ID Metodologi Penafsiran Kontekstual Analis
ID Metodologi Penafsiran Kontekstual Analis
ID Metodologi Penafsiran Kontekstual Analis
MK Ridwan
Penggiat Studi al-Qur’an Kontemporer
Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis se-Indonesia
E-mail: mkridwan13@gmail.com Hp: 0856-2764-926
Abstract
Qur’anic exegesis occupies a central position in the development of the intellectual
traditions of Muslims. As a primary source, the Qur’an for centuries have been
explored and understood using a variety of approaches and methods to satisfy every
need of the times. The dominance model of textual interpretation in the tradition
of interpretation of the Qur’an throughout the history of Islam, has been moving
Abdullah Saeed a Professor of Islamic Studies University of Melbourne, to offer an
alternative model of “contextual interpretation” as a model approach in interpreting
the Qur’an that more sensitive to context. Because textual interpretation models
tend to ignore the socio-historical context period of revelation as well as the context
of the interpretation of the period. This paper specifically focused to analyze
methodological aspects of thought’s Abdullah Saeed in conducting the contextualize
interpretation of the Qur’an. In General, Saeed offers four contextual interpretation
of operational steps, that is: 1) identify initial considerations by understanding the
interpreter subjectivity, language and construct meaning, and the world of the Qur’an
(encounter with the world of the text); 2) start the task of interpretation by means
of identifying the meaning of the original text and convinced of the authenticity
and reliability of the text (critical analysis of texts independently); 3) identify the
meaning of the text by exploring each context (meaning for the first recipient); 4)
hooking the interpretation of the text with the current context (process of
contextualize, meaning for the present).
Pendahuluan
Diskursus Qur’anic Studies telah dimulai sejak awal peradaban Islam. Berbagai
metode1 dan pendekatan2 dalam menafsirkan al-Qur’an telah membangun
imperium raksasa khazanah intelektual Islam. Proses kecintaan umat Islam awal
telah membentuk segudang ilmu dalam menafsirkan al-Qur’an. Peminat kajian
al-Qur’an pada masa awal banyak didominasi oleh kalangan Sahabat maupun
Tabiin yang memiliki kegelisahan untuk memberikan jawaban atas
problematika umat. Bahwa al-Qur’an tidak diturunkan langsung secara
keseluruhan, tetapi justru diturunkan secara berangsur-angsur, menjadi bukti
nyata bahwa al-Qur’an merupakan jawaban atas persoalan umat manusia. 3 Al-
1
Metode tafsir dalam konteks ini adalah kerangka kerja yang digunakan dalam
menginterpretasikan pesan-pesan al-Quran. Setidaknya terdapat empat arus besar metode tafsir
al-Qur’an yakni, Ijmâlî (global), tahlîlî (analitis), muqârîn (perbandingan), dan maudlû’i (tematik).
Lihat Abd Hayy Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu’i; Dirasah Manhajiyyah Maudlu’iyyah
(Kairo: Mathba’at al-Hadlarah al-Arabiyyah, 1997),h.9
2
Menurut Abdullah Saeed, berdasarkan klasifikasinya terhadap sejauh mana penafsir
berpegang pada kriteria linguistik untuk memahami sebuah teks, dan memperhatikan konteks
sosio-Historis al-Qur’an juga konteks kontemporer, tiga kecenderungan dalam pendekatan al-
Qur’an yang masih berkembang hingga saat ini, yaitu tekstualis, semi-tekstualis, dan kontekstualis.
Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an; Toward a Contemporary Approach, (New York:
Routledge, 2006). Abdullah Saeed, Islamic Thought; An Introduction (New York: Routledge, 2006),
h. 31-32.
3
QS. Al-Isra’ [17]: 106.
Qur’an telah menjadi fondasi dan sumber utama ajaran agama Islam yang
dijadikan pedoman di setiap aspek kehidupan, baik aspek spiritual, hukum,
moral, politik, ekonomi, maupun sosial.4
Peradaban Islam dibangun atas peradaban teks.5 Al-Qur’an menjadi
cermin peradaban umat Islam dalam menapaki langkah sejarah. Al-Qur’an
telah menginspirasi para intelektual dan cendekiawan Muslim, sehingga dari
teks-teks al-Qur’an terlahir berton-ton teks yang lainnya. Hal ini menjadi
khazanah Islam sebagai salah satu peradaban besar dunia. Sekaligus menunjuk-
kan bahwa upaya penarikan makna teks al-Qur’an tidak mengenal kata final.
Menganggap final sebuah penafsiran al-Qur’an, berarti menganggap bahwa
makna Tuhan terbatas. Kenyataan bahwa al-Qur’an berasal dari Tuhan yang
tidak terbatas, menyebabkan segala bentuk penafsiran menjadi sangat beragam
karena keterbatasan manusia. Bahkan penafsiran pada zaman klasik, termasuk
Sahabat-sahabat dekat Nabi juga mengalami perbedaan. 6
Upaya rekonstruksi penafsiran terus dilakukan dengan berbagai metode
dan pendekatan. Refleksi inilah yang kemudian menyebabkan berbagai in-
telektual Muslim maupun non-Muslim berlomba-lomba dalam rangka menafsir
teks al-Qur’an. Wacana penafsiran al-Qur’an dari zaman klasik hingga kontem-
porer menunjukan adanya pergeseran epistemologis yang jelas, baik berupa
cara mendekati al-Qur’an maupun anggapan terhadap teks al-Qur’an. Perjalanan
tersebut telah membentuk imperium raksasa dan cermin atas kebesaran
peradaban Islam. Namun, Gamal Al-Banna berpendapat bahwa kecintaan umat
Islam terhadap al-Qur’an justru telah mengalami pergeseran dari kecintaan
terhadap al-Qur’an kepada kecintaan terhadap penafsiran al-Qur’an (bergerak
menjauhi pusat, sentrifugal).7 Menurutnya pergeseran tersebut menunjukan
4
Abdullah Saeed, Islamic Thought..., h. 15.
5
Refleksi terhadap perkembangan modernitas masyarakat Arab pada tataran politik-
intelektual-sosial, menggambarkan adanya pergeseran dari dunia retorika ke tulisan, atau dari
oralitas ke kodifikasi. Revolusi tulisan pertama yang muncul dihadapan keagungan retorika, puisi
dan sastra Arab adalah tulisan Al-Quran. Dalam bahasa Adonis, Al-Quran merupakan puncak
spontanitas dan alamiah. Al-Quran merupakan awal perjuangan, pergulatan, dan “penggunaan
pikir”. Al-Quran menciptakan konsep alam melalui tulisan dalam sistem bahasa. Dengan kata
lain, tulisan merupakan wawasan tertentu mengenai dunia dalam ekspresi tertentu. Lihat Adonis,
Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, Volume 4, terj. Khairon Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2012),
h. 17. Pandang ini relevan dengan tesis Amin Al-Khuli yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah
Kitab al-‘Arabiyah al-Akbar (Kitab Sastra Terbesar). Lihat M. Nur Kholis Setiawan, Al-Quran Kitab
Sastra Terbesar (Yogyakarta: eLSAQ Press, Cet. II 2006), h. x.
6
Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology; Essays on Liberative Elements in Islam
(New Delhi: Sterling Publishers, 1990), h. 127.
Millatī
ketergelinciran dan perubahan orientasi dari yang asli menunju yang mewakili. 8
Pergeseran-pergeseran yang terjadi di dunia Qur’anic Studies, dengan berbagai
produk penafsirannya, secara tidak sadar telah membentuk weltanschauung atau
world-view Islam. Di mana Islam selanjutnya dicitrakan melalui bagaimana kitab
suci (al-Qur’an) ditafsirkan.
Kenyataan inilah agaknya yang membuat seorang Abdullah Saeed ingin
bergelut di dunia Qur’anic Studies atau Islamic Studies pada umumnya. Berangkat
dari sebuah kenyataan bahwa tradisi umat Islam sepanjang sejarah selalu di-
dominasi oleh kaum tekstualis, yaitu kelompok yang mengadopsi pendekatan
literalistik terhadap teks. Sehingga Saeed berkeinginan untuk mengimbangi
tafsir tekstual dengan menawarkan sebuah alternatif metodologis yang dia sebut
sebagai “tafsir kontekstual” yaitu, sebuah pendekatan dalam menafsirkan al-
Qur’an yang tidak hanya memperhatikan aspek linguistik teks, melainkan juga
konteks sosio-historis masa pewahyuan dan konteks penafsiran.9 Menurut
Saeed, gagasan ini merupakan bentuk pengembangan dari pemikiran Fazlur
Rahman yang telah lebih dulu meletakkan pondasi-pondasi dasar tafsir konteks-
tual.
Saeed menyadari akan pentingnya relasi antara teks, penafsir dan realitas
(konteks), serta tidak melulu hanya berfokus kepada makna literer teks, Saeed
ingin merekonstruksi pemikiran tafsir agar senantiasa relevan terhadap
perubahan zaman. Kenyataan bahwa al-Qur’an menjadi basic pemahaman
seseorang dalam menjalankan ajaran agamanya. Memperlihatkan bahwa “tafsir”
sangat mempengaruhi kecenderungan dan pandangan hidup umat Islam.
Sementara kehidupan modern terus mengalami perubahan dan perkembangan
yang cepat. Kehidupan modern membuka banyak tantangan persoalan
kemanusiaan. Jika metodologi penafsiran tidak dilakukan upaya rekonstruksi,
umat Islam akan mengalami stagnasi dan krisis relevansi. Sehingga perlu untuk
mengembalikan al-Qur’an kepada fungsi pokoknya sebagai pemberi petunjuk
umat manusia (hudan li al-nass), dalam konteks ini berarti perubahan (baca:
pengembangan) metode penafsiran al-Qur’an.10
7
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta:
Paramadina, 1996), h. 15.
8
Gamal Al-Banna, Evolusi Tafsir; Dari Jaman Klasik hingga Modern, terj. Novriantoni
Kahar, (Jakarta: Qisthi Press, cet II 2005), h. xi.
9
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 1.
10
Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis; Lokalitas, Pluralisme, Terorisme, (Yogyakarta:
LKiS, 2011), h. 16.
Pada prinsipnya, ayat-ayat al-Qur’an harus dipahami secara mendalam,
integral, menyeluruh, dan kontekstual. Jika ayat-ayat tersebut hanya dipahami
secara tekstual dan kaku, hanya akan menimbulkan kerancuan, memancing
keributan dan tidak relevan terhadap perkembangan zaman. Maka, gagasan
dan metode baru dalam penafsiran al-Qur’an menjadi sebuah kebutuhan yang
mendesak. Melalui tulisan ini penulis berusaha untuk mengeksplorasi secara
deskriptif-analisis-kritis terhadap gagasan dan prinsip penafsiran kontekstual
yang diusung oleh Abdullah Saeed, dengan terlebih dahulu memahami latar
belakang pemikiran dan konteks kehidupannya. Diharapkan gagasan ini dapat
memberikan sumbangan produktif bagi khazanah pemikiran tafsir al-Qur’an
kontemporer.
Saeed memiliki kepribadian yang ulet dan dikenal sebagai sosok yang
humanis. Ia juga dinilai sebagai seorang yang berwawasan luas, profesional serta
konsisten terhadap keilmuan.13 Saeed juga aktif di beberapa organisasi sosial-
kemasyarakatan yang basis gerakannya memberikan pengabdian kepada
masyarakat luas. Saeed juga terlibat dalam berbagai kelompok dialog antar
kepercayaan, (Islam-Kristen dan Islam-Yahudi), menjadi pemimpin komunitas
Muslim di Australia. Saeed juga tergabung dalam Asosiasi Profesor Asia Institut
Universitas Melbourne dan Akademi Agama Amerika. Saeed juga menjadi
editorial jurnal skala internasional, seperti Jurnal Studi al-Qur’an di Inggris,
Jurnal Studi Islam Pakistan, dan Jurnal Studi Arab, Islam, dan Timur Tengah
di Australia. Selain itu, sejak karirnya di Universitas Melbourne pada tahun
1990-an, Saeed telah membangun pondasi kuat Studi Islam (Islamic Studies) di
Universitas tersebut, khususnya dan di Australia pada umumnya. Sejak itu, pro-
gram Studi Islam berkembang pesat. Prestasi ini menggiring Saeed menjadi
pakar Studi Islam terkemuka, kalau bukan satu-satunya yang terbaik di
Australia.14
16
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 1.
17
Banyak di antaranya tokoh-tokoh yang dimaksukkan oleh Abdullah Saeed sebagai
tokoh “kontekstualis” seperti, Ghulam Ahmad Parves, Mohammed Arkoun, Farid Esack, Khaled
Abou El Fadl, dan Fazlur Rahman, namun sepertinya Saeed lebih terpengaruh oleh gagasan-
gagasan Fazlur Rahman, terutama oleh teori Double Movement, lihat Abdullah Saeed, Interpreting
the Qur’an..., h. 5-6.
18
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 116.
19
Pendekatan ini menurut Abdullah Saeed hanya menekankan dimensi hukum dan
makna literal teks-teks semacam itu. Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 1.
20
Achmad Zaini, “Model Interpretasi al-Qur’an Abdullah Saeed”, Islamica (Vol. 6, No.
1, September 2014), h. 30.
Millatī
Eka Suriansyah dan Suherman, “Melacak Pemikiran al-Qur’an Abdullah Saeed”, Jurnal
21
25
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 5-6.
26
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 21.
27
Mempersepsikan mitos sebagai ungkapa simbolis mengenai suatu realitas dengan
menggunakan gambaran-gambaran, kiasan-kiasan, dan lukisan-lukisan. Atau dengan bahasa lain,
menyatakan intensi otentik mitos untuk berbicara tentang realitas otentik manusia. Mitos memiliki
dasar pada eksistensi manusia, maka harus diinterpretasikan agar dapat dipahami oleh manusia
modern. Jadi yang dipermasalahakan di sini adalah bagaimana menafsirkan mitos secara eksistensial,
bukan menghilangkannya. F. Budi Hardiman, Seni Memahami; Hermeneutik dari Schleiermacher
sampai Derrida (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 147.
28
Suqiyah Musafa’ah, “Kontekstualisasi Pemikiran Waris Abdullah Saeed dalam Hukum
Kewarisan di Indonesia”, Islamica (Vol. 9, No. 2, Maret 2015), h. 456.
29
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 14.
30
Salah satu unsur linguistik, yaitu pelaku yang melakukan tindakan yang berada dalam
teks atau narasi. Suqiyah Musafa’ah, “Kontekstualisasi Pemikiran..., h. 456.
31
Lihat Abdullah Saeed, The Qur’an..., h. 227-228.
Millatī
Keempat, Saeed juga dipengaruhi oleh gagasan Farid Esack melalui pen-
dekatan hermeneutika pembebasan. Teori ini digunakan oleh Saeed untuk
mendasarkan pada pembacaan teks terhadap realitas praksis. Ketika realitas
tersebut harus diubah karena mengalami ketimpangan, maka harus dicarikan
justifikasinya melalui teks, untuk memberikan perubahan sosial masyarakat
yang sesuai dengan elan-vital al-Qur’an. Kemudian dengan prosedur regresif-
progresif32 yang dikembangkan oleh Farid Esack, Saeed berusaha untuk me-
mahami setiap konteks sosial historis dan kontemporer kemudian meng-
hubungkan dan menterjemahkan kedua konteks tersebut.
Kelima, pengaruh dari gagasan hermeneutika negosiatif Khaled Abou
El Fadl.33 Bagi Saeed, kontribusi Abou El Fadl terletak pada konten ethico-legal
yang banyak sejalan dengan kosep dan tujuan pemikirannya. Ide-ide El Fadl
tentang otoritas, komunitas interpretif dan perannya dalam memproduksi
makna, dan keseimbangan antar teks, pengarang, dan pembaca. 34 Melahirkan
pembacaan yang bersifat negosiatif, yaitu membebaskan teks dari kebisuan,
pengikisan dinamisme hukum Islam dan perusakan integritas teks-teks ke-
islaman. Ini menjadikan Saeed untuk bersifat terbuka dalam mengakui adanya
kompleksitas makna dalam proses penafsiran al-Qur’an. 35
32
Prosedur regresif melihat kembali ke masa lalu secara kontinu bukan hanya untuk
memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan masa kini atas teks, tetapi juga
untuk mengungkap mekanisme historis dan faktor-faktor yang memproduksi teks-teks ini dan
memberikan fungsi tertentu terhadapnya. Sedang prosedur progresif bergerak dalam rangka
menghidupkan makna baru sebagaimana tuntutan konteks pada masa kini. Oleh karena itu, yang
harus dilakukan dalam prosedur ini adalah memeriksa secara cermat proses transformasi muatan-
muatan dan fungsi-fungsi awal ke dalam muatan dan fungsi baru. Proses ganda regresif-progresif
antara al-Qur’an serta konteks sosio-historis keagamaan ini dengan konteks umat Islam serta
konteks sosio-politik, adalah tuntutan untuk memperoleh sebuah pengertian dan makna yang
sejalan dengan tuntutan-tuntutan yang muncul sebagai upaya memperjuangkan keadilan dan
pembebasan. Lihat Farid Esack, “Spektrum Teologi Progresif di Afrika Selatan”, dalam Abdullahi
Ahmed An-Na’im, dkk., Islamic Law Reform and Human Rights Challenges and Rejoinders, terj.
Farid El Jaid, Dekonstruksi Syariah II (Yogyakarta: LKiS, 1996), h. 125.
33
Hermeneutika negosiatif El Fadl tidak hanya mencoba menemukan makna teks, tetapi
juga untuk menyingkap kepentingan penggagas atau pembaca yang tersimpan di balik teks, dan
menawarkan strategi pengendalian tindakan despotis pembaca teks, pembaca lain, dan audiens.
Hermeneutika negosiatif tersebut berpijak dari prinsip “negosiasi” kreatif antara teks ¾ penggagas
¾ pembaca, dengan menjadikan teks sebagai titik pusat yang bersifat terbuka. Lihat Khaled Abou
El Fadl, Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority, and Women (New York: Oneworld
Publications, 2014),h.18
34
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 25.
35
Lihat Abdullah Saeed, The Qur’an..., h. 228-230.
Gagasan hermeneutika mulai Rahman yang bercorak objektif, Parvez,
Arkoun, serta Esack yang bersifat subjektif, sampai hermeneutika El Fadl yang
bersifat negosiatif telah mendukung bangunan hermeneutika demokratis-
kontekstual Saeed. Titik temu gagasan mereka terletak pada ide tentang hak
teks (wahyu tertulis) dan hak pembaca teks yang selama ini terabaikan, terlupa-
kan, dan mendorong tindakan “mengunci” pesan wahyu (Tuhan) dalam sebuah
penetapan makna tertentu yang bersifat absolut, final, dan konklusif. Demi
menjaga hak masing-masing teks dan pembaca, maka pemahaman terhadap
al-Qur’ân menurut Saeed harus melibatkan seluruh metodologi tafsir yang ada
secara holistik-komprehensif, baik tradisi penafsiran tekstualis klasik-modern,
maupun kontekstualis klasik-modern demi menemukan spirit dan pesan moral
al-Qur’ân, untuk kemudian direalisir demi menjawab problem-problem
kekinian.36
Sebuah kenyataan bahwa Nabi bukanlah sebuah CD kosong yang tidak memiliki
38
pengalaman hidup, kapasitas intelektual dan pemahaman terhadap lingkungan sosial, ekonomi,
dan kultural.
39
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21; Tafsir Kontekstual, terj. Ervan Nurtawab (Bandung:
Mizan, 2016), h. 97.
40
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 39.
41
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21..., h. 97.
42
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 40.
43
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21..., h. 98.
Level ketiga, pada level ini pewahyuan telah menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat umat Islam. Wahyu menjadi sebuah teks (oral atau
tertulis), yang dinarasikan, dikomunikasikan, diajarkan, dijelaskan, dan
diaplikasikan.44 Melalui cara ini, wahyu telah menjadi bagian vital yang hidup
dalam sebuah komunitas membentuk realitas akibat dari aktualisasi
pewahyuan.45 (Teks–Konteks–Teks yang Meluas).
Level keempat, pada level ini melibatkan dua dimensi pewahyuan: (1)
praktik yang dipandu oleh wahyu yang berawal dari Nabi dan komunitasnya
dan terus ditransmisikan kepada generasi-generasi berikutnya46; (2) petunjuk
ilahiah dalam bentuk ilham atau inspirasi untuk memberikan panduan kepada
mereka yang sadar akan kehadiran-Nya dan yang berusaha mempraktikkan
firman-Nya di dalam kehidupan mereka.47
Skema I
Konsep Pewahyuan48
Firman Tuhan
↓
Di Luar Pemahaman Langit Level Pertama
Manusia
↓
Ruh 4 9
↓ Level Kedua
Hati Nabi Muhammad
↓ Eksternalisasi
Dalam Bahasa Arab
Domain ↓ Level Ketiga
Pemahaman Aktualisasi oleh Komunitas Pertama (a)
Manusia
↓
Aktualisasi Berkelanjutan dalam Sejarah (b)
↓ Level Keempat
Aplikasi dalam Konteks Saat Ini
44
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 40.
45
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21..., h. 98.
46
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 41.
47
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21..., h. 99.
48
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21..., h. 100.
49
Dipahami sebagai malaikat Jibril yang membawa wahyu.
Millatī
52
Lien Iffah Naf’atu Fina, “Interpretasi Kontekstual; Sebuah Penyempurnaan terhadap
Gagasan Tafsir Fazlur Rahman, Hermeneutik (Vol. 9, No. 1, Juni 2015), h. 75.
beberapa kekurangan di dalamnya, seperti kekurangan tradisi maqashid yang
lemah dalam masalah literalisme hukum dan tafsir sehingga belum cukup
dijadikan sebagai basis metodologi alternatif.54 Selanjutnya, Rahman juga masih
menyisahkan kekurangan, yaitu terletak pada kurangnya sebuah kerangka
terperinci untuk membangun hierarki nilai moral, walaupun Rahman telah
merumuskan general principle (prinsip-prinsip umum).55
Dengan menggabungkan inspirasi penafsiran ‘proto kontekstualis’,
beberapa aspek dalam tradisi maqashid, dan pendekatan berbasis-nilai Fazlur
Rahman, Saeed telah berhasil merumuskan hierarki nilai-nilai yang digunakan
sebagai pedoman bagi penafsiran kontekstual terhadap ayat-ayat ethico-legal.
Saeed dalam rangka memahami al-Qur’an secara komprehensif dan adil, telah
berhasil menutup kekurangan para pendahulunya dengan membentuk se-
jumlah rumusan hierarki nilai-nilai yang digali dari dasar al-Qur’an. Menurut
Saeed, bahwa ayat-ayat ethico-legal memiliki nilai-nilai yang beragam dan ter-
polarisasi dalam beberapa tingkatan. Hal ini terkait erat dengan universalitas
dan partikularitas sebuah makna teks al-Qur’an yang berlaku dalam konteks
yang luas. Nilai-nilai ini dibangun atas prinsip etik dan moral al-Qur’an yang
sering disebutkan secara berulang-ulang. Oleh karena itu, kegagalan dalam
menyadari keberadaan sebuah hierarki nilai-nilai bisa menghasilkan tafsir-tafsir
yang bertentangan dengan nilai-nilai universal al-Qur’an yang penting. 56 Saeed
kemudian membagi ayat-ayat ethico-legal menjadi lima tingkatan nilai yang
bersifat tentatif, dalam urutan yang dianggap penting terlebih dahulu.
ini, menurut Saeed, Nabi Muhammad sangat fleksibel dalam hal model pem-
bacaan terhadap al-Qur’an. Kenyataan bahwa, al-Qur’an diturunkan meng-
gunakan ‘tujuh dialek’ generasi Sahabat diperbolehkan membaca al-Qur’an
sesuai dengan dialek pilihan atau yang mereka kuasai. Selanjutnya, adalah
fenomena naskh, di mana fleksibilitas tentang perubahan ketetapan hukum
ketika pewahyuannya masih berlangsung yang lebih banyak disesuaikan dengan
kondisi saat itu. Bagi Saeed, fleksibilitas dalam bidang cara baca al-Qur’an dan
perubahan ketetapan hukum tersebut bertujuan untuk memberikan kemudah-
an bagi umat Islam dalam aktualisasi ajaran Islam.57 Sehingga, yang menjadi
inti fleksibilitas al-Qur’an menurut Saeed, adalah bagaimana pelajaran dari
fakta tersebut, dipahami sebagai upaya Nabi dalam mengakomodir kebutuhan-
kebutuhan zaman pada masa itu, untuk kemudian ditarik ke dalam pengalaman
saat ini. Nabi telah memungkinkan fleksibilitas demi menyesuaikan al-Qur’an
dengan kebutuhan umat pada masa itu.58 Sehingga, konsep terhadap fleksibilitas
al-Qur’an bisa digunakan dan menjadi argumen serta justifikasi bagi praktek
penafsiran baru atas al-Qur’an, demi mengakomodir kebutuhan-kebutuhan
umat saat ini (abad 21).59
57
Sahiron Syamsuddin, “Argumentasi Abdullah Saeed dalam Mengusung Pendekatan
Kontekstualis dalam Penafsiran al-Qur’an” kata pengantar dalam Abdullah Saeed, Paradigma,
Prinsip, dan Metode Penafsiran Kontekstualis al-Qur’an, terj. Lien Iffah Naf’atu Fina dan Ari Henri
(Yogyakarta: Ladang Kata dan Baitul Hikmah Press, 2016), h. viii-ix.
58
Sheyla Nichlatus Sovia, “Interpretasi Kontekstual; Studi Pemikiran Hermeneutika al-
Qur’an Abdullah Saeed”, Dialogia (Vol. 13, No. 1, 2013), h. 42.
59
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 76.
60
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 90-91.
Masing-masing ayat memiliki karakteristik unik tersendiri sehingga membutuh-
kan cara dan pendekatan yang berbeda pula. Hal ini akan memberikan penaf-
siran yang relatif adil, ketimbang hanya mengandalkan pemahaman literalisme
terhadap setiap ayat. Pandangan ini juga memberikan justifikasi bahwasanya
setiap bentuk penafsiran seseorang hanyalah bersifat taksiran, bahkan suatu
kemustahilan bagi seorang mufasir dapat memahami secara keseluruhan dari
al-Qur’an.
61
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 102.
62
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 103. Bandingkan dengan Farid Esack,
Qur’an, Liberation, and Pluralism; An Islamic Perspective on Interreligious Solidarity againts Oppression
(Oxford: Oneworld, 1997).
63
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 106.
64
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 104.
65
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 107.
Millatī
66
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 107-108.
67
Lien Iffah Naf’atu Fina, “Interpretasi Kontekstual”..., h. 73.
68
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 112.
69
(New York: Routledge, 2014)
Skema II
Bingkai Penafsiran Kontekstual70
PERTIMBANGAN- Dunia Teks ◄► Dunia Pembaca ◄► Bahasa dan Makna
PERTIMBANGAN
AWAL - Apa dunia teks itu - Pengalaman hidup - Keyakinan-keyakinan
- Status - Pendidikan mengenai ciri bahasa
- Signifikansi - Nilai-nilai - Keyakinan-keyakinan
- Relevansi - Kesan awal mengenai bagaimana
- Suka dan tidak suka makna dikonstruksi
- Keluarga
- Norma-norma dominan
dalam masyarakat
▼
MEMULAI TUGAS Memastikan Akurasi dan Reliabilitas Teks
PENAFSIRAN
▼
MENGIDENTIFIKASI Makna Linguistik Dasar dari Elemen-elemen Utama Teks
MAKNA TEKS
▼
Konteks Sastrawi Rekonstruksi Konteks Makro 1
▼
Pemahaman Penerima Pertama Wahyu
70
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21..., h. 161.
Millatī
Kesimpulan
Sebagai seorang intelektual Muslim yang produktif dan progresif,
Abdullah Saeed telah berhasil menambal berbagai kekurangan para
pendahulunya dalam menginterpretasikan teks-teks al-Qur’an. Berangkat dari
sebuah kegelisahan akademik tentang maraknya model penafsiran tekstual,
Saeed telah berhasil menawarkan alternatif motodologis berupa “tafsir
kontekstual” yang peka konteks dalam rangka mengimbangi tafsir tekstual yang
begitu dominan. Saeed telah merumuskan aspek-aspek metodologis, mulai dari
landasan teoritis, gagasan dan prinsip kunci hingga langkah operasional
penafsiran secara rigid dan sistematis. Secara umum, empat langkah operasional
penafsiran kontekstual, yaitu: 1) mengidentifikasi pertimbangan-pertimbangan
awal dengan memahami subjektivitas penafsir, mengkonstruksi bahasa dan
makna dan dunia al-Qur’an (perjumpaan dengan dunia teks); 2) memulai tugas
penafsiran dengan cara mengidentifikasi maksud original (asli) teks dan
meyakini otentisitas serta reliabilitas teks (analisis kritis teks secara independen);
3) mengidentifikasi makna teks dengan mengeksplorasi setiap konteksnya
(makna bagi penerima pertama; 4) mengaitkan penafsiran teks dengan konteks
saat ini (proses kontekstualisasi, makna untuk saat ini).
Daftar Pustaka
Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, Volume 4, terj. Khairon Nahdiyyin,
Yogyakarta:LkiS, 2012.
Al-Banna, Gamal, Evolusi Tafsir; Dari Jaman Klasik hingga Modern, terj.
Novriantoni Kahar, Jakarta: Qisthi Press, 2005
Al-Farmawy, Abd Hayy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu’i; Dirasah Manhajiyyah
Maudlu’iyyah, Kairo: Mathba’at al-Hadlarah al-Arabiyyah, 1997
El Fadl, Khaled M. Abou, Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority, and
Woman, New York: Oneworld Publication, 2014.
Engineer, Asghar Ali, Islam and Liberation Theology; Essays on Liberative Elements
in Islam, New Delhi: Sterling Publishers, 1990.
Esack, Farid, Qur’an, Liberation, and Pluralism; An Islamic Perspective on
Interreligious Solidarity againts Oppression, Oxford: Oneworld, 1997.
Esack, Farid, “Spektrum Teologi Progresif di Afrika Selatan”, dalam Abdullahi
Ahmed An-Na’im, dkk., Islamic Law Reform and Human Rights Challenges
and Rejoinders, terj. Farid El Jaid, Dekonstruksi Syariah II, Yogyakarta:
LkiS, 1996.
Fina, Lien Iffah Naf’atu, “Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed; Sebuah
Penyempurnaan Terhadap Gagasan Tafsir Fazlur Rahman”, Hermeneutik,
Vol. 9, No. 1, 2015.
Hardiman, F. Budi, Seni Memahami; Hermeneutik dari Schleiermacher sampai
Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik,
Jakarta: Paramadina, 1996.
Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis; Lokalitas, Pluralisme, Terorisme,
Yogyakarta: LkiS, 2011.
Mu’ammar, M. Arfan, et. al, Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, Yogyakarta:
IRCiSoD, 2013.
Musafa’ah, Suqiyah, “Kontekstualisasi Pemikiran Waris Abdullah Saeed dalam
Hukum Kewarisan di Indonesia”, Islamica, Vol. 9, No. 2, 2015.
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity; Transformation of an Intellectual Tradition,
Chicago: The University of Chicago Press, 1982.
Saeed, Abdullah, Islam in Australia, Crow Nest NSW: Allen & Unwin, 2003.
______, Interpreting the Qur’an; Toward a Contemporary Approach, New York:
Routledge, 2006.
Millatī