Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya: Siri' Na Pacce Dan Sipakatau Dalam Interaksi Sosial
Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya: Siri' Na Pacce Dan Sipakatau Dalam Interaksi Sosial
Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya: Siri' Na Pacce Dan Sipakatau Dalam Interaksi Sosial
01 (JUNE 2020)
1* 2
Auliah Safitri ( ), Suharno ( )
12
Department of Civic Education, Graduate School of Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia.
ARTICLE INFORMATION A B S T R A C T
The plurality of Indonesian, beside of becoming a property, also
Submitted : 09th September, 2019
becoming a boomerang for the unity of a nation. The conflict that
Review : 02nd March, 2020
arises will not resolve if they are left casually. The disputes can be
Accepted : 13th May, 2020
overcome and avoided if the society can build positive social
Published : 1st June, 2020
interaction among fellow. Therefore, in facing conflicts, it is necessary
Available Online : June, 2020
to realize that an ethnic group is not a social group that must be
considered by, however, a local knowledge that is store in a culture of
KEYWORDS ethnic groups. This research aims to determine the social interaction
of South Sulawesi’s communities, namely the ethnic of Bugis,
Siri’ Na Pacce; Sikapatau; Social Interaction Makassar, Mandar, and Toraja. Those four ethnics have had cultural
characteristics that have been being a customs and philosophies of
their lives because they have normative elements values that can bind
CORRESPONDENCE their members. This research is compiled through a literature study in
which the data obtained from various books and journals. The result
reveals that the ethnics of South Sulawesi have been building social
*E-mail: auliahsyafitri@yahoo.com
interaction based on the culture of Siri’ Na Pacce and Sipakatau,
which are the main foundation in building positive communication
among fellow. Those cultures must be well implemented and
maintained in building social interaction.
A. PENDAHULUAN
M
anusia di dalam menjalankan individu dengan kemlompok, dan kelompok
kehidupannya sebagai makhluk sosial dengan kelompok (Soekanto, 2010).
dan bagian dari masyarakat tidak dapat Pada dasarnya dalam hubungan interaksi
terlepas dari anggota masyarakat lainnya. sosial, dapat terjadi interaksi positif ataupun
Manusia akan selalu membutuhkan manusia negatif. Interaksi positif terjadi apabila terdapat
lainnya untuk dapat berinteraksi maupun bertukar hubungan timbal balik yang saling mengun-
pikiran. Pola hubungan tersebut akan tungkan. Sementara interaksi negatif terjadi jika
membangun interaksi sosial dalam masyarakat. hubungan timbal balik merugikan satu pihak atau
Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan keduanya (bermusuhan). Interaksi sosial inilah
sosial yang bersifat dinamis yang berkaitan yang menjadi pondasi dari hubungan yang
dengan orang perorangan, kelompok berupa tindakan berdasarkan norma dan nilai
perkelompok, maupun perorangan terhadap sosial yang berlaku. Interaksi sosial dapat
kelompok atau sebaliknya (Setiadi & Kolip, berlangsung dengan baik jika aturan-aturan dan
2011). Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan nilai-nilai yang ada dapat dilakukan dengan baik.
timbal balik antara individu dengan individu, Jika tidak ada kesadaran atas pribadi masing-
masing maka proses interaksi sosial itu sendiri
102 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020 Attribution-NonCommercial 4.0 International. Some rights reserved
AULIAH SAFITRI, SUHARNO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)
tidak akan dapat berjalan sesuai dengan yang orang atau lebih yang memiliki atau merasa
diharapkan. Pada proses interaksi sosial akan memiliki kepentingan dan tujuan yang
ada hubungan saling mempengaruhi antar satu bertentangan. Ketiga, konflik adalah proses
dengan yang lain atau bisa disebut dengan give pertentangan yang diekspresikan di antara dua
and take baik secara lisan maupun perbuatan pihak atau lebih yang saling tergantung
yang dapat menimbulkan perubahan di dalam mengenai suatu objek konflik, menggunakan pola
perasaan dan juga kesan yang ada dalam pikiran perilaku dan interaksi yang menghasilkan
dan selanjutnya bisa menentukan tindakan yang keluaran konflik.
akan dilakukan. Terjadinya konflik biasanya dipicu oleh
Dalam berbagai macam kelompok sosial di beberapa faktor. Menurut Muslim (2013),
mana manusia menjadi anggota-anggotanya beberapa permasalahan yang dapat memicu
seperti kekeluargaan, keorganisasian, dan konflik dalam interaksi sosial antara lain
berbagai macam kelompok lainnya, setiap etnosentrisme, misunderstanding of culture
anggota akan melakukan interaksi antar satu values, stereotip, dan prasangka. Permasalahan
dengan yang lainnya secara langsung ataupun pertama adalah etnosentrisme. Etnosentrisme
tidak langsung. merupakan suatu sikap yang membuat
Interaksi-interaksi sosial yang terjadi di dalam kebudayaan diri menjadi patokan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat muncul mengukur baik buruk, tinggi rendah, dan benar
sebagai akibat dari kemajemukan dan pluralisme salah kebudayaan lain. Lalu permasalahan
budaya Indonesia (Purbasari & Suharno, 2019). kedua adalah tentang kesalahpahaman antar
Interaksi manusia dengan sesamanya dalam budaya. Sebagai contoh kecil, mabbuse dalam
kehidupan bertujuan untuk menghasilkan bahasa Sidrap sering digunakan kepada orang
pergaulan hidup dalam kelompok sosial. yang dipersilahkan. Namun bagi orang Bone,
Pergaulan hidup akan terjadi apabila manusia istilah tersebut memiliki konotasi yang
dalam hal ini orang perorangan atau kelompok- merendahkan harga diri bahkan dianggap
kelompok manusia yang bekerja sama saling sebagai sebuah pelecehan. Perbedaan-
berbicara untuk mencapai tujuan bersama. perbedaan semacam ini di sisi lain sebagai
Indonesia dengan kemajemukannya mampu khasanah dan kebudayaan yang dimiliki
menjadi satu kesatuan yang dibangun dari Indonesia, namun pada sisi lain merupakan
beberapa perbedaan baik dari segi budaya, suku, bumerang akan lahirnya disintegrasi sosial.
ras, dan agama. Indonesia dengan berbagai Permasalahan ketiga adalah stereotip, yaitu
keberagaman tersebut juga mampu menjadi satu keyakinan yang terlalu menggeneralisir,
yang berlandaskan pada Pancasila dan Bhineka disederhanakan, atau dilebih-lebihkan terhadap
Tunggal Ika. Namun dalam kenyataannya konflik- kelompok etnis tertentu. Dan persoalan yang
konflik dalam keberagaman yang timbul sebagai terakhir adalah prasangka, yaitu sikap yang tidak
akibat dari interaksi sosial tidak dapat beralasan terhadap outgroup yang didasarkan
dihindarkan. Konflik pada dasarnya merupakan pada komparasi dengan ingroup seseorang.
sebuah hal yang selalu ada dan sulit untuk Indonesia dengan kemajemukan yang dimiliki
dipisahkan dalam kehidupan sosial. Konflik sosial juga acap kali dihadapkan dengan beberapa
merupakan gambaran tentang perselisihan, konflik serius yang mengancam persatuan dan
percekcokan, ketegangan atau pertentangan kesatuan Bangsa. Pada tahun 2017 lalu
sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan yang terjadinya kasus penistaan agama yang
muncul dalam kehidupan masyarakat, baik dilakukan oleh seorang Gubernur. Pada tahun
perbedaan yang bersifat individual maupun 2019 terjadi konflik yang disebabkan oleh
perbedaan kelompok (Irwandi & Chotim, 2017). diskriminasi suku sehingga suku tersebut
Samovar et al. (2009) mendefinisikan mengambil sikap yang sangat ekstrim dan
beberapa definisi konflik. Pertama, konflik adalah semakin mantap untuk memisahkan diri dari
pertentangan antara banyak kepentingan, nilai, Indonesia. Konflik-konflik semacam ini bisa saja
atau arah serta merupakan bagian yang menyatu diprakarsai oleh permasalahan seperti
sejak kehidupan ada. Karenanya konflik etnosentrisme, kesalahpahaman, stereotip,
merupakan sesuatu yang tidak terelakkan yang maupun prasangka. Dari konflik-konflik tersebut
dapat bersifat positif atau negatif. Kedua, konflik dapat kita pahami bahwa agama dan suku
adalah suatu hubungan yang melibatkan dua adalah dua hal yang sifatnya sangat sensitif.
103 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020 AULIAH SAFITRI, SUHARNO
AULIAH SAFITRI, SUHARNO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)
Oleh sebab itu, hendaknya ucapan dan yaitu proses interaksi manusia di mana seorang
perbuatan tentang kedua hal tersebut maupun individu belajar dan menerima budayanya.
indikator kemajemukan lainnya tetap harus dijaga Setiap bangsa, etnik dan sub etnik memiliki
demi persatuan dan kesatuan Indonesia. kebudayaan yang dipandang sebagai manifestasi
Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis kehidupan setiap orang atau kelompok orang
konflik yang dipandang dari segi materinya. (Ode & Rachmawati, 2017). Kebudayaan yang
Pertama, konflik tujuan, terjadi jika ada dua tersimpan dalam suku bangsa atau etnik
tujuan yang kompetitif bahkan yang kontradiktif. mengandung unsur-unsur dan aspek-aspek
Kedua, konflik peranan, terjadi jika manusia sosial yang menjadi pembeda dengan suku
memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan bangsa lainnya, misalnya sistem ekonomi,
tidak selalu memiliki kepentingan yang sama. pengetahuan dan teknologi, kepercayaan, politik
Ketiga, konflik nilai muncul karena perbedaan organisasi sosial, bahasa, dan kesenian. Unsur-
nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi unsur kebudayaan tersebut yang dapat
sehingga konflik dapat terjadi antar individu, digunakan sebagai media resolusi konflik antara
individu dengan kelompok, bahkan kelompok lain sistem bahasa, sistem peralatan hidup dan
dengan organisasi. Kelima, konflik kebijakan, teknologi, sistem ekonomi dan mata pencarian
yaitu suatu konflik yang terjadi karena ada hidup, sistem kemasyarakatan dan organisasi
ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap sosial, kesenian, dan sistem kepercayaan atau
perbedaan kebijakan yang dikemukakan oleh agama.
satu pihak dan kebijakan lainnya. Unsur pertama adalah sistem bahasa. Bahasa
Anggapan yang menyatakan bahwa konflik merupakan alat komunikasi yang efektif dalam
dapat teratasi dengan sendirinya apabila proses pergaulan manusia. Begitupun dengan
dibiarkan merupakan anggapan yang salah bahasa lokal yang diharapkan mampu
karena kenyataannya konflik akan terus mengkomunikasikan gagasan-gagasan perda-
berkembang dan akan semakin sulit dikelola maian untuk mengakhiri konflik baik dalam fase
apabila tidak segera diselesaikan (Anggraini, pra-konflik maupun pasca-konflik. Unsur kedua
2019). Dalam menghadapi dan menghindari yaitu sistem peralatan hidup dan teknologi. Unsur
konflik-konflik tersebut, diperlukan kebudayaan ini dapat digunakan sebagai media untuk
yang di dalamnya mengandung nilai-nilai mengembangkan kehidupan di level lokal dengan
normatif karena kebudayaan memiliki kekuatan baik dan terus mengalami perkembangan walau
memaksa setiap pendukungnya untuk mematuhi masih bersifat sederhana. Dengan adanya
segala aturan yang melekat. Seperti yang kehidupan yang stabil, harmonis, dan kondusif
dijelaskan Dharmawan (2019) bahwa budaya maka potensi-potensi yang menggiring ke arah
terdiri dari seperangkat nilai-nilai yang dipelajari, terjadinya konflik dapat diredam.
keyakinan, standar-standar, pengetahuan, moral, Unsur ketiga yaitu sistem ekonomi dan mata
hukum, dan perilaku yang disampaikan oleh percaharian hidup. Unsur ini memiliki potensi
individu atau masyarakat yang menentukan besar untuk menciptakan peluang terjadinya
bagaimana seseorang bertindak dan konflik sosial. Sistem ekonomi masyarakat lokal
memandang dirinya dan yang lain. Senada dan juga mata pencaharian hidup masyarakat
dengan pendapat Soekanto (2010) yang lokal syarat akan nilai-nilai yang mampu
menyatakan bahwa kebudayaan mencakup menciptakan harmoni dalam masyarakat. Begitu
semua yang telah didapat atau dipelajari oleh juga dengan sistem mata pencarian hidup
manusia sebagai anggota masyarakat yang masyarakat lokal yang tetap memegang teguh
meliputi segala sesuatu yang dipelajari dari pola prinsip toleransi, kebersamaan, dan juga
prilaku normatif. Dalam konteks budaya, manusia kesetiakawanan sosial. Unsur ketiga yaitu sistem
disebut sebagai animal simboly yang merupakan kemasyarakatan dan organisasi sosial. Unsur ini
makhluk yang penuh simbol dan makhluk budaya memegang peranan yang penting sebagai media
yang hidupnya terbentuk oleh produk budaya resolusi konflik di masyarakat. Keberadaan
(Larasati, 2018). Lebih lanjut ia menjelaskan pihak-pihak dalam organisasi-organisasi sosial di
bahwa budaya tidak diwariskan melalui kode tingkat lokal diharapkan menjadi penguat
genetik, melainkan melalui proses enkulturasi persatuan dan konsolidasi masyarakat di level
akar rumput sekaligus juga memainkan peran
104 | P a g e
AULIAH SAFITRI, SUHARNO https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020
AULIAH SAFITRI, SUHARNO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)
sebagai mediator dalam proses resolusi maupun tersimpan di dalam kebudayaan suku bangsa
rekonsiliasi konflik. seperti unsur-unsur kebudayaan yang telah
Unsur kelima yaitu kesenian. Keberadaan dibahas sebelumnya. Pengetahuan lokal yang
kesenian dapat berfungsi sebagai media untuk penting untuk dipahami salah satunya adalah
mempersatukan masyarakat. Kesenian memiliki dari Provinsi Sulawesi Selatan yaitu suku Bugis,
nilai-nilai universal yang mampu mempersatukan Makassar, Mandar, dan Toraja yaitu budaya siri’
masyarakat baik di level lokal maupun global. na pacce dan sipakatau. Kebudayaan-kebuda-
Media-media kesenian berfungsi sebagai media yaan ini menjadi penting untuk dilestarikan dan
propaganda untuk mengakhiri konflik. Unsur dikembangkan karena di dalamnya terkandung
yang keenam sekaligus terakhir yaitu sistem nilai-nilai yang bersifat normatif yang bisa
kepercayaan atau agama. Sistem kepercayaan menjadi alat pemersatu sekaligus menghindari
atau agama yang dianut masyarakat dipercaya konflik yang terjadi karena bumerang dari
terus mempromosikan pesan-pesan perdamaian kemajemukan bangsa Indonesia. Sebagaimana
kepada pemeluknya. Asumsi bahwa setiap yang termaktub dalam Permendagri Nomor 39
agama tidak mengajarkan tentang kekerasan Tahun 2007 Tentang Pedoman Fasilitas
diyakini mampu secara efektif membentengi para Organisasi Kemasyarakatan Bidang
pemeluknya dari upaya profokasi yang berujung Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam
pada konflik. Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah
Berdasarkan penelitian terdahulu yang bahwa, pertama, Pelestarian Budaya Daerah
dilakukan oleh Ode dan Rachmawati (2017) adalah upaya untuk memelihara sistem nilai
diperoleh kesimpulan bahwa kebudayaan lokal sosial budaya yang dianut oleh komunitas/
mampu membantu upaya resolusi atas konflik- kelompok masyarakat tertentu di daerah, yang
konflik sosial yang terus terjadi di masyarakat. diyakini akan dapat di dalamnya terdapat nilai-
Nilai-nilai budaya lokal masih dipandang efektif nilai, sikap serta tata cara masyarakat yang
sebagai alat untuk menjaga agar tatanan diyakini dapat memenuhi kehidupan warga
masyarakat tetap stabil dan harmonis sehingga masyarakat. Kedua, Pengembangan Budaya
potensi-potensi konflik dapat diredam sedini Daerah adalah upaya untuk meningkatkan
mungkin dan dapat diatasi ketika konflik telah kualitas sistem nilai sosial budaya yang dianut
terlanjur terjadi. Penelitian terdahulu selanjutnya oleh komunitas/ kelompok masyarakat tertentu di
yang berkaitan dengan kebudayaan lokal dalam daerah yang diyakini akan dapat memenuhi
memperkuat solidaritas ialah penelitian yang harapan-harapan warga masyarakat dan di
dilakukan oleh Hasbullah (2012) yang menyoroti dalamnya terdapat nilai-nilai, sikap serta tata
tentang budaya Rewang di Desa Bukit Batu cara masyarakat yang diyakini dapat memenuhi
Kabupaten Bengkalis. Hasbullah menyimpulkan kehidupan masyarakat.
bahwa dalam tradisi rewang terdapat nilai-nilai Berdasarkan latar belakang dan penelitian
sosial yang perlu dipertahankan seperti sebelumnya, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji
semangat goyong-royong, solidaritas sosial, bagaimana budaya siri’ na pacce dan sipakatau
egaliter dan semangat berkorban untuk orang yang menjadi dasar interaksi sosial masyarakat
lain, baik berkorban waktu, materi, maupun Sulawesi Selatan sebagai upaya untuk menjaga
tenaga. Dengan demikian, tradisi ini dapat hubungan individu dengan individu, individu
mewujudkan rasa kebersamaan dan solidaritas dengan kelompok, dan kelompok dengan
sosial sehingga dapat mengurangi berbagai kelompok.
ketegangan di tengah masyarakat dan sifat
individualistis. Oleh sebab itu, tradisi rewang
dapat mempererat rasa kebersamaan dan juga B. METODE PENELITIAN
dapat mewujudkan kerukunan di tengah
M
masyarakat baik dilihat dari aspek sosial maupun etode yang digunakan dalam penelitian
agama. ini adalah studi kepustakaan (library
Oleh sebab itu, dengan berbagai konflik atas research) yaitu sebuah metode
dasar kemajemukan, yang perlu disadari adalah pengumpulan data melalui telaah terhadap
bahwa bukan suku bangsa sebagai kelompok sumber-sumber kepustakaan (Mahmud, 2011).
sosial yang harus diperhatikan, tetapi Kajian pustaka atau studi pustaka merupakan
pengetahuan lokal (local knowledge) yang kegiatan yang diwajibkan dalam penelitian
105 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020 AULIAH SAFITRI, SUHARNO
AULIAH SAFITRI, SUHARNO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)
karena memiliki tujuan utama untuk mengem- 1. Budaya Siri’ Na Pacce sebagai Harga Diri
bangkan aspek teoretis maupun aspek praktis dan Solidaritas Kemanusiaan
(Sukardi, 2013). Metode penelitian ini dilakukan
dengan cara mengolah data yang berasal dari Solidaritas adalah kesamaan rasa, senasib,
buku, jurnal, skripsi, maupun tesis yang dan sepenanggungan. Tidak ada masyarakat
berhubungan dengan budaya siri’ na pacce dan yang hidup tanpa adanya solidaritas di dalamnya.
sipakatau dalam interaksi sosial masyarakat Solidaritas kemanusiaan merupakan komponen
Sulawesi Selatan. Setelah diolah, data kemudian penting dalam kehidupan kelompok agar selalu
dianalisis, dirangkum, dan digeneralisasikan menjaga keberadaan kelompok dan bagaimana
dengan menggunakan kajian teori yang relevan solidaritas sosial yang terbangun antar anggota
sehingga menjadi satu kesatuan artikel yang kelompok bisa menjadi keseluruhan. Di dalam
utuh. kehidupan kelompok harus muncul kesadaran
kolektif yang dapat menumbuhkan perasaan-
perasaan atau sentimen atas dasar kesamaan
C. HASIL DAN PEMBAHASAN sehingga tercipta rasa solidaritas sosial untuk
mencapai tujuan bersama. Faktor-faktor yang
B
eberapa konflik yang timbul sebagai mendukung adanya solidaritas dari dalam diri
akibat dari kemajemukan Indonesia perlu individu hendaknya ditumbuhkembangkan men-
dipandang sebagai hal serius yang harus jadi kebiasaan positif. Solidaritas tidak hanya
diselesaikan secara komprehensif. Semaksimal sebatas teori saja yang memiliki tujuan dan
mungkin pula harus diupayakan konflik-konflik peranan penting dalam kehidupan, melainkan
tersebut tidak terjadi lagi di masa mendatang. suatu praktik yang bersifat rendah hati, tulus dari
Meskipun kemajemukan Indonesia justru bisa dalam diri dan dilakukan secara terus menerus
menjadi bumerang, tetapi budaya-budaya yang (Kinasih & Dahliyana, 2018). Budaya siri' na
ada di dalamnya harus bisa diimplementasikan pacce dalam kehidupan suku di Makassar
dengan baik. menjadi salah satu faktor pendukung untuk
Dalam konteks keberagaman suku dan mempertahankan nilai solidaritas kemanusiaan.
budaya, setiap wilayah provinsi di Indonesia Kata siri’ dalam bahasa Makassar berarti malu
tentunya memiliki ciri khas suku dan kebudayaan atau rasa malu, maksudnya “siri’ lanri
masing-masing. Salah satunya adalah Provinsi anggaukanna anu kodi”, artinya malu apabila
Sulawesi Selatan dengan Kota Makassar seba- melakukan perbuatan tercela. Pengertian siri’
gai ibu kota. Secara umum, Provinsi Sulawesi menurut istilah dapat dilihat dari beberapa
Selatan memiliki empat suku bangsa, yaitu Suku pendapat tokoh seperti B. F. Matthes
Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Meskipun (Koentjaraningrat, 1995) mengatakan bahwa siri’
keempat suku tersebut memiliki ciri khas masing- diterjemahkan dengan malu, rasa kehorma-
masing, namun memiliki beberapa adat istiadat tannya, tersinggung, dan sebagainya. Sementara
dan falsafah yang sama yang dijadikan sebagai menurut C. H. Salam Basjah (Mattulada, 1995)
landasan dalam membangun interaksi sosial. bahwa terdapat tiga pengertian pada konsep siri’.
Seperti yang di bahas pada bab sebelumnya, Pertama ialah dalam arti rasa malu. Kedua,
kebudayaan dan pengetahuan budaya yang merupakan daya pendorong untuk membina-
penting dikaji sebagai bentuk interaksi sosial sakan siapa saja yang telah menyinggung rasa
masyarakat Sulawesi Selatan sekaligus bisa kehormatan seseorang, dan ketiga ialah sebagai
dijadikan sebagai resolusi konflik yang tengah daya pendorong untuk bekerja dan berusaha
terjadi di Indonesia yaitu budaya siri’ na pacce sebanyak mungkin. Berbeda dengan pendapat
dan sipakatau. Di dalam budaya-budaya ini sebelumnya, M. Natzir Said (Koentjaraningrat,
terkandung nilai-nilai yang bersifat normatif yang 1995) mengemukakan bahwa siri’ adalah rasa
bisa menjadi landasan utama untuk membangun malu yang memberi kewajiban moril untuk
interaksi sosial yang positif. membunuh pihak yang melanggar adat, terutama
dalam soal-soal hubungan perkawinan. Budaya
siri’ juga berfungsi sebagai upaya pengekangan
bagi seseorang untuk melakukan tindakan
persekusi yang dilarang oleh kaidah adat
106 | P a g e
AULIAH SAFITRI, SUHARNO https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020
AULIAH SAFITRI, SUHARNO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)
sehingga dapat menguatkan motivasi solidaritas kehidupan sehari-hari dan berperilaku baik
sosial dalam penegakan harkat siri’ orang lain terhadap individu maupun lingkungannya.
(Hijriani & Herman, 2018). Pendapat senada juga disampaikan oleh
Adapun sikap positif dari pengaplikasian nilai Darwis dan Dilo (2012) yang mengemukakan
budaya siri’ na pacce adalah individu akan bahwa falsafah siri’ digunakan oleh orang
bekerja untuk meningkatkan potensi yang ada Makassar untuk membela kehormatan terhadap
pada dirinya. Individu juga akan berusaha orang-orang yang mau menghina atau meren-
mentaati peraturan yang berlaku di masyarakat, dahkan harga dirinya, keluarganya, maupun
menjaga amanah yang telah diterima, dan kerabatnya, sedangkan pacce digunakan untuk
menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dalam membantu sesama anggota masyarakat yang
bekerja. Berdasarkan beberapa hal tersebut, siri’ berada dalam kesusahan atau mengalami
na pacce dapat dijadikan pedoman hidup untuk penderitaan. Pacce dapat memupuk rasa persa-
menumbuhkan sikap positif serta membuat hidup tuan dan kesatuan bangsa, membina solidaritas
lebih berguna dan bermakna. Sehingga individu antara manusia agar mau membantu seseorang
bekerja bukan karena hadiah atau imbalan yang yang mengalami kesulitan. Solidaritas inilah yang
akan diterima, tetapi untuk mendapatkan yang mampu menekankan hubungan antar
kepuasan diri (Rusdi & Prasetyaningrum, 2015). individu dan kelompok dalam keterikatan
Menurut Hamid et al. (2007), siri’ merupakan bersama yang didukung oleh nilai-nilai moral dan
suatu sistem nilai sosiokultural dan kepribadian kepercayaan yang hidup dalam masyarakat
yang merupakan pertahanan harga diri dan (Nuraiman, 2019). Dengan kata lain lain
martabat manusia sebagai individu dan anggota solidaritas berarti keadaan di mana individu
masyarakat. Siri’ merupakan kelayakan dalam merasa telah menjadi bagian dari sebuah
kehidupan sebagai manusia yang diakui dan kelompok.
diperlakukan oleh sesamanya. Orang yang tidak Dari beberapa pendapat tersebut dapat
memperoleh perlakuan yang sama akan merasa disimpulkan bahwa siri’ na pacce dalam interaksi
harga dirinya dilanggar. Perlakuan yang tidak sosial suku di Makassar merupakan sebagai
layak tersebut berupa pelanggaran hak-hak, harga diri dan solidaritas kemanusiaan. Dari
penghinaan, dan sejenisnya yang dapat konsep siri’ sebagai harga diri, dapat dipahami
menimbulkan reaksi dari orang yang dipakasiri’ bahwa dalam kehidupan suku di Makassar tidak
atau yang dibuat malu. Namun siri’ tidak hanya menuntut penghormatan harga diri
bermakna negatif dan tidak hanya bersifat individu dari orang lain tetapi bagaimana sesama
menentang, tetapi siri’ merupakan perasaan manusia mampu untuk menghormati dan
halus dan suci. Lebih lanjut Hamid et al. menjunjung tinggi harkat dan martabat orang
menjelaskan bahwa pacce dalam bahasa lain. Sementara konsep pacce merupakan suatu
Makassar dan pesse dalam bahasa Bugis bentuk solidaritas kemanusiaan dari individu atau
merupakan rasa kemanusiaan yang adil dan kelompok terhadap individu atau kelompok
beradab, semangat rela berkorban, bekerja lainnya untuk ikut merasakan kepedihan dan
keras, dan pantang mundur. Selain itu pacce membantu kesulitan yang dialami. Di dalam
atau pesse merupakan suatu perasaan hati yang budaya siri’ na pacce mengandung unsur
menyayat pilu terlebih apabila sesama warga indikator yang dapat meningkatnya solidaritas
masyarakat, keluarga, atau sahabat yang ditimpa sosial yaitu nilai kepercayaan, saling hormat-
kemalangan, yang menimbulkan suatu dorongan menghormati, bertanggung jawab dan
ke arah solidaritas dalam berbagai bentuk memperhatikan kepentingan bersama. Dengan
terhadap mereka yang ditimpa kemalangan. solidaritas yang muncul diharapkan kecintaan
Solidaritas sosial inilah yang mencari sumber terhadap perbuatan baik akan bertambah.
moral untuk membentuk tatanan sosial di tengah Dari penjelasan tersebut, maka konsep siri’ na
masyarakat (Hasbullah, 2012). pacce bisa dijadikan sebagai jembatan oleh
Rusdi dan Prasetyaningrum (2015) mengemu- masyarakat di Makassar dan masyarakat lainnya
kakan bahwa siri’ na pacce merupakan bentuk untuk senantiasa saling menghargai, memper-
harga diri, martabat, dan rasa senasib sepenang- kuat solidaritas, mengatasi atau bahkan meng-
gungan atau solidaritas dari masyarakat etnis hindari konflik-konflik yang terjadi sebagai akibat
Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja yang dari adanya interaksi sosial dalam masyarakat.
dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan
107 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020 AULIAH SAFITRI, SUHARNO
AULIAH SAFITRI, SUHARNO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)
2. Menghargai Sesama melalui Budaya hormatan terhadap hak asasi manusia dalam
Sipakatau masyarakat Makassar. Penghormatan dan
perlindungan HAM tersebut mutlak diberikan
Secara etimologi sikap saling menghargai tanpa pengecualian dan tanpa perbedaan
berarti memberi (menemukan, membumbuhi) menurut bangsa, suku, ras, agama, jenis
harga, menaksir harganya, menghormati, kelamin, maupun status sosial dan status hukum
mengindahkan, memandang penting (berman- dari seseorang (Ndaumanu, 2018). Bahkan
faat, berguna). Sikap menghargai orang lain secara internasional, pengawalan hak asasi
berarti kecenderungan seseorang untuk bereaksi manusia memperoleh legitimasi melalui
dalam menghormati atau menghargai orang lain. pengesahan PBB terhadap The Universal
Saling menghargai dalam lisan dan perbuatan Declaration of Human Rights pada tanggal 10
merupakan jembatan pemersatu bukan pemisah Desember 1945. Oleh karena itu orang Makassar
dalam suatu perbedaan. tidak akan memperlakukan manusia lainnya
Sikap saling menghargai satu sama lain dengan seadanya, tetapi cenderung memandang
adalah gambaran idaman masyarakat ideal saat manusia lainnya dengan penuh martabat hingga
ini. Walaupun kadang rasa saling menghargai siapapun yang berada dalam kondisi tersebut
sering dinodai dengan beda pendapat dan akan senang dan bersemangat (Maida, 2016).
perselisihan. Sikap saling menghargai dapat Nilai-nilai sipakatau menunjukkan bahwa
dijadikan sebagai role model sebuah masyarakat budaya orang Makassar memposisikan manusia
ideal jangka panjang. Hal tersebut tentunya akan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mulia dan
menjadi contoh baik bagi generasi muda oleh karena itu manusia harus dihargai dan
berikutnya yang pastinya dicecoki dengan diperlakukan secara baik (Rahim, 2019).
berbagai hal positif. Semangat inilah yang mendorong tumbuhnya
Satu perilaku yang dibutuhkan dalam interaksi sikap dan tindakan yang tentunya harus
interpersonal adalah memberikan penghargaan. diimplementasikan dan diinternalisasikan dalam
Perilaku ini akan sangat penting karena melalui menjalin pola hubungan sosial dalam
perilaku ini banyak kebutuhan dapat dipenuhi bermasyarakat sehingga tercipta suasana yang
baik pada pihak orang lain maupun pihak diri harmonis yang ditandai dengan adanya
sendiri meskipun secara tidak langsung. hubungan intersubyektifitas dan saling
Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan menghargai sebagai sesama manusia.
untuk dihargai oleh orang lain. Penghargaan terhadap sesama manusia menjadi
Budaya masyarakat Makassar yang patut landasan utama dalam membangun hubungan
dijadikan contoh dalam kehidupan bermasya- yang harmonis antar sesama manusia serta rasa
rakat yang berkaitan dengan nilai saling saling menghormati terhadap keberadaban dan
menghargai adalah budaya sipakatau. Sipakatau jati diri bagi setiap anggota masyarakat.
berasal dari kata “tau” yang mendapat awalan Sipakatau memiliki makna yang begitu
paka dan imbuhan si. Kata tau dapat diartikan mendalam dalam falsafah suku-suku di Makassar
sebagai manusia, ataupun wujud manusia itu di manapun mereka menetap. Manakala
sendiri dari jasmani dan rohani. Imbuhan “si” memahami dan kemudian mengamalkannya
dapat diartikan sebagai sesama sedangkan kata dalam interaksi kehidupan sehari-hari akan
“paka” dapat berarti menghargai sesama. menjadi pribadi yang dirindukan oleh orang lain
Dengan demikian kata “sipakatau” memiliki sehingga falsafah sipakatau dapat membimbing
makna saling menghormati antara satu sama lain mereka untuk berperilaku sebagai mana layak-
(Patongai dalam Nurnaga, 1999). nya, yaitu pola pikir dan perilaku yang selalu
Menurut Syarif et al. (2016), sipakatau benar, dan tabiat baik (Kaddi & Dewi, 2017).
merupakan sifat untuk memandang manusia Dari beberapa pendapat sebelumnya dapat
seperti manusia. Artinya, dalam menjalani disimpulkan bahwa budaya sipakatau merupakan
kehidupan sosial kita selayaknya memandang budaya suku-suku di Sulawesi Selatan yang
manusia seperti manusia seutuhnya dalam menghormati harkat dan martabat manusia
kondisi apapun tanpa melihat dari latar belakang sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mulia dan
status ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. harus diperlakukan selayaknya seperti manusia.
Artinya sipakatau merupakan bentuk peng- Budaya sipakatau juga menjadi penting untuk
108 | P a g e
AULIAH SAFITRI, SUHARNO https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020
AULIAH SAFITRI, SUHARNO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)
M
anusia dalam hakikatnya sebagai mereka belajar untuk menghormati harga diri
makhluk sosial tidak dapat terlepas orang lain. Sementara pacce adalah rasa empati
hubungannya dengan manusia lainnya. teradap sesama warga, kelurga, dan kerabat
Artinya manusia akan selalu saling membu- yang ditimpa musibah sehingga mendorong rasa
tuhkan satu dengan yang lain sehingga tidak solidaritas mereka untuk membantu. Selain
dapat terlepas dari proses interaksi sosial. kedua budaya tersebut, dalam membangun
Proses interaksi yang dibangun dapat berupa interaksi sosial yang baik, suku-suku tersebut
interaksi positif maupun interaksi negatif. berpegang pula pada budaya sipakatau yaitu
Interaksi positif terjadi apabila terdapat hubungan menghormati harkat dan martabat manusia
yang saling menguntungkan sedangkan interaksi lainnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang
negatif terjadi apabila salah satu atau kedua mulia tanpa memandang latar belakang ekonomi,
belah pihak dirugikan. Interaksi negatif inilah etnis, ras, budaya, maupun strata. Ketiga budaya
yang mampu menimbulkan konflik. Konflik-konflik tersebut harus dapat diimplementasikan dengan
tersebut dapat berupa perselisihan, percekcokan, baik dan dipertahankan dalam membangun
ketegangan dan lain sebagainya. Bahkan pada interaksi sosial. Karena melalui interaksi sosial
tahap yang lebih serius konflik dapat mengancam yang baik dalam masyarakat akan terjalin
persatuan dan kesatuan bangsa. hubungan yang harmonis antar sesama. Dengan
Indonesia adalah bangsa yang majemuk yang demikian kemajemukan Indonesia hanya menjadi
memiliki ragam budaya, etnis, bahasa, dan khasanah bukan justru menjadi bumerang yang
agama. Kemajemukan tersebut selain menjadi mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
khasanah, juga menjadi bumerang bagi
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. E. UCAPAN TERIMAKASIH
Konflik-konflik yang timbul sebagai akibat dari
P
keberagaman budaya, etnis, bahasa, dan agama enulis ingin mengucapkan terimakasih
tersebut dapat diatasi dan dihindari apabila kepada Bapak Suharno selaku dosen
masyarakat Indonesia mampu membangun pembimbing yang telah senantiasa
interaksi sosial yang positif. Konflik tidak dapat membimbing dan mengarahkan penulis dalam
dibiarkan begitu saja tanpa ada langkah menyusun artikel ini hingga terbit. Terimakasih
penyelesaian. Yang terpenting juga adalah juga penulis sampaikan kepada Program
langkah prefentif untuk mencegah terjadinya Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
konflik. Dalam menghadapi dan menghindari yang telah memberi dukungan untuk penerbitan
konflik, diperlukan kebudayaan yang di dalamnya artikel.
terkandung nilai-nilai normatif karena kebu-
dayaan memiliki kekuatan memaksa pendukung-
nya untuk mematuhi segala aturan yang melekat.
Selain itu, budaya terdiri dari seperangkat nilai-
nilai yang dipelajari, keyakinan, standar-standar,
pengetahuan, moral, hukum dan perilaku yang
109 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020 AULIAH SAFITRI, SUHARNO
AULIAH SAFITRI, SUHARNO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, S., Afrizal., & Indraddin. (2017). Regulasi Konflik Pemilu (Studi Kasus Resolusi Konflik
Pilkada 2015 dan Persiapan Pemilu 2019 Di Kabupaten Sijunjung). Jurnal Antropologi: Isu-Isu
Sosial Budaya, 21(2), 177-184.
Dharmawan, L. (2019). Konstruksi Konflik dan Elemen-Elemen Budaya pada Kasus Pembakaran
Bendera HTI. Jurnal Resolusi Konflik, CSR, dan Pemberdayaan, 4(1), 51-55.
Darwis, R., & Dilo, A. U. (2012). Implikasi Falsafah Siri’ Na Pacce pada Masyarakat Suku Makassar Di
Kabupaten Gowa. El Harakah, 14(2), 186-205.
Hamid, A., Farid, Z. A., Mattulada., Lopa, B., & Salombe, C. (2007). Siri’ & pesse: Harga diri manusia
Bugis, Makassar, Mandar, Toraja. Makassar: Pustaka Refleksi
Hasbullah. (2012). Rewang: Kearifan Lokal Dalam Membangun Solidaritas Dan Integrasi Sosial
Masyarakat Di Desa Bukit Batu Kabupaten Bengkalis. Jurnal Sosial Budaya, 9(2), 231-243.
Hijriani., & Herman. (2018). The Value of Siri’ na Pacce as an Alternative to Settle Persecution.
Padjajaran Journal of Law, 5(3), 558-580.
Irwandi., & Chotim, E. R. (2017). Analisis Konflik antara Masyarakat, Pemerintah, dan Swasta. Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 7(2), 24-42.
Kaddi, S. M., & Dewi, S. R. (2017). Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi, Sipattokong (Studi
Komunikasi Antarbudaya Perantau Bugis di Kota Palu, Sulawesi Tengah). Prosiding
Konferensi Nasional Komunikasi, 01(01), 347-357.
Kinasih, K. P., & Dahliyana, A. (2018). Membangun Solidaritas Peserta Didik Melalui Kegiatan Bakti
Sosial Organisasi Siswa Intra Sekolah, Jurnal Sosioreligi, 16(1), 22-28.
Koentjaraningrat, (eds) (1995). ‘Manusia dan Kebudayaan di Indonesia’, Edisi 15 Jakarta: Djambatan.
Larasati, D. (2018). Globalisasi Budaya dan Identitas: Pengaruh dan Eksistensi Hallyu (KoreanWave)
versus Westernisasi di Indonesia. Jurnal Hubungan Internasional,11(1), 109-120.
Magfirah, S. (2016). Siri’ Na Pacce dalam Suku Makassar Perspektif Al-Qur‘An dan Hadis. TAHDIS,
7(2), 158-170.
Mahmud. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Maida, N. (2016). Seminar Nasional “Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Membentuk Karakter Bangsa dalam
Rangka Daya Saing Global”, 29 Oktober 2016, Makassar, pp. 327-334.
Mattulada, (1995). Kebudayaan, Kemanusiaan dan Lingkungan Hidup. Makassar: Hasanuddin
University Press.
Muslim, A. (2013). Interaksi Sosial dalam Masyarakat Multietnis. Jurnal Diskursus Islam, 1(3), 484-
494.
Ndaumanu, F. (2018). Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Perlindungan Dan
Penghormatan Masyarakat Hukum Adat Di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Jurnal HAM, 9(1), 37-49.
Nuraiman. (2019). Faktor-Faktor yang Memicu Perubahan Solidaritas Dalam Masyarakat Di Nagari
Solok Ambah Kabupaten Sijunjung. Jurnal Ilmu Pendidikan Ahlussunnah 2(2), 6-12.
Ode, S., & Rachmawati, N. A. (2017). Peran Budaya Lokal Sebagai Media Resolusi Konflik. Jurnal of
Goverment, 2(2), 103-119.
Purbasari, V. A., & Suharno. (2019). Interaksi Sosial Etnis Cina-Jawa Kota Surakarta. Jurnal
Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 21(2), 1-9.
Rusdi, M. I. W., & Prasetyaningrum, S. (2015). Nilai Budaya Siri’na Pacce dan Perilaku Korupsi. Jurnal
Indigenous, 13(2), 68-86.
Rahim, A. (2019). Internalisasi Nilai Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge’ dalam Upaya Pencegahan
Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Al-Himayah, 3(1), 29-52.
Samovar, L. A., Porter, R. E., & McDaniel, E. R. (2009). Communication Between Cultures. Canada:
Lyn Uhl.
Setiadi, E. M., & Kolip, U. (eds) (2011). ‘Pengantar Sosiologi. Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya’, Edisi 2. Jakarta: Kencana.
Soekanto, S, (eds) (2010). ‘Sosiologi Suatu Pengantar’, Edisi 43. Jakarta: Rajawali Press.
Soetopo. (1999). Teori Konflik. Jakarta: PT raja Grafindo Persada.
110 | P a g e
AULIAH SAFITRI, SUHARNO https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020
AULIAH SAFITRI, SUHARNO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)
Sukardi. (2013). Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Syarif, E., Sumarmi, Fatchan, A., & Astina, I. K. (2016). Integrasi Nilai Budaya Etnis Bugis Makassar
dalam Proses Pembelajaran sebagai Salah Satu Strategi Menghadapi Era Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA). Jurnal Teori Dan Praksis Pembelajaran IPS, 1(1), 13-21.
111 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020 AULIAH SAFITRI, SUHARNO