Penyelesaian Ganti Rugi Akibat Sengketa Penguasaan Hak Atas Tanah Secara Melawan Hukum (Tinjauan Beberapa Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)
Penyelesaian Ganti Rugi Akibat Sengketa Penguasaan Hak Atas Tanah Secara Melawan Hukum (Tinjauan Beberapa Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)
Penyelesaian Ganti Rugi Akibat Sengketa Penguasaan Hak Atas Tanah Secara Melawan Hukum (Tinjauan Beberapa Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)
M. Hudi Asrori S
E-mail : hudisayuti@gmail.com
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Abstract
This article aims for reviewing how the settlement of compensation as the consequences of the tenure
of land rights unlawfully in civil law Surakarta state court verdict number 106/pdt.g/2017/PN.SKT and
number 103/pdt.G/2006/PN.SKT where the court’s decision has a permanent legal force. This research
is a juridical normative legal research. The location of this research at Notary Office and PPAT Adib
Sujarwadi and the State Court Surakarta Class 1A Specific. Kinds and the sources of data in this
research are consist of primary data and secondary data. The technique of data collection through
interview and library study. The analytical technique used by the author is by the method of syllogism
that uses the deduction mindset. Regarding the settlement of compensation due to unlawful tenure of
land rights is a compensatory damages, in the form of payment to the victim amounting to a loss that
is actually experienced. Based on the decision of the Panel of Judges. Regarding the non-granting of
immaterial compensation because the Plaintiff does not attach the appropriate evidence. After the
verdict is declared incracht, outside the court, the Defendant and the Plaintiff may hold deliberations to
determine the amount of the indemnity or the Plaintiff waived the indemnity obligation, but the
Defendant must leave the land of the object of the dispute voluntarily. In the case of still occupy it will
be executed by the bailiff from the Court.
Keywords: Compensation; Tort; Tenure Of Land Rights.
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana penyelesaian ganti rugi akibat penguasaan hak atas tanah secara
melawan hukum pada perkara perdata Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 106/ Pdt.G/2017/PN SKT
dan Nomor 103/Pdt.G/2006/PN SKT, dimana putusan pengadilan tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yuridis. Lokasi penelitian yaitu di Kantor Notaris dan PPAT
Adib Sujarwadi dan Pengadilan Negeri Surakarta Kelas IA Khusus. Jenis dan sumber data penelitian ini meliputi
data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data melalui wawancara dan studi kepustakaan. Teknik
analisis yang digunakan oleh penulis adalah dengan metode silogisme yang menggunakan pola pikir deduksi.
Penyelesaian ganti rugi akibat penguasaan hak atas tanah secara melawan hukum yaitu dengan ganti rugi
kompensasi, berupa pembayaran kepada korban sebesar kerugian yang benar-benar dialami. Berdasarkan
keputusan Majelis Hakim. Mengenai tidak dikabulkannya ganti rugi immateriil dikarenakan Penggugat tidak
melampirkan bukti-bukti yang sesuai. Setelah putusan dinyatakan incraht, di luar pengadilan, Tergugat dan
Penggugat dapat mengadakan musyawarah untuk menentukan jumlah ganti rugi atau Penggugat membebaskan
kewajiban pembayaran ganti rugi, namun Tergugat harus meninggalkan tanah obyek sengketa secara sukarela.
Dalam hal masih tetap menempati maka akan dilakukan eksekusi oleh juru sita dari Pengadilan.
Kata Kunci : Ganti Kerugian; Perbuatan Melawan Hukum; Penguasaan Hak Atas Tanah.
A. Pendahuluan
Sengketa hak atas tanah dapat terjadi karena adanya gugatan dari seseorang atau badan hukum akibat
perbuatan hukum yang telah merugikan hak penggugat atas tanah. Adapun materi gugatan dapat berupa
tuntutan akan adanya kepastian hukum mengenai siapa yang berhak atas tanah, status tanah, bukti-bukti yang
menjadi dasar pemberian hak, dan yang lain. Sengketa perdata atas tanah dapat
Jurnal Privat Law Vol. VII No 1 Januari - Juni Penyelesaian Ganti Rugi Akibat Sengketa ... 1
2019
pula terjadi akibat perjanjian pengalihan hak atas tanah, misalnya dengan perjanjian jual beli, sewa
menyewa, atau pewarisan. Melihat dari banyaknya kasus sengketa tanah menandakan bahwa tanah
mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan di masyarakat (Elza Syarief, 2012: 59-60).
Berdasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi “Tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu
mengganti kerugian tersebut”. Di samping ketentuan dalam KUH Perdata, pemerintah juga mengatur
tentang penguasaan tanah tanpa hak yaitu dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Di sebutkan
dalam Pasal 2 Perpu Nomor 51 Tahun 1960 yang menyatakan larangan pemakaian tanah tanpa izin yang
berhak atau kuasanya yang sah.
Ganti rugi (legal remedy) adalah cara pemenuhan atau kompensasi hak oleh pengadilan yang
diberikan kepada satu pihak yang menderita kerugian oleh pihak lain yang melakukan kelalaian sehingga
menyebabkan kerugian tersebut. Ada dua sebab timbulnya ganti rugi yaitu ganti rugi karena wanprestasi dan
ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yang diatur
dalam Pasal 1365 KUH Perdata yaitu ganti rugi yang dibebankan kepada yang telah menimbulkan
kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi ini timbul karena adanya kesalahan, bukan karena
adanya perjanjian (KamusBisnis.com)
Untuk pengajuan tuntutan ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum harus didasarkan pada
kerugian yang benar-benar diderita. Pemberian ganti kerugian ini menurut Moegni Djoodirdjo, SH pada
prinsipnya ada 2 metode (M.A. Moegni Djojodirdjo, 1982 : 102) :
1. Metode Konkrit
Sesuai dengan pengembalian dalam keadaan semula yang rusak adalah yang harus diganti.
2. Metode Subyektif
Menyesuaikan pada keadaan diri si pelaku (subyektif) dari si pelaku atau orang yang bersangkutan.
Selain itu juga dapat ditempuh dengan cara lain, yaitu dengan penafsiran harga atau ex aeque et
bono (asas kepantasan).
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dalam artikel ini akan dikaji lebih mendalam tentang
penyelesaian ganti rugi akibat penguasaan hak atas tanah secara melawan hukum (Tinjauan Beberapa Kasus
di Pengadilan Negeri Surakarta).
B. Metode Penelitian
Jenis Penelitian dalam penulisan hukum ini adalah jenis penelitian normatif. Penelitian hukum
normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan
hukum yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Bahan-
bahan hukum tersebut disusun secara sistematis, dikaji, dan ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya
dengan masalah yang diteliti (Peter Mahmud Marzuki, 2013:95). Penelitian yang dilakukan ini penulis
mengambil lokasi di Kantor Notaris dan PPAT Adib Sujarwadi dan Pengadilan Negeri Surakarta Kelas IA
Khusus. Data yang penulis gunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primernya adalah
wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta Kelas IA Khusus yang menjadi Hakim Pemutus
Perkara Perdata Nomor 106/Pdt.G/2017/PN.Skt dan Panitera Pengganti yang menjadi Panitera dalam
Persidangan Perkara Nomor 103/Pdt.G/2006/ PN.Ska. Data sekunder berupa KUHPerdata, Undang-Undang
Pokok Agraria No 5 Tahun 1960, karya ilmiah dan penelitian hukum lainnya seperti skripsi, tesis, dan
jurnal.
Karena tergugat telah memenuhi unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum, sehingga Tergugat wajib
mengganti kerugian yang diderita oleh Penggugat sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian-kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Sedangkan bentuk dari ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum yaitu :
1. Ganti rugi Nominal
Jika adanya perbuatan melawan hukum yang serius, seperti perbuatan yang mengandung unsur
kesengajaan, tetapi tidak menimbulkan kerugian yang nyata bagi korban, maka kepada korban dapat
diberikan sejumlah uang tertentu sesuai dengan rasa keadilan tanpa menghitung berapa sebenarnya
kerugian tersebut.
2. Ganti rugi Kompensasi
Ganti rugi kompensasi (compensatory damages) merupakan ganti rugi yang merupakan
pembayaran kepada korban atas dan sebesar kerugian yang benar-benar telah dialami oleh korban dari
suatu perbuatan melawan hukum. Karena itu, ganti rugi seperti ini disebut juga dengan ganti rugi yang
aktual. Misalnya, ganti rugi atas segala biaya yang dikeluarkan korban, kehilangan keuntungan/gaji,
sakit, dan penderitaan, termasuk penderitaan mental seperti stres, malu, jatuhnya nama baik, dan lain-
lain.
3. Ganti rugi penghukuman
Ganti rugi penghukuman (punitive damages) merupakan suatu ganti rugi dalam jumlah besar
yang melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya. Besarnya jumlah ganti rugi tersebut dimaksudkan
sebagai hukuman bagi pelaku. Ganti rugi penghukuman ini layak diterapkan terhadap kasus-kasus
kesengajaan yang berat.
Dari penjelasan masing-masing kategori diatas maka Para Tergugat harus membayar ganti rugi berupa
ganti rugi kompensasi (compensatory damages). Karena Penggugat telah benar-benar mengalami kerugian
yang nyata akibat perbuatan yang dilakukan oleh Para Tergugat, Penggugat mengalami kehilangan
keuntungan yaitu tidak bisa memanfaatkan tanah obyek sengketa dengan maksimal, yang seharusnya dapat
dijadikan tempat untuk usaha, maupun untuk menyewakan kepada orang lain. Pada perkara perdata Putusan
Nomor 106/Pdt.G/2017/PN SKT, Penggugat telah menghitung apabila tanah obyek sengketa disewakan per
tahunnya laku sekitar Rp.2000.000 (dua juta rupiah) terhitung mulai tanggal 09 Mei 2012 jika tanah
disewakan maka dapat dihitung sebagai berikut:
Kehilangan keuntungan tanggal 09 Mei 2012- 09 Mei 2017 = 5 Tahun.
Jika per tahunnya Rp.2000.000,- maka 5 Tahun X Rp.2000.000 = Rp.10.000.000,-. (sepuluh juta
rupiah).
Maka total kerugian Materiil yang diderita oleh Penggugat adalah Rp.10.000.000.
Hakim memiliki peranan besar dalam menentukan besarnya ganti kerugian akibat perbuatan melawan
hukum. Hal ini dikarenakan hakim memiliki wewenang untuk menentukan seberapa pantas jumlah ganti
rugi yang bisa diterima oleh Penggugat berdasarkan dari sisi keadilan dan kepatutan, walaupun Penggugat
menuntut ganti rugi dengan nominal yang tidak pantas sesuai dengan Putusan MA tanggal 23 Mei 1970
No.610 K/SIP/1968 yang menetukan “Meskipun tuntutan
ganti rugi jumlahnya dianggap tidak pantas, sedangkan penggugat tetap pada tuntutannya, hakim berwenang
untuk menetapkan berapa pantasnya harus dibayar, hal ini tidak melanggar pasal 178
(3) HIR” (Rachmat Setiawan, 1982:30-32).
Majelis Hakim telah mengabulkan tuntutan ganti kerugian materiil yang mana menurut Majelis Hakim,
Penggugat dapat membuat perincian yang jelas serta wajar dan patut. Akan tetapi untuk kerugian immateriil
yang diajukan oleh Penggugat sebesar Rp 100.000.000 menurut Majelis Hakim adalah berlebihan sehingga
tuntutan pembayaran kerugian immateriil tidak bisa dikabulkan.
Majelis Hakim dalam mengabulkan tuntutan ganti rugi merujuk pada yurisprudensi tetap Mahkamah
Agung RI sebagaimana dalam putusannya Nomor 459.K/Sip/1975 tanggal 18 September 1975 yang
menyatakan bahwa “Dalam surat gugatan baik posita maupun petitumnya menuntut agar Tergugat dihukum
membayar “uang ganti rugi” kepada Penggugat. Hakim baru dapat mengabulkan tuntutan ganti rugi
tersebut, bilamana Penggugat dapat membuktikan secara terperinci kerugian dan berapa besarnya kerugian
tersebut.”
Karena Penggugat dalam kasus ini dianggap telah melampirkan bukti-bukti yang cukup dan juga dapat
menjelaskan alasan-alasan apa saja sampai Penggugat meminta ganti rugi materiil sejumlah Rp.10.000.000
(sepuluh juta rupiah). Biasanya untuk kasus tanah seperti ini ada pemeriksaan setempat, dan melihat nilai
ekonomi dari tanah obyek sengketa tersebut apakah layak jika tanah obyek sengketa dinilai seharga
Rp.2000.000 (dua juta rupiah) pertahun. Karena Penggugat menafsirkan harga tanah obyek sengketa apabila
disewakan pertahun laku sekitar Rp.2000.000 (dua juta rupiah). Majelis Hakim dalam menentukan besar
kecilnya jumlah ganti rugi akibat sengketa penguasaan hak atas tanah melihat dari Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) tanah sengketa, kewajaran harga tanah di sekitar tanah obyek sengketa terutama harga satu
meternya.
Sedangkan untuk kerugian immateriil, memang sulit untuk diprediksi, ganti rugi immateriil adalah
permintaan dari Penggugat yang tidak bisa dibuktikan. Dalam kasus ini, Penggugat meminta biaya
immateriil sebesar Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) seharusnya dirinci dan dilampiri dengan bukti-bukti
yang ada, sedangkan disini menurut Majelis Hakim tidak ada perincian dari Penggugat mengenai uang
sebesar Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) tersebut. Seperti dalam pernyataan Penggugat yaitu penggugat
tidak dapat berfikir dengan tenang dalam menjalankan usahanya dimana menurut hukum dapat dimintakan
kerugian. Tidak dapat berfikir dengan tenang ini harus dibuktikan apa saja yang dialami oleh Penggugat,
apakah penggugat sampai masuk rumah sakit dan mendapat penanganan dari dokter, lalu Penggugat harus
mengeluarkan biaya untuk perawatan di rumah sakit. Sehingga apabila itu terjadi, Penggugat dapat
melampirkan surat keterangan dari dokter agar tuntutan ganti rugi immateriil lebih dipertimbangkan untuk
dikabulkan.
Keputusan Majelis Hakim ini dirasa sudah memenuhi keadilan bagi Para Pihak apalagi Para Tergugat
saat persidangan tidak hadir, dan mereka juga tidak mengajukan banding sampai putusan ini incracht.
Mereka tidak berusaha untuk melakukan upaya hukum untuk mempertahankan tanah obyek sengketa yang
memang pada dasarnya bukan milik mereka.
Serupa dengan kasus diatas, pada Putusan No 103/Pdt.G/2006/PN.Ska, karena Para Tergugat tidak bisa
membuktikan alas hak kepemilikan tanah dimana Tergugat I dan II telah melakukan magersari di tanah hak
milik Penggugat, dan Tergugat III telah melakukan penyerobotan tanah maka perbuatan mereka adalah
perbuatan melawan hukum, sehingga harus membayar ganti rugi kompensasi kepada Penggugat. Majelis
Hakim dalam menentukan besar kecilnya jumlah ganti rugi akibat sengketa penguasaan hak atas tanah
melihat dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah sengketa, kewajaran harga tanah di sekitar tanah obyek
sengketa terutama harga satu meternya. Dalam kasus ini, Penggugat juga menuntut dikabulkannya
dwangsom (uang paksa) kepada Para Tergugat. Uang paksa ini sebenarnya supaya Para Tergugat lebih
cepat untuk meninggalkan tanah obyek sengketa.
Mereka harus membayar ganti rugi kompensasi (compensatory damages) dan pergi meninggalkan
tanah obyek sengketa, apabila Para Tergugat tidak meninggalkan tanah objek sengketa maka Penggugat
dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk melakukan eksekusi. Dalam kasus ini, sebenarnya
Para Tergugat dapat dikatakan orang yang tidak begitu mampu dari segi ekonomi sehingga mengenai ganti
rugi, apabila Para Tergugat merasa tidak sanggup untuk membayar ganti kerugian maka dapat mengadakan
musyawarah kembali dengan Penggugat agar setidaknya nominal ganti rugi bisa dikurangi atau dibayar
secara mencicil sesuai kesepakatan mereka.
D. Simpulan
Penyelesaian ganti rugi beserta pengembalian tanah akibat sengketa penguasaan hak atas tanah secara
melawan hukum yang tidak bisa diselesaikan melalui musyawarah maka bisa diselesaikan melalui
pengadilan. Ganti rugi dari sengketa penguasaan hak atas tanah secara melawan hukum yaitu melalui ganti
rugi kompensasi (compensatory damages). Penentuan besaran ganti rugi berdasarkan NJOP tanah obyek
sengketa, nilai atau harga tanah di sekitar area obyek sengketa, dan kewajaran NJOP dan harga pasaran
tanah. Hakim juga dalam menentukan besaran ganti rugi berdasarkan yurisprudensi. Setelah diputuskan
jumlah ganti rugi yang harus dibayar apabila Para Tergugat masih keberatan maka dapat meangadakan
musyawarah dengan Penggugat di luar pengadilan. Disini tergantung kebijakan dari Penggugat yang ingin
tetap mematuhi putusan pengadilan, atau menentukan berdasarkan kesepakatan para pihak atau bahkan
membebaskan kewajiban Para Tergugat untuk membayar ganti rugi.
E. Saran
Dalam hal sengketa penguasaan hak atas tanah, termasuk mengenai ganti rugi, alangkah baiknya cukup
diselesaikan dengan musyawarah. Tidak perlu sampai pengadilan, karena perlu mengeluarkan biaya dan
prosesnya akan menjadi lebih lama.
F. Daftar Pustaka
Djoko Prakoso. 1988. Masalah Ganti Rugi dalam KUHAP. Jakarta: PT Bina Aksara.
Elza Syarief. 2012. Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Hans-Bernd Schafer. 1999. “Tort Law : General”. Jerman: University Of Denver.
M.A. Moegni Djojodirdjo. 1982. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Paramitha. M.Tjoanda,
“Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”. Jurnal Sasi, Volume
16 No. 4 Bulan Oktober – Desember 2010. Ambon: Universitas Pattimura.
Munir Fuady. 2017. Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.
Peter Mahmud Marzuki. 2013. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Rachmat