Agenda-Setting Implication of Big Data Usage Towards Research Method of Agenda-Setting
Agenda-Setting Implication of Big Data Usage Towards Research Method of Agenda-Setting
Agenda-Setting Implication of Big Data Usage Towards Research Method of Agenda-Setting
Karman
Badan Penelitian dan Pengembangan SDM Komunikasi dan Informatika
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI
Jalan Medan Merdeka Barat No. 9, Jakarta 10110
karman@kominfo.go.id
Diterima tgl. 14 Feb 2019; Direvisi tgl. 11 Apr 2019; Disetujui tgl. 12 Apr 2019
ABSTRACT
Internet is the infrastructure for the birth of communication technology, namely social media. Human
communication activity in social media leaves a digital traces and deposits data. This provides benefits for
researchers to conduct scientific research, including communication research on agenda-setting. This paper
will discuss "what are the implications of the usage of Big Data towards research method of agenda-setting
theory". This article aims to describe implications of the usage of Big Data towards research method of
agenda-setting. Therefore, literature review was conducted to get the state-of-the-art of the theory. This
article concludes that the emergence and the usage of Big Data from human communication activities on
social media has implications for the agenda-setting theory. This theory changes from hierarchical to
network. it does not only focus on issues and attributes but also salience of agenda network (salience of
issues, attributes, etc.). This paper found that agenda-setting research has limitations. The research tends to
analyze public opinion at the aggregate level and ignores need of orientation differences, considers less
conditional probability, focuses more on non-directional relationships and explicit relationships, lack of
longitudinal research. Networked agenda-setting research does not adopt theories of communication
network. Further research needs to do research to make delimitations.
Keywords: Agenda-setting, Network Agenda-Setting, Big Data
ABSTRAK
Teknologi internet menjadi prasarana lahirnya teknologi/media komunikasi, yaitu media sosial. Aktivitas
komunikasi manusia ini menyisakan jejak digital dan menyimpan Data Besar. Hal ini memberikan manfaat
bagi peneliti untuk melakukan riset ilmiah, termasuk riset komunikasi tentang agenda-setting. Tulisan ini
akan mendiskusikan “bagaimana implikasi dengan adanya Data Besar terhadap perkembangan teori agenda-
setting”. Artikel ini bermaksud untuk mendeskripsikan implikasi penggunaan Data Besar terhadap metode
penelitian agenda-setting. Oleh karena itu, penulis meninjau literatur berkaitan dengan riset agenda-setting
untuk mendapatkan perkembangan mutakhir teori tersebut. Kesimpulan penelitian ini adalah kehadiran Data
Besar dari aktivitas komunikasi manusia di media sosial memberikan implikasi kepada teori agenda-setting.
Teori ini berubah dari hierarkis ke jaringan. Hal ini tidak hanya fokus ke isu dan atribut, tetapi juga
kemenonjolan jaringan agenda (isu, atribut). Riset agenda-setting mengandung sejumlah keterbatasan.
Keterbatasan tersebut adalah cenderung menganalisis opini publik pada level agregat dan mengabaikan
perbedaan kebutuhan orientasi, kurang mempertimbangkan conditional probability, lebih fokus pada
hubungan nondireksional dan hubungan yang eksplisit, tidak adanya riset longitudinal, dan riset agenda-
setting yang berjaringan tidak diikuti dengan teori jaringan. Penelitian selanjutnya perlu melakukan riset
untuk mengisi beberapa keterbatasan di atas.
Kata Kunci: Agenda-Setting, Agenda Berjaringan, Data Besar
1. PENDAHULUAN
Teknologi jaringan internet memberikan sejumlah implikasi terhadap masyarakat. Salah satu
implikasi kehadiran internet ialah implikasi terhadap teori-teori tentang masyarakat dalam
1
J URNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
Vol. 23 No. 1 (Juni 2019) Hal : 1 - 20
kaitannya dengan media atau teknologi. Internet adalah jaringan elektronik mampu
menghubungkan orang dan informasi melalui komputer dan teknologi digital lainnya melalui
jaringan telekomunikasi dengan kecepatan tinggi, berupa konten, dan komunikasi. Hal ini
memungkinkan terjadinya komunikasi dan pencarian informasi (Flew, 2005; Mirabito &
Morgenstern, 2004).
Teknologi jaringan internet menjadi prasarana. Hal ini memungkinkan lahirnya teknologi atau
media informasi dan komunikasi baru. Teknologi yang dimaksud berupa media sosial (Facebook,
Twitter, Instagram dsb.), media berbagi (Youtube, Youku, Medifire, dsb.), aplikasi percakapan
(whatsApp, Line, WeChat, dsb.). Media-media ini mempercepat difusi pesan secara luas, tanpa
batas geografis, dan pada level personal. Pengguna media berbasis teknologi internet menjadi
produsen sekaligus konsumen pesan (prosumer). Dampak besar teknologi komunikasi baru ini
dapat menentukan bagaimana aktivitas manusia: cara berpikir, bersikap, berbahasa, dan
berperilaku.
Hadirnya teknologi infrastruktur komunikasi baru (internet, daya simpan, kabel) memberikan
perubahan perilaku manusia dalam komunikasi. Dalam hal perilaku komunikasi, pengguna layanan
teknologi berbasis internet tidak hanya menjadi penerima pesan berupa teks, suara/audio, video dari
teknologi komunikasi massa (media cetak, radio, televisi), tetapi juga menjadi produsen pesan (user
generated content) untuk mengekstensi sisi kemanusiaan mereka, atau mengembangkan aspek
budaya (nilai dan tujuan) yang melekat pada pengguna teknologi komunikasi (Pacey, 1983). Semua
aktivitas komunikasi manusia menggunakan media berbasis internet menghasilkan data. Data
adalah realitas yang ada di sekitar kita. Cara manusia berinteraksi, mobilitas dari satu tempat ke
tempat lain, apa yang orang pikirkan, sikap seseorang terhadap satu masalah merupakan data yang
memiliki nilai. Sementara itu, Data Besar merujuk ke sesuatu, apa saja dalam jumlah besar.
Ditinjau dari aspek sejarah, manusia sejak dahulu melakukan aktivitas pencarian informasi,
mengukurnya, merekamnya, dan menganalisisnya untuk menghasilkan data. Aktivitas pencatatan
ini atau datafikasi mengharuskan adanya pengukuran dan pencatatan. Datafikasi ini berkembang
jauh sebelum penggunaan teknologi digital dan proses digitalisasi. Mengukur realitas dan merekam
data menjadi berkembang pesat karena kombinasi alat dan pengetahuan serta aspek teknik yang
mencakup pengetahuan, keterampilan, dan peralatan. Pengetahuan pengukuran dan pencatatan ini
berkembang dan presisinya semakin meningkat. Pengetahuan tentang pencatatan dan pengukuran
panjang, massa/bobot, dan waktu; berkembang semakin akurat. Pencatatan mengalami
perkembangan setelah adanya pengetahuan manusia tentang sistem numerik. Sistem numerik
tersebut adalah angka Arab (٠, ١, ٢, ٣, ٤, ٥, ٦, ٧, ٨, ٩). Di Eropa dan Amerika berkembang menjadi
0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9. Pencatatan kemudian berkembang dengan teknologi pencatatan dengan
sistem bilangan biner (“0” dan “1”). Inilah awal dari penerapan teknologi digital kehidupan
masyarakat.
Datafikasi kemudian dilakukan dengan digitalisasi dengan teknologi peralatan digital seperti
komputer. Datafikasi dengan teknologi digital antara lain sistem pemosisian global (global
positioning system atau GPS) dan sistem lokasi geografis (geo-location), seperti pemetaan yang
dilakukan oleh mobil milik perusahaan Google yang membawa alat perekam untuk memetakan
jalan dan sistem telepon Android, dan spyPhone milik iPhone (perusahaan AppleTM), dan dukungan
industri yang bergerak di bidang Data Besar, antara lain, perusahaan mesin pencari (Google, dsb.),
industri konten dagang (Amazon, dsb.), media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dsb.), industri
penerbangan, dsb. Industri tersebut (Apple, Google, Facebook, Amazon) merupakan empat
perusahaan raksasa yang memanfaatkan data besar (big four) yang dimiliki Amerika.
Datafikasi realitas melalui perangkan teknologi digital meningkat dengan cepat dan akurat. Big
Data merujuk pada dataset yang cukup besar. Namun, dataset besar bukan karakteristik ekosistem
Big Data yang paling utama. Big Data merupakan hal penting karena hubungannya dengan data
lain, bukan ukurannya (Boyd, D., & Crawford, 2011). Pada dasarnya, Big Data bersifat jaringan.
2
IMPLIKASI PENGGUNAAN DATA BESAR TERHADAP METODE PENELITIAN AGENDA-SETTING
Karman
Data menjadi besar karena mendapat dukungan dari infrastruktur Data Besar dalam bentuk
teknologi penyimpanan sebab volume data telah tumbuh begitu besar. Data yang disimpan di dunia
ini meningkat dengan cepat dari 300 exabyte (2007), 1.200 exabyte (2013). (Catatan: 1 (satu)
exabyte = 1 milyar gigabyte, Pen.) (Mayer-Schönberger & Cukier, 2013).
Karakteristik Data Besar (Big Data). Aspek “besar” dari data adalah volume, tingkat kecepatan,
tingkat keragaman, tingkat ketepatan, dan nilai. Volume data terus tumbuh. Menurut catatan Erl
dkk. (2016), organisasi dan para pengguna seluruh dunia menghasilkan data sebanyak 2.5 exabytes
per hari. Data ini jauh lebih besar dari data di Library of Congress yang mencapai 300 TB data.
Data diperoleh dari transaksi perdagangan dan perbankan online, data riset Hadron Collider dan
ALMA (atacama large millimeter / submillimeter Array), teknologi teleskop radio astronomi
interferometer milik badan antariksa Amerika Serikat (NASA) di pegunungan Andes Chili Utara),
sistem sensor dari sistem pemosisian global (GPS), identifikasi frekuensi radio (RFID), alat-alat
ukur cerdas (smart devices), telematika, dan media sosial (social media).
Kata “besar” berkaitan juga dengan kecepatan data yang dihasilkan dalam waktu tertentu.
Sebagai contoh, dalam satu menit, berapa data yang dihasilkan: jumlah kicauan di Twitter, video
rekaman, surat elektronik. Makna kata “besar” bisa juga dipahami dari aspek keragaman bentuk
data yang tinggi. Bentuk data tersebut adalah data terstruktur, seperti transaksi keuangan, semi
terstruktur seperti teks surat, dan data yang tidak terstruktur antara lain gambar, video, suara, XML,
JSON, data sensor, dan metadata. Aspek ketepatan dari Data Besar merujuk ke kualitas data,
apakah data itu bisa diproses menjadi informasi atau tidak. Data yang dapat diproses menjadi
informasi disebut sinyal (misalnya transaksi keuangan). Data yang tidak dapat diproses menjadi
informasi adalah sebuah gangguan (noise). Sinyal itulah yang memiliki nilai dan tidak sebaliknya
(Erl et al., 2016).
Dalam konteks riset ilmu komunikasi, Data Besar memberi tantangan sekaligus peluang bagi
pengembangan konsep teori ilmu komunikasi dan memberikan implikasi pada teori komunikasi
massa. Kehadiran Data Besar memungkinkan analisis data untuk mengungkap makna atau polanya.
Teknologi komunikasi berbasis jaringan internet memberikan ancaman terhadap kekuatan dampak
media massa tradisional. Hal ini berimplikasi pada teori yang bertitik tolak dari kekuatan dampak
media massa perlu didefinisikan kembali sebab teori ilmu komunikasi massa secara keseluruhan
bertitik tolak pada premis bahwa media memiliki dampak signifikan pada publik (lihat McQuail,
2010).
Salah satu teori yang mendapatkan tantangan dan peluang dari hadirnya teknologi Data Besar
adalah Teori Agenda-Setting. Penulis menggunakan padanan kata “Teori Penentuan-Agenda” untuk
“Teori Agenda-Setting”. Teori Agenda-Setting atau teori penentuan-agenda bertolak dari pemikiran
Walter Lippmann tentang “opini publik” (1922) dalam gagasannya tentang “gambar di kepala kita”.
Gagasan ini berkontribusi besar dalam tradisi riset efek media (agenda-setting). Teori ini meyakini
bahwa “agenda media menentukan agenda publik”.
Studi agenda-setting awalnya bertolak dari efek yang besar (powerful) dari komunikasi massa.
Namun, seiring dengan adanya teknologi komunikasi baru, termasuk media sosial, efek media
massa terhadap masyarakat dalam konteks pembentukan opini publik semakin menurun. Media
cetak tidak serta merta menjadi penentu agenda publik atau agenda kebijakan. Agenda publik dan
agenda kebijakan bisa ditentukan teknologi komunikasi baru, antara lain tren topik di media sosial.
Pengiriman pesan bergeser dari broadcasting (khalayak banyak) ke narrowcasting (pribadi).
Pengguna menjadi beragam dan terfragmen. Kebutuhan dan keinginan pengguna terhadap
informasi semakin bertambah dan bervariasi.
Perubahan pada media cetak sebagai hasil dari internet yang bersifat disruptif antara lain
perubahan dari pendengar, pembaca, penonton ke pengguna; dari akses media ke akses konten; dari
monomedia ke multimedia; dari rekaman ke real time; dari penyiar yang mendistribusikan ke
3
J URNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
Vol. 23 No. 1 (Juni 2019) Hal : 1 - 20
pengguna yang mengakses (Saarelma dalam Karman, 2017). Penurunan pengguna media massa
diimbangi dengan peningkatan pengguna media sosial.
Perubahan struktur media di masyarakat dalam konteks pembentukan opini publik memberikan
implikasi terhadap teori berkaitan dengan itu. Dalam hal ini, teori agenda-setting. Tulisan akan
membahas masalah “bagaimana implikasi Penggunaan Data Besar (Big Data) terhadap metode
penelitian agenda-setting”. Fokus tulisan ini adalah pada aspek perkembangan konsep teoretis
“agenda”. Tujuan artikel ini adalah mendapatkan gambaran kebaruan riset (state of the art, novelty)
teori agenda-setting di era web 2.0 dan eksemplar bagaimana ilmuan, peneliti melakukan riset
agenda-setting dengan menggunakan Data Besar. Untuk tujuan di atas, penulis melakukan tinjauan
literatur dengan eksplikasi konsep agenda-setting. Data Besar dalam riset agenda-setting adalah
konteks pengujian teori, riset yang memanfaatkan Data Besar (research with Big Data), bukan riset
tentang Data Besar (research on Big Data). Titik tolaknya adalah agenda-setting.
Makna konsep “agenda” dalam teori agenda-setting adalah hasil dari upaya aktor sosial
memahami dan merepresentasikan dunia atau gambar kepala (Lippmann, 1922). Lingkungan semu
adalah jembatan antara “dunia luar” dengan “dunia atau gambar di kepala” (Lippmann, 1922,
Chapter 1). Gambaran yang ada di kepala bukanlah kebenaran. Menurut Lippmann, media berita
mengonstruksi lingkungan “semu” bagi publik. Lingkungan semu ini terjadi karena berita penuh
dengan anasir emosi, harapan dari mereka yang ada di organisasi media (berita). Sementara itu,
lingkungan eksternal (dunia luar) terlalu besar, kompleks, dan terlalu cepat berlalu untuk diketahui
sehingga individu “mendefinisikan dahulu kemudian melihat” (Lippmann, 1922, pt. I). Akibatnya,
gambar di kepala tidak berhubungan dengan dunia luar. Gambar di kepala merupakan hasil dari
proses simplifikasi dunia yang kompleks tadi. Gambar di kepala ini, atau cara membayangkan
dunia menentukan perilaku manusia (Lippmann, 1922, pt. I), termasuk perilaku pengguna media
sosial dalam menuliskan “gambar” di kepala mereka.
Konsep “gambar di kepala” dikonsepkan dalam ilmu-ilmu sosial dengan istilah yang berbeda-
beda, antara lain stereotip, fiksi (kata Bentham), ideologi (Marx, 1887), derivasi (Pareto), mitos
(Barthes). Konsep-konsep ini dipakai untuk menggantikan entitas yang nyata berupa realitas
sosiologis. Selain menggunakan “bentuk-bentuk stereotip”, Lippmann menggunakan juga "habit of
molding" (Lippmann, 1922, pt. I). Individu mempunyai pola atau “cetakan” baku untuk memahami
dunia mereka. Stereotip ini terlihat pada praktik kategorisasi atau generalisasi, pelabelan, legitimasi
terhadap teman sekelompok, dan delegitimasi kelompok lain. Konstruksi yang dibangun atas dasar
persepsi tertentu menunjukkan bahwa kita menggambarkan atau merepresentasikan dunia di sekitar
kita melalui kata-kata dan ekspresi komunikasi nonverbal.
Lippmann berpandangan bahwa manusia mencetak dunia mereka. “Gambar di kepala” atau
cetakan realitas dibentuk oleh sifat bawaan, karakteristik yang mengacu pada fenomena kejiwaan
atau psikologis, biologis, nasionalisme, etnik, dan agama (Lippmann, 1922, pt. I). Gagasan
“gambar di kepala” ini diadopsi dan dikembangkan oleh Cohen dalam fungsi agenda-setting media
untuk menjelaskan tentang konteks pembentukan agenda publik. Cohen (dalam M. E. McCombs &
Shaw, 1972: 177) menjelaskan bahwa media tidak mungkin berhasil mengatakan kepada banyak
orang tentang “what to think”. Media berhasil mengatakan kepada para pembacanya mengenai
“what to think about”. Teori agenda-setting menyatakan bahwa saliensi objek dan atribut dapat
ditransfer dari media berita ke publik. Agenda media menentukan agenda publik. Intinya adalah
aspek penting isu yang ditekankan oleh media berita dapat ditransfer ke benak publik (M. E.
McCombs & Shaw, 1972; Vu, Guo, & McCombs, 2014). Media menjadi tangan kedua dalam
memperoleh sebagian besar pengetahuan.
4
IMPLIKASI PENGGUNAAN DATA BESAR TERHADAP METODE PENELITIAN AGENDA-SETTING
Karman
Agenda media mendapat pengaruh dari lima faktor. Faktor dimaksud adalah faktor individu
(dalam hal ini jurnalis), rutinitas media, organisasi, institusi sosial, dan pertimbangan budaya dan
ideologi (Shoemaker & Reese, 2013). Faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan agenda
media di atas tidak menempatkan khalayak pada posisi yang bisa memengaruhi agenda media.
Artinya, teori tersebut berangkat dari keyakinan bahwa khalayak bersifat pasif. McCombs & Shaw
(1993) mengidentifikasi evolusi teori agenda setting dan membaginya ke dalam empat fase sejarah.
Fase-fase tersebut saling melengkapi, alih-alih saling menggantikan.
Fase pertama, tahun 1972. Tahun ini adalah fase awal agenda setting yang diperkenalkan oleh
McCombs dan Shawn. Mereka memperoleh ide dari Walter Lippman tentang "gambar di kepala
kita". Kesimpulan dari studi mereka tahun 1968 menunjukkan adanya korelasi positif antara agenda
media dan agenda publik. Fase kedua, 1977. McCombs dan Shaw melakukan kajian kedua untuk
(pertama) mereplikasi temuan awal untuk mengonfirmasi hipotesis dasar dari agenda setting.
Kedua, mereka ingin mendapatkan kondisi kontingensi (contingent conditions), baik yang
meningkatkan maupun membatasi agenda-setting media. Mereka memberikan penekanan pada
konsep kebutuhan orientasi (need for orientation).
Kebutuhan orientasi memberikan penjelasan psikologis untuk agenda-setting. Fase ketiga
muncul di pertengahan tahun 1976. Studi McCombs mengeksplorasi gagasan agenda. Mereka
membagi agenda menjadi dua domain. Domain agenda pertama berupa karakteristik kandidat yang
dilaporkan oleh media dan karakteristik kandidat dipelajari oleh pemilih. Domain agenda kedua
adalah semua aspek politik: isu, kandidat, dan sebagainya. Fase keempat (1980-an), agenda-setting
fokus sumber-sumber agenda media muncul di pasar (M. E. McCombs & Shaw, 1993)
Adanya web generasi 2.0 menjadikan khalayak aktif. Pertanyaannya adalah apakah keaktifan
khalayak bisa menempatkannya pada posisi yang menentukan agenda media. Terkait dengan hal
itu, banyak pihak (antara lain Neuman, Guggenheim, Jang, & Bae, 2014) yang berkeberatan dan
mempertanyakan jika kekuatan efek agenda publik bergeser dari elite media ke warga (“agenda
publik menentukan agenda media”). Mereka tidak meyakini bahwa publik yang menentukan
agenda media. Fenomena yang dianggap sebagai agenda-setting terbalik itu mereka anggap sebagai
gambaran bahwa jurnalis merespons kepentingan publik yang sedang aktual. Karena terjadi lebih
dahulu, agenda publik ini dianggap memengaruhi atau menentukan agenda media. Inti teori
agenda-setting adalah transfer saliensi, elemen yang utama dari media ke agenda-publik. Media
efektif mentransfer isu dan atribut ke khalayak (M McCombs, 2004) bahkan untuk konteks media
digital sekalipun (Guo, 2012).
Elemen agenda tersebut meliputi masalah isu publik, kandidat partai politik, merek, dan
sebagainya. Teori Agenda-setting memiliki tiga level. Level pertama, teori agenda-setting fokus ke
objek, yaitu orang, organisasi, isu, atau tempat yang menjadi perhatian. Teori agenda-setting level
kedua fokus ke atribut, yaitu aspek atau karakteristik yang menonjol dari objek dan atribut objek
(M McCombs & Ghanem, 2001). Teori agenda-setting level ketiga fokus kepada kemenonjolan
jaringan agenda. Teori Agenda-setting level ketiga menekankan hubungan yang eksplisit dan
asosiasi yang manifes dalam teks. Asosiasi tersebut digambarkan dengan garis (link, tie, atau arc)
yang menyatukan titik yang merepresentasikan objek, aktor, dan atribut (Caroll, 2016).
Teori Agenda-setting berkembang dengan cakupan tujuh aspek yang berbeda-beda. Tujuh aspek
ini adalah arena riset komunikasi dengan teori agenda-setting.
1. Agenda-setting tingkat pertama. Tingkat ini adalah agenda-setting dasar yang menekankan
pada agenda dalam bentuk isu. Argumennya adalah isu yang ditonjolkan oleh media
menentukan isu yang menonjol di benak publik;
2. Agenda-setting tingkat kedua. Tingkat ini menekankan pada atribut. Argumennya adalah
atribut yang media tonjolkan terhadap isu tertentu menentukan atribut yang menonjol di
benak publik dari isu tertentu;
5
J URNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
Vol. 23 No. 1 (Juni 2019) Hal : 1 - 20
3. Agenda-setting tingkat ketiga. Tingkat ini menekankan kemenonjolan jaringan dari isu
atribut dari agenda-setting (L. Guo, 2014). Hal ini akan dijelaskan pada bagian tersendiri;
4. Kebutuhan akan orientasi. Inti untuk memahami kekuatan efek agenda-setting adalah
konsep kebutuhan akan orientasi yang menjelaskan psikologi setiap individu dengan
media. Agenda-setting akan memberikan efek kepada khalayak yang memiliki ketertarikan
terhadap konten media (isu dan atribut);
5. Efek agenda-setting. Efek ini meliputi pada tataran sikap, pendapat, dan perilaku;
6. Asal Mula Agenda Media. Asal agenda adalah budaya dan ideologi yang berlaku hingga
sumber berita, pengaruh media satu sama lain, norma dan rutinitas jurnalisme, serta
karakteristik individu jurnalis;
7. Agenda campuran atau Agendamelding (catatan: agendamelding ditulis tanpa spasi sesuai
dengan pernyataan asli McCombs): penggabungan agenda media warga dan komunitas
referensi dengan pandangan dan pengalaman pribadi untuk menciptakan gambaran tentang
dunia (Maxwell McCombs, Shaw, & Weaver, 2014).
Teori agenda-setting level pertama dan kedua menekankan bahwa berita menentukan pada
aspek “apa yang dipikirkan” dan “memikirkan tentang apa” (Guo, 2016, p. 4). Agenda-setting level
kedua fokus pada atribut-atribut, properti-properti, dan karakteristik yang digunakan oleh berita
media untuk menggambarkan objek tertentu dalam memengaruhi bagaimana khalayak merasakan
objek itu. Fokus kajian kedua level agenda-setting tersebut pada efek media yang bersifat hierarkis.
Tingkat perhatian berita atau jumlah liputan berita menjadi ukuran dalam menentukan urutan
rangking atau tingkat kemenonjolan atribut dari objek pada agenda media. Hal ini berefek pada
tingkat seberapa penting setiap elemen pada benak publik (Guo, 2016, p. 4).
Objek dan atribut yang dianggap penting pada agenda media memengaruhi tingkat
kepentingan pada agenda publik. Riset agenda-setting tradisional menganggap representasi mental
manusia dari perspektif model linier hierarkis. Asumsi yang mendasarinya adalah ketika
memikirkan apa yang tengah terjadi di masyarakat atau berpikir tentang subjek tertentu, kita secara
spontan akan menghasilkan rangking daftar permasalahan atau atribut dalam pikiran. Riset agenda-
setting level pertama dan kedua fokus pada aspek tingkat kepentingan elemen-elemen yang berbeda
dan saling terpisah, yang menentukan agenda hierarkis (Guo, 2016, pp. 4–5). Sementara itu,
Agenda-setting level ketiga bersifat jaringan (networked). Berikut penjelasannya.
6
IMPLIKASI PENGGUNAAN DATA BESAR TERHADAP METODE PENELITIAN AGENDA-SETTING
Karman
berdampak pada agenda publik berupa “kemenonjolan jaringan objek” atau “kemenonjolan
jaringan atribut”. Agenda direpresentasikan dalam bentuk titik (node) yang terhubung dengan titik
lainnya menjadi sebuah jaringan.
Cara memahami dunia dengan menghubungi satu titik (agenda) dengan titik lainnya
merupakan proses yang disebut aktivasi yang menyebar (spreading activation) dari proses yang
terjadi di memori atau pikiran manusia (Anderson, 1988; Anderson & Pirolli, 1984; Collins &
Loftus, 1975; Howe, Wimmer, Gagnon, & Plumpton, 2009). Menurut Anderson, proses kerja
memori adalah proses pengambilan (recall) atau aktivasi. Unit kognitif membentuk jaringan yang
saling berhubungan dan pengambilan dilakukan dengan menyebarkan aktivasi ke seluruh jaringan
(Anderson, 1988). Seseorang akan memetakan dunia dalam bentuk atau gambar jaringan sesuai
dengan keterkaitan di antara elemen-elemen dalam dunia. Elemen ini dalam teori agenda-setting
adalah objek dan atribut. Media mentransfer kemenonjolan jaringan elemen tersebut ke publik
berupa jaringan objek, jaringan atribut, ataupun jaringan kombinasi dari keduanya (lihat Tabel 1.
“Agenda-Setting: Pendekatan dan Karakteristik”).
a) Relasi Uniplek
Analisis relasi unipleks ini bersifat satu garis untuk menggambarkan relasi antara dua titik
(relasi diadik). Dua titik itu ada karena tidak ada titik lain. Dua titik ini memisahkan dari jaringan.
Relasi unipleks fokus mengkaji konfigurasi yang tercipta dari satu garis yang menghubungkan dua
7
J URNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
Vol. 23 No. 1 (Juni 2019) Hal : 1 - 20
titik. Fokus kajian domain pertama dari teori agenda-setting level ketiga adalah “penonjolan relasi
(digambarkan dengan garis) yang menyatukan titik-titik, bukan penonjolan titik itu sendiri”.
Mengukur tingkat saliensi media bersumber dari konfigurasi titik yang memengaruhi pengukuran
penonjolan media. Pengukuran tersebut adalah frekuensi, hubungan/relasi tidak langsung, stabilitas;
multipleksitas, kekuatan; arah; dan simetri (Caroll, 2016, p. 40). Kekuatan kemenonjolan agenda
media dapat bersifat dikotomi (ada hubungan ataukah tidak) atau nilai (dapat diukur): frekuensi
kemunculannya, durasi, intensitas garis yang menghubungkan titik.
b) Relasi Dupleks
Dalam relasi dupleks ada dua garis. Relasi ini fokus mengkaji konfigurasi yang tercipta dari
dua garis yang menghubungkan tiga titik. Relasi dupleks tidak memiliki garis yang
menghubungkan dua titik secara langsung. Ada titik yang berfungsi sebagai perantara atau
hubungan tidak langsung Titik ketiga dalam teori jaringan sering disebut dengan perantara
(betweeness).
Dupleks memiliki hubungan yang unik karena memberikan peluang hanya satu jalur yaitu
jalur yang melalui titik ketiga. Hal ini berimplikasi bahwa relasi dupleks memberikan “efek leher
botol atau bottleneck effect” dan/atau “efek penjaga gawang atau gatekeeper”. Jadi, mereka yang
dalam titik ketiga ini memainkan kuasa karena posisinya yang penting dalam relasi dupleks. Titik
ketiga dalam relasi dupleks memiliki peran penting karena titik tersebut membangun,
mendefinisikan, dan mengubah (memperkuat atau memperlemah) hubungan antara satu titik
dengan titik lain, atau meredefinisi hubungan antara dua titik tanpa titik ketiga (Caroll, 2016, p. 42).
Dalam studi jaringan pendekatan teori celah struktur (structural hole), istilah betweeness ini
dikenal dengan tertisius.
Relasi dupleks mengatur relasi triadik dalam bentuk dua tipe yang mencerminkan garis yang
memiliki arah.
Transitivity (transitivitas). Tipe transitivitas terjadi bila titik A memiliki garis dengan titik C
melalui titik B. Titik A juga memiliki garis langsung dengan titik C.
Cyclicality (memutar). Relasi dupleks dengan tipe memutar terjadi ketika titik A memiliki
garis dengan titik B. Titik B memiliki garis dengan titik C, dan titik C memiliki garis ke titik
A (polanya arah garisnya memutar).
Tipe transitivitas dan tipe memutar adalah relasi yang sama bila garis antar titik tidak
memiliki arah (Caroll, 2016, p. 41).
8
IMPLIKASI PENGGUNAAN DATA BESAR TERHADAP METODE PENELITIAN AGENDA-SETTING
Karman
multipleks fokus pada (1) garis antara relasi diadik, triadik, atau bagian dari kelompok dalam
jaringan; (2) konfigurasi himpunan bagian dalam jaringan; (3) bundel, yakni keseluruhan jaringan
titik.
Relasi multipleks menjadi objek kajian teori agenda-setting level ketiga untuk
menggambarkan agenda yang bersifat multipleks (hal ini kemudian dikenal dengan model network-
agenda-setting). Model NAS selain membantu dalam mengukur dampak media juga dapat
membantu dalam mengevaluasi agenda-setting antarmedia (intermedia agenda-setting). Agenda-
setting antarmedia fokus kepada interaksi antarmedia. Teori ini menekankan bahwa elite media
akan memengaruhi media lain, dengan mentransfer kemenonjolan isu atau atribut (Reese &
Danielian, 1989). Menurut McCombs, biasanya hal ini terjadi karena karya jurnalis media elite
sering menjadi rujukan bagi media bukan arus utama untuk memeriksa kebenaran karya jurnalistik
mereka. Media dengan skala besar memengaruhi media yang kecil (M. McCombs, 2014). Hal ini
terjadi di Amerika yang menggambarkan bahwa The New York Times dan The Washington Post
memberikan pengaruh signifikan liputan media lainnya yang mencakup koran, televisi, dan radio
(Guo, 2017).
Riset terbaru dari agenda-setting intermedia ini pernah diuji oleh Guo dan Vargo (2017).
Mereka dengan agenda-setting intermedia mengungkapkan bagaimana media berita di berbagai
negara saling memengaruhi dalam meliputi berita internasional. Artinya, media yang dominan
dalam menentukan agenda tidak ada. Ia menganalisis data dari 4.708 sumber berita online dari 67
negara pada tahun 2015. Studi mereka menunjukkan bahwa negara-negara kaya tidak hanya
berupaya terus menarik perhatian sebagian besar berita dunia, tetapi juga menentukan bagaimana
negara-negara lain memahami dunia. Namun, arus berita internasional tidak berjalan secara
hierarkis yang menempatkan Amerika sebagai pusatnya. Media yang muncul hanya dalam bentuk
online di negara-negara pusat tidak serta merta lebih berdampak dalam menentukan agenda berita
dunia ketimbang media di negara-negara periferal atau semiperiferal (Guo, 2017). Hal ini
menunjukkan adanya perubahan dari media arus utama yang awalnya menentukan agenda media
lain.
Model NAS ini memberikan perhatian pada efek media. Perbedaan dari teori agenda-setting
sebelumnya adalah NAS menekankan dan memberikan perhatian pada efek-efek media yang
berjaringan. Model NAS fokus kepada “jaringan isu-isu”, “jaringan atribut”, dan elemen lainnya”,
alih-alih transfer “kemenonjolan” elemen itu sendiri.
Adapun hipotesis model NAS adalah:
“tingkat kemenonjolan jaringan objek dan atribut media memengaruhi tingkat kemenonjolan
jaringan objek dan atribut publik” (Guo, 2016, p. 5).
9
J URNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
Vol. 23 No. 1 (Juni 2019) Hal : 1 - 20
mempertanyakan tentang kekuatan media sebagai penjaga pintu (gatekeeper): apakah kekuatan
media sebagai penjaga gawang hilang dan berganti pada kondisi “agenda-setting terbalik”
(Groshek & Groshek, 2013), yakni agenda media ditentukan oleh agenda publik. Dengan hadirnya
media sosial seperti Twitter, media tradisional kehilangan kekuasaan dan agenda setting dengan
pendekatan tradisional menjadi tidak relevan? Studi menunjukkan bahwa agenda-setting dengan
Data Besar menciptakan (pertama) model agenda campuran (agenda melding) dan (kedua) agenda
antar media (intermedia).
Pertama, riset agenda setting level ketiga model agenda campuran memberikan perhatian
pada hubungan konten media dan penerimaan khalayak. Jika mereka tertarik terhadap isi media
(agenda media), transfer agenda akan terjadi. Begitu juga sebaliknya. Riset agenda campuran
menggambarkan bagaimana khalayak secara aktif memilih agenda-agenda di antara berbagai
agenda media. Hipotesis agenda melding adalah Khalayak yang berbeda-beda akan menilai agenda
(isu dan atribut) secara berbeda. Mereka akan mencampur agenda-agenda dari berbagai agenda
media. Terjadilah “agenda campuran”. Menurut Shaw dan Weaver, media yang mentransfer
agenda dan kemudian dipilih oleh khalayak diidentifikasi menjadi dua jenis media: “media
vertikal” dan “media horizontal” (Vargo, Guo, Mccombs, & Shaw, 2014).
Dalam konteks perilaku pemilih pada pemilihan presiden di Indonesia tahun 2019, tesis
model agenda campuran yang dapat diajukan adalah masing-masing segmen pemilih mencampur
agenda-agenda yang berbeda-beda yang bersumber dari media yang berbeda-beda. Agenda melding
bisa memberikan penjelasan tentang efek media dari tipe media yang berbeda-beda dan segmen
khalayak (pemilih) yang berbeda-beda. Keterbatasannya adalah agenda melding harus diuji kepada
dua segmen pemilih yang berbeda-beda. Sebagai contoh, pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin dan
pendukung Prabowo-Sandi. Jika riset agenda melding dilakukan kepada para pengguna di Twitter,
keraguan akan muncul terkait dengan apakah penggunaan Twitter menggambarkan afiliasi politik
secara nyata? Apakah para pendukung atau pengguna Twitter merepresentasikan pemilih yang akan
memilih tanggal 17 April 2019?
Kedua, intermedia agenda-setting. Riset tentang agenda setting antar media adalah sebagai
berikut. Dengan analisis Data Besar berupa 4.708 sumber berita online dari 67 negara pada 2015,
Guo dan Vargo menunjukkan bahwa negara lebih kaya tidak hanya terus menarik perhatian berita
dunia, tetapi juga menentukan bagaimana negara-negara lain melihat dunia. Namun, arus informasi
antarnegara tidak hierarkis dan tidak berpusat pada Amerika (U.S.-centric). Media dalam bentuk
hanya online di negara inti (Amerika, dsb.) pada dasarnya tidak lebih berdampak dalam
menentukan agenda media dari pada negara-negara periferal (Guo & Vargo, 2017). Sebelumnya,
Vargo dan Guo (2016) menunjukkan bahwa agenda-agenda media sangat homogen dan resiprokal.
Media partisan online memainkan peran utama dalam keseluruhan agenda. Koran tradisional (The
New York Times dan The Washington Post) tidak lagi mampu mengontrol agenda berita, bahkan
menjadi pengikut media partisan online. jadi model NAS (efek intermedia agenda–setting) berbeda
sesuai dengan tipe media, isu, waktu. Walaupun tidak lagi perkasa menentukan agenda berita,
koran The New York Times dan The Washington Post tadi mereka tetap menjadi penentu agenda
media untuk isu kesehatan (Vargo & Guo, 2016).
Vargo dkk. (2015) juga menemukan yang selaras dengan itu. Media tradisional menentukan
agenda berita media untuk isu debat presiden yang sedang berlangsung. Namun, kondisi berubah.
Media online menentukan agenda berita untuk isu kebebasan masyarakat sipil, kemiskinan, dan
agama (Vargo & Guo, 2016). Conway, Kenski, & Wang melakukan riset pada tahun 2012 saat
pemilihan presiden Amerika. Mereka berkesimpulan bahwa media tradisional tidak kehilangan
pengaruh (power). Mereka menemukan bahwa kandidat partai politik masih melihat media
tradisional untuk mendapatkan legitimasi. Begitu juga media sosial melihat media tradisional untuk
memperoleh informasi mengenai isu yang tidak mendapat banyak perhatian. Media tradisional
terbukti mampu menentukan isu-isu terpenting. Terdapat relasi antara agenda di pesan Twitter dan
10
IMPLIKASI PENGGUNAAN DATA BESAR TERHADAP METODE PENELITIAN AGENDA-SETTING
Karman
berita media tradisional. Bersamaan pada saat media tradisional mengikuti agenda para kandidat
pada topik-topik tertentu, para kandidat mampu memperkirakan agenda politik di Twitter. Politisi
(partai Republik dan Demokrat) merujuk ke media tradisional untuk memperoleh legitimasi pada
isu-isu yang bersaing atau isu yang kontroversial. Sejalan dengan upaya untuk memanfaatkan isu
energi, Republikan di Twitter menekankan liputan Presiden Obama yang menolak penerapan
perijinan atas jalur pipa pada Januari 2012. Pada isu kesehatan, Republikan, Republican National
Committee, Obama, dan Democratic National Committee semuanya melihat media tradisional
untuk memperoleh legitimasi. Republikan melakukannya karena ia memasuki isu yang biasa
dimainkan partai Demokrat. Sebaliknya, Partai Demokrat melakukannya karena mereka merasa
terancam – hasil ketegangan terhadap program Obamacare (Conway, Kenski, & Wang, 2015).
NAS tidak hanya terjadi di negara Barat yang menganut sistem demokrasi. NAS juga terjadi
di negara dengan sistem otoriter. Efek NAS berupa intermedia agenda-setting terjadi di rezim
otoriter (Cina). Di Cina, media resmi (situs-situs berita komersial) tidak cenderung mampu
menentukan agenda media komersial (situs-situs berita komersial) dalam peliputan peristiwa
tertentu. Dalam konteks riset Guo Lei, peristiwa yang dimaksud adalah Two Sessions yang
merupakan peristiwa politik tahunan terbesar di Cina. Media komersial tidak mengikuti agenda
media resmi nasional untuk melaporkan masalah-masalah politik penting. Hal ini adalah bukti
bahwa lanskap media Cina tidak didominasi oleh sumber berita resmi pemerintah atau sumber-
sumber berita yang berafiliasi ke pemerintah. Media komersial mengembangkan agenda mereka
sendiri dalam pemberitaan mereka. Bahkan, media komersial berhasil menentukan agenda media
resmi (Guo, 2019).
Dengan demikian, praktik pembentukkan opini publik di China oleh media resmi di China
tidak bisa menghalangi “suara tidak resmi”. Praktik media di China sama dengan tren global yang
memosisikan media resmi pemerintah dalam kondisi ditantang oleh media tidak mapan. Hal ini
yang kemudian muncul agenda setting antarmedia. Guo menemukan bahwa media berita komersial
memiliki keragaman agenda yang lebih tinggi dalam meliput peristiwa politik daripada media resmi
pemerintah. Laman berita yang berbeda tipe memiliki hubungan resiprokal dalam melaporkan dan
tidak didominasi media resmi pemerintah (Guo, 2019).
11
J URNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
Vol. 23 No. 1 (Juni 2019) Hal : 1 - 20
adalah alamat percakapan tertentu yang digunakan untuk membentuk bingkai tertentu dalam
melihat realitas. Kemudahan dalam membuat tanda pagar dengan beragam motivasi (antara lain
politik, ideologi).
Twitter dimanfaatkan oleh banyak pihak untuk bermacam-macam tujuan. Dalam politik,
Twitter telah aktif digunakan untuk wacana politik, antara lain saat pemilihan Gubernur DKI
Jakarta (Lim, 2017). Aktivis politik menggunakan Twitter sebagai medium informasi, mobilisasi,
dan penciptaan perhatian (Jungherr, 2014). Penggunaan Twitter dapat dilihat pada peristiwa
‘kebangkitan’ yang dikenal dengan Arabic Spring atau musim semi Arab (Lim, 2012), aksi
konektif dan kolektif untuk dukungan solidaritas sosial (seperti dukungan dana untuk), dan politik
(seperti aksi selamatkan KPK), aksi terorisme di daerah Mumbai India (Oh, Agrawal, & Rao,
2011). Twitter memiliki pesan yang bersifat publik dan singkat. Twitter membuka data bagi semua
orang dan berfungsi sebagai media publik, yaitu “mengabarkan apa yang sedang terjadi di dunia
dan apa yang orang-orang sedang bicarakan saat ini” (Twitter, 2017).
Terkait dengan fungsi sebagai media publik, pengguna Twitter bukan sebagai objek yang
menerima berita, seperti Asumsi teori agenda-setting level kesatu dan kedua. Pengguna Twitter
adalah partisipan berupa prosumer (Ritzer, Dean, & Jurgenson, 2012) yang menghasilkan konten
(user-generated content) yang bersifat otonom. Hal ini mendorong pengguna Twitter menjadi
terpolarisasi dalam diskursus tertentu. Hal ini disebabkan penggunaan teknologi apa pun -tak
terkecuali Twitter- tergantung aspek budaya itu sendiri yang mencakup nilai-nilai dan tujuan
penggunaan teknologi (Pacey, 1983). Karakteristik internet yang bersifat berjaringan menjadikan
agenda di media Twitter bersifat jaringan. Hal ini sesuai dengan karakteristik saluran itu sendiri
(lihat Flew, 2005).
Ada beberapa alasan mengapa Twitter dijadikan objek pengujian teori agenda-setting.
Pertama, Twitter memberikan izin untuk aktivitas penambangan dengan pemberian token untuk
memperoleh data. Kedua, sistem parsing atau sintaksis algoritma Twitter bersifat baku. Status
ditulis dalam batasan 280 karakter (sebelumnya 140 karakter). Twitter memberikan kenyamanan
teknis berupa layanan tanda pagar, menyebut akun orang lain, serta memberi jawaban. Hal ini
memberikan kemudahan dalam proses pencarian atau penambangan teks. Dalam konteks teori
agenda setting, Twitter menjadi media yang memberikan peluang bagi individu untuk membentuk
agenda dan berbagi informasi. Peneliti telah membuktikan cara penyebaran informasi di Twitter.
Cara dimaksud adalah pertama, dengan retweet (meneruskan pesan). Pola jaringan retweet
menunjukkan difusi informasi dari satu pengguna ke pengguna lain. Kedua, dengan @reply.
Jaringan @reply menunjukkan pola diskusi. Demikian juga Tagar. Tagar dapat dipakai menyelidiki
difusi informasi di Twitter dengan menganalisis penggunaannya dari waktu ke waktu (Maireder,
Weeks, Gil de Zúñiga, & Schlögl, 2017).
Ketiga, di antara banyak media sosial yang ada masyarakat, Twitter satu-satunya media sosial
yang memberikan publik peluang untuk mengakses pangkalan data. Pangkalan data dapat diakses
melalui layanan akses application programming interface (API). Twitter memberikan token akses
dan token rahasia untuk mengakses data di pangkalan datanya (REST-API) atau merekam arus
informasi (Twitter Stream). Sementara itu, Facebook membatasi akses ke pangkalan datanya
dengan adanya kewajiban “masuk” ke akun Facebook. Informasi yang bisa diakses di Facebook
hanyalah fan page (halaman yang fungsinya mirip layaknya blog). Awalnya Facebook mengizinkan
penggunanya untuk menambang data dengan menyediakan aplikasi Netfizz. Aplikasi Instagram
mewajibkan adanya izin dari pemilik akun Instagram bagi mereka yang ingin melakukan
pengambilan data. Dengan demikian, Twitter adalah medium yang tepat untuk melihat dampak
teori agenda-setting level ketiga.
Dalam kaitannya dengan isu populasi dan sampling dalam Big Data, peneliti tidak bisa
mengandalkan dengan cara pemilihan sampel dengan cara acak seperti yang lazim dilakukan dalam
melakukan survei, tetapi dengan menggunakan perspektif Data Besar. Data Twitter dapat diperoleh
12
IMPLIKASI PENGGUNAAN DATA BESAR TERHADAP METODE PENELITIAN AGENDA-SETTING
Karman
melalui teknologi digital yang dapat melakukan pengambilan data secara otomatis dengan
menentukan dan memasukkan parameter yang sudah ditentukan. Data Besar dapat digeneralisasi
untuk memahami bagaimana dunia bekerja dan manusia berperilaku (membeli, berinteraksi,
berkomunikasi). Asumsi melakukan sampling adalah jalan pintas yang kita gunakan karena kita
tidak bisa mengolah semua data atau memerlukan biaya yang tinggi untuk mendapatkan datanya
(biaya dan waktu). Kendala dihadapi peneliti ketika mendulang data adalah pembatasan akses data
berdasarkan waktu dan lokasi tertentu.
Teknologi Twitter juga memiliki kelemahan ketika digunakan dalam proses analisis statistik
dan pengambilan kesimpulan. Hal yang patut ditanyakan adalah apakah pengguna Twitter
merepresentasikan “publik”. Teknologi Twitter tidak memberikan kemampuan untuk
membedakkan mana pengguna Twitter dan mana yang dilakukan oleh robot atau internet trolls.
Robot ini bekerja secara aktif dan otomatis sehingga konsep akun aktif menjadi dapat
diperdebatkan. Sementara itu, penulis memahami internet trolls sebagai orang yang berkomunikasi
di media sosial tanpa mematuhi etika komunikasi, antara lain memancing emosi lawan atau
mendiskreditkan lawan. Dalam konteks kontestasi politik para internet trolls bisa jadi adalah orang
bayaran. Sebagian berpandangan, untuk membedakannya ialah dengan melihat jumlah akun yang
mengikutinya. Tampaknya, ini tidak meyakinkan sebab membuat akun Twitter bergantung pada
tujuan pembuatnya. Populasi Twitter tidak bisa dimaknai sama dengan populasi publik. Jumlah
pengguna aku Twitter tidak berarti sama dengan jumlah akun Twitter. Seseorang terkadang
memiliki lebih dari satu akun. Hal ini dapat dilihat dari fasilitas dari Twitter yang memberikan
kesempatan kepada individu memiliki banyak akun. Sebaliknya, ada juga orang yang tidak pernah
membuat akun (lihat Csrawford, 2009). Intinya, pengguna Twitter tidak mewakili, sinonim atau
setara dengan populasi.
13
J URNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
Vol. 23 No. 1 (Juni 2019) Hal : 1 - 20
14
IMPLIKASI PENGGUNAAN DATA BESAR TERHADAP METODE PENELITIAN AGENDA-SETTING
Karman
Dua elemen yang muncul dalam unit analisis dianggap memiliki asosiasi. Asosiasi kata
adalah upaya manusia untuk memahami dunia luar. Jumlah kemunculan ini lalu dihitung. Sel
matriks berisi angka yang menunjukkan kekuatan hubungan antara dua elemen semantik
yang berhubungan. Semakin besar angka dalam sel semakin terhubung dua elemen semantik
dalam unit analisis. Dua elemen yang terhubung ini bisa disebut dalam satu artikel.
Keterbatasan analisis isi manual adalah tergantung pada buku koding yang dibangun. Untuk
teks dalam jumlah besar (Data Besar), besar kemungkinan banyak kategori atau atribut yang
tidak dimasukkan dalam manual buku koding.
15
J URNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
Vol. 23 No. 1 (Juni 2019) Hal : 1 - 20
3. PENUTUP
Kehadiran internet dan media sosial memberikan implikasi kepada teori agenda-setting. Teori
agenda-setting berubah dari hierarkis ke jaringan. Media menentukan agenda publik dengan cara
konstruksi jaringan informasi daripada cara-cara yang dikonseptualisasikan oleh teori agenda-
setting level pertama (tentang agenda) dan teori agenda-setting level kedua (tentang atribut). Teori
agenda-setting level ketiga memberikan fokus kepada kemenonjolan jaringan agenda atau atribut.
Internet yang memberdayakan penggunanya untuk menghasilkan konten mengubah konsepsi
mengenai publik. Agenda media tidak hanya menentukan agenda publik, melainkan juga
sebaliknya.
Tren perkembangan teori komunikasi dalam tradisi riset teori agenda-setting di era Data Besar
menunjukkan tren pengembangan domain atau arena teori agenda-setting dan eksplikasi konsep
agenda. Keterbatasan riset teori agenda-setting level ketiga menunjukkan sejumlah keterbatasan
dan sekaligus menantang upaya mengatasi keterbatasan tersebut. Keterbatasannya adalah (pertama)
studi teori agenda-setting level ketiga menganggap publik sebagai sesuatu yang homogen. Studi
teori jaringan level ketiga cenderung menganalisis opini publik pada level agregat. Padahal setiap
kelompok memiliki kebutuhan akan orientasi yang berbeda-beda. Eksternalisasi dari “gambar di
kepala” melalui pesan dan perilaku komunikasi lainnya di Twitter adalah ekspresi dari motivasi,
dan kepercayaan, dan tujuan pengguna.
Kedua, studi teori agenda-setting level ketiga kurang mempertimbangkan conditional
probability. Riset teori agenda-setting level ketiga fokus pada hubungan antartitik yang bersifat
non direksional. Hubungan yang bersifat direksional kurang mendapat perhatian. Ketiga, Teori
agenda-setting level ketiga menganalisis hubungan yang eksplisit. Hubungan yang eksplisit ini
diukur dari tingkat frekuensinya kemunculannya. Hubungan jaringan (link) yang bersifat implisit
seperti frame tidak mendapat perhatian. Keempat, riset teori agenda-setting selama tidak
melakukan riset yang bersifat longitudinal. Dan kelima, riset teori agenda-setting yang berjaringan
tidak diikuti dengan teori- teori jaringan. Keterbatasan riset teori agenda-setting di atas adalah
peluang bagi peneliti untuk melakukan riset selanjutnya.
Efek agenda-setting berjaringan dalam bentuk agenda-setting intermedia memberikan
implikasi pada strategi komunikasi organisasi. Salah satunya adalah strategi hubungan masyarakat
(public relations) yang dilakukan organisasi (pemerintah atau perusahaan). Praktisi hubungan
masyarakat harus mampu mengidentifikasi media yang menjadi penentu agenda (agenda-setter)
dalam kaitannya dengan isu tertentu. Studi yang diungkapkan di atas yang dilakukan di Amerika
(antara lain oleh Vargo, Guo Lei, Conway, Kenski, Wang) dapat dijadikan bahan untuk memahami
bagaimana dinamika fungsi agenda-setting media bekerja di Indonesia. Dalam isu kesehatan atau
lingkungan hidup bisa jadi media arus utama menjadi penentu agenda media. Namun, apakah
media arus utama bisa menjadi penentu agenda dalam isu populisme agama, isu minoritas, dan lain
sebagainya.
Penulis mengucapkan terima kasih atas pimpinan Badan Penelitian dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Bapak Basuki Yusup
Iskandar) atas kesempatan yang diberikan untuk penulis untuk berkarya. Terima kasih kepada
editor Jurnal Studi Komunikasi dan Media (Balai Pengembangan Sumber Daya Manusia dan
Penelitian Komunikasi dan Informatika Jakarta, Badan Litbang SDM, Kementerian Komunikasi
dan Informatika) yang telah membantu proses publikasi naskah ini. Terima kasih juga kepada mitra
bestari yang telah memberikan saran perbaikan naskah ini.
16
IMPLIKASI PENGGUNAAN DATA BESAR TERHADAP METODE PENELITIAN AGENDA-SETTING
Karman
DAFTAR PUSTAKA
Anderson. (1988). A spreading activation theory of mind. Readings in Cognitive Science; a Perspective from
Psychology and Artificial Intelligence, 137–154. https://doi.org/10.1016/S0022-5371(83)90201-3
Anderson, A. R., & Pirolli, P. L. (1984). Spread of Activation. Journal of Experimental Psychology:
Learning, Memory, and Cognition, 10(4), 791–798. https://doi.org/10.1037/0278-7393.10.4.791
Boyd, D., & Crawford, K. (2011). Six provocations for big data. In A decade in internet time: Symposium on
the dynamics of the internet and society (Vol. 21). Oxford, UK: Oxford Internet Institute.
Caroll, C. E. (2016). Mapping the contours of the third level of agenda setting. In L. Guo & M. McCombs
(Eds.), The power of information network: New directions for agenda setting (1st ed., pp. 34–52). New
York: Routledge.
Ceron, A., Curini, L., & Iacus, S. M. (2016). First- and second-level agenda setting in the Twittersphere: An
application to the Italian political debate. Journal of Information Technology and Politics, 13(2), 159–
174. https://doi.org/10.1080/19331681.2016.1160266
Cheng, Y. (2016). The third-level agenda-setting study: an examination of media, implicit, and explicit public
agendas in China. Asian Journal of Communication, 26(4), 319–332.
https://doi.org/10.1080/01292986.2015.1130159
Collins, A. M., & Loftus, E. F. (1975). Spreading activation theory of semantic processing. Psychological
Review, 82(6), 407–428. https://doi.org/10.1037/0033-295X.82.6.407
Conway, B. A., Kenski, K., & Wang, D. (2015). The Rise of Twitter in the Political Campaign: Searching for
Intermedia Agenda-Setting Effects in the Presidential Primary. Journal of Computer-Mediated
Communication, 20(4), 363–380. https://doi.org/10.1111/jcc4.12124
Crawford, K. (2009). Following you: Disciplines of listening in social media. Journal of Media & Cultural
Studies, 23(4), 532–33.
Djerf-Pierre, M., & Shehata, A. (2017). Still an Agenda Setter: Traditional News Media and Public Opinion
During the Transition From Low to High Choice Media Environments. Journal of Communication,
67(5), 733–757. https://doi.org/10.1111/jcom.12327
Erl, T., Khattak, W., & Buhler, P. (2016). Big Data Fundamentals Concepts, Drivers & Techniques. Prentice
Hall: ServiceTechPress.
Flew, T. (2005). New Media, and Introduction (2nd ed.). United Kingdom: Oxford University Press.
Groshek, J., & Groshek, M. C. (2013). Agenda trending: Reciprocity and the predictive capacity of
socialnetworking sites in intermedia agenda setting accross topic overn time. Media and
Communication, 1(1).
Gruzd, A., Wellman, B., & Takhteyev, Y. (2011). Imagining Twitter as an Imagined Community. American
Behavioral Scientist, 55(10), 1294–318.
Guo, L. (2012). The Application of Social Network Analysis in Agenda Setting Research: A Methodological
Exploration. Journal of Broadcasting & Electronic Media, 56(4), 616–631.
https://doi.org/10.1080/08838151.2012.732148
Guo, L. (2016). A Theoretical Explication of The Network Agenda Setting Model: Current Status and Future
Directions. In L. Gui & M. E. McCombs (Eds.), The Power of Information Networks: New Directions
For Agenda Setting (1st ed., pp. 3–18). New York: Routledge.
Guo, L. (2017). Network Agenda Setting Model. Retrieved September 9, 2017, from
http://www.leiguo.net/research/network-agenda-setting-model/
Guo, L. (2019). Media Agenda Diversity and Intermedia Agenda Setting in a Controlled Media
Environment : A Computational Analysis of China ’ s Online News Media Agenda Diversity and
Intermedia Agenda Setting in a China ’ s Online News. Journalism Studies, 1–18.
https://doi.org/10.1080/1461670X.2019.1601029
Guo, L., & Vargo, C. J. (2017). Global Intermedia Agenda Setting: A Big Data Analysis of International
News Flow. Journal of Communication, 1–22. https://doi.org/10.1111/jcom.12311
Guo, L., Vargo, C. J., Pan, Z., Ding, W., & Ishwar, P. (2016). Big social data analytics in journalism and
mass communication. Journalism & Mass Communication Quarterly, 93(2), 332–359.
https://doi.org/10.1177/1077699016639231
Howe, M. L., Wimmer, M. C., Gagnon, N., & Plumpton, S. (2009). An associative-activation theory of
children’s and adults’ memory illusions. Journal of Memory and Language, 60(2), 229–251.
https://doi.org/10.1016/j.jml.2008.10.002
json.org. (2017). Pengenalan JSON. Retrieved November 15, 2017, from http://www.json.org/json-id.html
Jungherr, A. (2014). The Logic of Political Coverage on Twitter: Temporal Dynamics and Content. Journal
of Communication, 64(2), 239–259. https://doi.org/10.1111/jcom.12087
Karman, K. (2017). Disruptif Teknologi Internet dan Eksistensi Media Cetak. Jurnal Komunikasi Dan Opini
17
J URNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
Vol. 23 No. 1 (Juni 2019) Hal : 1 - 20
18
IMPLIKASI PENGGUNAAN DATA BESAR TERHADAP METODE PENELITIAN AGENDA-SETTING
Karman
https://doi.org/10.1111/jcom.12089
Vu, H. T., Guo, L., & McCombs, M. E. (2014). Exploring “the world outside and the pictures in our heads.”
Journalism & Mass Communication Quarterly, 91(4), 669–686.
https://doi.org/10.1177/1077699014550090
Wang, Q. (2016). A comparative case study: Network agenda setting in crisis and non-crisis news. Global
Media and China, 1(3), 208–233. https://doi.org/10.1177/2059436416668870
19
J URNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
Vol. 23 No. 1 (Juni 2019) Hal : 1 - 20
20