Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama Di Suku Tenger

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 20

Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat

Beragama di Suku Tenger

M Thoriqul Huda, Irma Khasanah


Institut Pesantren KH Abdul Chalim Mojokerto
UIN Sunan Ampel Surabaya

Naskah diterima 11 Feb 2019, direvisi 28 Apr 2019, disetujui 5 Jun 2019

Abstract Indonesia is a country that has diversity in ethnicity, ethnicity, race,


language, religion, and culture. However, this diversity is capable of
causing conflicts both internally and externally. As with many cases that
occur in Indonesia. Religion itself is a foothold, belief, and life guide, even
as a scapegoat for conflicts in society. But other than the tengger tribe
located in Lumajang Regency, Malang Regency, Pasuruan Regency and
Probolinggo Regency, there are three religions that coexist in one village
namely Islam, Hinduism and Buddhism. In the midst of pluralism,
different societies of understanding and belief turned out to be able to
have an attitude of tolerance and mutual respect between each other.
Religious diversity is not a problem for the agrosari community to
interact in carrying out daily activities. Regarding tolerance among
religious people has recently become a very sticky issue among
academics and the public. Local wisdom and culture are solutions to
overcome this problem. Local wisdom in the Tengger tribe community is
inseparable from the values of Javanese culture, as well as the cultural
heritage of Majapahit which is still developing with mutual respect,
tolerance, and respect for ancestral spirits and there are no striking
differences in ethnicity other than differences in religious beliefs.
Togetherness is manifested in the form of traditional rituals such as the
Unan-Unan ceremony, Bari'an (Selamatan). Each religion has its own
demands for tolerance in the Tengger tribe is ingrained, the Tengger
tribe community also upholds equality and democracy in community life
and respects religious leaders and dukun (sepiritual teachers) rather
than administrative leaders. Because all are brothers, all families, still
peaceful and harmonious, which is the mandate and ancestral heritage.

Keyword: Interfaith Relations, Suku Tengger, Harmony

Abstrak Indonesia termasuk Negara yang mempunyai keanekaragaman suku,


etnis, ras, bahasa, agama, serta budaya. Namun, dengan
keberanekaraman ini mampu menimbulkan konflik baik internal
maupun eksternal. Seperti halnya kasus yang banyak terjadi di
Indonesia. Agama sendiri merupakan pijakan, keyakinan, dan
pedoman hidup, bahkan juga sering dijadikan kambing hitam
timbulnya konflik didalam masyarakat. Akan tetapi lain dengan suku
M Thoriqul Huda, Irma Khasanah

tengger yang terletak di Kabupaten Lumajang, Kabupaten Malang,


Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Probolinggo disini terdapat tiga
agama yang hidup berdampingan dalam satu desa yakni Islam,
Hindu, dan Budha. Ditengah- tengah kemajemukan masyarakat yang
berbeda paham serta keyakinan ternyata mampu memiliki sikap
toleransi dan saling menghormati antar sesama. Keberanekaragaman
agama bukanlah menjadi persoalan masyarakat agrosari untuk
berinteraksi dalam melakukan aktivitas sehari- hari. Mengenai
toleransi antar umat beragama akhir- akhir ini menjadi isu yang
sangat mencuat baik dikalangan akademisi maupun masyarakat.
Kearifan lokal dan budaya menjadi solusi untuk mengatasi masalah
tersebut. Kearifan lokal yang ada pada masyarakat suku tengger
tidak lepas dari nilai- nilai kebudayaan jawa, serta warisan budaya
Majapahit yang masih berkembang dengan sikap saling saling
menghargai, sikap toleransi, dan penghormatan pada roh leluhur dan
tidak ada perbedaan suku yang mencolok selain perbedaan
keyakinan agama. Kebersamaan yang diwujudkan dalam bentuk
ritual adat seperti upacara unan-unan, Bari’an (selamatan). Masing-
masing agama mempunyai tuntutan sendiri toleransi di suku tengger
ini sudah mendarah daging, masyarakat suku tengger juga
menjunjung tinggi nilai persamaan dan demokrasi dalam kehidupan
bermasyarakat serta lebih menghormati para pemuka agama dan
dukun (guru sepiritual) dibandingkan pemimpin administrativ.
Karena semua adalah saudara, semua keluarga, tetap tentram dan
rukun yang menjadi amanah serta warisan leluhur.

Kata Kunci: Hubungan antar Agama, Suku Tengger, Harmoni

A. PENDAHULUAN
Indonesia sangat memegang teguh warisan pesan leluhur yaitu
semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti meskipun terdapat suatu
perbedaan akan tetapi tetap satu jua, Kerukunan ini merupakan suatu
pilar paling penting sebagai pondasi masyarakat dalam memeliha
kerukunan keutuhan suatu bangsa. Pondasi kerukunan yang kuat baik
dari, suku, agama, bahasa, ras dan agama, maka bangsa Indonesia ini
akan mudah diadu domba serta terancam akan mengalami perpecahan.
keanekagaraman agama berpotensi sangatlah kuat terhadap identitas
dari masing masing agama yang akan berpotensi menimbulkan konflik.
Kekompakan sendiri dipahami sebagai kondisi suatu kehidupan yang
terjalin secra tentram, damai, saling menghargai antar sesama, saling
menghormati, dan saling gotong royong. Kerukunan antar umat
Beragama diciptakan agar tidak terjadi tegang rasa, serta permusuhan

152 |
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku Tenger

baik dari intern agama maupun dari umat beragama yang lain.
Kerukunan umat beragama sendiri dapat diartikan dengan kondisi sosial
dimana semua pemeluk agama dapat hidup secara berdampingan dalam
satu tempat tanpa mengurangi kewajiban dan hak masing-masing
pemeluk agama. Kerukunan merupakan suatu kebutuhan yang tidak
dapat ditunda-tunda lagi.
Tercapainya suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
terwujud dalam rasa saling menghormati antar pemeluk agama.
Kebebasan dalam memeluk agama dan melakukan ibadah sesuai dengan
keyakinan masing- masing dan tidak memaksakan keyakinan terhadap
pemeluk agam lain dengan saling mempercayai antar sesama baik intern
maupun eksteren pemeluk agama dengan pemerintah demi terwujudnya
masyarakat yang harmonis serta bertanggung jawab untuk menjaga
agama dan bangsa (Djatiwijono, 1983). Seperti yang sudah dijelaskan
didalam al-Qur’an bahwa manusia diciptakan untuk saling mengenal.

ِ ‫ﯾ َ ٰ ٓﺄ َﯾﱡﮭ َﺎﻟﻨٱ ﱠﺎس ُ إﺧِﻧَﻠﱠﺎَﻘ ْﻨ َ ٰ ﻜ ُﻢﻣ ّ ِ ذﻦ َﻛو ََﺮ ٍأ ُﻧﺜو ََﻰ ٰﺟ َ ﻌ َﻠ ْﻨ َ ٰ ﻜ ُﻢ ْ ﺷ ُﻌُﻮﺑوًﺎ َ ﻗ َﺒ َﺎ ٓﺋﻟ ِ ﺘﻞ َﻌ َﺎر َ ﻓ ُﻮا ٓ ۟◌ ۚ إ أِن ﱠَﻛ ْﺮ َﻣ َ ﻜ ُﻢ ْ ﻋ ِﻨﺪَ ٱ ﱠ‬
ٌ ‫أ َﺗ ْﻘ َﯨ ٰﻜ ُ ﻢ ْ◌ ۚ إ ِن ﱠ ٱ ﱠ َﻋَﻠ ِﯿﻢ ٌﺧ َﺒ ِﯿﺮ‬

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS: Al Hujurat, 13).

Ayat tersebut menunjukkan adanya kerukunan dalam hidup,


kerukunan yang menjadi pegangan dari masing- masing golongan agama
sehinggah lebih mudah dalam membangun interaksi sosial dan agama.
Apabila suatu golongan agama telah berhubungan dengan baik dengan
golongan lain maka Interaksi lebih mudah dalam mengembangkan
hubungan kerja, dan saling gotong royong terutama dalam pelestarian
tradisi masyarakat untuk membangun hubungan yang bermasyarakat
dan bernegara (Al- Munawar, 2005:22). Berangkat dari gambaran diatas
dapat terdapat suatu hal yang menarik untuk dikaji dan diteliti terkait
kerukunan umat beragama di Suku Tengger (Suku yang hidup dan
tinggal dibawah lereng Gunung Semeru, penyebarannya terdapat di

Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2019 p-ISSN: 2654-6612 e-ISSN 2656-0798 | 153


M Thoriqul Huda, Irma Khasanah

empat wilayah kabupaten yakni: Kabupaten Pasuruan, Kabupaten


Lumajang, Kabupaten Probolinggo dan Malang). Masyarakat suku
tengger sangat menjunjung tinggi nilai keluuhuran dan sangat
menghormati adat serta Dukun (Pemimpin Umat) dari pada pimpinan
pemerintah.
Wujud dari menjaga kerukunan umat beragama disuku tengger yaitu
dengan melakukan pelestarian tradisi kearifan lokal yang ada didaerah
suku tengger menurut para dukun disana kearifan lokal ini warisan
leluhur pada masa kerajaan majapahit yang masih di selenggarakan
sampai sekarang. Seperti Upacara Unan-Unan, Karo- Karo, Galungan,
Kasada. Pada pembahasan suku tengger ini membahas terkait
kerukunan yang sering dilakukan oleh umat Hindu dan umat Islam, yaitu
upacara unan- unan dan bari’an. Upacara unan- unan ini dalam kalender
umat Hindu dilaksanakan sewindu sekali bukan berarti 8 tahun sekali
melainkan 5 tahun sekali dalam penanggalan Hindu (Hefner, 1985:17).
Begitu junga dengan upaca Bari’an yang dilakukan umat Islam suku
tengger satu tahun sekali sebagai bentuk ucapan rasa syukur kepada
Allah atas hasil bumi yang melimpah ruah (Hisyam, 2015). Tradisi-
tradisi tersebut yang kerap kali mereka lakukan bersama sebagai adat
serta Norma yang ada disuku tengger untuk tetap saling menjaga
kerukunan dan sosial dengan masyarakat suku tengger meskipun
berbeda keyakinan (Haryonto, 2004).

B. PEMBAHASAN
Hubungan Antar Agama
Menilik ulang Indonesia ini terdapat beragam kekayaan yang berbeda
disetiap daerahnya baik dari segi suku, ras, bahasa, agama serta budaya.
Keberagaman ini sebagai pioner suatu bangsa dalam menciptakan
kerukunan umat beragama agar lebih mudah menjalin kerjasama (Ali,
1999), disisi agama memiliki dua dampak yaitu Sentripental (sebagai
pemersatu) dan juga Sentrifugal (Pemecah) (Soelaeman, 1987:229).
Adanya dua damapak ini yang memicu teori yang mengemukakan
tentang hubungan antara umat beagama. Menjaga kerukuna umat
beragama tidak perlu ditandai dengan munculnya berbagai agama, yang
secara realitanya sudah terlihat bahwa setiap agama memiliki corak
yang berbeda baik dari sistem kelolah kelembagaannya, keyakinan,
hukum yang ditetapkan maupun penafsiarnnya.

154 |
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku Tenger

Mukti Ali mengemukakan pemikirannya tentang “agree in


disegreement”. Yang beranggapan bahwa melalui konsep inilah dapat
menjaga kerukunan umat beragama. Dengan cara harus meyakini bahwa
agama yang dipeluknyalah yang paling benar, dan mempersilahkan
pemeluk agama lain untuk mempercayai agama yg dipeluknya juga yang
paling benar. Konsep saling mempercayai antar sesama inilah yang
dapat mengantar negara Indonesia menjadisatu kesatuhan yang utuh
tidak mudah terpecah belah (Ali, 1997:227-229).
Keharmonisan antar umat beragama yang pertama adalah terletak
pada sikap toleransi yang dibangun untuk menyikapi kerukunan yang
ada. Bagi negara ini toleransi sangatlah diperlukan dalam menjaga
bingkai keagamaan dilihat dari bermacam-macamnya agama yang
berkembang di Indonesia tidak hanya Islam yang di akui di negara
Indonesia, akan tetati juga ada lima agama lainnya seperti Hindu, Budha,
Kristen, Katholik dan Kongucu (Izza, 2013:4). Toleransi sendiri patut kita
banggakan namun disisi lain juga terdapat kejenuhan dari para pemeluk
agama karena secara tidak langsung toleansi sendiri dapat
memunculkan adanya sikap Apologis (sikap yang digunakan untuk
pembelaan keyakinan) (Izza, 2013:5). Pemeluk agama mengatakan
bahwa agama yang di yakinilah yang paling mempunyai sikiap toleransi
kuat dari pada ajaran agama lain, dari sini akan timbul ketegangan-
ketegangan baru yang bersiafat Tekstual (Tertulis), dan Kontekstual
(Antropologi, Sosiologi, dan Sejarah).
Para agamawan dan politisi mengklaim berkat adanya pancasila
Indonesia menjadi negara damai penuh dengan kerukunan dan sikap
toleransi yang begitu tinggi. Disisi lain para pemeluk agama juga ikut
bersuara, orang Islam ketika pertam kali bertemu mengucapkan
“Assalmualaikum” hal ini mencerminkan bahwa Islam cinta damai,
begitu juga dengan umat Kristen adalah agama keselamatan, Hindu yang
berpegang teguh kepada Dharma-nya, Budha juga mengklaim agamanya
jalan untuk melepaskan penderitaan, dan Konghucu juga mengkalim
sebagai agama cinta (Izza, 2013:6). Melihat banyaknya wacana tesebut
makna tolerasnsi perlu diadakan pembaharuan karena kerukunan
sendiri sifatnya keluar bukan intern yang mengaruh kepada kerukunan
masyarakat sendiri bukan intern kedalam agamanya (Kuntojiwo,
1998:359).
Pemerintah dalam hal ini tidak berperan sebagai Arbiter (faktor
dominan yang menjadi patokan adanya kerukuna umat beragama),

Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2019 p-ISSN: 2654-6612 e-ISSN 2656-0798 | 155


M Thoriqul Huda, Irma Khasanah

(Majid, 2004:199) hal ini membuktikan agama bukan dibawa kekuasaan


pemerintah. Karena, hubungan umat beragama di Indonesia merupakan
hubungan kekeluargaan sebab negara di Indonesia ini di bentuk bukan
sebagai negara agama. Begitu banyak corak agama yang dijumapai
dikalangan masyarakat sosial muncul beberapa gagasan untuk terjaga
keharmonsan antar umat beragama, salah satunya yaitu denagn
melakukan dialog antar agama hal ini yang mendapat perhatian khusus
dari para pemeluk agama.

Dialog Antar Agama


Ditengah keberagaman agama yang ada di Indonesia dengan adanya
toleransi yang begitu tinggi, salaing menghormatoi antar pemeluk agama
tidak cukup maka diperlukannya adanya dialog antar agama yang
memberikan pemahaman terkait pemahaman ajaran agama satu dengan
agama yang lainnya. Bukan berarti menjadikan orang lain begitu yakin
akan agamanya dan beralih pandangan untuk berpindah agama, dialog
ini di perlukan agar pemeluk agama lain dapat memahami ajaran yang
ada dari masing- masing agama dari sinilah benih- benih sikap toleransi
akan semakin kuat menjadi bangunan yang utuh.
Dialaog antar agama ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
terkait ajaran dalam kehidupan dari masing-masing agama, bukan studi
akademi agama apalagi membahas semua agama dan melahirkan agama
baru dan juga sedang beradu argumentasi sehingga melahirkan siapa
yang menang dan yang kalah dan yang kalah wajib mengikuti ajarannya
(Daya, 2008). Karena, dialog antar umat beragama sendiri merupakan
pertemuan antara hati dan pemikiran dari para pemeluk agama yang
berbeda. Dialog harus di terapkan sebagai salah satu bentuk interaksi
antar umat beragama dalam menjaga kebinekaan, kebersamaan dan
keharmonisan dari berbagai lapisan umat beragama baik yang berada
diera global maupun plural.
Leonard Swidle berpendapat terdapat sepuluh prinsip yang harus
dipegang teguh ketika sedang melangsungkan dialog antar umat
beragama (Swidler, 1990:95-98). Pertama, membuat relitas perubahan
dan perkembangan sesuai dengan keyakinan masing- masing. Kedua,
dialog harus dihadiri oleh penganut agama yang berbeda baik intern
agamanya dan pemeluk berbagai agama. Ketiga, setiap peserta dialog
harus memiliki kesungguhan dalam melangsungkan dialog serta
kejujuran yang terutama. Keempat, setiap peserta dialog harus bisa

156 |
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku Tenger

mendeskripsikan keyakinannya sebdiri- sendiri. Kelima, berdialog tanpa


asumsi yang kukuh dan tergesa- gesa atas keyakinan yang tidak bisa
diterimanya. Enam, dialog dilakuan oleh pihak yang benar- benar bisa
menghormati dan memahami. Tujuh, dialog dilaksanakan atas dasar
saling mempercayai. Delapan, dialog harus diikuti oleh orang- orang
yang kritis yang dimaksud adalah bisa menjawab semua pertanyaan dan
memperkuat keyakinan agamanya. Sembilan, peserta dialog harus
memahami mitra keberagamaan agama baik dari agamanya sendiri
maupun ekstern agamanya. Sepuluh, dalam melangsungkan dialog tidak
boleh membandingkan ajaran agamanya dengan ajaran agama lainya.
Bentuk-bentuk harmonisasri antar umat beragama untyk menjaga
kerukunan anatar umat beragama salah satunya adalah dengan
melangsunggkan dialog, untuk saling mempercayai dan menghormati
saja tidak cukup harus dibutuhkan pemahaman yang matang terkait
agamanya sendiri maupun agama yang lain.

Tiga Agama Di Suku Tengger


Suku tenger adalah masyarakat yang tinggal dipermukiman wilayah kaki
gunung Semeru dan disekitar wilayah lereng Gunung Bromo, yang
terletak di Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten
Lumajang, dan Kabupaten Malang (Dangun, 1997:1111). Tengger
diartikan sebagai Tenggiring Budhi Luhur yang berarti sifat dan budi
luhur yang masih melekat dan di praktikkan sampai sekarang sebagai
warisan leluhur dan hukum adat, menurut masyarakat tengger kata
tengger berasal dari mitos yang beredar berasal dari kisah sepasang
suami istri Roro Ateng dan Joko Seger yang pertama kali menduduki
wilayah tengger. Dalam legenda, sepasang suami istri tersebut memiliki
keturunan 25 anak, salah satu putranya bernama Kusuma dikorbankan
menjadi Tumbal dengan dilemparkan kekawah gunung bromo demi
keselamatan saudara-saudaranya. Tengger berasal dari kata Teng
(Anteng) dan ger (Seger) yang berarti masyarakat yang tidak banyak
tingkah dan tidak mudah terusik (Widyaprakoso, 1994:28-27). Istilah
tengger lahir dari perpaduan Roro Anteng dan Joko Seger yang menjadi
cikal bakal awal mulanya pemberian daerah wilayah tengger.
Arti dari istilah tersebut tergambar dari kondisi sosial masyarakat
suku tengger yang hidup secara damai, tentram, saling gotong royong,
bertoleransi tinggi meskipun berbeda paham keyakinan, dan taat
terhadap peraturan adat yang sudah berlaku. Sehingga tidak heran jika

Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2019 p-ISSN: 2654-6612 e-ISSN 2656-0798 | 157


M Thoriqul Huda, Irma Khasanah

masyarakat Tengger masih terbilang tradisional serta menjaga tatanan


budayanya serta patuh terhadap pemimpinnya (Sabda Pandhita Ratu).
Taat melestarikan tradisi seperti: upaca adat, perayaan hari- hari besar,
percaya akan benda- benda gaib, menghormati arwah leluhur, serta
selalu mengenakan pakaian khas mereka yaitu sarung yang diikatkan
dileher (Widyaprakoso, 1994:29).
Pada dasarnya masyarakat tengger ini adalah masyarakat yang
komunal yang selalu hidup secara bersamaan dalam mewujudkan
kekeluargaan yang harmonis terlihat dari toleransi yang begitu tinggi
ketika melakukan rituat adat, membangun rumah secara bersamaan,
bercocok tanam, menghadiri hajatan terbilang sangatlah erat dalam
menjaga keharmonisan umat beragama. Karena, masyarakat tengger
mempunyai norma jika mereka tidak mau hidup rukun akan dikatakan
sebagai Wong Sing Ora Lumrah Atau Wong Ora Lumrah (Subandrijo,
2000:28). Dengan kekhasan tersebut dipanggil dengan julukan Wong
Tengger (warga masyarakat Tengger) (Afia, 1999).
Kebayakan dari masyarakat tengger menganggap bahwa mereka
keturunan asli dari garis kerajaan Majapahit terbukti dari prasasti yang
ditemukan di daerah setempat bernama Prasasti Muncan. Prasasti ini
mengkisahkan tentang sejarah awal mulanya keberadaan suku tengger
yang terukir dengan halus menggunakan tulisan Aksara Jawa Kuno
disebuah batu setinggi 142,5 cm dengan lebar 22 cm dan panjang 102
cm. sedangkan gunung Bromo adalah bukti tempat pengabdian mereka
untuk melakukan ritual yadnya (mempersembahkan hasil bumi kepada
dewa). Dalam adat suku tengger tidak mengenal adanya perbedaan
kasta karena memang tidak ada pemimpin yang kuat dalam mengatur
segala hal yang ada hanya Dukun (pimpinan adat). Hal ini yang
menyebakan nilai spirituali yang berkembang seirinh berjalnnya waktu
kian mengalami pemerosotan yang mengancam hilangnya kehidupan
spiritual dan upaca adat. Tahun 1945 masyarakat suku tengger mulai
semangat lagi menggali kepercayaan yang mulai hilang untuk di
terapkan kembali secara mendalam (Widyaprakoso, 1999).
Wong Tengger juga memiliki tata cara dalam kehidupan seperti yang
tertera didalam Sesanti Pancasetya (lima petunjuk kesetiaan) yang harus
di patuhi semu lapisan masyarakat suku tengger karena tidak ada
perbedaan kasta yang berkembang (Sutarto, 2008:62) yakni: Satya
Wacana (perkataan harus sama dengan perbuatan), Satya Budhaya
(mentaati peraturan adat), Satya Laksana (bertanggung jawab dengan

158 |
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku Tenger

tugas yang diemban), Satya Semaya (menepati janji), Satra Mitra (setia
kawan). Untuk mencapai kebahagiaan hidup Wong Tengger juga
menjauhi sikap Mo Lima, Maling (mencuri), Madon (Maling Perempuan),
Madat (menghisab Candu), Main (judi), Minum (Mengkonsumsi
Minuman Keras), dan sekaligus wajin menjaga Wa Lima: Wasra ( cukup
sandanf), Wasis (Cukup Ilmu Pengetahuan), Wisma (Memiliki Tempat
yang layak), Waras ( sehat Jasmani dan Rohani), Wareg (cukup sandang).
Setelah kemerdekaan Indonesia agama yang dianut masyarakat suku
tengger masih belum jelas identitas yang dianutnya yang ada mereka
hanya melaksnakan ritual adat seperti: Upacara Karo- karo, Upaca Unan-
Unan, Upacara Entas- Entas, Kasodo, dan jenis ritual adat yang lainnya.
Baru kesaran tahun 1973 seiring dengan perkembangan zaman,
kemajuan sosial, teknologi dan norma-norma yang lahir dari
pengalaman masyarakat itu sendiri (Widyaprakoso, 1994:9),
penyuluhan terkait pembinaan agama mulai di galakkan. Menurut
ketetapan Parisada masyrakat tengger termasuk penganut Agama Budha
Mahayana sesuai dengan surat keputusan No.00/PHB
Jatim/Kept/III/73, pada tanggal 6 Maret 1973, setelah ditinjau ulang
terkait ritual yang sering dilakukan cara ibadah dan kepercayaan-
kepercayaan yang diyakini ternyata banyak mengandung ajaran yang
terdapat didalam agama Hindu, hal ini diperkuat dengan
dipertemukannya prasasti Walandati yang terdapat di desa Walandit
terketak di Pegunungan Tengger tempat Hulun Hyang (Abdi Dewa- Dewi
Hindu).
Kepercayaan Animisme (Percaya akan benda- benda Goib, Roh, dan
Nyawa) juga sering dilakukan masyarakat tengger seperti melakukan
Selametan sebagai wujud penghormatan kepada leluhur yang
mempunyai posisi penting dalam setiap peristiwa (Afia, 1999:46), dan
juga sebagai bentuk rasa suyur atas hasil alam yang sudah diberikan
sebagai persembahan yang diberikan kepada dewa agar dewa tidak
murka (Suyono, 2009:25). Ketika melakukan ritual peribadatan
masyarakat tengger juga membaca Japa Mantra (doa) yang hingga pada
saat ini masih dipegang teguh oleh Dukun Tengger, bagi Dukun Tengger
Mantra adalah harta yang paling suci sebagai bentuk pendekatan dengan
sang Hyang Widhi dan juga sebagai Tameng agar dijauhkan dari Roh-
Roh jahat yang mengusik ketenangan hidup (Sutarto, 2007:58).
Dari sinilah awal mula dilahirkannya suatu perdaban yang tidak
mengenal sebuah perbedaan dalam hidup bermasyarakat, meskipun

Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2019 p-ISSN: 2654-6612 e-ISSN 2656-0798 | 159


M Thoriqul Huda, Irma Khasanah

ajaran agama islam masuk jauh sesudah Hindu dan Budha berkembang
di masyrakat tengger tidak ada permusuhan yang dapat memecah
belahkan mereka karena masyarakat tengger sangat menjunjung tinggi
dan menghargai antar sesama dan memberi kebebasan berkehendak
atas setiap orang untuk memeluk dan meyakini ajaran agama yang
dibawahnya. Terlihat dari agama yang berkembang didaerah suku
tengger tidak hanya ada satu agama yang dipeluk masyarakat setempat
melainkan banyak agama yang berkembang disana seperti agama Hindu,
agama Budha, dan Agama Islam. Keyakinan boleh berbeda namun,
terkait adat dan hukum yang berlaku tidak ada perbedaan. Tolak ukur
yang digunakan yaitu sikap kekeluargaan sesuai dengan norma yang
ditetapkan oleh para leluhur.
Agama Hindu masuk di Indonesia sekitar abad ke-4 masehi dengan
beberapa bukti peninggalannya seperti Prasasti Yupa bekas kerajaan
kutai yang ada di Kalimantan Timur, tujuh bua yupa yang ditemukan ini
menggambarkan bahwa pada waktu itu raja Mulawarman sedang
melaksanakan yadnya pemujaan kepada Dewa Shiwa. Sedangkan
diwilayah tengger sendiri ajaran agama Hindu masuk sekitar abad ke-17
yang dibawah oleh pertapa- pertapa Hindu menetap diwilayah sekitar
gunung Bromo, Agama Hindu mengajarrkan arti hidup rukun baik antar
sesama pemeluk agama maupun pemeluk agama yang lainnya yang telah
dijelaskan didalam Kitab Weda seperti Yajur Wedha dan Atara Weda.
Awal mulanya di tengger masyarakatnya mempercayai tentang
penghormatan kepada roh leluhur, ketika Hindu masuk ditengger maka
menyesuaikan dengan kondisi masyarkat tengger saat itu, sehingga
terjalin adanya kontak budaya dan ajaran agama Hindu. Oleh karena itu
wujud dari agama Hindu tidak diterima secara matang-matang oleh
masyarajat tengger melainkan diolah dengan budaya setempat baik dari
struktur Bahasa, Kebudayaan, Kepercayaan, organisasi sistem
kemasyaraktan serta pengetahuan yang masih bersifat tradisonal
(Muslimin, 2012:67).
Wujud dari bahasanya sendiri terlihat dari bahasa yang digunakan
sehari-hari yang masih menggunakn bahasa jawa krama, bahkan
pengucapan Salam pembuka berbeda dengan umat Hindu yang lainnya,
jika umat Hindu kenggunkan kata “OM Swastiatsu” umat Hindu tengger
menggunakan kata “Hong Ulun Bhasuki Langgeng” yang berarti (semoga
Sang Hyang Widhi Wasa Senantiasa Memberikan Kedamaian,
Kemakmuran, dan Kesehatan kepada kita semua). Hindu di tengger juga

160 |
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku Tenger

masih kental dengan adat istiadat serta budayanya yang berkembang


menurut mereka warisan keluhur wajib dilestarikan dan lakukan
sebagai wujud rasa penghormatan kedapa leluhur. Ajaran agama hindu
juga tidak jauh beda dengan ajaran agama hindu pada umumnya sesuai
dengan yang di terangkan dalam kitab Weda.
Selanjutnya agama Islam, Ajaran agama Islam masuk dan
berkembang luas di kawasan tengger semenjak runtuhnya kerajaan
majapahit dibawa kekuasaan demak, Islam di tengger memiliki sedikit
perbedaan dengan Islam yang lain karena agama Islam yang berada di
Tengger masih kental dengan adat dan budaya jawa. Sudah terlihat dari
melakukan praktik keagamaannya terdapat beberapa hal yang berbeda
seperti masih melibatkan dukun ketika melangsungkan perayaan umat
hari besar Islam, upacara- upaca adat seperti karo-karo, unan- una,
kasada dan lain- lain masih diikuti oleh masyarakat islam, selain itu juga
upacara- upacara adat ini masih digunakan sebagai mediah dakwa islam.
Penghormatan terhadap roh leluhur juga msih tetap dipertahankan oleh
komunitas Islam tengger. Islam tidak harus ditempatkan pada konteks
syariah saja tetapi juga tentang substansi Islam itu sendiri, dalam ajaran
tasawuf yang bersandar pada al- Quran, hadits, setra praktik kehidupan
Nabi Muhammad. Secara harfiyah tasawuf meyakini bahwa Rasulullah
dalam mengajarkan Islam selalu menghormati warisan budaya leluhur
tanpa harus menghilangkannya melainkan menyesuaikan dengan
kondisi yang ada (Maksum, 2015:33). Persoalan syariat tetap sesuai
dengan ajaran Islam seperti melaksanakan sholat, puasa, dan ajaran-
ajaran Islam yang lain. Islam di tengger termasuk Islam yang sinkretis
karena didalam praktik ajaran agamanya terdapat perpaduan dari
beberapa paham adat, budaya serta aliran kepercayaan agama lain.
Selain agama Islam dan Hindu di daerah suku tengger juga terdapat
ajaran agama Budha namun ketika masa orde baru ajaran agama budha
di tengger di teliti pada tahun 1973 oleh kementrian agama melalui
Dirjen Bimas Hindu-Budha. Ternya setelah diteliti masyarakat tengger
masuk kedalam golongan agama Budha Mahayana, keputusan ini masih
belum final karena pemuka agama Budha tengger tetap memutuskan
bahwa mereka itu Budha (Tengger). Dan dikeluarkanlah Surat
Keputusan No. 00/PHB-Jatim/Kept/III/73 tertanggalkan 6 Maret 1973.

Rukun dan Budaya Toleransi Suku Tengger

Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2019 p-ISSN: 2654-6612 e-ISSN 2656-0798 | 161


M Thoriqul Huda, Irma Khasanah

Suku Tengger adalah masyarakat yang masih terbilang agraris yang


belum terjun langsung dengan budaya konsumeristik, dan materialis.
Mereka akan tetap bertahan ditengah globalisasi zaman tetgantung dari
para Dukun (Pemimpin Adat) yang memegang andil terpenting sebagai
ahli waris kelestarian tradisi dan budaya di Tengger (Sutarto, 1998).
Meskipun mereka mendapatakan pengaruh baik dari segi agama,
ekonimis, sosial, dan budaya pada dukun tengger masih tetap berperan
aktif selaku pewaris tahta Majapahit dan Walndit. Meskipun keyakinan
yang dipeluk masing-masing warga tidak sama namun ketika melakukan
ritual adat tetap melestarikan tradisi yang berkembang diwilayah
Tengger. Terbilang upacara adat yang dilakukan masih berbau ritual
Hindu seperti: Kropak, Prapen (Tempat api dan Kemenyan), Genta, Serta
Sampet (Kain selendang berwarna kuning biasanya digunakan oleh
pendeta hindu pada masa kerajaan Majapahit) (Halim, 2006). Semangat
plularisme diwujudkan dengan mencintai budaya dan agama yang
membuat mereka rentan terhadap munculnya sebuah konflik maupun
ketimpangan sosial yang berdimensi etnis maupun keragaman agama.
Perkembangan teknologi yang kian melaju pesat menarik warga
tengger untuk menccoba hal baru, tapi tidak terpengaruh oleh trend dan
gaya hidup yang banyak di posting dimedia masa kebanyakan mereka
memposisikan dirinya menjadi Wong Gunung (warga masyarakat
pegunungan) dari pada menjadi Wong Ngare (warga masyarakat
dataran rendah yang hidup di perkotaan). Menurut mereka masyarakat
perkotaan sangat berbeda dengan masyrakat pegunungan yang suka
hidup sendiri dan jarang berkumpul secara bersama kecuali ada
kegiatan yang sifatnya penting.
Rukun sudah menjadi ciri khas masyarakat tengger dalam
berinteraksi, yang menjadikan rukunnya masyarakat ini adalah nilai-
nilai toleransi sebagai pijakan hidup bersosial maupun beragama. Makna
toleransi sendiri sebuah upaya dalam menciptakan kehidupan
masyarakat yang harmonis dengan cara menghormati antar sesama,
saling memmpercayai, saling kerja sama demi tercapainya masyarakat
yang satu tanpa adanya ketimpanagn sosial (yasir: 2014). Sikap rukun
yang diwariskan leluhur mewujudkan tatanan kondisi masyarakat
tengger yang tentram bahkan hampir tidak ditemukannya konflik sosial
maupun agama hal ini mencerminkan adanya perbedaan bukan suatu
penghalang untuk memperkkoh persaudaraan (Fatmawati, 2013).
Masyarakat elit menggajarkan bahwa Yesus mengajarkan kasih sayang

162 |
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku Tenger

dan cinta, Nabi Muhammad mencontohkan rasa syukur atas nikmat


Allah yang Maha Esa, Budha mengajarkan manusia untuk mengambil
jalan tengah, dan Dewa mengajarkan manusia untuk melawan yang
bathil dan menegakkan kebenaran (Pendit, 2001:59). Menurut warga
tengger “lebih baik banyak saudara dari pada banyak harta”. Pepatah
inilah yang menjadikan kerukunan warga ini. Pemupukan nilai-nilai ini
terbukti dengan baik dilihat dari model hidup mereka yang penuh
kehangatan dan ketentraman.
Masyarakat tengger juga mengenal adanya Welas Asih Pitu ( Tujuh
cinta kasih sayang) (Waluyo, 1997) diantaranya yaitu: Welas Asih Marang
Bapa Kuasa (Tuhan), Welas Asih Marang Bapa Biyung (Orang Tua),
Welas Asih Marang Ibu Pertiwi (Tanah Air), Welas Asih Marang Jiwa (
rasa jiwa), Welas Asih Marang Sepadane Urip (Sesama Manusia), Welas
Asih Marang Sato Kewan ( Binatang ), Welas Asih Marang Tandur
Tetuwuh ( Tumbuh-Tumbuhan). Didalam tetuah ini masyarakat tengger
ditekankan untuk berbuat baik kepada sesama manusia meskipun
berbeda keyakinan tidak hanya manusia, alam, tumbuhan, dan juga
hewanpun harus tetap dijaga inilah yang menyebabkan masyarakat
tengger kental dengan kerukunannya.
Realisasi nilai - nilai keragaman tidak hanya perdana ini saja, bukti
sejarah telah mencatat nilai-nilai kerukunan telah ada sedari dulu
disuku ini. Terutama saat banyak Pelancong (pendatang baru) yang
berbondong- bondong hadir ke wilayah ini, kekhawatiran dan
kenyamanan telah muncul, sehingga untuk mempersatukan masyarakat
ini para dukun- dukun berinisiatif menjadikan Upacara sebagai adat
pemersatu lapisan elemen masyarakat tengger baik yang beragama
Hindu, Budha, dan Islam (Sudiro, 2001:19-30). Seperti upacara Unan-
unan yaitu upacara terbesar bagi masyarakat tengger yang dilakukan
dalam sewindu sekali, perhitungan sewindu ini berbeda dengan
perhitungan saka, menurut kalender tengger sewindu itu bukan delapan
tahun melainkan lima tahun sekali sesuai dengan perhitungan matahari
yang setiap harinya terbit genap tiga puluh hari. Kalender
tenggermenyebutkan bahwa tidak ada bulan dua puluh sembilan hari
ataupun tiga puluh satu hari. Hal ini hampir sama dengan sistem
penanggalan jawa yang hanya ada 5 hari yaitu: Pon, Wage, Keliwon,
Pahing, Legi, sehingga satu minggu hanya terdapat lima hari dan
sewindu hanya ditempuh dalam jangka waktu lima tahun. Mbah sindek
(Sesepuh Dukun Desa Agrosari) mengatakan unan- unan berasal dari

Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2019 p-ISSN: 2654-6612 e-ISSN 2656-0798 | 163


M Thoriqul Huda, Irma Khasanah

kata Hunan yang berarti nyaur banggi (membayar janji), dijelaskan


dalan Makekat Junggring Saloko sebagai berikut:

“Leluhur kawula paringi pitedah wewarah kados ingkang kasebat wonten


mekakat junggring saloka. Bilih Wong agung kiko dakso, dawuhaken
Prabu Anom Sangge menyan kebak pelambung. Ki Ageng Ardi Anas Nambi
Meru. Nyampuhaken putra wayah giri kusmo pikantuk nyi buring mbok
wulanjar ingkang wonten sanggar ratu anom pemancil, ingkang
nemurunaken yugo putu wonten saidenge poten tetenggere tanah pulo
jawi”.

Terdapat beberapa persyaratan yang harus di sediakan dalam


upacara ini seperti: Gedang Ayu, Suruh Ayu, Jambe Ayu, dan yang paling
terpenting Kerbau Putih. Ritual upacara ini dimulai dengan Rawa
Tangkang (Pembacaan mantra suci dengan maskud meminta izin
Kepada Bahu Rekso (Sebutan Pemimpin pada Masa Kerajaan) dan juga
para roh leluhur yang membabat alas wilayah tengger. Kedua, Mapek
(Ceremonial Pembukaan yang dihadiri oleh Perangkat Desa dan Jajaran
Pemerintahan). Ketiga, Unan- Unan (ritual ini dilakukan dengan
menyembelih kerbau putih yang dikhususkan kepada Tuhan sebagai
ucapan rasa syukur atas nikmat alam yang telah diberikan sehingga
kebutuhan hidup bisa tercukupi dan juga sebagai bentuk permohonan
agar dijauhkan dari hal- hal yang berpengaruh negatif). Hal yang paling
menarik disini adalah kerika usau penyembelihan Kerbau kulit dan
tulang dibiarkan utuh hanya diambil bagian dagingya untuk ditusuk dan
dihias diatas tubuh kerbau yang tengkurap lalu dihiasi dengan hasil
bumi seperti gedhang ayu, sayur, dan buah- buahan yang lainnya lalu
diarak dari lokasi penyembelihan menuju Punden Desa yang terdapat di
Pure (tempat pertama kali didirikannya bangunan disuatu daerah).
Malam harinya diadakan tasyakuran dengan menikmati sajian yang
sudah dipersiapkan seluruh masyarakat tengger wajib mengadiri baik
yang beragama Hindu, Budha dan Islam. Dalam perjamuan ini rasa
kekeluargaan terasa nyata mereka merasa sama-sama punya cerita
sejarah dan tatanan masyarakat yang sejajar. Karena semua berbaur
menjadi satu tanpa sekat dalam bingkai kekeluargaan meskipun berbeda
paham dan kepercayaan inilah bentuk dari sebuah kebersamaan dalam
bingkai keberagam agamaan namun tetap keluarga.

164 |
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku Tenger

Selain upacara unan-unan juga ada tradsi upacara Karo-Karo yaitu


tradisi upacara paling besar yang dilakukan oleh masyarakat tengger
baik Islam, Hindu, maupun Budha. Perayaan upacara ini tidak jauh
berbeda dengan hari raya Idhul Fitri dan Idhul Adha, dimana Karo-karo
ini dilakukan selama dua minggu tepat pada penanggalan tengger bulan
kedua atau masyarakat tengger menyebutnya Bulan Karo. Tepat pada
hari ini masyarakat tengger saling bermaaf-maafan dan juga
berkungjung kesetiap rumah dimasyarakat setempat, yang paling
terkesan dalam upacara ini yaitu terdapat penyembelian semua hasil
ternak baik dari Ayam, Kambing, Babi, Sapi serta Kerbau untuk
dinikmati dagingnya. Perayaan ini bagi masyarakat tengger sangat
dinanti-nantikan karena sebagai hadiah dari kerja keras selama setahun
baik bercocok tanam, bertani maupun bertenak. Seluhur lapisan
masyarakat baik tua-muda, besar kecil, yang beragama Hindu, Islam,
Budha membaur menjadi satu dalam suka cita perayaan karo. Perayaan
karo ini terkesan semakin lengkap dan meriah jika hasil panen
melimpah ruah (Sutarto, 1997:211-212).
Dan yang terakhir Upacara Kasada atau Kasodoan yaitu upacara
yang dilakukan pada tanggal 14, 15, 16 bukan kasodo bertepatan dengan
bulan pernama yang sedang terpancar dan tampak di Lazuardi perayaan
ini sekarang lebih dikenal dengan Yadnya Kasada. Yadnya Kasodo lebih
tepatnya seperti hari Raya Kurban baik dari hasil bumi dan juga Hewan-
hewan kurban sebagai bentuk pelestarian amanah leluhur suku tengger
Raden Kusuma alias Kyai Kusuma alias Dewa Kusuma yang merupakan
putra bungsuh dari Rara Anteng dan Jaka Seger. Kosodoan ini sebagai
bentuk komunikasi anata suku Tengger dengan Tuhan serta Roh-roh
leluhur yang menjaga kawasam tengger, interaksi ini dilakukan sebagai
pewaris aktif tradisi ditengger. Ritual ini tidak hanya diikuti penganut
agama Hindu saja tetapi juga Islam, Budha dan Kristen dengan melalui
beberapa tahapan seperti (Astutik, 2003:128-131): pertama,
Pengambilan Mata Air Suci (air suci ini diambil dari Gunung Widodaren
sebagai pelengkap pertama sebelum melakukan Yadnya Kasada, yang
dibuat Ngelukat Umat (penyucian Jiwa Masyarakat Tengger) (Anas,
2013:26). Kedua, Pembukaan Yadnya (dibuka oleh Parisada Hindu dan
Juge seluruh Dukun suku Tengger baik dari Kabupaten Lumajang,
Probolinggo, Malang, dan Pasuruan digelar di Ponten (Lautan Pasir
Gunung Bromo) (Anas, 2013:27). Ketiga, Upaca Kasada (ritual ini
dimulai pada pukul 02.00 Wib- 07.00 wib dengan berbagai rangkaian

Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2019 p-ISSN: 2654-6612 e-ISSN 2656-0798 | 165


M Thoriqul Huda, Irma Khasanah

acara seperti persiapan acara, Membacakan Kidung- Kidung, Ngelukat


Umat (mensucikan Umat, Tempat Ibadah dan tempat para dewa),
pembacaan kita suci Weda, Menceritakan Sejarah Kasada, Muspa
(persembayangan), Doa Pasca Sembah, Pemilihan Calon Dukun, Acara
Lelebuhan (Memasukkan) sesajen kedalam kawah Gunung Bromo, )
dalam Upacara inti kasodo ini banyak diikuti Umat Hindu karena jika
ditelaah dari segi ritual banyak mengandung unsur Ajaran Hindu, jadi
ketika ritual berlangsung umat selain Hindu hanya hadir untuk
menyaksikan. Baru yang terakhir penghujung acara yaitu Pepujaan
(Selamatan) acara ini di lakukan Poten masing-masing dengan
menikmati hasil alam yang dipimpin oleh para Dukun serta sesepuh
desa setempat) (Anas, 2013:32).
Inilah wujud dari terbentuknya kerukunan umat beragama di Suku
Tengger, dimana Adat dan budaya warisan leluhur yang menjadikan
ketiga umat beragama yang berkembang di Tengger menjadi satu
kesatuan dalam bingkai membangun umat beragama yang rukun dan
damai. Mengkokohkan identitas sosial dengan mengembangkan nilai-
nilai toleransi yang secara otomatis mengikat budaya- budaya yang ada
di Indonesia menjadi persatuan. Ketika suku Tengger bisa bersatu, dan
hanya sebagaian kecil negara di Indonesia yang mempu mengamalkan
sila ke-3 didalam pancasila yaitu Persatuan Indonesia. Dimana
persatuan adalah proses, dan kesatuan tidak tercapai tanpa adanaya
proses. Dengan persatuan inilah, meskipun dipisahkan secara Regional,
tidak mudah terpisahkan nilai- nilai seperti inilah yang dikembangakan
masayarakat tengger untuk menegakkan adanya kerukunan umat
beragama. Sikap seperti inilah yang harus di tiru seluruh lapisan
masyarakat Indonesia untuk mempertahankan kesatuan di Indonesia
menjadikan adat dan budaya sebagai pemersatu umat beragama

C. KESIMPULAN
Masyarakat tengger dikenal sebagai masyarakat yang kental adat dan
budayanya. Ditengah proses pradaban yang begitu panjang sangat
terbukti bahwa masyarakat tengger tidak goyah untyk selalu memegang
teguh warisan leluhur yang diturunkan secara turun temurun,
berdasarkan paparan diatas membuktikan meskipun beragam agama
baik Agama Hindu, Budha, dan Islam yang menduduki kawasan tengger
tidak menggoyahkan sedikitpun rasa kekeluargaan yang ada justru
keberagaman agama inlah yang makin memperkuat kerukukan antar

166 |
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku Tenger

umat begama didasari juga dengan memegang teguh adat istiadat serta
budaya yang sudah berkembang untuk tetap menjaga kerukunan. Wujud
dari kerukunan itu senditi terlaksana dengan adanya adat dan budaya
seperti Upaca Karo, Upacara Unan-Unan, Upacara Kasada, Upacara
Kelahiran serta upacara Kematian. Tidak ada perbedaan kasta yang
mengikat karena di suku tengger tidak mengajarkan perbedaaan kasta
yang ada hanya Wong Tengger (Masyarakat Suku Tengger).
Model kerukunan yang berbasic kebudayaan yang terdapat di
suku tengger terletak pada Kabupaten Lumajang, Kabupaten Malang,
Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Pasuruan, yang menduduknya
memeluk agama Hindu, Budha, Islam. Hal ini terjadi dikarenakan
kearifan lokal yang masih terpelihara dengan baik melampaui ikatan-
ikatan keagamaan, bagi mereka menghormati leluhur serta taat kepada
Dukun yang paling penting agar memperoleh kehidupan yang harmonis
dan tentram. Kondisi kerukuna ini terwujud dalam praktik- praktik
sosial masyarakat Suku tengger, hubungan antar masyarakat pun juga
terjalin dengan baik karena adanya sikap toleransi dalam bermasyarakat
dengan baik yang dilandasi nilai- nilai budaya Tengger.

Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2019 p-ISSN: 2654-6612 e-ISSN 2656-0798 | 167


M Thoriqul Huda, Irma Khasanah

DAFTAR PUSTAKA
Hisyam. A. M. Harmonisasi Lintas Agama Masyarakat Tengger. ISLAMICA Vol.
10 No 01. 2015.
Ali. M. 1997. Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah Dan Misi. Jakarta:
Inis.
Mursid, A. 1999. Plularitas Sosial Dan Hubungan Antar Agama Bingkai
Kulturall Dan Theologi, Kerukunan Hidup Umat Beragama. Jakarta:
Badan Peneliti Pengembangan Agama Depag RI
Anas. M. “Telaah Metafisik Upacara Kasada, Mitos Dan Kearifan Hidup Dalam
Masyarakat Tengger”. Kalam : Jurnal Studi Agama Dan Pemikiran
Islam. Vol. 7 No. 1 2013.
Al- Munawar, A. S. 2005. Fiqh Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat
Press
Astutik. J. 2003. Makna Ritual Upaca Kasada Dalam Persefektif Antropogi,
Dalam Agama Tradisional. Yogyakarta: Lkis
Dangun. M. 1997. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga
Pengkajian Kebudayaan Nusantara
Afia, D. N. 1999. Tradisi Dan Kepercayaan Lokal Bagi Beberapa Suku Yang
Ada Di Indonseia. Badan Litbang Agama Departemen Ri
Daya. B. dan Herman, B. L. 1992. Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia Dan
Belanda. Jakarta: Inis
Djatiwijono.H.R. 1983. Dinamika Kerukunan Hidup Beragama Di Daerah.
Jakarta: Maret
Halim.W. 2006. “Identitas Wong Tengger Masyarakat Desa Ngandas: Refleksi
Kebangsaan Atas Degradasi Identitas Dan Persatuan Nasional”,
Proceeding AMIPEC, Vol 2. No 2.
Izza. L. 2013 “Melihat Potret Harmonisasi Hubungan Antar Umat Beragama
Di Indonesia”. Religi. Vol IX. No. 1. Januari
Kuntojiwo. 1998. Dari Kerukunan Ke Kerjasama, Dari Toleransi Ke Kooperasi.
Jakarta: Pustaka Hidaya
Majid. N. 2004. Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis.
Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina
Masum. A. 2015. “Politik Identitas Masyarakat Tengger Dalam
Mempertahankan Sistem Kebudayaan Dalam Hegemoni Islam Dan
Kekuasaan”. El- Haraq. Vol 17. N0. 1
Soelaeman. M. 1987. Ilmu Sosial Dasar Teori Dan Konsep Ilmu Sosial.
Bandung: ERSCO.

168 |
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku Tenger

Muslimin. “Alkuturasi Agama Hindu Di Indonesia. Al- Adyan. Vol 7 No.


2. Desember 2012.
S. Pendit. Nyoman. 2001. Nyepi: Kebangkitan, Toleransi Dan Kerukunan.
Jakarta: Gramedia Utama
Subandrijo. B. 2000. Keselamatan Bagi Orang Jawa. Jakarta: Bpk
Gunung Mulia
Sudiro. 2018. “Legenda Dan Religi Sebagai Media Integritas Bangsa”.
HUMANIORA Vo 8. No 1. September 2001
Sutarto. 1997. Komunitas Lokal Dalam Persefektif Perubahan Sosial Budaya:
Suku Tengger. Jember: Universitas Jember
Sutarto. A. 2007. Saya Orang Tengger, Saya Punya Agama: Kisah Orang
Tengger Menemukan Agamanya. Jember: Kompyawisda
Sutarto. A. 2008. Kamus Budaya Dan Religious. Jember: Lembaga Penelitian
Universitas Jember
Suyono. C. R.P. 2009. Mitisisme Tengger. Yogyakarta: Lkis
Swidler. L. 1990. The Dialogue, Ground Rules For Interreligious Dialogue.
Davao City: Tp
Joko, T.H. 2004. Kearifan Lokal Pendukung Kerukunan Beragama Pada
Komunitas Tengger Malang Jatim. ANALISA Vol 21. No. 2
W. Hefner. Robert. 1985. Hindu Javanes And Tradition Islam. Princeton:
Princeton University Perss
Waluyo. Harry. 1997. Sistem Pemerintahan Tradisional Di Tengger Jawa
Timur. Jakarta: Proyek Pengkajian Dan Pembinaan Nilai-Nilai
Budaya, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, Direktorat
Jenderalkebudayaan, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Widyaprakoso. Samandhi. 1994. Masyarakat Tengger: Latar Belakang
Daerah Taman Nasional Bromo. Jakarta: Kanisius
Sumber Lain
Al-Quran, Surat Al Hujurat Ayat 13
Wawancara Dengan Bapak Budiono (Dukun Suku Tengger), Di Desa Agrosari
Pada: 25 November 2018

Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2019 p-ISSN: 2654-6612 e-ISSN 2656-0798 | 169


M Thoriqul Huda, Irma Khasanah

170 |

You might also like