Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Garuda 640944

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

Buletin Psikologi ISSN 0854-7106 (Print)

2017, Vol. 25, No. 2, 89 – 98 ISSN 2528-5858 (Online)


DOI: 10.22146/buletinpsikologi.28728 https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi

Konsep Kepribadian Matang dalam Budaya Jawa-Islam:


Menjawab Tantangan Globalisasi
Nita Trimulyaningsih1
Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia

Abstract
This paper displays an analysis of several literature reviews. It aims to psychologically
assess: (1) The form of a mature person in Javanese culture, (2) which crucial part of culture
could improve the quality of individual maturity, and (3) what can shape individuals and
communities into mature individuals in the Javanese culture. Our findings reveal that
several philosophical and integral Javanese values could form mature individuals, among
others: embedding the presence of God in life, maintaining harmony, having awareness and
control, as well as putting feeling (roso) at the center of consciousness. In the Javanese
society there are criteria of personal maturity. Based on literature review, these
characteristics include: the existence of appreciation to God, the effort to maintain internal
and external harmony, emphasis on roso, and the existence of awareness and control. These
characteristics need to be maintained in Javanese to achieve maturity, either individually or
integrated in the context of education, psychotherapy, leadership, and social change. This
process of internalization and actualization of value is important as a part of a culture that
has been tested for thousands years as a guardian of the harmony, and also that it is relevant,
important and capable of being applied in the era of globalization.
Keywords: culture, Java, Islam, globalization, maturity, personality

Pengantar fenomena umum yang melintasi tingkat


negara bahkan pada komunitas paling kecil
Pada 1saat ini, globalisasi telah berlangsung, (Yuniarto, 2014).
ditandai dengan mudahnya akses masya-
Selain memfasilitasi berbagai macam
rakat terhadap barang/jasa dari daerah lain
kepentingan dan kebutuhan kenegaraan,
atau negara lain yang difasilitasi oleh
serta tuntutan internasional, globalisasi juga
teknologi informasi dan transportasi.
memunculkan berbagai permasalahan. Di
Globalisasi diintepretasikan sebagai kecen-
Indonesia, permasalahan sosial yang
derungan umum terintegrasinya kehidupan
kemudian muncul adalah ketimpangan
masyarakat domestik/lokal ke dalam
pendapatan, kemiskinan, dan ketergan-
komunitas global di berbagai bidang.
tungan pada input luar, lenyapnya berbagai
Realitasnya, pertukaran yang terjadi tidak
sumber daya dan budaya lokal (Yuniarto,
hanya terbatas pada barang dan jasa
2014). Nilai-nilai yang terus berubah sesuai
melainkan juga terkait ide-ide mengenai
dengan trend yang ada dalam masyarakat
demokratisasi, hak asasi manusia, ling-
sosial – global - membawa pada krisis
kungan hidup, migrasi, bahkan isu human
identitas individu, masyarakat, maupun
trafficking, yang saat ini telah menjadi
negara. Hal ini pada akhirnya memengaruhi
kesadaran individu dan sikapnya terhadap
1 Korespondensi mengenai artikel ini dapat dilakukan budaya, politik, dan identitas personal.
melalui: nita3life@gmail.com

Buletin Psikologi 89
TRIMULYANINGSIH

Sebagai contoh bahwa segalanya terasa Berbagai pendekatan dalam teori


menjadi harus cepat, efisien, efektif, dan kepribadian ini pada umumnya melihat
praktis (Mubah, 2011). Isu kesetaraan, bahwa kepribadian bukanlah merupakan
persamaan, dan kebebasan menjadi satu hal yang menetap dan permanen,
mengaburkan identitas pribadi menuju melainkan sebuah proses yang bertahap
keseragaman. Permasalahan pada tingkatan atau seiring dengan rangkaian kejadian
individual pada akhirnya terlihat dalam kehidupan (Meadows, 2001). Bentukan
bentuk semakin terinternalisasikannya nilai- kepribadian ideal ini akan dibentuk sesuai
nilai budaya dari luar dan semakin dengan sejarah masa lalu kehidupan
kurangnya nilai-nilai budaya lokal yang penyusun gagasan/teori individu itu dan
merupakan keluhuran dan kekayaan konteks kehidupan penyusunnya. Oleh
manusia Indonesia yang secara ideal akan sebab disusun berdasarkan konteks indi-
lebih sesuai dengan konteks sosial kema- vidu dan sosial yang berbeda, berbagai teori
syarakatan Indonesia. Hal ini dapat ini memiliki bentuk yang berbeda-beda
menyebabkan berbagai pengalaman negatif yang terkadang akan sangat bertentangan
seperti kecemasan, depresi, dan satu sama lain sejak asumsi dasar yang
kebingungan (Suh, 2002). mendasarinya. Teori yang satu terkadang
Secara psikologis, ketiadaan koherensi dianggap tidak relevan dengan satu budaya
aspek-aspek kepribadian merupakan ben- tertentu sehingga muncul teori yang
tuk ketidakmatangan individu yang dapat lainnya.
mengarah pada berbagai kegagalan fungsi Hal ini memperlihatkan pentingnya
individu dalam segala aspek kehidupan. menilik sebuah pendekatan akan perkem-
Koherensi dan integrasi berbagai aspek bangan manusia yang matang dalam
kepribadian memang merupakan syarat konteks budaya yang ada di Indonesia -
utama kematangan pribadi dalam perkem- salah satunya adalah Jawa - dengan asumsi
bangan kepribadian individu. Bentuk pendekatan inilah yang nantinya kemung-
kematangan individu ini menggunakan kinan akan menjadi yang paling mampu
istilah yang berbeda-beda sesuai teori dasar memprediksi secara tepat mengenai manu-
yang digunakan: Rogers menggunakan sia Jawa sendiri. Di dalam budaya Jawa,
istilah ‘manusia yang berfungsi penuh’ bagi penulis mengetahui bahwa telah terdapat
individu yang telah mencapai kongruensi gagasan mengenai bentukan kepribadian
dalam kehidupan, Jung dengan ‘manusia yang merupakan bentuk kematangan
yang terindividuasi’ bagi ‘individu yang pribadi. Di dalam Jawa terdapat beberapa
mampu mengintegrasikan semua aspek istilah yang menggambarkan bentukan
kepribadiannya dalam kesadaran’, Freud pribadi ini seperti misalnya ‘dadi wong’, ‘dadi
dengan ‘individu yang mampu mengako- Jowo’, atau ‘manungsa tanpa ciri’ yang tidak
modasi dorongan dan insting di lingkungan ditentukan oleh perolehan usia semata
sosial’, Perls dengan ‘individu yang hidup melainkan adanya perolehan kualitas
di sini dan saat ini’ (here and now), Frankl pribadi tertentu.
dengan ‘individu yang memiliki makna Budaya daerah dan kesadaran sejarah
dalam kehidupan’, ‘manusia yang teraktua- memang merupakan landasan bagi pem-
lisasi diri’ dari Maslow, serta ‘manusia yang bentukan jati diri bangsa (nation identity)
mengembangkan potensi positif’ dari (Manuaba, 1999). Manusia yang kuat
Selligman. mengakar dalam budaya sendiri akan lebih
mampu untuk menghadapi pengaruh

90 Buletin Psikologi
KEPRIBADIAN MATANG, BUDAYA JAWA-ISLAM

globalisasi yang dikhawatirkan akan individu terhadap stressor dari lingkungan


mengaburkan identitas individu maupun dan permasalahan kehidupan (Sugiarto,
kepribadian bangsa. Individu yang telah 2015). Kehidupan manusia dikatakan
mencapai kematangan dalam konteks sebagai proses olah rasa yang tiada
budaya jawa menggambarkan individu hentinya untuk menuju keharmonisan
yang telah memiliki kekuatan pribadi dengan lingkungannya sekitarnya. Sugiarto
berupa jati diri dan identitas yang jelas yang (2015) mengungkapkan ciri-ciri dari kualitas
sesuai dengan konteksnya sehingga akan pribadi tanpa ciri antara lain: 1) dalam
membuat individu mampu menentukan berinteraksi, akan memandang dan
sikap dan memilih apa yang baik dan buruk memposisikan orang lain sama, 2) terdapat
bagi dirinya dalam aliran globalisasi yang pengertian bahwa jalan untuk membahagia-
datang kepadanya. kan diri adalah dengan membahagiakan
Tulisan ini mengkaji secara psikologis orang lain, 3) dapat mengatasi masalah
bentuk kepribadian yang matang dalam dengan hati yang tenang, 4) mampu
budaya Jawa, apa bagian penting dari menggantikan ciri dirinya menjadi sesuatu
budaya yang dapat digunakan untuk yang lebih baik: menunduk, sederhana,
meningkatkan kualitas kematangan indivi- integrasi, dan mampu dekat dengan semua
du, serta apa yang dapat dilakukan untuk golongan, tidak menunjukkan siapa jati
membentuk individu dan masyarakat dirinya namun mampu untk mengatur
menjadi individu yang matang dalam posisi diri dan sikap terbaik pada kondisi
budaya Jawa. tertentu, 5) Penglihatan mata hatinya tak
lagi terpengaruh atau terhalangi oleh
berbagai rekaman dan catatan yang meme-
Pembahasan nuhi ruang rasanya, 6) Mendahulukan
pengalaman dibandingkan keyakinan:
Berbagai Profil Pribadi yang Matang dalam berupaya mengalami dulu baru kemudian
Budaya Jawa-Islam percaya dan yakin, 7) Menempatkan diri
Bila dirunut dalam beberapa literatur, untuk bisa dan mampu merasakan rasa
terdapat beberapa sebutan dan deskripsi orang lain, 8) Mampu melampaui tuntutan
bagi individu yang matang dalam budaya akal objektif ke tingkatan intusional
Jawa, antara lain: Manusia tanpa ciri, (melampaui intelektual) sehingga terlepas
manusia yang sudah sampai panunggal, dari pamrih pribadi atau golongan.
dan ‘dadi wong’. Empat faktor pembentuk kualitas
pribadi tanpa ciri, yaitu pertama, tangguh,
Manusia tanpa Ciri (Manungsa tanpa Ciri) terbebas dari penyesalan dan kekhawatiran
Kualitas kepribadian ini dijelaskan oleh Ki yang berkepanjangan, ketekunan yang
Ageng Suryomentaraman (KAS) sebagai tinggi dalam menyelesaikan masalah atau
manusia yang sehat seutuhnya. KAS tugasnya, bersedia menerima apa adanya.
berpendapat bahwa kualitas kepribadian Kedua, optimis, berpikir positif dalam
dapat dilihat dari kemampuan untuk menghadapi persoalan, memandang segala
bertahan hidup dan kemampuan keber- sesuatu akan berjalan lebih baik jika disertai
hasilan individu dalam mengadakan usaha. Ketiga, ada keinginan kuat untuk
hubungan dengan lingkungan, yakni memperbaiki diri dan meningkatkan
dengan identifikasi aspek positif penye- prestasi, dan keempat, empati.
suaian diri dan pemecahan masalah

Buletin Psikologi 91
TRIMULYANINGSIH

KAS merumuskan cara untuk menuju Perbedaan mendasar yang ada pada
pada kepribadian tanpa ciri adalah dengan kedua masyarakat ini adalah bahwa budaya
olah rasa (kawruh jiwa) yaitu melatih rasa Jawa mengakar pada keyakinan kepada
(jiwa) untuk menghilangkan berbagai Tuhan, sementara Budaya Cina lebih pada
macam identitas yang dipegang oleh hubungan dengan alam semesta. Selain itu,
individu (Sugiarto, 2015). Proses ini harmoni dan ketenangan di Cina keduanya
dikatakan juga dapat dijalani dalam sebuah merupakan aspek internal dalam diri
proses psikoterapi yaitu melalui: a) Pethukan individu namun dipisahkan berdasarkan
rasa (mengenali rasa egp yang muncul aspek kognitif dan emosi (Lee, et al., 2013),
dalam diri), b) Membangunkan kesadaran sementara di Jawa baik tentrem maupun
yakni mencoba melihat dan menghayati rukun, keduanya merupakan sebuah
pengalaman rasa orang lain, c) Mengambil harmoni yang dibedakan secara internal
tindakan, yaitu bertindak sesuai pengli- (tentrem) dan eksternal (rukun).
hatan kini dan di sini yang tepat dan benar.
KAS rupanya menekankan pada Manusia yang Sudah Sampai Panunggal
adanya pola hubungan yang baik antara Purwowiyoto (2016) menuliskan bahwa
diri dengan lingkungan untuk menandai manusia yang sudah sampai panunggal
ketercapaian diri tanpa ciri ini. Hal ini sudah sempurna kesuciannya karena
mendukung penelitian Murtisari (2013) individu sudah dapat mengorbankan sang
bahwa keselarasan dengan yang lain adalah akunya sendiri. Konsep panunggal ini juga
salah satu filosofi dasar yang dimiliki oleh dijelaskan oleh Handayani dan Novianto
orang Jawa. Murtisari menekankan bahwa (2004) sebagai persatuan antara hamba
selain keselarasan (harmoni) dengan ling- dengan Tuhan (manunggaling kawula gusti).
kungan luar, individu juga mencari Manusia sudah tidak lagi dikuasai oleh
keselarasan/kedamaian dalam diri. Kedua- angan-angan, perasaan dan nafsu-nafsunya
nya diwakili dengan dua kata yakni tentrem justru menampilkan fungsinya yang
dan rukun. tertinggi yaitu sadar, percaya, dan taat
Murtisari (2013) menjabarkan bahwa kepada Tuhan (Purwowiyoto, 2016), serta
budaya Jawa penuh dengan nilia-nilai yang menemukan kebenaran dan kebijaksanaan
diwakili dalam bahasa sehari-hari, seperti yang sejati dengan menguasai alam lahirnya
eling, nrima, alus/kasar, yang tidak semata- dan turun ke kedalaman dirinya sendiri
mata memiliki makna kata itu sendiri (Handayani & Novianto, 2004).
melainkan memiliki makna yang lebih Konsep kemanunggalan hamba dengan
mendasar dalam pengalaman individu Tuhan ini terjadi dalam proses intuisi yang
sehari-hari. Murtisari menemukan bahwa disebut Kasunyatan Jati, artinya manusia
budaya Jawa mengakar dari adanya yang sempurna budi pekertinya atau
kepercayaan kepada Tuhan, sehingga hastasilanya menjadi sama atau manunggal
berkembang menjadi norma-norma keseha- dengan sifat keluhuran Tuhan. Proses ini
rian dalam berperilaku. Konsep dari Jawa dikatakan oleh Purwowiyoto (2016), menye-
ini memiliki kesamaan dengan jenis rupai proses menjadi manusia sempurna
penekanan aspek yang dianggap penting yang di dalam sufisme dijelaskan melalui
dalam kehidupan masyarakat Cina (Lee, proses ”at-takhalluq bi akhlaqillah” (berakhlak
Lin, Huang, & Fredrickson, 2013) yaitu ilahiah), yakni menafikan sifat-sifat
kedamaian dalam diri dan keharmonisan manusia, dan menegaskan sifat-sifat Tuhan,
dengan lingkungan sekitar.

92 Buletin Psikologi
KEPRIBADIAN MATANG, BUDAYA JAWA-ISLAM

yaitu Kuasa dan Karsa yang telah ada pada Tripurusa, adalah cinta, kasih sayang
manusia. kepada sesama hidup, suci, adil, tidak
Pendekatan ini memperlihatkan membeda-bedakan apa saja dan sesuai
bahwa orang Jawa percaya kepada dengan tata susila pergaulan, kemurahan
keberadaan Tuhan. Selain itu, di dalam diri hati tanpa pamrih, suka menolong dan
manusia terdapat Utusan Tuhan yang apabila perlu mempertaruhkan jiwanya)
menjadi Guru dan Penuntun yang sejati (Purwowiyoto, 2016).
dalam perjalanan evolusi manusia. Pencapaian kondisi ideal ini juga dapat
Purwowiyoto serta Handayani dan dicapai dengan upaya meletakkan diri
Novianto (2016) menuturkan bahwa jati diri terdalam-Aku (ingsun sejati)- pada pusat
manusia (batin) adalah mikrokosmos dari segala penilaian. Proses ini dikatakan
sebagai bagian dari makrokosmos (jasad sebagai sebuah proses perjalanan pertum-
manusia dan alam semesta). Manusia buhan batin-dengan tolok ukur berupa rasa-
dilihat memiliki dua ego, yaitu: a) sang aku dengan tahapan tertinggi berupa adanya
(mental) yang setiap saat berkomunikasi keyakinan dan kesadaran bahwa hidup
dengan dunia luar melalui pancaindra, harus seirama dengan kehidupan, serta
relasinya dengan makhluk alam semesta di bahwa setiap orang mempunyai jalan pada
dalam makrokosmos. b) Sang Aku kebenaran (Tuhan) secara langsung tanpa
(spiritual) yaitu Roh Sucinya manusia. Roh perantara karena guru/penuntun kepada
Suci ini dapat dikatakan sebagai jati dirinya kebenaran (Tuhan) itu telah ada dalam diri
yang dihidupi, dituntun oleh Sang Suksma terdalam setiap manusia sehingga akan
Sejati, yang merupakan utusan abadi bebas dari kebenaran dari luar diri
Suksma Kawekas. terdalam. Proses ini dapat dilihat dalam
Dalam pendekatan ini, manusia harus pergulatan pribadi mencapai realisasi diri
berevolusi untuk meningkatkan kualitas dengan menumbuhkan sumber-sumber
kesadaran dirinya dalam proses introspeksi batin yang kuat sehingga pada akhirnya
mengenai hakikat dirinya sendiri, dan terbimbing sendiri oleh inspirasi ilahi
posisi hubungannya dengan yang transen- (wahyu) dan kebenaran tertinggi (kasu-
den di lubuk hatinya yang terdalam. Pusat nyatan). Kehidupan pribadi dan perasaan
imateri dengan segala potensinya itu adalah terdalam menyusun pusat sejati dari segala
hakikat (rohani, spiritual, jati diri) manusia pengalaman dan merupakan landasan
dan prinsip materi (jasmani halus dan utama untuk menguji kebenaran.
kasar) sebagai selubungnya.
“Dadi wong” sebagai Orang yang Memegang
Pendekatan ini berasumsi bahwa
Teguh Nilai-Nilai Filosofi Jawa
manusia menunggu panggilan terakhir
untuk menyelesaikan puncak evolusinya Handayani dan Novianto (2004) menyata-
(mati), seraya melaksanakan sadar, percaya, kan bahwa bagi masyarakat Jawa, istilah
dan taat kepada-Tuhan setiap saat dan matang tidak dijabarkan dengan batas usia
memberikan apa yang dimilikinya kepada tertentu seperti misalnya usia kedewasaan
masyarakat. Proses ini memerlukan di dalam teori barat. Di Jawa, untuk bisa
penguasaan jasmani dengan menguasai dikatakan matang terdapat beberapa
lima sifat, yaitu rela, sabar, menerima, jujur, kriteria dalam pribadi individu yang akan
dan budi luhur (sifat yang sempurna, menunjukkan bahwa seseorang telah
dilaksanakan dengan bijaksana). Sifat-sifat dianggap matang dan layak disebut sebagai
yang akan mendekatkannya kepada ‘dadi wong’.

Buletin Psikologi 93
TRIMULYANINGSIH

Dadi wong berasal dari kata dadi keseimbangan) internal dan eksternal.
(menjadi) dan wong (manusia/hewani/ Masyarakat Jawa menurunkannya menjadi
manusia yang belum atau tidak mengetahui nilai yang diterapkan dalam kehidupan
budi pekerti) (Fardhani, 2015). Istilah dadi antara lain tentrem yang merupakan bentuk
wong pada dasarnya memiliki arti yang harmoni internal, rukun yang merupakan
meliputi ‘totalitas dalam norma dan nilai– harmoni eksternal, serta tepa salira-
nilai dasar budaya Jawa yang masih kemampuan individu untuk mengenali dan
dipegang teguh oleh masyarakat Jawa’. menyesuaikan perilaku sesuai dengan apa
Seiring dengan perkembangan, kata ini yang dirasakan dan dikehendaki oleh orang
memiliki makna yang bersifat totalitas, lain. Ketiga, Mementingkan adanya kesa-
lentur, dan adaptatif menyesuaikan daran. Bahwa nilai-nilai yang utama ini
konteksnya seperti berhasil atau sukses perlu dijaga setiap saat dan setiap waktu.
dalam hidup. Karena itulah nilai-nilai ini dapat dikatakan
Beberapa kriteria yang dimiliki oleh sebagai sebuah filosofi kehidupan atau
pribadi jawa yang ‘dadi wong’. Seperti agama ‘kejawen’ bagi masyarakat Jawa.
misalnya individu ‘Ngerti isin’ (tahu malu) Nilai ini diturunkan menjadi beberapa nilai
dan ‘duwe isin’ (punya malu) (Handayani yang diterapkan dalam kehidupan antara
dan Novianto, 2004). Hal ini berada dalam lain: a) Rumangsa – individu hendaknya
kaitannya dengan karma kesopanan Jawa menyadari apa yang memang telah menjadi
yaitu terkait penghormatan kepada orang fitrahnya/jatahnya/takdirnya, b) Eling –
lain. Individu diharapkan mampu menem- individu hendaknya tetap menjaga
patkan diri pada situasi dan kondisi yang kesiapsediaan setiap waktu, c) Waspadha –
sesuai. Nilai lannya adalah memiliki nilai individu hendaknya senantiasa berhati-hati
‘sak madya’ (yang menengah, cukupan, tidak untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak
ekstrim) (Handayani dan Novianto, 2004). dikehendaki Tuhannya.

Murtisari (2013) juga menjabarkan Penelitian Ulinnuha (2017) pada indi-


beberapa nilai yang dimiliki orang Jawa, vidu yang menjalankan filosofi kehidupan
antara lain: Pertama, Percaya kepada sesuai ajaran falsafah Dewa Ruci menjabar-
Tuhan, masyarakat Jawa kemudian menu- kan beberapa nilai dasar kehidupan yang
runkannya menjadi beberapa nilai yang dijalani ‘orang jawa’: a) Sangkan paraning
diterapkan dalam kehidupan antara lain: a) dumadi (mengerti asal dan musaal
Ukum Pinesti yakni bahwa hidup adalah kehidupan, dan menyandarkan kehidupan
pemberian Tuhan dengan cara–cara yang kepada Tuhan), b) Ngerteni kodrat –
telah ditentukanNya sehingga tugas mengetahui ketetapan diri bahwa hidup
manusia adalah melaksanakan sesuai apa ada yang mengatur sehingga menyerahkan
yang diberikan dan seharusnya dilakukan. diri kepada yang mengatur hidup, c)
akan menghasilkan sifat nrima. b) Nrima ing Sakdermo ngelakoni – menjalani dan mene-
pandum akan meghasilkan rasa tenang yang rima apapun baik buruk yang diberikan
disebabkan karena adanya proses peneri- Tuhan dengan sebaik-baiknya, d) Jejering
maan akan segala hal yang dihadapi/diper- Pengeran–menggantungkan diri kepada
oleh dalam kehidupan (Murtisari, 2013). c) Tuhan, e) Perwiro–mempunyai sikap
Rila/Lila – yaitu sikap individu untuk bertanggung jawab, f) Memahu hayuning
membiarkan apa yang terjadi untuk terjadi bawono (menjaga alam semesta), g) Kinasih
maupun penyebab kejadian tersebut. (rasa mengasihi dan menyayangi).
Kedua, mencari harmoni (keselarasan dan

94 Buletin Psikologi
KEPRIBADIAN MATANG, BUDAYA JAWA-ISLAM

Karakteristik Kepribadian yang Matang diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan
Perspektif Jawa-Islam alam semesta. Harmoni internal akan
melahirkan ketenangan (tentrem) sementara
Berdasarkan berbagai jabaran profil
harmoni eksternal akan melahirkan
manusia yang matang dalam budaya Jawa
kerukunan (rukun).
tersebut, terlihat bahwa individu yang
matang dalam budaya Jawa bukan semata- Hal ini dapat dilihat dari filosofi Jawa
mata proses alamiah dalam pendewasaan seperti: tepa salira-kemampuan individu
usia melainkan kondisi dimana individu dalam mengenali dan menyesuaikan
telah memegang teguh dan menjalani secara perilaku sesuai apa yang dirasakan dan
konsisten dalam kesehariannya. dikehendaki orang lain, perwiro–sikap
bertanggung jawab, memahu hayuning
Beberapa hal yang dapat diklasifikasi-
bawono-upaya menjaga alam semesta,
kan menjadi nilai utama kehidupan orang
kinasih - rasa kasih dan sayang, sak madya
Jawa adalah sebagai berikut. Pertama,
(menengah, cukupan, tidak ekstrim),
penghayatan akan Tuhan dalam kehidupan.
menunduk, sederhana, integrasi, dan
Hal ini diturunkan menjadi beberapa nilai
kemampuan untuk dekat dengan semua
dalam kehidupan antara lain: a)
golongan, tidak menunjukkan jati diri
Pemahaman dan keyakinan bahwa hidup
namun mampu untuk mengatur posisi diri
dan kehidupan berasal dari dan diatur oleh
dan sikap terbaik pada kondisi tertentu,
Tuhan, b) Perasaan, sikap dan perilaku
serta ngerti isin.
menyandarkan kehidupan hanya kepada
Tuhan., c) Keyakinan dan pemahaman Ketiga, penekanan pada perasaan (roso)
bahwa dalam kondisi kehidupan seperti dalam kehidupan. Roso dalam hal ini
apapun, tugas manusia adalah untuk mengacu pada intepretasi makna,
menjalaninya sebaik mungkin, d) Menerima sebagaimana yang disampaikan oleh Stange
segala hal yang dihadapi/diperoleh dari (1998) sebagai berikut.
Tuhan dalam kehidupan, membiarkan apa “Rasa menghubungkan penginderaan
yang terjadi untuk terjadi maupun fisik (selera dan sentuhan), emosi
penyebab kejadian tersebut berlalu sesuai (perasaan dan hati), dan penghayatan
kodratnya. Hal ini dapat dilihat pada mistik terdalam yang hakiki…
beberapa filosofi Jawa: manunggaling kawula rangkaian yang menghubungkan
gusti, sangkan paraning dumadi, sakdermo makna yang dangkal dengan dengan
ngelakoni, ngerteni kodrat, ukum pinesti. taraf batin yang dalam… yang
Kedua, upaya menjaga harmoni (kese- diasosiasikan dengan “rasa” (rasa,
larasan dan keseimbangan) baik internal aroma, saripati, kenikmatan, sentimen,
maupun eksternal, Keselarasan yang disposisi makna, dan sebagainya) dan
dimaksudkan adalah bahwa orang Jawa “rahasia” (rahasia, misteri)… bersifat
mengupayakan adanya persamaan dan estetis dan bukan psikologis… “.
meminimalisir perbedaan, baik internal Rasa dalam hal ini sangat terkait
maupun eksternal. Keseimbangan berarti dengan konsep qalbu dalam istilah sufisme,
bahwa orang Jawa menjaga prinsip keadilan sehingga rasa digunakan untuk mengaitkan
dan keseimbangan baik internal maupun pengalaman subjektif individu dengan
eksternal. Internal dalam hal ini adalah kebenaran agama yang objektif, yang
aspek kognitif, afektif, konatif/kecende- melibatkan tiga elemen utama di dalam
rungan perilaku dan psikomotorik/perilaku, kehidupan orang jawa yaitu rasa, ilmu
sementara eksternal yakni hubungan antara spiritual tertinggi, dan kualitas halus dalam

Buletin Psikologi 95
TRIMULYANINGSIH

etiket Jawa (Stange, 1998). Hal ini untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak
diturunkan menjadi beberapa aplikasi dikehendaki Tuhannya, e) Empati- Memba-
dalam kehidupan, diantaranya: a) Upaya ngunkan kesadaran dengan mencoba
mengenali rasa ego yang muncul dalam melihat dan menghayati pengalaman rasa
diri, b) Mengisi hati dengan sifat-sifat baik, orang lain, f) Mengambil keputusan dan
c) Penglihatan mata hatinya tidak bertindak sesuai penglihatan kini dan di sini
terpengaruh atau terhalangi oleh berbagai yang dipahami sebagai tepat dan benar
rekaman dan catatan yang memenuhi ruang menurut pemahaman pengalaman pribadi,
rasanya, d) Mendahulukan pengalaman g) Ada keinginan kuat untuk memperbaiki
dibanding keyakinan, yakni berupaya diri dan berupaya merealisasikan diri sesuai
mengalami dulu baru kemudian percaya apa yang diyakini sesuai nilai jawa, baik
dan yakin, menggunakan kehidupan kognitif, afektif, konatif, maupun psikomo-
pribadi dan perasaan terdalam sebagai torik, h) Meletakkan diri pribadi pada posisi
pusat sejati dari segala pengalaman serta penilaian
sebagai landasan utama untuk menguji Dalam penjabaran tersebut terdapat
kebenaran, e) Kapasitas kognitif yang dua variabel yang saling terkait satu sama
melampaui tuntutan akal objektif ke lain yakni kesadaran dan kontrol.
tingkatan intuisional (melampaui intelek- Kesadaran didefinisikan sebagai persepsi
tual) sehingga terlepas dari pamrih pribadi akan segala sesuatu yang tidak dapat
atau golongan, f) Kesediaan menerima apa diindera. Sementara kontrol didefinisikan
adanya. Penekanan pada aspek roso pada sebagai upaya pengelolaan segala sesuatu
orang jawa ini terlihat juga dalam penelitian sesuai apa yang disadari individu (Miner &
Handoko dan Subandi (2017) yang mene- Dowson, 2010). Variabel kontrol ini juga
mukan bahwa individu jawa menyelami terlihat dari pernyataan (Bangunjiwa, 2009)
kehidupan secara lebih mendalam secara yang menyatakan bahwa di dalam
afektif dengan komponen roso. pemahaman Jawa ada istilah menep yakni
Keempat, upaya menjaga kesadaran dan meneping ati, mengatur dan mengendalikan
adanya kontrol. Yang dimaksudkan adalah hawa nafsu, keinginan, emosi dan
bahwa individu mengenali nilai-nilai yang keinginan yang meluap-luap. Hal ini juga
utama berupa kepercayaan kepada Tuhan terlihat dari penelitian Kurniawan dan
dan harmoni, dan menjaga nilai tersebut Hasanat (2007) yang menemukan bahwa
setiap saat dan setiap waktu dalam setiap masyarakat Jawa di Yogyakarta pada segala
pikiran (kognitif), perasaan (afektif), lapisan usia lebih banyak melakukan
kecenderungan berbuat (psikomotorik), dan kontrol sosial‐psikologis atas dorongan
perbuatan (konatif). Kesadaran ini diturun- emosi yang dirasakan ketika berinteraksi
kan menjadi beberapa bentuk penerapan dengan sesama.
dalam kehidupan: a) Pemahaman yang
seiring dengan keyakinan akan nilai-nilai Upaya untuk Mencapai Kematangan Pribadi
dasar luhur yang ada dalam budaya Jawa,
Ulinnuha (2017) menemukan bahwa proses
b) Rumangsa – individu sebaiknya menya-
kematangan pribadi ini akan terbentuk
dari apa yang memang telah menjadi
seiring dengan kematangan biologis dan
fitrahnya/jatahnya/takdirnya, c) Eling –
pendewasaan. Meskipun begitu, tidak
individu sebaiknya tetap menjaga kesiap
semua orang dewasa yang dapat mem-
sediaan setiap waktu, d) Waspadha –
bentuk pribadinya menjadi matang sesuai
individu sebaiknya senantiasa berhati-hati
yang ada dalam konteks budaya Jawa,

96 Buletin Psikologi
KEPRIBADIAN MATANG, BUDAYA JAWA-ISLAM

terutama apabila indiviu tidak menyengaja untuk membentuk individu yang matang,
untuk melakukan upaya-upaya untuk antara lain: menghayati Tuhan dalam
membentuk pribadinya. kehidupan, terjaganya harmoni, adanya
Beberapa penulis (Ulinnuha, 2017; kesadaran dan kontrol, perasaan (roso)
Handoko & Subandi, 2017; Sugiarto, 2015; sebagai poros utama kesadaran.
Purwowiyoto, 2016) mengungkapkan upaya Berdasarkan hal tersebut, terdapat
yang dapat dilakukan untuk menjadi beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
individu yang matang dalam konteks membentuk pribadi yang matang sesuai
budaya Jawa: 1) Memiliki pengetahuan dan konteks budaya Jawa, antara lain:
pemahaman mengenai nilai-nilai untuk pengetahuan dan pemahaman mengenai
menuju pada pribadi yang matang, 2) nilai-nilai utama pribadi Jawa yang matang,
Adanya ketertarikan terhadap nilai-nilai memperkuat komitmen dan motivasi untuk
Jawa, 3) Adanya komitmen dan motivasi menjalani hidup sesuai nilai yang ada,
yang kuat untuk menjalani dan melaksa- mengupayakan untuk menjalani olah
nakan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan, rasa/batin, serta memilih sikap yang sesuai
4) Menjalani olah rasa/batin untuk menjaga dengan nilai budaya Jawa.
kebersihan hati dan memiliki kualitas hati Proses ini dapat dilakukan secara
yang dibutuhkan, 5) Memiliki sikap dalam individu melalui proses pendidikan
mengambil tindakan yang sesuai dengan maupun pikoterapi, namun juga dapat
pemahaman dan kesadaran yang dimiliki dilakukan melalui proses yang lebih luas
oleh individu saat itu. melalui proses rekayasa sosial lainnya,
Selain dapat dilakukan secara individual, seperti pembuatan aturan/kebijakan, pro-
proses ini dapat diintegrasikan dalam mosi, serta upaya rekayasa sosial lainnya
konteks-konteks yang lebih luas seperti yang menekankan pada identifikasi,
pendidikan, psikoterapi, kepemimpinan, personalisasi dan implementasi nilai-nilai
serta upaya transformasi nilai melalui mendasar budaya jawa yang tidak sekedar
rekayasa sosial lainnya. Proses internalisasi simbol namun lebih pada nilai definitif
dan aktualisasi nilai ini penting dalam yang terdapat pada budaya Jawa sehingga
peranannya sebagai bagian dari budaya akan bersifat lebih universal dan sesuai
yang telah teruji selama ribuan tahun dengan isu globalisasi yang cenderung
menjadi penjaga keselamatan manusia lahir mencari nilai-nilai universal pada segala
maupun batin. Berbagai hal di atas sesuatu.
diasumsikan oleh peneliti seiring dengan Tulisan ini merupakan hasil analisis
prinsip universalitas dalam globalisasi berdasarkan kajian beberapa literatur.
sehingga relevan, penting, dan mampu Peneliti selanjutnya disarankan untuk
untuk tetap diterapkan dalam kondisi melakukan eksplorasi lapangan mengenai
kekinian. karakteristik kepribadian yang matang. Hal
Penutup tersebut perlu dilakukan sebagai upaya
Kajian ini diharapkan mampu memberikan konfirmasi atas temuan dalam artikel ini.
jawaban atas permasalahan yang muncul
Daftar Pustaka
sebagai konsekuensi atas aliran globalisasi
yang tidak mungkin dihindari lagi. Sebagai Bangunjiwa, K. J. (2009). Belajar spiritual,
kesimpulan, dalam kajian ini terlihat bahwa bersama The Thinking General. Yogya-
terdapat beberapa nilai yang bersifat karta: Jogja Bangkit Publisher.
filosofis dan integral dalam budaya Jawa

Buletin Psikologi 97
TRIMULYANINGSIH

Fardhani, L. A. (2015). Makna “Dadi Wong” Dowson & S. Devenish (Eds.) Religion
sebagai refleksi dari sosialisasi pada and spirituality: International advances in
pola pengasuhan anak dalam keluarga education. Vol 6 Greenwich. CT:
Jawa di kelurahan Wanea kota Manado. Information Age Publishing
Jurnal Holistik, 15, 1-13. Mubah, A. S. (2011). Revitalisasi identitas
Handayani, C. S., & Novianto, A. (2004). kultural Indonesia di tengah upaya
Kuasa wanita Jawa. Yogyakarta: PT. LKIS homogenisasi global. Global dan
Pelangi Aksara. Strategis, Edisi Khusus, 251-260.
Handoko, A., & Subandi. (2017). Peran Murtisari, E. T. (2013). Some tradisional
identifikasi tokoh wayang dalam Javanese values in NSM: from God to
pembentukan identitas diri. Jurnal social interaction. International Journal of
Psikologi, 44(2), 97-106. doi: 10.22146/ Indonesian Studies, 1, 110-126.
jpsi.22793 Purwowiyoto, B. S. (2016). Magnum opus
Kurniawan, A. P., & Hasanat, N. U. (2007). (karya besar): Chandra jiwa Indonesia
Perbedaan ekspresi emosi pada (Warisan ilmiah putra Indonesia). H&B/
beberapa tingkat generasi suku Jawa di Heart & Beyond PERKI.
Yogyakarta. Jurnal Psikologi, 34(1), 1-17. Stange, P. (1998). Politik perhatian: Rasa dalam
doi: 10.22146/jpsi.7086 budaya Jawa. Yogyakarta: LKIS.
Lee, Y. C., Lin, Y. C., Huang, C. L., & Sugiarto, R. (2015). Psikologi raos: Saintifikasi
Fredrickson, B. L. (2013). The construct kawruh jiwa Ki Ageng Suryomentaraman.
and measurement of peace of mind. Sleman: Pustaka Ifada.
Journal of Happiness Study, 14(2), 571–
Suh, E. M. (2002). Culture, identity
590. doi 10.1007/s10902-012-9343-5.
consistency, and well being. Journal of
Manuaba, P. (1999). Budaya daerah dan jati Personality and Social Psychology, 1378-
diri bangsa: Pemberdayaan cerita rakyat 1391.
dalam memasuki otonomi daerah dan
Ulinnuha, A. (2017). Makna hidup orang
globalisasi. Masyarakat, Kebudayaan, dan
Jawa yang menjadikan Dewa Ruci
Politik, XII(4), 57-66.
sebagai falsafah hidup. Skripsi (Tidak
Meadows, S. (2001). Understanding child dipublikasikan). Yogyakarta: Univer-
development: Psychological perspectives in sitas Islam Indonesia.
an interdisciplinary field of inquiry. New
Yuniarto, P. R. (2014). Masalah globalisasi di
York: Routledge.
Indonesia: Antara kepentingan, kebi-
Miner, M., & Dowson, M. (2010). Ethical jakan, dan tantangan. Jurnal Kajian
decision making: The contribution of Wilayah, 5(1), 67-95.
religious and spiritual values. In M.

98 Buletin Psikologi

You might also like