Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama Di Suku Tenger
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama Di Suku Tenger
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama Di Suku Tenger
Naskah diterima 11 Feb 2019, direvisi 28 Apr 2019, disetujui 5 Jun 2019
A. PENDAHULUAN
Indonesia sangat memegang teguh warisan pesan leluhur yaitu
semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti meskipun terdapat suatu
perbedaan akan tetapi tetap satu jua, Kerukunan ini merupakan suatu
pilar paling penting sebagai pondasi masyarakat dalam memeliha
kerukunan keutuhan suatu bangsa. Pondasi kerukunan yang kuat baik
dari, suku, agama, bahasa, ras dan agama, maka bangsa Indonesia ini
akan mudah diadu domba serta terancam akan mengalami perpecahan.
keanekagaraman agama berpotensi sangatlah kuat terhadap identitas
dari masing masing agama yang akan berpotensi menimbulkan konflik.
Kekompakan sendiri dipahami sebagai kondisi suatu kehidupan yang
terjalin secra tentram, damai, saling menghargai antar sesama, saling
menghormati, dan saling gotong royong. Kerukunan antar umat
Beragama diciptakan agar tidak terjadi tegang rasa, serta permusuhan
152 |
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku Tenger
baik dari intern agama maupun dari umat beragama yang lain.
Kerukunan umat beragama sendiri dapat diartikan dengan kondisi sosial
dimana semua pemeluk agama dapat hidup secara berdampingan dalam
satu tempat tanpa mengurangi kewajiban dan hak masing-masing
pemeluk agama. Kerukunan merupakan suatu kebutuhan yang tidak
dapat ditunda-tunda lagi.
Tercapainya suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
terwujud dalam rasa saling menghormati antar pemeluk agama.
Kebebasan dalam memeluk agama dan melakukan ibadah sesuai dengan
keyakinan masing- masing dan tidak memaksakan keyakinan terhadap
pemeluk agam lain dengan saling mempercayai antar sesama baik intern
maupun eksteren pemeluk agama dengan pemerintah demi terwujudnya
masyarakat yang harmonis serta bertanggung jawab untuk menjaga
agama dan bangsa (Djatiwijono, 1983). Seperti yang sudah dijelaskan
didalam al-Qur’an bahwa manusia diciptakan untuk saling mengenal.
ِ ﯾ َ ٰ ٓﺄ َﯾﱡﮭ َﺎﻟﻨٱ ﱠﺎس ُ إﺧِﻧَﻠﱠﺎَﻘ ْﻨ َ ٰ ﻜ ُﻢﻣ ّ ِ ذﻦ َﻛو ََﺮ ٍأ ُﻧﺜو ََﻰ ٰﺟ َ ﻌ َﻠ ْﻨ َ ٰ ﻜ ُﻢ ْ ﺷ ُﻌُﻮﺑوًﺎ َ ﻗ َﺒ َﺎ ٓﺋﻟ ِ ﺘﻞ َﻌ َﺎر َ ﻓ ُﻮا ٓ ۟◌ ۚ إ أِن ﱠَﻛ ْﺮ َﻣ َ ﻜ ُﻢ ْ ﻋ ِﻨﺪَ ٱ ﱠ
ٌ أ َﺗ ْﻘ َﯨ ٰﻜ ُ ﻢ ْ◌ ۚ إ ِن ﱠ ٱ ﱠ َﻋَﻠ ِﯿﻢ ٌﺧ َﺒ ِﯿﺮ
B. PEMBAHASAN
Hubungan Antar Agama
Menilik ulang Indonesia ini terdapat beragam kekayaan yang berbeda
disetiap daerahnya baik dari segi suku, ras, bahasa, agama serta budaya.
Keberagaman ini sebagai pioner suatu bangsa dalam menciptakan
kerukunan umat beragama agar lebih mudah menjalin kerjasama (Ali,
1999), disisi agama memiliki dua dampak yaitu Sentripental (sebagai
pemersatu) dan juga Sentrifugal (Pemecah) (Soelaeman, 1987:229).
Adanya dua damapak ini yang memicu teori yang mengemukakan
tentang hubungan antara umat beagama. Menjaga kerukuna umat
beragama tidak perlu ditandai dengan munculnya berbagai agama, yang
secara realitanya sudah terlihat bahwa setiap agama memiliki corak
yang berbeda baik dari sistem kelolah kelembagaannya, keyakinan,
hukum yang ditetapkan maupun penafsiarnnya.
154 |
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku Tenger
156 |
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku Tenger
158 |
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku Tenger
tugas yang diemban), Satya Semaya (menepati janji), Satra Mitra (setia
kawan). Untuk mencapai kebahagiaan hidup Wong Tengger juga
menjauhi sikap Mo Lima, Maling (mencuri), Madon (Maling Perempuan),
Madat (menghisab Candu), Main (judi), Minum (Mengkonsumsi
Minuman Keras), dan sekaligus wajin menjaga Wa Lima: Wasra ( cukup
sandanf), Wasis (Cukup Ilmu Pengetahuan), Wisma (Memiliki Tempat
yang layak), Waras ( sehat Jasmani dan Rohani), Wareg (cukup sandang).
Setelah kemerdekaan Indonesia agama yang dianut masyarakat suku
tengger masih belum jelas identitas yang dianutnya yang ada mereka
hanya melaksnakan ritual adat seperti: Upacara Karo- karo, Upaca Unan-
Unan, Upacara Entas- Entas, Kasodo, dan jenis ritual adat yang lainnya.
Baru kesaran tahun 1973 seiring dengan perkembangan zaman,
kemajuan sosial, teknologi dan norma-norma yang lahir dari
pengalaman masyarakat itu sendiri (Widyaprakoso, 1994:9),
penyuluhan terkait pembinaan agama mulai di galakkan. Menurut
ketetapan Parisada masyrakat tengger termasuk penganut Agama Budha
Mahayana sesuai dengan surat keputusan No.00/PHB
Jatim/Kept/III/73, pada tanggal 6 Maret 1973, setelah ditinjau ulang
terkait ritual yang sering dilakukan cara ibadah dan kepercayaan-
kepercayaan yang diyakini ternyata banyak mengandung ajaran yang
terdapat didalam agama Hindu, hal ini diperkuat dengan
dipertemukannya prasasti Walandati yang terdapat di desa Walandit
terketak di Pegunungan Tengger tempat Hulun Hyang (Abdi Dewa- Dewi
Hindu).
Kepercayaan Animisme (Percaya akan benda- benda Goib, Roh, dan
Nyawa) juga sering dilakukan masyarakat tengger seperti melakukan
Selametan sebagai wujud penghormatan kepada leluhur yang
mempunyai posisi penting dalam setiap peristiwa (Afia, 1999:46), dan
juga sebagai bentuk rasa suyur atas hasil alam yang sudah diberikan
sebagai persembahan yang diberikan kepada dewa agar dewa tidak
murka (Suyono, 2009:25). Ketika melakukan ritual peribadatan
masyarakat tengger juga membaca Japa Mantra (doa) yang hingga pada
saat ini masih dipegang teguh oleh Dukun Tengger, bagi Dukun Tengger
Mantra adalah harta yang paling suci sebagai bentuk pendekatan dengan
sang Hyang Widhi dan juga sebagai Tameng agar dijauhkan dari Roh-
Roh jahat yang mengusik ketenangan hidup (Sutarto, 2007:58).
Dari sinilah awal mula dilahirkannya suatu perdaban yang tidak
mengenal sebuah perbedaan dalam hidup bermasyarakat, meskipun
ajaran agama islam masuk jauh sesudah Hindu dan Budha berkembang
di masyrakat tengger tidak ada permusuhan yang dapat memecah
belahkan mereka karena masyarakat tengger sangat menjunjung tinggi
dan menghargai antar sesama dan memberi kebebasan berkehendak
atas setiap orang untuk memeluk dan meyakini ajaran agama yang
dibawahnya. Terlihat dari agama yang berkembang didaerah suku
tengger tidak hanya ada satu agama yang dipeluk masyarakat setempat
melainkan banyak agama yang berkembang disana seperti agama Hindu,
agama Budha, dan Agama Islam. Keyakinan boleh berbeda namun,
terkait adat dan hukum yang berlaku tidak ada perbedaan. Tolak ukur
yang digunakan yaitu sikap kekeluargaan sesuai dengan norma yang
ditetapkan oleh para leluhur.
Agama Hindu masuk di Indonesia sekitar abad ke-4 masehi dengan
beberapa bukti peninggalannya seperti Prasasti Yupa bekas kerajaan
kutai yang ada di Kalimantan Timur, tujuh bua yupa yang ditemukan ini
menggambarkan bahwa pada waktu itu raja Mulawarman sedang
melaksanakan yadnya pemujaan kepada Dewa Shiwa. Sedangkan
diwilayah tengger sendiri ajaran agama Hindu masuk sekitar abad ke-17
yang dibawah oleh pertapa- pertapa Hindu menetap diwilayah sekitar
gunung Bromo, Agama Hindu mengajarrkan arti hidup rukun baik antar
sesama pemeluk agama maupun pemeluk agama yang lainnya yang telah
dijelaskan didalam Kitab Weda seperti Yajur Wedha dan Atara Weda.
Awal mulanya di tengger masyarakatnya mempercayai tentang
penghormatan kepada roh leluhur, ketika Hindu masuk ditengger maka
menyesuaikan dengan kondisi masyarkat tengger saat itu, sehingga
terjalin adanya kontak budaya dan ajaran agama Hindu. Oleh karena itu
wujud dari agama Hindu tidak diterima secara matang-matang oleh
masyarajat tengger melainkan diolah dengan budaya setempat baik dari
struktur Bahasa, Kebudayaan, Kepercayaan, organisasi sistem
kemasyaraktan serta pengetahuan yang masih bersifat tradisonal
(Muslimin, 2012:67).
Wujud dari bahasanya sendiri terlihat dari bahasa yang digunakan
sehari-hari yang masih menggunakn bahasa jawa krama, bahkan
pengucapan Salam pembuka berbeda dengan umat Hindu yang lainnya,
jika umat Hindu kenggunkan kata “OM Swastiatsu” umat Hindu tengger
menggunakan kata “Hong Ulun Bhasuki Langgeng” yang berarti (semoga
Sang Hyang Widhi Wasa Senantiasa Memberikan Kedamaian,
Kemakmuran, dan Kesehatan kepada kita semua). Hindu di tengger juga
160 |
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku Tenger
162 |
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku Tenger
164 |
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku Tenger
C. KESIMPULAN
Masyarakat tengger dikenal sebagai masyarakat yang kental adat dan
budayanya. Ditengah proses pradaban yang begitu panjang sangat
terbukti bahwa masyarakat tengger tidak goyah untyk selalu memegang
teguh warisan leluhur yang diturunkan secara turun temurun,
berdasarkan paparan diatas membuktikan meskipun beragam agama
baik Agama Hindu, Budha, dan Islam yang menduduki kawasan tengger
tidak menggoyahkan sedikitpun rasa kekeluargaan yang ada justru
keberagaman agama inlah yang makin memperkuat kerukukan antar
166 |
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku Tenger
umat begama didasari juga dengan memegang teguh adat istiadat serta
budaya yang sudah berkembang untuk tetap menjaga kerukunan. Wujud
dari kerukunan itu senditi terlaksana dengan adanya adat dan budaya
seperti Upaca Karo, Upacara Unan-Unan, Upacara Kasada, Upacara
Kelahiran serta upacara Kematian. Tidak ada perbedaan kasta yang
mengikat karena di suku tengger tidak mengajarkan perbedaaan kasta
yang ada hanya Wong Tengger (Masyarakat Suku Tengger).
Model kerukunan yang berbasic kebudayaan yang terdapat di
suku tengger terletak pada Kabupaten Lumajang, Kabupaten Malang,
Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Pasuruan, yang menduduknya
memeluk agama Hindu, Budha, Islam. Hal ini terjadi dikarenakan
kearifan lokal yang masih terpelihara dengan baik melampaui ikatan-
ikatan keagamaan, bagi mereka menghormati leluhur serta taat kepada
Dukun yang paling penting agar memperoleh kehidupan yang harmonis
dan tentram. Kondisi kerukuna ini terwujud dalam praktik- praktik
sosial masyarakat Suku tengger, hubungan antar masyarakat pun juga
terjalin dengan baik karena adanya sikap toleransi dalam bermasyarakat
dengan baik yang dilandasi nilai- nilai budaya Tengger.
DAFTAR PUSTAKA
Hisyam. A. M. Harmonisasi Lintas Agama Masyarakat Tengger. ISLAMICA Vol.
10 No 01. 2015.
Ali. M. 1997. Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah Dan Misi. Jakarta:
Inis.
Mursid, A. 1999. Plularitas Sosial Dan Hubungan Antar Agama Bingkai
Kulturall Dan Theologi, Kerukunan Hidup Umat Beragama. Jakarta:
Badan Peneliti Pengembangan Agama Depag RI
Anas. M. “Telaah Metafisik Upacara Kasada, Mitos Dan Kearifan Hidup Dalam
Masyarakat Tengger”. Kalam : Jurnal Studi Agama Dan Pemikiran
Islam. Vol. 7 No. 1 2013.
Al- Munawar, A. S. 2005. Fiqh Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat
Press
Astutik. J. 2003. Makna Ritual Upaca Kasada Dalam Persefektif Antropogi,
Dalam Agama Tradisional. Yogyakarta: Lkis
Dangun. M. 1997. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga
Pengkajian Kebudayaan Nusantara
Afia, D. N. 1999. Tradisi Dan Kepercayaan Lokal Bagi Beberapa Suku Yang
Ada Di Indonseia. Badan Litbang Agama Departemen Ri
Daya. B. dan Herman, B. L. 1992. Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia Dan
Belanda. Jakarta: Inis
Djatiwijono.H.R. 1983. Dinamika Kerukunan Hidup Beragama Di Daerah.
Jakarta: Maret
Halim.W. 2006. “Identitas Wong Tengger Masyarakat Desa Ngandas: Refleksi
Kebangsaan Atas Degradasi Identitas Dan Persatuan Nasional”,
Proceeding AMIPEC, Vol 2. No 2.
Izza. L. 2013 “Melihat Potret Harmonisasi Hubungan Antar Umat Beragama
Di Indonesia”. Religi. Vol IX. No. 1. Januari
Kuntojiwo. 1998. Dari Kerukunan Ke Kerjasama, Dari Toleransi Ke Kooperasi.
Jakarta: Pustaka Hidaya
Majid. N. 2004. Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis.
Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina
Masum. A. 2015. “Politik Identitas Masyarakat Tengger Dalam
Mempertahankan Sistem Kebudayaan Dalam Hegemoni Islam Dan
Kekuasaan”. El- Haraq. Vol 17. N0. 1
Soelaeman. M. 1987. Ilmu Sosial Dasar Teori Dan Konsep Ilmu Sosial.
Bandung: ERSCO.
168 |
Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku Tenger
170 |