Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
0% found this document useful (0 votes)
28 views18 pages

Pengaruh Mantiq (Logika) Dalam Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1/ 18

PENGARUH MANTIQ (LOGIKA)

DALAM PENGEMBANGAN ILMU-ILMU KEISLAMAN

Edwin Syarif
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
edwinsyarif@uinjkt.ac.id

Abstract: In the golden age of Islamic civilization, science was well developed. The
developed sciences are not only Islamic sciences which are the study of Al-Qur'an and
Hadith texts, but also other sciences including: Astronomy, al-Jabar, Chemistry, Physics.
Especially in the Islamic sciences, the influence of the use of Mantiq is quite large, so that
it has produced many qualified scientists and works. This fact, of course, cannot be
separated from the persistence of the scholars in giving spirit to the teachings of Islam itself,
so that nothing escapes their discussion. Several verses are classified into one type, although
trying to be scattered everywhere to be organized into one field of science. The legal verses
are grouped into one and then arranged systematically, which then becomes ushul fiqh and
fiqh. If traced further, the steps taken in the development of Islamic sciences will be found
that Islamic philosophy has a significant role in the beginning of Islamic sciences, especially
mantiq. Mantiq or by another name Logic since its appearance in Greece has experienced
great development and influence in human life. Logic itself has developed from traditional
logic to symbolic logic. This development is in line with changes in human thinking. Logic
is influential in shaping a science. The study of the influence of Mantiq on the development
of Islamic sciences is a necessity so that it can be an evaluation of the development of Islamic
scholarship in the future. Mantiq, which is the form and rules of rational thinking, is
identical to the modern way of thinking. Therefore, by looking at the influence of Mantiq
on Islamic sciences in the past, we will be able to ask the question whether Mantiq science
with the principles of thinking in the past is still relevant to current scientific developments.
There are four Mantiq principles used in this study, namely: Syllogism, Deductive,
Inductive and Analogy / Qiyas. These four principles are used in analyzing Islamic sciences
in general, namely: Tafsir, Ushul Fiqh, and Kalam. The results of the analysis become
input for the development of Islamic sciences in general.

Keywords: Mantiq; Logic; Philosophy; Islam


266 Edwin Syarif | Pengaruh Mantiq (Logika)...

Abstrak: Pada masa keemasan peradaban Islam, ilmu pengetahuan berkembang dengan
baik. Ilmu-ilmu yang dikembangkan tidak hanya ilmu-ilmu keislaman yang merupakan
kajian teks-teks Al-Qur'an dan Hadits, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang meliputi:
Astronomi, al-Jabar, Kimia, Fisika. khususnya dalam ilmu-ilmu keislaman, pengaruh
penggunaan Mantiq cukup besar, sehingga melahirkan banyak ilmuwan dan karya yang
berkualitas. Fakta ini tentu saja tidak lepas dari kegigihan para ulama dalam
memberikan semangat pada ajaran Islam itu sendiri, sehingga tidak ada yang luput dari
pembahasan mereka. Beberapa ayat digolongkan menjadi satu jenis, meskipun berusaha
disebarkan dimana-mana untuk diorganisasikan ke dalam satu bidang ilmu. Ayat-ayat
hukum tersebut dikelompokkan menjadi satu dan kemudian disusun secara sistematis,
yang kemudian menjadi ushul fiqh dan fiqh. Jika dirunut lebih jauh, langkah-langkah
yang diambil dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman akan ditemukan bahwa filsafat
Islam mempunyai peran yang cukup signifikan dalam permulaan ilmu-ilmu keislaman
khususnya mantiq. Mantiq atau dengan nama lain logika sejak kemunculannya di Yunani
telah mengalami perkembangan dan pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia.
Logika sendiri telah berkembang dari logika tradisional menjadi logika simbolik.
Perkembangan ini sejalan dengan perubahan pola pikir manusia. Kajian pengaruh
mantiq terhadap perkembangan ilmu-ilmu keislaman merupakan suatu keharusan agar
dapat menjadi bahan evaluasi perkembangan keilmuan Islam ke depan. Mantiq yang
merupakan bentuk dan aturan berpikir rasional identik dengan cara berpikir modern.
Oleh karena itu, dengan melihat pengaruh Mantiq terhadap ilmu-ilmu keislaman di masa
lampau, kita akan bertanya apakah ilmu Mantiq masih relevan dengan perkembangan
keilmuan saat ini. Ada empat prinsip Mantiq yang digunakan dalam penelitian ini,
yaitu: Silogisme, Deduktif, Induktif dan Analogi / Qiyas. Empat prinsip inilah yang
digunakan dalam menganalisis ilmu-ilmu Islam secara umum, yaitu: Tafsir, Ushul Fiqh,
dan Kalam. Hasil analisis tersebut menjadi masukan bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman
secara umum, terutama kekuatan dan kelemahannya bagi pengembangan.

Kata Kunci: Mantiq; Logika; Filsafat; Islam

Pendahuluan
Sikap keterbukaan para ulama Islam awal terhadap pemikiran yang
positif dari luar Islam sangat mendorong kemajuan di berbagai bidang ilmu.
Ilmu yang berkembang tidak saja pada hal-hal yang terkait dengan kehidupan
orang banyak, tetapi juga ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW berkembang menjadi beberapa cabang ilmu, yang ilmu itu ketika Nabi
hidup tidak terbayangkan. Bahkan untuk zaman sekarang cabang itu menjadi
lebih sistematis lagi dengan didirikan universitas, fakultas, dan program studi
yang khusus mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Jika diandaikan Nabi hidup
sekarang, beliau akan heran sekali kenapa ajaran yang begitu sederhana menjadi
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2016 267

sangat complicated setelah berjalan sekian ratus tahun. Akan semakin heran
lagi untuk mempelajari ajaran tersebut harus membayar dengan jumlah yang
tidak sedikit. Gedung untuk mempelajari ajaran beliau sangat megah dan
mewah, menjulang tinggi di tengah kota dengan arsitektur yang indah sekali.
Kenyataan ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari kegigihan para
ulama memberi spirit pada ajaran Islam itu sendiri, sehingga tidak ada yang
luput dari pembahasan mereka. Beberapa ayat diklasifikasikan menjadi satu
jenis, kendati berserakan di mana-mana diusahakan untuk disusun menjadi
satu bidang ilmu. Ayat-ayat hukum dikelompokkan menjadi satu kemudian
disusun secara sistematis, yang kemudian menjadi ilmu ushul fiqh dan fikih.
Langkah yang dilakukan dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman bila
dilacak lebih lanjut maka akan didapatkan bahwa Mantiq memiliki peran
yang cukup signifikan dalam melahirkan ilmu-ilmu keislaman.

Filsafat Islam dan Mantiq


Perkenalan awal ini dimulai pada masa Bani Umaiyah (40/661- 132/750).
Pada masa itu terjadi invasi ke daerah lain yang sampai pada daerah Mesir,
Syam bahkan sampai pada Irak dan Persia, di mana daerah tersebut telah
terkena Helenisasi. Dalam perluasan itu mengakibatkan adanya interaksi antara
kelompok yang menang dan kalah, dan tidak mengenal agama dan suku.
Mereka dapat berinteraksi secara bebas dan saling menghargai.1
Pada abad ke-7 M, karya-karya Aristoteles dibaca dan diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh para sarjana Muslim, termasuk “Logika” di samping
karya-karya lainnya, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, khususnya pada
masa kerajaan Abbasiyah. Para sarjana Muslim tersebut selain menerjemahkan
juga memberi komentar pada karya Aristoteles tersebut, bahkan, Ibnu Sina
memberi komentar sebanyak 9 jilid untuk “Ilmu Logika” tersebut. Padahal
ilmu logika Aristoteles dalam “Interpretation” tidak mencapai 100 halaman
isinya. Di Indonesia, ilmu logika ini di pelajari di pesantren-pesantren yang
dikenal dengan nama “Mantiq”, sebagai terjemahan dari kata “Logika”,
bahkan kaidah-kaidah dalam mantiq disusun dalam bentuk syair, dalam buku
yang disebut di kalangan pesantren Indonesia sebagai “kitab kuning”. Penerjemahan,
komentar, dan penggunaan sekarang di pesantren-pesantren tradisional di
Indonesia, jika ditinjau isinya, tidak ada perbedaan mendasar antara logika
dan mantiq. Sedangkan yang membuat kelompok Islam mau menerima
filsafat atau khususnya Mantiq ini adalah; pertama, adanya kebebasan berfikir
dari kalangan umat Islam kepada orang-orang yang telah dikalahkan, bahkan
268 Edwin Syarif | Pengaruh Mantiq (Logika)...

terjadi interaksi atas mereka mengenai beberapa hal sampai pada masalah yang
mendasar (I’tiqād). Kedua, kelompok Muslim menerima ilmu dari kelompok
Yunani walaupun mereka tidak menerima ajaran itu sepenuhnya. Ketiga,
dapat dikatakan bahwa adanya kebutuhan diantara kaum muslimin dalam
mengkaji tentang ketuhanan.

Ilmu-ilmu Keislaman
Pada masa Islam, perkembangan ilmu di dunia Islam masa klasik ditandai
dengan kemunculan perpustakaan-perpustakaan di wilayah Islam. Perpustakaan
Abbasiyah di Bagdad dinamakan dengan ”Bait al-Hikmah” yang didirikan
oleh Khilafah al-Makmun (813-833M), yang telah dimulai oleh ayahnya
Harun al-Rasyid (789-809M). Peran utama perpustakaan Bait al-Ḥikmah
adalah menyimpan terjemahan ilmu-ilmu Yunani. Para pembesar Spanyol
yang menjadi penerus Bani Umayyah pada tahun 1031 menjadi terkenal
dengan perpustakaan-perpustakaan mereka di Saragossa, Granada, Toledo
dan di tempat-tempat lain. Di Mesir, para wazir pun mempunyai perpustakaan-
perpustakaan yang besar, Wazir Khalifah Fathimiyyah al-Aziz, pernah mengeluarkan
uang sebesar seribu dinar per bulan untuk membayar para ilmuwan, sekretaris
dan penjilid buku.
Mengikuti tradisi para multidisipliner Yunani, ilmuwan-ilmuwan di
dunia Islam juga melakukan kajian di semua bidang pengetahuan. Penafsiran
atas pernyataan al-Qur’an untuk menyelidiki jagat raya terus mendorong
penelitian mereka. Setelah menyerap karya-karya terjemahan yang berasal dari
dunia Yunani dan Persia, ilmuwan-ilmuwan muslim melakukan kajian secara
bebas. Motivasi kaum muslim melakukan gerakan intelektual di berbagai
negara seperti Mesir, Syria, Irak dan Iran serta negara-negara lainnya tidak lain
untuk kesuksesan kekuasaan dan pengembangan pengetahuan.2

Pengertian Ilmu-ilmu Keislaman


Kata ilmu berasal dari bahasa Arab “‫ ”علم‬yang berarti “‫ ”عرف‬yang berarti tahu.3
Kata “‫ ”علم‬dan “‫ ”عرف‬dalam epistemologi ilmu dapat dibedakan. Epistemologi
dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan Nazharīyah al-Ma’rifah bukan
dengan Nazharīyah al-’Ilm karena al-’Ilm berbeda dengan Ma’rifah. Ilmu
dalam penggunaan bahasa itu adalah sesuatu yang jelas, tidak mengalami
kekaburan, sedang kata Ma’rifah boleh jadi disertai kekaburan karena itu pula
Allah tidak menyandang sifat ma’rifah. Dia tidak dinamai ’Arif tetapi ’Alim
(Maha Mengetahui), yang pengetahuannya tidak didahului dengan ketidaktahuan,
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2016 269

tidak pula disentuh dengan kekaburan, berbeda dengan manusia ketika


menyandang sifat ’arif. Penggunaan istilah ma’rifah di samping mengisyaratkan
bahwa bahasan ini dalam pandangan agama berkaitan dengan pengetahuan
manusia bukan pengetahuan Allah, juga untuk membedakan secara diri
pengetahuan Allah dan pengetahuan manusia. Istilah ilmu dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu pengetahuan umum (ma`rifah ‘ammiyyah) dan pengetahuan
ilmiah (ma`rifah `ilmiyyah).4
Kata ilmu dalam bahasa Inggris sering disamakan dengan kata science,
yang berarti ilmu. Pada dasarnya antara pengetahuan (knowledge) dengan ilmu
(sciences) adalah sama.5 Secara sederhana, perbedaannya adalah ilmu merupakan
pengetahuan yang sistematis. Istilah Inggris science kadang-kadang diberi arti
sebagai ilmu khusus yang lebih terbatas, yakni sebagai pengetahuan sistematis
mengenai dunia fisik atau material. Istilah science sering kali juga dipakai
untuk menunjuk gugusan ilmu-ilmu kealaman atau natural sciences.6 Natural
sciences tidak sama dengan ilmu alam dalam arti fisika, melainkan memiliki
cakupan yang lebih luas daripada fisika. Science dalarn arti sebagai natural
sciences inilah yang biasanya dimaksud dalam ungkapan ilmu dan teknologi.
The Liang Gie menjelaskan pengertian ilmu dari segi maknanya.
Menurutnya pengertian ilmu mengandung tiga hal, yakni pengetahuan,
aktivitas, dan metode. Pengertian secara umum, ilmu senantiasa berarti pengetahuan
(knowledge), yang artinya mengetahui (to know). Tetapi pengetahuan sesungguhnya
hanyalah hasil atau produk dari sesuatu kegiatan yang dilakukan oleh
manusia.7 Pengertian ilmu sebagai pengetahuan, aktivitas, atau metode itu bila
ditinjau lebih mendalam sesungguhnya tidak saling bertentangan. Bahkan
sebaliknya, ketiganya merupakan kesatuan logis yang mesti ada secara
berurutan. Ketiga pengertian ilmu itu saling bertautan logis dan berpangkal
pada satu kenyataan yang sama bahwa ilmu hanya terdapat dalam masyarakat
manusia.8 Suatu penjelasan yang sistematis harus dimulai dari segi manusia
yang menjadi pelaku dari phenomenon yang disebut ilmu. Hanya manusia
(dalam hal ini ilmuwan) yang memiliki kemampuan rasional, melakukan
aktivitas kognitif (menyangkut pengetahuan), dan mendambakan berbagai
tujuan yang berkaitan dengan ilmu.9

Sejarah Perkembangan Logika/Mantiq


Logika atau Mantiq semenjak kemunculannya di Yunani telah mengalami
perkembangan dan pengaruh yang besar dalam kehidupan umat manusia.
Logika itu sendiri mengalami perkembangan dari logika tradisional hingga
270 Edwin Syarif | Pengaruh Mantiq (Logika)...

logika simbolik. Perkembangan tersebut seiring dengan perubahan cara berpikir


manusia. Logika berpengaruh dalam membentuk sebuah keilmuan. Dalam
peradaban Islam telah melahirkan berbagai macam disiplin ilmu-ilmu keislaman,
di antaranya: Ilmu Kalam, Ilmu Tafsir, Ilmu Ushul Fiqh, Filsafat Islam.
Kemunculan ilmu-ilmu tersebut setelah umat Islam saat itu menerima logika
Yunani. Pengaruh logika terjadi juga di masa Modern yang telah melahirkan
ilmu pengetahuan yang begitu banyak. Berikut ini akan diuraikan perkembangan
dan pengaruh logika pada masa Yunani, masa Islam dan masa Modern.
1. Masa Yunani: Aristoteles Sebagai Pendiri Logika
Aristoteles yang juga hidu (abad 5 SM), telah menyusun ilmu logika ini
dalam karyanya, untuk menjadi panduan berpikir dan memberi argumentasi,
sehingga dapat diketahui apakah pikiran dan cara berpikirnya dapat dipertanggung
jawabkan atau tidak. Sehingga Aristoteles ini yang dianggap sebagai penyusun
pertama ilmu logika. Pada dasarnya, ilmu logika membahas cara berpikir
manusia yang sistematis, sehingga dapat dipertanggung-jawabkan. Dengan
kata lain pertanggung-jawaban cara berpikir manusia adalah pada sistematis-
nya pikiran.
Logika atau Mantiq dalam pembahasan ini, menurut beberapa ahli
berasal dari tokoh yang dimulai dari Yunani,10 mereka yang pertama menggunakan
ini adalah kaum sofis yang selalu membuat argumen agar pendapat dan
pemikiran unggul walaupun hal itu salah. Setelah itu muncul Plato yang
mencoba untuk memberikan argumentasi yang logis walaupun masih dalam
tataran sederhana. Kemudian muncul Aristoteles (384-322 SM) yang
mengumpulkan dan mensistematisasikan dalam bentuk karya yang biasa
disebut dengan organon. Pemikiran ini berkembang dan terus berjalan dengan
baik sampai kemudian ditemukan oleh beberapa sarjana Muslim yang
kemudian berkembang di dunia Islam. Sementara itu, didunia Barat logika
juga tetap berjalan.
Perjalanan menjadi logika ini secara lebih terperinci adalah bermula dari
tokoh Stoa yaitu Zeno dari Citium (340-265 SM) yang pertama kali
menggunakan istilah logika. Namun begitu akar logika sudah ada dalam
pikiran dialektis para filosof mazhab Elea (490 SM). Mereka telah melihat
identitas dan perlawanan asas dan realitas. Tetapi, secara eksplisit pemikiran
muncul pada masa sopistik terutama pada Gorgias dan Lionti yang
mempermasalahkan penggunaan bahasa dalam kegiatan pemikiran.
Kemudian muncul Sokrates (470-399 SM) dengan metode ironi dan
maiutika yang berarti mengembangkan metode induktif. Dalam motode ini
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2016 271

dikumpulkan contoh dan peristiwa konkret untuk kemudian dicari ciri


umumnya. Pemikiran ini dikembangkan oleh Plato, di mana menurutnya ide
adalah bentuk model yang bersifat umum dan sempurna (prototype), sedangkan
benda individual duniawi hanya merupakan bentuk tiruan yang tidak
sempurna, yang disebut dengan ectypa. Dasar ide inilah yang mengilhami
munculnya logika yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari ilmu oleh
Aristoteles.
Pada abad ke-7 M, karya-karya Aristoteles dibaca dan diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh para sarjana Muslim, termasuk “Logika” di samping
karya-karya lainnya, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, khususnya pada
masa kerajaan Abbasiyah. Para sarjana Muslim tersebut selain menerjemahkan juga
memberi komentar pada karya Aristoteles tersebut, bahkan, Ibnu Sina
memberi komentar sebanyak 9 jilid untuk “Ilmu Logika” tersebut. Padahal
ilmu logika Aristoteles dalam “Interpretation” tidak mencapai 100 halaman
isinya. Di Indonesia, ilmu logika ini di pelajari di pesantren-pesantren yang
dikenal dengan nama “Mantiq”, sebagai terjemahan dari kata “Logika”,
bahkan kaidah-kaidah dalam mantiq disusun dalam bentuk syair, dalam buku
yang disebut di kalangan pesantren Indonesia sebagai “kitab kuning”.
Penerjemahan, komentar, dan penggunaan sekarang di pesantren-pesantren
tradisional di Indonesia, jika ditinjau isinya, tidak ada perbedaan mendasar
antara logika dan mantiq.
Dalam interaksi dengan daerah-daerah tersebut, orang-orang Muslim
(Arab) dapat mempelajari filsafat terutama filsafat Neoplatonisme dan
Aristotelian dan beberapa cabangnya. Hanya saja ketika sudah masuk dalam
pemikiran Islam banyak mengalami perubahan. Contohnya filsafat Neoplatonisme
yang pada awalnya adalah filsafat orang yang pagan (musyrik) ketika masuk
ke dalam Islam menjadi filsafat yang bernuansa Tauhid. Neoplatonisme
pertama diajarkan Plotinus (205-270) di mana ajaran ini adalah ajaran Plato
yang sudah mulai berinteraksi dengan agama wahyu. Sebab Plotinus, yang
diperkirakan orang Mesir hulu yang sudah mulai terkena pengaruh Helenisme,
mengajarkan tentang konsep the one sebagai prinsip tertinggi atau sumber
segala. Lebih dari itu Plotinus dianggap sebagai missapi yang telah menyatu
kepada Tuhan.11
Aristotelian juga salah satu yang mempengaruhi pemikiran filsafat Arab,
di mana hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pengakuan bahwa Aristoteles
adalah guru pertama (al-mu’alim al-awwal). Hanya saja ada sarjana yang
menyatakan bahwa filsafat Aristoteles yang dipahami oleh kaum Muslim itu
272 Edwin Syarif | Pengaruh Mantiq (Logika)...

bukan yang asli namun ajaran para penafsirnya (Aristotelisme).12 Sehingga


yang masuk dalam dunia Islam adalah filsafat yang bersifat pedagogik yang
bermetode skolalistik dan kecenderungannya logik dan metafisik. Khusus
mengenai logika ini sangat berpengaruh dalam dunia Islam dengan munculnya
Ilmu Kalam13 dan Ushūl Fiqh.14
Sedangkan yang membuat kelompok Islam mau menerima filsafat atau
khususnya logika ini adalah; pertama, adanya kebebasan berfikir dari kalangan
umat Islam kepada orang-orang yang telah dikalahkan, bahkan terjadi
interaksi atas mereka mengenai beberapa hal sampai pada masalah yang
mendasar (I’tiqād). Kedua, kelompok Muslim menerima ilmu dari kelompok
Yunani walaupun mereka tidak menerima ajaran itu sepenuhnya.15
Berdasarkan logika ini juga para filosof mempunyai pandangan dan
pemikiran yang begitu modern pada saat itu. Akan tetapi perkembangan
berfikir mengenai logika tidak berjalan begitu mulus. Sebab pada masa
tertentu ada beberapa ulama yang mengharamkan berkembangnya logika,
karena dikhawatirkan orang yang mempelajari menjadi zindiq, kufur dan
istilah lainya yang intinya menyalahi aturan Islam. Pelarangan logika di mulai
dari perintah Manshur ibn Abi Amir untuk membakar seluruh kitab logika
dan ilmu perbintangan, dan puncak dari pengharaman ini ada pada ibn Shalah
al-Syaharzuri yang memberi fatwa bahwa logika haram dengan menggunakan
logika berfikir sebagai berikut: “adapun mantiq adalah pengantar ke Filsafat dan
pengantar ke arah yang jelek adalah jelek. Mempelajari dan mengajarkannya
bukanlah sesuatu yang diperkenankan oleh agama dan tidak ada salah seorang
sahabat, tabiin, para Imam, mujtahid dan kelompok salaf yang mempelajarinya.16
Oleh karena itu, maka tidaklah mengherankan logika yang berkembang di
Islam tidak dapat berkembang dengan baik, sementara di dunia lain, kritik
dan bangunan logika terus berjalan sampai pada masa abad modern
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Itulah sedikit mulai adanya pergolakan berfikir secara logis yang ada
dalam sejarah. Proses berfikir ini dalam pandangan al-Farabi (257/870-339/948)
dimulai dari keadaan manusia yang mempunyai potensi (fitrah) untuk bergerak
dan berkreasi. Selain itu, dengan kemampuan untuk berbuat seperti itu,
manusia juga mempunyai potensi untuk memikirkan, mengimajinasi,
mengabtraksi dan menalar setiap yang ada. Setelah itu, manusia mencoba
untuk memilah dan membeda satu sama lain yang kemudian untuk dapat
dibedakan mulai dari bentuk yang sederhana sampai pada yang kompleks dan
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2016 273

begitu selanjutnya proses berfikir mulai ada dan berkembang sehingga


memunculkan cara berfikir dan bernalar sampai sekarang.

2. Masa Islam: Penerimaan Ilmuwan Muslim Terhadap Logika


Dalam membahas ini akan dijelaskan dari sebagian para filosof saja. Hal
ini dimaksudkan untuk menunjukkan sebagai contoh besarnya perhatian para
filosof terhadap logika. Al-Farabi. Dalam salah satu karyanya, ia mendeskripsikan
mengenai bagian-bagian dari ilmu. Bagian ilmu yang klasifikasikan menjadi
lima kelompok besar, yaitu ilmu bahasa, logika, ilmu matematika, fisika dan
metafisika, dan terakhir ilmu politik.17
Khusus mengenai logika ia membagi menjadi delapan. Pertama,
kategoris (ma’qulat) yaitu membahas mengenai kaidah-kaidah yang mengatur
pengetahuan-pengetahuan atau gagasan-gagasan dan lafal-lafal sederhana yang
menyatakan pengetahuan-pengetahuan ini. Kedua, ibarah (interpretation) yaitu
kaidah-kaidah yang mengatur pernyataan atau proposisi sederhana yang
tersusun atas dua atau lebih pengetahuan sederhana. Ketiga, qiyas (prior
analitic) yaitu kaidah silogisme umum bagi lima seni silogistik-demonstratif
(burhan), dialektis (jadal), sofistik (safshathi), retorik (khatbiyah), dan puitis
(syi’ir). Keempat, posterior analitic (burhan) kaidah bukti demonstratif dan
kaidah-kaidah khusus yang mengatur seni filosofik. Kelima, topics (jadaliyah)
yaitu alat bantu untuk menemukan bukti dialektik, pertanyaan serta jawaban
dan kaidah-kadiah yang mengatur seni dialektik. Keenam, safsathi (sophistic
refutation) yaitu kaidah yang mengatur masalah yang dapat memalingkan
manusia dari kebenaran kepada kesalahan/kesesatan. Ketujuh, retoric (jadal)
berhubungan dengan kaidah yang dapat menguji dan mengevaluasi pernyataan
retoris. Kedelapan, poetic (syi’ir) kaidah yang membahas mengenai puisi
sebagai bentuk untuk mencari kebenaran.18
Penjelasan di atas menunjukkan betapa ketat pemikiran al-Farabi
mengenai logika. Baginya logika adalah pengetahuan sejauh ditunjukkan oleh
lafal-lafal dan berhubungan dengan lafal-lafal sejauh menunjukkan pengetahuan-
pengetahuan. Pada sisi lain ia menyebutkan bahwa logika adalah pemikiran-
pemikiran sebagaimana yang dinyatakan dalam lafal-lafal dan sebagaimana
yang dikaitkan dengan hal-hal. Logika tidak berhubungan dengan hal-hal
sebagaimana adanya atau dengan pengetahuan yang ada dalam pikiran itu.
Akan tetapi logika berhubungan dengan keadaan mental dan pengetahuan tak
terduga yang datang kemudian sebagaimana dinyatakan oleh subjek atau
predikat, universalitas dan partikularitas predikasi dan esensialitas dan
274 Edwin Syarif | Pengaruh Mantiq (Logika)...

aksidentalitas predikasi. Logika juga tidak berhubungan dengan lafal kebahasaan


pada dirinya. Namun logika hanya berhubungan dengan lafal sejauh lafal itu
umum bagi setiap bahasa. Logika berkaitan dengan penerbitan dan penyusunan
pengetahuan-dalam pikiran- yang dinyatakan dalam lafal.
Logika dalam pandangan al-Farabi tidak masuk bagian dari ilmu
filosofis, tetapi logika merupakan alat atau instrumen ilmu filosofis. Karena
logika sebagai ilmu maka harus mencakup setiap bentuk penalaran. Meskipun
penalaran demonstratif merupakan tujuan utama logika, namun penalaran
selain demontratif juga harus difahami. Hal ini dikarenakan dengan memahami
yang non demonstratif akan membantu seseorang untuk mengetahui dan
membantu memelihara dirinya agar tidak jatuh ke dalam pemakaian metode
yang menjerumuskan kepada kesalahan, tidak masuk kedalam opini dan
khayalan kebenaran belaka.
Ibn Sina sebagaimana al-Farabi juga menganggap logika bukan dari
filsafat namun merupakan alat untuk berfilsafat.19 Dalam membagi logika, Ibn
Sina menambah dari yang dibahas oleh al-Farabi yaitu menjadi sembilan,
dengan tambahan di bagian pertama dengan al-Alfazh al-Mufradah. Berkaitan
dengan logika, al-Ghazālī menulis Mi’yar al-‘Ilmi adalah buku yang membahas
khusus mengenai logika. Buku ini juga ditulis di Baghdad, tujuannya adalah
untuk memberikan landasan berfikir yang benar dan lurus bagi kaum muslim.

3. Masa Modern: Logika sebagai Metode Berpikir Ilmiah


Logika Aristoteles, selain mengalami perkembangan yang murni, juga
dilanjutkan oleh sementara pemikir, tetapi dengan tekanan-tekanan yang
berbeda. Thomas Hobbes (1588-1679 M) dalam karyanya Leviathan (1651
M) dan John Locke (1632-1704 M) dalam karyanya yang bernama Essay
Concerning Human Understanding (1690), meskipun mengikuti tradisi Aristoteles,
tetapi doktrin-doktrinnya sangat dikuasai paham nominalisme. Pemikiran
dipandang sebagai proses manipulasi tanda-tanda verbal dan mirip operasi-
operasi dalam matematika. Kedua tokoh ini memberikan suatu interpretasi
tentang kedudukan bahasa di dalam pengalaman.
Logika Aristoteles yang rancangan utamanya bersifat deduktif silogistis
dan menunjukkan ada tanda-tanda induktif, berhadapan dengan dua bentuk
metode pikiran lainnya, yakni logika fisika induktif murni sebagaimana
terpapar dalam karya Francis Bacon, Novum Organum (London, 1620) serta
logika matematika deduktif murni sebagaimana terurai di dalam karya Rene
Descartes, Discours de la Methode (1637).
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2016 275

Metode induktif untuk menemukan kebenaran, yang direncanakan


Francis Bacon, didasarkan pada pengamatan empiris, analisis data yang
diamati, penyimpulan yang terwujud dalam hipotesis (kesimpulan sementara),
dan verifikasi hipotesis lewat pengamatan dan eksperimen lebih lanjut.
Penghalang dari metode ini adalah prakonsepsi dan prasangka.
Pada abad ke-20 ditandai dengan terbitnya Principia Mathematica yang
merupakan karya bersama A.N. Whitehead dan Bertrand A.W. Russel. Karya
ini membuktikan bahwa matematika murni berasal dari logika. Sementara itu,
Ludwig Wittgenstein mengadakan pembaharuan teknis pada teori logika,
khususnya mengenai tautologi dan probabilitas. Masalah yang ia tangani
adalah ketentuan-ketentuan apakah yang harus dipenuhi oleh setiap sistem
simbol sebagai representasi fakta. Dengan seksama ia berusaha membedakan
antara aussagen (mengatakan) dan zeigen (menunjukkan). Banyak hal hanya
dapat ditunjukkan lewat simbol.

Pengaruh Mantiq dalam Ilmu-ilmu Keislaman


Pengaruh mantiq atau logika dalam ilmu-ilmu keislaman akan dianalisis
berdasarkan prinsip-prinsip logika berupa: silogisme, metode berpikir deduktif,
metode berpikir induktif, dan analogi atau qiyas. Silogisme yang dimaksud
adalah penarikan kesimpulan yang didasarkan pada premis mayor, premis
minor dan konklusi. Metode berpikir deduktif berupa proses berpikir dari
yang umum ke khusus. Metode deduktif dapat dilihat pada proses pemahaman
dan penerapan ayat-ayat dan kaidah-kaidah dari ilmu-ilmu keislaman yang
ada. Metode berpikir induktif yaitu proses berpikir dari yang khusus ke
umum seperti proses dalam memahami ayat-ayat yang ada dalam al-Qur’an
kemudian dibuat generalisasi untuk dijadikan sebuah argumentasi atau
pengistinbatan hukum atau kaidah-kaidah tertentu. Analogi atau qiyas
merupakan proses mencari persamaan yang memiliki bentuk yang berbeda
sesuai dengan objek kajian ilmu. Keempat prinsip logika tersebut akan
digunakan sebagai alat analisis dalam melihat pengaruh logika pada ilmu
Tafsir, ilmu Ushul Fiqh dan ilmu Kalam.
Tabel 1
Pengaruh Mantiq Dalam Ilmu Tafsir
No. Prinsip Logika Pengaruh Logika dalam Ilmu Tafsir
1 Silogisme Proses berpikir untuk menerapkan kaidah tafsir dalam penentuan
hukum seperti dalam kaidah dalālah Asbāb al-Nuzūl: yaitu al `ibar
bi `umum al-Lafzi lā bi khusus al sabab.
276 Edwin Syarif | Pengaruh Mantiq (Logika)...

2 Deduktif Proses berpikir dari umum ke khusus yaitu proses memahami ayat-
ayat al-Qur’an untuk mendapatkan makna yang sama sehingga dapat
digeneralisasikan seperti dalam metode mawḍū’ī atau tematik.
3 Induktif Proses berpikir dari khusus ke umum seperti metode ijmalī yaitu
cara penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan menghimpun
beberapa ayat sesuai dengan urut-urutan mushaf atau satu surat
dan kemudian ditafsirkan pokok-pokok kandungan ayat-ayat yang
dihimpun atau satu surat tersebut secara umum atau global
4 Analogi/Qiyas Proses mencari unsur-unsur yang sama antara satu ayat dengan
ayat lain seperti proses yang terjadi pada metode tahlīlī bahwa
penafsiran dimulai dengan mengungkapkan arti kosa kata,
menjelaskan arti secara global, setelah itu diungkapkan dan
diuraikan secara rinci, berdasarkan kesesuaian (munāsabah) antar
ayat-ayatnya dan sebab-sebab turunnya ayat.

Pada tabel 1 menjelaskan pengaruh Mantiq pada ilmu Tafsir. Prinsip


silogisme ada dalam ilmu Tafsir dalam menyimpulkan Proses berpikir untuk
menerapkan kaidah tafsir dalam penentuan hukum seperti dalam kaidah
dalālah Asbāb al-Nuzūl: yaitu al-`ibar bi `umum al-Lafzi lā bi khusūs al-sabāb.
Prinsip deduktif yang merupakan proses memahami ayat-ayat al-Qur’an
untuk mendapatkan makna yang sama sehingga dapat digeneralisasikan
seperti dalam metode mawḍū’ī atau tematik. Prinsip induktif dalam ilmu
Tafsir merupakan proses berpikir dari khusus ke umum seperti metode ijmālī
yaitu cara penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan menghimpun
beberapa ayat sesuai dengan urut-urutan mushaf atau satu surat dan kemudian
ditafsirkan pokok-pokok kandungan ayat-ayat yang dihimpun atau satu surat
tersebut secara umum atau global. Ilmu Tafsir menggunakan Analogi/Qiyas
untuk mencari unsur-unsur yang sama antara satu ayat dengan ayat lain seperti
proses yang terjadi pada metode taḥlīlī bahwa penafsiran dimulai dengan
mengungkapkan arti kosa kata, menjelaskan arti secara global, setelah itu
diungkapkan dan diuraikan secara rinci, berdasarkan kesesuaian (munāsabah)
antar ayat-ayatnya dan sebab-sebab turunnya ayat.
Tabel 2
Pengaruh Mantiq dalam Ilmu Ushul Fiqh
No. Prinsip Logika Pengaruh Mantiq dalam Ilmu Ushul Fiqh
1 Silogisme Proses penarikan kesimpulan dari premis mayor dan premis
minor. Dalam Ushul Fiqh dikenal ‘Illah yang dapat diposisikan
sebagai premis minor. ‘Illah dimaksud adalah suatu sifat yang
nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi, dan sejalan
dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum.
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2016 277

Contohnya, Al-Qur’an memerintahkan berbuat baik kepada


kedua orangtua dan jangan mengatakan “ah” kepada keduanya.
Larangan tersebut secara nyata mengandung arti ‘illah larangan
menyakiti keduanya. Hukum memukul orang tua diqiyaskan
kepada larangan tersebut karena adanya kesamaan ‘illah yaitu
sama-sama menyakiti.
2 Deduktif Proses pengistinbatan hukum dari nash-nash yang telah ada dalam
al-Qur’an seperti diharamkannya makan daging babi.
3 Induktif Proses pengistinbatan hukum dari nash-nash yang ada kemudian
dijadikan kaidah-kaidah ushul Fiqh contoh: al-Ashl baqa makana
‘ala makana kaidah ini menjelaskan lebih lanjut bahwa asal segala
sesuatu tetap maka keharaman minuman tetap meski dalam
bentuknya yang bermacam-macam.
4 Analogi/Qiyas Metode Qiyas dipergunakan dalam mengistinbatkan (menetapkan
kesimpulan) hukum Islam yang banyak dipergunakan ulama
ushul fiqh ketika hukum suatu kasus tidak dijumpai dalam nash
(teks ayat al-Qur’an atau hadis) seperti ayat tentang perintah
menghentikan “jual beli” ketika azan shalat Jumat telah
dikumandangkan. Perintah tersebut tidak hanya untuk “jual beli”
tetapi berlaku qiyas mencakup semua aktivitas pada saat itu. ‘Illat
pada ayat ini adalah melaksanakan shalat.

Dalam ilmu Ushul Fiqh seperti dalam tabel 2 dapat diketahui bahwa
prinsip silogisme yang merupakan proses penarikan kesimpulan dari premis
mayor dan premis minor. ‘Illah dalam ushul fiqh dapat diposisikan sebagai
premis minor. ‘Illah dimaksud adalah suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap
kali suatu peristiwa terjadi, dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari
suatu peristiwa hukum. Contohnya, Al-Qur’an memerintahkan berbuat baik
kepada kedua orang tua dan jangan mengatakan “ah” kepada keduanya.
Larangan tersebut secara nyata mengandung arti ‘illah larangan menyakiti
keduanya. Hukum memukul orang tua diqiyaskan kepada larangan tersebut
karena adanya kesamaan ‘illah yaitu sama-sama menyakiti. Prinsip deduktif
yaitu proses pengistinbatan hukum dari nash-nash yang telah ada dalam al-
Qur’an seperti diharamkannya makan daging babi.
Proses pengistinbatan hukum dari nash-nash yang ada kemudian dijadikan
kaidah-kaidah ushul Fiqh contoh: al-Ashl baqa makana ‘ala makana kaidah
ini menjelaskan lebih lanjut bahwa asal segala sesuatu tetap maka keharaman
minuman tetap meski dalam bentuknya yang bermacam-macam. Hal ini
adalah bagian dari prinsip induktif.
278 Edwin Syarif | Pengaruh Mantiq (Logika)...

Metode Qiyas dipergunakan dalam mengistinbatkan (menetapkan


kesimpulan) hukum Islam yang banyak dipergunakan ulama ushul fiqh ketika
hukum suatu kasus tidak dijumpai dalam nash (teks ayat al-Qur’an atau hadis)
seperti ayat tentang perintah menghentikan “jual beli” ketika azan shalat
Jumat telah dikumandangkan. Perintah tersebut tidak hanya untuk “jual beli”
tetapi berlaku qiyas mencakup semua aktivitas pada saat itu. ‘Illat pada ayat
ini adalah melaksanakan shalat.
Tabel 3
Pengaruh Mantiq dalam Ilmu Kalam
No. Prinsip Logika Pengaruh Mantiq dalam Ilmu Kalam
1 Silogisme Mu’tazilah maupun Asy’ariyah menggunakan premis-premis
silogisme dalam membuat argumentasi ilmu kalam. Contoh
Mu’tazilah:
Semua yang bersifat immateri tidak dapat dilihat dengan mata kepala
Tuhan bersifat immateri
Maka Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala
Contoh Asy’ariyah:
Semua yang memiliki wujud dapat dilihat
Tuhan memiliki wujud
Maka Tuhan dapat dilihat
2 Deduktif Aliran-aliran dalam Ilmu Kalam menggunakan pendekatan deduktif
karena sifat ilmu ini yang mengkaji tentang ketuhanan seperti
bahasan sifat-sifat Tuhan, wujud Tuhan, kehendak Tuhan.
3 Induktif Proses penarikan kesimpulan dilakukan dengan mengumpulkan
ayat-ayat yang memiliki makna yang sama seperti aliran Qadariah
maka ayat-ayat yang dikumpulkan tentu ayat-ayat tentang qadar
saja atau tentang kebebasan manusia saja. Begitu juga kebalikannya,
Jabariah akan mengumpulkan ayat-ayat tentang fatalisme atau
determinisme saja.
4 Analogi/Qiyas Analogi atau qiyas digunakan dalam ilmu kalam untuk menafsirkan
atau menakwilkan ayat-ayat tentang anthropomorphisme.
Contoh: kata “tangan Allah”. (yād al-Allah) Apakah yang dimaksud
tangan Allah itu seperti tangan manusia atau ada makna lain?

Mu’tazilah maupun Asy’ariyah menggunakan premis-premis silogisme


dalam membuat argumentasi ilmu kalam seperti yang dimuat dalam tabel 3.
Aliran-aliran dalam Ilmu Kalam menggunakan pendekatan deduktif karena
sifat ilmu ini yang mengkaji tentang ketuhanan seperti bahasan sifat-sifat
Tuhan, wujud Tuhan, kehendak Tuhan.
Prinsip induktif digunakan dalam menarikan kesimpulan yang dilakukan
dengan mengumpulkan ayat-ayat yang memiliki makna yang sama seperti
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2016 279

aliran Qadariah maka ayat-ayat yang dikumpulkan tentu ayat-ayat tentang


qadar saja atau tentang kebebasan manusia saja. Begitu juga kebalikannya,
Jabariah akan mengumpulkan ayat-ayat tentang fatalisme atau determinisme
saja. Terakhir, prinsip analogi atau qiyas digunakan dalam ilmu kalam untuk
menafsirkan atau mentakwilkan ayat-ayat tentang anthropomorphisme.
Contoh: kata “tangan Allah”. (yād al-Allāh) Apakah yang dimaksud tangan
Allah itu seperti tangan manusia atau ada makna lain?

Simpulan
Tradisi berpikir logis yang diwariskan para filsuf muslim dalam bentuk
mantiq/logika telah berperan dalam pembentukan ilmu-ilmu keislaman.
Ilmu-ilmu tersebut di antaranya ilmu Tafsir, Ilmu Kalam, dan Ilmu Ushul
Fiqh, yang kebanyakan diajarkan di pesantren-pesantren dan sekolah-sekolah
Islam di Indonesia. Mantiq memiliki pengaruh dalam pengembangan ilmu-
ilmu keislaman. Pengaruh itu teridentifikasi melalui kaidah-kaidah Mantiq
yang mencakup prinsip silogisme, prinsip metode deduktif, prinsip metode
induktif, serta analogi dan qiyas. Prinsip-prinsip tersebut teridentifikasikan
pada ilmu-ilmu keislaman yang menjadi kajian ini yaitu: Ilmu Tafsir, Ilmu
Ushul Fiqh, dan Ilmu kalam.
Mantiq atau logika sebagai kaidah dalam berpikir pada saat ini masih
relevan, meskipun ada beberapa hal yang harus diperhatikan di antaranya:
pandangan filsafat dan metodologi ilmu pengetahuan yang sudah berkembang
pesat untuk kajian-kajian teks al-Qur’an dan Hadis. Pandangan filsafat yang
berkembang pada saat ini menjadi pertimbangan dan khazanah metodologi
dalam melihat suatu masalah dan memberikan solusi dalam kehidupan
masyarakat. Problem eksistensialis manusia menjadi dasar bahwa bagaimana
memahami teks al-Qur’an dalam rangka memberikan solusi dari masalah yang
dihadapi manusia.

Pustaka Acuan
Badawi, ‘Abd al-Raḥmān (ed), al-Turāth al-Yūnānī fī al-Ḥadhārah al-Islāmiyah,
Kairo: Dār al-Nahdhah al-’Arabiyah, 1965.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996.
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj.
Purwanto, Bandung: Mizan, 1998), h. 61.
C. Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Atas
Cara Kerja Ilmu-ilmu, Jakarta: Gramedia, 1991.
280 Edwin Syarif | Pengaruh Mantiq (Logika)...

Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011.


Edward, Paul (ed), Encyclopedia of Philosophy, London: Macmillan Publiser,
1967, vol. 4.
Farabi, Abū Nashr, Kitāb al-Hurūf , Beirut: Dār al-Masyriq, 1990.
-------, Ihsha al-Ulūm, Kairo: Maktabah al-Anjalu, 1968.
Al-Farmāwī, al-Bidayah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’ī, Kairo: al-Ḥadlarah al-Arabiyah,
1977.
Ghazālī, Abū Ḥamid, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Mesir: Dār Ḥaya’ al-Kitāb al- ‘Arabiyah,
t.t.
-------, al-Musṭashfa fī ‘Ilmi al-Uṣūl, Tahqiq: M.`Abd al-Salam ‘Abd al-Shāfī,
Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, 1996.
Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 2004.
Hallaq, Wael B., A History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunni
Ushul al-Fiqh, Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
Ibn Sina, ‘Uyūn al-Ḥikmah, Beirūt: Dār al-Qalam, 1980.
I.R. Poedjawiyatna, Tahu dan Pengetahuan: Pengantar Ke Ilmu dan Filsafat,
Jakarta: Bina Aksara, 1983.
Ismā’il, Muḥammad Bakr, Dirāsat fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Kairo, Dār al-Manār,
1991.
Khawarizmi, Muḥammad ibn Aḥmad ibn Yusūf al-Khatib, Mafātiḥ al-‘Ulūm,
Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, tt.
Kenneth Murray Knuttila, Introducing Sociolog: A CriticalPerspective, Oxford:
Oxford University Press, 1996.
Madjid, Nurchalish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996.
Madjid, Nurcholish (ed.), Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Mehra, Partap Sing dan Jazir Burhan, Pengantar Logika Tradisional, Bandung:
Binacipta, 1980.
Mukhtar, Naqiyah, Ulumul Qur’an, Purwokerto: STAIN Press, 2013.
Nasution, Andi Hakim, Pengantar ke Filsafat Sains, Bogor: Pustaka Litera
Antar Nusa, 1999.
Nasr, Seyyed Hossein & Oliver Leaman, (ed) History of Islamic Philosophy
(London: Routledge, 1996)
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2004.
-------, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-
Press, 2002.
Sheikh, M. Saeed, A Dictionary of Muslim Phlosophy, Lahore: Institut of Islamic
Culture, 1976.
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2016 281

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1995.
Soekadijo, R.G., Logika Dasar: Tradisional, Simbolik, dan Induktif, Jakarta:
Gramedia, 1988.
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, New York: Mentor
Books, 1970.
Syed Muhammad NaquibAl-Attas, Islam and the Philosophy of science, Kuala
Lumpur: ISTAC, 1989.
Syuyūthī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur`an, Beirut: Dār al-Fikr, tt.
Muḥammad Abū Zahrah, Uṣūl Fiqh, Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabiy, 1958.
W. Poespoprodjo, Logika Sientifika (Pengantar Dialektika dan Ilmu),
Bandung: Remaja Karya, 1985.

Catatan Akhir
1
Hal ini sebagaimana analisa Cak Nur yang berdasarkan catatan Halkin, Nurchalish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta:Paramadina, 1996), 221-222.
2
Albert Hourani, A History of The Arab Peoples (Cambrige: The Belkhap Press of
Harvard University Press, 1991), 76.
3
al-Munjid, (Beirut: Dar el Mashreq, 1975), 526.
4
Jamīl Shalībā, al-Mu`jam al-Falsafī (Bairut: Dār al-Kitāb al-Libnani, 1973), vol. II,. 99.
5
I.R. Poedjawiyatna, Tahu dan Pengetahuan: Pengantar Ke Ilmu dan Filsafat (Jakarta:
Bina Aksara, 1983), 24.
6
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1995), 295.
7
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 2004), Cet. Ke-6, 85.
8
Andi Hakim Nasoetion, Pengantar ke Filsafat Sains, (Jakarta: Litera Antar Nusa,
1999), cet. ke-3, 2.
9
Honer, Stanley M., dan Thomas C. Hunt, “Metode Dalam Mencari Pengetahuan:
Rasionalisme, Empirisme dan Metode Keilmuan”, dalam Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu
Dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), Cet. Ke-15, 104.
10
Secara garis besar membicarakan sejarah perkembangan logika dapat dibagi menjadi
beberapa peride, yaitu periode logika klasik, logika India, logika China, logika Arab, logika
abad pertengahan Eropa, interegnum (logika antara abad pertengahan dan modern), menginjak
modern, logika modern, pengaruh Kant dan John Stuart Mill dan logika modern saat ini.
Periode tersebut mempunyai tokoh sendiri-sendiri. Contohnya pada logika klasik muncul
tokoh Aristoteles, Zeno, Plato, theophratus dan lain sebagainya. Logika India biasa merujuk
pada buku Nyaya, Mimansa, vaisesika dan lain sebagainya. Logika Cina muncul pada masa
Moist pada abad kelima sebelum Masehi, kemudian berkembang seperti munculnya
pemikiran Hsun tzu (313-238 SM) dan Neo-Taoism. Di Arab muncul al-Farabi, Ibn Sina,
Ibn Taimiyyah dan lain sebagainya. Pada masa abad pertengahan Eropa muncul Peter
282 Edwin Syarif | Pengaruh Mantiq (Logika)...

Damian (1007-1072), Peter Abelard (1079-1142)Thomas Aquinas (1224-1274) dan lain


sebagainya. Pada masa Interregnum yaitu masa antara skolastik pertengahan dan logika
matematika modern. Tokoh yang muncul yaitu Lorenzo Valla (1407-1457), Melanchon
(1497-1560), Peter Ramus dan lain sebagainya. Logika pada awal modern tokoh yang muncul
adalah Wilhelm Leibniz (1646-1716), Leonhard Euler (1707-1783), Johann Heinrich Lambert
(1728-1777) dan lain sebagainya. Sedangkan masa modern muncul Hamilton, william
Stanley Jevons dan lain sebagainya. Mereka semua mempunyai ciri khas dan kontribusi pada
masanya sendiri. Untuk keterangan secara sederhana dapat dilihat pada, Paul Edward (ed),
Encyclopedia of Philosophy (London: Macmillan Publiser, 1967), vol. 4., 513-562.
11
Bahkan Syaikh al-Isyrāq Suhrawardī tidak mengakui kepaganan Plato, menurutnya
Plato itu adalah termasuk orang yang beriman. Shihāb al-Dīn Suhrawardī, Majmū’ah Mushannifāt
Syaikh al-Isyrāq (Tehran: Institut d’Etudes et des Recherches Culturelles, 1993), jilid 2, 10.
12
Di antaranya adalah Peter, di mana ia mengutip dari kitab Fihris yang menyatakan
bahwa yang ditemukan oleh orang muslim itu adalah sebuah rumah kosong yang berisi buku.
Selain itu pendapat ini juga di dukung oleh adanya rentang waktu yang begitu jauh antara
Islam dan Yunani dan dalam rentang waktu itu, filsafat telah diobrak-abrik oleh kelompok
Helenisme dan Yahudi. F.E. Peters, Aristotle and the Arabs (New York: New York University
Press, 1968), 7.
13
Dalam Kalam, salah satu contoh adalah Abū Hudzail al-‘Allāf dan al-Nizhām, di
mana hidup pada masa al-Kindī dan dalam mengungkapkan pendapatnya selalu menggunakan
logika Aristoteles. Abū al-Fatḥ Muḥammad Ibn “Abd al-Karīm Syahrastānī, al-Milal wa al-
Niḥal (Beirut: Dār al-Kutūb al-’Ilmiyah, tt), 44.
14
Ungkapan ushul fiqh mencakup juga masalah fiqh. Dalam Ushul dapat ditemukan
pembahasan mengenai qiyas dan begitu juga beberapa metode penetapan hukum Fiqh yang
dilakukan oleh Imam Madzhab. Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Jam’al-Jawāmi’ (Semarang: Thaha
Putra, tt), 202-356. Muhammad “Āli al-Sāyis, Tārikh al-Fiqh al-Islāmi (Makkah: Iḥya’ al-
Turāts al-Islāmī, tt), 96.
15
Ali Syāmi al-Nasyār, Manāhij al-Baḥts `Inda Mufakkirī al-Islām (Beirut: Dār al-Fikr
al-’Arabī,1947), 6.
16
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Taufiq Thawil, Usūs al-Falsafah, 413, lihat
juga pada, Muhammad ibn Ali al-Shubban, (Surabaya: Maktabah al-Hidayah, tt), 40-41.
17
Dari lima pembagian ini, al-Farabi masih membagi menjadi bagian-bagian
terperinci dengan berbagai kasus dan contohnya. Untuk keterangan lebih lanjut ada pada,
Abū Nashr al-Farabi, Ihsha al-‘Ulūm (Kairo: Maktabah al-Anjalu, 1968).
18
Delapan cabang itu mempunyai bahasan-bahasan yang banyak, namun dalam hal
ini hanya disebutkan saja hanya untuk memberikan informasi, untuk keterangan lebih lanjut
ada pada Abū Nashr al-Farabi, Ihsha al-‘Ulūm, 67-100.
19
Pembahasan mengenai logika Ibn Sina dapat ditemukan hampir setiap dari
karyanya. Dalam membahas pokok filsafat ibn Sina tidak lupa untuk menulis mengenai logika
dan bagian-bagiannya walaupun dengan tingkat pembahasan yang berbeda. Contohnya dalam
‘Uyūn al-ḥikmah, al-Ta’liqat, al-Syifa dan karya lainnya. pemikiran bahwa logika alat untuk
berfilsafat juga dinyatakan oleh Ikhwan al-Shafa dalam Rasail-nya.

You might also like