41 83 2 PB
41 83 2 PB
41 83 2 PB
Abstract:
The freedom of speech potentially to be a crime and criminalized by the rules in Indonesia. This article
conducted with sociological approach. In this article, conducted a legal analysis of the data that has been
obtained and then will be described descriptively. In addition, statute approach is used. The result shows,
crime prevention in the perspective of criminology is divided into two, namely non-penal efforts and penal
efforts. Non-penal means focus more on prevention aspects before the occurrence of crime such as enhancing
values and norms to make it internalized within the community and provide education to prevent criminal
acts from occurring. Whereas the means of penalties emphasize more on aspects of repressive law
enforcement carried out after the occurrence of a crime whose actions are in the form of law enforcement.
In fact, dominance is needed in tackling criminal acts of defamation through social media in the form of
non-penal efforts. That can be accomplished through national or cultural moral education, which
implementation of thats value can begin fromfamily, formal and informal education, and social community.
Keywords: Crime Prevention; Defamation Crime; Social Media; Criminology
Abstract:
Kebebasan berpendapat berpotensi menjadi kejahatan dan dikriminalisasi dalam penerapan aturan di
Indonesia. Penelitian artikel ini menggunakan pendekatan sosiologis. Dalam penulisan ini, dilakukan
analisis hukum terhadap data yang telah diperoleh dan kemudian akan diuraikan secara deskriptif. Selain
itu digunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach). Hasil penelitian menunjukkan
penanggulangan kejahatan dalam perspektif kriminologi terbagi dua, yakni sarana non-penal dan sarana
penal. Sarana non-penal lebih menitikberatkan pada aspek pencegahan sebelum terjadinya kejahatan seperti
penanaman nilai dan norma agar terinternalisasi dalam diri masyarakat dan memberikan edukasi agar
tidak terjadi tindak pidana. Sedangkan sarana penal lebih menitikberatkan pada aspek penegakan hukum
secara represif yang dilakukan saat setelah terjadi tindak pidana/kejahatan yang tindakannya berupa
penegakan hukum. Dalam konteks penanggulangan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media
sosial, pananggulangan kejahatan lebih dominan kepada sarana penal atau upaya represif berupa
penindakan setelah terjadi tindak pidana. Sejatinya, diperlukan dominansi dalam penanggulangan tindak
pidana pencemaran nama baik melalui media sosial berupa upaya non-penal. Hal ini dapat ditempuh
melalui Pendidikan moral kebangsaan ataupun kebudayaan, yang penanaman nilainya dapat dimulai
dalam keluarga, Pendidikan formal dan informal, dan sosial bermasyarakat.
Kata Kunci: Penanggulangan Tindak Pidana; Pencemaran Nama Baik; Media Sosial; Kriminologi
87
ISSN Online: 2656-6133 | ISSN Print: 2654-7120
1. Pendahuluan
Perubahan karakter sosial dan budaya masyarakat sebagai akibat perkembangan
teknologi tentunya merupakan fakta yang tidak dapat dihindarkan. Perubahan karakter
tersebut mengantarkan masyarakat pada pola “peningkatan hakikat kemanuasiaan
manusia” sebagai makhluk Tuhan yang berakal. Dampaknya dapat diprediksi bahwa
masyarakat semakin tak terkendali hingga menyentuh titik kriminaliasasi dari apa yang
diperoleh dari perkembangan teknologi tersebut.1
Dalam perkembangan selanjutnya, kehadiran teknologi canggih komputer dengan
jaringan internet telah membawa manfaat besar bagi manusia. Pemanfaatannya tidak
saja dalam pemerintahan, dunia swasta/perusahaan, akan tetapi sudah menjangkau
pada seluruh sektor kehidupan termasuk segala keperluan rumah tangga (pribadi).
Komputer (internet) telah mampu membuka cakrawala baru dalam kehidupan manusia
baik dalam konteks sarana komunikasi dan informasi yang menjanjikan menembus
batas-batas Negara maupun penyebaran dan pertukaran ilmu pengetahuan dan
gagasan dikalangan ilmuwan di seluruh dunia2
Istilah media sosial tersusun dari dua kata, yakni “media” dan “sosial”. “Media”
diartikan sebagai alat komunikasi. Sedangkan kata “sosial” diartikan sebagai kenyataan
sosial bahwa setiap individu melakukan aksi yang memberikan kontribusi kepada
masyarakat. Pernyataan ini menegaskan bahwa pada kenyataannya, media dan semua
perangkat lunak merupakan “sosial” atau dalam makna bahwa keduanya merupakan
produk dari proses sosial.3
Media sosial menghapus batasan-batasan dalam bersosialisasi. Dalam media sosial
tidak ada batasan ruang dan waktu, mereka dapat berkomunikasi kapanpun dan
dimanapun mereka berada. Tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial mempunyai
pengaruh yang besar dalam kehidupan seseorang. Seseorang yang asalnya kecil bisa
menjadi besar dengan media sosial, begitu pula sebaliknya.
Bagi masyarakat Indonesia, media sosial seakan sudah menjadi candu, tiada hari tanpa
membuka media sosial, bahkan hampir 24 jam mereka tidak lepas dari smartphone .
Media sosial terbesar yang paling sering digunakan antara lain; Facebook, Twitter,
Youtube, Instagram, dan Whatsapp. Masing-masing media sosial tersebut mempunyai
keunggulan khusus dalam menarik banyak pengguna media sosial yang mereka miliki.
Media sosial memang menawarkan banyak kemudahan yang membuat para remaja
betah berlama-lama berselancar di dunia maya.
Tingginya angka penggunaan internet tersebut, tentu perlu dibarengi dengan aturan
hukum tersendiri, agar tetap menciptakan stabilitas dalam masyarakat. Pemerintah
Indonesia mengeluarkan Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) agar pemanfaatan teknologi lebih teratur dan tidak
digunakan semena-mena oleh masyarakat.
Lahirnya UU ITE bukan tanpa kontroversi. Undang – undang ini dianggap dapat
membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan bisa menghambat
kreativitas dalam ber-internet, terutama pada Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal
1 Maskun, Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar (Jakarta, Prana Media Group, 2013) hlm 10
2 Widyopramono Hadi Widjojo “Cybercrimes dan Pencegahannya”, Jurnal Hukum Teknologi, (Jakarta,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005) hlm 7.
3 Mulawarman, Aldila Dyas Nurfitri, Perilaku Pengguna Media Sosial beserta Implikasinya Ditinjau dari
Perspektif Psikologi Sosial Terapan, (Buletin Psikologi, Vol. 25 No. 1, 2017) hlm 36-44,
https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi diakses 2 Juli 2020
88
Al-Azhar Islamic Law Review, Vol. 2 No. 2, Juli 2020
28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3). Pasal-pasal tersebut pada dianggap umumnya memuat
aturan-aturan warisan pasal karet (haatzai artikelen), karena bersifat lentur, subjektif,
dan sangat tergantung interpretasi pengguna UU ITE ini. Ancaman pidana untuk
ketiganya pun tak main-main yaitu penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling
banyak 1 milyar rupiah.
Hal tersebut senada dengan salah satu bentuk pemanfaatan teknologi internet atau
media elektronik yang menjadi tumpang tindih, yakni persoalan kebebasan
berpendapat. Seperti diketahui saat ini melalui internet, seseorang dapat mengakses
jejaring sosial seperti facebook, twitter, Whatsapp, dan lain sebagainya. Tak jarang,
seseorang mengemukakan bendapat secara bebas untuk mengkritisi kebijakan
pemerintah, isu-isu sosial kemasyarakatan atau fenomena lainnya, yang pada akhirnya
menimbulkan ketersinggungan pihak-pihak tertentu yang merasa nama baiknya
dicemarkan diruang publik.
Pada tahun 2016, UU ITE direvisi atas masukan sejumlah pihak. Proses pelaksanaan
revisi UU ITE telah menjawab tuntutan dan aspirasi tersebut, mengingat banyaknya
kasus yang terjadi dan banyak pihak yang dilaporkan serta diproses melalui hukum
dengan dilakukan penahanan sejak penyidikan. Tuntutan tersebut pada intinya adalah
agar tidak terjadi kriminalisasi dari kasus-kasus yang ada dan meminta agar orang yang
dituduh tidak serta merta dilakukan penahanan.4
Opini yang bersifat pro maupun kontra terhadap pemidanaan di dunia maya memang
wajar dalam iklim demokrasi serta kebebasan berpendapat sekarang ini. Pemidanaan
terhadap larangan-larangan di dalam UU ITE dikarenakan kegiatan di alam maya
(cyber) meskipun bersifat virtual tetapi dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan
hukum yang nyata.
Secara yuridis untuk ruang siber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk
mengkategorikan sesuatu dengan ukuran dan kualifikasi konvensional untuk dapat
dijadikan obyek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak
kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan cyber adalah kegiatan virtual
tetapi berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik, dengan
demikian subyek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai telah melakukan
perbuatan hukum secara nyata.5
Fakta memperlihatkan bahwa kebebasan berpendapat berpotensi menjadi kejahatan
dan dikriminalisasi dalam penerapan aturan di Indonesia. Ada banyak kasus yang
dapat menjadi contoh, antara lain kasus prita mulyasari, kasus BBM Arsyad, kasus
Robertus Robert, dan lain sebagainya. Diperlukan pembahasan tentang bagaimana
upaya penanggulangan yang dapat dilakukan agar tetap memberikan ruang dalam
menyalurkan pendapat dan ekspresi, tanpa mengiriskan hal tersebut kepada perbuatan
pidana sebagai kejahatan yang melanggar Undang-Undang. Apalagi jika melihat tinggi
angka pengguna internet dan sosial media yang membuat potensi terjadinya kejahatan
ini semakin besar.
Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial Di Kota Makassar, (Thesis, Makassar: Universitas
Hasanuddin 2015) hlm 8
89
ISSN Online: 2656-6133 | ISSN Print: 2654-7120
2. Metode
Penelitian artikel ini menggunakan pendekatan sosiologis. Dalam penulisan ini,
dilakukan analisis hukum terhadap data yang telah diperoleh dan kemudian akan
diuraikan secara deskriptif. Selain itu digunakan pendekatan perundang-undangan
(statue approach).
6 A.S Alam, Amir Ilyas, Kriminologi Suatu Pengantar (Jakarta, Prenadamedia Group, 2018), hlm 1
7 Yesmil Anwar, Adang, Kriminologi (Jakarta, PT Refika Aditama, 2010) hlm xvii
8 A.S Alam, Amir Ilyas, Op.Cit hlm 3-4
9 Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
90
Al-Azhar Islamic Law Review, Vol. 2 No. 2, Juli 2020
Upaya penanggulangan kejahatan mempunyai dua cara. Pertama preventif atau dapat
diartikan sebagai upaya mencegah sebelum terjadinya kejahatan. Kedua tindakan
represif atau yang dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan sesudah terjadinya
kejahatan.
Menurut A. Qirom Samsudin M10, dalam kaitannya untuk melakukan tindakan
preventif adalah mencegah kejahatan lebih baik daripada mendidik penjahat menjadi
baik kembali, sebab bukan saja diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih mudah
dan akan mendapat hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan. Selanjutnya Bonger11
berpendapat cara menanggulangi kejahatan yang terpenting adalah preventif kejahatan
dalam arti luas, meliputi reformasi dan prevensi dalam arti sempit.
Prevensi kejahatan dalam arti sempit meliputi moralistik yaitu menyebarluaskan
sarana-sarana yang dapat memperteguhkan moral seseorang agar dapat terhindar dari
nafsu berbuat jahat. Abalionistik yaitu berusaha mencegah tumbuhnya keinginan
kejahatan dan meniadakan faktor-faktor yang terkenal sebagai penyebab timbulnya
kejahatan, Misalnya memperbaiki ekonmi (pengangguran, kelaparan, mempertinggi
peradapan, dan lain-lain). Berusaha melakukan pengawasan dan pengontrolan
terhadap kejahatan dengan berusaha menciptaka sistem organisasi dan perlengkapan
kepolisian yang baik,s istem peradilan yang objektif, hukum (perundang-undangan)
yang baik, mencegah kejahatan dengan pengawasan dan patrol yang teratur, pervensi
kenakalan anak-anak sebagai sarana pokok dalam usahah prevensi kejahatan pada
umumnya.12
Mengingat upaya penegakan hukum dalam rangka penanggulangan kejahatan melalui
sarana non penal lebih bersifat akan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka
sasaran utamanya adalah menangi faktor – faktor konduktif penyebab terjadinya
kejahatan13 Selanjutnya menurut Muhadar, faktor – faktor konduktif ini dapat
ditemukan pada kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat
menimbulkan atau dapat memicu adanya kejahatan. Faktor – Faktor konduktif ini juga
tidak dapat diatasi hanya melalui jalur hukum atau jalur penal, oleh karena itu harus di
tunjang oleh jalur non hukum atau non-penal14
Ada tiga alasan mengapa perlu mencurahkan perhatian pada pencegahan sebelum
kejahatan dilakukan antara lain:15
1. Tindakan pencegahan lebih baik dari tindakan represif dan koreksi. Usaha
pencegahan lebih ekonomis, tidak selalu memerlukan suatu organisasi yang
rumit, dapat dilakukan secara perorangan dan tidak memerlukan keahlian
seperti tindakan represif dan koreksi.
2. Pencegahan tidak menimbulkan akibat yang negatif seperti stigmatisasi,
pengasingan, penderitaan dalam berbagai bentuk, pelanggaran hak asasi,
permusuhan / kebencian terhadap suatu sama lain yang dapat menjurus kea rah
residivisme.
10 A. Qirom Samsudin M, Sumaryo E, Kejahatan Anak Suatu Tinjauan Dari Segi Psikologis dan Hukum
91
ISSN Online: 2656-6133 | ISSN Print: 2654-7120
92
Al-Azhar Islamic Law Review, Vol. 2 No. 2, Juli 2020
lagi berlaku karena dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK No.
013-022/PUU-IV/2006. Selain itu, 3 (tiga) pasal lainnya tentang delik pencemaran nama
baik juga diatur dalam BAB III Tentang Kejahatan Terhadap Negara Sahabat dan Kepala
Negara Sahabat serta wakilnya, yang terdapat dalam Pasal 142, Pasal 143, dan Pasal 144.
Kemudian Pencemaran nama baik juga diatur dalam 3 (tiga) pasal yang tedapat dalam
BAB VIII Tentang Kejahatan Terhadap Penguasa Umum, yakni pada Pasal 207, Pasal
298, dan Pasal 209.
Selain pasal-pasal tersebut diatas, delik pencemaran nama baik juga diatur dalam BAB
XVI Tentang Penghinaan sebanyak 7 pasal, mulai dari Pasal 310, Pasal 311, Pasal 314,
Pasal 315, Pasal 317, Pasal 320 dan Pasal 321. R. Soesilo membagi kejahatan penghinaan
dalam 6 kategori, antara lain20:
a. Menista (Pasal 310 ayat 1 KUHP)
b. Menista dengan tulisan (Pasal 310 ayat 2 dan 3 KUHP)
c. Memfitnah (Pasal 311 ayat 1 dan 2 KUHP)
d. Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP)
e. Mangadu dengan memfitnah (Pasal 317 ayat 1 dan 2 KUHP)
f. Menyuruh dengan memfitnah (Pasal 318 ayat 1 dan 2 KUHP)
Penerapan pasal penghinaan atau pencemaran nama baik dalma KUHP dalam
perkembangannya dapat diterapkan jika dilakukan melalui media sosial. Hal tersebut
diakomir melalui payung hukum dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Secara spesifik, ketentuan mengenai pencemaran nama baik
diatur pada pasal 27 ayat 3 mengenai perbuatan yang dilarang, yang berbunyi:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik”
Adapun konsekuensi pidana akibat perbuatan tersebut, diatur dalam Pasal 45 ayat 3 UU
ITE, yang berbunyi:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah)”
Didalam penjelasan UU ITE dipertegas bahwa muatan pasal 27 ayat 3 dalam UU ITE
sebagai perbuatan yang dilarang tentang penghinaan atau pencemaran nama baik,
mengacu pada KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau
fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).”
Penegasan penjelasan tersebut memiliki implikasi hukum terhadap penegakan
hukumnya. Setelah revisi UU ITE dengan ketentaun penjelasan bahwa muatan pasal 27
Ayat 3 mengacu pada ketentuan di KUHP, maka perbuatan pada pasal tersebut juga
dikategorikan sebagai delik aduan. Sehingga dalam proses penanganannya dapat
20 Ibid
93
ISSN Online: 2656-6133 | ISSN Print: 2654-7120
21 Joshua Sitompul, Pencemaran Nama Baik di Media Sosial, Delik Biasa atau Aduan?,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt520aa5d4cedab/pencemaran-nama-baik-di-
media-sosial--delik-biasa-atau-aduan/ diakses 2 Juli 2020
22 A.S Alam, Op. Cit hlm 79
23 Aipda Muhammad Arwal, Penyidik Polrestabes Kota Makassar, Wawancara, 11 Juni 2015
24 A.S Alam, Op. Cit hlm 80
94
Al-Azhar Islamic Law Review, Vol. 2 No. 2, Juli 2020
mendesak untuk segera dilaksanakan. Misalnya upaya edukasi yang massif dan/atau
sosialisasi peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dalam penulisan artikel ini terdapat pernytaan
bahwa yang mestinya banyak melakukan sosialisasi adalah pihak Kementrian
Komunikasi dan Informatika. Pihak kepolisian lebih berperan dalam penegakan hukum
jika terjadi indikasi tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial, karena
sifatnya merupakan delik aduan. Namun salah satu upaya yang dilakukan agar kasus
seperti ini tidak berlanjut ke pengadilan adalah mengedepankan upaya mediasi agar
masalah–masalah seperti ini dapat selesai secara damai.25
Selain sarana non-penal, penanggulangan kejahatan juga dilakukan melalui sarana
penal. Upaya penegakan hukum dalam penanggulangan kejahatan melalui sarana penal
lebih menitik beratkan pada sifat represif (penindakan / pemberantasan / penumpasan)
yaitu dilakukan saat setelah terjadi tindak pidana / kejahatan yang tindakannya berupa
penegakan hukum (law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman. Sehubungan
dengan itu, Aswanto, kepastian hukum (rechtszekerhied, legal certainty) merupakan asas
penting dalam tindakan hukum (rechtshandeling) dan penegakan hukum (rechtshnhaving,
law enforcement)26
Dalam konteks penanggulangan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media
sosial, upaya penanggulangan melalui sarana penal lebih dominan dibanding upaya
non-penal. Tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial yang merupakan
delik aduan menjadi alasan dai hal tersebut. Pihak kepolisian cenderung pasif dan baru
merespon ketika menerima laporan dan akan memproses sesuai ketentuan yang tertuai
dalam peraturan perundang-undangan. Namun upaya pertama yang dilakukan adalah
memediasi korban dan pelaku. Hal tersebut merujuk kepada surat edaran dari Kapolri
untuk mengedepankan mediasi jika terjadi kasus – kasus seperti pencemaran nama baik
agar tidak berlanjut ke pengadilan, untuk mengeliminir menumpuknya perkara di
kepolisian dan diselesaikan dengan jalan damai.
Berdasarkan data yang penulis peroleh, ditemukan bahwa pada kurun waktu tahun
2012 sampai dengan bulan Mei 2015, jumlah laporan kasus tindak pidana pencemaran
nama baik melalui media sosial yang masuk ke Polrestabes Makassar sebanyak 21 (dua
puluh satu) laporan. Berdasarkan data tersebut juga dapat digambarkan bahwa laporan
tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial di tahun 2012 mengalami
penurunan laporan ditahun 2013 dari 3 (tiga) laporan menjadi 2 (dua) laporan.
Sementara itu di tahun 2014 mengalami peningkatan sebanyak 6 (enam) laporan dari
tahun 2013. Sedangkan di tahun 2015 sampai bulan Mei laporan yang masuk mencapai
8 (delapan) laporan, sehingga sama dengan laporan yang masuk di tahun 2014.
Berdasarkan data tersebut diatas dapat dikatakan bahwa intensitas laporan masyarakat
terhadap tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis, terungkap fakta bahwa
kebanyakan kasus tindak pidana pencemaran nama baik melalui media tidak berlanjut
sampai tahap penuntutan. Rata–rata kasus itu berakhir tidak jelas atau dicabut
laporannya setelah dilakukan mediasi oleh penyidik Polrestabes Makassar. Karena
Brigpol Herman, Penyidik Pembantu Polrestabes Kota Makassar, Wawancara, 11 Juni 2015
25
26Aswanto, Hukum dan Kekusaaan, Relasi Hukum, Politik, dan Pemilu, (Yogyakarta, Rangkang
Education, 2012) hlm 9
95
ISSN Online: 2656-6133 | ISSN Print: 2654-7120
memang upaya mediasi lebih didahulukan oleh penyidik jika terjadi kasus pencemaran
nama baik atau tindak pidana ringan lainnya.
Namun yang menjadi ironi adalah, tidak dapat ditemukan data valid berapa kasus yang
selesai melalui mediasi dan dicabut laporannya atau menggantung tanpa penyelesaian,
dalam perkara tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial. Sehingga
penulis beranggapan bahwa penyidik kepolisian tidak serius dalam menangani
laporan-laporan yang masuk. Akibatnya hal tersebut menyebabkan banyak kasus yang
tidak terselesaikan yang berimplikasi pada ketidakpastian hukum.
6. Penutup
Penanggulangan kejahatan dalam perspektif kriminologi terbagi dua, yakni sarana non-
penal dan sarana penal. Sarana non-penal lebih menitikberatkan pada aspek
pencegahan sebelum terjadinya kejahatan seperti penaman nilai dan norma agar
terinternalisasi dalam diri masyarakat dan memberikan edukasi agar tidak terjadi
tindak pidana. Sedangkan sarana penal lebih menitikberatkan pada aspek penegakan
hukum secara represif yang dilakukan saat setelah terjadi tindak pidana/kejahatan yang
tindakannya berupa penegakan hukum. Dalam konteks penanggulangan tindak pidana
pencemaran nama baik melalui media sosial, pananggulangan kejahatan lebih dominan
kepada sarana penal atau upaya represif berupa penindakam setelah terjadi tindak
pidana.
Sejatinya, diperlukan dominansi dalam penanggulangan tindak pidan pencemaran
nama baik melalui media sosial berupa upaya non-penal. Melalui upaya pre-emptif dan
upaya preventif. Misalnya berupa upaya edukasi dan sosialisasi peraturan perundang-
undangan oleh pemerintah maupun Lembaga penegak hukum. Selain itu diperlukan
kesadaran moral yang baik sebagai individu dengan menjunjung tinggi asas kebebasan
berpendapat tanpa harus mencederai atau mencemarkan nama baik orang lain. Hal ini
dapat ditempuh melalui Pendidikan moral kebangsaan ataupun kebudayaan yang
penanaman nilainya dapat dimulai dalam keluarga, Pendidikan formal dan informal,
dan sosial bermasyarakat.
Referensi
96
Al-Azhar Islamic Law Review, Vol. 2 No. 2, Juli 2020
Joshua Sitompul, Pencemaran Nama Baik di Media Sosial, Delik Biasa atau Aduan?,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt520aa5d4cedab/pence
maran-nama-baik-di-media-sosial--delik-biasa-atau-aduan/
Maskun, 2013, “Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar”, Prana Media Group,
Jakarta
Muhadar, 2013, Korban Pembebasan Tanah Perspektif Viktimologis, Rangkang Education,
Yogyakarta
Mulawarman dan Aldila Dyas Nurfitri, 2017, Perilaku Pengguna Media Sosial beserta
Implikasinya Ditinjau dari Perspektif Psikologi Sosial Terapan (Buletin Psikologi, Vol.
25 No.1) https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi
Ninik Widiyanti Dan Julius Waskita, 1987, Kejahatan Dalam Masyarakat Dan Pencegahan,
PT. Bina Aksara, Jakarta
Peter Mahmud Marzuki, 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Prenada Media Group
R. Soesilo, 1995. KUHP serta Komentar-Komentarnya. Jakarta. PT. Gramedia Putaka Utama
Revisi UU No. 11 Tahun 2008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik,
https://kominfo.go.id/content/detail/8434/siaran-pers-no-
83hmkominfo112016-tentang-revisi-uu-no-11-tahun-2008-mengenai-informasi-
dan-transaksi-elektronik/0/siaran_pers
Widyopramono Hadi Widjojo, 2005, “Cybercrimes dan Pencegahannya”, Jurnal Hukum
Teknologi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Yasmil Anwar & Adang, 2010, Kriminologi, PT Refika Aditama, Bandung
97