Verifikasi Metode Analisis Serat Pangan Dengan Metode Aoac Dan Asp Terhadap Parameter
Verifikasi Metode Analisis Serat Pangan Dengan Metode Aoac Dan Asp Terhadap Parameter
Verifikasi Metode Analisis Serat Pangan Dengan Metode Aoac Dan Asp Terhadap Parameter
SKRIPSI
KANDI JELITA
F24063180
ABSTRACT
Methods of analyzing dietary fiber (DF) have undergone extensive development in the last two
decades. At present, the most widely used methods are the enzymatic-gravimetric AOAC official
method and the enzymatic-chemical Englyst method. Enzymatic-gravimetric was used in this research
because of its economic value. New modifications of the AOAC method are continuously being
proposed by researchers. We need to ensure that the method has good performance by verification
method.
The purpose of this study was to verified enzymatic-gravimetric method for analyzing DF. Four
kind of food, raw peanut, raw soybean, carrot, and oat were analyzed for total DF, soluble DF and
insoluble DF content by two current enzymatic-gravimetric methods; AOAC Official Methods (1999)
and the Asp Method (1992). The results obtained by these two methods were compared. Results for
raw soybean were significantly different while other samples were relatively similar. Different enzyme
used in two methods leads to variance of DF content for high protein sample. Asp method could
efficiently hydrolyze protein because it has two enzyme hydrolyzing step. Ruggedness test was carried
out to find the best concentration of ethanol for precipitate SDF between 95% and 78%. Ethanol 78%
could precipitate SDF.
RINGKASAN
Analisis serat pangan diperlukan untuk mengetahui kandungan serat pangan dalam produk
pangan. Analisis serat pangan yang berkembang saat ini terbagi pada dua kelompok utama, yaitu
enzimatik gravimetri dan enzimatik kimia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode enzimatik gravimetri dengan alasan lebih mudah dan ekonomis.
Penelitian dilakukan dengan membandingkan hasil analisis serat pangan antara metode AOAC
dan metode Asp untuk menentukan metode terbaik dalam menganalisis serat pangan. Metode terbaik
dipilih berdasarkan hasil verifikasi, antara lain memiliki repeatability yang baik, yaitu memiliki nilai
RSD (Relative Standard Deviation) maksimal 2/3 RSDR (Horwitz), dan memiliki nilai serat pangan
yang berada di dalam rentang data sekunder. Selain itu, ruggedness test dilakukan untuk mengetahui
konsentrasi etanol yang dapat mengendapkan serat pangan larut (SDF). Konsentrasi etanol yang
digunakan ialah 78% dan 95%. Matriks sampel yang digunakan dalam penelitian ini ialah kacang
kedelai, kacang tanah, oat, dan wortel.
Ketelitian hasil analisis SDF tidak dapat diterima secara statistik karena sebagian besar nilai
RSD yang lebih besar dari nilai RSD maksimal yang dapat diterima, yaitu 2/3 RSDR pada metode
AOAC dan Asp. Rataan TDF dan IDF kacang kedelai dengan metode AOAC ialah 59.42 dan 57.65%,
dengan nilai standar deviasi (SD) sebesar 0.10 dan 0.23%. Nilai ini berbeda nyata jika dibandingkan
dengan rataan yang diperoleh menggunakan metode Asp, yaitu 35.22 dan 30.43% dengan nilai SD
sebesar 0.23 dan 0.25%. Rataan TDF dan IDF kacang tanah dengan metode AOAC ialah 12.49 dan
11.48%, dengan nilai SD sebesar 0.07 dan 0.02%. Tidak berbeda nyata dengan rataan yang diperoleh
menggunakan metode Asp, yaitu 12.22 dan 11.29% dengan nilai SD sebesar 0.04 dan 0.03%. Nilai
TDF dan IDF oat metode AOAC ialah 13.64 dan 8.46% dengan SD 0.10 dan 0.03%, sementara
dengan metode Asp menghasilkan nilai 11.84 dan 7.28% dengan SD 0.10 dan 0.07%. Nilai TDF dan
IDF wortel metode AOAC ialah 23.69 dan 9.19% dengan SD 0.08 dan 0.10%, sementara dengan
metode Asp menghasilkan nilai 24.30 dan 9.50% dengan SD 0.21 dan 0.13%. Nilai serat pangan tiap
sampel yang dianalisis menggunakan metode AOAC dan Asp kemudian dibandingkan dengan data
sekunder.
Kacang kedelai yang mewakili bahan pangan tinggi protein menghasilkan nilai serat pangan
yang lebih tinggi dibandingkan batas atas rentang data sekunder pada metode AOAC. Hal ini diduga
karena tidak sempurnanya proses hidrolisis yang terjadi selama analisis. Sementara itu, nilai serat
pangan pada sampel kacang kedelai yang dianalisis menggunakan metode Asp berada dalam rentang
data sekunder karena memiliki dua tahap hidrolisis protein oleh enzim. Kacang tanah yang mewakili
bahan pangan tinggi lemak memiliki nilai serat pangan yang berada dalam rentang data sekunder, baik
yang dianalisis menggunakan metode AOAC maupun Asp. Tingginya kadar lemak yang terkandung
di dalam sampel kacang tanah tidak mengakibatkan data analisis memiliki variasi yang besar. Begitu
pula yang terjadi pada sampel oat dan wortel, tingginya kandungan karbohidrat dan air yang terdapat
di dalam sampel tidak mempengaruhi keakuratan analisis jika dibandingkan dengan data sekunder.
Penelitian ini merekomendasikan penggunaan metode Asp sebagai metode yang digunakan
untuk analisis serat pangan karena nilai TDF dan IDF pada semua sampel yang dianalisis
menggunakan metode Asp berada di dalam rentang data sekunder. Selain itu, konsentrasi etanol 78%
sudah dapat digunakan untuk mengendapkan SDF dan tidak berbeda nyata dengan metode Asp yang
menggunakan etanol 95%.
VERIFIKASI METODE ANALISIS SERAT PANGAN DENGAN
METODE AOAC DAN ASP TERHADAP PARAMETER
REPEATABILITY, SELEKTIVITAS, DAN RUGGEDNESS
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
KANDI JELITA
F24063180
Menyetujui,
(Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M.Sc ) (Dr. Didah Nur Faridah, S.TP, M.Si)
NIP 196004220 198303 .2. 003 NIP 19711117 199802 .2. 001
Mengetahui :
Plt. Ketua Departemen,
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Verifikasi Metode
Analisis Serat Pangan Dengan Metode AOAC Dan Asp Terhadap Parameter
Repeatability, Selektivitas, Dan Ruggedness adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan
Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Kandi Jelita
F24063180
© Hak cipta milik Kandi Jelita, tahun 2011
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian
Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi,
mikrofilm, dan sebagainya
BIODATA PENULIS
Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil
diselesaikan. Penelitian dengan judul Perbandingan Metode Analisis Serat Pangan Secara Enzimatik-
Gravimetri antara Metode AOAC dan Metode Asp dilaksanakan di laboratorium Ilmu dan Teknologi
Pangan, Institut Pertanian Bogor sejak bulan Juni sampai Desember 2010.
Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan
penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua, Ir. Al-Qudri A.Gani, MM dan Dra. Lailatul Fadhliah, yang senantiasa
memberikan dorongan serta doa selama penulis melaksanakan kuliah.
2. Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M.Sc. sebagai dosen pembimbing utama.
3. Dr. Didah Nur Faridah, S.TP, M.Si atas saran dan bantuan moril yang diberikan selaku dosen
pembimbing pendamping.
4. Segenap teknisi laboratorium ITP IPB yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian.
5. Lab Jasa Analisis (LJA) yang telah mendanai penelitian yang dilakukan oleh penulis.
6. Ir. Sri Endah Agustina, M.S. dan Dr. Rimbawan yang telah memberikan saran dan dukungan moril
selama penulis melakukan studi di Fakultas Teknologi Pertanian.
7. Seluruh teman, sahabat, adik dan kakak kelas yang telah member dukungan yang tulus serta
kegembiraan yang tak terkira.
8. Pemerintah Aceh yang telah membiayai kuliah penulis selama empat tahun.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang analisis pangan.
Kandi Jelita
iii
DAFTAR ISI
Halaman
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Tipe serat pangan ................................................................................................... 4
2 Data kadar air dan kadar lemak sampel sebelum dan setelah proses
persiapan sampel ..................................................................................................... 5
3 Perbedaan prosedur analisis serat pangan metode AOAC dan Asp ........................... 10
4 Data proksimat sampel ........................................................................................... 11
5 Verifikasi metode pengujian .................................................................................... 12
6 Nilai TDF sampel menggunakan metode AOAC dan Asp ....................................... 23
7 Data sekunder serat pangan pada kacang kedelai, kacang tanah, oat,
dan wortel ............................................................................................................... 23
8 Nilai IDF dan SDF sampel menggunakan metode AOAC dan Asp ........................... 25
9 Data serat pangan sampel dengan metode AOAC..................................................... 27
10 Data serat pangan sampel dengan metode Asp ......................................................... 27
11 Kadar protein dan abu pada residu akhir analisis serat pangan .................................. 30
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Ikatan α (1-4) antar monomer glukosa pada pati dan glikogen ........................................ 3
2. Ikatan β (1-4) antar unit glukosa dalam selulosa ............................................................. 4
3. Reaksi hidrolisis pati oleh enzim termamyl ..................................................................... 6
4. Mekanisme reaksi enzim protease .................................................................................. 8
5. Reaksi pemecahan ikatan peptida oleh enzim pepsin menghasilkan asam amino .............. 9
6. Diagram Ishikawa faktor-faktor kesalahan analisis serat pangan metode Enzimatik-
gravimetri ...................................................................................................................... 14
7. Diagram proses evaluasi metode analisis serat pangan terhadap parameter repeatability .. 21
8. Diagram proses evaluasi metode analisis serat pangan terhadap parameter selektivitas .... 21
9. Diagram proses evaluasi metode analisis serat pangan terhadap parameter ruggedness .... 22
10. Perbandingan nilai RSD dan RSDR (Horwitz) TDF metode AOAC ................................ 28
11. Perbandingan nilai RSD dan RSDR (Horwitz) TDF metode Asp ..................................... 28
12. Perbandingan nilai RSD dan RSDR (Horwitz) IDF metode AOAC ................................. 28
13. Perbandingan nilai RSD dan RSDR (Horwitz) IDF metode Asp....................................... 28
14. Perbandingan nilai RSD dan RSDR (Horwitz) SDF metode AOAC...……. ..................... 28
15. Perbandingan nilai RSD dan RSDR (Horwitz) SDF metode Asp ...................................... 28
16. Rataan TDF sampel menggunakan presipitasi etanol 78% dan 95% (Asp) ....................... 30
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Contoh perhitungan serat pangan, SD, dan RSD ............................................................. 36
2. Analisis TDF, SDF, dan IDF metode AOAC .................................................................. 37
3. Uji t dan F untuk TDF kacang kedelai metode AOAC dan metode Asp .......................... 43
4. Uji t dan F untuk TDF kacang tanah metode AOAC dan metode Asp ............................. 44
5. Uji t dan F untuk TDF oat metode AOAC dan metode Asp ............................................. 45
6. Uji t dan F untuk TDF wortel metode AOAC dan metode Asp ........................................ 46
7. Uji t dan F untuk IDF kacang kedelai metode AOAC dan metode Asp ......................... 47
8. Uji t dan F untuk IDF kacang tanah metode AOAC dan metode Asp ........................... 48
9. Uji t dan F untuk IDF oat metode AOAC dan metode Asp ............................................ 49
10. Uji t dan F untuk IDF wortel metode AOAC dan metode Asp ...................................... 50
11. Uji t dan F untuk SDF kacang kedelai metode AOAC dan metode Asp ....................... 51
12. Uji t dan F untuk SDF kacang tanah metode AOAC dan metode Asp .......................... 52
13. Uji t dan F untuk SDF oat metode AOAC dan metode Asp ............................................ 53
14. Uji t dan F untuk SDF wortel metode AOAC dan metode Asp ...................................... 54
15. Uji t dan F untuk ruggenness test TDF kacang kedelai (78%) dan metode Asp (95%) ... 55
16. Uji t dan F untuk ruggenness test TDF kacang tanah (78%) dan metode Asp (95%) .... 56
17. Uji t dan F untuk ruggenness test TDF oat (78%) dan metode Asp (95%) .................... 57
18. Uji t dan F untuk ruggenness test TDF wortel (78%) dan metode Asp (95%) ................. 58
19. Data serat pangan sampel dengan metode AOAC dan Asp ............................................. 59
20. Data serat pangan ruggedness test ................................................................................. 61
21. Instruksi kerja analisis total serat pangan metode enzimatik gravimetri ........................... 62
22. Instruksi kerja analisis serat pangan tidak larut dan larut metode enzimatik gravimetri .... 64
vii
I. PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Serat pangan adalah komponen pangan atau bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh
enzim dalam pencernaan tubuh manusia. Sebagian besar serat pangan merupakan polisakarida
yang berasal dari tumbuhan, sementara sebagian lainnya ialah gum, selulosa termodifikasi,
mucilage, oligosakarida, dan pektin. Berdasarkan kelarutannya dalam air, serat pangan terbagi
menjadi dua jenis yaitu serat pangan larut (SDF) dan serat pangan tidak larut (IDF). SDF terdiri
dari pektin dan turunannya, gum, serta mucilage. Sementara IDF terdiri dari selulosa,
hemiselulosa, lignin dan selulosa termodifikasi.
Manfaat serat pangan bagi kesehatan telah dipubikasikan di berbagai literatur ilmiah. Serat
pangan yang dikonsumsi dalam jumlah yang cukup dapat mengurangi risiko kanker kolon dan
dapat menjaga kadar lemak dalam darah sehingga dapat mengurangi risiko obesitas, hipertensi,
dan penyakit jantung. Beberapa tipe serat pangan seperti pektin dan hidrokoloid mampu
memperlambat absorpsi D-glukosa dan mengurangi sekresi insulin sehingga sangat berguna bagi
penderita diabetes. Jumlah Dietary Reference Intake (DRI) serat pangan adalah sebesar 25 g per
2000 kcal per hari (BeMiller, 2009).
Kadar serat pangan dapat diketahui dari hasil analisis dengan menggunakan metode analisis
baik secara enzimatik gravimetri maupun enzimatik kimia. Analisis serat pangan yang digunakan
dalam penelitian ini ialah secara enzimatik gravimetri karena lebih mudah dan ekonomis. Dari
beberapa metode analisis secara enzimatik gravimetri, metode yang dipilih ialah metode AOAC
Official Method 985.29; 993.19; dan 991.42 (1999) sebagai metode standar dan metode Asp
(1992) sebagai metode yang digunakan untuk menganalisis kadar serat pangan dengan sampel
yang sama.
Metode Asp dipilih karena pada metode ini, enzim yang digunakan berbeda dengan metode
AOAC untuk menghidrolisis pati dan protein, yaitu pepsin dan pankreatin. Enzim yang
digunakan pada metode Asp merupakan enzim fisiologis, yaitu enzim yang terdapat di saluran
pencernaan tubuh manusia. Sementara metode AOAC menggunakan enzim protease dan
amiloglukosidase. Selain perbedaan enzim yang digunakan, metode Asp juga lebih ekonomis
dibandingkan metode AOAC
Sebelum metode analisis standar diterapkan di laboratorium, dilakukan terlebih dahulu
tahapan verifikasi metode. Verifikasi metode dilakukan terhadap metode standar AOAC Official
Method 985.29; 993.19; dan 991.42 (1999) dan Asp (1992) dengan parameter yaitu repeatability,
selektivitas, dan ruggedness. Verifikasi terhadap semua parameter tersebut diharapkan dapat
menghasilkan prosedur analisis serat pangan yang dapat diterapkan oleh laboratorium. Verifikasi
terhadap parameter repeatability dinilai dari standar deviasi analisis serat pangan terhadap
matriks sampel yang dilakukan sebanyak tujuh hingga sepuluh kali. Sementara itu, verifikasi
terhadap parameter selektivitas dilakukan dengan membandingkan kadar kontaminan
(impurities) yang terdapat di residu akhir analisis serat pangan antara metode AOAC dan Asp.
Kontaminan yang akan dibandingkan ialah kadar abu dan kadar protein. Verifikasi terhadap
parameter ruggedness dilakukan untuk mengevaluasi salah satu titik kritis metode, yaitu
konsentrasi etanol yang digunakan untuk mengendapkan SDF. Variasi konsentrasi etanol yang
digunakan menunjukkan bahwa tahap ini masih memerlukan kajian yang lebih mendalam.
Prosky et al. (1988) menggunakan etanol dengan konsentrasi 78% sementara AOAC dan Asp
menggunakan konsentrasi 95%.
Matriks sampel yang digunakan untuk menganalisis kadar serat pangan dalam penelitian ini
ialah kacang kedelai, kacang tanah, oat, dan wortel. Kacang kedelai dipilih karena memiliki kadar
protein yang tinggi. Kacang tanah memiliki kadar lemak yang tinggi, oat merupakan makanan
sumber karbohidrat, sementara wortel termasuk dalam jenis sayur dan buah. Pemilihan matriks
sampel tersebut bertujuan mempelajari pengaruh perbedaan komposisi kimia pada berbagai
matriks sampel dengan menggunakan metode yang berbeda (AOAC dan Asp).
2. TUJUAN PENELITIAN
1. Melakukan verifikasi metode standar untuk analisis kuantitatif total serat pangan, serat
pangan larut dan tidak larut berdasarkan metode AOAC 985.29; 993.19; dan 991.42 tahun
1999 dan Asp tahun 1992.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 SERAT PANGAN (DIETARY FIBER)
Deskripsi serat pangan oleh Trowell yang diacu dalam Cummings & Englyst (1991)
menyebutkan bahwa serat pangan merupakan bagian dari makanan yang diperoleh dari dinding
sel tumbuhan. Berdasarkan aspek fisiologi dan nutrisi, serat pangan meliputi semua jenis
polisakarida dan lignin, serta beberapa jenis oligosakarida, yang tahan terhadap enzim pencernaan
di jalur gastrointestinal atas. Serat pangan dapat didefinisikan sebagai ingredien pangan
fungsional karena tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia dan mampu mempengaruhi
satu atau lebih fungsi tubuh sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesehatan (Diplock et al.
1999).
Selama lebih dari dua dekade, manfaat serat pangan telah banyak dipublikasi. Serat pangan
berperan dalam mengatur motilitas saluran gastrointestinal, mempengaruhi metabolisme glukosa
dan lemak, memperlancar buang air besar, menstimulasi aktivitas metabolisme bakteri,
detoksifikasi terhadap zat-zat yang berada dalam kolon, serta berkontribusi dalam menjaga
kestabilan ekosistem di kolon dan integritas mukosa intestinal (Guillon et al. 2000).
Ditinjau dari sudut geografis, konsumsi serat pangan cukup bervariasi. Di negara maju,
seperti Amerika Serikat, konsumsi serat relatif lebih rendah dibandingkan masyarakat di negara
lain. Sebagai contoh, rata-rata asupan serat pangan di Amerika Serikat hanya berkisar antara 12
hingga 15 g per hari. Nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan rekomendasi World Health
Organization (WHO), yaitu sekitar 25 hingga 40 g per hari. Sementara penduduk Afrika
diketahui mengonsumsi serat sebanyak 50 g per hari (Jalili et al. 2001).
Polisakarida terdiri atas polisakarida yang dapat dicerna dan tidak dapat dicerna. Polisakarida
yang dapat dicerna memiliki ikatan α (1-4) seperti yang terdapat pada pati serta beberapa jenis
glikogen dalam daging. Ikatan ini dapat dicerna oleh enzim amilase yang disekresikan oleh
kelenjar saliva dan pankreas. Selain ikatan α (1-4), terdapat titik percabangan dalam rantai pati
dan glikogen yaitu ikatan α (1-6) yang dapat dihidrolisis oleh enzim α (1-6) dextrinase
(isomaltase) yang disekresikan oleh pankreas. Sebaliknya, polisakarida yang tidak dapat dicerna
memiliki ikatan β (1-4). Enzim yang disekresikan oleh kelenjar saliva dan pankreas tidak dapat
menghidrolisis ikatan kovalen β (1-4). Meskipun polisakarida dengan jenis ikatan β (1-4) bersifat
resistan terhadap pencernaan manusia, bakteri yang terdapat pada usus besar mampu
memetabolisme serat dan menghasilkan asam lemak rantai pendek (asam asetat, propionat dan
butirat) sebagai metabolit. Ikatan antar monomer glukosa pada pati dan glikogen dapat dilihat
pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Ikatan α (1-4) antar monomer glukosa pada pati dan glikogen (Jalili et al. 2001)
Gambar 2. Ikatan β (1-4) antar unit glukosa dalam selulosa (Jalili et al. 2001)
Serat pangan berdasarkan kelarutannya terhadap air terbagi pada dua jenis. Pertama serat
pangan larut (SDF) yang terdiri dari pektin dan turunannya, gum, serta mucilage. Sementara serat
tidak larut (IDF) terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan selulosa termodifikasi. Sumber
makanan yang kaya akan SDF ialah buah-buahan, polong-polongan, oat dan beberapa jenis
sayur-sayuran. Di samping itu, IDF banyak terdapat di dalam sereal, biji-bijian, polong-polongan
serta sayur-sayuran. Keterangan lebih detail tentang tipe serat pangan dapat dilihat pada Tabel 1.
Derajat
Tipe Karakteristik Sumber
Degradasi*
Larut
Pektin Kaya akan asam galakturonat, Serealia utuh, +
rhamnosa, arabinosa, galaktosa; polong-polongan,
karakteristik lapisan tengah dan kol, umbi-umbian,
dinding luar apel
Tidak Larut
Selulosa Struktur dasar dinding sel; Serealia utuh, +
hanya terdiri dari monomer bekatul, kol dan
glukosa sejenisnya, kacang
kapri, buncis, apel,
umbi-umbian
Hemiselulosa Komponen dinding sel primer Bekatul, sereal, biji +
dan sekunder; tipe yang berbeda utuh
terdiri dari unit monomer yang
berbeda pula
4
2.2 PRINSIP ANALISIS SERAT PANGAN METODE AOAC DAN ASP
Metode analisis yang dikembangkan oleh AOAC Official Methods dan Asp et al. (1992)
adalah metode yang dipilih pada penelitian ini. Kedua metode ini termasuk dalam kategori
analisis serat pangan secara enzimatik gravimetri. Enzimatik gravimetri lebih ekonomis
dibandingkan dengan metode enzimatik kimia.
Sebelum keempat sampel dianalisis kadar serat pangannya, sampel terlebih dahulu
diberikan perlakuan pendahuluan yang sesuai dengan karakteristik sampel. Karakteristik sampel
dibedakan menjadi tiga jenis, antara lain sampel tinggi lemak, sampel basah, dan sampel kering.
Teknik persiapan sampel pada metode AOAC tidak berbeda dengan metode Asp.
Sampel kacang kedelai dan kacang tanah merupakan sampel yang memiliki kadar lemak
yang tinggi, yaitu lebih dari 10%. Kedua sampel ini membutuhkan ekstraksi lemak terlebih
dahulu melalui ekstraksi pelarut menggunakan 25 bagian (v/b) petroleum eter atau heksana.
Dalam penelitian ini solven yang digunakan adalah petroleum eter karena memiliki titik didih
yang rendah, yaitu 35-38oC sehingga lebih mudah dipisahkan dari bahan pangan melalui
penguapan atau pemanasan. Selain itu, petroleum eter lebih bersifat hidrofobik, selektif terhadap
lemak, murah, tidak higroskopis, dan tidak mudah terbakar dibandingkan dengan etil eter.
Komposisi utama petroleum eter adalah pentana dan heksana (Min dan Ellefson, 2010). Pentana
dan heksana bersifat sinergis dalam mengekstrak lemak dan pencampuran keduanya
mengakibatkan petroleum eter bersifat lebih stabil (Fialkov dan Chumak, 2000). Ekstraksi lemak
dengan petroleum eter dilakukan sebanyak tiga kali, lalu petroleum eter dibiarkan menguap
selama 15 menit. Sampel kemudian dikeringkan sekitar 12 jam pada oven bersuhu 105o C
hingga kadar air sampel kurang dari 5%.
Ekstraksi lemak yang dilakukan pada penelitian ini termasuk ekstraksi pelarut (liquid-liquid
extraction). Ekstraksi pelarut didefinisikan sebagai proses pemisahan suatu zat dari sebuah
campuran dengan mencampurkan dalam sebuah pelarut yang mampu melarutkan zat yang
diinginkan tetapi tidak melarutkan zat lainnya (Holden 1999). Data hasil analisis serat pangan
dikoreksi oleh selisih bobot akibat penghilangan lemak dan air selama proses persiapan sampel.
Sampel wortel merupakan sampel yang termasuk dalam jenis sampel basah. Oleh karena
itu, sampel ini dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 70oC menggunakan oven vakum hingga
kadar air sampel kurang dari 5% karena memiliki zat yang relatif sensitif terhadap panas
(Devahastin dan Suvarnakuta 2008). Sampel kemudian diblender dan diayak agar ukuran sampel
homogen, yaitu 40-50 mesh.
Sampel oat merupakan jenis sampel basah sahingga harus dikeringkan terlebih dahulu
menggunakan oven pada suhu 105oC hingga kadar air sampel kurang dari 5%. Berbeda dengan
sampel wortel yang sensitif terhadap panas, sampel oat tidak memiliki substansi yang sensitif
terhadap panas sehingga air dalam sampel dapat diuapkan menggunakan suhu yang relatif lebih
tinggi. Sampel kemudian diblender dan diayak agar ukuran sampel homogen, yaitu 40-50 mesh.
BeMiller (2009) menyatakan bahwa persyaratan sampel yang digunakan dalam analisis
serat pangan ialah kadar lemak kurang dari 10%, kadar air kurang dari 5%, serta ukuran mesh
sampel berkisar antara 40-50 mesh. Ukuran sampel yang lebih kecil meningkatkan luas area
kontak sehingga hidrolisis pati dan protein oleh enzim dapat berjalan secara efisien dan efektif
(Naz 2002). Tabel 2 menunjukkan data mengenai kadar air dan kadar lemak sampel.
5
Tabel 2. Data kadar air dan kadar lemak sampel sebelum dan setelah proses persiapan
sampel
Kadar air (%) Kadar Lemak (%)
Sampel
Awal Akhir Awal Akhir
Kacang Kedelai 11.67 1.24 16.98 1.31
Kacang Tanah 15.02 1.36 48.01 2.97
Wortel* 78.98 1.25 0.23 -
*tidak dilakukan ekstraksi terhadap lemak
Sampel yang telah homogen disimpan di dalam kemasan tertutup dan kedap udara. Sampel
dikemas sebanyak lima gram per kemasan. Silika gel (SiO2.H2O) diletakkan di dalam kemasan
agar dapat menyerap air. Silika gel menyerap air melalui proses adsorpsi dan kondensasi kapiler
(Karukstis dan Van Hecke 2003). Selanjutnya sampel disimpan di dalam freezer bersuhu 0 –
(-20oC). Metode penyimpanan ini bertujuan menurunkan aktivitas enzim dan pertumbuhan
mikroba yang masih ada di dalam sampel (Morawicki 2009). Aktivitas enzim dapat menurun
akibat proses denaturasi protein oleh panas, perlakuan pH, atau salting out.
Pertumbuhan mikroba juga dapat dihambat melalui proses pengeringan dan penambahan
bahan pengawet. Kadar bahan pengawet yang digunakan ditentukan berdasarkan kemungkinan
kontaminasi, kondisi penyimpanan, lama penyimpanan, serta analisis yang akan dilakukan
terhadap sampel. Kadar air yang rendah pada sampel yang digunakan dalam penelitian ini
menyebabkan penambahan pengawet dalam sampel selama penyimpanan tidak dibutuhkan. Nilai
Aw yang rendah dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan
sampel.
Persamaan lainnya antara metode AOAC dan Asp terletak pada prosedur hidrolisis pati
menggunakan enzim α-amilase tahan panas (Termamyl). Sampel terlebih dahulu dipanaskan (95-
100oC selama 30-35 menit) agar granula pati tergelatinisasi sehingga lebih mudah dihidrolisis
oleh enzim. Suspensi pati yang dipanaskan akan mengembang hingga volume tertentu serta
menyerap air. Hal tersebut berakibat pada rentannya pati terhadap zat kimia atau enzim yang ada
di sekelilingnya (Uhlig 1998). Enzim yang tahan panas dibutuhkan agar enzim tidak
terdenaturasi selama proses gelatinisasi sampel. Selama proses ini, terjadi pemotongan terhadap
molekul pati pada ikatan α (1-4). Pemotongan oleh enzim termamyl menghasilkan glukosa,
maltosa dan oligosakarida (Ceirwyn, 1999).
Mekansime reaksi enzim termamyl dapat dilihat pada Gambar 3. Enzim termamyl memiliki
gugus karboksil dan gugus nitrogen (imidazol) pada sisi aktifnya. Substrat (pati) membentuk
kompleks dengan enzim termamyl. Karboksil anion kemudian menyerang substrat pada posisi C
nomor 1. Produk antara yang terbentuk ialah glukosil-enzim yang selanjutnya dipisahkan melalui
reaksi deglukosilasi. Gugus imidazol berperan dalam reaksi deglukosilasi dengan mengikat
proton pada air sehingga molekul air menjadi OH- yang menyerang C1 pada kompleks glukosil-
enzim. Hasil reaksi berupa glukosa, maltosa dan oligosakarida yang memiliki C1 dengan
konfigurasi α (Naz 2002).
6
Asp197
HO HO C HO C
O O -O O
OH OH OH
OH HO OH OH
HO HO HO
O HO
H O
OH
H H
HO
O O O O O- O OH
C C C
CH 2 CH2 CH2
CH 2 CH2 CH2
Komponen penyebab utama ketidakakuratan analisis serat pangan ialah pati (BeMiller
2010). Proses penghilangan pati yang tidak sempurna akan meningkatkan jumlah residu akhir
yang berarti sebagai kesalahan hasil analisis. Oleh karena itu, pada prosedur analisis serat pangan
metode AOAC dan Asp terdapat tahap hidrolisis pati lanjutan menggunakan enzim. Tahap ini
bertujuan untuk memastikan bahwa pati yang terdapat di dalam sampel terhidrolisis dengan
sempurna. Akan tetapi, enzim yang digunakan pada kedua metode tersebut berbeda satu sama
lain. Enzim yang digunakan pada metode AOAC untuk menghidrolisis pati ialah
amiloglukosidase, sementara pada metode Asp digunakan enzim pankreatin.
7
Enzim protease yang digunakan dalam analisis serat pangan metode AOAC berasal dari
Bacillus subtilis. Hidrolisis menggunakan enzim protease bertujuan menghidrolisis protein yang
terdapat di dalam sampel. Enzim protease memutuskan ikatan peptida pada struktur protein.
Mekanisme reaksi pemutusan ikatan peptida terdiri atas reaksi alkilasi dan deasilasi. Naz (2002)
menjelaskan tahapan reaksi tersebut sebagai berikut: 1) pembentukan kompleks enzim-protein
dengan ikatan kovalen yang bersifat reversible, 2) pembentukan produk antara tetrahedral akibat
penyerangan oleh serin 221 yang bersifat reaktif terhadap C karbonil. 3) protonasi pada substrat
yang menyebabkan berubahnya struktur tetrahedral menjadi kompleks asil-enzim. 4) produk
antara tetrahedral terbentuk kembali akibat penyerangan H2O terhadap kompleks asil-enzim. 5)
aktivitas His 64-Ser 221 mengakibatkan terjadinya pembebasan sisi asilasi pada substrat
sehingga menghasilkan asam amino. Mekanisme reaksi enzim protease dapat dilihat pada
Gambar 4. Protease aktif pada kondisi pH antara 6-8 (Barberis et al. 2008).
8
Hidrolisis protein pada metode Asp menggunakan enzim pepsin, yaitu enzim proteolitik
yang aktif pada pH asam. Oleh karena itu, pada lambung manusia pepsin berperan dalam
pencernaan protein tahap awal yang menghasilkan asam amino dan polipeptida (Ganapathy et al.
2006). Asam amino kemudian diserap sementara polipeptida yang ukurannya lebih besar
dihidrolisis oleh enzim pankreatin di usus dua belas jari (Silk 1985). Mekanisme kerja enzim
pepsin serupa dengan enzim protease, yaitu memecah ikatan peptida pada protein menjadi asam
amino. Enzim pepsin terdiri atas dua gugus karboksil, yaitu gugus yang terprotonasi dan gugus
yang terionisasi. Tahap pertama dari pemecahan ikatan peptida ialah terbentuknya kompleks
enzim-substrat. Tahap selanjutnya ialah penyerangan pada gugus karboksilat pada ikatan
peptida. Oksigen karbonil pada gugus terprotonasi kemudian mengikat proton dari gugus
hidroksil yang mengakibatkan terbentuknya produk antara berupa kompleks amino-asil-enzim.
Kompleks tersebut kemudian bereaksi dengan air sehingga menghasilkan asam amino. Reaksi
pemecahan ikatan peptida oleh enzim pepsin dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Reaksi pemecahan ikatan peptida oleh enzim pepsin menghasilkan asam amino
(Naz 2002)
Enzim yang digunakan dalam analisis serat pangan harus memiliki spesifikasi tertentu,
terutama aktivitas spesifik (Anonim 1999). Aktivitas spesifik ialah satuan yang digunakan untuk
mengukur kinerja enzim. Satuan aktivitas enzim pada umumnya dinyatakan dalam unit aktivitas
yang menyatakan jumlah enzim yang mengubah 1 µmol substrat per menit pada kondisi
optimum (Anonim 2002). Termamyl memiliki aktivitas sebesar 3000 U/ml, protease memilliki
konsentrasi 50 mg/ml atau setara dengan 350 unit tyrosin/ml, sementara amiloglukosidase
memiliki aktivitas sebesar 50 U/ml. Aktivitas enzim pepsin yang digunakan pada analisis serat
pangan metode Asp ialah 2755 U/mg.
9
Protein yang tersisa pada residu akhir diperhitungkan sebagai faktor koreksi, baik pada
metode AOAC maupun Asp. Analisis protein pada residu dilakukan melalui metode analisis
nitrogen Kjehldahl (AOAC 1999). Selain protein, mineral yang tersisa pada residu akhir juga
dikoreksi melalui metode pengabuan. Asp (2001) menjelaskan bahwa pengendapan mineral
terjadi pada tahap presipitasi serat pangan larut (SDF) menggunakan etanol. Oleh karena itu,
sebagian besar peneliti menyarankan adanya koreksi terhadap kadar abu dan protein terhadap
residu serat di akhir analisis (Prosky et al. 1988; Schweizer et al. 1988; Lee et al. 1992).
Presipitasi SDF dilakukan dengan menambahkan etanol 95% ke dalam larutan analisis yang
terdiri atas IDF, SDF terlarut, hasil hidrolisis enzim, mineral, serta komponen kontaminan
lainnya. Tingkat kelarutan polisakarida, dalam hal ini SDF, di dalam larutan menurun akibat
penambahan larutan tertentu seperti alkohol, iodin, tembaga, dan garam amonium kuartener.
Penurunan tingkat kelarutan polisakarida di dalam air menyebabkan polisakarida mengalami
presipitasi atau pengendapan (Aman & Westerlund 2006).
Perbedaan antara analisis TDF dan IDF terletak pada proses presipitasi. Komponen IDF
terlebih dahulu dipisahkan dari larutan analisis melalui penyaringan, sehingga filtrat yang
diperoleh hanya terdiri atas komponen SDF terlarut yang selanjutnya dipresipitasi. Asp (2001)
menyatakan bahwa presipitasi menggunakan etanol akan mengendapkan polisakarida yang
memiliki derajat polimerisasi >10. Akan tetapi, pada beberapa kasus, polisakarida yang memiliki
derajat polimerisasi yang besar tidak dapat dipresipitasi oleh etanol, terutama molekul yang
bercabang. Polisakarida yang memiliki derajat polimerisasi <10 tidak termasuk dalam kategori
serat pangan (Anonim 2001).
Garbelotti et al. (2003) menyatakan bahwa perbedaan prosedur analisis utama di antara
metode enzimatik gravimetri yang berkembang saat ini terletak pada enzim yang digunakan,
waktu, serta suhu reaksi. Lee et al. (1992) memperbaharui teknik analisis pada metode AOAC
untuk mempersingkat waktu reaksi sehingga dapat meningkatkan presisi metode. Perbedaan
kondisi analisis antara metode AOAC dan Asp dapat dilihat pada Tabel 3.
.
Tabel 3. Perbedaan prosedur analisis serat pangan metode AOAC dan Asp
Prosedur Analisis AOAC Asp
Enzim protease, inkubasi 30 Enzim pepsin, inkubasi 60
o
Hidrolisis protein menit, suhu 60 C, dan pH 7.5 ± menit, suhu 40oC, dan pH
0.1 1.5
Enzim amiloglukosidase, Enzim pankreatin, inkubasi
o
Hidrolisis pati inkubasi 30 menit, suhu 60 C, 60 menit, suhu 40oC, dan
dan pH 4.0-4.6 pH 6.8
Kedua metode akan digunakan untuk menganalisis serat pangan pada empat sampel yang
sama, yaitu kacang kedelai, kacang tanah, oat, dan wortel. Kelompok makanan yang berbeda
memungkinkan adanya perbedaan keakuratan hasil analisis. Komponen seperti protein, lemak
10
dan karbohidrat pada jumlah tertentu dapat mengganggu proses analisis serat pangan sehingga
hasil yang diperoleh menjadi kurang akurat. Data proksimat sampel dapat dilihat pada Tabel 4.
11
Tabel 5. Verifikasi metode pengujiana
Parameter yang Prosedur yang harus Jumlah
Kalkulasi Keterangan
dievaluasi diikuti pengujian
Analisis terhadap
Terhadap standar Menentukan
sampel dengan analis,
deviasi pada standar deviasi
Repeatability peralatan, 10
masing-masing pada masing-
laboratorium yang
sampel masing sampel
sama dalam rentang
waktu singkat
Hasil dari
konfirmasi teknik
dengan uji beda
digunakan untuk
mendapatkan data Memberikan
mengenai bukti
kemampuan pendukung yang
metode untuk dibutuhkan
Analisis terhadap
Selektivitas mengkonfirmasi untuk
sampel dengan 1
(spesifisitas) identitas analat memberikan
metode kandidat serta
dan kepercayaan
metode standar
kemampuannya yang cukup
untuk mengukur terhadap metode
analat setelah yang digunakan
diisolasi dari
gangguan-
gangguan yang
ada
Mengidentifikasi
variabel yang dapat
memberikan efek
yang signifikan
terhadap performa Terhadap nilai
Ruggedness metode. Evaluasi rata-rata hasil Mengontrol titik
2
(Robustness) dilakukan dengan analisis dari tiap kritis metode
memberi perlakuan set percobaan
berbeda pada variabel
dan melihat dampak
perubahan terhadap
keakuratan data
a
EURACHEM Guide (1998)
12
reproducibility, akurasi, ketidakpastian, sensitivitas, ruggedness (robustness), dan recovery.
Selektivitas (spesifisitas) menyatakan kemampuan metode untuk menentukan analat yang
dimaksud di antara keberadaan komponen lainnya di dalam matriks sampel secara akurat dan
spesifik pada keadaan yang telah ditentukan dalam metode. Limit deteksi ialah konsentrasi
terendah analat dalam sampel yang mampu dideteksi, namun tidak dihitung secara kuantitatif.
Limit kuantitasi ialah konsentrasi terendah analat dalam sampel yang dapat ditentukan dengan
presisi yang bisa diterima (repeatability) serta akurasi. Linearity menunjukkan kemampuan
metode untuk memperoleh hasil analisis yang proposional terhadap konsentrasi analat. Rentang
ialah set nilai tertentu dimana tingkat kesalahan alat dalam pengukuran diharapkan berada di
antara batas yang telah ditentukan. Repeatability menunjukkan presisi pada kondisi yang berulang.
Misalnya, hasil analisis diperoleh melalui metode yang sama dari sampel dengan laboratorium,
operator, serta peralatan yang sama pada rentang waktu yang pendek. Reproducibility
menunjukkan presisi pada kondisi yang diulang kembali. Misalnya, hasil analisis diperoleh melalui
metode yang sama dari sampel dengan laboratorium, operator, serta peralatan yang berbeda.
Akurasi ialah kedekatan yang diterima antara hasil analisis dengan nilai acuan. Ketidakpastian
merupakan parameter yang berhubungan dengan hasil pengukuran, ketidakpastian menunjukkan
penyebaran nilai yang dapat dijelaskan sebagai atribut hasil. Parameter dapat berupa standar
deviasi atau interval kepercayaan. Sensitivitas ialah perubahan respon pengukuran oleh perubahan
stimulus yang berkaitan. Stimulus dapat berupa jumlah analat yang berada di dalam sampel.
Ruggedness (robustness) ialah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui perbedaan hasil
analisis akibat perubahan kecil pada lingkungan maupun kondisi analisis yang dilakukan.
Recovery merupakan pengukuran analat yang ditambahkan pada sampel dalam jumlah yang
diketahui.
Faktor-faktor kesalahan yang dapat terjadi selama analisis serat pangan metode enzimatik
gravimetri digambarkan melalui diagram Ishikawa (Gambar 6). Faktor-faktor kesalahan
digolongkan ke dalam empat kategori utama yaitu reagen dan enzim, metode, alat, dan analisis.
Masing-masing kategori terbagi menjadi beberapa faktor. Pada faktor reagen dan enzim,
kontaminasi atau kemurnian, umur simpan, serta sifat-sifat kimia reagen dan enzim merupakan
kemungkinan penyebab terjadinya kesalahan selama analisis.
Persiapan sampel, penyaringan, dan penentuan faktor koreksi merupakan bagian dari faktor
kesalahan metode. Persiapan sampel yang tidak tepat dapat menyebabkan sampel tidak homogen
sehingga hasil analisis memiliki keragaman yang tinggi. Penyaringan larutan analisis
membutuhkan kehati-hatian yang tinggi karena sampel dapat tumpah atau tercecer karena
crucible memiliki volume yang terbatas. Penentuan faktor koreksi dilakukan terhadap kadar abu
dan protein residu. Sampel yang memiliki kadar serat pangan kurang dari 10% akan
menghasilkan data kadar abu dan protein yang memiliki keragaman yang besar (BeMiller 2010).
Hal ini dikarenakan jumlah residu yang digunakan sangat kecil.
13
Neraca analitik, pH-meter dan inkubator bergoyang adalah alat yang mungkin dapat menjadi
penyebab kesalahan analisis. Neraca analitik dan pH-meter harus dikalibrasi terlebih dahulu
karena dapat menyebabkan keragaman pada data yang dihasilkan. Inkubator bergoyang harus
memiliki suhu yang stabil agar enzim dapat bekerja secara maksimal. Inkubator bergoyang
digunakan dalam waktu yang cukup lama, yaitu 30 hingga 60 menit sehingga kestabilan alat
sangat dibutuhkan untuk menghasilkan data yang baik. Faktor analis yaitu ketrampilan, sikap
atau perilaku dan faktor kelelahan menjadi penentu hasil analisis. Prosedur yang panjang dan
memakan waktu mengharuskan analis mengatur waktu dengan baik agar hasil analisis tidak
terpengaruh oleh ketrampilan yang tidak konstan akibat kelelahan.
pH-meter Sikap/perilaku
Kelelahan
Inkubator bergoyang
Alat Analis
Gambar 6. Diagram Ishikawa faktor-faktor Kesalahan Analisis Serat Pangan Metode Enzimatik-
gravimetri
Cara terbaik untuk mengevaluasi sebaran data hasil analisis adalah dengan
menghitung rata-rata. Rata-rata memberikan perkiraan yang tepat mengenai nilai dengan
populasi data (Oakland 2003). Rumus rata-rata ialah:
+ + + …+
̅= = /
14
2.3.2 Standar Deviasi dan RSD
Cara yang terbaik untuk mengevaluasi ketelitian dari data analisis adalah dengan
menghitung standar deviasi. Standar deviasi mengukur penyebaran data-data percobaan
dan memberikan indikasi yang bagus mengenai seberapa dekat data tersebut satu sama
lain (Nielsen 2003). Standar deviasi dapat dihitung dengan rumus:
∑ ( − ̅)
=
−1
Cara lain untuk mengukur ketelitian adalah dengan menghitung nilai Relative
Standard Deviation (RSD). Nilai RSD ini merupakan nilai standar deviasi yang
dinyatakan sebagai presentase dari rata-rata. RSD dapat dihitung dengan rumus:
= × 100%
̅
Keterangan:
SD = standar deviasi ; xi = nilai yang diperoleh dari setiap ulangan ; x̅ = nilai rata-rata;
n = jumlah ulangan; RSD = standar deviasi relatif
Nilai RSD yang dapat diterima tergantung dari konsentrasi analat yang diperoleh dari
hasil pengujian. Nilai RSD yang dapat diterima dibandingkan dengan nilai RSD Horwitz
(RSDR). RSDR dihitung menggunakan rumus:
% = 2( , )
RSDR adalah standar deviasi relatif antar laboratorium dan C adalah konsentrasi
dalam bentuk fraksi desimal. RSD dalam laboratorium biasanya ½ sampai 2/3 RSDR
(Pomeranz dan Meloan 1994; Garfield 2000). Batas RSD yang dapat diterima dalam
penelitian ini adalah 2/3 RSD.
Uji signifikansi meliputi uji t-student dan uji F. Uji t membandingkan rata-rata
ulangan yang dilakukan oleh dua metode dan membuat asumsi dasar atau hipotesis nol,
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata dari dua set data (James,
1999). Uji t memberikan jawaban ya atau tidak terhadap pembenaran dari hipotesis nol
dengan keyakinan yang pasti, seperti 95% atau bahkan 99%. Nilai kritik untuk t hitung
lebih besar dari nilai t tabel maka hipotesis nol dapat ditolak yang berarti terdapat
perbedaan yang signifikan antara dua hal yang dibandingkan. Nilai t hitung didapat dari
rumus:
15
̅ ̅
ℎ =
1 1
+( )
( − 1) +( − 1)
=
+ −2
Uji F atau uji rasio varian ialah uji yang digunakan untuk membandingkan antara dua
standar deviasi, yang berarti membandingkan pula ketelitian antara dua metode. Asumsi
dasar atau hipotesis nol dari uji ini adalah bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
antara dua standar deviasi. Hipotesis nol ditolak jika nilai F hitung lebih besar dari nilai F
Tabel yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara ketelitian dua
metode. Nilai F hitung didapat dari rumus:
ℎ =
Keterangan: nilai s yang lebih besar ditempatkan sebagai pembilang sehingga F>1.
16
III. METODE PENELITIAN
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang kedelai, kacang tanah, oat,
dan wortel yang diperoleh dari daerah Bogor. Bahan kimia yang digunakan yaitu petroleum eter,
etanol 95%, etanol 78%, aseton, buffer fosfat 0.08 M pH 6.0; 0.1 M pH 6.0, termamyl (120 L,
Novo Laboratories), protease (P-3910, Sigma Chemical), amiloglukosidase (A-9913, Sigma
Chemical), larutan NaOH 0.275N, larutan HCl 0.325 M; 4 M; 0.02 M, celite C-211, pepsin,
pankreatin, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH 60%-Na2SO3 5%, H3BO3, indikator MM dan MB, serta
akuades.
Alat-alat yang digunakan adalah alat-alat gelas, neraca analatik, mortar dan alu, blender,
desikator, crucible dengan celite, oven vakum, tanur, waterbath, pH meter, labu Kjehldal, alat
destilasi dan alat-alat gelas lainnya.
Persiapan sampel
Metode persiapan sampel terdiri atas persiapan sampel kering, basah, dan tinggi
lemak. Sampel kering dapat langsung digiling hingga berukuran 40-50 mesh. Sampel
yang basah dihomogenisasi dan dikeringkan dengan oven terlebih dahulu. Sampel yang
mengandung lemak lebih dari 10% harus dihilangkan lemaknya dengan cara dicampurkan
dalam 25 ml petroleum eter/g sampel selama satu jam sebanyak tiga kali ulangan,
selanjutnya diblender kering. Sampel dikeringkan selama 12 jam dengan oven vakum
pada suhu 70 oC atau selama 5 jam dalam oven biasa pada suhu 105 oC hingga kadar air
sampel kurang dari 5%. Kehilangan bobot akibat penghilangan air dan/atau lemak dicatat
dan dibuat faktor koreksi yang tepat untuk menghitung % TDF, IDF, atau SDF.
Analisis
18
Bobot residu = rata-rata bobot residu (mg) untuk dua ulangan sampel
blanko; dan PB dan AB = bobot (mg) dari, masing-masing, protein dan abu
yang ditentukan dari kedua ulangan sampel blanko.
Perhitungan total serat pangan (TDF) :
Bobot residu = rata-rata bobot residu (mg) untuk dua ulangan sampel; P
dan A = bobot (mg) dari, masing-masing, protein dan abu yang ditentukan dari
kedua ulangan sampel, B = blanko (mg), dan bobot sampel = rata-rata bobot
sampel (mg) yang diambil.
Prosedur yang dilakukan sama dengan analisis total serat pangan, hingga
langkah filtrasi sampel secara kuantitatif ke dalam crucible. Selanjutnya residu
dicuci dengan 2 x 10 ml air (melarutkan SDF), 2 x 10 ml etil alkohol 95%, dan
2 x 10 ml aseton secara berturut-turut. Langkah pengeringan crucible hingga
tahap akhir serupa dengan prosedur total serat pangan.
Perhitungan:
Perhitungan serat pangan tidak larut (IDF) :
IDF, % = [(bobot residu – P – A – B) / bobot sampel] x 100
Bobot residu = rata-rata bobot residu (mg) untuk dua ulangan sampel; dan
P dan A = bobot (mg) dari, masing-masing, protein dan abu yang ditentukan
dari kedua ulangan sampel, B = blanko (mg), dan bobot sampel = rata-rata
bobot sampel (mg) yang diambil.
Prosedur yang dilakukan sama dengan analisis total serat pangan, hingga
langkah filtrasi sampel secara kuantitatif ke dalam crucible. Bobot filtrat
ditepatkan hingga 100 g dengan air destilata. Sebanyak 280 ml etanol 95%
(yang telah dipanaskan hingga suhu 60 oC) ditambahkan ke dalam sampel. Lalu
dibiarkan mengendap pada suhu kamar selama 1 jam. Langkah pengeringan
crucible hingga tahap akhir serupa dengan prosedur total serat pangan.
Perhitungan:
Perhitungan serat pangan larut (SDF) :
SDF (%) = [(bobot residu – P – A – B) / bobot sampel] x 100
Bobot residu = rata-rata bobot residu (mg) untuk dua ulangan sampel; P dan
A = bobot (mg) dari, masing-masing, protein dan abu yang ditentukan dari
kedua ulangan sampel, B = blanko (mg), dan bobot sampel = rata-rata bobot
sampel (mg) yang diambil.
Perhitungan total serat pangan (TDF) :
19
3.2.2 Metode Asp et al., 1992
Persiapan sampel
Persiapan sampel yang dilakukan pada analisis serat pangan menggunakan metode
Asp sama seperti persiapan sampel yang dilakukan pada metode AOAC.
Analisis
Sampel kering diekstrak lemaknya dengan pelarut petroleum eter pada suhu kamar
selama 15 menit kemudian dikeringkan pada suhu ruang. Sejumlah 1 g sampel bebas
lemak (w) dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambah 25 ml 0.1 M buffer
fosfat pH 6 dan dibuat menjadi suspensi. Sampel kemudian ditambahkan 0.1 ml
termamyl, ditutup dengan alufo dan diinkubasi pada suhu 100oC selama 15 menit dan
didinginkan, kemudian ditambahkan 20 ml akuades dan pH diatur menjadi 1.5 dengan
menambahkan HCl 4 M. Sampel lalu ditambahkan 100 mg pepsin, ditutup dan diinkubasi
pada suhu 40oC dan diagitasi selama 60 menit. Sampel kemudian ditambahkan 20 ml
akuades dan pH diatur menjadi 6.8, lalu ditambahkan 100 mg pankreatin, ditutup, dan
diinkubasi pada suhu 40o C selama 60 menit sambil diagitasi, dan terakhir pH diatur
dengan HCl menjadi 4.5. Residu diperoleh melalui penyaringan menggunakan crucible
yang berisi celite (bobot kering diketahui). Residu kemudian dicuci dengan 2 x 10 ml
aquades, 2 x 10 ml etanol 95%, dan 2 x 10 ml aseton, lalu dikeringkan pada suhu 105o C
hingga berat tetap (sekitar 12 jam) dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator.
Residu kemudian diabukan dalam tanur 525oC selama minimal 5 jam, didinginkan dalam
desikator, dan ditimbang. Nilai blanko diperoleh dengan cara yang sama namun tanpa
menggunakan sampel.
3.2.3.1. Repeatability
20
sampel antara metode AOAC dan Asp untuk mengetahui apakah keragaman
kedua set data tersebut berbeda secara nyata pada taraf kepercayaan 99%.
Diagram proses evaluasi metode serat pangan terhadap parameter repeatability
dapat dilihat pada Gambar 7.
Sampel
3.2.3.2. Selektivitas
Sampel
Rata-rata kadar abu dan protein Rata-rata kadar abu dan protein
21
3.2.3.3. Ruggedness Test
22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode yang direkomendasikan untuk menganalisis komponen kimia yang terkandung dalam
produk pangan ialah metode yang telah divalidasi atau diverifikasi (EURACHEM Guide 1998).
Metode analisis serat pangan yang digunakan dalam penelitian ini ialah enzimatik-gravimetri
berdasarkan AOAC Official Method 985.29; 993.19; dan 991.42 (1999) dan metode Asp (1992).
Prinsip analisis serat pangan secara enzimatik gravimetri ialah hidrolisis karbohidrat yang
dapat dicerna, lemak, dan protein menggunakan enzim. Molekul yang tidak larut maupun yang
tidak terhidrolisis dipisahkan melalui penyaringan sebagai residu. Residu serat tersebut kemudian
dikeringkan serta ditimbang. Selanjutnya residu hasil penimbangan tersebut dianalisis kadar
protein dan abunya. Kadar serat pangan diperoleh setelah residu dikurangi kadar protein dan kadar
abu. Kekurangan metode enzimatik-gravimetri ialah memiliki prosedur yang sangat panjang dan
tidak praktis sehingga memerlukan waktu yang lama (Ceirwyn 1999).
Matriks sampel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kacang kedelai, kacang
tanah, oat, serta wortel. Keempat sampel yang dipilih ialah sampel yang mewakili kelompok
bahan pangan dalam piramida makanan. Matriks sampel tersebut antara lain merupakan makanan
tinggi protein, lemak, karbohidrat, serta kelompok sayur dan buah.
Sebelum sampel dianalisis kadar serat pangannya, sampel yang mengandung kadar air yang
tinggi terlebih dahulu dikeringkan. Proses pengeringan sampel berbeda satu sama lain. Sampel
wortel memiliki kadar air yang tinggi dan komponen yang sensitif terhadap panas. Oleh karena itu
proses pengeringan wortel dilakukan menggunakan oven vakum pada suhu 70o C selama lima jam
hingga kadar air kurang dari 5%. Untuk sampel yang mengandung kadar lemak yang tinggi (>
10%), seperti kacang kedelai (17.00%) dan kacang tanah (47.90%), maka kedua sampel tersebut
terlebih dahulu dihilangkan lemaknya dengan proses ekstraksi menggunakan pelarut petroleum
eter. Sampel hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 105oC
selama 12 jam untuk menghilangkan pelarut petroleum eter. Sampel kacang kedelai dan kacang
tanah Sementara oat tidak dihilangkan lemaknya karena kadar lemaknya kurang dari 10%, yaitu
7%.
Wortel yang telah dikeringkan, kacang tanah dan kacang kedelai yang sudah dihilangkan
lemaknya serta oat kemudian dikecilkan ukurannya menjadi 40-50 mesh. Sampel yang telah
berbentuk bubuk kering selanjutnya dapat dianalisis kadar serat pangannya menggunakan metode
AOAC dan Asp.
Kadar TDF sampel yang dianalisis menggunakan metode AOAC dan Asp dapat dilihat
pada Tabel 6. Uji t dilakukan terhadap nilai rata-rata kadar TDF sampel yang diperoleh
melalui analisis serat pangan metode AOAC dan Asp untuk melihat apakah terdapat
perbedaan yang nyata diantara kedua kadar TDF tersebut. Selanjutnya, nilai kadar TDF yang
diperoleh dibandingkan dengan rentang data sekunder yang diperoleh dari publikasi ilmiah
(Redondo-Cuenca et al. 2006; Kutoz et al. 2003; Sanchez-Castillo et al. 1999; Englyst dan
Hudson 1996; Prosky et al. 1988; AOAC 1995) yang dapat dilihat pada Tabel 7.
22
Tabel 6. Nilai TDF sampel menggunakan metode AOAC dan Asp
Tabel 7. Data sekunder serat pangan pada kacang kedelai, kacang tanah, oat, dan wortel
Data sekunder
Sampel
TDF (%) IDF (%) SDF (%)
a
Redondo-Cuenca et al. 2006; Kutoz et al. 2003
b
Sanchez-Castillo et al. 1999; Kutoz et al. 2003
c
Englyst dan Hudson 1996; Prosky et al. 1988
d
Englyst dan Hudson 1996; AOAC 1995
Kadar TDF kemudian dirata-ratakan dan ditentukan SD nya. Nilai RSD (Relative
standard deviation) diperoleh dari nilai SD yang dinyatakan sebagai presentase dari rata-rata.
Nilai RSD digunakan untuk menguji apakah analisis memiliki repeatability yang baik dengan
membandingkannya terhadap RSDR (Horwitz). RSD analisis dapat diterima jika nilainya
kurang dari 2/3 RSDR.
Kadar TDF kacang kedelai dengan menggunakan metode AOAC ialah 59.42%, dengan
nilai SD sebesar 0.10%. Nilai ini berbeda nyata jika dibandingkan dengan metode Asp, yaitu
35.22% dengan nilai SD sebesar 0.23%. Hal ini dikarenakan metode AOAC tidak dapat
menghidrolisis protein dengan sempurna, sehingga pada sampel tinggi protein seperti kacang
kedelai, hasil analisis menjadi tidak akurat. Kadar TDF kacang kedelai dengan menggunakan
metode AOAC menjadi lebih tinggi karena protein yang tidak terhidrolisis terhitung sebagai
serat pangan. Kacang kedelai memiliki kadar protein yang tinggi (47.90%) Menurut Manas et
al. (1994) tingginya kandungan protein pada kacang kedelai dapat menyebabkan kesalahan
positif karena protein terikat pada komponen serat pangan dengan kuat. Enzim yang
23
digunakan pada metode AOAC untuk menghidrolisis protein adalah protease dengan
aktivitas enzim sebesar 50 U/ml, sementara pada metode Asp enzim protease yang digunakan
adalah pepsin dengan aktivitas enzim sebesar 2755 U/mg. Rendahnya aktivitas enzim yang
digunakan pada metode AOAC menyebabkan hidrolisis protein pada sampel tidak sempurna
sehingga komponen protein terhitung sebagai serat pangan.
Kadar TDF oat metode AOAC ialah 13.64% dengan SD 0.10%. Sementara dengan
metode Asp menghasilkan nilai 11.84% dengan SD 0.10%. Kadar TDF oat metode AOAC
lebih tinggi dibandingkan metode Asp dan nilai keduanya berbeda secara signifikan setelah
diuji menggunakan uji t.
Oat mengandung kadar lemak sebesar 7% (Tabel 4). Kadar lemak yang terdapat di dalam
sampel oat tidak diekstrak terlebih dahulu menggunakan petroleum eter karena kadar lemak
yang terdapat di dalam oat kurang dari 10%. Kadar TDF oat dengan menggunakan metode
AOAC lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan metode Asp. Hal ini diduga karena
pada metode AOAC masih terdapat lemak yang terikat pada matriks sampel. Lemak yang
masih tersisa dikarenakan proses penghilangan lemak pada sampel hanya dilakukan dengan
proses pencucian residu menggunakan aseton, sementara pada metode Asp penghilangan
lemak dilakukan baik dengan proses pencucian maupun proses hidrolisis dengan
menggunakan enzim pankreatin. Prosedur hidrolisis lemak ini tidak terdapat pada metode
AOAC. Meskipun demikian, kadar TDF oat metode AOAC masih berada di dalam rentang
data sekunder (8.22-14.81%), begitu pula dengan metode Asp.
Data sekunder diperoleh dari publikasi ilmiah mengenai kadar serat pangan pada sampel
yang digunakan pada penelitian ini, yaitu kacang kedelai, kacang tanah, oat dan wortel. Data
sekunder berupa rentang nilai karena berasal dari beberapa referensi ilmiah. Kadar serat
pangan yang diperoleh dari referensi menggunakan baik metode enzimatik-kimia maupun
enzimatik-gravimetri. Metode enzimatik-kimia yang digunakan ialah metode Englyst
(Redondo-Cuenca et al. 2006; Sanchez-Castillo et al. 1999; Englyst dan Hudson 1996).
Enzim yang digunakan pada tahap isolasi serat pangan ialah α-amilase tahan panas,
pankreatin, dan pullulanase untuk hidrolisis pati dan protein. Residu yang diperoleh berupa
polisakarida dan oligosakarida selanjutnya ditambahkan HCL 5 M dan H2SO 4 12 M untuk
menghasilkan monosakarida-monosakarida. Monosakarida yang telah terpisah kemudian
diidentifikasi menggunakan HPLC. Penjumlahan monosakarida yang teridentifikasi
merupakan kadar TDF. Metode enzimatik-gravimetri yang digunakan ialah metode Prosky
(Kutoz et al. 2003; Prosky et al. 1988) dan metode AOAC (AOAC 1995). Metode Prosky
menggunakan enzim yang sama dengan metode Asp, yaitu pepsin dan pankreatin, sementara
metode AOAC menggunakan enzim protease dan amiloglukosidase.
24
4.2 SERAT PANGAN TIDAK LARUT (IDF) DAN SERAT PANGAN
LARUT (SDF)
Uji t terhadap kadar IDF memiliki kecenderungan yang sama seperti yang terjadi pada
analisis TDF terhadap semua sampel. Sampel yang memiliki nilai yang berbeda secara
signifikan antara metode AOAC dan Asp ialah kacang kedelai dan oat. Sementara sampel
kacang tanah dan wortel memiliki nilai yang tidak berbeda nyata. Uji t terhadap kadar SDF
menghasilkan nilai yang berbeda nyata hanya pada sampel kacang kedelai, sementara kadar
SDF sampel kacang tanah, oat, dan wortel tidak berbeda nyata.
Kadar IDF kacang kedelai dengan metode AOAC ialah 57.65%, dengan nilai SD sebesar
0.23%. Nilai ini berbeda nyata jika dibandingkan dengan metode Asp, yaitu 30.43% dengan
nilai SD sebesar 0.25%. Kadar SDF kacang kedelai metode AOAC ialah 1.31% dengan SD
0.02%. Nilai ini juga berbeda nyata jika dibandingkan dengan metode Asp, yaitu 4.36%
dengan SD sebesar 0.04%. Seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya bahwa
kadar protein tidak dapat dihidrolisis dengan sempurna pada metode AOAC, terutama pada
sampel tinggi protein seperti kacang kedelai. Perbedaan aktivitas enzim protease yang
digunakan pada metode AOAC dan Asp menghasilkan kadar IDF dan SDF yang berbeda.
Tabel 8. Nilai IDF dan SDF sampel menggunakan metode AOAC dan Asp
25
Sampel lain yang memiliki kadar IDF yang berbeda nyata antara metode AOAC (8.46%)
dan Asp (7.28%) ialah oat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada sub-bab TDF,
kadar IDF menggunakan metode AOAC dan Asp berbeda secara signifikan karena masih
terdapat lemak pada sampel yang terhitung sebagai serat pangan. Lemak yang terhitung
sebagai serat pangan terdapat pada residu serat yang tidak larut air (IDF). Oleh karena itu,
kadar SDF oat tidak berbeda nyata antara metode AOAC dan Asp karena tidak terdapat
lemak pada residu serat larut (SDF). Proses pelarutan lemak pada tahap pencucian
menggunakan aseton pada metode AOAC lebih baik dilakukan dengan volume yang lebih
besar, misalnya 4 x 10 ml.
Tabel 9 dan 10 menunjukkan data serat pangan sampel yang diperoleh melalui metode
AOAC dan Asp. Data serat pangan pada tabel menunjukkan adanya selisih antara nilai TDF
dan penjumlahan antara SDF dan IDF. Nilai serat pangan yang diperoleh dari penjumlahan
antara SDF dan IDF selalu lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai TDF, baik pada metode
AOAC maupun metode Asp. Hal ini diduga karena analisis SDF baik menggunakan metode
AOAC maupun Asp menghasilkan data yang lebih rendah. Adapun faktor yang
menyebabkan perbedaan hasil tersebut terjadi pada tahap pemisahan IDF dan SDF melalui
proses penyaringan. Hal ini diduga karena pada analisis kadar TDF hanya dilakukan satu kali
penyaringan, dan residu dianggap sebagai kadar serat pangan total. Akan tetapi, pada analisis
IDF dan SDF dilakukan dengan menggunakan dua kali penyaringan, sehingga terdapat
kemungkinan kesalahan pada proses. Kemungkinan terdapat SDF yang terikat pada IDF
sehingga tidak terhitung sebagai SDF setelah tahap pemisahan. Selain itu, jika dilihat dari
repeatability analisis SDF menggunakan baik metode AOAC maupun Asp, keduanya
menunjukkan repeatability yang jelek sementara repeatability analisis TDF dan IDF cukup
baik. Pembahasan mengenai repeatability secara lebih detail terdapat di sub-bab selanjutnya.
Selain alasan yang bersifat teknis, alasan ketidakakuratan analisis SDF lainnya terkait
dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Manas dan Saura-Calixto (1993) bahwa
presipitasi SDF menggunakan etanol masih kurang akurat. Ketidakakuratan analisis SDF
tersebut disebabkan oleh dua hal, yaitu adanya komponen non-serat (mineral) yang juga
mengalami presipitasi, dan adanya komponen SDF yang tidak mengalami presipitasi secara
26
sempurna seperti pektin. Senyawa pektin hanya mampu mengendap sebanyak 84-89 %,
tergantung pada pH larutan. Selain itu, inulin atau senyawa turunannya seperti
fructooligosaccharida (FOS) tidak dapat terendapkan oleh etanol karena memiliki bobot
molekul yang rendah. Hal ini menjadikan komponen tersebut tidak terhitung sebagai serat
pangan (BeMiller 2010).
Kesalahan yang terjadi pada analisis SDF dapat menyebabkan ketidakakuratan analisis.
Salah satu cara untuk meminimalisir kesalahan tersebut yaitu dengan meningkatkan kualitas
proses presipitasi. Proses presipitasi komponen SDF dapat ditingkatkan dengan beberapa cara
antara lain memperpanjang waktu presipitasi serta mengatur pH larutan sesuai dengan
komposisi dan karakter fisiko-kimia sampel (Manas dan Saura-Calixto 1993).
Uji t dilakukan untuk melihat apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara antara
nilai TDF dan penjumlahan IDF dan SDF. Perbedaan yang signifikan hanya terjadi pada
sampel oat, baik yang dianalisis menggunakan metode AOAC maupun Asp. Perbedaan
tersebut terjadi karena sebagian besar SDF yang terkandung dalam oat merupakan jenis β-
glukan yang diduga tidak dapat dipresipitasi dengan sempurna oleh larutan alkohol 95%.
Apabila sebuah laboratorium hanya ingin mengetahui kadar serat total dalam bahan
pangan, maka analisis yang dilakukan ialah analisis TDF. Akan tetapi apabila suatu sampel
ingin diketahui kadar SDF dan IDFnya, maka analisis yang dilakukan terhadap sampel tersebut
ialah analisis SDF dan IDF secara terpisah. Nilai TDF dapat diperoleh melalui penjumlahan
antara kadar IDF dan SDF. Metode tersebut dapat dilihat di lampiran 3.
Laboratorium yang telah memilih metode yang telah tervalidasi selanjutnya melakukan
proses verifikasi metode untuk melihat apakah metode yang diadopsi dapat diterapkan di
laboratorium yang bersangkutan. Salah satu aspek yang umum digunakan dalam verifikasi
metode ialah aspek repeatability (Mullins 2003). Repeatability menunjukkan presisi hasil
analisis. Aspek ini memungkinkan variasi terkecil yang dapat ditemukan pada sebuah
27
analisis. Perbandingan nilai RSD dan RSDR disajikan dalam bentuk diagram pada Gambar
10-15.
Gambar 10. Perbandingan nilai RSD dan Gambar 11. Perbandingan nilai RSD dan
RSDR (Horwitz) TDF metode AOAC RSDR (Horwitz) TDF metode Asp
2 2
1.39 1.48 1.43 1.39 1.45 1.43
1.5 1.20 1.5
1.09
0.93 0.90 0.91
1 0.84 1
Gambar 12. Perbandingan nilai RSD dan Gambar 13. Perbandingan nilai RSD dan
RSDR (Horwitz) IDF metode AOAC RSDR (Horwitz) IDF metode Asp
2.5 2.5
1.92 1.97 2.04 2.02
1.80
2 1.73 2 1.60
1.55 1.35 1.34
1.5 1.5 1.14 1.09
0.92
1 1 0.60
0.50
0.5 0.39 0.5
0 0
Kacang Kacang Oat Wortel Kacang Kacang Oat Wortel
Kedelai Tanah Kedelai Tanah
Gambar 14. Perbandingan nilai RSD dan Gambar 15. Perbandingan nilai RSD dan
RSDR (Horwitz) SDF metode AOAC RSDR (Horwitz) SDF metode Asp
28
Analisis yang memiliki repeatability yang baik jika memiliki nilai RSD yang lebih kecil
dibandingkan RSDR, maksimal sebesar 2/3 RSDR (Pomeranz dan Meloan 1994; Garfield 2000).
Analisis terhadap TDF dan IDF pada metode AOAC dan Asp memiliki repeatability yang baik
karena nilai RSD maksimal 2/3 RSDR. Akan tetapi, analisis SDF pada kedua metode memiliki
repeatability yang buruk karena terdapat analisis yang memiliki nilai RSD lebih dari 2/3 RSDR, yaitu
kacang kedelai dan kacang tanah metode AOAC serta wortel pada metode Asp.
Seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab IDF dan SDF, permasalahan utama analisis SDF
terletak pada proses presipitasi. Oleh karena itu, proses presipitasi harus dijadikan titik kritis analisis.
Selain itu, beberapa peneliti menyarankan bahwa nilai SDF lebih baik diperoleh melalui teknik by
difference setelah diperoleh nilai TDF dan IDF (Aman dan Graham 1987; Englyst dan Cummings
1988; Prosky et al. 1992). Kedua hal tersebut merupakan solusi ketidakakuratan analisis SDF.
Kadar protein pada residu akhir serat pangan menggunakan metode Asp lebih rendah
dibandingkan metode AOAC. Hal ini berkaitan dengan tingginya aktivitas enzim yang digunakan
untuk menghidrolisis protein dalam metode Asp. seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
aktivitas enzim protease yang digunakan pada metode Asp (2755 U/mg) lebih tinggi dibandingkan
metode AOAC (50 U/ml).
Rendahnya aktivitas enzim yang digunakan untuk menghidrolisis protein pada metode AOAC
karena metode ini dirancang untuk menganalisis serat pangan pada produk sayur dan buah. Sayur
dan buah pada umumnya memiliki kadar protein yang rendah, sehingga enzim protease dengan
aktivitas rendah dapat menghidrolisis protein dalam sampel. Oleh karena itu, untuk sampel yang
memiliki kadar protein tinggi seperti kacang kedelai, dapat menghasilkan kesalahan positif pada
analisis serat pangan menggunakan metode AOAC. Data validasi metode analisis serat pangan
AOAC dapat dilihat pada Lampiran 2.
Selain protein, mineral yang terdapat dalam residu akhir serat pangan juga merupakan
kontaminan. Metode Asp menunjukkan kadar abu yang lebih rendah dibandingkan metode AOAC.
Hal ini diduga karena adanya prosedur penurunan pH menjadi 4.5 sebelum proses presipitasi SDF
pada metode Asp. Mineral lebih larut pada pH larutan yang rendah sehingga dapat dihilangkan
melalui proses pencucian residu (Manas et al. 1994).
29
Tabel 11. Kadar protein dan abu pada residu akhir analisis serat pangan
AOAC Asp
Sampel
Protein Abu Protein Abu
Kacang tanah TDF 2.65 ± 0.03 3.01 ± 0.02 1.86 ± 0.04 2.43 ± 0.03
IDF 1.23 ± 0.03 0.00 0.83 ± 0.04 0.00
SDF 1.41 ± 0.04 3.01 ± 0.02 1.02 ± 0.03 2.43 ± 0.04
Kacang kedelai TDF 4.99 ± 0.04 2.39 ± 0.03 3.30 ± 0.06 2.16 ± 0.03
IDF 2.46 ± 0.04 1.13 ± 0.02 1.97 ± 0.04 1.02 ± 0.02
SDF 2.47 ± 0.05 1.26 ± 0.02 1.31 ± 0.04 1.14 ± 0.04
Oat TDF 3.86 ± 0.04 1.23 ± 0.03 2.40 ± 0.03 0.99 ± 0.03
IDF 2.37 ± 0.03 0.00 1.56 ± 0.03 0.00
SDF 1.48 ± 0.03 1.23 ± 0.03 0.84 ± 0.02 0.98 ± 0.04
Wortel TDF 2.44 ± 0.05 3.12 ± 0.02 1.66 ± 0.04 3.12 ± 0.03
IDF 1.34 ± 0.03 0.00 1.10 ± 0.03 0.00
SDF 1.10 ± 0.04 3.12 ± 0.03 0.56 ± 0.03 3.12 ± 0.03
Ruggedness test dilakukan bertujuan membandingkan dua hasil analisis serat pangan yang
menggunakan konsentrasi etanol yang berbeda dalam proses presipitasi SDF. Seluruh sampel yang
dipresipitasi menggunakan etanol 78% menghasilkan data yang tidak berbeda nyata jika dibandingkan
dengan hasil analisis menggunakan etanol 95% pada metode Asp (Gambar 16). Oleh karena itu, dalam
analisis TDF menggunakan metode Asp, etanol 78% dapat digunakan sebagai agen presipitasi.
40.00 35.22 ± 0.23a
35.12 ± 0.02a
35.00
30.00 24.30 ± 0.21a
24.00 ± 0.04a
25.00
TDF (%)
20.00
12.22 ± 0.04a 11.84 ± 0.10a
15.00 12.20 ± 0.12a 11.75 ± 0.03a
10.00
5.00
0.00
Kacang Kacang Oat Wortel
Kedelai Tanah
Alkohol 78%
Alkohol 95% (Asp) Sampel
Gambar 16. Rataan TDF sampel menggunakan presipitasi etanol 78% dan 95% (Asp)
30
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Perbedaan enzim yang digunakan pada analisis serat pangan metode AOAC dan Asp
menghasilkan kadar serat pangan yang berbeda secara signifikan terhadap sampel yang tinggi
protein. Metode AOAC dan Asp dapat digunakan untuk menganalisis sampel sayur dan buah
karena memiliki kadar protein yang rendah. Sementara metode Asp tidak hanya mampu
menganalisis kadar serat pangan sayur dan buah, tetapi juga bahan pangan lainnya yang
mengandung kadar protein yang tinggi seperti kacang-kacangan.
Analisis TDF menghasilkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan hasil penjumlahan antara
IDF dan SDF karena titik kritis analisis berada pada tahap presipitasi dan penyaringan SDF.
Ditinjau dari repeatability analisis, SDF memiliki nilai RSDR yang tidak dapat diterima. Akan
tetapi, repeatability TDF dan IDF dapat diterima.
Kadar serat pangan yang diperoleh dengan menggunakan etanol 78% untuk mengendapkan
SDF tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kadar serat pangan yang diperoleh
menggunakan etanol 95%. Konsentrasi etanol 78% dapat digunakan untuk mengendapkan SDF
pada analisis serat pangan.
5.2 SARAN
1. Diperlukan adanya analisis serat pangan dengan menggunakan aktivitas enzim protease yang
lebih tinggi serta waktu inkubasi yang lebih lama pada metode AOAC agar protein dalam
bahan pangan dapat terhidrolisis dengan sempurna.
2. Adanya penelitian lebih lanjut mengenai aspek verifikasi lainnya seperti recovery
menggunakan Certified Reference Material, yaitu bahan yang telah diketahui kadar serat
pangannya secara pasti. Tujuan penelitian tersebut ialah memperoleh dokumen verifikasi
metode yang lebih lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Aman P dan Graham H. 1987. Analysis of Total and Insoluble Mixed-Linked (L-3), (1-4)-β-D-Glucans
in Barley and Oats. J. Agric. Food Chem., 35, 704-9.
Aman P dan Westerlund. 2006. Cell Wall Polysaccharide: Structural, Chemical, and Analytical Aspect. Di
dalam Eliasson A (ed.). Carbohydrates In Food. 2nd Ed. Sweden: marcel Dekker, Inc.
Anonim. 1999. Association of Anlytical Chemists (AOAC) International. Official Method 985.29; 993.19;
991.42.
Anonim. 2001. Dietary Reference Intakes: Proposed Definition of Dietary Fiber. Institute of Medicine
(U.S.). Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes. Washington:
National Academy Press
Anonim. 2002. Kamus Istilah Pangan dan Nutrisi. Fakultas Teknologi Pertanian-Universitas Gadjah
Mada.
Asp NG, Schweizer TF, Southgate DAT, & Theander O. 1992. Dietary Fiber Analysis. In Dietary Fibre –
a Component of Food. Nutritional Function in Health and Disease. Schweizer TF, & CA Edwards
(ed). London.
Asp NG. 2001. Enzymatic Gravimetric Methods. Di dalam Spiller GA (editor). Handbook of Dietary
Fiber in Human Nutrition 3rd ed. California: CRC Press
Asp, NG. 2001. Development of Dietary Fibre Methodology. Di dalam McCleary, BV dan Prosky L
(editor). Advanced Dietary Fibre Technology. Oxford: Blackwell Science
Barberis S, Guzman F, Illanes A, dan Lopez-Santin J. 2008. Proteases as Catalysts for Peptide Synthesis.
Di dalam Illanes A (editor). Enzyme Biocatalysis: Principles and Application. Chile: Springer
BeMiller JN. 2010. Carbohydrate analysis. Di dalam Nielsen SS (editor.) Food Analysis 4th ed. USA :
Springer.
Ceirwyn, JS. 1999. Analytical Chemistry of Foods. New York: Aspen Publishers.
Chan CC, Lam H, Lee YC, dan Zhang X. 2004. Analytical Method Validation and Instrument
Performance Verification. Canada: John Wiley & Sons, Inc Pub
Cummings JH, & Englyst HN. 1991. What is Dietary Fibre. Trends in Food Science & Technology.
Devahastin S dan Suvarnakuta P. 2008. Low Pressure Superheated Steam Drying of Food Products. Di
dalam Chen XD dan Mujumdar AS (editor). Drying Technologies in Food Processing. United
Kingdom: Blackwell Publishing
Diplock AT, Agget PJ, Ashwell M, Bornet F, Fern EB, dan Roberfroid R. 1999. Functional Food Science
in Europe. Br J Nutr, S1-27
32
Englyst HN dan Hudson GJ. 1996. The Classification and Measurement of Dietary Carbohydrates. Food
Chem. 57(1): 15-21
Englyst HN, dan Cummings JH. 1988. Improved Method for Measurement of Dietary Fiber as Non Starch
Polysaccharides in Plant Foods. J. Assoc. Off. Anal. Chem.71(4), 808-14.
EURACHEM Guide. 1998. The Fitness for Purpose of Analytical Methods: a Laboratory Guide to
Method Validation and Related Topics. United Kingdom.
Fialkov YY dan Chumak VL. 2000. Mixed Solvent. Di dalam Wypych G. Handbook of Solvent. USA:
William Andrew Publishing.
Ganapathy V, Gupta N, dan Martindale RG. 2006. Protein Digestion and Absorption. Di dalam Johnson
RL (editor). Physiology of The Gastrointestinal Tract Volume I 4th ed. London: Elsevier Inc.
Garbelotti ML, Marsiglia DAP, dan Torres E. 2003. Determination and Validation of Dietary Fiber in
Food by Enzymatic Gravimetric Method. Food Chem. (83): 469-473.
Garfield FGE, Klesta dan J Hirsch. 2000. Quality Assurance Principles for Analytical Laboratories. USA:
AOAC International.
Guillon F, Champ M, dan Thibault JF. 2000. Dietary Fiber Functional Product. Di dalam Gibson GR, dan
Williams CM (ed.). Functional Foods: Concept to Product. England: Woodhead Publishing Limited.
Hanif R, Iqbal Z, Iqbal M, Hanif S, and Rasheed M. 2006. Vegetables as Nutritional Food: Role in human
health. Jur Agr and Biol Sci 1: 1
Holden AJ.1999. Solvent and Membrane Extraction in Organic Analysis. Di dalam Handley AJ (editor).
Extraction Method in Organic Analysis. England: Sheffield Academic Press
Hui YH et al. 2010. Handbook of Fruit and Vegetables Flavors. USA: Wiley Interscience
Hui YH. 2006. Handbook of Fruits and Fruit processing. USA: Blackwell Publishing
Jalili T, Wildman REC, & Medeiros DM. 2001. Dietary Fiber and Coronary Heart Disease. Di dalam:
Wildman REC (editor). Handbook of Nutraceuticals and Functional Food. USA: CRC Press
James CS. 1999. Analytical Chemistry of Foods. Maryland: Aspen Publishers, Inc.
Jeraci JL, Lewis BA, Robertson JB, dan Van Soest PJ. 1990. Analysis of Foodstuffs for Dietary Fiber by
the Urea Dialysis Method. In New Development In Dietary Fiber. Furda I, dan Brine CJ (ed). USA:
Plenum Press. Pp 311-20
Jeraci JL, Lewis BA, Van Soest PJ, dan Robertson JB. 1989. Urea Enzymatic Dialysis Procedure for
Determination of Total Dietary Fiber. J. Assoc. Off. Anal. Chem. 72(4), 677-81
Johnson M, dan Hillier K. 2008. Pancreatin. The Comprehensive Pharmacology Reference, p 1-3.
33
Karukstis KK dan Van Hecke GR. 2003. Chemistry Connections: The Chemical Basis of Everyday
Phenomena.USA: Elsevier Science
Kutoz T, Golob T, and Plestenjak A. 2003. Dietary Fibre Content of Dry and Processed Beans. Food
Chem 80: 231-235
Lee S, Prosky L, dan DeVries J. 1992. Determination of Total, Soluble, and Insoluble Dietary Fiber in
Foods. Enzymatic-Gravimetric Method, MES-TRIS Buffer: Collaborative Study. J. Assoc. Off. Anal.
Chem (75): 395
Lee SC, dan Hicks VA. 1990. Modification of the AOAC Total Dietary Fiber Method. In New
Development In Dietary Fiber. Furda I, dan Brine CJ (ed). USA: Plenum Press. Pp 237-44
Li BW, dan Andrews KW. 1988. Simplified Method for Determination of Total Dietary Fiber in Foods. J.
Assoc. Off. Anal. Chem. 71(5), 1063-4
Liu, K. 1999. Soybeans: Chemistry, Technology, and Utilization. Maryland: Aspen Publisher, Inc.
Maiti RK, dan Wesche-Ebeling P. 2001. Advance in Chickpea Science. USA: Science Publishers
Manas E, Abia R, dan Saura-Calixto F. 1990. Some Problems Associated with The Determination of
Dietary Fiber in Citrus by the AOAC Method. In Dietary Fiber: Chemical and Biological Aspects.
Southgate DA Waldron KI, dan Johnson IT, dan fenwick GR. Royal Society of Chemistry, UK:
Cambridge. Pp, 124-9
Manas E, Bravo L dan Saura-Calixto F. 1994. Source of Error in Dietary Fiber Analysis. Food Chem, 50,
331-342
Manas E, dan Saura-Calixto F. 1993. Ethanolic Precipitation: A Source of Error in Dietary Fiber
Determination. Food Chem, 47, 351-5
McCleary BV. 2003. Dietary Fibre Analysis. Proceedings of The Nutrition Society, 62.
Min DB dan Ellefson WC. 2010. Fat Analysis. Di dalam Nielsen SS (editor.) Food Analysis. 4th ed. USA :
Springer.
Morawicki RO. 2009. Sampling and Sample Preparation. Di dalam Di dalam Nielsen SS (editor.) Food
Analysis 4th ed. USA : Springer.
Mullins E. 2003. Statistics for The Quality Control Chemistry Laboratory. UK: The Royal Society of
Chemistry
National Academy of Science. 1979. Tropical Legumes: Source for The Future. Washington DC: National
Academy Press
Naz S. 2002. Enzymes and Food. New York: Oxford University Press
Nielsen SS. 2003. Introduction to Food Analysis. Di dalam: Nielsen SS (editor). Food Analysis 3rd ed,
USA: KluwerAcademic/Plenum Publisher.
34
Nielsen SS. 2010. Introduction to Food Analysis. Di dalam Nielsen SS (editor.) Food Analysis 4th ed.
USA : Springer.
Oakland JS. 2003. Statistical Process Control (fifth ed). England: Butterworth Heinemann.
Ozca M. 2003. Proximate and Fatty Acid Composition of Apricot (prunus armeniaca L.) Kernels
Pomeranz Y, dan CE Meloan. 1994. Food analysis Theory and practice 3rd ed. New York: Chapman and
Hall.
Prosky L, Asp NG, Schweizer TF, DeVries JW, dan Furda I. 1988. Determination of Insoluble and
Soluble Dietary Fiber in Foods and Food Products: Interlaboratory study. J. Assoc. Off. Anal. Chem.,
71(5), 1017-23
Prosky L, Asp NG, Schweizer TF, DeVries JW, dan Furda I. 1992. Determination of Insoluble and
Soluble Dietary Fiber in Foods and Food Products: Collaborative Study. J. Assoc. Off. Anal. Chem.,
75(2), 360-7
Rose DE & Oscroft CA. 1993. The Benefits of Laboratory Accreditation. Food Technology International
Europe 189-192. Di dalam Sumner J (editor). A Guide to Food Quality Assurance. Australia: M&S
Food Consultants Pty Ltd & Barton College of TAFE.
Sanchez-Castillo CP et al. 1999. The Non-Starch Polysaccharide Content of Mexican Food. J. Food
Composition and Anal 12: 293-314
Schweizer TF, Walter E, dan Venetz P. 1988. Collaborative Study for The Enzymatic, Gravimetric
Determination of Total Dietary fibre in Foods, Mitt. Geb. Lebensmitte-lunters. Hyg (79): 57.
Silk DBA, Grimble GK, dan Rees RG. 1985. Protein Digestion and Amino Acid and Peptide Absorption.
Proceeding of The Nutrition Society. 44, 63-72
Southgate DAT. 1995. Dietary Fiber Analysis. UK: Royal Society of Chemistry
Uhlig H. 1998. Industrial Enzymes and Their Applications. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Wildman REC, dan Medeiros, DM. 2000. Carbohydrates, in Advanced Human Nutrition. Boca Raton FL:
CRC Press
35
LAMPIRAN
Lampiran 1. Contoh perhitungan serat pangan, SD, dan RSD
TDF, % = [(bobot residu – P – A – B) / (bobot sampel - Kadar Lemak - Kadar air)] x 100
Bobot residu = rata-rata bobot residu (g) untuk sepuluh ulangan sampel; P dan A = bobot (g)
dari masing-masing protein dan abu yang ditentukan dari kedua ulangan sampel, dan bobot sampel
= rata-rata bobot sampel (g) yang diambil. Kadar lemak dan air ialah masing-masing jumlah lemak
dan air yang dihilangkan pada saat persiapan sampel.
TDF, % = [(bobot residu – P – A – B) / (bobot sampel + Kadar Lemak + Kadar air)] x 100
= [(0.5947 – 0.0001 – 0.0243 – 0.0034) / (1.0062 - 0.0131 - 0.0124)] x 100
= 59.42
2
∑ − (59.37 − 59.42) + ⋯ + (59.42 − 59.42)
= =
−1 10 − 1
= 0.10
0.10
= × 100% = × 100% = 0.17%
̅ 59.42
= 2( . )
= 2( . . )
= 1.08
36
Lampiran 3 . Uji t dan F untuk TDF kacang kedelai metode AOAC dan metode Asp
Uji t
1. Hipotesis
H0 : µ1 = µ2
Hi : µ1 ≠ µ2
2. Hipotesis uji = uji t
−
ℎ =
1 + 1
( − 1) + ( − 1)
=
+ −2
59.42 − 35.22
ℎ = = 75.927
0.71 1 1
10 + 10
4. Keputusan H0 ditolak
5. Kesimpulan : rataan TDF kacang kedelai metode AOAC berbeda nyata dengan rataan TDF kacang kedelai
metode Asp
43
Lampiran 4. Uji t dan F untuk TDF kacang tanah metode AOAC dan metode Asp
Uji t
1. Hipotesis
H0 : µ1 = µ2
Hi : µ1 ≠ µ2
2. Hipotesis uji = uji t
−
ℎ =
1 + 1
( − 1) + ( − 1)
=
+ −2
12.49 − 12.22
ℎ = = 0.852
0.71 1 1
10 + 10
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : rataan TDF kacang tanah metode AOAC tidak berbeda nyata dengan rataan TDF kacang tanah
metode Asp
Uji F
1. Hipotesis
H0 : s12 = s22
Hi : s12 ≠ s22
2. Hipotesis uji = uji F
0.07
ℎ = = = 3.06
0.04
3. Wilayah Kritik pada α = 0.01
H0 diterima bila F hitung < Fα (v1, v2)
F tabel = 5.351
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : SD TDF kacang tanah metode AOAC tidak berbeda nyata dengan SD TDF kacang tanah metode
Asp
44
Lampiran 5. Uji t dan F untuk TDF oat metode AOAC dan metode Asp
Uji t
1. Hipotesis
H0 : µ1 = µ2
Hi : µ1 ≠ µ2
2. Hipotesis uji = uji t
−
ℎ =
1 + 1
( − 1) + ( − 1)
=
+ −2
13.64 − 11.84
ℎ = = 5.661
0.71 1 1
10 + 10
4. Keputusan H0 ditolak
5. Kesimpulan : rataan TDF oat metode AOAC berbeda nyata dengan rataan TDF oat metode Asp
45
Lampiran 6. Uji t dan F untuk TDF wortel metode AOAC dan metode Asp
Uji t
1. Hipotesis
H0 : µ1 = µ2
Hi : µ1 ≠ µ2
2. Hipotesis uji = uji t
−
ℎ =
1 + 1
( − 1) + ( − 1)
=
+ −2
23.69 − 24.30
ℎ = = −1.887
0.72 1 1
10 + 10
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : rataan TDF wortel metode AOAC tidak berbeda nyata dengan rataan TDF wortel metode Asp
Uji F
1. Hipotesis
H0 : s12 = s22
Hi : s12 ≠ s22
2. Hipotesis uji = uji F
0.09
ℎ = = = 0.44
0.21
3. Wilayah Kritik pada α = 0.01
H0 diterima bila F hitung < Fα (v1, v2)
F tabel = 5.351
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : SD TDF wortel metode AOAC tidak berbeda nyata dengan SD TDF wortel metode Asp
46
Lampiran 7. Uji t dan F untuk IDF kacang kedelai metode AOAC dan metode Asp
Uji t
1. Hipotesis
H0 : µ1 = µ2
Hi : µ1 ≠ µ2
2. Hipotesis uji = uji t
−
ℎ =
1 + 1
( − 1) + ( − 1)
=
+ −2
59.42 − 35.22
ℎ = = 83.236
0.73 1 1
10 + 10
4. Keputusan H0 ditolak
5. Kesimpulan : rataan IDF kacang kedelai metode AOAC berbeda nyata dengan rataan IDF kacang kedelai
metode Asp
47
Lampiran 8. Uji t dan F untuk IDF kacang tanah metode AOAC dan metode Asp
Uji t
1. Hipotesis
H0 : µ1 = µ2
Hi : µ1 ≠ µ2
2. Hipotesis uji = uji t
−
ℎ =
1 + 1
( − 1) + ( − 1)
=
+ −2
11.48 − 11.29
ℎ = = 0.601
0.71 1 1
10 + 10
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : rataan IDF kacang tanah metode AOAC tidak berbeda nyata dengan rataan IDF kacang tanah
metode Asp
Uji F
1. Hipotesis
H0 : s12 = s22
Hi : s12 ≠ s22
2. Hipotesis uji = uji F
0.02
ℎ = = = 0.44
0.03
3. Wilayah Kritik pada α = 0.01
H0 diterima bila F hitung < Fα (v1, v2)
F tabel = 5.351
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : SD TDF kacang kedelai metode AOAC tidak berbeda nyata dengan SD TDF kacang kedelai
metode Asp
48
Lampiran 9. Uji t dan F untuk IDF oat metode AOAC dan metode Asp
Uji t
1. Hipotesis
H0 : µ1 = µ2
Hi : µ1 ≠ µ2
2. Hipotesis uji = uji t
−
ℎ =
1 + 1
( − 1) + ( − 1)
=
+ −2
8.46 − 7.28
ℎ = = 3.721
0.71 1 1
10 + 10
4. Keputusan H0 ditolak
5. Kesimpulan : rataan IDF oat metode AOAC berbeda nyata dengan rataan IDF oat metode Asp
49
Lampiran 10. Uji t dan F untuk IDF wortel metode AOAC dan metode Asp
Uji t
1. Hipotesis
H0 : µ1 = µ2
Hi : µ1 ≠ µ2
2. Hipotesis uji = uji t
−
ℎ =
1 + 1
( − 1) + ( − 1)
=
+ −2
9.19 − 9.50
ℎ = = −0.971
0.71 1 1
10 + 10
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : rataan IDF wortel metode AOAC tidak berbeda nyata dengan rataan IDF wortel metode Asp
Uji F
1. Hipotesis
H0 : s12 = s22
Hi : s12 ≠ s22
2. Hipotesis uji = uji F
0.10
ℎ = = = 9.00
0.13
3. Wilayah Kritik pada α = 0.01
H0 diterima bila F hitung < Fα (v1, v2)
F tabel = 5.351
4. Keputusan H0 ditolak
5. Kesimpulan : SD IDF wortel metode AOAC berbeda nyata dengan SD IDF wortel metode Asp
50
Lampiran 11. Uji t dan F untuk SDF kacang kedelai metode AOAC dan metode Asp
Uji t
1. Hipotesis
H0 : µ1 = µ2
Hi : µ1 ≠ µ2
2. Hipotesis uji = uji t
−
ℎ =
1 + 1
( − 1) + ( − 1)
=
+ −2
1.31 − 4.36
ℎ = = −9.462
0.71 1 1
10 + 10
4. Keputusan H0 ditolak
5. Kesimpulan : rataan SDF kacang kedelai metode AOAC berbeda nyata dengan rataan SDF kacang kedelai
metode Asp
51
Lampiran 12. Uji t dan F untuk SDF kacang tanah metode AOAC dan metode Asp
Uji t
1. Hipotesis
H0 : µ1 = µ2
Hi : µ1 ≠ µ2
2. Hipotesis uji = uji t
−
ℎ =
1 + 1
( − 1) + ( − 1)
=
+ −2
0.88 − 0.93
ℎ = = −0.158
0.71 1 1
10 + 10
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : rataan SDF kacang tanah metode AOAC tidak berbeda nyata dengan rataan SDF kacang tanah
metode Asp
Uji F
1. Hipotesis
H0 : s12 = s22
Hi : s12 ≠ s22
2. Hipotesis uji = uji F
0.06
ℎ = = = 4.00
0.03
3. Wilayah Kritik pada α = 0.01
H0 diterima bila F hitung < Fα (v1, v2)
F tabel = 5.351
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : SD SDF kacang tanah metode AOAC tidak berbeda nyata dengan SD SDF kacang tanah
metode Asp
52
Lampiran 13. Uji t dan F untuk SDF oat metode AOAC dan metode Asp
Uji t
1. Hipotesis
H0 : µ1 = µ2
Hi : µ1 ≠ µ2
2. Hipotesis uji = uji t
−
ℎ =
1 + 1
( − 1) + ( − 1)
=
+ −2
2.59 − 2.03
ℎ = = 1.701
0.74 1 1
10 + 10
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : rataan SDF oat metode AOAC tidak berbeda nyata dengan rataan SDF oat metode Asp
Uji F
1. Hipotesis
H0 : s12 = s22
Hi : s12 ≠ s22
2. Hipotesis uji = uji F
0.29
ℎ = = = 93.44
0.03
3. Wilayah Kritik pada α = 0.01
H0 diterima bila F hitung < Fα (v1, v2)
F tabel = 5.351
4. Keputusan H0 ditolak
5. Kesimpulan : SD SDF oat metode AOAC berbeda nyata dengan SD SDF oat metode Asp
53
Lampiran 14. Uji t dan F untuk SDF wortel metode AOAC dan metode Asp
Uji t
1. Hipotesis
H0 : µ1 = µ2
Hi : µ1 ≠ µ2
2. Hipotesis uji = uji t
−
ℎ =
1 + 1
( − 1) + ( − 1)
=
+ −2
13.87 − 14.61
ℎ = = −2.334
3.21 1 1
10 + 10
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : rataan SDF wortel metode AOAC tidak berbeda nyata dengan rataan SDF wortel metode Asp
Uji F
1. Hipotesis
H0 : s12 = s22
Hi : s12 ≠ s22
2. Hipotesis uji = uji F
0.05
ℎ = = = 0.10
0.16
3. Wilayah Kritik pada α = 0.01
H0 diterima bila F hitung < Fα (v1, v2)
F tabel = 5.351
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : SD SDF wortel metode AOAC tidak berbeda nyata dengan SD SDF wortel metode Asp
54
Lampiran 15. Uji t dan F untuk ruggenness test TDF kacang kedelai (78%) dan metode Asp (95%)
Uji t
1. Hipotesis
H0 : µ1 = µ2
Hi : µ1 ≠ µ2
2. Hipotesis uji = uji t
−
ℎ =
1 + 1
( − 1) + ( − 1)
=
+ −2
35.12 − 35.22
ℎ = = −0.136
0.95 1 1
2 + 10
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : rataan TDF kacang kedelai (78%) metode AOAC tidak berbeda nyata dengan rataan TDF
wortel metode Asp (95%)
Uji F
1. Hipotesis
H0 : s12 = s22
Hi : s12 ≠ s22
2. Hipotesis uji = uji F
0.02
ℎ = = = 0.01
0.23
3. Wilayah Kritik pada α = 0.01
H0 diterima bila F hitung < Fα (v1, v2)
F tabel = 4052. 851
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : SD SDF wortel metode AOAC tidak berbeda nyata dengan SD SDF oat metode Asp
55
Lampiran 16. Uji t dan F untuk ruggenness test TDF kacang tanah (78%) metode Asp (95%)
Uji t
1. Hipotesis
H0 : µ1 = µ2
Hi : µ1 ≠ µ2
2. Hipotesis uji = uji t
−
ℎ =
1 + 1
( − 1) + ( − 1)
=
+ −2
12.2 − 35.22
ℎ = = −0.027
0.95 1 1
2 + 10
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : rataan TDF kacang tanah (78%) metode AOAC tidak berbeda nyata dengan rataan SDF wortel
metode Asp (95%)
Uji F
1. Hipotesis
H0 : s12 = s22
Hi : s12 ≠ s22
2. Hipotesis uji = uji F
0.12
ℎ = = = 9.00
0.04
3. Wilayah Kritik pada α = 0.01
H0 diterima bila F hitung < Fα (v1, v2)
F tabel = 4052. 851
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : SD TDF kacang tanah (78%) metode AOAC tidak berbeda nyata dengan SD TDF oat metode
Asp (95%)
56
Lampiran 17. Uji t dan F untuk ruggenness test TDF oat (78%) metode Asp (95%)
Uji t
1. Hipotesis
H0 : µ1 = µ2
Hi : µ1 ≠ µ2
2. Hipotesis uji = uji t
−
ℎ =
1 + 1
( − 1) + ( − 1)
=
+ −2
11.75 − 11.84
ℎ = = −0.122
0.95 1 1
2 + 10
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : rataan TDF oat (78%) metode AOAC tidak berbeda nyata dengan rataan SDF wortel metode
Asp
Uji F
1. Hipotesis
H0 : s12 = s22
Hi : s12 ≠ s22
2. Hipotesis uji = uji F
0.03
ℎ = = = 0.09
0.1
3. Wilayah Kritik pada α = 0.01
H0 diterima bila F hitung < Fα (v1, v2)
F tabel = 4052. 851
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : SD TDF oat (78%) metode AOAC tidak berbeda nyata dengan SD TDF oat metode Asp (95%)
57
Lampiran 18. Uji t dan F untuk ruggenness test TDF wortel (78%) metode Asp (95%)
Uji t
1. Hipotesis
H0 : µ1 = µ2
Hi : µ1 ≠ µ2
2. Hipotesis uji = uji t
−
ℎ =
1 + 1
( − 1) + ( − 1)
=
+ −2
24.00 − 24.30
ℎ = = −0.406
0.95 1 1
2 + 10
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : rataan TDF wortel (78%) metode AOAC tidak berbeda nyata dengan rataan SDF wortel metode
Asp
Uji F
1. Hipotesis
H0 : s12 = s22
Hi : s12 ≠ s22
2. Hipotesis uji = uji F
0.04
ℎ = = = 0.04
0.21
3. Wilayah Kritik pada α = 0.01
H0 diterima bila F hitung < Fα (v1, v2)
F tabel = 4052. 851
4. Keputusan H0 diterima
5. Kesimpulan : SD TDF wortel (78%) metode AOAC tidak berbeda nyata dengan SD metode Asp (95%)
58
Lampiran 19. Data serat pangan sampel dengan metode AOAC dan Asp
AOAC Asp
Sampel Ulangan SDF TDF SDF
TDF (%) IDF (%) IDF (%)
(%) (%) (%)
Kacang Kedelai 1 59.37 57.47 1.27 35.62 30.43 4.37
2 59.59 57.74 1.30 35.61 30.48 4.39
3 59.34 57.62 1.34 35.72 30.36 4.35
4 59.43 57.84 1.32 35.47 30.05 4.44
5 59.43 57.47 1.29 35.53 30.61 4.28
6 59.55 57.51 1.32 35.81 30.26 4.33
7 59.54 57.31 1.31 35.69 30.08 4.34
8 59.39 57.71 1.32 35.07 30.82 4.36
9 59.63 58.11 1.29 35.65 30.75 4.38
10 59.42 57.69 1.30 35.22 30.43 4.38
Rata-rata 59.42 57.65 1.31 35.22 30.43 4.36
Standar Deviasi 0.10 0.23 0.02 0.23 0.25 0.04
RSD 0.17 0.39 1.55 0.66 0.84 0.92
RSDR 1.08 1.09 1.92 1.17 1.20 1.60
AOAC Asp
Sampel Ulangan SDF TDF SDF
TDF (%) IDF (%) IDF (%)
(%) (%) (%)
Kacang Tanah 1 12.57 11.48 0.90 12.22 11.32 0.94
2 12.32 11.49 0.94 12.18 11.27 0.87
3 12.55 11.48 0.82 12.22 11.26 0.94
4 12.55 11.49 0.81 12.20 11.29 0.93
5 12.56 11.43 0.92 12.22 11.28 0.94
6 12.48 11.49 0.88 12.27 11.34 0.96
7 12.49 11.50 0.82 12.21 11.31 0.90
8 12.47 11.51 0.94 12.15 11.29 0.96
9 12.49 11.49 0.82 12.29 11.30 0.89
10 12.46 11.47 0.95 12.20 11.27 0.94
Rata-rata 12.49 11.48 0.88 12.22 11.29 0.93
Standar Deviasi 0.07 0.02 0.06 0.04 0.03 0.03
RSD 0.58 0.18 6.50 0.33 0.22 3.37
RSDR 1.37 1.39 2.04 1.37 1.39 2.02
59
AOAC Asp
Sampel Ulangan SDF TDF SDF
TDF (%) IDF (%) IDF (%)
(%) (%) (%)
Oat 1 13.60 8.48 2.67 11.91 7.19 2.03
2 13.67 8.43 2.71 11.84 7.34 2.09
3 13.77 8.46 2.66 11.88 7.18 2.04
4 13.50 8.51 2.69 11.84 7.26 2.00
5 13.53 8.45 2.68 11.77 7.36 2.01
6 13.71 8.46 2.66 11.62 7.34 2.01
7 13.68 8.47 1.77 11.95 7.27 2.01
8 13.53 8.48 2.69 11.94 7.34 2.07
9 13.80 8.46 2.72 11.87 7.28 2.02
10 13.63 8.41 2.67 11.82 7.22 2.05
Rata-rata 13.64 8.46 2.59 11.84 7.28 2.03
Standar Deviasi 0.10 0.03 0.29 0.10 0.07 0.03
RSD 0.74 0.34 11.11 0.81 0.93 1.45
RSDR 1.35 1.45 1.73 1.38 1.48 1.80
AOAC Asp
Sampel Ulangan SDF TDF SDF
TDF (%) IDF (%) IDF (%)
(%) (%) (%)
Wortel 1 23.59 9.08 13.88 24.37 9.65 14.73
2 23.76 9.04 13.90 24.15 9.51 14.67
3 23.68 9.31 13.92 24.43 9.24 14.48
4 23.80 9.09 13.96 24.35 9.52 14.30
5 23.79 9.20 13.88 23.99 9.40 14.81
6 23.68 9.23 13.85 24.24 9.63 14.69
7 23.67 9.27 13.83 24.44 9.52 14.77
8 23.56 9.31 13.76 24.72 9.51 14.64
9 23.65 9.26 13.87 24.05 9.65 14.60
10 23.77 9.10 13.86 24.23 9.38 14.45
Rata-rata 23.69 9.19 13.87 24.30 9.50 14.61
Standar Deviasi 0.08 0.10 0.05 0.21 0.13 0.16
RSD 0.35 0.91 0.39 0.82 0.90 1.09
RSDR 1.24 1.43 1.35 1.24 1.43 1.34
60
Lampiran 20. Data serat pangan ruggedness test
61
Lampiran 21. Instruksi kerja analisis total serat pangan metode enzimatik gravimetri
1. Metode Rujukan
1.1 Analisis TDF (Asp, 2001)
2. Peralatan
2.1 Persiapan Sampel
2.1.1 Blender
2.1.2 Ayakan 40 dan 50 mesh
2.2 Analisis
2.2.1 Alat-alat gelas
2.2.2 Neraca analitik
2.2.3 Mortar dan alu
2.2.4 Desikator
2.2.5 Crucible dengan celite (porositas no.2, Pyrex No. 32940, ASTM 40-60 µm, fritted, Gooch Type )
2.2.6 Pompa vakum
2.2.7 Tanur
2.2.8 Waterbath Shaker
2.2.9 pH meter
2.2.10 Alat destilasi
3. Persiapan Sampel
3.1 Sampel Kering
3.1.1 Sampel kering dapat langsung diblender dan diayak hingga berukuran 40-50 mesh
3.2 Sampel Basah
3.2.1 Dikeringkan dengan oven pada suhu 105oC selama 5 jam, kemudian diblender dan diayak hingga
berukuran 40-50 mesh
3.3 Sampel Tinggi Lemak (> 10%)
3.3.1 Dicampurkan dalam 25 ml petroleum eter/100 g sampel selama satu jam sebanyak tiga kali
ulangan
3.3.2 Dikeringkan dengan oven pada suhu 105oC selama 5 jam, kemudian diblender dan diayak hingga
berukuran 40-50 mesh
4. Analisis
4.1 Analisis dilakukan sebanyak dua ulangan (duplo) dan satu sampel blangko
4.2 Timbang sebanyak 1 g sampel (W), dengan keakuratan hingga 0.1 mg, dalam gelas piala 400 ml
4.3 Tambahkan 25 ml 0.1 M buffer fosfat pH 6.0
4.4 Tambahkan 0.1 ml larutan termamyl dan tutup gelas piala dengan alufo
4.5 Letakkan dalam waterbath shaker pada suhu 99oC selama 15 menit, goyangkan secara perlahan setiap 5
menit
62
4.6 Tambahkan 20 ml akuades, dinginkan hingga mencapai suhu ruang, kemudian tepatkan nilai pH hingga
mencapai pH 1.5 dengan menambahkan HCl 4 M
4.7 Tambahkan 100 mg pepsin, letakkan dalam waterbath shaker pada suhu 40oC selama 60 menit dengan
agitasi kontinyu
4.8 Tambahkan 20 ml akuades, kemudian tepatkan nilai pH hingga mencapai pH 6.8 dengan menambahkan
NaOH
4.9 Tambahkan 100 mg pankreatin, letakkan dalam waterbath shaker pada suhu 40oC selama 60 menit dengan
agitasi kontinyu
4.10Tepatkan nilai pH hingga mencapai pH 4.5 dengan menambahkan HCl 4 M
4.11 Tambahkan 280 ml etanol 95% yang telah dipanaskan sebelumnya hingga suhunya 60oC (volume diukur
setelah pemanasan)
4.12 Inkubasi pada suhu kamar selama 60 menit agar terbentuk endapan
4.13 Saring endapan menggunakan crucible yang telah diketahui bobot keringnya (Wcru)
4.14 Cuci residu dengan 2 x 10 ml akuades, 2 x 10 ml etanol 95%, dan 2 x 10 ml aseton
4.15 Keringkan pada suhu 105oC hingga berat tetap (sekitar 12 jam), dinginkan dalam desikator dan ditimbang
(Wres)
4.16 Satu ulangan sampel diletakkan dalam tanur 525oC selama minimal 5 jam, didinginkan dalam desikator,
dan ditimbang (Wabu)
4.17 Satu ulangan sampel dihitung kadar protein menggunakan metode Kjeldahl (Wpro)
4.18 Sampel blanko digunakan untuk mengetahui berat kontaminan yang berasal dari reagen dan enzim (Wb)
5. Perhitungan Kadar Serat Pangan
Rumus : TDF (%) = [(Wres – Wpro – Wabu – Wb) / W] x 100
W = Bobot sampel (g)
Wres = Bobot residu (g)
Wpro = Bobot protein dalam residu (g)
Wabu = Bobot abu dalam residu (g)
Wb = Blanko (g)
Satuan akhir kadar serat pangan = %
63
Lampiran 22. Instruksi kerja analisis serat pangan tidak larut dan larut metode enzimatik gravimetri
1. Metode Rujukan
1.1 Analisis IDF dan SDF (Asp, 2001)
2. Peralatan
2.1 Persiapan Sampel
2.1.1 Blender
2.1.2 Ayakan 40 dan 50 mesh
2.2 Analisis
2.2.1 Alat-alat gelas
2.2.2 Neraca analitik
2.2.3 Mortar dan alu
2.2.4 Desikator
2.2.5 Crucible dengan celite (porositas no.2, Pyrex No. 32940, ASTM 40-60 µm, fritted, Gooch Type )
2.2.6 Pompa vakum
2.2.7 Tanur
2.2.8 Waterbath Shaker
2.2.9 pH meter
2.2.10 Alat destilasi
3. Persiapan Sampel
3.1 Sampel Kering
3.1.1 Sampel kering dapat langsung diblender dan diayak hingga berukuran 40-50 mesh
3.2 Sampel Basah
3.2.1 Dikeringkan dengan oven pada suhu 105oC selama 5 jam, kemudian diblender dan diayak hingga
berukuran 40-50 mesh
3.3 Sampel Tinggi Lemak (> 10%)
3.3.1 Dicampurkan dalam 25 ml petroleum eter/100 g sampel selama satu jam sebanyak tiga kali
ulangan
3.3.2 Dikeringkan dengan oven pada suhu 105oC selama 5 jam, kemudian diblender dan diayak hingga
berukuran 40-50 mesh
4. Analisis
4.1 Analisis dilakukan sebanyak dua ulangan (duplo) untuk IDF dan duplo untuk SDF, serta satu sampel
blangko
4.2 Timbang sebanyak 1 g sampel (W), dengan keakuratan hingga 0.1 mg, dalam gelas piala 400 ml
4.3 Tambahkan 25 ml 0.1 M buffer fosfat pH 6.0
4.4 Tambahkan 0.1 ml larutan termamyl dan tutup gelas piala dengan alufo
4.5 Letakkan dalam waterbath shaker pada suhu 99oC selama 15 menit, goyangkan secara perlahan setiap 5
menit
64
4.6 Tambahkan 20 ml akuades, dinginkan hingga mencapai suhu ruang, kemudian tepatkan nilai pH hingga
mencapai pH 1.5 dengan menambahkan HCl 4 M
4.7 Tambahkan 100 mg pepsin, letakkan dalam waterbath shaker pada suhu 40oC selama 60 menit dengan
agitasi kontinyu
4.8 Tambahkan 20 ml akuades, kemudian tepatkan nilai pH hingga mencapai pH 6.8 dengan menambahkan
NaOH
4.9 Tambahkan 100 mg pankreatin, letakkan dalam waterbath shaker pada suhu 40oC selama 60 menit dengan
agitasi kontinyu
4.10Tepatkan nilai pH hingga mencapai pH 4.5 dengan menambahkan HCl 4 M
4.11 Saring endapan menggunakan crucible yang telah diketahui bobot keringnya (Wcru), tampung dan pisahkan
larutan (SDF), sementara endapan yang diperoleh dilanjutkan ke tahap 4.14 sebagai residu IDF
4.12Tambahkan 280 ml etanol 95% yang telah dipanaskan sebelumnya hingga suhunya 60oC (volume diukur
setelah pemanasan) ke dalam larutan (SDF)
4.13Inkubasi pada suhu kamar selama 60 menit agar terbentuk endapan SDF dan dilanjutkan ke tahap 4.14
sebagai residu SDF
4.14 Cuci residu dengan 2 x 10 ml akuades, 2 x 10 ml etanol 95%, dan 2 x 10 ml aseton
4.15 Keringkan pada suhu 105oC hingga berat tetap (sekitar 12 jam), dinginkan dalam desikator dan ditimbang
(Wres)
4.16 Satu ulangan sampel diletakkan dalam tanur 525oC selama minimal 5 jam, didinginkan dalam desikator,
dan ditimbang (Wabu)
4.17 Satu ulangan sampel dihitung kadar protein menggunakan metode Kjeldahl (Wpro)
4.18 Sampel blanko digunakan untuk mengetahui berat kontaminan yang berasal dari reagen dan enzim (Wb)
5. Perhitungan Kadar Serat Pangan
Rumus : IDF (%) dan SDF (%) = [(Wres – Wpro – Wabu – Wb) / W] x 100
W = Bobot sampel (g)
Wres = Bobot residu (g)
Wpro = Bobot protein dalam residu (g)
Wabu = Bobot abu dalam residu (g)
Wb = Blanko (g)
Satuan akhir kadar serat pangan = %
65