlaku oleh kaisar atau para
5
Costaz Douzinas, 1991. Postmodern Jurisprudence: The Law of Text in The Texts
of Law (Routledge : London), hal. 28.

90 MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012


Paradigma Hukum-Dunia dan Terapan Hukum al-Qur‘an

penyusun undang-undang, walaupun penafsiran dan penerapannya


dilakukan oleh badan-badan peradilan. Itulah hukum sekular buatan
manusia yang dengan mudah dapat diubah oleh penguasa yang sama,
yang sebelumnya menyatakan berlakunya hukum itu. Namun
bagaimanapun juga, hukum sekular dan buatan manusia sajalah yang
dengan mudah dapat diubah-ubah oleh badan legislatif, walau tentu
saja dengan catatan ketika suatu aturan hukum yang ditetapkan oleh
badan legislatif bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
(konstitusi). Akan tetapi Hukum Islam (dan dalam batas-batas tertentu
juga beberapa sistem hukum lain yang berlaku di Timur) secara
esensial berbeda, karena ia secara fundamental dianggap sebagai
hukum Tuhan – dan dengan demikian, pada pokoknya tidak dapat
diubah.
Bagi setiap Muslim memang berlaku nilai etik terhadap setiap
perbuatan manusia, yang disebut qubh (keburukan, ketidaksopanan)
dan husn (keindahan, kesopanan) di lain pihak. Akan tetapi nilai etik
ini tidak selamanya dapat diterima oleh nalar manusia; bahkan dalam
hubungan ini manusia sepenuhnya terikat dengan wahyu Tuhan.
Karena itu semua perbuatan manusia tercakup, menurut klasifikasi
yang secara merata diakui, dalam lima macam kategori, yaitu wajib,
sunnah, mubah, makruh, dan haram sesuai dengan ketetapan Allah.
Dan hanya dalam kategori yang disebut di tengah itu sajalah (yakni
mubah, yang boleh dikerjakan atau ditinggalkan) manusia secara
teoretik berhak menetapkan aturan. Dalam dunia ushul al-fiqh
(metodologi hukum Islam) ini yang kelak dikenal dengan teori itsbat
dan tsubut.6
Tetapi kenyataan ini secara langsung menjurus kepada
perbedaan pokok yang kedua di antara kedua sistem hukum tersebut,
yakni bahwa Hukum Islam jauh lebih luas cakupannya dibandingkan
dengan hukum Barat. Menurut pemikiran Barat, hukum sebagaimana
dipahami oleh para ahli hukum dapat dirumuskan sebagai hukum yang
dinyatakan atau, setidak-tidaknya, dapat dinyatakan berlaku oleh
badan-badan peradilan. Sebaliknya, Hukum Islam memasukkan
seluruh perbuatan manusia ke dalam cakupannya. Dalam buku-buku

6
Badawi, Sansuri. 2004. Ushul al-Fiqh, Jombang : Majalis al-‘Ilm.

MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012 91


Masrokhin

fiqih (hukum Islam) klasik apapun, pertama kali berbicara secara


panjang lebar tentang masalah-masalah seperti cara bersuci (taharah),
salat, puasa (saum), zakat dan hajji; kemudian setelah itu berbicara
tentang hukum keluarga misalnya nikah, perceraian (talaq), perwalian
(wilayah) nikah, nafkah keluarga (nafaqah), dan tanggung jawab
pemeliharaan anak setelah orang tua bercerai (hadanah). Kemudian
buku-buku itu juga berbicara tentang hukum perikatan, pelanggaran
terhadap hak perorangan dan apa yang kita sebut tindak pidana
(jarimah). Selain itu, buku-buku tersebut juga membicarakan
masalah-masalah lain seperti hukum perdamaian (sulh) dan
peperangan (harb), hukum pembuktian dan acara, serta banyak
persoalan lainnya, misalnya tentang kapan undangan pesta perkawinan
(walimat al-ursy) harus ditolak. Jadi jelas bahwa Hukum Islam itu
mencakup segala lapangan hukum, hukum publik, hukum privat,
hukum nasional dan hukum internasional sekaligus yang di Barat
dianggap sama sekali bukan hukum.
Setiap Muslim memang dibolehkan berkonsultasi dengan
penasehat hukumnya, sama sebagaimana orang Barat, untuk mencari
jalan agar dia tidak mengalami kesulitan di pengadilan atau untuk
menyelamatkan uang yang diperkarakan; tetapi lebih dari itu ia boleh
juga meminta nasihat di bidang agama dan akhlak dan meminta
petunjuk tentang apa yang seharusnya diperbuat atau tidak diperbuat
dalam rangka memperolah ridla Allah, sang Pencipta.7 Namun
demikian, sudah barang tentu banyak di antara hukum-hukum taklifi
yang lima ini tidak dapat dipaksakan berlakunya oleh badan-badan
pengadilan manusia (di dunia) ini. Sebagai contoh, hanya perbuatan-
perbuatan yang secara jelas dinyatakan wajib atau haram sajalah –
bukan yang sunnah, mubah, dan makruh– yang dapat dipaksakan
berlakunya; dan bahkan kita dapati banyak di antara perbuatan-
perbuatan yang termasuk dalam kedua kategori tersebut yang
diserahkan, sejauh menyangkut hukumannya, kepada Allah saja.
Sebagai contoh adalah hukuman laknat Tuhan dalam perkara li’an,
yaitu menuduh istri berzina. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
Hukum Islam itu secara tepat dapat dilukiskan sebagai “ajaran
7
Duncan B MacDonald, 1903. Development of Muslim Theology, Jurispridence and
Constitutional Theory (New York, 1903), hal. 73.

92 MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012


Paradigma Hukum-Dunia dan Terapan Hukum al-Qur‘an

(doktrin) tentang tugas-tugas atau kewajiban-kewajiban” setiap


Muslim.
Barangkali akan sangat membantu dan berguna bila untuk
selanjutnya dibahas teori hukum dengan kacamata pengkaji teori-teori
hukum Barat dengan mencoba merefleksikan pemikiran-pemikiran
beberapa madzhab hukum sekaligus dijejerkan dengan hukum Islam,
sebagai berikut :
Pertama, positivisme hukum yang digagas oleh John Austin
(Austinian theory) dan Teori Hukum Murni (Pure Theory of Law) dari
Hans Kelsen. “Materi ilmu hukum,” kata Austin, “adalah hukum
positif yang secara sederhana dan singkat disebut hukum saja, atau
hukum yang ditetapkan oleh para politisi yang berkuasa terhadap
rakyat yang mereka kuasai.”8 Tetapi persoalannya apakah teori ini
dapat diterapkan terhadap Hukum Islam? Jawabannya jelas bisa,
apabila “politisi yang berkuasa” dalam definisi tersebut adalah Tuhan
Allah yang Maha Besar, yang berkehendak menyatakan berlakunya
hukum sesuai dengan penilaian-Nya.
Teori Hukum Murni (Pure Theory of Law) dari Hans Kelsen
sebagai contoh lain. Menurut pendapat Kelsen, Ilmu Hukum itu
berkaitan dengan “hukum sebagaimana adanya (as it is) dan bukan
hukum sebagaimana seharusnya (law as it ought to be)”. Akan tetapi
dalam teori hukum Islam (walaupun sudah barang tentu tidak sama
persis dalam prakteknya) justru yang sebaliknyalah yang dianggap
benar. Kelsen juga mendefinisikan hukum sebagai “sistem atau
hierarki norma-norma yang memperkirakan secara dini apa yang
senantiasa terjadi pada saat dan situasi tertentu” yang semuanya
terikat, pada akhirnya, dengan “norma pokok” dalam “konstitusi
pertama” negara yang bersangkutan.9 Tetapi definisi ini pun hanya
dapat diterapkan pada hukum Islam –dalam teori hukumnya– apabila
kita menafsirkan norma pokok atau konstitusi itu sebagai kedaulatan

8
John Austin, 1954. The Province of Jurispridence Determined (London : John
Murray), hal. 9.
9
Hans Kelsen, 1949. General Theory of Law and State (Cambridge :
Massachusetts), hal. 123 dan 153.

MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012 93


Masrokhin

Allah dan otoritas wahyu-Nya (sebagaimana diyakini oleh setiap


Muslim).
Kedua, mengambil apa yang barangkali bisa dikatakan sebagai
aliran historik dalam Ilmu Hukum. Menurut para ahli hukum dari
aliran ini, hukum sebagaimana halnya bahasa, tingkah laku dan
konstitusi, tidak berdiri sendiri secara terpisah melainkan sebagai
salah satu fungsi atau bagian dari kehidupan bangsa secara
keseluruhan. Kita mengetahui bahwa konon pada zaman dahulu
keyakinan bersama yang dianut rakyat merupakan cikal bakal hukum;
akan tetapi bersamaan dengan berkembangnya peradaban, penetapan
hukum itu, sama seperti aktivitas-aktivitas lain, merupakan fungsi
tertentu dan sekarang dijalankan oleh profesi hukum. Jadi hukum
“muncul dari kekuatan-kekuatan yang tidak bersuara dan anonim, dan
yang tidak didorong oleh kehendak secara sukarela atau pun secara
sadar, tetapi berlaku sejalan dengan hukum adat”.10
Tetapi teori ini meskipun ada benarnya bahwa banyak di antara
hukum Islam yang secara berangsur-angsur mengalami
perkembangan, secara fundamental tidak dapat diperbandingkan
dengan konsep dan teori dasar hukum Islam itu. Namun secara
selintas dapat dikemukakan bahwa tekanan yang diberikan oleh aliran
ini pada peran yang dimainkan oleh profesi hukum dalam proses
pembentukan hukum itu sangat sesuai dengan proses perkembangan
hukum Islam. Sebab hukum (Islam) ini sejak semula merupakan
“hukum yang ditetapkan oleh para ahli Hukum Islam (fuqaha’)” (yang
ternyata tidak terlalu didasarkan atas hukum pada badan peradilan
sebagaimana dalam hukum formal; dan juga tidak terlalu didasarkan
atas keputusan-keputusan para hakim sebagaimana pendapat-pendapat
para pembela atau pengacara); bukan hukum yang diambil oleh para
ahli itu dari “kekuatan-kekuatan yang tidak bersuara dan anonim,”
atau dari pelaksanaan hukum adat, melainkan diambil dari satu-
satunya tolok ukur yang paling meyakinkan yaitu wahyu Allah.
Ketiga, mazhab sosiologik dalam Ilmu Hukum. Menurut para
ahli hukum dari mazhab atau aliran ini, perhatian tidak terlalu

10
Hermann Kantorowics, 1937. “Savigny and The Historical School of Law,” dalam
Law Quarterly Review (New York : Princeton University Press), hal. 332.

94 MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012


Paradigma Hukum-Dunia dan Terapan Hukum al-Qur‘an

ditujukan pada sejarah hukum sebagai pengaruh timbal balik antara


hukum dan masyarakat. Ini pun barangkali merupakan gambaran
mengagumkan tentang Hukum Islam yang mengalami perkembangan
sepanjang sejarahnya; walaupun secara radikal ia tidak mempengaruhi
teori-teori hukum. Sebab jelas menurut teori tersebut, bahwa bukan
masyarakat yang mempengaruhi hukum melainkan hukumlah yang
menyajikan norma dan pedoman berdasarkan wahyu Allah dan ummat
Muslim terikat untuk melaksanakannya.
Keempat, mengambil apa yang dikenal sebagai kalangan Realis
Amerika yang memberi perhatian pada perilaku (behavior orientation)
sebagaimana dikenal melalui ucapan hakim Oliver Wendell Holmes11
bahwa “keputusan-keputusan yang akan diambil oleh pengadilan,
bukan yang lain, adalah apa yang saya maksud dengan hukum”. Tidak
dapat diragukan bahwa mungkin definisi ini tepat sekali untuk
diterapkan terhadap Hukum Islam yang berlaku di suatu negara;
walaupun tidak ada seorang ahli Hukum Islam pun mau menerima
definisi itu sebagai gambaran mengenai syari’ah. Namun sebaliknya,
mereka berpendapat bahwa betapapun jauhnya pengadilan-pengadilan
itu menyimpang dari jalan (agama) yang lurus, bagi setiap Muslim
Syari’ah adalah tetap Syari’ah, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang
wajib dilaksanakan oleh pengadilan-pengadilan dan setiap Muslim
wajib mematuhinya.
Kelima, pandangan kalangan realis Skandinavia yang lebih
mempersoalkan landasan metafisis hukum dengan titik berat pada
keseluruhan sistem hukum, bukan sekedar perilaku pengadilan.
“Kekuatan hukum untuk mengikat,” demikian Olivecrona12
menegaskan, “adalah kenyataan yang semata-mata berada dalam
pikiran orang.” Ide atau pikiran ini memang bisa dikatakan tidak
mengalami perubahan untuk menjalankan “fungsi yang berbahaya,
reaksioner dan di luar kesadaran sekalipun. Kekuatan tersebut
mempengaruhi pikiran manusia sehingga dia yakin bahwa hukum

11
Oliver Wendell Holmes, "The Path of the Law: Conflicting Views of the Legal
World” dalam Joan I. Schwarz, The American Journal of Legal History Vol. 29, No.
3., July, 1985.
12
Karl Olivecrona, 1939. Law as Fact (London: Stevens & Sons.), hal. 17.

MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012 95


Masrokhin

adalah sesuatu yang berada di luar dan di atas kenyataan-kenyataan


kehidupan sosial; dan karenanya tidak dapat diragukan lagi bahwa ia
memiliki validitas sendiri yang bukan bikinan manusia.” Kenyataan
yang ada, demikian menurut pandanganya, adalah bahwa “hukum
dibuat oleh manusia, sehingga ia dapat dipaksakan berlakunya, baik
terhadap orang-orang biasa, polisi-polisi maupun para hakim.” Tetapi,
jalan pikiran ini jelas berbeda dengan konsepsi Syari’ah Islam. Sebab
bagi setiap Muslim Syari’ah itu benar-benar berada di luar dan di atas
fakta-fakta kehidupan sosial; yang karenanya tidak dapat diragukan
bahwa ia memiliki validitas sendiri yang bukan bikinan manusia.
Bahkan lebih dari itu, seandainya ia tidak dapat dipaksakan
berlakunya kepada siapapun, ia tetap merupakan hukum yang di sisi
Allah, wajib ditaati oleh semua orang yang beriman.
Akhirnya bila kita mengalihkan perhatian kita pada teori hukum
yang keenam, hukum alam, maka kita akan mendapatkan
perbandingan yang jauh lebih baik. Sebab para ahli hukum alam
tersebut, sebagaimana para fuqaha’ di kalangan ummat Muslim,
menyatakan bahwa hukum merupakan norma abadi yang
transendental dan wajib dipatuhi oleh manusia kapan saja. Walaupun
demikian di sini terdapat beberapa perbedaan fundamental tertentu di
antara kedua konsep hukum tersebut yang amat penting. Dalam
hubungan ini terlihat adanya dua hal. Pertama, para ahli hukum alam
menyatakan bahwa hukum merupakan sesuatu yang inheren dalam
hakikat benda-benda, di alam semesta, dalam hakikat makhluk-
makhluk rasional, dan dalam hak-hak asasi manusia. Dan kedua,
mereka juga menyatakan bahwa hukum itu terjangkau –secara garis
besar– oleh nalar manusia yang sekurang-kurangnya memiliki
kemampuan untuk menetapkan kerangka umum keadilan secara alami.
Namun bila kita menengok apa yang barangkali bisa diistilahkan
sebagai doktrin Islam ortodoks (salaf) yang dominan atau sentral, kita
dapati bahwa tidak satupun di antara kedua pandangan ini dapat diakui
kebenarannya. Mazhab Asy’ariyyah tidak hanya mengingkari
pendapat yang menyatakan bahwa tanpa wahyu, akal manusia mampu
memahami nilai etik dalam perbuatan-perbuatan manusia, tetapi juga
menentang anggapan bahwa nilai etik itu ada tanpa adanya perintah
atau larangan Allah. Menurut pendapat mereka Allah tidak menyuruh

96 MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012


Paradigma Hukum-Dunia dan Terapan Hukum al-Qur‘an

perbuatan-perbuatan tertentu karena secara instrinsik perbuatan-


perbuatan itu baik, dan juga tidak melarang tingkah laku tertentu
karena secara inheren ia jahat. Jadi, perbuatan-perbuatan itu baik atau
buruk, secara ekslusif ada lantaran Allah menyuruh atau melarangnya.
Namun pendapat mereka ini, walaupun sangat berpengaruh,
bukan tanpa sanggahan. Mazhab Mu’tazilah, misalnya, mempunyai
pandangan yang sama sekali berbeda. Menurut mereka semua tingkah
laku manusia secara intrinsik baik atau jahat dan Allah menyuruh
yang baik karena memang ia baik dan melarang yang jahat karena ia
jahat. Lebih jauh mereka berkeyakinan bahwa dalam beberapa hal
akal manusia benar-benar dalam mempersepsi –tanpa bantuan wahyu
sama sekali– bahwa suatu perbuatan adalah baik atau jahat; dan dalam
hal-hal semacam ini tidak lebih daripada sekedar mengakui kebenaran
penilaian nalar manusia.
Tetapi dalam hal-hal lain, manusia sendiri tidak dapat
mempersepsi nilai etik yang inheren dalam beberapa perbuatan
tertentu, dan dalam hal-hal semacam itu, tentu saja dia tergantung
kepada petunjuk wahyu. Walaupun selama bertahun-tahun mazhab
Mu’tazilah dianggap sesat oleh ummat Muslim pada umumnya,
mazhab-mazhab lain –seperti Maturidiyah dan banyak di antara
fuqaha’ mazhab Hanafi– sependapat dengannya mengenai kedua
pandangan tersebut.

C. SUMBER HUKUM ISLAM


Sumber pertama Hukum Islam yang wajib diyakini oleh setiap
Muslim, adalah al-Qur’an yang menurut pandangan ulama ortodoks
(salaf) merupakan ipsissima verba (kalam) Allah yang tertulis pada
papan yang terjaga (lauh makhfuz) dalam bahasa Arab diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw. pada saat diperlukan dengan perantara
malaikat pembawa wahyu, yaitu Jibril. Kita mendapatkan keterangan
bahwa Hukum Islam sering dinyatakan sebagai “Hukum al-Qur’an.”
Tetapi sebenarnya dalam kitab suci tersebut sedikit sekali ayat yang
secara tegas berkaitan dengan masalah hukum. Walaupun demikian,

MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012 97


Masrokhin

Joseph Schacht13 menunjukkan bahwa pengambilan aturan-aturan


hukum dari Al-Qur’an itu tidak sebagai sumber primer (sebagaimana
dinyatakan dalam teori tradisional) melainkan sebagai sumber
sekunder; sebab aturan-aturan ini tidak seluruhnya diambil secara
langsung dari al-Qur’an in abstracto, melainkan dari hukum adat dan
dari pengalaman pemerintahan dan ini semua diterima, ditolak atau
diubah oleh para fuqaha’ sesuai dengan ajaran al-Qur’an atau ajaran
Islam pada umumnya.
Bagaimanapun juga, al-Qur’an itu sendiri belum pernah
berfungsi sebagai sumber yang memadai bagi sistem hukum manapun.
Maka menurut pandangan tradisional yang diyakini, hukum itu
pertama-tama harus diambil dari Sunnah atau Hadis nabi; sebab para
fuqaha’ dari kalangan Sunni berpendapat bahwa setelah Nabi wafat
wahyu Allah tidak turun lagi dan ummatnya mendapat Kitab Allah
(yang kemudian dibukukan sebagai mushaf) dan hafalan (para sahabat
Nabi) tentang segala sesuatu yang pernah dilakukan oleh para Nabi
sendiri; dan bahwa mereka menggunakan Sunnah tersebut untuk
melengkapi sumber yang pertama (al-Qur’an).
Tetapi Schacht dan sarjana-sarjana lain juga menunjukkan
bahwa hal ini merupakan alasan yang lebih bersifat idealistik daripada
historik mengenai bagaimana perkembangan Hukum Islam pada
masa-masa pertama, sebab pada masa-masa itu ilmu Hadis yang
berbicara tentang apa yang dikatakan, diperbuat dan direstui oleh Nabi
untuk diperbuat yang kemudian hari digunakan untuk menilai
keabsahan Sunnahnya itu sama sekali belum berkembang. Di samping
itu, istilah Sunnah itu sendiri pertama kali mempunyai pengertian
adat-istiadat kuno bangsa Arab dan kemudian diartikan sebagai “adat
yang berlaku” (urf) dalam mazhab-mazhab fiqih masa dulu.14
Tetapi situasi yang ada telah menimbulkan perubahan radikal
sejak sekitar akhir abad ke-2 Hijriyyah, dan sejak itulah hadis-hadis
mengenai apa saja yang telah dikatakan, diperbuat atau direstui Nabi

13
Joseph Schacht, 1950. The Origins of Muhammadan Jurisprudence, (Oxford :
Clarendon), hal. 190; Joseph Schacht, 1955. Law in the Middle East, (Washington :
Middle East Institute), hal. 39.
14
Ibid

98 MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012


Paradigma Hukum-Dunia dan Terapan Hukum al-Qur‘an

untuk diperbuat pada masa hayatnya kebanyakan diantara hadis-hadis


itu adalah yang tidak diragukan kebenarannya atau yang tidak
dikacaukan, diakui sebagai sumber Syari’ah yang kedua sesudah al-
Qur’an. Walaupun hadis-hadis ini bermacam-macam, setiap kali
diperlukan lantas ada hadisnya dalam kenyataannya dapat memenuhi
semua kebutuhan hidup sehari-hari yang beraneka ragam itu. Oleh
karena itu aturan-aturan hukum selanjutnya terpaksa harus
dikembangkan di sana-sini oleh para fuqaha’. Pada mulanya mereka
melakukan hal ini berdasarkan landasan umum mengenai apa yang
dianggap benar dan baik, sebagaimana dengan jelas tergambar dalam
percakapan antara Nabi Muhammad saw. dan seorang sahabat
(Mu’adz) yang diutus sebagai qadi di Yaman.15
Tidak lama kemudian, sebelum pandangan ini diterapkan,
ternyata ada kesan bahwa pandangan (ra’yu) di bidang hukum ini
terasa terlalu subyektif dan cenderung salah sehingga dianggap tidak
kuat sebagai landasan untuk menetapkan hukum Allah tersebut. Hal
itu dinilai terlalu subyektif dan karena itu para fuqaha’ pada umumnya
(jumhur) berpendapat bahwa aturan yang benar adalah yang
didasarkan atas aturan-aturan analogi (qiyas) yang ketat; dengan qiyas
tersebut suatu aturan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an atau
Sunnah dapat diperluas cakupannya pada beberapa keadaan yang
sejenis walaupun tidak sama benar.
Persoalannya, qiyas itu pun cenderung keliru, sebab disadari
bahwa dengan menggunakan aturan qiyas itu pun seorang faqih
(bentuk mufrad dari fuqaha’) bisa keliru pula. Karena itu pendapat
yang kuat di kalangan Sunni –yang antara lain terlihat sebagai reaksi
terhadap keyakinan ‘ulama’ Syi’ah yang “heterodoks” (menyimpang)
bahwa ulama atau pemimpin (imam) mereka tidak mungkin berbuat
kesalahan (ma’sum)– menyatakan bahwa meskipun setiap orang bisa
saja melakukan kesalahan, para fuqaha’’ secara bersama-sama tidak
mungkin melakukan kesalahan semacam itu. Karena itu konsensus
(ijma’) di antara para fuqaha’ (atau kadang-kadang juga di antara
anggota-anggota umat Muslim) hingga sekarang diakui sebagai cara
lain untuk menunjukkan makna firman Allah.

15
Abu Dawud, t.th. Sunan Abi Dawud, vol.2 (Beirut: Dar al-Fikr), hal. 489.

MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012 99


Masrokhin

Jelasnya menurut pandangan fiqih klasik, Syari’ah ditetapkan


berdasarkan al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ serta analogi (qiyas)
terhadap ketiga landasan tersebut. Beberapa sumber lain juga sering
disebut-sebut dalam kaitan ini, tetapi tidak perlu kita bicarakan
sekarang.
Satu hal yang perlu kita catat adalah bahwa dalam kenyataannya
hukum Islam tersebut sebagian besar didasarkan atas dua sumber
tersebut terakhir (ijma’ dan qiyas), dan bahwa dalam sejarahnya
ternyata ijma’ merupakan sumber terpenting di antara semua sumber
hukum itu –sebab meskipun Al-Qur’an perlu ditafsirkan, dan hadis-
hadis perlu ditelaah untuk mengetahui keabsahan atau kesahihannya–
ternyata ijma’lah yang pada akhirnya menempati posisi menentukan
untuk menetapkan aturan hukum yang mengikat.
Perlu dicatat pula bahwa walaupun dalam teori, semua bagian
dalam fiqih Islam itu didasarkan atas wahyu, dalam prakteknya
terdapat beberapa perbedaan tertentu. Hanya hukum perorangan dan
keluarga sajalah, sebagaimana halnya dengan aturan-aturan tentang
ibadah, yang dianggap sebagai inti Syari’ah. Hukum publik, di lain
pihak, walaupun dalam teori dikatakan sama-sama dilandasi oleh
wahyu Allah, ternyata diperlakukan lebih rendah selama berabad-
abad.16

D. PENERAPAN HUKUM AL-QUR’AN


Di dalam al-Qur’an terdapat tiga penutup ayat menggambarkan
labelisasi atas siapa saja yang tidak memakai ma anzal Allah sebagai
dasar keputusan hukum. Mereka dicap sebagai kafir, dzalim atau fasiq
(QS 5 : 44, 45 dan 47). Sebuah cap yang menunjuk penderajatan, dari
yang paling ekstrim hingga yang mendingan. Apapun skoringnya,
tetap sebuah cap buruk yang mesti dijauhi oleh setiap pribadi beriman.
Kaedah tafsir membenarkan pendekatan umum al-lafdh, khusus
al-sabab, siyaq al-kalam dan munasabah dalam menafsirkan pesan al-

16
Hamilton Alexander Rosskeen Gibb, 1947, Modern Trends in Islam, (The
University of Chicago Press), hal. 85-105.

100 MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012


Paradigma Hukum-Dunia dan Terapan Hukum al-Qur‘an

Qur’an.17 Terma “ma anzal Allah ” pada deretan ayat al-Maidah 44,
45 dan 47 berbeda-beda maksudnya. Pertama menunjuk kitab al-
Turah dan disebut dua kali sebagai pengantar label “ kafirun” (44) dan
label “dzalimun”(45) yang tertuju kepada para pendeta Yahudi.
Kedua, kitab al-Injil. Disebut dua kali langsung dalam satu ayat
pendek (47). Di sinilah label “fasiqun” diberikan untuk pendeta
Nasrani yang menyimpang. Ketiga, adalah kitab suci al-Qur'an.
Disebut tiga kali. Satu kali pada ayat 48 dan dua kali pada ayat 49.
Kiranya perlu diperhatikan lebih seksama, ketika Tuhan
memerintahkan Rasulullah SAW menerapkan hukum dengan “ma
anzal Allah” (al-Qur'an) sama sekali tidak ada pelabelan “kafirun,
dzalimun maupun fasiqun”. Persoalannya, penerapan hukum yang
berujuk al-Qur'an apakah memang beda, sehingga tak ada pelabelan
seperti itu ? Atau, pelabelan tetap ada dengan cara analogik. Yaitu
memperkiraan sendiri secara cerdas dan arif, masuk kategori yang
mana – kafirun, dzalimun, fasiqun - jika seorang muslim tidak
memakai al-Qur'an sebagai dasar hukum ? Pendapat kedua paling
populis. Hal itu mengingat pesan al-Qur'an berlaku universal dan
lintas, selagi tak ada revisi radikal yang nyata.
Dari tiga penutup ayat di atas, label “dzalimun” dibahas karena
kebetulan bermuatan tentang hukum pidananya paling banyak
dibincangkan. Zalim sebagai cap atas siapa saja yang tidak
menerapkan syari’ah Islam sebagai rujukan memutus perkara pidana
(45). Itu artinya, syari’ah qishash sudah tertulis dalam kitab al-Taurah,
era nabi Musa A.S. dahulu serta terbukti efektif dan efesien, sehingga
kehidupan lebih aman dan nyaman. Para penjahat jera dan yang akan
berbuat jahat harus berpikir seribu kali. Karena membunuh orang,
berarti membunuh diri sendiri. Melukai orang, sama dengan melukai
diri sendiri.
Sejarah membuktikan, bahwa rakyat senang dengan syari’ah ini,
tapi justru sebagian pejabat, pembesar, tokoh dan orang berduit yang
tidak setuju. Kemudian bersekongkol dengan para pendeta dusta untuk
mendapatkan hukum khusus. Lalu al-Qur'an menegur dan

17
Al-Sayyid ‘Alawi bin al-Sayyid ‘Abbas Al-Maliki, 1960. Faidh al-Khabir wa
Khulasat al-Taqrin, Surabaya : al-Hidayah. (al-Maliki, 1960 : 30-31).

MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012 101


Masrokhin

memerintahkan semua penegak hukum berlaku jujur, adil dan tegas.


Ahli hukum yang jujur, berhati nurani dan berpikiran waras pasti
mengakui bahwa penjara itu tidak efektif. Malah boros, rawan korup
dan menguras tenaga. Maha benar al-Qur'an yang tidak mau memakai
penjara sebagai hukuman bagi penjahat atau pelaku tindak pidana.
Pada awal Islam yang masih dekat dengan jahiliyah, penjara
memang pernah dipakai sebentar sebagai hukuman kurungan atas
perawan yang terbukti berzina. Itupun dalam rumah sendiri, lalu
direvisi (QS 4 :15). Indonesia pernah dikejutkan dengan adanya kamar
mewah di dalam penjara, sementara di tempat lain berjubel dan
kumuh.18 Pemerintah pusing memikirkan anggaran penjara yang
meningkat tajam. Banyak tuntutan mendesak, termasuk penambahan
kamar, ruang, lahan dan servis lain.
Sebagai penyegaran tentang penalaran hukum, ada kisah
kecerdikan penyelesaian problem yang terjadi di masyarakat. Ada
seorang lelaki yang menaiki seekor himar (keledai atau sejenis kuda
kecil). Ia nampak kusut, kumuh dan lelah dengan derai air mata tanpa
suara tangis. Begitu pula si keledai, nampak letih, kurus dan kasihan.
Di samping lelaki itu, ada dua orang pengawal yang membawa
makanan, minuman, pakaian dan beberapa kebutuhan sehari-hari.
Laki-laki itu tidak mau turun dari keledainya, meski binatang itu
sudah roboh.
Si lelaki yang menaiki himar adalah majikan dari dua laki-laki
yang di sampingnya. Ceritanya, si majikan sangat hobi naik keledai,
lalu sakit keras dan tidak sembuh-sembuh meski sudah datang ke
semua tabib yang ia dengar. Kemudian si lelaki bernadzar, kalau
sembuh, akan naik keledai dan tidak turun-turun darinya. Maka
sembuh betul, dan begitulah jadinya. Ia di atas punggung keledai
sudah 40 hari dan selanjutnya adalah yang ke 41.
Majikan dan para pengawal sudah datang ke berbagai ulama
untuk meminta solusinya, namun mereka tidak memberi jalan keluar
yang memuaskan. Yang ada hanyalah menyuruh turun dari keledai,
tetapi harus bayar denda, tetapi si majikan tidak mau. Adakah jalan

18
Kompas, 10 Januari 2010.

102 MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012


Paradigma Hukum-Dunia dan Terapan Hukum al-Qur‘an

keluar yang mudah, dapat bebas dari punggung keledai, tidak


melanggar sumpah nadzar dan tidak pula kena denda ?
Penalaran dalam hukum Islam dapat diberlakukan dengan elegan
dalam penyelesaian persoalan di atas. Atau dengan menggunakan
paradigma hukum progresif sebagaimana digagas oleh Satjipto
Rahardjo.19 Hukum Progresif tidak berusaha untuk mereduksi hukum
hanya sekedar peraturan-peraturan, tetapi suatu yang lebih besar dari
itu yakni hukum diletakkan dalam kaitannya dengan kemanusiaan.
Hukum Progresif mengingatkan jika ada usaha mereduksi keutuhan
dari realitas-empirik, sejak awal sudah dapat diduga ia akan
mengalami kegagalan dalam pengujiannya seperti yang pernah
dialami oleh teori Newton.
Pada kasus hukum dalam ilustrasi di atas dapat diselesaikan
dengan mengarahkan penunggang keledai ke satu pohon untuk
kemudian merangkul pohon dengan erat. Setelahnya, keledai bisa
dihalau supaya berjingkat lari dan orang yang bernadzar dapat turun
dari pohon dengan status tidak melanggar sumpahnya. Sebab adalah
dia tidak turun dari keledai, tapi turun dari pohon.
Paradigma hukum Islam, demikian pula paradigma hukum
progresif, bertujuan melihat hukum tidak semata dengan apa yang
tertulis dalam teks hukum. Tetapi, bagaimana hukum yang dibuat
untuk manusia itu memberi manfaat untuk kemanusiaan, bukan malah
membuat sengsara. Dalam paradigma hukum Islam, kondisi manusia
yang dibebani hukum sangat diperhatikan sehingga dalam
pelaksanaanya terdapat ketentuan kewajiban melaksanakan dengan
pasti (‘azimah) sementara pada saat lain diberikan dispensasi
(rukhsoh). Demikian pula terdapat ketentuan bagaimana kewajiban itu
dilaksanakan jika telah terpenuhi ketentuan kewajiban melaksanakan
(ahliyat al-wujub) dan kemampuan melaksanakan (ahliyat al-ada’).
Dengan ketentuan itu, sebagaimana juga pandangan paradigma hukum
progresif, maka dalam kaitannya dengan kemanusiaanlah hukum itu
diletakkan.

19
Satjipto Rahardjo, “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, dalam
Harian Kompas, 15 Juni 2002.

MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012 103


Masrokhin

E. KESIMPULAN
Dari bahasan mengenai perbandingan hukum dari kacamata kaji
hukum Barat dan tentang al-Qur’an dapat diambil pelajaran sedikitnya
:
1. Pendapat-pendapat mazhab imperatif dalam Ilmu Hukum jelas
dapat diterapkan terhadap konsepsi Islam bila “politisi yang
berkuasa” menurut Austin dan “norma pokok” serta “konstitusi”
menurut Hans Kelsen ditafsirkan dalam pengertian ketuhanan
(teologik).
2. Pendapat-pendapat dari mazhab-mazhab historik dan sosiologik
dalam Ilmu Hukum, walaupun di sana-sini banyak memberikan
penjelasan mengenai sejarah perkembangan Hukum Islam, secara
mendasar tidak dapat diperbandingkan dengan teori-teori Hukum
Islam itu.
3. Pandangan-pandangan para realis –di Amerika maupun di Swedia–
justru secara diametral berlawanan dengan konsep Hukum Islam.
Di lain pihak, pendapat-pendapat para ahli hukum alam jauh lebih
mendekati ajaran Islam, walau di sana-sini terdapat beberapa
perbedaan penting. Mengenai kedudukan akal manusia, para
fuqaha’ sependapat bahwa ia memainkan peranan penting dalam
proses pengambilan ketetapan (istinbath) hukum dari sumber-
sumber wahyu (nas), walaupun ia tidak dianggap sebagai sumber
hukum.
4. Tafsir terhadap apa yang telah diturunkan Allah dan selanjutnya
tidak serta merta diterapkan oleh muslim sebagaimana dibicarakan
di atas diharap bisa menjadi pertimbangan akademik, sehingga
tidak mudah menuduh saudara sendiri sebagai kafir, gara-gara
dianggap tidak apresiatif terhadap gagasan diberlakukannya
syari’ah Islam. Padahal, untuk menuju ke sana banyak piranti yang
mesti dipersiapkan, semisal universalitas hukum, piranti sosial-
ekonomi, instrumen bertasyri’ dan sebagainya.

104 MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012


Paradigma Hukum-Dunia dan Terapan Hukum al-Qur‘an

DAFTAR PUSTAKA

Austin, John. 1954. The Province of Jurispridence Determined.


London : John Murray.
Badawi, Sansuri. 2004. Ushul al-Fiqh, Jombang : Majalis al-‘Ilm.
Dawud, Abi. t.th. Sunan Abi Dawud. Mesir : Matba’ah Muhammad al-
Subayh.
Douzinas, Costaz. 1991. Postmodern Jurisprudence: The Law of Text
in The Texts of Law. London : Routledge Press.
Gibb, Hamilton Alexander Rosskeen. 1947. Modern Trends in Islam,
Chicago : The University of Chicago Press.
Holmes, Oliver Wendell. "The Path of the Law": Conflicting Views of
the Legal World Joan I. Schwarz, The American Journal of
Legal History
Vol. 29, No. 3, July, 1985.
Kantorowics, Hermann. 1937. “Savigny and The Historical School of
Law,” dalam Law Quarterly Review, New York : Princeton
University Press.
Kartanegara, Mulyadi. 2000. “Membangun Kerangka Ilmu: Perspektif
Filosofis”, dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi
Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta : Departemen Agama RI.
Kelsen, Hans. 1949. General Theory of Law and State, Cambridge :
Massachusetts.
Kompas, 10 Januari 2010
MacDonald, Duncan. B. , 1903. Development of Muslim Theology,
Jurispridence and Constitutional Theory, New York : Charles
Scribner's Sons.
Al-Maliki, al-Sayyid ‘Alawi bin al-Sayyid ‘Abbas, 1960. Faidh al-
Khabir wa Khulasat al-Taqrin, Surabaya : al-Hidayah.
Al-Maududi, Abu al-A’la. 1995. Islamic Law and Constitution,
Karachi : Jemaat e- Islami.

MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012 105


Masrokhin

Muslehuddin. 1997. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis :


Studi Perbandingan Sistem Hukum, terj. Yudian Wahyudi
Asmin, Yogyakarta : Tiara Wacana.
Olivecrona, Karl. 1939. Law as Fact, London: Stevens & Sons.
Rahardjo, Satjipto, “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum
Progresif”, dalam Harian Kompas, 15 Juni 2002.
Schacht, Joseph. 1950. The Origins of Muhammadan Jurisprudence,
Oxford : Oxford University Press.
_______________, 1955. Law in the Middle East, Washington :
Middle East Institute.
Schwartz, Bernard. 1995. A History of the Supreme Court, Oxford:
Oxford University Press.

106 MENARA TEBUIRENG, Vol.08, No.01, September 2012

You might also like