Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Syadza Nabilah Afrah - 20190510004 - KAJIAN GENDER DAN POLITIK KELAS A - Partisipasi Perempuan Dalam Politik

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 6

PAPER PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM DUNIA POLITIK

Syadza Nabilah Afrah


Jurusan Hubungan Internasional
Fakultas Sosial dan Ilmu Politik
UniversitasMuhammadiyah Yogyakarta
Jl.Brawijaya, , Kec. Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta , Indonesia
ABSTRACT
Males have ruled human civilization for much of its history. Hence, men have traditionally held
the majority of leadership positions in most communities, with the exception of the relatively
rare matriarchal ones. As a result, gender inequity has existed from the outset, pushing women
to the periphery. Women's duties are limited to those in the home. All of society's most essential
positions are still held by males, though. As a result, the theory of gender inequality was born.
Women are not regarded as equal to males because they are seen as unsuited to retaining
authority or possessing the same talents as men. Women are the property of males, and they
must be dominated and owned by them. The idea of women and politics is a tough one to fathom
in developing nations, since culture has shaped human beings to think of women as confined to
domestic duties, whereas politics is always linked to power. Since it is assumed that women are
still taboo and problematic when it comes to leadership, it is more proper for males to struggle
with it. As a result, education about women's empowerment is very important, especially in the
area of political rights, where more serious efforts are needed to make sure the concept works.
Women's presence in parliament is a necessity, since many issues affecting women may and
should be addressed by women themselves. Women not only had the right to vote and
participated in the first Indonesian general election in 1955, but there was also a women's party
that took part in the struggle, notably the Indonesian Women's Party/Party Women of the
People. In that election, 19 women were elected to the House of Representatives (DPR).
Because of a 30% women's quota that was put in place in 2004, a number of female lawmakers
have served as "stuffing seats”to make sure that the party's affirmative account was passed.
This article will explain about women's participation in politics and a little history about their
representation in the world of parliament in Indonesia.
Keywords: Political participation, Women, Representation

ABSTRAK
Laki-laki telah menguasai peradaban manusia untuk sebagian besar sejarahnya. Oleh karena
itu, laki-laki secara tradisional memegang mayoritas posisi kepemimpinan di sebagian besar
komunitas, dengan pengecualian yang relatif jarang matriarkal. Akibatnya, ketidakadilan
gender telah ada sejak awal, mendorong perempuan ke pinggiran. Tugas perempuan terbatas
pada tugas-tugas di rumah. Namun, semua posisi paling penting dalam masyarakat masih
dipegang oleh laki-laki. Alhasil, lahirlah teori ketidaksetaraan gender. Perempuan tidak
dianggap setara dengan laki-laki karena mereka dipandang tidak cocok untuk
mempertahankan otoritas atau memiliki bakat yang sama dengan laki-laki. Perempuan adalah
milik laki-laki, dan mereka harus dikuasai dan dimiliki oleh mereka. Gagasan tentang
perempuan dan politik sulit dipahami di negara-negara berkembang, karena budaya telah
membentuk manusia untuk menganggap perempuan terbatas pada tugas-tugas domestik,
sedangkan politik selalu dikaitkan dengan kekuasaan. Karena perempuan dianggap masih tabu
dan bermasalah dalam hal kepemimpinan, maka lebih tepat bagi laki-laki untuk
memperjuangkannya. Oleh karena itu, pendidikan tentang pemberdayaan perempuan menjadi
sangat penting, terutama di bidang hak-hak politik, di mana diperlukan upaya yang lebih serius
untuk memastikan konsep tersebut berhasil. Kehadiran perempuan di parlemen merupakan
suatu keniscayaan, karena banyak masalah yang mempengaruhi perempuan mungkin dan
harus ditangani oleh perempuan itu sendiri. Perempuan tidak hanya memiliki hak untuk
memilih dan berpartisipasi dalam pemilihan umum pertama Indonesia pada tahun 1955, tetapi
1
ada juga partai perempuan yang ambil bagian dalam perjuangan, yaitu Partai Perempuan
Indonesia/Partai Perempuan Rakyat. Dalam pemilihan itu, 19 perempuan terpilih menjadi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Karena kuota 30% perempuan yang diberlakukan
pada tahun 2004, sejumlah anggota parlemen perempuan telah bertindak sebagai "pengisi
kursi”untuk memastikan bahwa akun afirmatif partai disahkan. Artikel ini akan menjelaskan
tentang partisipasi perempuan dalam politik dan sedikit sejarah tentang keterwakilannya
dalam dunia parlemen di Indonesia.
Kata Kunci: Partisipasi Politik, Perempuan, Keterwakilan

PENDAHULUAN

Tidak mungkin berbicara tentang perempuan tanpa menyebutkan peran dan tempat mereka
dalam masyarakat, serta masalah politik. Dalam arena politik, peran dan posisi perempuan jelas
didiskriminasi; ini adalah hak asasi manusia yang dapat dinikmati oleh setiap orang. Namun
ironisnya, banyak perempuan yang tidak menyadari hak-hak mereka. Ketidaksetaraan gender
terus berlanjut dalam politik Indonesia. Di Indonesia, di mana perempuan merupakan
mayoritas, harus diterima bahwa mereka masih naif dalam debat politik. Pengaruh mereka
terhadap pengambil keputusan masih sangat terbatas. Kenyataannya, ada stigma sosial yang
mengurangi pentingnya peran dan prestasi perempuan. Untuk pemilu 2014, ada lebih banyak
undang-undang dan peraturan yang mengatur keterwakilan perempuan dari sebelumnya,
termasuk kuota 30 persen yang dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah perempuan di
legislatif. Bahkan jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, peraturan perundang-
undangan ini lebih banyak dan komprehensif. Namun, dari 2014 hingga 2019, jumlah
perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR RI turun dari 101 menjadi 79, turun 17,86
persen. Pada Pemilu 2014, terjadi peningkatan jumlah caleg perempuan yang mencalonkan diri.
Namun, hasilnya berbanding terbalik dengan kenaikan ini. Dalam masyarakat, laki-laki dan
perempuan memiliki peran masing-masing. Adalah mungkin bagi laki-laki dan perempuan
untuk mempertahankan peran mereka yang terpisah dalam masyarakat tanpa menjadi kurang
setara karena pemikiran dan otak laki-laki dan perempuan menentukan nilai-nilai yang sama.
Perubahan politik Indonesia baru-baru ini memberikan janji yang sangat besar bagi perempuan
yang hak-hak politiknya telah terhenti terlalu lama. Gerakan hak-hak perempuan muncul dalam
berbagai cara, termasuk kampanye untuk mengangkat hak-hak politik perempuan. Namun,
ketidakpedulian dan ketidakberdayaan perempuan yang telah terpenjara oleh sistem politik
yang hegemonik dan menindas selama beberapa dekade tidak dapat diberantas di era reformasi
ini. Jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki di Indonesia, seperti terlihat dari peta
penduduk dan persentase perempuan yang memilih. Bahkan jika angka ini akurat, tidak
menjamin bahwa perempuan akan memiliki suara dalam proses politik. Sejak pemilihan umum
2004 dan 2009, minimal 30% kursi di DPR telah disediakan untuk perempuan, baik ketua
partai, anggota KPU, maupun anggota DPR/DPRD. Akibatnya, perempuan Indonesia yang
sebelumnya tidak sadar telah turun ke jalan untuk mendukung undang-undang yang
mempromosikan kesetaraan gender. Untuk dapat mengikuti pemilu, minimal 30% parpol
peserta pemilu 2014 harus memenuhi persyaratan termasuk minimal 30% keterwakilan
perempuan dalam kepengurusan parpol tingkat pusat serta pencalonan anggota DPR/D. (UU
No. 8/2012, pasal 15d).

PEMBAHASAN

Partisipasi Perempuan di Dunia Politik

Ketika kita berbicara tentang politik formal dan hubungan politik, kita memperluas dominasi
budaya politik laki-laki atas budaya politik perempuan. Ini memperkuat klaim bahwa pencarian
politik perempuan untuk perwakilan politik formal adalah tabu. Dalam pemilu dan peristiwa

2
politik lainnya, keterlibatan perempuan seringkali dipandang sebagai peran penonton yang
pasif. Ketidakmampuan perempuan Indonesia untuk berpartisipasi penuh dalam politik resmi
dapat ditelusuri dikarenakan, faktor penting yang perlu diperhatikan adalah masyarakat
patriarki yang merasuk di mana perempuan Indonesia tinggal (Nurland, 2005). Perempuan
semata-mata digunakan sebagai pion dalam masyarakat oleh laki-laki, yang merupakan pion
utama. Padahal, budaya patriarki dimaksudkan untuk memisahkan dan mengangkat peran laki-
laki dan perempuan dalam masyarakat. Kecenderungan domestikasi perempuan oleh laki-laki
muncul karena laki-laki menjadi sesuatu dan perempuan menjadi bukan apa-apa. Perempuan
"bukan apa-apa”tanpa fungsi laki-laki, menurut gagasan tentang ketiadaan. Dengan kata lain,
laki-laki lebih otonom daripada perempuan, sehingga mereka memiliki peran otoritatif dan
mengatur dalam kehidupan perempuan melalui domestikasi. Melalui berbagai aturan dan
tindakan, serta keyakinan macho, domestikasi adalah upaya memperbudak perempuan.
Akibatnya, perempuan tidak dapat sepenuhnya menjadi entitas otonom karena mereka
berkewajiban bekerja di dua bidang sekaligus: pekerjaan rumah tangga dan karier. Ketika
perempuan berpartisipasi dalam arena politik, mereka melakukannya secara sukarela, baik
secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam proses perumusan suatu kebijakan.
Secara keseluruhan, perempuan memiliki hak untuk terlibat dalam masyarakat, termasuk
politik, yang berdampak signifikan pada perkembangan kebijakan (Warjiyati, 2016). Jaminan
konstitusional terhadap kesetaraan gender telah ada sejak diproklamasikan Pasal 27 Agustus
1945 Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang wajib membela
hukum dan kedaulatan negara. pemerintah secara merata.”

Kehadiran perempuan di parlemen pertama Indonesia tidak ditentukan oleh rakyat, melainkan
oleh para pemimpin gerakan perjuangan, terutama mereka yang dianggap penting bagi
kampanye kemerdekaan Indonesia. Organisasi perempuan terbesar saat itu, yaitu PKK dan
Dharma Wanita, tidak ikut serta dalam pengambilan keputusan politik tetapi justru digunakan
untuk melaksanakan program pemerintah yang selalu dilaksanakan dari atas ke bawah. Hal ini
berlanjut hingga era Orde Baru, ketika perempuan hanya diberi status sebagai pendamping
suaminya. “Pada kenyataannya, mengingat kepercayaan yang dianut secara luas di masyarakat
bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran yang berbeda dalam hal tanggung jawab dan
fungsi biologis perempuan, seperti melahirkan, menyusui, membesarkan anak, dan tugas rumah
tangga lainnya, ada anggapan bahwa organisasi-organisasi perempuan berkumpul semata-mata
untuk memisahkan diri dari organisasi-organisasi laki-laki (Suryochondro, 1984). Berdasarkan
hal ini, masuk akal untuk berasumsi bahwa kelompok-kelompok perempuan harus
melaksanakan program-program yang ditujukan untuk meningkatkan kedudukan perempuan
dan memerangi ketidakadilan. menurut Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (2001),
terdapat 101.628.816 perempuan Indonesia, atau sekitar 51% dari total penduduk negara, dan
57% perempuan Indonesia memberikan suara dalam pemilihan umum terbaru. Peran dan
tanggung jawab perempuan Indonesia di ruang publik telah meningkat dengan sendirinya. atau,
bagaimanapun, mewakili dan mencerminkan angka ini secara proporsional dan bermakna
(BPP, 2011).

Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Pemilu) mengamanatkan kuota 30% untuk perempuan dalam politik, mis. Persoalannya, pada
kenyataannya, parpol tampak kurang antusias menjalankan aturan tersebut karena dianggap
sebagai kebutuhan administratif belaka. Bukan jalan yang mudah bagi perempuan untuk terjun
ke dunia politik, dan membutuhkan banyak pengorbanan dalam perjalanannya. Akibatnya, ada
berbagai metode di mana perempuan mampu menantang dominasi politik laki-laki. Ketika
perempuan memiliki suara, mereka dapat membantu Indonesia mencapai tujuan objektivitasnya
sambil juga menunjukkan empati terhadap penderitaan perempuan, yang penting untuk
memastikan bahwa negara ini benar-benar inklusif. jenis kelamin). Pertimbangkan bahwa
3
proporsi perempuan di parlemen nasional tidak pernah lebih dari 13% sejak kemerdekaan
(periode 1987-1992), dan bahkan saat ini hanya sekitar 9%, sedangkan di tingkat provinsi hanya
sekitar 3%. Indonesia mengadopsi CEDAW pada tahun 1984, tetapi itu tidak mengubah apa
pun. Laki-laki merupakan bagian terbesar dari keanggotaan DPR (Andriana, 2012). Di
Indonesia, ada beberapa contoh ketika partisipasi mutlak perempuan di lembaga negara dan
sektor publik lainnya cukup baik dari segi kuantitas maupun kualitas untuk membawa
perubahan yang signifikan di negara dan masyarakat. Dengan demikian, kebutuhan dasar
seperti pendidikan, perawatan kesehatan, air bersih, dan fasilitas umum dan sosial lainnya
belum disediakan dengan baik oleh masyarakat secara keseluruhan. Baik pria maupun wanita
dipengaruhi oleh kurangnya perhatian terhadap persyaratan mendasar ini. Keuangan rumah
tangga, kesehatan fisik dan reproduksi, serta berbagai jenis kekerasan terhadap perempuan dan
anak, semuanya akan terkena dampak langsung dari perubahan status quo ini. Ketika kebutuhan
mendasar seorang wanita diabaikan, dia menderita dua kali lebih banyak dan lebih rentan
terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Tidak masalah seberapa sahnya kuota 30% untuk
legislator perempuan. Kini, semua wakil perempuan terpilih harus memenuhi standar
“berkualitas”untuk memperjuangkan hak-hak perempuan lain (Kiftiyah, 2019).

Perjuangan Perempuan dalam Dunia Politik di Indonesia

Perjuangan hak pilih perempuan juga sudah berlangsung lama di Indonesia. Sejak zaman
kolonial, The Volksraad (Dewan Rakyat) didirikan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1918.
Hak perempuan untuk memilih dan dipilih tidak ada pada saat itu. “Hanya laki-laki yang bisa
memilih dan dipilih.”(terbatas) Blackburn, sejarawan dari Indonesian Institute of Social History
(ISSI), mengatakan bahwa perempuan Belanda di Hindia Belanda baru memperoleh hak pilih
pada tahun 1930-an. Perempuan tidak diperbolehkan memilih pada tahun 1919. Akibatnya,
pada tahun 1908, Asosiasi Hak Pilih Wanita Belanda (Vereeniging voor
Vrouwenkiesrecht/VVV) mendirikan sebuah cabang di Hindia Belanda untuk memajukan hak
pilih mereka. Menurut Susan Blackburn, VVV memang mendukung hak untuk memilih
perempuan pribumi, tetapi hanya untuk mereka yang telah mendapatkan pendidikan formal di
barat, yang merupakan persentase kecil dari perempuan pribumi. Hak pilih bagi perempuan
menjadi fokus gerakan perempuan Indonesia pada tahun 1930-an (Blackburn, 2004). Hak pilih
perempuan Indonesia diangkat pada Kongres Perempuan Indonesia ketiga di Bandung tahun
1938. Nj Sudirman, Nj Soenario Mangoenpoespito, Nj Emma Puradireja, dan Nj Sri Umiati
semuanya terpilih menjadi anggota dewan kotamadya di kota masing-masing pada saat itu.
Pada tahun 1935 gerakan perempuan Indonesia mengusulkan sejumlah calon, termasuk Maria
Ulfah dan Nj Datu Tumenggung, untuk menjadi anggota Volksraad. Pemerintah kolonial, di
sisi lain, memilih untuk mengabaikan proposisi tersebut. Sebaliknya, Cora Vreede-de Stuers,
seorang wanita Belanda, berperan dalam peran tersebut (Coravreede De Stuers, 1960).

Ketika pemerintah kolonial kembali menolak rencana serupa pada tahun 1939, sebanyak 45
kelompok perempuan turun ke jalan dalam protes kekerasan. Diputuskan bahwa pemerintah
Belanda harus mengusulkan perempuan Indonesia untuk melayani di Dewan Rakyat di masa
depan (1941). Pemerintah Republik yang baru didirikan di Indonesia membentuk Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sebuah badan dengan kekuasaan yang mensimulasikan
parlemen, pada 29 Agustus 1945. Lima perempuan dipilih sebagai dewan direksi badan
tersebut. Partai Perempuan Indonesia/Partai Perempuan Rakyat adalah partai politik perempuan
pertama dalam sejarah Indonesia yang mengikuti pemilihan umum 1955, yang merupakan
pemilihan umum pertama negara itu. Enam belas perempuan dari PNI dan Masyumi terpilih
menjadi anggota DPR: empat dari PNI, empat dari Masyumi (PKI), lima dari NU, dan satu dari
PSI (Subono, 2013). Indonesia dipandang “maju”dalam memperjuangkan persamaan hak bagi
perempuan dan anak perempuan. Karena itulah kesetaraan politik laki-laki dan perempuan
diakui segera setelah Indonesia merdeka. Wanita di Amerika Serikat tidak diberi hak untuk
memilih sampai tahun 1920, lebih dari 150 tahun setelah republik yang dikenal sebagai "Paman
4
Sam”memperoleh kemerdekaannya dari Inggris Raya. Di negara-negara fundamentalis, seperti
Arab Saudi, perempuan tidak diizinkan untuk memilih atau mencalonkan diri untuk jabatan
politik. Pada 2015, raja baru Arab Saudi berjanji untuk memberikan hak pilih kepada
perempuan. Perempuan sudah lama mengabdi di parlemen. Sepanjang kemerdekaan Indonesia,
perempuan telah terlibat secara aktif. Banyak anggota parlemen perempuan terpilih menjadi
anggota parlemen pada pemilu 1955 (Azizah, 2014).

Kehadiran perempuan di parlemen Indonesia bukanlah perkembangan baru. Dengan sendirinya,


ini merupakan pencapaian yang signifikan karena Indonesia telah menjadi pemimpin dalam
mengakui pentingnya perempuan dalam politik lebih awal dari negara lain. Ideologi tidak boleh
diwakili oleh kelompok atau kategori sosial; sebaliknya, ide-ide terbaik harus tercermin dalam
proses representasi. Banyak orang percaya bahwa tujuan yang bermanfaat membenarkan kuota,
bahkan jika itu merupakan pelanggaran terhadap cita-cita meritokratis. Kesempatan yang sama,
bukan hasil yang sama, adalah konsep pemandu dalam sebuah seleksi. Ketika datang untuk
mendapatkan lebih banyak perempuan terpilih untuk jabatan publik, itu akan memakan waktu.
Jika dipaksakan, justru akan menciptakan perempuan yang tidak mumpuni untuk mewakili
rakyat. Tiga anggota DPR menggunakan sikap liberal ini ketika mereka menolak gagasan
keterwakilan perempuan dalam proses pembuatan UU DPR tentang Partai Politik dan UU
Pemilu. Ini harus dipertahankan dan mungkin ditingkatkan. Banyak persoalan perempuan di
Indonesia yang telah ditangani secara kuantitas, namun dari segi kualitas, masih banyak
persoalan yang belum tertangani dan memiliki potensi jawaban di masa depan (Hadiz, 2004).

SIMPULAN

Perjalanan panjang perempuan Indonesia dalam memperjuangkan keterwakilan dan


keterlibatan politik feminisme belum mencapai titik kesetaraan yang merata antara politik
maskulin dan feminin. Sejarah perempuan Indonesia pada hakikatnya adalah sejarah cerita
tentang kepemimpinan perempuan yang kuat. Namun kemudian hal ini berubah seiring dengan
perkembangan negara kolonial, yang kemudian secara latah mengatur tubuh perempuan melalui
patriarki, agama, dan hegemoni. Kebangkitan politik perempuan tampak nyata bersamaan
dengan munculnya nasionalisme dan sosialisme. Namun, hal ini akhirnya direpresi oleh
pemerintahan otoriter yang menjalankan domestikasi perempuan secara ketat dan tuntas,
sehingga memicu depolitisasi ambisi perempuan. Sementara itu, di era demokrasi kontemporer,
jalan perjuangan keterwakilan dan keterlibatan politik perempuan masih samar-samar. Hal ini
disebabkan oleh ketidaksesuaian antara agenda feminis dengan arena resmi politik dan politik
informal. Kedepannya, perempuan Indonesia diyakini akan mampu memposisikan dirinya
sejajar dengan laki-laki di berbagai sektor. Sekalipun politik perempuan terus menghadapi
prasangka dan stigma, wacana feminis akan tetap dinamis dan bergulir guna meningkatkan
kesadaran publik akan pentingnya hak-hak politik perempuan.

REFERENSI

Andriana, N. (2012). Perempuan, Partai Politik dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota
Legislatif. PT. Gading Inti Prima.
Azizah, N. (2014). Advokasi Kuota Perempuan di Indonesia. LP3M UMY & Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Blackburn, S. (2004). Women and the State in Modern Indonesia. Cambridge University Press.
BPP, B. P. S. (2011). Profil Perempuan Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak RI.
Coravreede De Stuers. (1960). The Indonesian Woman: Struggles and Achievements. Mouton
and Co.
Hadiz, L. (2004). Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru. LP3ES.

5
Kiftiyah, A. (2019). Perempuan dalam Partisipasi Politik di Indonesia. Yinyang: Jurnal Studi
Islam Gender Dan Anak, 14(1), 1–13. https://doi.org/10.24090/yinyang.v14i1.2859
Nurland, F. (2005). Strategies for Improving Women’s Participation in Politics and Social Life.
Kompas.
Subono, N. I. (2013). Perempuan dan Partisipasi Politik. Yayasan Jurnal Perempuan.
Suryochondro, S. (1984). Potret Pergerakan Wanita Indonesia. Rajawali Press.
Warjiyati, S. (2016). Partisipasi Politik Perempuan Perspektif Hukum Islam. Jurnal Al-Daulah
Hukum Dan Perundangan Islam, 6(1).

You might also like