Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Jurnal Skripsi Sapnah1

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 19

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA RUMAH MAKAN YANG

TIDAK MEMILIKI SERTIFIKAT HALAL DI KOTA


LHOKSEUMAWE
Sapnah
Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
Sapnah108@gmail.com

Dr. Manfarisyah, S.H., M.H


Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
Jl. Kampus Unimal Bukit Indah, Blang Pulo, Muara Satu, Kabupaten Aceh Utara,
Aceh 24355
Email : manfarisyah@unimal.ac.id

Fauza Nur Aksa, S.Ag.,M.H


Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
Abstract

Law Number 33 of 2014 concerning Guaranteed Halal Products, has provided legal protection for
consumers against the uncertainty of consuming good and halal food and beverages to be used in
accordance with Islamic teaching obligations. In Indonesia, the MUI is authorized to issue halal
certificates, but for Aceh region, which is authorized by the MPU through LPPOM MPU Aceh, the
existence of LPPOM MPU Aceh answers the community's need to obtain halal food and drinks for
consumption. But outside there are still many restaurants that do not have a halal certificate, some even
include an unofficial halal label.
This study aims to determine the responsibilities of business actors who do not have halal
certificates, MPU's efforts in supervising restaurants that have not been certified halal and the obstacles
to restaurant business actors in registering halal certification.
This research method uses empirical juridical research methods with a library approach and field
research. Literature research was conducted to obtain theoretical secondary data, while field research
was conducted to obtain primary data through interviews with informants and respondents.
Based on the results of the study, restaurant business actors will be responsible if consumers
experience losses due to the food consumed at their restaurant is contaminated with haram ingredients.
MPU's efforts in supervising restaurants that have not been certified halal are by forming an integrated
team. The obstacle for restaurant business actors in registering halal certificates is due to the low legal
awareness of business actors in understanding and complying with government policies in
implementing the provisions of halal certification. The obstacles for LPPOM MPU Aceh in motivating
restaurant business actors who have not registered for halal certification are perspectives and the lazy
behavior of business actors in Aceh, because producers and consumers tend to be indifferent to halal
labeling on any products they consume.
It is recommended for LPPOM MPU Aceh to carry out socialization more often and related parties
to give strict sanctions in order to give awareness towards business actors. Business actors and
consumers are expected to be smart in choosing food for consumption.

Keywords: Business Actor, Food and Beverage, Halal Certification


abstrak

Undang- undang nomor 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal, telah memberi
perlindungan hukum konsumen terhadap ketidakpastian mengkonsmsi makanan dan
minuman yang baik lagi halal untuk digunakan sesuai dengan kewajiban islam. Di Indonesia
yang berwenang mengeluarkan sertifikat halal adalah mui, namun untuk wilayah aceh yang
berwenang mpu melalui lppom mpu aceh, keberadaan lppom mpu aceh menjawab kebutuhan
masyarakat untuk mendapatkan makanan dan minuman yang halal untuk dikonsumsi. Tetapi
diluaran masih banyak rumah makan yang belum memiliki sertifikat halal, bahkan ada yang
mencantumkan label halal tidak sah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha yang belum
memiliki sertifikat hala, cara mpu mengawasi rumah makan yang belum bersertifikat hala dan
hambatan-hambatan pelaku usaha rumah makan dalam mendaftarkan sertifikasi halal.
Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris dengan
pendekatan kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan guna
memperoleh data sekunder yang bersifat teoritis, sedangkan penelitian lapangan dilakukan
guna memperoleh data primer melalui wawancara dengan informan dan responden.
Berdasarkan hasil penelitian pelaku usaha rumah makan menjamin makanan dan
minuman yang mereka jual halal meskipun tidak memiliki sertifikat halal. Cara mpu
mengawasi rumah makan yang belum bersertifikat halal yaitu dengan cara membentuk tim
terpadu yang mana tim ini nanti akan memeriksa usaha para pelaku usaha secara berkala.
Hambatan pelaku usaha dalam mendaftarkan sertifikat halal yaitu karena tertlalu besarnya
rasa kehalalan makananyang mereka jual, proses yang lama dan harga yang mahal.
Disarankan untuk mpu lebih tegas lagi dalam menindak rumah-rumah makan yang
belum melakukan sertifikasi halal. Karena tidak adanya sanksi pelaku usaha menyepelekan
ketentuan membuat sertifikat halal usahanya.

Kata Kunci : Pelaku Usaha, Makanan Dan Minuman, Sertifikasi Halal

A. Pendahuluan
Melihat data dari MPU Aceh, dikota Lhokseumawe hanya ada 2 (dua) rumah
makan yang sudah mendaftarkan sertifikat halal, yaitu warung bakso koko dan
restoran hotel rajawali.1 Adapula toko-toko roti, dan outlet franchise yang juga
belum memiliki sertifikat halal. Padahal sudah hampir 8 tahun undang-undang
jaminan produk halal diundangkan namun kesiapan dan kesadaran masyarakat
masih tergolong rendah jika melihat dari data yang ada. Dalam hal ini para pelaku
usaha yang belum mendaftarkan sertifikat halal usahanya, termasuk usaha
rumah makan, restoran, warung bakso dan usaha-usaha lainnya, tidak mematuhi
peraturan Undang-Undang yang berlaku mengenai sertifikasi halal. Ada banyak
peraturan undang-undang yang mengatur mengenai sertifikat halal yang tidak
dipatuhi oleh pelaku usaha.

1 Mpu Aceh, Https://Mpu.Acehprov.Go.Id/Index.Php/Page/41/Daftar-Produk-Bersertifikasi-

Hal Diakses Pada Tanggal 25 Juli 2021.


Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal atau
selanjutkan akan di singkat dengan UU JPH, sebagaimana disebutkan dalam Pasal
4 yang bunyinya: “produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan diwilayah
Indonesia wajib bersertifikat halal” dan kemudian dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,
Di wilayah Aceh mempunyai peraturan sendiri mengenai produk halal,
yaitu terangkum dalam Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2016 Terhadap Sitem
Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat dengan Qanun SJPH, peraturan
disahkan padal tanggal 19 desember 2016 oleh Pemerintah Aceh dan DPRA.
Ketentuan tentang berproduksi secara halal juga diatur Dalam Undang –
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya
disingkat dengan UUPK, yaitu tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha,
dalam BAB IV sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 menjelaskan Pelaku
usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang tidak mengikuti ketentuan produksi secara halal, sebagaimana pernyataan
halal yang dicantumkan dalam label;
Berdasarkan uraian diatas mengenai para pelaku usaha yang tidak
mendaftarkan sertifikat halal usaha rumah makannya, sesuai dengan peraturan
perundang-undang yang berlaku mengenai sertifikasi halal, maka perlu untuk
mengkaji penelitian ini dengan judul “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Rumah
Makan Yang Belum Memiliki Sertifikat Halal Di Kota Lhokseumawe”.
B. Metode Penelitian
1. Rumusan Masalah
a. Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha rumah makan yang tidak
memiliki sertifikat halal?
b. Bagaimana upaya MPU kota Lhokseumawe dalam mengawasi pelaku
usaha rumah makan yang tidak memiliki sertifikasi halal ?
c. Apa saja hambatan bagi pelaku usaha rumah makan dalam mendaftarkan
sertifikat halal?
2. Jenis Penlitian
Jenis dalam penelitian ini adalah jenis penelitian Kualitatif. Penelitian
Kualitatif merupakan suatu penelitian yang hasil penelitiannya tidak
diperoleh melalui prosedur statistik, tetapi melalui pengumpulan data
analisis kemudian di interpretasikan sehingga peneliti dapat melihat
tanggung jawab pelaku usaha rumah makan yang tidak memiliki sertifikat
halal.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
empiris yaitu hukum yang meninjau penomena-penomena sosial didunia
kenyataan yang mempengaruhi prilaku hukum baik secara personal
individual, maupun secara institusional masyarakat.2 dengan cara
melakukan penelitian dengan mengumpulkan data primer secara langsung
dari objek penelitian melalui tahapan wawancara dengan informan,
responden dan narasumber yang berhubungan dengan objek penelitian.3
Penelitian hukum sebagai penelitian empiris dapan direalisasikan kepada
penelitian terhadap efektivitas hukum yang sedang berlaku.
4. Jenis data
a. Sumber Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber
pertama yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas.4 Sumber
data diperoleh dari lapangan secara langsung dengan wawancara.
b. Sumber Data Sekuder
Data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari buku-buku
sebagai data pelengkap sumber data primer. Sumber data sekunder
penelitian ini adalah data-data yang diperoleh dengan melakukan kajian
pustaka seperti buku-buku, karya ilmiah, hasil penelitian dan sebagainya.5

2 Qomar Nurul, Metode Penelitian Hukum, Cv. Sosial Politic Genius: Makasar, 2017, Hlm. 5.
3 Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1990, Hlm.10.
4 Amiruddin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2006, Hlm.

30.
5 Marzuki, Metodologi Riset ,Yogyakarta:UI , 1981, Hlm. 56.
Data sekunder mencakup dokumen-dokumen, buku, hasil penelitian yang
berwujud laporan, dan seterusnya materi yang relevan dengan penulisan
proposal dalam penelitian ini.6
c. Sumber Data Tersier
Bahan hukum tersier dapat berupa bibliografi, kamus, dan
sebagainya.7
5. Tinjauan Pustaka
a. Tinjauan Umum tentang Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku dan
perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja. Tanggungjawab juga
berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.
Prinsip tanggungjawab merupakan prihal yang sangat penting didalam
hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus pelanggaran hak konsumen
diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis orang yang harus
bertanggungjawab dan seberapa jauh tangungjawab dapat dibebankan
kepada pihak-pihak terkait.8
b. Pelaku usaha dan Konsumen
1. Pengertian Pelaku Usaha
Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen cukup luas. Para pelaku usaha yang
dimaksudkan yaitu setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara republik indonesia baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.9
2. Pengertian Konsumen

6 Amirrudin Op. Cit., Hlm. 12.


7 Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Pedoman Pembelajaran, 2015, Hlm. 110.
8 Shirdata, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta ; Grasindo, 2000) Hlm. 59
9 Gunawan Widjaja Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlic. ndungan Konsumen, PT Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 2003 , Hlm. 35.


Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika).
Secara harfiah arti kata consumer itu adalah setiap orang yang
menggunakan barang dan jasa. Tujuan penggunaan barang dan jasa itu
nanti menetukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna
tersebut. Konsumen pada umumnya diartikan sebgai pemakai terakhir
pada produk yang diserahkan kepada mereka, yaitu setiap orang yang
mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan
atau diperjual belikan.10 Dalam Undang-Undang perlindungan
konsumen, konsumen di definisikan sebagai “setiap orang yang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan”.
c. Halal dan haram
1. Halal
Secara bahasa , kata “halal” berasal dari bahasa arab yang sudah
yang berarti “melepaskan” dan “tidak terikat”, secara etimologis halal
berarti hal-hal yang dibolehkan dan dapat dilakukan karena bebas atau
tidak terikat dengan ketentuan yang melarangnya atau diartikan segala
sesuatu yang terbebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi, sedangkan
tayyib berarti makanan yang tidak kotor atau rusak dari segi zatnya atau
tercampur benda najis dengan pengertian baik. Ada juga yang
mengartikan sebagai makanan yang mengundang selera konsumennya
dan tidak membahayakan fisik serta akalnya, yang secara luas dapat
diartikan dengan makanan yang menyehatkan.11
Ensiklopedia Islam Indonesia menjelaskan, bahwa halal artinya
“tidak dilarang” dan “diizinkan” melakukan atau memanfaatkannya.
Halal dapat diketahui melalui dalil yang menghalalkannya secara tegas

10 Rosmawati, Pokok-Pokok Perlindungan Hukum Konsumen, Prenamedia Group, 2018, Hlm. 2.


11 Panji Adam AP, Kedudukan Sertifikasi Halal Dalam System Hukum Nasional Sebagai Upaya
Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Hukum Islam, Amwaluna: Jurnal Ekonomi Dan Keuangan
Syariah, Vol. 1 No. 1 Januari 2017, Hlm. 150-165, Diakses Tanggal 08 Juli 2021.
dalam al-quran dan sunnah, dan dapat juga diketahui bahwa tidak ada
satu dalilpun yang mengharamkan atau melarangnya.12 Kreteria halal
dibagi menjadi 2, yaitu berdasarkan proses dan halal berdasarkan
substansi. Halal berdasarkan proses, yaitu untuk pangan yang berasal
dari tumbuhan, ikan pada waktu proses penggelohan, penyimpaan,
transportasi serta alat yang digunakan untuk dipakai tidak habis
digunakan untuk memotong babi, sedangkan untuk bahan pangan yang
berasal dari hewan dan disembeli dengan menyebut nama allah. Halal
berdasarkan substansi yaitu tidak mengandung daging babi, atau
binatang yang dilarang oleh Ajaran Islam untuk memakannya dan semua
bentuk minuman dan makanan yang tidak mengandung alkohol.
Seperti yang sudah diketahui, dalam Islam kehalalan makanan
adalah faktor terpenting dalam memilah dan memilih makanan. Dalam
Al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia untuk selalu mengkosumsi
makanan dan minuman yang tidak hanya halal namun juga harus baik13.
2. Pengertian Haram
Secara bahasa, kata “haram” berasal dari bahasa arab yang sudah
diserab menjadi bahasa Indonesia. Haram asal katanya “harama” yang
berarti “mana’a” dalam bahasa Indonesia disebut larangan.jadi haram
artinya dilarang dengan larangan yang tegas oleh Allah SWT, jika
melanggar akan mendapatkan sisa dan jika meninggalkan akan
mendapatkan pahala.14 Kreteria halal ada 2, yaitu haram lidzatihi
(makanan yang haram karena zatnya) dan haram lighairibhi (makanan
yang haram karena faktor eksternal).
Dalam Islam, halal dan haram adalah bagian dari hukum syara’ yang
saling bersebrangan. Halal merujuk kepada hal-hal yang diperbolehkan,

12 Zulham Peran Negara Terhadap Perlindungan Konsumen Muslim Terhadap Produk Halal,

Kencana: Jakarta Timur, 2018, Hlm. 86.


13 Silvia Fiska Dkk, Perlindungan Konsumen Muslim Atas Produk Halal, CV Jakad Media

Publishing, 2020, Hlm. 26.


14 Buku Panduan Halal Is My Life , Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan Dan Pangan

Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).


sedangkan haram merujuk kepada hal-hal yang tidak diperbolehkan.
Setiap muslim diperintah untuk hanya mengkonsumsi
makanan/minuman yang halal dan sebisa mungkin yang yhayyib (baik
dan menyehatkan). Sebaliknya kita dilarang mengkonsumsi
makanan/minuman yang haram. Secara alamiah, Allah telah
menyediakan bagi manusia begitu banyak bahan pangan yang halal,
sedangkan yang haram itu jauh lebih sedikit jumlah dan jenisnya.15
Makanan dan minuman halal harus memenuhi syarat kehalalan yang
syar’i . misalnya dalam makanan tidak boleh memakan darah, bangkai,
kotoran, makanan yang menimbulkan efek negatif terhadap jiwa raga.
Dan dalam minuman tidak boleh meminum minuman yang menimbulkan
efek negative terhadap jiwa raga dan meminum minuman yang sudah
terkena najis.
d. Tinjauan Umum Tentang Labelisasi Halal Dan Sertifikasi Halal.
1. Tinjuan Umum Lebelisasi Halal
Menurut Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2018
tentang Pangan menyatakan “pencantuman label di dalam dan/atau
pada kemasan pangan ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa
Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai: nama
produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama
dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor, halal bagi yang
dipersyaratkan, tanggal dan kode produksi, tanggal, bulan, dan tahun
kedaluwarsa, nomor izin edar bagi Pangan Olahan, dan asal usul bahan
Pangan tertentu. Jadi label memuat informasi mengenai barang dan
keterangan tentang pelaku usaha serta informasi lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang disertakan pada
kemasan produk baik dimasukan atau ditempelkan dalam kemasan.
Dalam Pasal 1 angka 10 Undang–Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal yang sudah di ubah dalam Undang-

15 Mayasari Nura, , Memilih Makanan Halal, Jakarta : Qultum Media, 2007, Hlm 20.
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang berbunyi :
“sartifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang
dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal”. BPJPH ini adalah
lembaga yang dibentuk oleh pemeritah untuk menyelenggarakan
jaminan produk halal.
Dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan
Produk halal pada Pasal 10 ayat (1) dan (2) yang sudah di ubah dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disebutkan
bahwa kerjasama antara BPJPH, MUI dan Ormas Islam dilakukan dalam
bentuk :
a) Kerjasama BPJPH dengan MUI dan Ormas Islam yang berbandan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c dan
ayat (2) dilakukan dalam penetapan kehalalan produk.
b) Penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diterbitkan MUI dan Ormas Islam yang berbadan hukum dalam
bentuk keputusan penetapan halal produk.
2. Ketentuan Pencantuman Label Halal
Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal dinyatakan produk halal adalah produk
yang telah dinyatakan halal sesuai dengan Syariat Islam. Apabila bahan–
bahan yang digunakan oleh pelaku usaha rumah makan tidak sesuai
dengan Syariat Islam, baik dari cara memperoleh atau memprosesnya
sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ini, maka umat muslim tidak boleh
mengkonsumsi produk makanan yang dijual tersebut karena tidak jelas
kehalalannya.
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal pada Pasal 33 Ayat (1) sudah menjelaskan permohonan
sertifikat halal harus diajukan oleh pelaku usaha secara tertulis kepada
BPJPH. Selanjutnya, BPJPH menetapkan lembaga produk halal (LPH)
untuk melakukan pemeriksaan dan/atau menguji kehalalan produk,
adapun pemekriksaan dan pengujian kehalalan produk dilakukan oleh
auditor halal dilokasi usaha saat proses produksi. Selanjutnya LPH
menyerahkan hasil pemeriksaan pengujian kepada BPJPH untuk
disampaikan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) guna mendpatkan
kehalalan produk. Proses selanjutnya terdapat dalam Pasal 33 ayat (2)
dijelaskan bahwa penetapan kehalalan produk di tetapkan pada sidang
fatwa halal MUI. Sebagaimana yang tercantum dalam ayat (3) MUI akan
menggelar sidang fatwa halal untuk mendapatkan kehalalan produk
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya hasil
pemeriksaan pengujiann produk dari BPJPH. Keputusan penetapan
kehalalan produk akan disampaikan MUI kepada BPJPH untuk menjadi
dasar penerbitan sertifikat halal.
e. Tinjauan Umum Tentang Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
Majelis permusyawaratan ulama atau biasa disingkat dengan MPU
adalah sebuah lembaga atau majelis tempat bernaungnya seluruh ulama
dan cendikiawan muslim Aceh dari berbagai disiplin ilmu yag merupakan
mitra kerja sejajar Pemerintah Aceh dan DPRA.
Kedudukan MPU Provinsi Aceh dipertegas dengan lahirnya Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Pada Pasal 9 ayat (1) disebutkan “Daerah
dapat membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri dari Ulama”.
Dalam ayat (2) ditegaskan lagi “Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap
kebijakan daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami”. Amanat Undang-
Undang ini ditindaklanjuti dengan lahirnya Peraturan Daerah Nomor 3
Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis
Permusyawaratan Ulama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 43 Tahun 2001
tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Propinsi Daerah
Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan
Tatakerja Majelis Permusywaratan Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Kemudian diadakan Musyawarah Ulama se-Aceh pada tanggal 2-5
Rabi’ul Akhir 1422 H (24-27 Juni 2001 M) di Banda Aceh untuk memililh/
membentuk kepengurusan MPU. Pada malam 17 Ramadhan 1422 H (3
Desember 2001 M) melalui iqrar sumpah, terbentuklah MPU Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yang independen, bermitra sejajar dengan
Pemerintah Aceh dan DPRA untuk masa khidmat 2001-2006. Melalui
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan
Qanun Nomor 2 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama
mengukuhkan dan memperkuat kedudukan MPU Aceh sebagai mitra
sejajar Pemerintah Aceh dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan, terumata pembangunan Syariat Islam.16
C. Hasil Penelitiaan & Pembahasan
A. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Rumah Makan Yang Belum Memiliki
Sertifikat Halal

Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang dimaksud


dengan pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan berbadan hukum yang didirikan atau
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha
dalam berbagai bidang ekonomi. Pelaku usaha dikelompokkan menjadi investor
produsen dan distributor.
Dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal,
dengan disahkannya undang-undang ini sudah jelas payung hukum mengenai
sertifikasi halal. Dalam kehidupan sehari-hari dan bermasyarakat kejelasan
kehalalan yang dikonsumsi bukan hanya dibutuhkan oleh keluarga umat islam
namun juga sertifikasi halal sangat dibutuhkan dalam kalangan pengusaha selaku
pelaku usaha.

16 Mpu Aceh, Https://Mpu.Acehprov.Go.Id/Index.Php/Page/1/Profil. Diakses Tanggal 01 Juni


2021.
Dalam hal ini, peran sertifikasi halal sangat berpengaruh bagi produsen dan
konsumen, tentunya dengan adanya standarisasi dalam sertifikasi halal maka
timbul kepercayaan antara produsen dan konsumen. Berdasrkan hasil wawancara
dengan enam pemilik rumah makan mengatakan bahwa semua pemilik rumah
makan dikota lhokseumawe ini pastinya halal karena penjualnya muslim, dalam
keadaan ini kesadaran konsumen juga dibutuhkan dalam memilih makanan.
Kota Lhokseumawe yang mayoritas beragama muslim menjadi alasan jelas
kebutuhan sertifikasi halal rumah makan di kota lhokseumawe. Bahkan diwilayah
ini sudah mempunyai peraturan sendiri mengenai sertifikasi halal yang termuat
dalam Qanun No. 8 Tahun 2016 Tentang Sistem Jaminan Halal, seharusnya dengan
adanya aturan tersebut, ditambah dengan penduduk kota Lhokseumawe yang
mayoritas islam, makanan, minuman dan kebutuhan lainnya seharusnya sudah
distandarisasi sesuai ajaran hukum islam. Tidak hanya mengikuti hukum dagangnya
saja tetapi juga menyelaraskan dengan ajaran islam.
Fakta hukum dari hasil wawancara yang diproleh penulis, para pelaku usaha
menjamin bahwa masakan rumah makan yang mereka produksi adalah halal dan
tidak terkontaminasi dengan bahan masakan yang tidak halal (haram), namun jika
hanya menjamin secara lisan saja maka belum cukup bukti untuk menjamin
konsumen muslim untuk mendapatkan masakan halal dan dimungkinkan bahwa
masakan rumah makan yang mereka produksi adalah haram, untuk itu diperlukan
bukti yang kuat dengan cara pelaku usaha mendaftarkan rumah makannya agar
bersertifikat halal, karena sertifikat halal merupakan jaminan yang pasti bagi
konsumen muslim bahwa masakan yang henda dikonsumsinya halal atau haram.
Dan konsumen muslim berhak untuk mendapatkan informai yang jelas mengenai
produk yang akan dikonsumsinya.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 4 huruf a disebutkan bahwa hak konsumen adalah hak atas
kenyamanan, amanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa. Pasal ini menunjukan bahwa setiap konsumen termasuk konsumen muslim
yang merupakan mayoritas konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan
barang yang nyaman dikonsumsi olehnya. Salah satu pengertian nyaman bagi
konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah
agamanya, yaitu halal. Selanjutnya dalam huruf c disebutkan konsumen juga berhak
atas informasi yang benar dan jelas kondisi dan jaminan barang atau/jasa. Hal
tersebut dimaksud bahwa keterangan halal yang diberikan oleh pelaku usaha harus
benar dan telah teruji terlebih dahulu.
Data lain yang penulis peroleh dari hasil wawancara data responden antara
pihak pelaku usaha rumah makan dan pihak konsumen muslim. Berdasarkan data
yang penulis peroleh :
a. Dari pihak pelaku usaha rumah makan
Pengetahuan pelaku usaha tentang sertifikasi halal mengetahuinya dari
sosialisasi yang pernah dilakukan oleh MPU dan LP-POM, meski begitu usaha
rumah makan yang mereka didirikan sebagian besar belum bersertifikasi halal
terkhusus dikota lhokseumawe hanya ada 2 (dua) usaha rumah makan yang
memiliki sertifkasi halal, pihak pelaku usaha rumah makan setuju apabila
ketentuan pencantuman sertifikasi halal menjadi suatu yang wajib demi
menjamin kehalan bagi konsumen muslim.
b. Dari pihak konsumen
Pengetahuan konsumen mengenai sertifikasi halal bersumber dari media
masa seperti internet dan lain-lain, dan mendegar cerita saudara atau teman,
dalam menyantap makanan dirumah makan konsumen tidak memperhatikan
kandungan makanan atau ada tidaknya sertifikasi halal rumah makan tersebut,
hanyak saja merasa puas dari pelayanan rumah makan saja, apalagi mengenai
cara masak mereka tidak terlalu memperhatikan makan yang disajikan, bila
seandainya mereka mengetahui bahan masakan rumah makan yang pernah
mereka coba ternyata tidak halal, sikap dari konsumen tersebut rata-rata tidak
akan membeli masakan dari rumah makan itu lagi tanpa melapor atau mengadu
pada pihak yang berwenang

Dari semua penjelasan tanggung jawab pelaku usaha rumah makan terhadap
masakan dirumah makan kota lhokseumawe belum melindungi dan menjamin
konsumen muslim dalam mengkonsumsi masakan halal. Karena dengan adanya
sertifikasi halal dan labelisasi halal akan memberikan rasa aman dan kenyamanan
bagi konsumen mengenai konsumen.

B. Cara MPU Kota Lhoksumawe Mengawasi Rumah Makan Yang Tidak


Memliki Sertifikat Halal
Terkait cara MPU dalam upaya menyosialisasikan mengenai produk halal
seperti yang dijelaskan dalam pasal 12 qanun nomor 8 tahun 2016 tentang sistem
jaminan produk halal, LPPOM MPU bertugas melakukan proses registrasi,
sertifikasi, dan labelisasi produk halal, pelaksanaan dan pelatihan dan
pengembangan dalam penyelenggaraan sistem jaminan produk halal (SJPH),
sosialisasi dan penyadaran produk halal kepada masyarakat dan pelaku usaha
terhadap penyelenggaraan produk halal, mendorong Lembaga dan instansi lain
melakukan produk halal, dalam membangun sistem teknologi informasi dan
database produk halal yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Sebagaimana yang dikatakan oleh ketua MPU kota Lhokseumawe mereka


sudah melakukan penyuluhan mengenai sertifikasi halal di kota Lhokseumawe ini,
berdasarkan arahan dari LPPOM MPU pusat, namun cara atau Langkah-langkah
yang dilakukan belum maksimal atau belum menyeluruh untuk semua pelaku usaha
di Lhokseumawe ini.17 Dapat kita lihat bahwasanya MPU kota lhokseumawe dalam
hal menjalakan peranan dalam sertifikasi halal hanya berdasarkan arahan yang
diperindahkan oleh LPPOM MPU pusat.
Mengenai pengawasan terhadap pengawasan rumah makan yang sudah
bersertifikat halal sudah dijalankan oleh LPPOM MPU Aceh, sejauh ini LPPOM
mengawasi para pelaku usaha yang sudah mendaftarkan usahanya di LPPOM
dengan terencana dan sistematis. LPPOM sendiri dalam pengawasan ini melibatkan
tim terpadu.
Tim terpadu yang dimaksud dijelaskan pada qanun nomor 8 tahun 2016,
mengenai pelaksanaan penataan dan pengawasan peoduk halal, yaitu dalam Pasal
10 ayat 3 dan 4 menyatakan bahwa : (3) LPPOM MPU aceh dapat melibatkan tim
terpadu dalam melaksanakan penataan dan pengawasan terhadap pelaku usaha
dan produk halal sebagaimana di masuk dalam pasal 7 dan pasal 8.

Balai Besar POM juga memiliki peran dalam pengawasan produk berlabel
halal , dimana dalam hal ini Balai BPOM bertanggung jawab memastikan

17 Tgk. H. Abubakar Ismail, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama kota Lhokseumawe.

Wawancara Pada 22 November 2021.


pemenuhan aspek thoyyib melalui evaluasi terhadap keamann , manfaat, dan mutu
sebuat makanan yang akan di produksi sebelum beredar.

Namun dalam mengawasi produk makanan yang beredar pihak LPPOM


mengatakan tidak cukup dari instansi-instansi terkait, karena memang cakupannya
sangat luas sehingga peneliti mengamati pengawasan LPPOM selama ini belum
berjalan dengan baik terbukti Ketika peneliti mencari data dilapangan, menemukan
sebuah rumah makan yang mencantumkan label halal MPU pada steling
makanannya tanpa mendaftar sertifikat halal tersebih dahulu. Padahal secara tegas
dalam qanun nomor 8 tahun 2016 tentang SJPH pasal 35 poin b mencantumkan logo
halal pada kemasan produk yang belum bersertifikat halal; dan/atau
mencantumkan informasi yang tidak sesuai dengana aturan perundang-undangan.

Hal ini perlu peran serta masyarakat berupa pengawasan produk halal yang
beredar seperti yang maksud pada aya (2) huruf b dapat dilakukan dengan
pengaduan atau pelaporan ke LPPOM MPU aceh. LPOM aceh memberikan
penghargaan kepada masyarakat yang berperan serta dalam penyelenggaraan
jaminan produk halal di aceh.
C. Hambatan bagi pelaku usaha rumah makan dalam mendaftarkan
sertifikat halal
Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum sebagai
pengatur kekuasaan dan pemerintah yang menjadi tempat penyelesaian perkara
dan mengatur ekonomi, masyarakat, politik dan keamanan. Dalam hal ini kesadaran
hukum sangat dibutuhkan dalam masyrakat, karena kesadaran hukum adalah
faktor dalam penemuan hukum. Apalagi bagi pelaku usaha rumah makan, kesadaran
hukum sangat penting dalam penerapan sertifikasi halal. Hal ini karena jika dalam
jiwa para pelaku usaha rumah makan belum tertanam kesadaran diri, makan ini
dapat menjadi hambatan dalam penerapan sertifikasi halal pada usaha rumah
makannya. Dikatakan masyarakat Indonesia dalam hal kesadaran hukum masih
sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya macam pelanggaran-pelaggaran
yang masih dilakukan oleh masyarakat. Mereka hanya sekedar tahu mengenai
hukum tapi tidak dipatuhi, tampak mereka tidak menyadari bahwa hukum dapat
juga menjadi pelindung untuk setiap masyarakat.
Faktor-faktor kesadaran hukum menurut soerjono soekanto, beberapa
faktor yang mempengaruhi kesadaran hukum yaitu :18

1) pengetahuan hukum
peraturan yang telah sah dan akan tersebar luas dan dapat diketahui umum
tetapi sering kali didalam masyarakat tidak mengetahui ketentuan yang di
prioritaskan untuk mereka. Ini dapat mengakibatkan kecilnya kesadaran
hukum yang terjadi dalam masyarakat.
2) pengakuan tentang ketentuan-ketentuan hukum
pengakuan maksudnya masyarakat mengerti dan mengetahui isi dari norma
hukum tersebut. Tetapi untuk hanya memahamin dan mengetahui isi norma
hukum tidak menjamin masyarakat untuk mengakui dan mematuhi ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku.
3) Penghargaan tentang ketentuan hukum
Penghargaan maksudnya sejauh mana sikap masyarakat dalam melakukan
tidakan atau perbuatn yang dilarang hukum, peraturan yang dibuat sudah
diterima atau belum oleh masyrakat. Karena masyarakat bias saja menentang
atau pun menerima ketentuan hukum tersebut.
4) Penataan atau kepatuhan terhadap ketentuan hukum
Tugas dari hukum yaitu mengatur kepentingan seluruh warga masyarakat.
kepentingan masyarakat bersumbe pada nilai-nilai yang berlaku. Karena
biasanya ada yang patuh hukum dikarenakan adanya rasa takut pada sanksi.

Adapun indikator yang menjadi hambatan bagi pelaku usaha rumah makan
dalam menerapakan sertifikasi halal adalah didapatkan dari hasil wawancara.
Dimana dari hasil wawancara menunjukan yang menjadi penghambat pelaku usaha
dalam menerapkan sertifikasi halal bagi usahanya, yaitu sebagai berikut :

a. Rasa yakin terhadap kehalalan makanan yang dijual


Dari semua narasumber mengatakan bahwa mau tidak atau adanya
sertifikat halal dalam usahanya, mereka menganggap bahwa masakan yang
mereka jual sudah pasti halal dan baik mulai dari cara pengelolaanya, dari

18 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers,1987), Hlm. 217-
219.
bahannya, bahkan dari keyakinan yang dianut para pelaku usaha. Apalagi mereka
menyakini konsumen dengan memakai kerudung yang merupakan ciri khas
seorang muslim.
b. Sikap tidak peduli
Dari keseluruhan narasumber yang berjumlah 7 dari 6 narasumber
mengatakan bahwa keberadaan sertifikat halal tidak begitu mempengaruhi pada
usahanya. Ketika ada pertanyaan yang penulis tanyakan kepada mereka
mengenai apakah mereka akan mendaftarkan sertifikasi halal. Mereka menjawab
selama tidak ada perintah langsung dari pemerintah dan tidak adanya sanksi
bagi pelaku usaha rumah makan yang tidak memiliki sertifikat halal, maka
mereka tidak berniat untuk mendaftarkan usahanya.
c. Harga
Perlindungan konsumen yang mayoritas muslim salah satunya yaitu
dengan langkah sertifikasi halal. Namun, perlindungan konsumen acap kali
terbentur persoalan harga sertifikasi. Untuk itu, regulasi perlu di perkuat.
Sertifikasi halal didasari kekhawatiran akan beban ekonomi yang ditanggung
pengusaha. Namun biasanya para pengusha ujung-ujungnya bakal mengalihkan
beban ekonomi ke konsumen. Masalah harga untuk mendaftarkan sertifikasi
halal, diakui menjadi salah satu hambatan perlindungan konsumen. Sejauh ini,
hanya pengusaha besar saja yang mengantongi label halal. Sementara pelaku
usaha kecil seperti rumah makan sulit secara finansial untuk melabeli rumah
makannya dengan cap halal.
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak LPPOM MPU mengatakan bahwa :
“sejauh ini untuk biaya oprasional ini gratis, hanya saja sekarang sudah keluar PERGUB
yang baru tentang biaya retribusi, yang mana Ketika keluar sertifikat dia membayar
sejumlah biaya, misalnya untuk usaha mikro kecil hanya membayar Rp 150.000 hal ini
biaya mengikuti tingkat skala usahanya”19. Kendala-kendala pelaksanaan ssertifikasi
halal yang dialami pelaku usaha dan pemernitah berdampak pada kepercayaan pelaku
uaha dalam melakukan kewajiban sertifikasi halal.

19 Deni Candra, Kabid Audit Dan Sjph LPPOM MPU Aceh. Wawancara Pada 27 Oktober
2021.
D. Kesimpulan
A. Tangung jawab pelaku usaha terhadap rumah makan yang belum bersertifikat
halal tidak terjamin kekhalalannya karena halalnya makanan yang dijual hanya
berdasarkan keyakinan hati para pelaku usaha rumah makan tanpa adanya
bukti memepunyai sertifikasi halal.
B. Pengawasan MPU dirasa selama ini belum terlalu berjalan dengan baik, terbukti
masih banyak pelaku usaha rumah makan yang menghiraukan mengenai label
halal, dan kurangnya ketegasan MPU dalam memperingatkan pelaku usaha
rumah makan untuk segera daftar sertifikasi halal.
C. Hambatan yang membuat pelaku usaha tidak mendaftarkan usahanya untuk
sertifikasi halal adalah ada pada keyakinan hati para pelaku usaha itu sendiri,
yang mana para pelaku usaha sangat yakin atas kehalalan makanan yang dijual
tanpa melakukan sertifikasi halal, sikap malas para pelaku usaha yang memberi
alasan mahalnya biaya pendaftaran sertifikasi halal dan tidak mau diribetkan.
Kurangnya kesadaran pelaku usaha ini juga menjadi penghambat LPPOM MPU
dalam mendorong pelaku usaha rumah makan khususnya di kota Lhokseumawe
untuk mendaftar sertifikasi halal, karena baik produsen dan konsumennya
cendrung apatis dan apriori dengan label halal pada produk apapun yang
mereka konsumsi.
DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2006.
Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1990.
Buku Panduan Halal Is My Life , Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan Dan Pangan
Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
Deni Candra, Kabid Audit Dan Sjph LPPOM MPU Aceh. Wawancara Pada 27 Oktober 2021.
Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Pedoman Pembelajaran, 2015.
Gunawan Widjaja Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlic. ndungan Konsumen, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Marzuki, Metodologi Riset ,Yogyakarta:UI , 1981.
Mayasari Nura, , Memilih Makanan Halal, Jakarta : Qultum Media, 2007.
Mpu Aceh, Https://Mpu.Acehprov.Go.Id/Index.Php/Page/1/Profil. Diakses Tanggal 01 Juni
2021.
Mpu Aceh, Https://Mpu.Acehprov.Go.Id/Index.Php/Page/41/Daftar-Produk-
Bersertifikasi-Hal Dia
Panji Adam AP, Kedudukan Sertifikasi Halal Dalam System Hukum Nasional Sebagai Upaya
Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Hukum Islam, Amwaluna: Jurnal Ekonomi Dan
Keuangan Syariah, Vol. 1 No. 1 Januari 2017.
Qomar Nurul, Metode Penelitian Hukum, Cv. Sosial Politic Genius: Makasar, 2017.
Rosmawati, Pokok-Pokok Perlindungan Hukum Konsumen, Prenamedia Group, 2018.
Shirdata, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta ; Grasindo, 2000.
Silvia Fiska Dkk, Perlindungan Konsumen Muslim Atas Produk Halal, CV Jakad Media
Publishing, 2020.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, jakarta: Rajawali Pers,1987
Tgk. H. Abubakar Ismail, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama kota Lhokseumawe.
Wawancara Pada 22 November 2021.
Zulham, Peran Negara Terhadap Perlindungan Konsumen Muslim Terhadap Produk Halal,
Kencana: Jakarta Timur, 2018.

You might also like