Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

121-Article Text-229-1-10-20190614

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 12

ANALISIS FAKTOR RESIKO FILARIASIS

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS NGEMPLAK KABUPATEN BOYOLALI


JAWA TENGAH

Athanasia Budi Astuti, Sri Mulyanti


Poltekkes Kemenkes Surakarta Jurusan Keperawatan

Abstract
Background: Currently filariasis is one of the priority diseases to be eliminated. WHO
in 2000 declared the Global Goal of the Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public
Health Problem by the Year 2020. The Indonesian government's policy is to gradually
implement Filariasis Elimination Program through Filariasis Provision of Mass Drug
Prevention (POPM) programs in filariasis-endemic districts / cities and management of
filariasis clinical cases. Filariasis cases in Central Java in 2013 - 2016 tended to
increase, including in Boyolali Regency. If this condition is not immediately treated
properly, it can make it possible to end up with filariasis. Methods: Materials and
methods. This research is a survey research with mixedresearch or mixed research
approach. Respondents were patients and families of filariasis sufferers, government
stakeholders, and health stakeholders. Data was obtained through in-depth interviews,
focus group discussions, and field observations. Results: Filariasis risk factors found
were (1) lack of knowledge of patients and families about the treatment and prevention
of transmission of filariasis (2) mosquito vector control has not been done well (3)
Home environment conditions (3) Still found gaps or gaps between health sector
stakeholders (4) There are still filariasis patients who have not carried out filariasis
treatment properly. Conclusion: Risk factors for filariasis are individual factors, lack of
efforts to control mosquito vectors, environmental factors, and the existence of gaps
between health stakeholders.

Keyword: Risk Factors, Filariasis, Filariasis Patients, Stakeholder

PENDAHULUAN The Global Goal of Elimination of


Faktor utama yang mendorong Lymphatic Filariasis as a Public Health
penelitian ini adalah semakin Problem by the Year 2020.1
meningkatnya angka kejadian filariasis di Hingga pada tahun 2015, situasi
Kabupaten Boyolali. Sedangkan tindakan program eliminasi filariasis yaitu dari 514
pengendalian filariasis membutuhkan data kabupaten/ kota di Indonesia terdapatnya
faktor resiko filariasis sesuai karakterisitik 239 kabupaten/ kota endemis filariasis,
wilayah. Sedangkan di Kabupaten hanya 132 kabupaten/ kota yang
Boyolali belum ada penelitian tentang melaksanakan POPM Filariasis dan masih
faktor resiko filariasis. Saat ini penyakit ada 58 kabupaten/ kota endemis yang
filariasis telah menjadi salah satu penyakit belum melaksanakan POPM filariasis
yang diprioritaskan untuk dieliminasi. Hal dikarenakan berbagai kendala. Terdapat
ini diperkuat dengan keputusan WHO 48 kabupaten/ kota telah selesai
pada tahun 2000 yang mendeklarasikan melaksanakan POPM filariasis selama 5

75
76 Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 8, No 1, Mei 2019, hlm 01-129

tahun berturut-turut, akan tetapi hanya 26 faktor pendukung dari pemerintahan, dan
kabupaten/ kota yang lulus tahap evaluasi bidang kesehatan yang dapat dipakai
(TAS) dan 22 kabupaten/ kota gagal sebagai dasar upaya eliminasi filariasis.
dalam tahap evaluasi, sehingga harus
melaksanakan POPM tambahan selama 2 METODE PENELITIAN
tahun berurut-turut untuk selanjutnya Penelitian dilakanakan mulai bulan
dilakukan evaluasi kembali (Depkes RI, Januari sampai bulan Oktober 2018.
2010).2 Kasus Filariasis di Jawa Tengah Penelitian berupa penelitian kombinasi
pada tahun 2013 – 2016 terdapat di 20 kuantitatif dan kualitatif (study mixed
Kabupaten yaitu Kota Semarang, research). Bertujuan mengetahui faktor
Surakarta, Pekalongan, Pati, Brebes, resiko filariasis di wilayah kerja
Jepara, Magelang, Kebumen, Demak, Puskesmas Ngemplak Kabupaten
Wonogiri, Grobogan, Kendal, Boyolali, Boyolali. Data diperoleh dari pasien dan
Batang, Sukoharjo, Blora, Wonosobo, keluarga, stakeholder bidang kesehatan
Sragen, Banjarnegara. Kasus Filariasis ini dan pemerintahan melalui wawancara
tiap tahun mengalami peningkatan dari 10 mendalam, FGD, dan observasi lapangan.
kasus menjadi 22 kasus, kemudian Data dianalisis secara kuantitatif dan
meningkat lagi menjadi 27 kasus. kualitatif (mixed research)
Penemuan kasus terbaru pada tahun 2016
di Jawa Tengah adalah di Demak 14 HASIL PENELITIAN
kasus, Boyolali 4 kasus, Kota Semarang 3 Tabel 1. Karaktersitik Pasien Filariasis di
kasus, Brebes 2 kasus, dan yang Kota Puskesmas Ngemplak Boyolali
lainnya masing – masing 1 kasus yaitu di Kategori f %
Wonogiri, Grobogan, Sukoharjo, Umur
20 - 30 0 0
Banjarnegara 31 - 40 0 0
Upaya pemberantasan filariasis 41 - 50 5 83,33
tidak bisa dilakukan oleh pemerintah >50 1 16,67
semata, peran masyarakat melalui kader Pendidikan
kesehatan dan tokoh masyarakat sangat SD 5 83,33
SMP 0 0
dibutuhkan. Berdasar penelitian-peneitian SMA 1 16,67
tersebut di atas, upaya eliminasi filariasis Diploma 0 0
membutuhkan data-data faktor resiko Sarjana 0 0
yang ada di wilayah masing-masing Tinggal Serumah
sehingga dapat dilakukan upaya Ya 6 100
Tidak 0 0
perbaikan. Padahal di wilayah Kecamatan Status
Ngemplak Boyolali belum pernah Janda 0 0
dilakukan survey atau penelitian tentang Duda 0 0
faktor resiko yang dapat meningkatkan Jumlah responden pasien filariasis
resiko terjadinya lariasis. Penelitian ini adalah 7 (tujuh) pasien, dimana 6 (enam)
berusaha mencari data-data tentang faktor- pasien masih hidup dan 1 (satu) pasien
faktor resiko filariasis di wilayah sudah meninggal dunia. Tabel 4.1.
Kecamatan Ngemplak Boyolali. Melalui memberikan gambaran dari segi umur
penelitian ini diharpakan dapat diketahui paling banyak pada ketegori umur 41 – 50
faktor resiko yang ada dimasyarakat, tahun sebanyak 83,33%, tingkat
Athanasia Budi Astuti, Analisis Faktor Resiko Filariasis 77

pendidikan paling banyak pada Tabel 3. Menunjukkan jumlah


pendidikan dasar (SD) 83,33%, semua responden dari stakeholder berjumlah 30
(100%) pasien saat ini tinggal serumah yang terdiri dari unsur pemerintahan
keluarga dan berdasar status perkawinan, 26,67% dan dari bidang kesehatan
semua pasien masih hidup dengan sebanyak 63,33%.
pasangan masing-masing (suami atau
istri). Tabel 4. Distribusi Frekwensi Faktor
Resiko Filariasis Terkait Host (Manusia)
Tabel 2. Riwayat Pengobatan Pasien Faktor Resiko f %
Filariasis (Kode:R-PK) Riwayat Keluarga
Kategori f % Ada 0 0
Pengobatan (Minum Obat) Tidak 7 100
Ya 3 42,86 Pekerjaan (Sering Berada di Luar
Tidak 4 57,14 Rumah)
Pengetahuan Pasien dan Keluarga tentang Ya 7 100
Pedoman Pengobatan Filariasis Tidak 0 0
Tahu 3 42,86 Tingkat Pendidikan
Tidak Tahu 4 57,14 Dasar 6 85,71
Status Kesehatan (Hidup) Menengah 1 14,29
Hidup 6 85,71 Tinggi 0 00,00
Meninggal 1 14,29 Sesuai tabel 4. faktor resiko
Tabel 2. menunjukkan responden penyakit filariasis untuk semua pasien
yang masih aktif melakukan pengobatan termasuk yang sudah meninggal, sesuai
adalah 3 pasien atau 42,86%. Sedangkan hasil kuesioner dan wawancara dengan
yang tidak lagi mengkonsumsi obat lebih paisen dan keluarga pasien diperoleh
banyak yaitu 57,14% dengan berbagai informasi bahwa faktor resiko filariasis
macam kendala. Tabel 2. juga terkait dengan host (manusia) meliputi
memberikan gambaran masih ada 57,14% sering berada di luar rumah tanpa
pasien dan atau keluarga yang tidak pelindung dari gigitan nyamuk (100%)
mengetahui cara mengkonsumsi obat dan tingkat pendidikan yang masih rendah
filariasis, dimana pasien dan keluarga atau pendidikan kurang, dimana tingkat
tidak tahu nama obat yang diminum, pendidikan atau lulusan SD 85,71% dan
belum mengetahui pedoman atau atau cara yang berpendidikan menengah 14,29%.
minum obat
Tabel 5. Distribusi Frekwensi Hasil
Tabel 3. Distribusi Stakeholder Observasi Karakteristik Lingkungan
Stakeholder f % sebagai Faktor Resiko Filariasis
Pemerintah 11 26,67 Karakteristik
Kecamatan (1) 1 Ya Tidak
Lingkungan
Lurah (2) 5 Keberadaan kawat 0 7
Tokoh Masyarakat (3) 5
Kesehatan 19 63,33
kasa (00,00) (100)
Dinas Kesehatan (1) 6 Keberadaan saluran 4 3
Puskesmas (2) 5 limbah (57,14) (42,86)
Kader Kesehatan (3) 4 Keberadaan semak- 5 2
SKD (4) 4 semak (71,43) (28,57)
Jumlah 30 100 Keberadaan vektor 5 2
nyamuk (71,43) (28,57)
78 Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 8, No 1, Mei 2019, hlm 01-129

Karakterisitik lingkungan sebagai Tabel 6. menunjukkan semua


faktor resiko penyakit filariasis, berdasar pasien (100%) tidak menutup kamar tidur
observasi langsung ke rumah pasien dengan kelambu, termasuk di sini adalah
filariasis baik yang masih hidup, maupun tidak menutup atau memakai kawat kasa
yang sudah meninggal menunjukkan pada ventilasi rumah untuk mencegah
resiko digigit nyamuk sangat tinggi. Hal masuknya nyamuk ke kamar tidur atau ke
ini terlihat dari 100% atau semua rumah dalam rumah. Selain itu semua pasien
dan kamar tidur pasien tidak dipasang yang terdiagnosa filariasis juga tidak
sarana pencegah masuknya nyamuk, memakai obat nyamuk saat tidur. Terkait
padahal 57,14% lingkungan rumah pasien kebiasaan sering berada di luar rumah
terdapat saluran pembuangan air (got atau (kebun, halaman, gang/jalan dll) pada
kalen) dengan aliran air tidak lancar atau malam hari (pukul 21.00 – 03.00)
menggenang, 71% di sekitar rumah pasien mayoritas atau 57,14% responden sering
terdapat semak-semak tempat nyamuk melakukan hal tersebut dan 42,86 %
hidup dan berkembang biak, dan 71% jarang. Data yang sama diperoleh untuk
rumah pasien terdapat banyak nyamauk kebiasaan responden memakai pakaian
pada malam hari dang menjelang dini hari atau obat untuk mencegah digigit nyamuk
(pukul 21.00 – 03.00 WIB). saat berada di luar rumah, yaitu 57,14%
jarang atau tidak pernah dan hanya
Tabel 6. Distribusi Frekwensi Faktor 42,86% yang terbiasa memakaianya.
Resiko Filariasis Terkait Upaya Keberadaan semak-semak sebagai tempat
Pencegahan Penularan hidup dan berkembang biaknya nyamuk
Kondisi/Upaya
Ya Tidak filarasis 85,71 % ada dan hanya 14,29
Pencegahan yang tidak ada. Namun sayangnya hanya
Keberadaan 0 7
28,57 % yang terbiasa membersikannya,
kelambu (00,00) (100)
Menggunakan obat 0 7 sedangkan 71,43 jarang atau tidak pernah
nyamuk (00,00) (100) membersihkan semak-semak di sekitar
Keberadaan kawat 0 7 rumah.
kasa (00,00) (100)
Kebiasaan di luar 3 4
PEMBAHASAN
rumah (42,86) (57,14)
Kebiasaan memakai 3 4 Faktor Resiko Terkait Host
baju/celana panjang (42,86) (57,14) Peraturan Menteri Kesehatan
Keberadaan semak- 6 1 (PMK) Republik Indonesia No. 94 tahun
semak (85,71) (14,29) 2014 tentang penanggulangan Filariasis,
Kebiasaan 2 5
patologi dan penularan Filariasis
membersihkan (28,57) (71,43)
semak-semak menjelaskan bahwa epidemi penyakit
Keberadaan saluran 6 1 filariasis dipengaruhi oleh faktor
pembuangan air (85,71) (14,29) karakteristik manusia. Manusia sebagai
limbah individu merupakan ciri-ciri yang
Kebiasaan 2 5
dimiliki oleh seseorang yang
membersihkan ((28,57) (71,43)
saluran berhubungan dengan semua aspek
pembuangan air kehidupan dengan lingkungannya, baik
limbah faktor biologis seperti genetik, sistem
syaraf dan hormonal, ataupun faktor
Athanasia Budi Astuti, Analisis Faktor Resiko Filariasis 79

sosiopsikologis seperti kognitif menularkan ke orang lain cukup besara.


(intelektual), konatif (kebiasaan dan Aapalagi ditambah perilaku pengendalian
kemauan bertindak), maupun afektif vektor nyamuk juga belum dilakukan
(emosional). Tingkat pendidikan dasar dengan baik. “Saya memang sudah tidak
(SD) secara umum mempengaruhi tingkat minum obat lagi, karena sudah tidak
kognitif atau intelektual pasien, termasuk diberi dari Puskesmas, untuk beli sendiri
dalam memahami konsep penyakit juga tidak punya uang, maka saya
filariasis. Hal ini terbutki walaupun berhenti minum obat. Petugas kesehatan
sebagain besar pasien filariasis dan juga tidak mengontrol dengan ketat,
keluarga mengatakan sudah pernah sehingga saya juga kadang males, apalagi
memperoleh penjelaan tentang penyakit keluarga kadang juga cuek” (R-PK)
filariasis, namun dalam praktinya belum Faktor petugas kesehatan dan
menunjukkan pemahaman yang cukup. keluarga ternyata juga mempengaruhi
Hal ini dibuktikan dengan hasil diskusi kepatuhan pasien minum obat. Hal ini
dan wawancara mendalam dengan pasien sesuai dengan penelitian Astuti dkk pada
dan keluarga dengan data sebagai berikut tahun 2013 tentang pengaruh perilaku
“Saya dan suami saya tidak tahu kalau masyarakat terhadap kepatuhan minum
terkena penyakit filariasis, karena obat POMP di Kec. Majalaya Kab.
awalnya kaki hanya terasa gatal kok Bandung, yang membuktikan bahwa
kemudian bertambah besar. Penyakit ini kepatuhan minum obat pada pasien
hanya saya yang mengalami, sedang filariasis dipengaruhi oleh petugas
bapak, ibu, ataupun yang lain tidak ada kesehatan, kader kesehatan, kerjasama
yang sakit seperti ini” (R-PK) lintas sektoral, dan media promosi
“Saya sudah malas minum obat, biarlah kesehatan.3
yang sakit kan ya saya sendiri. Lha wong Data tersebut kurang sesuai
minum obat terus ya tida sembuh-sembuh. dengan apa yang pernah diupayakan
Saya sudah bosan Mbak” (R-K) petugas kesehatan dalam mendorong
Praktik pengobatan filariasis yang pasien minum obat. Hasil penelitan Ipa,
dilakukan oleh responden kurang Mara dkk (2016) menujukkan upaya
komprehensif sesuai pedoman yang ada. peningkatan kepatuhan minum obat dapat
Padahal salah satu faktor yang dilakukan dengan teknik pemberian
mempengaruhi keberhasilan program informasi dampak negatif akibat efek
eliminasi filariasis adalah faktor manusia samping obat, peningkatan jumlah dan
seperti kepatuhan minum obat. “Terus pengetahuan kader serta peningkatan
terang kami belum begitu paham tentang kegiatan monitoring pelaksanaan
cara minum obat kaki gajah, harus pengobatan. Peningkatan cakupan
berapa lama dan sampai kapan. Yang pengobatan juga pernah dilakukan melalui
penting bila obat habis, saya datang ke pencanangan minum obat ditempat
puskesmas untuk kontrol” (R-PK) dengan pemberdayaan tenaga kader.4
Ungkapan tersebut membuktikan Penelitian Krentel dkk (2013) tentang
pasien dan keluarga belum memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
bagaimana cara minum obat filariasis pengobatan filariasis dengan program
yang tepat. Jika pasien tidak minum obat MDA juga memberikan bukti bahwa
dengan baik dan paripurna, maka resiko keberhasilan MDA sangat dipengaruhi
80 Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 8, No 1, Mei 2019, hlm 01-129

pleh peran petugas kesehatan dan ada faktor resiko genetik pada pasien
masyarakat secara umum.Hasil penelitian filariasis di wilayah kerja Puskesmas
yang hampir sama adalah dari penelitian Ngemplak Boyolali.
Kumar, Anil (2014) tentang peran
masyarakat dalam cakupan pengobatan Faktor Resiko Terkait Perilaku
MDA yang membuktikan bahwa Perilaku kesehatan dipengaruhi
keberhasilan eliminasi limfaktik filariasis oleh beberapa faktor yang secara langsung
dengan program MDA perlu peningkatan maupun tidak langsung akan membentuk
peran masyarakat karena MDA harus tindakan dan kebiasaan individu
dilakukan dalam waktu yang lama dan (Notoatmodjo, 2010). Sesuai konsep
kontinyu.6 rantai infeksi, penyakit infeksi dapat
Selain itu pasien dan keluarga juga menular dipengaruhi oleh tiga komponen,
belum melakukan upaya pencegahan yaitu agent, host, dan environment
penularan penyakit filariasis secara baik. (lingkungan). Demikian juga dengan
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian penyakit filariasis, sumber penularan
Agustianingsih (2013) yang juga utama (hospes reservoir) penyakit ini
menunjukkan karakterisitik inividu yang adalah manusia yang mengandung
mempunyai hubungan dengan praktik mikrofilaria dalam darahnya. Pada
pencegahan filariasis yaitu tingkat dasarnya setiap orang dapat tertular
pendidikan (p=0,041), jenis pekerjaan (p= filariasis apabila digigit oleh nyamuk
0,047), tingkat pengetahuan (p=0,000), infektif (mengandung larva stadium 3).
sikap (p=0,000), persepsi (p=0,000). Faktor resiko filariasis terkait perilaku
Dilihat dari keberadaan pasien saat yang ditemukan pada penelitian ini adalah
ini semua pasien atau 100% tinggal kebiasaan sering berada di luar rumah
serumah dengan pasangan (istri atau (kebun, halaman, gang/jalan dll) pada
suami) dan tinggal dalam keluarga malam hari (pukul 21.00 – 03.00). Hasil
bersama anggota keluarga yang lain yaitu wawancara dengan pasien dan keluarga
anak dan atau menantu. Berdasarkan diperoleh data bahwa sebelum terjangkit
status perkawinan, semua pasien masih penyakit filariasis, mayoritas atau 57,14%
hidup dengan pasangan masing-masing responden sering atau terbiasa melakukan
(suami atau istri). “Saya dan suami saya kegiatan atau aktivitas di luar rumah
tidak tahu kalau terkena penyakit seperti begadang (jagongan) di kebun,
filariasis, karena awalnya kaki hanya halaman, gang/jalan dll. Hal ini dilakukan
terasa gatal kok kemudian bertambah hampir setiap malam, karena sekedar
besar. Penyakit ini hanya saya yang mengisi waktu. Selain itu karena kamar
mengalami, sedang bapak, ibu, ataupun tidur juga tidak ditutup kelambu, dan tidak
yang lain tidak ada yang sakit seperti ini” ada kawat kasa pada ventlasi rumah
(R-PK) sangat memugkinkan nyamuk dapat
Berdasar wawancara mendalam masuk ke rumah pada malam sampai dini
dengan anggota keluarga seperti tersebut hari. Hal ini diperkuat dengan hasil
di atas, membuktikan tidak ditemukan wawancara mendalam “Saya memang
riwayat anggota keluarga terdahulu yang sering keluar rumah pada malam hari,
mempunyai penyakit atau gejala penyakit karena untuk jagongan dan saya memang
yang sama. Data ini menunjukkan tidak senang begadang di halaman dan jalan
Athanasia Budi Astuti, Analisis Faktor Resiko Filariasis 81

dekat kampung. Saya biasanya masuk beristirahat pada kandang ternak karena
rumah kalau sudah mulai ngantuk, sekitar suhu kelembaban kandang ternak
jam 12 atau jam 01 malam, kadang malah sangat cocok untuk nyamuk. Hasil
lebih”. (R-PK) penelitian Setiani dan Hanani (2012)
Kebiasaan ini meningkatkan resiko menunjukkan tempat istirahat nyamuk
terkena atau menularkan penyakit sebagai vektor filariasis barada di semak-
filariasis, karena secara daur hidup larva semak, kandang ternak, pakaian yang
filariasis akan berada pada pembuluh dara digantung. Hasil analisa univariat
tepi pada malam sampai dini hari pada menunjukkan bahwa proporsi kejadian
waktu tidak ada sinar matahari. “Saya filariasis pada kelompok kasus lebih besar
kurang begitu paham tentang cara pada kelompok kasus yang memiliki
penularan penyakit kaki gajah, yang saya tempat istirahat nyamuk (68,8%)
tahu katanya oleh nyamuk. Tapi saya dan dibandingkan pada kelompok kontrol
keluarga memang jarang perhatian (31,2%). Kondisi tersebut ditemukan pada
dengan kebersihan lingkungan. Maklum saat penelitian dimana 100% atau semua
kami kan keluarga tidak punya, sehingga rumah dan kamar tidur pasien tidak
waktunya ya dipakai untuk cari rejeki. dipasang sarana pencegah masuknya
Apalagi untuk beli kelambu dan pasang nyamuk, padahal 57,14% lingkungan
jaring kasa, untuk beli beras dan gula rumah pasien terdapat saluran
saja kadang kurang”. (R-PK) pembuangan air (got atau kalen) dengan
Faktor resiko lain terkait perilaku aliran air tidak lancar atau menggenang,
manusia adalah kurangnya kebiasaan 71% di sekitar rumah pasien terdapat
membersihkan semak belukar yang ada di semak-semak tempat nyamuk hidup dan
sekitar rumah. Sesuai hasil penelitian berkembang biak, dan 71% rumah pasien
terlihat keberadaan semak-semak sebagai terdapat banyak nyamuk pada malam hari
tempat hidup dan berkembang biaknya dang menjelang dini hari (pukul 21.00 –
nyamuk filarasis 85,71 % ada dan hanya 03.00 WIB. Kondisi tersebut
14,29 yang tidak ada. Namun sayangnya memungkinkan resiko untuk digigit
hanya 28,57 % yang terbiasa nyamuk secara berulang sangat tinggi.
membersikannya, sedangkan 71,43 jarang Hasil wawancara secara lebih mendalam,
atau tidak pernah membersihkan semak- diperoleh data kondisi tersebut sudah ada
semak di sekitar rumah. Hasil atau angka sebelum pasien terdiagnosa filariasis,
yang sama adalah pada kategori sehingga dapat dianalisis kalau faktor
keberadaan saluran air (got) yang airnya lingkungan yang ada pada pasien dapat
menggenang di sekitar rumah. Dari meningkatkan resiko terkena penyakit
seluruh pasien, 85,71% di sekitar filariasis. Di sisi lain, kondisi lingkungan
rumahnya ada saluran pembuangan pasien filariasis saat ini juga sangat
limbah air (got atau kalen) dengan air memungkinkan terjadinya resiko
yang tidak lancar (menggenang), hanya penularan filariasis ke orang lain.
28,57% yang sering membersihkannya.
Peran Stakeholder Pemerintahan
Karakterisitik Lingkungan sebagai Hasil penelitian melalui Focus
Faktor Resiko Filariasis Group Discussion (FGD) dapat
Di luar rumah, nyamuk juga suka disimpulkan stakeholder pemerintahan
82 Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 8, No 1, Mei 2019, hlm 01-129

melalui perwakilan kecamatan, sosialisasi atau penyuluhan kesehatan


babinkamtibmas, dan kepala desa, serta pada masyarakat”. Kalau diadakan
tokoh masyarakat, dapat disimpulkan program peberantasan dan pencegahan
secara umum sudah mengetahui tentang penyakit, pemerintah kecamatan dan
penyakit filariasis yaitu penyakit kaki pemerintah desa sangat mendukung”. (R-
gajah yang disebabkan oleh nyamuk. P)
Sepakat bahwa penyakit filariasis masih Berdasar uraian tersebut dapat
ada di wilayah Puskesmas Ngemplak dianalisa masih ada gap atau kesenjangan
Boyolali, tetapi jarang atau hanya sedikit. dalam hal pengetahuan, pemahaman, dan
Walaupun jumlah pasien relatif sedikit, kesadaran tentang penanggulangan
namun penyakit ini sangat berbahaya dan penyakit filariasis antara pasien dan
bisa menular. “Penyakit filariasis juga keluarga dengan stakeholder
disebut penyakit kaki gajah. Penyakit ini pemerintahan. Dapat dimungkinkan hal
masih ada di wilayah Puskesmas ini terjadi karena pada saat penyuluhan
Ngemplak Boyolali, tetapi jarang atau kesehatan yang dilakukan pihak
hanya sediki. “Walaupun sedikit penyakit puskesmas, yang lebih mudah menerima
ini sangat berbahaya dan bisa menular”. dan memahaminya adalah pihak
Penyebab penyakit ini diluar dugaan pemerintajan desa, sedangkan pasien dan
karena hanya oleh nyamuk. Untuk itu keluarga belum mampu menerima dan
masyarakat sebaiknya mengetahui memahaminya dengan baik. Hal ini juga
penyakit ini, supaya tidak terltular atau terbukti dari harapan pemerintahan desa
dapat melakukan pencegahan penyakit yang berpersepsi bahwa puskesmas harus
kaki gajah “.(R-P) lebih meningkatkan intensitas penyuluhan
Data-data tersebut membuktikan dan lebih sabar dalam membimbing
bahwa secara umum sebenaranya pihak masyarakat. “Puskesmas harus
pemerintah desa baik dari kecmatan, meningkatkan intensitas penyuluhan dan
kepala desa, maupun tokoh masyarakat sosialisasi penyakit ini, supaya
sudah sedikit mengetahui tentang penyakit masyarakat lebih paham tentang penyakit
filariasis, bahakan sudah menydari kalau filariasis, sehingga mampu melakukan
penyakit ini berbahaya dan dapat menular. upaya pencegahan timbulnya penayakit
Bahkan dari wawancara lebih jauh sudah ini. Puskesmas harus lebih fokus dan
mempunyai gagasan kalau masyarakat sabar dalam membimbing masyarakat,
harus mengetahui penyakit ini. Namun sehingga bagi yang sudah terkena
data ini agak kontrakdiktif dengan tingkat penyakit filariasis dapat diselamatkan”.
pengetahuan dan pemahaman yang (R-P)
dimiliki oleh pasien dan keluarga, dimana “Program pemerintah sudah baik, namun
mayoritas pengetahuan dan perlu ditingkatkan dan dioptimalkan lagi.
pemahamannya masih kurang. Di sisi lain Masih banyak masyarakat yang tidak
persepsi stakeholder pemerintahan desa mengetahui penyakit ini”. (R-P)
terhadap peran Puskesmas dalam Analisis dari pernyataan pihak
pemberantasan penyakit kaki gajah juga pemerintahan tersebut adalah kepala desa
sudah baik. “Selama ini Puskesmas sudah dan tokoh masyarakat mungkin lebih
melaksanakan program pencegahan sering kontak dengan pasien dan keluarga
penyakit, yaitu dengan mengadakan penderita filariasis, atau dari laporan
Athanasia Budi Astuti, Analisis Faktor Resiko Filariasis 83

masyarakat secara umum, sehingga lebih penyakit filariasis dan penularanya.


banyak menerima keluhan atau informasi Puskesmas juga sudah melakukan
dari masyarakat. Hal ini dibuktikan juga surveilan epidemiologis, dengan
dari rangkuman saran yang diberikan oleh melakukan pendataan penderita yang
pihak pemerintahan yaitu “Peningkatan kemudian ditindaklanjuti dengan
sosialisasi dan penyuluhan melalui bidan pemeriksaan laboratorium bekerjasama
desa, kader kesehatan, dan tokoh dengan Dinas Kesehatan Kabupaten
masyarakat, meningkatkan gerakan Boyolali dan BPTK Yogyakarta”. (R-K
kebiasaan hidup bersih dan sehat, PUSKESMAS)
melaksanakan kerjabakti/kebersihan desa Terkait dengan pelaksanaan
secara berkala, memotivasi dan program secara teknis juga masih ada
membimbing penderita untuk aktif mispersepsi antara dinas kesehatan dengan
berobat, diadakan pencegahan dini Puskesmas. “Saya berharap Puskesmas
dengan gerakan bersama” (R-P) dapat melakukan pendataan atau
pengkajian yang lebih komprehensif dan
Peran Stakeholder Kesehatan berkelanjutan. Bagi warga yang sampel
Hasil penelitian menunjukkan darahnya sudah positip filariasis harus
masih ada sedikit perbedaan konsep dalam diobati dengan program DEC, dan
pelaksanaan program penanggulangan keluarga serta masyarakat sekitarnya
penyakit filariasis. Masih ditemukan harus ditingkatkan pola hidup bersih dan
kesan program belum berjalan dengan sehatnya melalui pengaktifan program
baik. Pihak Dinas kesehatan selaku PHBS”. (R-K DKK)
koordinator program mengharapkan “Kami merasa sudah melakukan upaya
Puskesmas sebagai unit pelaksana teknis pencegahan melalui sosialisasi penyakit
harus lebih aktif dan proaktif, sedangkan dan penyuluhan kesehatan. Selain itu
dari pihak Puskesmas, merasa sudah sudah berusaha melakukan pengkajian
melakukan program dengan baik. untuk menemukan penderita baru dengan
“Puskesmas sebagai ujung tombak atau pengambilan sampel darah, dan yang
garda terdepan dari peningkatan sudah positip kemudian segera diobati.
kesehatan masyarakat harus mampu Namun kendala yang dihadapi adalah
bekerja dan melaksanakan program yang respon masyarakat yang sangat
selaras dengan program dinas kesehatan. bervariasi, yang kadang kurang sesuai
Selama ini memang sudah ada ada dengan harapan petugas kesehatan.
program deteksi dini filariasis, namun Contohnya pasien tidak mau diperiksa
jangkaunya masih sangat kurang”. darahnya, tidak mau minum obat teratur,
“Selama ini Dinas Kesehatan Kabupaten ada juga yang sudah bosan dan frustasi
Boyolali merasakan Puskesmas masih karena harus minum obat terus menerus”.
kurang fokus dalam penanganan penyakit (R-K PUSKESMAS)
filariasis, sehingga masih perlu mendapat Terkait dengan persepsi terhadap
pendampingan”. (R-K DKK) peran pemerintah, juga masih ada
“Kami merasa sudah melaksanakan perbedaan pendapat, yang walaupun tidak
upaya pencegahan dengan melaksanakan prinsip, namun juga dapat mengganggu
program promotif atau penyuluhan proses penanggulangan filariasis. “Kami
kesehatan kepada masyarakat tentang merasa peran pemerintah melalui dinas
84 Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 8, No 1, Mei 2019, hlm 01-129

kesehatan sudah optimal, terutama dalam kesehatan sampai ke pelosok-pelosok desa


penyediaan obat, jika ada temuan kasus dan menambah jumlah kader kesehatan
baru, dinas kesehatan langsung supaya lebih banyak informasi yang
menurunkan tim ke lapangan untuk sampai ke warga dan dapat mengurangi
penanganan lebih intensif. Tinggal kejadian penyakit filariasis”.
meningkatkan peran serta Puskesmas, Berdasar hasil penelitian tersebut
tokoh masyarakat dan kader kesehatan. menggambarkan bahwa masih ada gap
Terkadang Puskesmas dan masyarakat atau kesenjangan yang terjadi antara
berpikir penyakit ini sudah tidak ada, Dinas Kesehatan, Puskesmas, dan pasien
sehingga perhatian dan kewasapadaan dal hal program pengobatan dan
menjadi kurang”. (R-K DKK) pencegahan (eliminasi) penyakit filariasis.
“Kami merasakan upaya pemerintah Dinas kesehatan sebagai koordinator
dalam pencegahan dan pengobatan utama dari kementerian kesehatan
filariasis belum begitu optimal, misalnya (pemerintah) merasa sudah melaksanakan
masih minimnya media informasi, fungsi koordinasi dengan baik, namun
ketersediaan obat masih kurang, sulitnya disisi lain Puskesmas merasakan peran
melakukan pemeriksaan laborat untuk pemerintah dan dinas kesehatan masih
menemukan penyakit dan sumber kurang. Demikian juga Puskesmas merasa
penularanya. Untuk itu diperlukan sudah melaksanakan program sosialisasi
kerjasama yang kompak untuk bahu dan penyuluhan kesehatan kepada pasien
membahu memberantas penyakit dengan baik, namun pada kenyataanya
filariasis”. (R-K PUSKESMAS) pasien dan keluarga merasa belum
Persespi yang agak berbeda diberikan pengetahuan atau penyuluhan
diperoleh dari kader kesehatan dan SKD, secara lebih intensif, yang terbukti saat
dimana mayoritas berpendapat bahwa dilakukan wawancara dan kunjungan
peran Puskesmas sudah cukup baiak, rumah pasien dan keluarga masih ada
namun perlu peningkatan lagi. “Kami yang belum melakukan program
merasa upaya Puskesmas dalam pengobatan dan pencegahan penularan
pencegahan filariasis sudah optimal, filariasis secara baik. Selain itu pasien,
melalui penyuluhan kesehatan kepada keluarga pasien, dan kader kesehatan juga
warga, namun hasil akhir dikembalikan belum begitu paham tentang program
lagi kepada kesadaran warga”. Mungkin eliminasi filariasis, dan disisi lain
upaya pemeriksaan laborat pada warga pedoman baku sebagai rujukan kader
untuk mendeteksi penyakit filariasis, perlu kesehatan dan pasien atau keluarga dalam
dilakukan lagi seperti dulu”. Kami pengobatan dan pencegahan filariasis
berharap seharusnya puskesmas belum ada, dan walaupun sudah ada
mengadakan program deteksi dini dan referensi lain, namun masih sulit dipahami
memberikan obat cacing secara masal, oleh kader kesehatan dan pasien. Belum
minimal 2 x dalam setahun”. Kami adanya prosedur tetap atau standar
sependapat dan setuju, mestinya prosedur operasional yang baku juga patut
Puskesmas menfasilitasi deteksi dini, dan menjadi pertimbangan. Hal ini sesuai
kami akan berupaya membantu”. Peran dengan rangkuman hasil FGD terkait
Puskesmas sudah optimal, tapi perlu saran dari stakeholder kesehtan yaitu
ditingkatkan dengan menambah tenaga perlunya “Sosialisasi dan penyluhan
Athanasia Budi Astuti, Analisis Faktor Resiko Filariasis 85

kesehatan ke masyarakat perlu dilakukan penyakit filariasis


secara lebih sering dan luas, perlunya 6. Masih ada pasien filariasis yang belum
deteksi dini penderita filariasis, melakukan pengobatan filariasis secara
pengobatan harus dilakukan sesegera tepat
mungkin secara intensif dan paripurna 7. Perlunya dibuat standar operating
dengan melibatkan seluruh komponen prosedur program eliminasi filariaisis
masyarakat, perlu ada komitmen bersama 8. Perlu dipertimbangkan modul eliminasi
antara pemerintah, dinas kesehatan, filariasis yang sederhana dan aplikatif
puskesmas, dan masyarakat”. sebagai pegangan kader kesehatan dan
Temuan tersebut tentunya patau keluarga pasien
menjadi catatatan karena sesuai dengan 9. Perlu dipertimbangkan program
Peraturan Menteri Kesehatan Republik pendamping minum obat (PMO) pasien
Indonesia nomor 94 tahun 2014 tentang filariasis
penanggulangan filariasis 10. Blueprint atau rencana jangka
Penyelenggaraan Penanggulangan panjang eliminasi filariasis perlu dibuat
Filariasis dilaksanakan oleh Pemerintah Puskesmas sesuai dengan karakterisitik
dan Pemerintah Daerah dengan wilayah masing-masing
melibatkan peran serta masyarakat,
melalui program pokok kegiatan DAFTAR RUJUKAN
surveilans kesehatan, penanganan Wahyono TYM. Buletin Jendela
penderita, pengendalian faktor risiko, dan Epidemiologi Filariasis di
program komunikasi, informasi, dan Indonesia. Pusat Data dan
edukasi. Surveilence Epidemiologi
Kemenkes RI. 2010.
KESIMPULAN DAN SARAN Depkes Republik Indonesia. Depkes
1. Faktor resiko filariasis terkait dengan infodatin-filariasis.pdf. 2010.
hospes (pasien) adalah kuranganya Astuti EP dkk. Media Litbangkes. Media
pengetahuan pasien dan keluarga Litbangkes. Analisis Perilaku
tentang pengobatan dan pencegahan Masyarakat Terhadap Kepatuhan
penularan penyakit filariasis Minum Obat Filariasis di Tiga
2. Perilaku atau kebiasaan yang Desa Kecamatan Majalaya
meningkatkan resiko terkena dan resiko Bandung Jawa Barat: 2014;24:
penularan penyakit filariasis adalah 199-208.
pengendalian vektor nyamuk belum Ipa M, Astuti EP, Hakim L, Fuadzy H.
dilakukan dengan baik Analisis Cakupan Obat Massal
3. Kondisi lingkungan rumah merupakan Pencegahan Filariasis di
faktor resiko yang perlu diperhatikan Kabupaten Bandung dengan
oleh petugas kesehatan Pendekatan Model Sistem
4. Masih ditemukan adanya gap atau Dinamik Analysis of Filariasis
kesenjangan diantara stakeholder Mass Drug Administration
bidang kesehatan yang berperan dalam Coverage Through Dynamic
program eliminasi filariasis System Model in Bandung
5. Sektor pemerintahan desa sangat Regency. 2016:31-38.
mendukung program penanggulangan Krentel A, Fischer PU, Weil GJ. A
86 Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 8, No 1, Mei 2019, hlm 01-129

Review of Factors That Influence 2003;3(December):757-771.


Individual Compliance with Mass Masjoer A. Kapita Selekta Kedokteran.
Drug Administration for III. Jakarta: Media Aesculapius
Elimination of Lymphatic Universitas Indonesia; 2000.
Filariasis. 2013;7(11). A. Arsunan Arsin. Epidemiologi
doi:10.1371/journal.pntd.0002447 Filarsiasis di Indonesia. (Asti
Kumar A, Sachan P. Measuring impact on Pratiwi D, ed.). Jakarta; 2016.
filarial infection status in a Offei M, Anto F. Bacteriology &
community study : Role of Parasitology Compliance to Mass
coverage of mass drug Drug Administration Programme
administration (MDA). for Lymphatic Filariasis
2014;31(2):225-229. Elimination by Community
Pawenang M dan. Unnes Journal of Public Members and Volunteers in the
Health. 2016;5(3):195-204. Ahanta West District of Ghana.
Syuhada Y, W NE. Studi Kondisi 2014;5(1):1-6. doi:10.4172/2155-
Lingkungan Rumah dan Perilaku 9597.1000180
Masyarakat Sebagai Faktor Risiko Kementerian Kesehatan. Filariasis :
Kejadian Filariasis di Kecamatan Menuju Indonesia Bebas Filariasis
Buaran dan Tirto Kabupaten 2010. 2014.
Pekalongan (Study Of Agustianingsih D. Praktik Pencegahan
Environmental And Behavioral As Filariasis. Jurnal Kesehatan
Risk Factor Of Filariasis In Masyarakat. 2013;8(2):190-197.
District Of Buaran And Tirto Notoadmodjo S. Ilmu Perilaku Kesehatan.
Pekalo. 2012;11(1):95-101. I. Jakarta: Rineka Cipta; 2010.
Santi SM, Sabrian F, Karim D. Efektifitas Rizky A. Analisis Faktor Resiko Kejadian
Pendidikan Kesehatan Penyakit Filariasis. Unnes Journal
Menggunakan Media Audiovisual of Public Health. 2014;3(1):1-12.
Terhadap Perilaku Pencegahan Setiani AO. Faktor Lingkungan dan
Filariasis. 2014;1(2). Perilaku Masyarakat yang
Sitorus H. Pengetahuan Tokoh Berhubungan dengan Kejadian
Masyarakat dan Kader Kesehatan Filariasis di Kabupaten Sambas
Tentang Program Eliminasi Environmental and Community
Filariasis Limfatik di Kecamatan Behavior Factor Associated With
Pemayung Kabupaten Batanghari The Incidence of Filariasis in
Provinsi Jambi. 2016;8 Sambas District. 2012;11(2):199-
(November):93-100. 207.
Hapsari. Tentang Filariasis Limfatik Colin G. Scanes dan Samia R. Toukhsati.
Community Knowledge , Attitude Animal and Human Society. I.
And Practice About Lymphatic (Kristy Gomez, ed.). London;
Filariasis In Madang Suku III Sub 2017.
District , Oku. 2012. Yusuf Muri A. Metode Penelitian
Bharti AR, Nally JE, Ricaldi JN, et al. Kuantitatif Kualitatif dan
Reviews Leptospirosis : a zoonotic Penelitian Gabungan. I. Jakarta :
disease of global importance. Prenadamedia Grup;2014

You might also like