Mainstreaming Isu Disabilitas Di Masyarakat Dalam Kegiatan Penelitian Maupun Pengabdian Pada Masyarakat Di Stain Kudus
Mainstreaming Isu Disabilitas Di Masyarakat Dalam Kegiatan Penelitian Maupun Pengabdian Pada Masyarakat Di Stain Kudus
Mainstreaming Isu Disabilitas Di Masyarakat Dalam Kegiatan Penelitian Maupun Pengabdian Pada Masyarakat Di Stain Kudus
1, Februari 2014
Abstract
71
Ekawati Rahayu Ningsih
Abstrak
A. Pendahuluan
Selama beberapa tahun terakhir, negara-negara di wilayah
Asia Pasifik termasuk Indonesia telah menunjukkan upaya
maksimal mengakui keberadaan manusia yang mengalami
disabilitas menjadi isu penting dalam pembahasan hak asasi
manusia. Alasannya karena para penyandang disabilitas
juga memiliki hak yang sama seperti manusia normal untuk
berkontribusi dalam bidang ekonomi, sosial, pendidikan, budaya
maupun politik kepada masyarakat. Kemajuan yang dilakukan
Indonesia dalam memperhatikan penyandang disabilitas ini
dapat dilihat ketika menandatangani Konvensi PBB mengenai
hak-hak penyandang disabilitas (UNCPRD), dan membuat
Rencana Aksi Nasional untuk meningkatkan kesejahteraan
sosial para penyandang disabilitas khususnya di Indonesia pada
tahun 2004-2013. Indonesia juga berhasil meratifikasi Konvensi
B. Pembahasan
1. Seputar Disabilitas
Sekalipun pemerintah Indonesia melalui Kementrian
Sosial RI, telah berusaha membuka akses dan pilihan pekerjaan
bagi para penyandang disabilitas, tetapi prakteknya masih sangat
terbatas. Karena data terkini tentang jumlah dan nama-nama
penyandang disabilitas di Indonesia belum bisa diakses secara
mudah sehingga menyulitkan pemerintah dalam mengambil
kebijakan membantu para penyandang disabilitas. Kurangnya data
dan minimnya upaya menyelesaikan masalah tersebut menjadikan
pemerintah kesulitan untuk menilai berbagai situasi yang sering
dialami oleh penyandang disabilitas.
Meskipun demikian, nampaknya pemerintah masih
terus berupaya menyelesaikan masalah dengan cara membuat
aksi nasional pendataan difabel di seluruh wilayah Indonesia,
memberikan pelatihan kerja, mengembangkan pelayanan dan
menempatkan tenaga kerja difabel pada posisi pekerjaan baik
yang bersifat formal maupun informal dalam bidang ekonomi,
pendidikan, budaya, politik maupun sosial. Pemerintah juga
mengembangkan sistem yang tersentralisasi untuk mendata
semua pencari kerja dan pekerjaan yang tersedia bagi kaum muda
dan penyandang disabilitas, hal ini dikarenakan ketika tenaga kerja
disabilitas dipekerjakan, seringkali dibayar murah dan peluang
promosi jabatannya sangat kecil dan sulit dibandingkan dengan
tenaga kerja normal.
Ditinjau dari sisi pendidikan, anak disabilitas memiliki
peluang sekolah sangat kecil karena keterbatasan jumlah, fasilitas,
sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia. Dalam Promoting
the Rights of Children with Disabilities oleh UNICEF2, dikatakan
2
Innocenti Research Centre, “Innocenti Digest,” 2007, hlm..13
5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang
Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas,Lembaran Negara Republik
2. Mainstreaming Disabilitas
Sebelum kita membahas tentang mainstreaming isu
disabilitas di masyarakat dalam bentuk kegiatan penelitian dan
pengabdian pada masyarakat STAIN Kudus, maka penting
bagi kita untuk melihat beberapa pengertian yaitu: pengertian
disabilitas, difabel dan program penelitian dan pengabdian pada
masyarakat di perguruan tinggi. Hal ini dilakukan karena akan
membentuk persepsi kita tentang pentingnya mengupayakan
persamaan hak pada kaum difabilitas dan selanjutnya bagaimana
kita mensikapinya dalam bentuk kebijakan dan implementasi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia1 penyandang
diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu.
Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal
dari kata serapan bahasa Inggris disability yang berarti cacat atau
ketidakmampuan.6 Disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan,
keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan
adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu
pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu
dalam melaksanakan tugas atau tindakan, sedangkan pembatasan
partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu dalam
keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah sebuah
fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri dari
tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal.7
Difabel merupakan kependekan dari “differently abled”
(perbedaan kemampuan) merupakan tema baru yang di gagas untuk
menggantikan istilah “penyandang cacat”. Dimunculkan terutama
oleh aktifis-aktifis NGO dan banyak di gunakan oleh organisasi-
organisasi dan gerakan difabel di seputar wilayah Yogyakarta dan
Jawa Tengah. Sampai saat ini penggunaan istilah difabel masih dalam
perdebatan baik di dkalangan aktifis dan organisasi difabel sendiri
dan juga antara organisasi difabel dengan pemerintah (Departemen
Sosial dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dikontraskan
misalnya dengan istilah “penyandang disabilitas”. Istilah difabel juga
baru muncul di Indonesia, dalam konteks internasional “people with
disabilities” lebih banyak digunakan.8
Menurut Ahmad Najih , dengan digunakannya istilah difabel,
masyarakat diajak untuk merekonstruksi nilai-nilai sebelumnya,
yang semula memandang kondisi cacat atau tidak normal sebagai
kekurangan atau ketidakmampuan individu, sekarang menjadi
memahami bahwa kaum difabel juga sebagai manusia hanya saja
memiliki kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan aktivitas
dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula. 9
Hal penting yang tampak pada kita adalah bahwa istilah
difabel lebih memanusiakan manusia dan terkesan lebih asertif
dibanding dengan istilah disabel. Secara garis besar, jenis-jenis
disabilitas terdiri dari:
a. Disabilitas Fisik:
1. Tidak dapat melihat (buta);
2. Tidak dapat mendengar dan/ kurang dalam mendenar
(tuli);
3. Tidak dapat berbicara (bisu);
4. Cacat tubuh;
5. Cacat suara dan nada.
b. Disabilitas Mental:
1. Sukar mengendalikan emosi dan sosial;
2. Cacat pikiran; lemah daya tangkap;
8
Ro’fah, Andayani, Muhrisun, Membangun Kampus Inklusif (Yogakarta:
PSLD UIN Sunan Kalijaga, 2010), hlm. 12.
9
Najih, Ahmad, “Pengertian Pendidikan Inklusi”, Makalah Pendidikan
Inklusi, 2011, hlm. 23.
10
Bernes, C, dan Mercer, G, Disability, (Cambridge: Polity Press, 2003),
hlm. 18.
11
Oliver, M. The Politics Of Disablement, hlm. 34.
14
Oliver, M. The Politics Of Disablement: A Sociological Approach, hlm. 29.
15
Brown, S. Methodological Paradigms that Shape Disability, hlm. 43.
Menghilangkan hambatan-
hambatan fisik dan social,
Memperbaiki individu menciptakan aksesibilitas
Strategi/
difabel dengan melalui modifikasi dan
pendekatan
menyembuhkan design universal serta
yang dilakungan
kecatatannya. mempromosikan kesehatan
dan kesejahteraan (well
being)
Layanan pendukung seperti:
Intervensi medis- teknologi pendukung
Metode
psikologis dan layanan- (assistive technology), layanan
Intervensi
layanan rehabilitasi. bantuan individu, fasilitator
pencari pekerjaan (job coach)
Hak atas support dan
layanan bagi difabel
Modifikasi dan support
didasarkan pada tinggi-
Hak dipandang sebagai sebuah
rendahnya tingkat
hak sipil.
difabilitas/ fungsi yang
dimiliki.
Pemakai atau pelanggan,
Objek intervensi, pasien, rekan yang terberdayakan
Peran Individu
penerima bantuan dan (empowered peer), partisipan
Difabel
subjek penelitan. riset dan pemegang
kebijakkan
C. Simpulan
Penting kiranya bagi kita untuk mengetahui dan memahami
kebutuhan pelayanan mahasiswa difabel. Tidak hanya program
16
Barton, Len dan Felicity Armstrong, Policy, Experience,
and Change; Cross Cultural Reflection on Inclusive Education (Dordrecht:
Springer, 2007), hlm. 32.
Daftar Pustaka