Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Coccidiosis Disease in Cattle in Indonesia and Development of Diagnostic Techniques

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 13

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/338773456

Coccidiosis Disease in Cattle in Indonesia and Development of Diagnostic


Techniques

Article  in  Indonesian Bulletin of Animal and Veterinary Sciences · September 2019


DOI: 10.14334/wartazoa.v29i3.2010

CITATION READS

1 2,021

2 authors:

Fitrine Ekawasti April Hari Wardhana


Indonesian Research Center for Veterinary Sciences Indonesian Agency for Agricultural Research and Development
23 PUBLICATIONS   28 CITATIONS    177 PUBLICATIONS   297 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Coccidiosis View project

Trypanosomiasis View project

All content following this page was uploaded by April Hari Wardhana on 29 April 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


WARTAZOA Vol. 29 No. 3 Th. 2019 Hlm. 133-144 DOI: http://dx.doi.org/10.14334/wartazoa.v29i3.2010

Penyakit Koksiodosis pada Sapi di Indonesia dan Perkembangan


Teknik Diagnosisnya
(Coccidiosis Disease in Cattle in Indonesia and Development of
Diagnostic Techniques)

Fitrine Ekawasti dan AH Wardhana

Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata No. 30, Bogor 16114
Kontributor utama: fitineekawasti@gmail.com

(Diterima 31 Juli 2019 – Direvisi 20 Agustus 2019 – Disetujui 4 September 2019)

ABSTRACT

Coccidiosis is a parasitic disease caused by the protozoan of the order Coccidia, the family Eimeriidae of the genus Eimeria
which breeds rapidly in the digestive tract and is the most difficult disease to be controlled on cattle farms. Eimeria spp. in cattle
can cause high economic losses and increase susceptibility against infectious diseases. Therefore, coccidiosis in cattle needs
attention from the government. This paper describes a number of diagnostic methods that can be used in the detection of Eimeria
spp. in cattle based on the goals and objectives of the examination. The coccidiosis cases often do not show any clinical
symptoms but can cause sudden death in livestock. The diagnostic method that still used at present is based on its morphology
that should not be used in identifying Eimeria species because the morphological characteristics Eimeria spp. have similar shape
and size structures between species (resembling morphology). An appropriate diagnostic method for Eimeria is needed in the
context of controlling coccidiosis strategically.
Key words: Diagnose, coccidiosis, Eimeria spp., cattle, Indonesia

ABSTRAK

Koksidiosis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh protozoa ordo Koksidia, famili Eimeriidae genus Eimeria
yang cepat berkembang biak di saluran pencernaan dan paling sulit dikendalikan di peternakan sapi dibandingkan dengan
protozoa gastrointestinal lainnya. Infestasi Eimeria spp. pada sapi dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang tinggi dan dapat
meningkatkan kerentanan terhadap adanya infeksi penyakit menular lainnya sehingga penyakit koksidiosis pada sapi perlu
mendapat perhatian dari pemerintah. Tulisan ini mengulas tentang koksidiosis pada sapi dan beberapa metode diagnosis yang
dapat digunakan dalam deteksi Eimeria spp. pada sapi sesuai dengan sasaran dan tujuan pemeriksaan. Kasus koksidiosis sering
tidak menunjukkan gejala klinis dan tiba-tiba dapat langsung menyebabkan kematian ternak. Metode diagnosis yang masih
sering digunakan sampai saat ini adalah identifikasi morfologi yang sebenarnya tidak dapat dijadikan acuan dalam identifikasi
spesies Eimeria, karena karakteristik morfologi Eimeria spp. memiliki struktur bentuk dan ukuran yang mirip antar spesies
(resembling morphology). Diperlukan metode diagnosis spesies Eimeria yang tepat dalam rangka strategi pengendalian penyakit
koksidiosis.
Kata kunci: Diagnosis, koksidiosis, Eimeria spp. sapi, Indonesia

PENDAHULUAN mengimplementasikan Upaya Khusus Sapi Indukan


Wajib Bunting (UPSUS SIWAB).
Ternak sapi potong di Indonesia merupakan salah Manajemen pemeliharaan sapi potong tidak lepas
satu komoditas peternakan yang menjadi tumpuan dari kendala yang berpotensi menghambat produksi
pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan protein daging ataupun menurunkan daya reproduksi ternak,
hewani per kapita di Indonesia. Direktorat Jendral seperti gangguan kesehatan akibat penyakit tertentu.
Peternakan dan Kesehatan Hewan menyebutkan bahwa Jonsson et al. (2011) dan Lassen et al. (2014)
populasi sapi potong di Indonesia mengalami melaporkan bahwa salah satu penyakit yang sering
peningkatan dari tahun ke tahun. Data statistika dijumpai pada industri sapi potong adalah koksidiosis,
menunjukkan populasi sapi pada tahun 2018 mencapai yaitu penyakit parasitik pada saluran pencernaan yang
17.050.000 ekor (Kementan RI 2018). Kendati disebabkan oleh Eimeria spp. Parasit ini mampu
demikian, pemeritah Indonesia masih terus berusaha menyebabkan diare akut dan sekitar 75% kasus
untuk meningkatkan populasi sapi potong dengan koksidiosis pada pedet berakhir dengan kematian
(Daugschies & Najdrowski 2005; Bruhn et al. 2011).

133
WARTAZOA Vol. 29 No. 3 Th. 2019 Hlm. 133-144

Ekawasti et al. (2019) melaporkan prevalensi pengendalian koksidiosis pada sapi (Heidari &
koksidiosis di Banten mencapai 63,9% pada pedet, Gharekhani 2014). Selama ini, diagnosis koksidiosis di
75% pada sapi berumur 1 – 2 tahun dan 42,3% pada lapang banyak berdasarkan teknik parasitologis, yaitu
sapi berumur lebih 2 tahun. Sebagian besar kasus menggunakan uji apung (whitlock) dengan melakukan
koksidiosis disebabkan oleh jenis Eimeria patogen, pengamatan morfologi dibawah mikroskop. (Ananta et
yaitu Eimeria bovis dan E. zuerni. al. 2014; Hamid et al. 2016). Namun demikian, teknik
Eimeria spp. adalah salah satu protozoa saluran ini memiliki beberapa kelemahan karena karakteristik
pencernaan yang susah untuk dikendalikan di industri morfologi antar spesies Eimeria mempunyai ciri bentuk
peternakan. Penyakit ini dilaporkan mampu dan ukuran yang hamper sama (Sánchez et al. 2008).
mempengaruhi pertumbuhan, produktivitas serta Oleh karena itu, para peneliti mengembangkan
tingkat morbiditas dan mortalitas ternak (Astiti et al. beberapa modifikasi teknik pemeriksaan spesies
2011; Marquez 2014). Sejauh ini, lebih dari 20 spesies Eimeria baik secara parasitologis maupun molekuler
Eimeria yang telah diidentifikasi pada ternak dan 13 untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas teknik
diantaranya menyerang sapi, yaitu E. alabamensis, E. diagnosis yang digunakan di laboratorium. Tulisan ini
auburnensis. E. bovis, E. brasiliensis, E. mengulas tentang penyakit koksidiosis pada sapi di
bukidnonensis, E. canadensis, E. cylindrica, E. Indonesia dan beberapa pengembangan teknik deteksi
ellipsoidalis, E. illinoisensis, E. pellita, E. subspherica, Eimeria spesies yang mulai banyak digunakan
E. wyomingensis dan E. zuernii (Sanchez et al. 2008; dinegara-negara maju dan sedang berkembang.
Bruhn et al. 2011). Adapun spesies Eimeria spp. pada
sapi yang memiliki tingkat patogenitas tinggi adalah E.
bovis dan E. zuernii karena kedua spesies tersebut EIMERIA SPP. PADA SAPI
dapat menyebabkan kematian, terutama pada ternak
muda (Rehman et al. 2011; Koutny et al. 2012). Eimeria spp. merupakan protozoa obligate
Walaupun Eimeria spp. yang non patogen tidak intracellular yang menyerang sel-sel epitel dan
menimbulkan kematian, namun spesies-spesies tersebut kelenjar-kelenjar pada saluran pencernaan sehingga
menyebabkan kerusakan pada jaringan sehingga menyebabkan koksidiosis pada hewan (Makau 2014).
meningkatkan kepekaan terhadap infeksi penyakit Oosista Eimeria spp. berbentuk bulat, ovoid dan elips
menular lainnya. Ekawasti et al. (2019) menyatakan dengan permukaan dinding oosista halus, homogen,
bahwa koksidiosis berpotensi sebagai pembuka pintu dan transparan. Umumnya oosista tidak berwarna,
terhadap agen-agen penyakit lainnya, seperti virus, namun beberapa diantaranya mempunyai warna kuning
bakteri, jamur atau parasit lainnya. Oleh karena itu, muda (Gambar 1). Ukuran panjang oosista Eimeria
manajemen strategi pengendalian koksidiosis pada spp. berkisar antara 10 sampai 50 μm dan memiliki
industri peternakan harus diperhatikan, terutama shell refractil. Beberapa spesies memiliki granula
melakukan deteksi untuk mengetahui spesies Eimeria kutub, oosista dan mikrofil atau pori kecil di salah satu
yang berdistribusi di peternakan tersebut. Strategi ujung yang tertutup oleh topi mikrofil. Setiap oosista
pengendalian yang kurang tepat akan meningkatkan dari spesies Eimeria mempunyai 4 sporosista dan
kasus kosksidiosis karena oosista akan terus mencemari masing-masing sporosista terdiri atas 2 sporozoit.
lingkungan dan berpotensi menjadi sumber penularan Sporozoit berisi inti sporozoit, gelembung refractil
bagi ternak, khususnya ternak muda. yang jernih dari bahan protein, residu sporosista dan
Teknik diagnosis yang akurat juga memegang badan stida terdapat pada ujung sporozoit (Gambar 1;
peranan penting dalam strategi pencegahan dan Daugschies & Najdrowski 2005).

10 µm
1
µ
m
Gambar 1. Struktur oosista Eimeria spp. bersporulasi
Sumber: Florião et al. 2016 (Modifikasi)

134
Fitrine Ekawasti dan AH Wardhana: Perkembangan Teknik Diagnosis Koksidiosis pada Sapi di Indonesia

Perbedaan beberapa spesies Eimeria ditentukan sporosista diaktifkan oleh tripsin agar keluar dari
menurut bentuk, ukuran, warna oosista, waktu dan sporosista untuk mengalami fase perbanyakan/
tempat sporulasi, keberadaan mikrofil dan ketebalan multiplikasi secara aseksual (skizogoni) di usus halus.
dinding oosista serta karakter fisiologisnya. Struktur Sporozoit menginfeksi sel epitel usus dan membulat
oosista Eimeria spp. yang telah bersporulasi dapat menjadi meront dan memulai fase seksual
dilihat pada Gambar 1. Bentuk dan ukuran Eimeria (gametogoni) menjadi gametosit jantan (mikrogamet)
spp. mirip satu sama lain sehingga sulit diidentifikasi dan betina (makrogamet). Mikrogamet dan
secara mikroskopis. Struktur internal dari oosista yang makrogamet mengalami proses fertilisasi untuk
telah sporulasi merupakan ciri yang dapat digunakan menghasilkan zigot. Zigot akan terlapisi dinding sista
untuk membedakan Eimeria dengan protozoa dari membentuk oosista yang akan keluar melalui tinja ke
famili Eimiriidae yang lainnya seperti isospora lingkungan dan mengalami sporulasi pada kondisi
(Oluwadare 2004). optimal membentuk oosista infektif di lingkungan
Siklus hidup Eimeria spp. terjadi di dalam tubuh (Makau 2014; Keeton & Navarre 2018).
inang (endogenus) dan di lingkungan (eksogenus) Tahap sporulasi (sporogoni) terjadi di luar tubuh
(Gambar 2). Eimeria spp. hanya membutuhkan inang inang dengan waktu sporulasi selama beberapa hari
tunggal untuk melengkapi seluruh proses siklus hingga beberapa minggu tergantung pada spesies,
hidupnya yang bersifat langsung. Parasit ini tidak ketersediaan oksigen, kelembaban dan suhu. Selama
memerlukan vektor biologis untuk perkembangbiak- proses sporulasi, sitoplasma sel akan rusak dan terjadi
annya, tetapi vektor mekanik seperti lalat atau insekta perkembangan sporozoit di dalam sporosista (Lassen &
lainnya dilaporkan membantu dalam menyebarkan Jarvis 2009; Makau 2014; Keeton & Navarre 2018).
oosista infektif dari tinja ke lingkungan yang baru Oosista infektif memiliki protoplasma yang
(Indraswari et al. 2017). mengandung massa nukleus dengan dinding pelindung
Siklus hidup Eimeria spp terdiri atas skizogoni, yang tahan terhadap pengaruh fisik, kimia ataupun
gametogoni dan sporogoni. Fase siklus hidup ini terhadap aktivitas bakteri di lingkungan (Lassen &
Eimeria spp. dimulai dari tertelannya oosista infektif Jarvis 2009). Oosista Eimeria spp. infektif (berspora)
oleh ternak melalui air minum atau pakan yang dapat bertahan dalam waktu yang lama di bawah
terkontaminasi (Indraswari et al. 2017). Selanjutnya, kondisi lingkungan baik ataupun ekstrim (Lassen et al.
dinding oosista Eimeria spp. pecah dan melepaskan 2014; Indraswari et al. 2017).
sporosista, kemudian sporozoit yang ada di dalam

Gambar 2. Siklus hidup Eimeria spp

Sumber: Keeton & Navarre 2018 (modifikasi)

135
WARTAZOA Vol. 29 No. 3 Th. 2019 Hlm. 133-144

Faktor predisposisi Koksidiosis sering terjadi pada musim dingin atau


hujan dibandingkan dengan musim kering (Makau
Faktor pendukung yang dapat mempengaruhi 2014), karena memiliki suhu dan kelembaban yang
kejadian koksidiosis dengan variasi gejala klinis, yaitu cocok terhadap perkembangan oosista infektif (Lassen
jumlah oosista yang tertelan, keadaan hewan dan & Jarvis 2009; Keeton & Navarre 2018).
lingkungan (Maas 2007; Makau 2014). Jika jumlah Pola manajemen pemeliharaan dan perkandangan
oosista per gram (OPG) tinja diatas 5.000 oosista yang juga sangat mempengaruhi angka prevalensi kejadian
tertelan, maka dapat menimbulkan gejala klinis koksidiosis, seperti kepadatan kandang, kepadatan
koksidiosis pada sapi (Bangoura et al. 2012). populasi di area pengembalaan, kadar oksigen dan
pencahayaan dalam kandang, sanitasi, drainase, sistem
pemberian pakan dan sumber air minum (Bangoura et
Faktor hewan al. 2012). Prevalensi infeksi dan intensitas infestasi
Eimeria spp. lebih tinggi pada sapi yang digembalakan
Tingkat kejadian koksidiosis dipengaruhi oleh dibandingkan sapi yang dikandangkan, karena resiko
kondisi atau karakter hewan seperti ras, umur dan jenis kontaminasi Eimeria spp. lebih kecil terjadi di
kelamin (Malek & Kuraa 2018). Bovine Eimeria kandang. Sapi yang dikandangkan dapat memiliki
umumnya dapat menginfeksi semua ras sapi (Makau peluang kontaminasi lebih besar jika menggunakan alas
2014), namun pada kejadian koksidiosis di Nigeria, kandang tanpa semen dibandingkan menggunakan alas
sapi potong memiliki nilai prevalensi lebih tinggi semen karena tipe alas kandang tanpa semen sulit
dibanding sapi perah (Oluwadare 2004). Laporan lain dibersihkan (Rehman et al. 2011; Bangoura et al.
menyebutkan bahwa koksidiosis lebih tinggi 2012).
dibandingkan dengan jenis ras sapi lainnya di Brazil Selain faktor hewan dan lingkungan, tingkat
(Bruhn et al. 2011). Ditinjau dari status biologisnya, kejadian koksidiosis juga dipengaruhi oleh tipe
umur anak sapi kurang dari satu tahun, mulai dari usia patogenitas spesies Eimeria. Disamping itu, variasi
3 minggu sampai 6 bulan lebih rentan terinfeksi tingkat patogenitas spesies Eimeria pada sapi dapat
Eimeria spp. karena tingkat imunitasnya yang masih mempengaruhi tingkat keparahan dan variasi gejala
rendah sehingga mudah tertular dari sapi yang lebih klinis. Tipe patogenitas Eimeria spp. didasarkan oleh
dewasa apabila dicampurkan dalam satu kandang beberapa faktor, antara lain jumlah sel atau jaringan
(Bruhn et al. 2011; Davoudi et al. 2011; Heidari & inang yang rusak, jumlah merozoit dan lokasi parasit di
Gharekhani 2014). Oosista mulai dapat ditemukan pada dalam jaringan sel inang (Mundt et al. 2005). Satu
tinja pedet umur 5 minggu dengan prevalensi infeksi oosista Eimeria spp. patogen dapat menyebabkan
mencapai 20-35% dan meningkat hingga 60-70% pada kerusakan 50 juta sel usus halus yang disebabkan oleh
pedet berumur 7 minggu (Matsubayashi et al. 2009). akumulasi dari proses peradangan dan gangguan pada
Sapi dewasa umumnya relatif lebih tahan dari lapisan sel sehingga menyebabkan kebocoran sel dan
koksidiosis karena telah memiliki tingkat kekebalan pendarahan (haemorhagi). Akibatnya, sapi mengalami
(imunitas) yang cukup dari paparan infeksi Eimeria kehilangan banyak darah, air dan protein yang
spp. sebelumnya sehingga sistem imunitas meningkat menyebabkan proses penyerapan nutrisi tidak efisien
secara sempurna (Heidari & Gharekhani 2014). Sapi bahkan dalam kondisi yang parah dapat menyebabkan
betina dilaporkan lebih rentan terhadap infeksi Eimeria kematian (Pedersen 2013).
spp. dibanding sapi jantan (Khan et al. 2013; Fitriastuti
et al. 2011). Kondisi ini terkait dengan keadaan
fisiologis, stress dan berhubungan dengan masa Gejala klinis
kebuntingan atau kelahiran (Manya et al. 2008).
Namun pada daerah tertentu, kejadian koksidiosis lebih Perjalanan klinis penyakit ini bervariasi antara 4 -
tinggi pada sapi jantan dibanding sapi betina (Dawid et 14 hari (Oluwadare 2004; Daugschies & Najdrowski
al. 2012; Doviansyah 2015; Sufi et al. 2016), karena 2005). Eimeria spp. dapat menginduksi terjadinya
kandang sapi jantan relatif jarang dibersihkan enteritis serta mengakibatkan terjadinya diare pada
dibandingkan dengan kandang sapi betina yang selalu ternak. Umumnya infeksi ringan ditandai dengan
dibersihkan pada saat pemerahan (Doviansyah 2015). terjadinya diare ringan yang berlangsung sekitar 5 - 7
hari (Daugschies & Najdrowski 2005). Pada infeksi
berat dapat menyebabkan pertumbuhan rambut pada
Faktor lingkungan kulit hewan menjadi kasar, anoreksia dan diare yang
hebat dengan tinja cair bercampur mukus dan darah
Faktor lingkungan yang terdiri dari kondisi musim yang berwarna merah sampai kehitaman. Reruntuhan
atau iklim (suhu dan kelembaban) dan manajemen sel-sel epitel yang bercampur tinja cair sering
peternakan dapat mempengaruhi tingkat prevalensi mengotori daerah sekitar perianal, kaki belakang dan
kejadian koksidiosis (Matsubayashi et al. 2009). pangkal ekor. Kematian dapat terjadi akibat diare parah

136
Fitrine Ekawasti dan AH Wardhana: Perkembangan Teknik Diagnosis Koksidiosis pada Sapi di Indonesia

yang disebabkan oleh depresi, dehidrasi, bobot badan Kejadian koksidiosis juga telah dilaporkan di
menurun, kehilangan elektrolit, pendarahan usus atau beberapa wilayah di Jawa Tengah, meliputi lokasi
adanya infeksi sekunder dari mikroorganisme lain dan Wonogiri 43,2% (Nugroho 2013), Boyolali 48,3%
pada saat kondisi diare, hewan terus merejan sehingga (Sumiarto 2013), Klaten 41,4% (Budiharta 2013), dan
mengakibatkan prolapsus rektum pada sapi (Fraser Sleman 78% (Raharjo 2013) serta di beberapa
2006). kabupaten, yaitu Kabupaten Karanganyar 38,7%
Mundt el al. (2005) menyatakan bahwa gejala (Istiyani 2013), Kabupaten Wonogiri 43,24% (Ardianto
klinis tergantung pada keseimbangan antara imunitas 2013), Kabupaten Sragen 38,78% (Nanditya 2014), dan
dengan dosis infeksi. Diagnosis koksidiosis yang Kabupaten Boyolali 48,2% (Wicaksana 2013).
didasarkan pada gejala klinis saja dapat dikelirukan Menurut Taryu (2015) berdasarkan identifikasi
dengan gejala klinis dari penyakit intestinal lainnya. morfologi oosista secara konvensional infeksi Eimeria
Sebagai contoh, diare berair pada ternak tidak hanya yang terjadi di SPR Bojonegoro disebabkan oleh 10
disebabkan oleh Eimeria spp. tetapi dapat disebabkan spesies yaitu E. subspherica, E. zuernii, E.
oleh agen penyakit yang lain, seperti giardiasis dan ellipsoidalis, E. bovis, E. brasiliensis, E. pellita, E.
cryptosporidiosis. Dalam beberapa kasus, sapi tidak wyomingensis, E. auburnensis, E. canadensis dan E.
menunjukkan gejala klinis meskipun terdapat oosista bukidnonensis. Infeksi tertinggi disebabkan oleh E.
Eimeria pada tinjanya. Walaupun sapi menunjukkan bovis 77.5% sedangkan infeksi terendah disebabkan
gejala subklinis, namun tetap menyebabkan lesi-lesi oleh E. subspherica 4.5%. Sebanyak 64.9% terjadi
pada saluran pencernaan sapi yang merusak mukosa infeksi campuran 2 sampai 6 spesies Eimeria di setiap
usus. Kerusakan mukosa usus disebabkan oleh fase sampel. Prevalensi Eimeria zuernii dan Eimeria bovis
seksual Eimeria spp. yang dapat mengakibatkan yang juga dideteksi melalui pengamatan morfologi
gangguan penyerapan nutrisi sehingga memengaruhi oosista dari tinja sapi di Bandung berkisar 3,7% sampai
kesehatan, produksi dan performa sapi (Lassen & 8,7% (Iskandar 2007).
Jarvis 2009). Laporan prevalensi koksidiosis pada sapi secara
molekuler dengan menggunakan PCR di Pulau Jawa
pertama kali di publikasi oleh Ekawasti et al. (2019).
KOKSIDIOSIS PADA SAPI DI INDONESIA Berdasarkan penanda molekuler yang spesies spesifik
mampu dideteksi prevalensi koksidiosis menurut
Kejadian koksidiosis di Indonesia telah dilaporkan spesiesnya, antara lain 10.4% E. bovis, 2.8% E.
di beberapa daerah di Indonesia. Pengujian koksidiosis ellipsoidalis, 2.1% E. alabamensis, 1.4% E. zuernii,
berdasarkan pengamatan morfologi oosista Eimeria 1.1% E. auburnensis, dan 0.4% E. cylindrica, serta
spp. pada sampel tinja. Fitriastuti et al. (2011) infeksi campuran 2 sampai 4 spesies Eimeria sebanyak
melakukan pemeriksaan pada sapi potong yang diambil 26,3%. Data yang dilaporkan menunjukkan bahwa E.
dari Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi bovis (Eimeria patogen) memiliki prevalensi yang
Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, paling tinggi dibandingkan dengan spesies yang
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan lainnya.
Tengah dan Maluku dengan hasil 10% negatif, 2%
infeksi berat dan 88% infeksi ringan. Kejadian
koksidiosis juga dilaporkan di Cibungbulang, Bogor, Perkembangan teknik diagnosis koksidiosis
Jawa Barat sebesar 20% (Dewi et al. 2016).
Survei yang dilakukan oleh Balai Veteriner Diagnosis suatu penyakit secara umum dapat
Subang pada tahun 2013 menunjukkan tingkat kejadian diawali dengan pengamatan gejala klinis dan tingkat
koksidiosis di Jawa Barat sebesar 47,8% (B-Vet 2013) kematian yang terjadi pada sapi (Suardana & Budiharta
dan survei yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran 2007). Namun demikian, menurut Maas (2007) bahwa
Hewan Institut Pertanian Bogor menunjukkan bahwa penegakan diagnosis koksidiosis tidak disarankan
tingkat prevalensi koksidiosis pada sapi potong di hanya berdasarkan gejala klinis saja. Perlu dilakukan
peternakan rakyat di Jawa Barat dilaporkan sangat uji lanjutan di laboratorium dengan metode yang tepat.
bervariasi, yaitu Sumedang 59,2%, Tasikmalaya 4,1%, Beberapa metode pemeriksaan koksidiosis di
dan Cianjur, Ciamis, Sukabumi dan Subang, yaitu laboratorium dapat dilakukan secara konvensional
berkisar antara 19,1% sampai 23,7% (IPB 2012), serta maupun molekuler, yang meliputi pemeriksaan secara
di Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) Kecamatan kuantitatif dan kualitatif. Pemilihan metode yang tepat
Kasiman Kabupaten Bojonegoro sebesar 41.7% (Taryu perlu dipertimbangkan sesuai sasaran dan tujuan
2015). Sufi et al. (2016) melaporkan kejadian pemeriksaan karena masing-masing teknik diagnosis
koksidiosis yang dapat terjadi juga pada sapi perah di memiliki kelemahan dan keunggulan yang berbeda.
Koperasi Peternak Sapi Bandung Selatan (KPBS)
mencapai 44,75%.

137
WARTAZOA Vol. 29 No. 3 Th. 2019 Hlm. 133-144

Metode konvensional menjadi dua metode, yaitu secara kuantitatif dan


kualitatif.
Deteksi oosista Eimeria spp dalam sampel tinja
adalah kunci utama untuk menegakan diagnosis
Metode kuantitatif
koksidiosis. Sejauh ini, metode konvensional
merupakan metode yang paling popular dan banyak
Teknik Mc. Master dan whitlock merupakan meto-
digunakan di laboratorium melalui pemeriksaan
de kuantitatif dengan menghitung jumlah oosista pada
mikroskopis dengan pengamatan morfologi bentuk,
sampel tinja untuk mendapatkan jumlah ookista per
ukuran dan warna oosista Eimeria. Selain sederhana
gram tinja (OPG) yang dapat membantu dalam
dan murah, metode ini juga mudah dilakukan (Hamid
mengetahui tingkat keparahan koksidiosis sebagai
et al. 2006; Ekawasti et al. 2019). Beberapa teknik
penyebab penyakit klinis (Mundt et al. 2005). Metode
konvensional memerlukan waktu yang lebih lama
kuantitatif yang memiliki keunggulan dapat
dalam proses identifikasi dan tingkat akurasi yang
mengetahui derajat keparahan koksidiosis, namun juga
rendah. Umumnya, infeksi Eimeria spp. pada ternak
memiliki kelemahan, yaitu kurang sensitif dan hanya
terjadi dalam bentuk infeksi campuran (infeksi lebih
terbatas pada identifikasi arah genus. Oleh karena itu,
dari satu spesies). Namun demikian, karakteristik
morfologi dan perubahan patologisnya masing-masing teknik ini hanya dapat digunakan sebagai uji skrining
terhadap koksidiosis (Ekawasti et al. 2019).
spesies Eimeria spp relatif serupa sehingga sulit untuk
dideteksi spesies Eimeria secara akurat melalui metode
konvensional (Mirani et al. 2012). Metode kualitatif
Selain berdasarkan pengamatan morfologi oosista,
deteksi spesies secara patologi anatomi juga dapat Pemeriksaan sampel secara kualitatif dengan
dilakukan berdasarkan lokasi lesi-lesi yang ditimbulkan menentukan positif dan negatif keberadaan oosista
oleh Eimeria spp. Beberapa spesies tertentu dilaporkan Eimeria spp. dapat dilakukan dengan metode apung
memiliki daerah predileksi yang khas. Spesies Eimeria sentrifus atau dengan apusan langsung (natif) (Zajac &
spp. pada sapi berdasarkan karakteristik morfologi dan Conboy 2006). Metode apung modifikasi merupakan
lokasi lesi pada usus dapat dilihat pada Tabel 1. metode konsentrasi yang lebih sensitif terhadap
Oosista Eimeria merupakan oosista yang memiliki diagnosis oosista koksidia dan memerlukan jumlah
berat jenis lebih ringan daripada berat jenis air, sampel yang lebih sedikit dibandingkan dengan metode
sehingga pada metode konvensional ini digunakan kuantitatif (Ekawasti et al. 2019). Namun, teknik
garam atau gula jenuh untuk mengapungkan oosista diagnosis ini juga hanya terbatas pada identifikasi
Eimeria spp. (flotasi tinja) sehingga mudah untuk oosista Eimeria tingkat genus, sehingga diperlukan uji
dikoleksi dan diperiksa. Pemeriksaan secara lanjutan untuk menentukan spesies Eimeria.
konvensional (coprological examination) terbagi
Tabel 1. Karakteristik oosista Eimeria spp. pada sapi

Ukuran (µm)
Spesies Bentuk Lokasi Predileksi
P L
Eimeria alabamensis 12-24 11-16 Ovoid/piriform/asimetri Usus kecil (usus halus, sekum, kolon)
Usus kecil (Lokasi sepertiga bagian tengah dan
Eimeria auburnensis 32-46 20-25 Ovoid/ellipsoid
bawah dari usus).
Merogoni terjadi di usus kecil. Gametogoni di
Eimeria bovis 23-34 17-23 Ovoid/subellipsoidal
bagian terminal dari ileum dan sekum.
Tahap merogoni dan gametogoni ada di usus
Eimeria ellipsoidalis 20-26 13-17 Ellipsoid/silindris
kecil dari hospes.
Tahap merogoni dan gametogoni berada di
Eimeria cylindrica 16-27 12-15 Ellipsoid/subssilindris
usus kecil.
Usus besar, sekum, dan rektum sapi muda
Eimeria zuernii 13-22 13-18 Subspherical/ellipsoid
(ditemukan di lamina propis ileum bawah).

Sumber: Daugschies &Najdrowski (2005) dan Slobodian et al. (2017) (Modifikasi)

P = panjang; L= lebar

138
Fitrine Ekawasti dan AH Wardhana: Perkembangan Teknik Diagnosis Koksidiosis pada Sapi di Indonesia

Adapun metode kualitatif lain melalui metode sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan secara
pengukuran panjang dan lebar oosista secara morfologi konvensional. Beberapa kasus koksidiosis yang
yang telah dikembangkan adalah metode komputerisasi dinyatakan negatif pada pemeriksaan secara
Coccimorph. Metode ini dilakukan dengan cara konvensional dikoreksi menjadi positif terinfeksi
pengambilan fotomikrograf (foto digital) oosista Eimeria spp berdasarkan pemeriksaan ELISA
Eimeria spp yang bersporulasi dengan perbesaran 400 (Partially Purified Antigen). Laporan ini membuktikan
X. Identifikasi Eimeria spp. dilakukan dengan bahwa tingkat sensitivitas ELISA lebih tinggi
menggunakan perangkat lunak Coccimorph (http: dibandingkan dengan metode konvensional. Namun
//www.coccidia.icb.usp.br/coccimorph/). Perangkat demikian, kit ELISA Eimeria spp belum banyak di
lunak dapat diunduh secara online dari internet yang pasar dan secara ekonomis harganya relatif mahal dan
selanjutnya dicocokkan dengan gambar-gambar oosista memerlukan operator dengan keahlian khusus (Toaleb
berdasarkan spesies pada software tersebut. Eimeria et al. 2011).
spp. diidentifikasi oleh perangkat lunak dalam setiap
sampel dicatat (Gussem 2007).
Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel
Aplikasi komputerisasi Coccimorph dapat
Elektroforesis (SDS-PAGE) dan Western Blot
digunakan untuk mengganti metode konvensional
manual di laboratorium klinis dan fotomikrograf yang (Immunoblotting)
diunggah melalui internet sudah cukup untuk
mendapatkan diagnosis spesies (Gussem 2007; Eassa et Metode ini ditujukan untuk mendeteksi ekspresi
al. 2019). Secara ekonomis, metode ini terbilang murah protein (antigen) suatu organisme, termasuk Eimeria
dan lebih hemat jika diaplikasikan di laboratorium, spp. Elusi fraksi antigen Eimeria spp. dilakukan
terutama laboratorium yang tidak memiliki fasilitas menggunakan SDS-PAGE. Berat molekul standar
biologi molekuler. Namun apabila ditinjau dari segi diaplikasikan dalam gel yang sama untuk menghitung
identifikasi ke arah spesies, keakuratan deteksinya molekul bobot komponen yang diperiksa. Fraksi
tergantung dari kualitas fotomikrograf yang dihasilkan. protein yang dipisahkan secara elektroforesis diwarnai
Metode ini lebih sesuai digunakan untuk skrining kasus dengan pewarna Commassie blue yang terang (Toaleb
koksidiosis pada suatu peternakan. et al. 2011). Umumnya teknik SDS PAGE ini
dilanjutkan dengan metode Western Blot.
Western blot adalah teknik analisis yang banyak
Metode molekuler digunakan dalam biologi molekuler dan imunogenetika
untuk mendeteksi protein spesifik dalam sampel
Berbeda dengan metode konvensial, identifikasi menggunakan elektroforesis gel sehingga terjadi
secara molekuler bertujuan menentukan mendeteksi fraksinasi protein berdasarkan bobot molekulnya oleh
spesies Eimeria spp. dan keragaman genetik baik jarak polipeptida atau oleh struktur 3-D protein.
intraspesies atau interspesies (Kokuzawa et al. 2013). Selanjutnya, protein yang telah terfraksinasi tersebut
Metode molekuler yang sering digunakan untuk ditransfer ke membran sesuai dengan antibodi terhadap
mendiagnosis Bovine Coccidiosis antara lain Enzyme- target protein. Uji imunoblot digunakan untuk
Linked Immunosorbent Assay (ELISA), Western Blot, mendeteksi pita imunoreaktif dari fraksi terisolasi
Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Loop-mediated menggunakan serum sapi yang terinfeksi Eimeria
Isothermal Amplification (LAMP) secara alami. Fraksi yang paling imunogenik (F1)
memiliki satu pita imunogenik yang dapat digunakan
untuk diagnosis koksidiosis (Toaleb et al. 2011).
ELISA Setelah elektroforesis, antigen Eimeria spp.
diblotting ke nitroselulosa dalam sistem blotting.
Jenis Enzyme-Linked Immunosorbent Assay Membran nitroselulosa diinkubasi dengan sera positif
(ELISA) yang sering digunakan adalah Antibody Eimeria sapi yang telah dimurnikan dengan filtrasi gel
Immunosorbent Enzyme-linked, yaitu teknik yang kromatografi. Fraksi immunogenik (F1) adalah yang
menggabungkan antara antibodi spesifik dengan enzim paling kuat seperti nilai ELISA yang menggunakan dari
spesifik secara sederhana. ELISA memberikan tiga pita bobot molekul 225, 198, 114,5 KDa sebagai
pengukuran antigen atau antibodi yang relatif efektif antigen Eimeria spp (Ahmed & Hassan 2007).
dan memberikan hasil data kuantitatif. Metode ini
dilaporkan mampu mendeteksi keberadaan antigen
Eimeria spp yang dikenali oleh antibodi atau Polymerase Chain Reaction (PCR)
digunakan untuk menguji antibodi yang mengenali
antigen. Ahmed & Hasan (2007) menyatakan bahwa Teknik PCR primer spesifik merupakan metode
serodiagnosis ELISA dapat membuktikan terjadinya diagnosis yang efektif dan terpadu untuk mendeteksi
potensi infeksi Eimeria spp. pada sapi yang lebih spesies Eimeria baik secara individu atau simultan

139
WARTAZOA Vol. 29 No. 3 Th. 2019 Hlm. 133-144

dalam suatu reaksi (Ekawasti et al, 2019; Kawahara et Loop-mediated Isothermal Amplification (LAMP)
al. 2010). Penanda molekuler (primer DNA) gen
Internal Transcribed Spacer 1 (ITS-1) dikenal lebih Pengembangan teknik LAMP ditujukan untuk
unggul dan sensitif untuk mendeteksi spesies Eimeria memberi kemudahan bagi laboratorium yang tidak
pada sapi dibanding pemeriksaan konvensional memiliki mesin PCR. Metode ini dikembangkan
(Ekawasti et al. 2019; Kawahara et al. 2010). Malek & berdasarkan kebutuhan teknologi deteksi yang mampu
Kurra (2018) membandingkan metode konvensional mengamplifikasi basa nukleotida lebih cepat, sensitif
dan PCR (ITS-1) untuk mendeteksi kasus diare pada dan spesifik untuk mendiagnosis suatu penyakit
pedet yang terjadi di Aussiut – Mesir. Data yang infeksius. Disamping itu, metode LAMP dilaporkan
diperoleh menunjukkan bahwa PCR (ITS-1) mampu lebih murah dibandingkan dnegan PCR (Barkway et al.
meningkatkan sensititivitas deteksi koksidiosis hingga 2011). Prinsip metode LAMP didasarkan pada suhu
42 %, yaitu prevalensi 46, 7% berdasarkan metode isotermal yang dapat dilakukan dengan water bath
konvensional meningkat menjadi 88,00 % berdasarkan sehingga tidak mesin thermocycler yang harganya
metode molekular. Sementara Al-Saadoon & Al- mahal. Keunggulan metode LAMP adalah tidak
Rubaei (2018) menyatakan bahwa teknik PCR mampu memerlukan tahap isolasi dan purifikasi DNA seperti
mendeteksi 70%, sedangkan metode konvensional pada PCR, sehingga metode ini dapat lebih praktis dan
hanya sekitar 50% pada sampel tinja sapi yang efisien waktu. Metode sangat menjanjikan untuk
dikoleksi di Iraq. diaplikasikan sebagai metode diagnosis penyakit
Teknik PCR dikembangkan untuk mengatasi infeksius, khususnya di negara-negara berkembang
keterbatasan pemeriksaan secara morfologis. Penanda (Pooja et al. 2014; Feranisa 2016).
molekuler dapat dirancang secara khusus sehingga Ekstraksi DNA dilakukan dengan cara sederhana
mampu mendeteksi parasit hingga ke aras spesies. menggunakan metode merebus. Deteksi dapat
Sebanyak delapan spesies Eimeria berhasil dideteksi dilakukan dengan pengamatan mata telanjang
dengan teknik ini pada pedet yang mengalami diare menggunakan pewarna interkalasi (cyber green).
secara alami. Berdasarkan spesiesnya, infeksi E. zuerni Secara keseluruhan, metode ini dapat dikatakan sebagai
(51,4%) dan E. bovis (31,4%) dilaporkan sebagai dua molekuler konvensional yang efektif dan hemat biaya
spesies Eimeria patogen yang mendominasi kejadian sebagai alternatif pengganti PCR untuk diagnosis
diare pada pedet tersebut (Malek & Kurra 2018). Hasil infeksi Eimeria pada ternak (Barkway et al. 2011).
yang serupa juga disimpulkan oleh Lee et al. (2018) Namun, teknik LAMP juga memiliki keterbatasan,
yang berhasil mendeteksi E. bovis dan E. zuerni yaitu kurang sensitif dibandingkan dengan PCR untuk
sebagai penyebab utama diare pada sapi di Korea sampel yang kompleks, karena perbedaan enzim
berdasarkan penanda molekular ITS-1. polimerase yang digunakan, yaitu enzim Bst DNA
Umumnya, kasus koksidosis pada ternak yang polymerase untuk LAMP dan enzim Taq polymerase
terinfeksi secara alami disebabkan oleh lebih dari satu untuk PCR. Disamping itu, metode LAMP
spesies Eimeria. Keadaan ini memicu pengembangan menggunakan 4 sampai 6 pasang primer untuk
teknik duplex atau multiplex PCR untuk memotong alur mendeteksi 6 atau 8 target sekuen gen yang
identifikasi menggunakan PCR konvensional sehingga menyebabkan penyusunan primer menjadi cukup rumit
teknik deteksi Eimeria spp. menjadi lebih cepat dan (Torres et al. 2011; Nurwidayati 2015).
murah (You 2014). Malek & Kurra (2018)
menyimpulkan bahwa 48,6% kasus diare koksidiosis
pada pedet disebabkan oleh infeksi tunggal, namun Potensi pengembangan teknik Biosensor
sekitar 51,4% merupakan infeksi campuran.
Dari segi ekonomis dan waktu yang dibutuhkan, Perkembangan teknologi yang berbasis digital di
pemeriksaan koksdiosis berdasarkan teknik duplex atau era revolusi industri 4.0 sangat pesat, termasuk piranti
multiplex PCR akan menjadi lebih murah dan cepat diagnosis penyakit berbasis biosensor untuk
dibandingkan dengan PCR tunggal (Ekawasti et al. mendeteksi organisme-organisme yang patogen (Yoo
2019). Penggunaan beberapa reagen kimia yang & Lee 2016). Metode biosensor telah dikembangkan
dibutuhkan juga relatif lebih hemat dibandingkan sekitar 32 tahun yang lalu dan banyak diaplikasikan di
dengan teknik PCR konvensional untuk pemeriksaan berbagai negara karena metodenya sederhana, dapat
sampel ke arah spesies dalam waktu yang bersamaan. dibuat dalam piranti yang mudah dibawa, umumnya
Kelemahan metode PCR adalah biaya yang dibutuhkan bentuknya mini, sedikit mengunakan bahan dan hasil
relatif mahal, memerlukan mesin Thermocycler (mesin yang diperoleh dengan metode ini sangat cepat (real
PCR) dan membutukan operator yang terlatih. time analysis) serta dapat dihubungkan dengan
perangkat android (Fournier-Wirth et al. 2010; Bahadir
& Sezginturk 2015).

140
Fitrine Ekawasti dan AH Wardhana: Perkembangan Teknik Diagnosis Koksidiosis pada Sapi di Indonesia

Secara prinsip, biosensor akan mengenali diantisipasi dengan mengimplementasikan metode


biomarka (penanda biologis) yang spesifik melalui molekuler yang mampu mendeteksi hingga ke aras
elemen yang tidak bergerak (immobilized sensing spesies. Oleh karena itu, kombinasi antara metode
element) (Vashist et al. 2014). Elemen ini disebut konvensional dan molekular menjadi teknik diagnosis
dengan bioreseptor (pengenal dari bahan bilogis) yang koksidiosis yang ideal pada industri peternakan.
dapat berupa antibodi monoklonal, RNA, DNA, glikan, Metode biosensor perlu juga dikembangkan sebagai
lektin, enzim, jaringan atau sel utuh. Bioreseptor yang teknik diagnosis alternatif yang cepat dan akurat dalam
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi mendeteksi koksidiosis sehingga strategi pengendalian
merupakan titik krusial yang penting dalam mengenali penyakit ini dapat segera ditentukan untuk
biomarka. Komponen bioreseptor juga harus mampu meningkatkan produksi ternak.
mencegah adanya hambatan (inhibitor) dan interfensi
yang berasal dari organisme bukan target yang
DAFTAR PUSTAKA
mungkin terkandung pada sampel yang diuji. Interaksi
kimia antara bioreseptor dan biomarka akan dikirim Ahmed WM, Hassan SE. 2007. Applied studies on
dalam bentuk signal elektronik pada piranti elektronik coccidiosis in growing buffalo-calves with special
khusus sehingga hasil analisis dapat diketahui pada reference to oxidant/antioxidant status. W J Zool.
waktu itu juga (real time) (Zhu et al. 2014). 2:40-48.
Menurut Vidic et al. (2017) bahwa deteksi
Al-Saadoon ZM, Al-Rubaie HMA. 2018. Traditional and
Eimeria spesies berpotensi untuk dikembangkan ke
molecular study for prevalence of coccidiosis in
arah biosensor karena penelitian-penelitian molekuler sheep in wasit-iraq. Indian J Nat Sci. 8:14394-14401.
telah banyak dikembangkan. Hasil-hasil teknologi
molekular dengan marka DNA tertentu, atau hasil Alemayehu A, Belina T, Nuru M. 2013. Prevalance of bovine
teknologi ELISA, SDS PAGE maupun LAMP dapat coccidia in kombolcha district of south wollo,
Ethiopia. J Vet Med. 5:41-45.
diadopsi untuk selanjutnya dikembangkan menjadi
piranti biosensor. Marka-marka biologis spesifik yang Ananta SM, Suharno, Hidayat, Matsubayashi M. 2014.
telah diidentifikasi berpotensi dijadikan sebagai Survey on gastrointestinal parasites and detection of
kandidat bioreseptor yang efektif untuk mengenali cryptosporidium spp. on cattle in West Java,
biomarka dari spesies Eimeria dari kasus-kasus diare Indonesia. Asian Pac J Trop Med. 7:197-201.
pada industri peternakan sapi. Pemikiran ini dapat juga Ardianto A. 2013. Prevalensi koksidiosis pada pedet di
diterapkan untuk mengembangkan teknik-teknik kabupaten wonogiri [Skripsi]. [Yogyakarta
diagnosis penyakit ternak lainnya ke arah biosensor, (Indonesia)]: Universitas Gadjah Mada.
seperti penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri, Astiti LGS, Panjaitan T, Prisdiminggo. 2011. Identifikasi
jamur maupun virus. Parasit Internal pada Sapi Bali di Wilayah
Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa Dampingan Sarjana Membangun Desa di Lokasi
masing-masing teknik diagnosis memiliki keunggulan Bima. Dalam: Prasetyo LH, Damayanti R, Iskandar S,
dan kelemahan sehingga penggunaannya harus Herawati T, Priyanto D, Puastuti W, Anggraeni A,
disesuaikan dengan target dan tujuan pemeriksaan. Tarigan S, Wardhana AH, Darmayanti NLPI,
Apabila ditujukan untuk skrining koksidiosis pada penyunting. Teknologi Peternakan dan Veteriner
industri peternakan maka metode konvensional baik untuk Peningkatan Produksi dan Antisipatif terhadap
Perubahan Iklim. Prosiding Seminar Nasional
secara kualitatif maupun kuantitatif dapat
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7-8 Juni
diaplikasikan. Namun penegakan diagnosis didasarkan 2011. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 384-
pada identifikasi spesies Eimeria yang patogen, metode 387.
molekuler harus dilakukan sehingga strategi
pengendalian penyakit ini dapat ditentukan yang Bahadir EB, Sezginturk MK. 2015. Applications of
commercial biosensors in clinical, food,
berimplikasi positif terhadap peningkatan produktivitas
environmental, and biothreat/ biowarfare analyses.
ternak. Anal Biochem. 478:107-120.
Bangoura B, Mundt HC, Schmäschke R, Westphal B,
KESIMPULAN Daugschies A. 2012. Prevalence of Eimeria bovis and
Eimeria zuernii in German cattle herds and factors
Kejadian koksidiosis pada peternakan sapi yang di influencing oocyst excretion. J Parasitol Res.
beberapa daerah di Indonesia sebagian besar hanya 110:875-881.
berdasarkan karakteristik morfologi, yaitu bentuk dan Bruhn FRP, Lopes MA, Demeu FA, Perazza CA, Pedrosa
ukuran. Penegakan diagnosis dengan teknik tersebut MF, Guimarães AM. 2011. Frequency of species of
tidak mampu membedakan spesies Eimeria yang Eimeria in females of the Holstein-Friesian breed at
patogen dan non patogen karena parasit ini memiliki the post-weaning stage during autumn and winter.
bentuk dan ukuran yang mirip. Kondisi ini dapat Rev Bras Parasitol Vet. 20:303-307.

141
WARTAZOA Vol. 29 No. 3 Th. 2019 Hlm. 133-144

Budiharta S. 2013. Prevalensi koksidiosis pada pedet di Fournier-Wirth C, Jaffrezic-Renault N, Coste J. 2010.
lokasi Klaten Jawa Tengah. Yogyakarta (Indonesia): Detection of blood-transmissible agents: can
Universitas Gadjah Mada. screening be miniaturized. Transfusion 50:2032-
2045.
[B-Vet] Balai Veteriner Subang. 2013. Laporan tahunan
penyidikan dan pengujian penyakit parasiter tahun Fraser CM. 2006. The Merck Veterinary Manual, a hand
2013. Subang (Indonesia): Balai Veteriner Subang. book of diagnosis therapy and disease prevention and
control for veterinarians. 7th ed. California (USA):
Daugschies A, Najdrowski M. 2005. Eimeriosis in cattle: National Institute of Technology.
Current understanding. J Vet Med B Infect Dis Vet
Public Health. 52:417-427. Gussem MDE. 2007. Coccidiosis in poultry: review on
diagnosis, control, prevention and interaction with
Davoudi Y, Garedaghi Y, Nourmohammadzadeh F, Eftekhari overall gut health. Proceeding of 16th European
Z, Safarmashaei S. 2011. Study on prevalence rate of Symposium on Poultry Nutrition. Strasbourg, France,
coccidiosis in diarrheic calves in East - Azerbaijan 26-30 August 2007. Beekbergen (The Netherlands):
province. Adv Environ Biol. 5:1563-1565. WPSA. p. 253-261.
Dawid F, Amede Y, Bekele M. 2012. Calf coccidiosis in Hamid PH, Yuli PK, Joko P, Liliana MRDS. 2016.
selected dairy farms of Dire Dawa, Eastern Ethiopia. Gastrointestinal parasites of cattle in Central Java.
Global Veterinaria. 9:460-464. Am J Anim Vet Sci. 11:119-124.
Dewi DA, Wardhana AH, Sawitri DH, Ekawasti F, Akbari Heidari H, Gharekhani J. 2014. Detection of Eimeria species
RA. 2016. Parasitic Diseases in Dairy Cattle in in Iranian native cattle. Int J Adv Res. 2:731-734.
Cibungbulang District of West Java. In: Yulistiani D,
Wardhana AH, Inounu I, Bahri S, Iskandar S, Wina Indraswari AAS, Suwiti NK, Apsari IAP. 2017. Protozoa
E, Ginting SP, Tarigan S, Tiesnamurti B, Romjali E, gastrointestinal: Eimeria auburnensis dan Eimeria
Herawati T, Anggraeny YN, Shanmugavelu S, bovis menginfeksi sapi Bali betina di Nusa Penida.
Aquino DL, editors. Promoting Livestock and Buletin Veteriner Udayana. 9:112-116.
Veterinary Technology for Sustainable Rural
Livestock Development. Proceeding of International [IPB] Institut Pertanian Bogor. 2012. Kajian penyakit
Seminar on Livestock Production and Veterinary parasiter dan kematian pedet [Laporan Survei]. Bogor
Technology. Bali, August 10th-12th 2016. Bali (Indonesia): Bagian Parasitologi dan Entomologi
(Indonesia): ICARD. p. 170-177. Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Doviansyah Z. 2015. Prevalensi koksidiosis dan identifikasi Pertanian Bogor.
ookista Eimeria spp. pada sapi perah di kawasan
usaha peternakan (Kunak) Kabupaten Bogor Iskandar T. 2007. Parasit penyebab diare pada sapi perah
[Skripsi]. [Bogor (Indonesia)]: Institut Pertanian Friesian Holstein (FH) di lokasi Bandung dan
Bogor. Sukabumi Jawa Barat. Prosiding Semiloka Nasional
Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan
Eassa A, El Ayis A. Abubaker, Muna A. Khaier M. 2019. Bebas 2020. Bogor (Indonesia): Balai Besar
Isolation and characterization of Eimeria species in Penelitian Veteriner. hlm. 384-388.
poultry using conventional methods and coccimorph
program in Khartoum state, Sudan. World J Pharm Istiyani ZD. 2013. Prevalensi koksidiosis pada pedet di
Pharm Sci. 8:54-67. Kabupaten Karanganyar [Skripsi]. [Yogyakarta
(Indonesia)]: Universitas Gadjah Mada.
Ekawasti F, Nurcahyo W, Wardhana AH, Shibahara T,
Tokoro M, Sasai K, Matsubayashi M. 2019. Jonsson NN, Piper EK, Gray CP, Deniz A, Constantinoiu CC.
Molecular characterization of highly pathogenic 2011. Efficacy of toltrazuril 5% suspension against
Eimeria species among beef cattle on Java Island, Eimeria bovis and Eimeria zuernii in calves and
Indonesia. J Par Inter. 72:101927. observations on the associated immunopathology.
Parasitol Res. 109:S113-S128.
Feranisa A. 2016. Komparasi antara Polymerase Chain
Reaction (PCR) dan Loop Mediatedf Isothermal Kaewthamasorn M, Wongsamee S. 2006. A preliminary
Amplification (LAMP) dalam diagnosis molekuler. survey of gastrointestinal and haemoparasites of beef
Dental. 3:145-151. cattle in the tropical livestock farming system in Nan
Province, northern Thailand. Parasitol Res. 99:306-
Fitriastuti ER, Atikah N, Ria NM. 2011. Studi penyakit 308.
koksidiosis pada sapi betina di 9 Provinsi di
Indonesia Tahun 2011. Bogor (Indonesia): Balai Kawahara F, Zhang G, Mingala CN, Tamura Y, Koiwa M,
Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obar Hewan. Onuma M, Nunoya T. 2010. Genetic analysis and
development of species-specific PCR assays based on
Florião MM, Lopes Bdo B, Berto BP, Lopes CW. 2016. New ITS-1 region of rRNA in bovine Eimeria parasites.
approaches for morphological diagnosis of bovine Vet Parasitol. 174:49-57.
Eimeria species: a study on a subtropical organic
dairy farm in Brazil. Trop Anim Health Prod. 48:577- Keeton ST, Navarre CB. 2018. Coccidiosis in large and small
584. ruminants. Vet Clin North Am Food Anim Pract.
34:201-208.

142
Fitrine Ekawasti dan AH Wardhana: Perkembangan Teknik Diagnosis Koksidiosis pada Sapi di Indonesia

[Kementan RI] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Nurwidayati A. 2015. Aplikasi teknik diagnosis
2018. Livestock and animal health statistic. Jakarta schistosomiasis berbasis molekuler. J Vektor
(Indonesia): Kementerian Pertanian. Penyakit. 9:29-35.
Koutny H, Joachim A, Tichy A, Baumgartner W. 2012. Oluwadare AT. 2004. Studies on bovine coccidia
Bovine Eimeria species in Austria. Parasitol Res. [Apicomplexia: Eimeriidae] in parts of Plateau state,
110:1893-1901 Nigeria [Thesis]. [Jos (Nigeria)]: University of Jos.
Lassen B, Jarvis T. 2009. Eimeria and cryptosporidium in Pedersen S. 2013. Coccidiosis in cattle and sheep control and
Lithuanian cattle farms. Vet Med Zoot. 48:24-28. management methods. Sptlight Pars Diss. 1:18-19.
Lassen B, Lepik T, Järvis T. 2014. Seasonal recovery of Pooja S, Sudesh D, Poonam K, Joginder SD, Suresh KG.
Eimeria oocysts from soil on naturally contaminated 2014. Loop-mediated isothermal amplification
pastures. Parasitol Res. 113:993-999. (LAMP) based detection of bacteria: A Review. Afr J
Biotechnol. 13:1920-1928.
Lee SH, Kim HY, Lee H, Ki, JW, Lee YR, Chae MJ, Oh SI,
Kim JH, Rhee MH, Kwon OD, Goo YK, Kim TH, Raharjo S. 2013. Tingkat kejadian koksidiosis pada pedet
Geraldino PJL, Kwak D. 2018. Eimeria species in sapi perah di Kelompok Ternak Sebrang Wetan
cattle with diarrhoea in the Republic of Korea Wukirsari Cangkringan Sleman [Skripsi].
regarding age, season and nature of diarrhoea. Vet [Yogyakarta (Indonesia)]: Universitas Gadjah Mada.
Rec. 183:504.
Rehman TU, Khan MN, Sajid MS, Abbas RZ, Arshad M,
Maas J. 2007. Coccidiosis in cattle, UCD Vet Views Iqbal Z, Iqbal A. 2011. Epidemiology of Eimeria and
California Cattlemen’s Magazine. California (USA): associated risk factor in cattle of district Toba Tek
School of Veterinary Medicine University of Singh, Pakistan. Parasitol Res. 108:1171-1177.
California.
Sánchez RO, Romero JR, Founroge RD. 2008. Dynamics of
Makau DN. 2014. A study of factors associated with the Eimeria oocyst excretion in dairy calves in the
prevalence of coccidia infection in cattle and its Province of Buenos Aires (Argentina), during their
spatial epidemiology in Busia, Bungoma and Siaya first 2 months of age. Vet Parasitol. 151:133-138.
Counties, Kenya [Tesis]. [Nairobi (Kenya)]:
University of Nairobi. Suardana IW, Budiharta S. 2007. Buku ajar epidemiologi dan
ekonomi veteriner. Bali (Indonesia): Universitas
Malek SS, Kuraa HM. 2018. Detection and identification of Udayana.
Eimeria species in naturally infected calves at Assiut
Governorate. Zagazig Vet J. 46:60-69. Sufi IM, Cahyaningsih U, Sudarnika E. 2016. Prevalensi dan
faktor risiko koksidiosis pada sapi perah di
Manya P, Sinha SRP, Sucheta S, Verma SB, Sharma SK, Kabupaten Bandung. J Kedokteran Hewan. 10:195-
Mandal KG. 2008. Prevalence of bovine coccidiosis 199.
at Patna. J Vet Parasitol. 22:73-76.
Sumiarto B. 2013. Prevalensi dan faktor risiko koksidiosis
Marquez JC. 2014. Calf intestinal health: assessment and (Eimeria spp.) pada pedet di lokasi Boyolali [Skripsi].
diatery interventions [Disertation]. [Illinois (USA)]: [Yogyakarta (Indonesia)]: Universitas Gadjah Mada.
University of Illinois at Urbana-Champaign.
Taryu. 2015. Koksidiosis pada sapi potong di sekolah
Matsubayashi M, Kita T, Narushima T, Kimata I, Tani H, peternakan rakyat (SPR) Kecamatan Kasiman
Sasai K, Baba E. 2009. Coprological survey of Kabupaten Bojonegoro [Tesis]. [Bogor (Indonesia)]:
parasitic in pigs and cattle in slaughterhouse in Institut Pertanian Bogor.
Osaka, Japan. J Vet Med Sci. 71:1079-1083.
Toaleb MI, Faragaila M, El-Moghazy, Soad EH. 2011.
Mirani AH, Shah MGU, Mirbahar KB, Khan MS, Lochi GM, Diagnosis of Eimeriosis in cattle by ELISA using
Khan IU, Alam F, Hasan SM, Tariq M. 2012. partially purified antigen. World Appl Sci J. 12:33-
Prevalence of coccidiosis and other gastointestinal 38.
nematode species in buffalo calves at Hyderabad,
Sindh, Pakistan. Afr J Microbiol Res. 6:6291-6294. Torres C, Vitalis EA, Baker BR, Gardner SN. 2011. LAVA:
an open-source approach to designing LAMP (loop-
Mundt HC, Bangoura B, Rinke M, Rosenbruch M, mediated isothermal amplification) DNA signatures.
Daugschies A. 2005: Pathology and treatment of 2011. BMC Bioinformatics. 12:240.
Eimeria zuernii coccidiosis in calves: investigations
in an infection model. Parasitol Int. 54:223-230. Vashist SK, Lam E, Hrapovic S, Male KB, Luong JH. 2014.
Immobilization of antibodies and enzymes on 3-
Nanditya WK. 2014. Prevalensi koksidiosis pada sapi dan aminopropyltriethoxysilane-functionalized bioanaly-
prevalensi kematian pedet di Sragen, Jawa Tengah, tical platforms for biosensors and diagnostics. Chem
Indonesia: Studi kasus [Skripsi]. [Yogyakarta Rev. 114:11083-11130.
(Indonesia)]: Universitas Gadjah Mada.
Vidic J, Manzano M, Ming Chang C, Renault NJ. 2017.
Nugroho WS. 2013. Prevalensi koksidiosis pada pedet di Advanced biosensors for detection of pathogens
lokasi Wonogiri. [Skripsi]. [Yogyakarta (Indonesia)]: related to livestock and poultry. Vet Res. 48:1-22.
Universitas Gadjah Mada.

143
WARTAZOA Vol. 29 No. 3 Th. 2019 Hlm. 133-144

Wicaksana TR. 2013. Prevalensi dan faktor risiko koksidiosis You MJ. 2014. Detection of four important Eimeria species
(Eimeria sp.) pada pedet di Kabupaten Boyolali by multiplex PCR in a single assay. Parasitol Internat.
[Skripsi]. [Yogyakarta (Indonesia)]: Universitas 63:527-533.
Gadjah Mada.
Zajac AM, Conboy GA. 2012. Veterinary clinical
Yoo SM, Lee SY. 2016. Optical biosensors for the detection parasitology. 8th ed. Oxford (UK): Wiley-Blackwell
of pathogenic microorganisms. Trends Biotechnol. Publishing.
34:7-25.
Zhu C, Yang G, Li H, Du D, Lin Y. 2014. Electrochemical
sensors and biosensors based on nanomaterials and
nanostructures. Anal Chem. 87:230-249.

144

View publication stats

You might also like