Tanggapan Padi Lokal (Budidaya Semi Organik Dan Organik Dengan Jarak Tanam Berbeda Di Kalibawang, Kulon Progo
Tanggapan Padi Lokal (Budidaya Semi Organik Dan Organik Dengan Jarak Tanam Berbeda Di Kalibawang, Kulon Progo
Tanggapan Padi Lokal (Budidaya Semi Organik Dan Organik Dengan Jarak Tanam Berbeda Di Kalibawang, Kulon Progo
Tanggapan Padi Lokal (Oryza sativa L.) Melati Menoreh terhadap Sistem
Budidaya Semi Organik dan Organik dengan Jarak Tanam Berbeda di
Kalibawang, Kulon Progo
Response of Local Rice (Oryza sativa L.) Melati Menoreh on Semi Organic and
Organic Systems with Different Plant Spacing in Kalibawang, Kulon Progo
1)
Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada
2) Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada
*) Penulis untuk korespodensi E-mail: didikindradewa54@yahoo.com
ABSTRACT
The need of rice is increasing every year in line with population growth. Increased demand
for rice needs are not accompanied with rice production in the country, therefore rice
imports are required. To fullfill of rice demand, good varieties and environment are needed
for cultivation activities. This research aims to study the response of Melati Menoreh grown
in semi-organic and organic with different plant spacing, as well as determining the proper
plant spacing for each cultivation. The research was conducted in Banjararum,
Kalibawang, Kulon Progo, Yogyakarta in February to August 2016. The research was
arranged in multi-location (oversite) two-factor with five plots of farmers as replication. The
first was factor the culture system consisting of two levels, namely semi-organic and
organic. The second was plant factor spacing consisting of two levels, i.e. 20 cm x 40 cm
and 25 cm x 40 cm. Changes from semi-organic to organic farming systems caused a
decrease in growth, total chlorophyll, and amylose content of rice which caused fluffier
rice, but similar yield, i.e. 7,31 tons/ha on semi-organic and 7,71 tons/ha on organic
farming systems. Changes in the system could increase the weight of the rice from 3,46
tons/ha to 4,05 tons/ha. Wider plant spacing could increase the total chlorophyll and
amylose content of rice which caused parboiled rice, and increased of rice in which the
spacing of 25 cm x 40 cm yield of weight up to 4,32 tons/ha, and 3,19 tons/ha
20 cm x 40 cm plant spacing.
Keywords: Melati Menoreh, organic, plant spacing, semi-organic
INTISARI
Kebutuhan beras setiap tahun semakin bertambah seiring dengan laju pertumbuhan
penduduk. Meningkatnya permintaan kebutuhan beras tersebut tidak diimbangi dengan
produksi beras di dalam negeri, sehingga untuk pemenuhannya dilakukan impor beras.
Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan beras, diperlukan varietas dan
lingkungan yang mendukung untuk kegiatan budidaya. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari tanggapan padi Melati Menoreh yang ditanam secara semi organik dan
organik dengan jarak tanam berbeda, serta menentukan jarak tanam yang tepat untuk
41
Reni Afiat et al., / Vegetalika. 2017. 6(2): 40-54
PENDAHULUAN
Padi merupakan jenis tanaman yang menghasilkan bahan pangan berupa beras.
Kebutuhan beras setiap tahun semakin bertambah seiring dengan laju pertumbuhan
penduduk. Meningkatnya permintaan kebutuhan beras tersebut tidak diimbangi dengan
produksi beras di dalam negeri, sehingga untuk pemenuhannya dilakukan impor beras.
Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan beras, diperlukan varietas dan
lingkungan yang mendukung untuk kegiatan budidaya.
Padi Melati Menoreh merupakan padi lokal unggulan dari Kulonprogo, yang
produksinya dapat mencapai 7-9 ton per hektar (Pemerintah Kulonprogo, 2013). Menurut
Stoate et al. (2001), sistem pertanian non-organik mampu meningkatkan produksi
tanaman. Namun juga memberikan dampak negatif bagi lingkungan, yaitu dapat
menurunkan kandungan bahan organik dan kesuburan tanah. Soepandy et al. (2012)
menyampaikan bahwa penurunan kandungan bahan organik secara terus menerus dapat
menyebabkan penurunan produktivitas lahan. Namun, Nguluu et al. (1887) menjelaskan
bahwa pemberian pupuk organik secara bersamaan dengan pupuk anorganik akan lebih
baik dibandingkan dengan pemberian pupuk anorganik saja. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian Utami et al. (2010), bahwa bobot kering tajuk tertinggi pada sistem budidaya
semi organik sebesar 33,3 g, sedangkan bobot terendah ditunjukkan oleh sistem budidaya
organik sebesar 13,86 g.
42
Reni Afiat et al., / Vegetalika. 2017. 6(2): 40-54
Perlakuan disusun dalam rancangan multilokasi (oversite) dua faktor dengan lima
petak petani sebagai ulangan. Faktor pertama sistem budidaya yang terdiri dari 2 aras,
yaitu secara semi organik dan organik. Faktor kedua jarak tanam yang terdiri dari 2 aras,
yaitu 20 cm x 40 cm dan 25 cm x 40 cm.
Variabel pengamatan yang diamati terdiri atas: (1) variabel pengamatan
lingkungan, meliputi suhu udara, kelembaban udara, dan intensitas cahaya; (2) variabel
pengamatan periodik, meliputi tinggi tanaman dan jumlah anakan; (3) variabel
pengamatan destruktif, meliputi panjang akar, luas permukaan akar, luas daun, bobot
kering akar dan tajuk; (4) variabel fisiologis berupa kadar klorofil total; (5) variabel
pengamatan komponen hasil, meliputi jumlah anakan produktif, panjang malai, bulir gabah
per malai, persentase gabah isi, bobot 1000 bulir, dan produktivitas; (6) variabel kualitas
berupa kadar amilosa beras. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan analisis
varians pada level 5 % dan dilanjutkan dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) jika
hasil analisis varian menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan.
Pengukuran suhu pada lokasi menunjukkan keadaan yang tidak sesuai dengan
syarat tumbuh tanaman padi. Menurut Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2009), suhu
yang sesuai untuk tanaman padi antara 18-35 0C. Sedangkan suhu di lokasi mencapai 32-
39 0C. Suhu tinggi terjadi akibat cuaca yang ekstrim. Menurut Matsui et al. (1976) cit. Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi (2015), suhu tinggi sangat mempengaruhi pembungaan
tanaman padi. Suhu tinggi yang terjadi saat pembungaan dapat menurunkan viabilitas
tepungsari sehingga menyebabkan kehilangan hasil. Pada suhu di atas 35 0C dapat
menaikkan sterilitas gabah. Namun, kelembaban udara di lokasi pengamatan
44
Reni Afiat et al., / Vegetalika. 2017. 6(2): 40-54
menunjukkan keadaan yang sangat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman padi. Menurut
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2009), tanaman padi membutuhkan lingkungan
dengan kelembaban udara antara 33-90 %. Kelembaban pada lokasi penelitian berkisar
antara 57-73 %.
Warna hijau pada daun erat kaitannya dengan kadar klorofil pada daun. Menurut
Taiz and Zeiger (2002), warna hijau pada daun terbentuk karena klorofil menyerap cahaya
merah dan biru, sedangkan cahaya hijau dipantulkan. Pergantian cara budidaya dari semi
organik menjadi organik pada jarak tanam rapat 20 cm x 40 cm menyebabkan kenaikan
kadar klorofil total pada daun. Sebaliknya, pada jarak tanam renggang 25 cm x 40 cm
menyebabkan penurunan kadar klorofil total pada daun. Kadar klorofil daun padi akan
meningkat jika menggunakan jarak tanam lebih lebar pada sistem semi organik dan pada
sistem organik menggunakan jarak tanam lebih sempit. Secara kesuluruhan, kadar klorofil
daun tertinggi diperoleh pada tanaman padi yang ditanam secara semi organik dengan
jarak tanam renggang 25 cm x 40 cm.
Sistem semi organik menggunakan tambahan pupuk anorganik. Pupuk anorganik
dapat diserap dengan mudah oleh tanaman, sedangkan pupuk organik bersifat lepas
lambat. Hal tersebut diduga dapat menyebabkan kadar klorofil pada daun meningkat,
akibat penyerapan unsur N yang meningkat. Jarak tanam akan mempengaruhi tanaman
dalam penyerapan unsur hara. Semakin rapat jarak tanam, meningkatkan kompetisi dalam
penyerapan unsur hara dan begitu pula sebaliknya.
Daun merupakan organ di mana proses fotosintesis terjadi. Hasil fotosintesis yang
disebut fotosintat akan ditranslokasikan ke seluruh organ tanaman untuk pertumbuhan
dan perkembangannya. Luas daun sangat berpengaruh terhadap fotosintat yang
dihasilkan oleh tanaman. Semakin luas daun dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi
penyerapan cahaya oleh daun. Tingginya penyerapan cahaya akan meningkatkan proses
45
Reni Afiat et al., / Vegetalika. 2017. 6(2): 40-54
fotosintesis dan menghasilkan fotosintat yang tinggi, jika tidak ada faktor pembatas yang
lain.
Gambar 2. Indeks Luas Daun (a) umur 4 mspt (b) umur 8 mspt
Indeks luas daun merupakan luas daun total pada tiap satuan luas lahan. Menurut
Yoshida (1981), indeks luas daun akan mencapai maksimal pada fase sebelum berbunga.
Padi memiliki indeks luas daun optimal antara 4-7. Pada saat tanaman berumur 4 mspt,
indeks luas daun tertinggi dicapai oleh padi yang ditanam secara semi organik dengan
jarak tanam rapat. Padi semi organik dengan jarak tanam renggang 25 cm x 40 cm
memiliki indeks luas daun tertinggi saat berumur 8 mspt. Menurut Ishizuka (1969), indeks
luas daun dapat dipengaruhi oleh jarak tanam atau populasi. Dalam keadaan populasi
yang tetap, indeks luas daun sangat ditentukan oleh jumlah anakan. Sehingga indeks luas
daun optimal tergantung pada cara pengaturan jarak tanam dan populasi anakan.
Menurut Gardner et al. (2008), laju asimilasi bersih merupakan kecepatan tanaman
dalam menghasilkan fotosintat yang dapat diketahui melalui bobot kering. Sedangkan laju
pertumbuhan tanaman menggambarkan kecepatan tanaman dalam mentranslokasikan
asimilat yang dihasilkan. Pada Gambar 3. dijelaskan bahwa padi yang ditanam secara
47
Reni Afiat et al., / Vegetalika. 2017. 6(2): 40-54
Indeks panen adalah perbandingan antara bobot kering hasil ekonomis terhadap
bobot kering hasil biologis. Angka ini menunjukkan efisiensi alokasi bahan kering dalam
tanaman. Menurut Zapata et al. (1983), hasil dari suatu tanaman dapat ditingkatkan
dengan jalan meningkatkan indeks panen atau produksi bahan kering total. Namun,
peningkatan hasil bahan kering tidak selalu disertai oleh kenaikan hasil gabah kering.
Sehingga tingginya produksi biomassa belum menggambarkan tingginya hasil gabambah.
Berdasarkan Gambar 5. dijelaskan bahwa indeks panen tertinggi dicapai oleh padi yang
ditanam secara semiorganik dengan jarak tanam rapat 20 cm x 40 cm.
Pergantian sistem budidaya dari semi organik menjadi organik dan jarak tanam
menyebabkan bobot kering total padi umur 4 mspt tidak berbeda. Sedangkan pada saat
padi berumur 8 mspt terjadi perbedaan bobot kering total tanaman. Pergantian cara
budidaya dengan jarak tanam rapat menyebabkan penurunan bobot kering total tanaman.
Begitu pula pada jarak tanam renggang. Namun, terjadi peningkatan bobot kering total
pada tanaman yang ditanam dengan jarak tanam renggang 25 cm x 40 cm, baik yang
ditanam secara semi organik maupun organik. Dengan perkataan lain padi yang ditanam
secara semi organik dengan jarak tanam renggang 25 cm x 40 cm memiliki bobot paling
tinggi.
48
Reni Afiat et al., / Vegetalika. 2017. 6(2): 40-54
Akar merupakan organ vegetatif tanaman yang berfungsi untuk memasok air, hara,
dan mineral yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Gardner et
al., 2008). Berdasarkan Tabel 6 pergantian cara budidaya dari semi organik menjadi
organik menyebabkan kenaikan panjang akar total. Penggunaan jarak tanam rapat 20 cm
x 40 cm dan jarak tanam renggang 25 cm x 40 cm menyebabkan panjang akar total tidak
berbeda. Panjang akar total padi umur 4 mspt akan meningkat jika ditanam secara
organik. Sedangkan pada Tabel 7. dijelaskan bahwa pergantian cara budidaya padi dari
49
Reni Afiat et al., / Vegetalika. 2017. 6(2): 40-54
Tabel 11. Bobot 1000 bulir gabah dan gabah kering panen (ton/ha)
Bobot 1000 butir Gabah Kering Panen (ton/ha)
Sistem Budidaya
Semi Organik 22,16 a 7,31 a
Organik 22,22 a 7,71 a
Jarak Tanam
20 cm x 40 cm 23,01 p 7,25 p
25 cm x 40 cm 21,36 p 7,77 p
Interaksi (-) (-)
CV (%) 7,73 11,30
Keterangan: (-) tidak ada interaksi, angka dalam kolom yang sama diikuti oleh huruf sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf kesalahan 5%
51
Reni Afiat et al., / Vegetalika. 2017. 6(2): 40-54
Pergantian cara budidaya dari semi organik menjadi organik menyebabkan bobot
1000 butir gabah dan gabah kering panen (ton/ha) tidak berbeda. Hal ini disebabkan oleh
jumlah malai pada padi semi organik dan organik sama. Selain itu, pada parameter bobot
1000 butir gabah juga menunjukkan hasil yang sama. Meskipun pergantian cara budidaya
tersebut menyebabkan pemendekan panjang malai dan jumlah bulir per malai padi
organik lebih sedikit. Namun, persentase bulir isi padi organik lebih tinggi, sehingga tidak
terjadi perbedaan pada bobot 1000 bulir dan bobot gabah kering panen.
Penerapan jarak tanam rapat 20 cm x 40 cm dan renggang 25 cm x 40 cm
menyebabkan bobot gabah kering panen tidak berbeda. Hal ini disebabkan oleh jumlah
malai dan bobot 1000 bulir gabah yang sama. Namun pada persentase bulir isi padi yang
ditanam dengan jarak tanam renggang memiliki presentase lebih tinggi. Tidak terjadi
perubahan bobot karena jumlah gabah permalai cenderung lebih sedikit, tetapi presentase
bulir isinya lebih tinggi.
Tabel 12. Bobot beras (ton/ha) padi melati menoreh pada sistem budidaya dan jarak tanam
berbeda
Sistem Budidaya
Jarak Tanam Rerata
Semi Organik Organik
20 cm x 40 cm 3,17 3,20 3,19 q
25 cm x 40 cm 3,74 4,90 4,32 p
Rerata 3,46 b 4,05 a (-)
Koefisien Keragaman (%) 10,91
Keterangan: (-) tidak ada interaksi, angka dalam kolom dan baris yang sama diikuti oleh huruf sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf kesalahan 5%
Tidak terdapat interaksi antara cara budidaya dan jarak tanam terhadap
produktivitas beras dari padi kultivar Melati Menoreh (Tabel 12.). Sistem budidaya semi
organik dan organik memberikan pengaruh terhadap produktivitas beras, di mana
produktivitas beras hasil padi organik lebih tinggi dibandingkan semi organik. Jarak tanam
renggang 25 cm x 40 cm dapat meningkatkan produktivitas beras jika dibandingkan
dengan jarak tanam rapat 20 cm x 40 cm.
52
Reni Afiat et al., / Vegetalika. 2017. 6(2): 40-54
Hasil bobot gabah kering panen tidak menunjukkan perbedaan, namun terjadi
perbedaan pada bobot beras. Hal ini dapat disebabkan oleh rendemen beras terhadap
gabah kering panen. Rendemen di sini dapat diartikan sebagai perbandingan bobot beras
yang dihasilkan dari gabah kering panen. Berikut adalah rendemen beras dari padi Melati
Menoreh terhadap gabah kering panen. Dalam Gambar 6. dapat dijelaskan bahwa padi
yang ditanam secara organik menghasilkan rendemen yang lebih tinggi, yaitu 52,06 %.
Angka tersebut dapat diartikan dari 100 kg gabah kering panen akan menghasilkan beras
52,06 kg. Jarak tanam renggang 25 cm x 40 cm juga menghasilkan rendemen beras
terhadap gabah kering panen yang tinggi yaitu mencapai 55,52 %.
dihasilkan oleh tanaman untuk menyimpan kelebihan glukosa yang merupakan produk
dari fotosintesis.
Menurut Badan Standardisasi Nasional (2008), kadar amilosa pada beras
mempengaruhi sifat pemekaran volume nasi dan kepulenan. Semakin tinggi kadar
amilosanya, semakin mekar nasinya. Sebaliknya, semakin rendah kadar amilosa pada
beras, semakin pulen nasi yang dihasilkan. Nasi yang mekar akan keras ketika dingin
(pera), sedangkan nasi yang teksturnya pulen, ketika dingin tidak kering dan rasanya
enak. Berdasarkan kadar amilosanya, beras dapat digolongkan menjadi 4, yaitu beras
beramilosa tinggi/pera (>25%), beras beramilosa sedang/pulen (20-25 %), beras
beramilosa rendah/sangat pulen (15-20 %), dan beras dengan kadar amilosa sangat
rendah/ketan (<15 %).
KESIMPULAN
2. Jarak tanam yang tepat untuk padi Melati Menoreh adalah 25 cm x 40 cm pada
sistem semi organik dan 20 cm x 40 cm pada sistem organik.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2009. Budidaya tanaman padi. Badan Ketahanan
Pangan dan Penyuluh Pertanian Aceh bekerja sama dengan Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian NAD. Aceh.
Baloch, A.W., A.M. Soomoro, M.A. Javed, M. Ahmed, H.R. Bughio, M.S Bughio and N.N.
Mastoi. 2002. Optimum plant density for high yield in rice (Oryza sativa L.). Asian
Journal of Plant Sciences. 1: 25-27.
Faisul-ur-Rasool, R. Habib and M.I. Bhat. 2012. Evaluation of plant spacing and seedlings
per hill on rice (Oryza sativa L.) productivity under temperate conditions. Pakistan
Journal of Agricultural Sciences. 49: 169‒172.
Gardner, F.P., R.B. Pearce, and R.L. Mitchell. 2008. Physiology of crop plants (fisiologi
tanaman budidaya, alih bahasa: H. Susilo). Universitas Indonesia (UI-Press),
Jakarta.
Ishizuka, Y. 1969. Engineering for Higher Yields. In: Eastin J.D., et al. (Ed.) Physiological
aspect of crop yield. ASA-CSSA. Madison, Wisconsin, USA.
Lin, X.Q., D.F. Zhu, H.Z. Chen, S.H. Cheng, and N. Uphoff. 2009. Effect of plant density
and nitrogen fertilizer rates on grain yield and nitrogen uptake of hybrid rice (Oryza
sativa L.). Journal of Agricultural Sciences. 50: 160‒169.
Nguluu, S.N., M.E. Probert, R.J.K. Myers, dan S.A. Warring. 1887. Effect of tissue
phosphorus concentration on mineralization of N from stylo and cowpea residues.
Plant and Soil. 191: 139-146.
Pemerintah Kulonprogo. 2013. Padi asli kulonprogo diluncurkan ketua MPR RI.
<http://www.kulonprogokab.go.id/v21/cetak.php?id=2994#>. Diakses tanggal 29
Februari 2016.
Siregar, H. 1981. Budidaya tanaman padi di indonesia. Sastra Hudaya, Jakarta.
Soepandy, D., R. Poerwanto, dan Sobir. 2012. Sistem pertanian yang berkelanjutan.
Departemen Agronomi dan Hortikuktura Fakultas Pertanian IPB. IPB press, Bogor.
Sohel, M.A.T., M.A.B. Siddique, M. Asaduzzaman, M.N. Alam, M.M. Karim. 2009. Varietal
performance of transplant aman rice under different hill densities. Bangladesh
Journal of Agricultural Research. 34: 33-39.
Stoate, C., Boatman, Borrlho, Carvalho, de Snoo, and Eden. 2001. A ecological impacts of
arable intensification in Europe. Journal Enviromen Manage. 63:337.
Taiz, L. and E. Zeiger. 2002. Plant physioligy. Third Edition. Sinauer Associates,
Sunderland.
Utami, S.N.H., M. Haji, dan N.W. Yuwono. 2010. Serapan hara n, p, k pada tanaman padi
dengan berbagai lama penggunaan pupuk organik pada vertisol sragen. Jurnal Ilmu
Tanah dan Lingkungan. 10: 1-13.
Yoshida, S. 1981. Fundamentals of rice crop science. International Rice Research
Institute. Los Banos, Philippines.
Zapata, F.J. 1983. Rice anther culture at IRRI. In: Cell and tissue culture techniques for
cereal crop improvement. Science Press. Beijing, China.