KAMPANYE KURBAN MURAH-Jurnal Hukum Islam, Vol, 23, No. 1 Juni 2023
KAMPANYE KURBAN MURAH-Jurnal Hukum Islam, Vol, 23, No. 1 Juni 2023
KAMPANYE KURBAN MURAH-Jurnal Hukum Islam, Vol, 23, No. 1 Juni 2023
Muhammad Kudhori
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
Email: kudhori@walisongo.ac.id
Abstract
The ritual of sacrificing animals known as Qurban is one of the most prominent worships in
Islam. Nevertheless, on account of the highly criteria of qurban‟s animals, the price of
animals often very excessive. Hence, qurban is considered as an expensive kind of worship
for many Indonesian Muslims, to be specific, for the middle to low economic class of
Muslims. Whereas in fiqh literature, there is an opinion that it is permissible to perform
sacrifice with jadza„ah sheep whose price is more affordable. Unfortunately, this opinion is
not well known among the Indonesian Muslim community. This article will analyze the
hadith of qurban with jadza„ah sheep in the perspective of fiqh al-taysîr. This article is
considered as qualitative research that use literature references that are relevant to the theme.
The methods of research are content analysis and descriptive-analytical method. Fiqh al-
taysîr emphasizes a notion that are easier for Muslims to implement. In its implementation,
fiqh al-taysîr considers these matters; a more moderate aspect, emergency factor, easier
opinion, being careful in deciding between obligatory and sunnah, free from mahdzab
fanaticism, facilitating things that cannot or might be difficult to avoid, taking into maqâṣid
syarî'ah consideration and applying the rules: changes in fatwas due to the change of times,
places, conditions, and habits. In the context of the criteria for jadza„ah sheep as an alternate
animal for Qurban, the concept of fiqh al-taysîr takes the opinion of scholars who state that
jadza„ah sheep are sheep that are perfectly six months old and the price is relatively
affordable in price, thus they are easier to practice by the Muslim community of the middle to
lower economic class.
Abstrak
Ibadah kurban merupakan ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Namun demikian,
ibadah ini oleh banyak masyarakat muslim Indonesia kalangan bawah masih dianggap
sebagai ibadah yang mahal, karena adanya anggapan masyarakat tentang kriteria tinggi pada
hewan kurban sehingga harganya relatif lebih mahal. Padahal dalam literatur fikih, ada
pendapat yang memperbolehkan melakukan kurban dengan domba jadza‟ah yang harganya
lebih terjangkau. Hanya saja pendapat ini memang kurang masyhur di kalangan masyarakat
muslim Indonesia. Artikel ini akan mengkaji hadis kurban dengan domba jadza‟ah dalam
perspektif fiqh al-taysîr. Artikel ini merupakan penelitian kualitatif yang memanfaatkan
referensi-referensi kepustakaan yang relevan dengan tema yang dibahas. Content analysis
dan deskriptif-analitis dipakai sebagai metode analisis dalam artikel ini. Fiqh al-taysîr
menekankan kepada pendapat yang lebih mudah dilaksanakan oleh umat Islam. Dalam
implementasinya, fiqh al-taysîr mempertimbangkan aspek keringanan, unsur darurat,
1
Artikel ini telah terbit di Jurnal Hukum Islam, Vol. 23, No. 1 Juni 2023 dengan judul “Cheap Qurban
Campaign: A Qurban Hadith Analysis With Jadza„Ah Lamb Perspective Of Fiqh Al-Taysîr”.
memilih pendapat yang lebih mudah, berhati-hati dalam memutuskan hukum wajib dan
haram, bebas dari fanatisme mazhab, mempermudah dalam hal-hal yang tidak bisa atau sulit
dihindari, mempertimbangkan maqâṣid syarî„ah dan menerapkan kaidah: perubahan fatwa
karena perubahan zaman, tempat, kondisi dan kebiasaan. Dalam konteks kriteria hewan
kurban dengan domba jadza‟ah, konsep fiqh al-taysîr mengambil pendapat ulama yang
menyatakan bahwa domba jadza‟ah adalah domba yang berusia sempurna enam bulan yang
harganya relatif lebih murah, sehingga lebih mudah diamalkan oleh masyarakat muslim
kalangan ekonomi bawah.
Pendahuluan
Ibadah kurban atau dalam istilah fikih disebut dengan uḍḥiyyah merupakan ibadah
yang sangat dianjurkan dalam Islam. Saking dianjurkannya, beberapa ulama dari kalangan
Ḥanafiyyah, satu versi pendapat dalam mazhab Mâlikî, al-Tsawrî, al-Awzâ„î dan al-Layts
berpendapat bahwa kurban hukumnya wajib bagi orang yang mampu. Hanya saja mayoritas
ulama berpendapat bahwa hukum kurban adalah sunnah mu‟akkad, sunnah yang sangat
dianjurkan. Kurban sendiri merupakan bentuk pendekatan diri kepada Allah Swt. dengan cara
menyembelih hewan yang telah ditetapkan oleh syariat (unta, sapi dan kambing) yang
dilaksanakan pada hari raya Idul Adha dan tiga hari tasyrik berikutnya.
Ibadah kurban sendiri oleh banyak masyarakat muslim di Indonesia kalangan
menengah ke bawah masih dianggap sebagai ibadah yang mahal, hanya orang-orang yang
mempunyai harta berlebih yang dapat melaksanakan ibadah ini. Data dari beberapa lembaga
penyalur hewan kurban, harga kurban termurah berada pada kisaran dua juta rupiah.
Beberapa lembaga penyalur hewan kurban yang bekerjasama dengan Bank Syariah Indonesia
(BSI), lembaga yang mematok harga kambing kurban paling murah adalah Baitul Wakaf dan
Baitul Maal Hidayatullah (BMH) yang masing-masing harganya Rp1.392.000,00 dan
Rp1.500.000,00. Namun kedua kambing yang ditawarkan dengan harga murah tersebut
adalah kambing Afrika yang kemungkinan juga didistribusikan di Afrika. Adapun kambing
yang akan didistribusikan di Indonesia, Baitul Wakaf mematok harga Rp1.758.000,00 untuk
kambing NTT dan Rp2.200.000,00 untuk kambing pelosok. Sementara Baitul Maal
Hidayatullah (BMA) mematok harga Rp2.150.000,00 untuk kambing/domba reguler.
Lembaga yang lain rata-rata mematok harga kambing/domba kurban termurah sekitar 2 juta
rupiah, seperti BSI Maslahat sebesar Rp1.950.000,00, BAZNAS Rp2.900.000,00, Dompet
Dhuafa Republika Rp1.955.000,00, Rumah Zakat Indonesia Rp1.950.000,00, Rumah Yatim
Rp2.300.000,00, Human Initiative Rp1.975.000,00, Sinergi Foundation Rp1.900.000,00
untuk domba Afrika dan Rp2.550.000,00 untuk domba ekonomis, Inisiatuf Zakat Indonesia
Rp2.500.000,00, Baitulmaal Muamalat (BMM) Rp2.050.000,00, Griya Yatim dan Dhuafa
Rp2.750.000,00, Mandiri Amal Insani Rp2.500.000,00, Laznas Dewan Dakwah
Rp1.550.000,00 untuk domba Chad, Afrika dan kambing spesial hemat Rp1.850.000,00,
Laznas PPPA Daarul Qur‟an Rp2.000.000,00, LAZISMU Rp3.200.000,00, Yatim Mandiri
Rp2.250.000,00 dan DT Peduli: Rp1.975.000,00.2
Harga standar minimal hewan kurban yang cukup tinggi ini –khususnya bagi kalangan
ekonomi bawah- bisa jadi disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, pengaruh mazhab Syafi‟i
yang diikuti oleh mayoritas umat Islam di Indonesia yang menyatakan bahwa hewan kurban
minimal adalah domba (al-ḍa‟n) yang telah memasuki usia satu tahun (satu tahun lebih).3
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri melalui fatwa No. 32 Tahun 2022 tentang Hukum
dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban Saat kondisi Wabah Penyakit Mulut dan Kuku,
menyatakan bahwa domba yang sah dijadikan kurban adalah domba yang berumur satu tahun
dan memasuki tahun kedua. Pendapat ini mengutip dari pendapat mazhab Syafi„i.4 NU dalam
situs resminya NU Online juga berpendapat bahwa kriteria domba yang bisa dijadikan kurban
adalah domba yang usianya telah mencapai satu tahun, atau sudah tanggal giginya (al-
jadza„). Sedangkan kambing kacang (al-ma„z) harus telah mencapai usia dua tahun.5
Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
berpendapat bahwa kriteria kambing yang bisa dijadikan kurban adalah minimal telah berusia
satu tahun.6 Baznas juga menetapkan keriteria domba yang boleh dijadikan kurban berusia
satu tahun. Sedangkan kambing minimal berusia satu tahun dan telah masuk tahun ke dua.7
Kedua, banyaknya penceramah atau para dai di daerah-daerah yang menyampaikan
kepada masyarakat luas bahwa hewan yang dijadikan kurban kelak akan menjadi kendaraan
di akherat atau akan menjadi kendaraan saat melewati al-Ṣirâṭ. Informasi semacam ini
sebenarnya merujuk kepada hadis Nabi Saw. yang berbunyi istafrihû ḍaḥâyâkum fa innahâ
maṭâyâkum „alâ al-ṣirâṭ, baguskanlah hewan-hewan kurban kalian, karena hewan-hewan
2
Data harga kambing/domba ini diambil dari data harga kambing/domba yang ditawarkan lembaga-lembaga
tersebut dalam aplikasi BSI Mobile yang diakses pada tanggal 24 Juni 2023.
3
Ach. Faisol, “Analisis Pemikiran Asy-Syafi‟iyah Dalam Berkurban Pada Masa Wabah Penyakit Mulut Dan
Kuku (Pmk) Di Madura,” al-Hakim, Vol. 5, No. 1 (Mei 2023), 45.
4
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Nomor: 32 Tahun 2022 tentang Hukum dan
Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban Saat kondisi Wabah Penyakit Mulut dan Kuku, 7.
5
Zakky Mubarak, “Hukum, Makna, Jenis Hewan, dan Ketentuan Ibadah Kurban” dalam
https://islam.nu.or.id/haji-umrah-dan-kurban/hukum-makna-jenis-hewan-dan-ketentuan-ibadah-kurban-SSAkT
diakses 19 Juni 2023.
6
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengembangan HPT (II): Tuntunan Idain dan
Qurban (t.t., t.p, t.th.), 22. Dapat didownload melalui: https://lazismujatim.org/wp-
content/uploads/2017/08/tuntunan_idain-min-1.pdf
7
Lihat dalam:
https://baznas.go.id/index.php/artikel/baca/Begini_Kriteria_Hewan_Kurban_yang_Wajib_Anda_Ketahui/44
diakses 19 Juni 2023.
kurban itu kelak akan menjadi kendaraan kalian melewati ṣirâṭ. Dalam riwayat yang lain
menggunakan redaksi „aẓẓimû ḍaḥâyâkum fa innahâ „alâ al-ṣirâṭ maṭâyâkum, perbesarlah
hewan-hewan kurban kalian, karena hewan-hewan kurban itu kelak akan menjadi kendaraan
kalian saat melintasi al-ṣirâṭ. Hadis ini terdapat dalam kitab al-Firdaus bi Ma‟tsûr al-Khitâb
karya al-Daylamî (w. 509 H.)8 yang juga dicantumkan oleh al-Suyûṭî (849-911 H.) dalam
kitabnya al-Jâmi„ al-Ṣaghîr yang sering dikaji oleh masyarakat Indonesia, khususnya di
kalangan pesantren. Hanya saja al-Suyûṭî yang mencantumkan hadis ini menilai hadis ini
sebagai hadis ḍa„îf (lemah).9 Sementara Ibn Ḥajar al-„Asqalânî (773-852 H.) menilai salah
satu rawi hadis tersebut yang bernama Yaḥyâ sebagai rawi yang sangat lemah (ḍa„îf jiddan).
Ibn Ṣalâḥ (577-643 H.) menyatakan bahwa hadis tersebut tidak dikenal dan tidak bisa
dipertanggungjawabkan validitasnya. Sedangkan Ibn al-„Arabî (468-543 H.) menilai bahwa
hadis-hadis yang secara spesifik berbicara tentang keutamaan kurban tidak ada yang sahih,
termasuk hadis ini.10 Dari keterangan ini, tentunya hadis tersebut tidak bisa dijadikan sebagai
pegangan, karena kualitasnya yang sangat lemah.
Berdasarkan dua faktor di atas kemudian banyak dari kalangan masyarakat Indonesia
yang memberikan kriteria yang tinggi untuk hewan kurban mereka. Tidak heran jika harga
hewan kurban mereka untuk jenis kambing atau domba berkisar dua juta, tiga juta, empat juta
rupiah atau bahkan lebih. Banyak juga masyarakat yang beranggapan bahwa kurban dengan
menggunakan domba yang berusia sempurna 6 bulan tidak sah atau kurang afdhal. Padahal
terkait kriteria minimal hewan kurban ini, terkait usia domba yang bisa dijadikan kurban para
ulama berbeda pendapat. Meskipun mazhab Syafi‟i, mazhab yang diikuti oleh mayoritas
umat Islam Indonesia berpendapat bahwa kriteria minimal domba yang boleh dijadikan
kurban adalah telah berumur satu tahun, nyatanya mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat
bahwa kriteria minimal domba yang bisa dijadikan kurban adalah telah berumur 6 bulan.
Pendapat terakhir ini memang kurang masyhur atau lebih tepatnya belum ada yang
mengampanyekan atau menyosialisasikan secara umum di kalangan masyarakat Indonesia.
Padahal sebenarnya pendapat ini bisa dipakai dan menjadi solusi bagi umat Islam yang secara
ekonomi pas-pasan untuk bisa melaksanakan ibadah kurban dan menjalankan syariat Nabi
8
Abû Syujâ„ al-Daylamî, al-Firdaus Bi Ma‟tsûr al-Khiṭâb, Vol. 1 (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1986), 85.
9
„Abd al-Raḥmân bin Abî Bakr al-Suyûṭî, al-Jâmi„ al-Ṣaghîr (t.t.: t.p., t.th.), 77.
10
Ibn Ḥajar al-„Asqalânî, al-Talkhîṣ al-Ḥabîr Fî Takhrîj Aḥâdîts al-Râfi„î al-Kabîr, Vol. 4 (Beirut: Dâr al-Kutub
al-„Ilmiyyah, 1989), 341-342. „Abd al-Raḥmân al-Sakhâwî, al-Maqâṣid al-Ḥasanah Fî Bayân Katsîr Min al-
Aḥâdîts al-Musytahirah „Alâ al-Alsinah, Vol. 1 (Beirut: Dâr al-Kitâb „Arabî, t.th.), 114. Ismâ„îl bin Muḥammad
al-„Âjilûnî, Kasyf al-Khafâ‟ Wa Muzîl al-Albâs „Ammâ Isytahara Min al-Aḥâdîts „Alâ Alsinat al-Nâs, Vol. 1
(Beirut: Dâr Iḥyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, t.th.), 121. Zayn al-Dîn al-Munâwî, Faiḍ al-Qadîr Syarḥ al-Jâmi„ al-
Ṣaghîr, Vol. 1 (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1994), 634.
Ibrahim As. Dengan harga hewan yang lebih murah, tentunya akan semakin mendorong dan
menarik minat masyarakat kalangan bawah untuk ikut berpartisipasi dalam ibadah kurban ini.
Dengan demikian jumlah umat Islam yang melaksanakan ibadah kurban akan semakin lebih
banyak.
Beberapa artikel seputar kurban telah ditulis oleh beberapa akademisi dan peneliti.
Namun artikel-artikel tersebut sejauh penelusuran penulis belum ada yang secara spesifik
menulis tentang kampanye kurban murah dengan domba umur 6 bulan perspektif fiqh al-
taysîr. Beberapa artikel tentang kurban yang terbit di jurnal ilmiah diantaranya membahas
tentang kurban kolektif seperti yang ditulis oleh Jayusman dengan judul “Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Ibadah Kurban Kolektif”. Artikel ini menyoroti fenomena kurban kolektif
yang dilakukan oleh mayarakat luas terutama di lembaga pendidikan -dengan jumlah peserta
yang banyak untuk kurban kambing- dalam tinjauan syariat. Hasilnya, iuran yang dilakukan
oleh banyak orang dengan nominal tertentu lalu kemudian dibelikan hewan kurban belum
bisa dikategorikan sebagai kurban, melainkan hanya sedekah biasa saja.11 Artikel berikutnya
berjudul “Metamorfosis Ibadah Kurban dalam al-Qur‟an” yang ditulis oleh Durratul Faridah.
Sesuai dengan judulnya, artikel ini menelaah metamorfosis kurban sejak zaman Nabi Adam
as. hingga kurban di masa Nabi Muhammad Saw.12 B. Hariyanto menulis artikel dengan
judul “Dinamika Ibadah Kurban dalam Perkembangan Hukum Islam”. Artikel ini menyoroti
beberapa fenomena yang terjadi seputar ibadah kurban, mulai dari kurban kambing secara
kolektif, penyembelihan hewan kurban dengan alat mekanis, kurban secara online dan
pengalengan daging kurban.13 Nur Hadi menulis artikel dengan judul “Istinbath Hukum
Kurban Uang Perspektif Ekonomi Islam”. Menurutnya, berdasarkan al-Qur‟an, Hadis, Atsar,
Qiyas, Istiḥsân, Istiṣḥâb, Istiṣlâḥ (kemaslahatan), maqashid syari‟ah, kontekstualisasi hukum
dan asas manfaat dan maslahah, kurban dengan uang diperbolehkan.14 Selanjutnya artikel
dengan judul “Tafsir Tematik tentang Ibadah Kurban (Studi Surat al-Hajj: 36)” yang ditulis
oleh Kusnadi. Sesuai dengan judulnya, artikel ini membahas tentang beberapa persoalan
hukum yang terdapat dalam surah al-Hajj: 36, seperti tentang kriteria hewan kurban,
11
Jayusman, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ibadah Kurban Kolektif,” Al-„Adalah, Vol. X, No. 4 (Juli
2012), h. 435-446.
12
Durratul Faridah, “Matemorfosis Ibadah Kurban dalam Al-Quran,” Qaf, Vol. 1, No. 01 (September 2016), h.
79-96.
13
B. Hariyanto, “Dinamika Ibadah Kurban dalam Perkembangan Hukum Islam,” Ijtihad: Jurnal Hukum Islam
dan Pranata Sosial Vol. 34 No. 2 (November 2018), h. 127-136.
14
Nur Hadi, “Istinbath Hukum Kurban Uang Perspektif Ekonomi Islam,” Ijtihad: Jurnal Hukum Islam dan
Pranata Sosial Vol. 34, No. 2, (November 2018), h. 127-136.
membaca basmalah ketika menyembelih hewan kurban, waktu penyembelihan dan distribusi
hewan kurban.15
Berdasarkan artikel-artikel yang telah disebutkan di atas dan sejauh penelusuran
penulis nampak belum ada artikel ilmiah yang secara spesifik mengkaji tentang kurban
dengan domba dengan usia enam bulan. Oleh karena itu artikel ini akan mengkaji lebih detail
tentang keabsahan kurban dengan domba yang telah berumur sempurna enam bulan dalam
perspektif hadis dan fiqh al-taysîr, fikih yang memudahkan untuk diimplementasikan,
khususnya bagi kalangan masyarakat kelas ekonomi bawah.
Artikel ini merupakan penelitian kualitatif yang memanfaatkan referensi-referensi
kepustakaan (library research) berupa disertasi, tesis, artikel jurnal, buku dan sumber-sumber
kepustakaan lainnya yang relevan dengan tema yang dibahas.16 Sumber data primer artikel ini
adalah hadis-hadis yang menjelaskan tentang legalitas kurban dengan domba jadza„ah yang
terdapat dalam kitab-kitab induk hadis. Sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari buku,
artike-artikel jurnal ilmiah, penelitian, buku dan fatwa-fatwa para ulama, baik yang telah
dibukukan maupun yang tersebar di website dan media sosial yang relevan dan berkaitan
dengan tema artikel ini. Metode analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah content analysis dan deskriptif-analitis. Content analysis dilakukan dengan cara
menganalis hadis legalitas kurban dengan domba jadza„ah dalam perspektif fiqh al-taysîr.
Sedangkan deskriptif-analitis adalah upaya mendeskripsikan, mencatat, meganalisis dan
menginterpretasikan konsep fiqh al-taysîr terhadap hadis legalitas kurban dengan domba
jadza„ah.
15
Kusnadi, “Tafsir Tematik tentang Ibadah Kurban (Studi Surat al-Hajj: 36) ,” Jurnal Ulumul Syar'i, Vol. 10,
No. 2 (Desember 2021), h. 29-43.
16
Sutrisno Hadi, Metodologi Research I (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1987), h. 4.
17
Abû al-Ḥusayn Aḥmad Ibn Fâris, Mu„jam Maqâyîs al-Lughah, Vol. 4 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979), 442.
18
Ibn al-Manẓûr al-Afrîqî, Lisân al-„Arab, Vol. 13 (Beirut: Dâr al-Ṣâdir, t.th.), 522.
Isrâ‟: 44 dan juga hadis Nabi Saw. yang menyatakan bahwa lamanya salat seseorang dan
ringkasnya khotbah seseorang merupakan tanda kefaqihan dirinya (kepahaman tentang
agama). Adapun pengertian fikih secara istilah adalah pengetahuan tentang hukum-hukum
syara‟ yang bersifat amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci. Atau juga fikih adalah
pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan aktifitas mukalaf yang
digali dari dalil-dalilnya yang terperinci, yaitu teks-teks al-Qur‟an, al-Sunnah, Ijma‟ dan
Ijtihad (Qiyas).19
Sementara kata taysîr secara etimologi merupakan bentuk maṣdar dari kata yassara
yang artinya adalah memudahkan.20 Dalam al-Qur‟an sendiri disebutkan:
19
Muṣṭafâ Alkhin, Muṣṭafâ al-Bughâ dan „Alî al-Syarbajî, al-Fiqh al-Manhajî „Alâ al-Madzhab al-Imâm al-
Syâfi„î, Vol. 1 (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1992), 7.
20
Ibn al-Manẓûr al-Afrîqî, Lisân al-„Arab, Vol. 5 (Beirut: Dâr al-Ṣâdir, t.th.), 295. Abû al-Ḥusayn Aḥmad Ibn
Fâris, Mu„jam Maqâyîs al-Lughah, Vol. 6 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979), 155.
21
QS. Al-Qamar: 17, 22, 32, 40. Lajnah Pentasyihan Musyaf Al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan 2019 (Jakarta: Kementerian Agama, 2019).
22
Muḥammad bin Ismâ„îl al-Bukhârî, al-Jâmi„ al-Ṣaḥîḥ, Vol. 1 (Kairo: Dâr al-Sya„b, 1987), 27. Muslim bin al-
Ḥajjâj al-Naysâbûrî, al-Jâmi„ al-Ṣaḥîḥ, Vol. 5 (Beirut: Dâr al-Jayl, t.th.), 141.
23
„Abd al-Raqîb Ṣâliḥ Muḥsin al-Syâmî, Fiqh al-Taysîr Fî al-Syarî„ah al-Islâmiyyah (Kuwait: Wizârat al-
Awqâf Wa al-Syu‟un al-Islâmiyyah, 2019), 15.
24
„Umar Muḥammad Jabahjî, Fiqh al-Taysîr Fî al-Syarî„ah al-Islâmiyyah (t.t.: t.p., t.ts), 7.
muslim kontemporer yang disibukkan dengan berbagai macam aktifitas kehidupan setiap
hari. Kedua, memudahkan hukum-hukm fikih itu sendiri agar mudah diamalkan dan
direalisasikan, jauh dari kesan berat dan mengunggulkan yang mudah dan ringan.25 Yang
kedua inilah yang dimaksud dalam tulisan ini, yaitu taysîr yang berkaitan dengan hukum
fikih itu sendiri, sehingga mudah untuk diamalkan dan direalisasikan oleh kalangan muslim
di zaman sekarang, baik yang berkaitan dengan ibadah, muamalah dan semua urusan
kehidupan individu dan sosial. Dalam konteks hewan kurban, mudah juga untuk diamalkan
oleh kalangan muslim ekonomi menengah ke bawah.
Al-Qaraḍâwî menegaskan bahwa taysîr yang dimaksud di sini bukanlah membuat
syariat baru, lalu menggugurkan hal-hal yang telah diwajibkan oleh Allah Swt.,
menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah Swt. atau membuat sesuatu yang baru dalam
agama yang tidak diridhai oleh Allah Swt. Lebih lanjut Al-Qaraḍâwî menjelaskan bahwa
konsep taysîr yang dimaksud didasarkan pada beberapa hal:
1. Memperhatikan aspek rukhṣah (dispensasi)
Hal ini karena setiap orang mempunyai kemampuan yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Dengan demikian tidak seyogyanya menerapkan ketentuan yang
sama kepada semua orang. Orang-orang yang lemah tentu tidak diberikan beban
sebagaimana orang-orang yang kuat. Demikian pula orang-orang yang baru saja mengenal
Islam atau baru saja bertaubat (hijrah, dalam istilah yang beredar sekarang). Nabi Saw.
sendiri mencukupkan kewajiban-kewajiban dasar saat menerima orang A„rabî
(pedalaman) yang bertanya tentang apa saja yang harus dikerjakan oleh seorang muslim.26
Dalam hadis yang lain, Nabi Saw. juga bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt. suka ketika
dispensasinya dikerjakan sebagaimna Allah Swt. juga benci jika hal-hal yang dilarang oleh
Allah Swt. dikerjakan.”. Dalam redaksi yang lainnya, Nabi Saw. mengatakan bahwa
sesungguhnya Allah Swt. suka jika dispensasinya dikerjakan sebagaimana Allah Swt. juga
suka ketika azîmahnya (hukum asal yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.) dikerjakan.27
2. Mempertimbangkan unsur darurat dan kondisi yang dapat meringankan, karena kondisi
darurat sendiri memperbolehkan seseorang untuk melakukan hal-hal yang dilarang dengan
ketentuan dan batasan tertentu. Nabi Saw. dalam konteks ini sangat memperhatikan
25
Yûsuf al-Qaraḍâwî, Taysîr al-Fiqh Li al-Muslim al-Mu„âṣir Fî Ḍaw‟ al-Qur‟ân Wa al-Sunnah (Beirut:
Mu‟assasah a1-Risâlah, 2001), 7-18.
26
Muḥammad bin Ismâ„îl al-Bukhârî, al-Jâmi„ al-Ṣaḥîḥ, Vol. 3 (Kairo: Dâr al-Sya„b, 1987), 37.
27
Aḥmad bin Ḥanbal al-Syaibânî, Musnad Aḥmad bin Ḥanbal, Vol. 2 (Kairo: Mu‟assasah Qurṭubah, t.th.), 108.
Ibn Khuzaymah al-Naysâbûrî, Ṣaḥîḥ Ibn Khuzaymah, Vol. 3 (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1970), 259. Ibn
Ḥibbân al-Bustî, Ṣaḥîḥ Ibn Ḥibbân, Vol. 2 (Beirut: Mu‟assasah al-Risâlah, t.th.), 69.
kondisi seseorang. Nabi Saw. tidak menyamakan orang yang lemah dan kuat, muda dan
tua dalam ketentuan hukum yang sama.
3. Memilih pendapat yang lebih mudah (al-aysar) dibandingkan pendapat yang lebih hati-
hati (al-aḥwaṭ) di zaman sekarang
Hal ini memandang lemahnya agama pada kebanyakan umat Islam sebagaimna
yang diungkapkan oleh para ulama muta‟akhkhirîn dengan istilah taghayyur al-zamân
(zaman yang telah berubah) atau fasâd al-zamân (zaman yang telah rusak) yang
menyebabkan terjadinya perubahan fatwa. Ibn „Âbidîn dalam risalahnya yang berjudul
Nasyr al-„Arf Fî Binâ‟i Ba„ḍ al-Aḥkâm „Ala al-„Urf berkata: “Banyak hukum yang
berubah disebabkan perubahan zaman, karena perubahan kebiasaan masyarakatnya atau
karena adanya unsur darurat atau rusaknya masyarakat, sehingga ketika hukum itu sama
dengan hukum yang ditetapkan pada masa terdahulu, maka niscaya hal itu akan
menyebabkan keberatan, kepayahan dan menyulitkan manusia. Hal itu tentu akan
bertentangan dengan syariat yang dibangun atas kemudahan dan menolak kesulitan dan
kerusakan, agar dunia ini tetap eksis berdasarkan aturan yang sempurna dan terbaik.”28
Menurut al-Qaraḍâwî, jika dalam satu kasus ada dua pendapat yang berbeda, yang
satu aḥwaṭ (lebih hati-hati) dan yang satunya lagi aysar (lebih mudah), maka hendaknya
yang dipilih untuk difatwakan kepada mayoritas umat Islam adalah yang lebih mudah,
bukan yang lebih hati-hati. Dalilnya adalah apa yang disampaikan oleh „Â‟isyah bahwa
Rasulullah Saw. ketika dihadapkan pada dua pilihan pasti akan memilih yang paling
mudah diantara kedua pilihan itu, selama pilihan itu bukan merupakan sebuah dosa.
Namun jika pilihan itu merupakan sebuah dosa, maka Rasulullah Saw. adalah orang yang
paling menjauhi hal itu.29
4. Berhati-hati dalam memutuskan hukum wajib dan haram
Termasuk al-taysîr yang dibutuhkan dalam konteks fiqh al-taysîr adalah
mempersempit atau berhati-hati dalam memutuskan hukum, terutama yang berkaitan
dengan wajib dan haram. Artinya seseorang tidak boleh sembarangan dalam memutuskan
hukum atas suatu perkara yang berkaitan dengan wajib dan haram dengan dalil yang tidak
sahih tetapi ṣarîḥ (jelas) atau sahih tetapi tidak ṣarîḥ, apalagi tidak sahih dan tidak ṣarîḥ.
28
Ibn „Âbidîn al-Ḥanafî, Nasyr al-„Arf Fî Binâ‟i Ba„ḍ al-Aḥkâm „Ala al-„Urf (Oman: Markaz Anwâr al-
„Ulamâ‟ Li al-Dirâsât, 2020), 101.
29
Mâlik bin Anas, al-Muwaṭṭâ‟, Vol. 2 (Mesir: Dâr Iḥyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, t.th.), 902. Muḥammad bin Ismâ„îl
al-Bukhârî, al-Jâmi„ al-Ṣaḥîḥ, Vol. 4 (Kairo: Dâr al-Sya„b, 1987), 230. Muslim bin al-Ḥajjâj al-Naysâbûrî, al-
Jâmi„ al-Ṣaḥîḥ, Vol. 7 (Beirut: Dâr al-Jayl, t.th.), 80. Abû Dâwud al-Sijistânî, Sunan Abî Dâwud. Vol. 4 (Beirut:
Dâr al-Kitâb al-„Arabî, t.th.), 396. 6, 115.
Aḥmad bin Ḥanbal al-Syaibânî, Musnad Aḥmad bin Ḥanbal, Vol. 6 (Kairo: Mu‟assasah Qurṭubah, t.th.), 115.
Penetapan hukum wajib dan haram harus berdasarkan dalil yang sahih dan ṣarîḥ (jelas)
dalâlahnya.
5. Bebas dari fanatisme mazhab
Bebas dari fanatisme mazhab yang dimaksud di sini bukan kemudian anti atau
bahkan mencela mazhab-mazhab fikih yang sudah ada, atau mencela para ulama mazhab.
Bebas dari fanatisme mazhab juga bukan berarti tidak memakai atau memanfaatkan
mazhab-mazhab yang ada dan kitab-kitabnya. Yang dimaksud dengan bebas dari
fanatisme mazhab adalah tidak membatasi diri dengan terus menerus mengikuti satu
mazhab tertentu dalam berbagai macam persoalan hukum, meskipun terkadang pendapat
mazhab tersebut menyulitkan, berat untuk dikerjakan atau ketika dalilnya dinilai lemah.
Bebas dari fanatisme mazhab yang dimaksud di sini adalah seorang faqih tidak membatasi
dirinya hanya mengambil pendapat dari satu mazhab saja, melainkan bisa mengambil dari
pendapat mazhab manapun yang dinilai sebagai pendapat yang lebih kuat secara dalil dan
sesuai dengan nilai-nilai maqâṣid al-syarî„ah.30 Hal ini tentu merupakan keluasan dan
kemudahan bagi umat Islam.
6. Mempermudah dalam hal-hal yang sudah menjadi „umûm al-balwâ (hal-hal yang sudah
tidak bisa atau sulit untuk dihindari)
Konsep penting dalam fiqh al-taysîr adalah memberikan kemudahan pada
permasalahan-permasalahan yang sudah menjadi „umûm al-balwa, baik dalam masalah
ibadah maupun muamalah. Sebagai contoh ketika ada mazhab yang sangat ketat dalam
masalah ṭahârah (bersuci) dan najis, seperti mazhab Syâfî„î misalnya yang berpendapat
bahwa kotoran hewan yang halal dikonsumsi adalah najis dan air sedikit yang terkena
najis menjadi najis meskipun air tersebut tidak berubah, maka konsep fiqh al-taysîr tidak
memaksakan orang-orang untuk mengikuti pendapat ini jika memang pendapat ini
memberatkan, terutama bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan, yang setiap hari
berinteraksi dengan hewan-hewan ternak mereka. Dalam kasus semacam ini seorang faqih
bisa mengarahkan orang-orang untuk mengikuti pendapat mazhab Mâlikî dan Ḥanbalî
yang menyatakan bahwa kotoran hewan yang halal dikonsumsi adalah tidak najis (suci)
dan air sedikit yang terkena najis tidak otomatis menjadi najis jika tidak berubah sifatnya.
Pendapat semacam ini adalah pendapat yang difatwakan oleh Ibn Taymiyyah yang
30
Tarjîḥ, menilai pendapat mana yang lebih kuat di antara berbagai pendapat mazhab banyak dilakukan oleh
para ulama terdahulu, seperti al-Nawawî. Pendapat-pendapat yang dinilai lebih kuat oleh al-Nawawî dikenal
sebagai qaul mukhtâr, pendapat yang dipilih dan dinilai lebih kuat secara dalil oleh al-Nawawî yang berbeda
dengan pendapat mazhab Syâfi„î. Lihat lebih lanjut dalam Muhammad Kudhori, “Qaul Al-Mukhtâr Al-Nawawî
sebagai Pendapat Alternatif Muslim Nusantara”. Al-Manâhij, Vol. 12, No. 1 (2018).
didukung dengan beberapa dalil.31 Kasus lain dalam bidang muamalah yang telah menjadi
„umûm al-balwâ adalah masalah akad jual beli, di mana mazhab Syâfî„î mengharuskan
adanya ṣîghat (ijab-qabul) yang harus diucapkan untuk menunjukkan karidhaan dari kedua
belah pihak. Konsekuensinya jika ijab-qabul tidak dilakukan, maka jual belinya dianggap
tidak sah, karena salah satu rukun jual-beli tidak terpenuhi. Padahal jika diamati, hampir
tidak ada atau sangat sedikit sekali umat Islam Indonesia yang mempraktekkan jual beli
dengan menyebutkan ijab-qabul saat transaksi. Dari sini para ulama Syâfî„î sendiri seperti
al-Ghazâlî (450-505 H.), al-Nawawî (631-676 H.), Ibn Ṣabbâgh (400-477 H.), al-
Mutawallî (426-478 H.), al-Baghâwî (433-516 H.), al-Ruyânî (415-502 H.) kemudian
menguatkan pendapat mazhab Mâlikî yang memperbolehkan jual beli tanpa ṣîghat (ijab-
qabul) atau yang disebut sebagai jual-beli mu„âṭah. Menurut al-Mutawallî dan ulama yang
lainnya, pendapat ini yang dipilih dan difatwakan. Al-Nawawî sendiri memilih pendapat
ini dan menilainya sebagai pendapat yang lebih kuat secara dalil.32 Al-Bâjûrî, mantan
Grand Syaikh al-Azhar yang bermazhab Syâfî„î menyarankan umat Islam agar mengikuti
pendapat ini supaya terhindar dari dosa, karena praktek jual beli tanpa ijab-qabul semacam
ini memang sudah tidak bisa dihindari lagi oleh mayoritas umat Islam.33
7. Konsep fiqh al-taysîr mempertimbangkan maqâṣid syarî„ah universal yang bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat, serta
menghindarkan keburukan pada manusia. Fiqh al-taysîr tidak mengabaikan maqâṣid yang
bersifat universal karena adanya teks yang bersifat parsial, melainkan memadukan
keduanya.
8. Menerapkan kaidah “taghayyur al-fatwâ bi taghayyur al-zamân wa al-makân wa al-ḥâl
wa al-„urf”, perubahan fatwa disebabkan karena perubahan waktu, tempat, kondisi dan
kebiasaan serta tidak jumud terhadap pendapat ahli fikih yang sesuai dengan keadaan dan
zaman.34
Konsep fiqh al-taysîr ini pada dasarnya merujuk kepada dalil-dalil al-Qur‟an dan al-
Sunnah yang menunjukkan bahwa syariat Islam dibangun dengan konsep al-yusr,
31
Wahbah al-Zuḥaylî, al-Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuh, Vol. 1 (Damaskus: Dâr al-Fikr, t.th.), 269. Lihat juga
dalam Aidil Alfin dan Muhamad Rezi, “Komersialisasi Pupuk Kandang dalamPerspektif Hukum Islam,” Jurnal
Mahkamah, Vol. 4, No.2 (Desember 2019), 280.
32
Yaḥyâ bin Syaraf al-Nawawî, al-Majmû„ Syarḥ al-Muhadzdzab, Vol. 9 (t.t.: t.p., t.th.), 162-163. Yaḥyâ bin
Syaraf al-Nawawî, Rauḍ al-Ṭâlibîn wa „Umdat al-Muftîn, Vol. 3 (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1405 H.), 337.
Abû Bakr al-Ḥiṣnî, Kifâyat al-Akhyâr, Vol. 1 (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2004), 332-333.
33
Ibrâhîm al-Bayjûrî, Ḥâsyiyah al-Bayjûrî, Vol. 1 (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2013), 654. Lihat dalam
Muhammad Kudhori, “Qaul Al-Mukhtâr Al-Nawawî sebagai Pendapat Alternatif Muslim Nusantara”. Al-
Manâhij, Vol. 12, No. 1 (2018).
34
Yûsuf al-Qaraḍâwî, Taysîr al-Fiqh Li al-Muslim al-Mu„âṣir Fî Ḍaw al-Qur‟ân Wa al-Sunnah (Beirut:
Mu‟assasah a1-Risâlah, 2001), 28-43.
memudahkan sebagaimana dalam QS. Al-Mâ‟idah: 6; al-Baqarah: 177, 185, 286; al-Nisâ‟:
28; al-Ḥajj: 78 dan al-Anbiyâ‟: 107. Hadis-hadis Nabi Saw. juga banyak menekankan
kemudahan dalam menjalankan perintah agama ini, sehingga pada dasarnya konsep ini
bukanlah konsep yang baru.35
Hadis Tentang Kurban Dengan Domba Jadza‘ah dan Penjelasan Para Ulama
Hadis yang menjelaskan tentang kebolehan melaksanakan kurban dengan domba
jadza„ah adalah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Jâbir ra. bahwa Nabi Saw.
bersabda:
َّ الَ تَ ْذ ََبُوا إِالَّ ُم ِسنَّةً إِالَّ أَ ْن يَ ْع ُسَر َعلَْي ُك ْم فَتَ ْذ ََبُوا َذ َذ َعةً ِم َن
.الَنْ ِن
“Janganlah kalian menyembelih hewan kurban kecuali musinnah, kecuali jika kalian
kesulitan mendapatkan musinnah, maka sembelihlah jadza„ah dari domba.”36
Para ulama menjelaskan bahwa al-musinnah adalah al-Tsaniyyah ke atas dari unta,
sapi dan kambing. Redaksi hadis ini jelas menunjukkan bahwa kurban tidak boleh
menggunakan al-jadza„ selain al-jadza„ dari jenis al-ḍa‟n (domba). Pendapat ini disepekati
oleh para ulama sebagaimana yang dikutip oleh al-Qâḍî „Iyâḍ. Menurut al-Awza„î
sebagaimana yang dikutip oleh al-„Abdarî dan yang lainnya, boleh berkurban dengan al-
jadza„ dari unta, sapi, al-ma„z (kambing kacang) dan al-ḍa‟n (domba). Pendapat ini
diriwayatkan dari „Aṭâ‟. Mazhab Syâfi„î dan mazhab mayoritas ulama memperbolehkan
kurban dengan jadhâ‟ dari domba, baik terdapat musinnah ataupun tidak. Riwayat dari Ibn
„Umar dan al-Zuhrî mengatakan tidak boleh berkurban dengan jadhâ‟ dari domba jika
terdapat musinnah. Pendapat ini merujuk makna tekstual hadis tersebut. Hanya saja mayoritas
ulama berpendapat bahwa hadis ini mengarah kepada kesunnahan dan keutamaan
(afḍaliyyah). Hadis itu seolah berbunyi, “Disunnahkan bagi kalian untuk tidak menyembelih
kurban kecuali musinnah, seandainya kalian kesulitan untuk mendapatkan musinnah, maka
kalian boleh menyembelih jadza„ah domba. Dengan demikian hadis ini tidak menjelaskan
secara jelas melarang kurban jadza„ah domba. Mayoritas ulama sepakat bahwa hadis tersebut
tidak dimaknai secara tekstual, namun diarahkan kepada kesunnahan dan afḍaliyyah.37
35
Yûsuf al-Qaraḍâwî, Taysîr al-Fiqh Li al-Muslim al-Mu„âṣir Fî Ḍaw‟ al-Qur‟ân Wa al-Sunnah (Beirut:
Mu‟assasah a1-Risâlah, 2001), 16-17. „Umar Muḥammad Jabahjî, Fiqh al-Taysîr Fî al-Syarî„ah al-Islâmiyyah
(t.t.: t.p., t.ts), 7-10.
36
Muslim bin al-Ḥajjâj al-Naysâbûrî, al-Jâmi„ al-Ṣaḥîḥ, Vol. 6 (Beirut: Dâr al-Jayl, t.th.), 77.
37
Yaḥyâ bin Syaraf al-Nawawî, al-Minhâj Syarḥ Ṣaḥîḥ Muslim bin al-Ḥajjâj, Vol. 6 (Beirut: Dâr Iḥyâ‟ al-
Turâts al-„Arabî, 1392 H.), 456.
Para ulama kemudian berbeda pendapat dalam memahami al-jadza„ dan al-Tsaniy
(musinnah) dalam hadis tersebut sebagai berikut:
1. Menurut Ḥanafiyyah, jadza„ah dari jenis al-ḍa‟n (domba) adalah domba yang berusia 6
bulan dengan catatan domba tersebut besar dan ketika dikumpulkan dengan tsaniyyah dari
jauh terlihat sama. Menurut al-Za„farânî dari mazhab Ḥanafî berpendapat 7 bulan.
Pendapat yang lain mengatakan 8 bulan dan 9 bulan. Al-Tsaniy dari jenis domba dan
kambing kacang (al-ma„z) adalah kambing yang telah berusia satu tahun. Sementara al-
Tsaniy dari sapi adalah sapi yang berusia dua tahun. Sedangkan al-tsaniy dari unta adalah
unta yang berusia lima tahun.38
2. Menurut Mâlikiyyah, al-jadza„ dari jenis domba adalah domba yang telah berusia
sempurna satu tahun dan telah masuk pada tahun kedua. Al-Tsaniy dari jenis domba dan
kambing kacang adalah kambing yang berusia sempurna dua tahun. Al-Thaniy dari sapi
adalah sapi yang berusia sempurna tiga tahun dan telah masuk tahun keempat. Al-Tsaniy
dari unta adalah unta yang berusia sempurna lima tahun dan masuk tahun keenam.39
3. Menurut Syâfi„iyyah dalam qaul aṣahnya, al-jadza„ dari jenis domba adalah domba yang
usianya telah sempurna satu tahun dan masuk tahun kedua. Al-Tsaniy dari jenis kambing
kacang adalah kambing yang telah sempurna dua tahun. Menurut pendapat yang lain, telah
sempurna satu tahun dan masuk tahun kedua. Al-Tsaniy dari sapi adalah sapi yang berusia
sempurna dua tahun dan masuk tahun ketiga. Al-Tsaniy dari unta adalah unta yang telah
sempurna lima tahun dan masuk tahun keenam.40
4. Menurut Ḥanabilah, al-jadza„ dari jenis domba adalah domba yang telah berusia enam
bulan dan masuk bulan ke tujuh. Al-Tsaniy dari jenis kambing kacang adalah kambing
yang usianya sempurna satu tahun dan masuk tahun kedua. Al-Tsaniy dari sapi adalah sapi
yang usianya telah sempurna dua tahun dan masuk tahun ketiga. Al-Ttsaniy dari unta
adalah unta yang usianya telah sempurna lima tahun dan masuk tahun keenam.41
Perbedaan pendapat para fukaha dalam menjelaskan pengertian al-jadza„ dan Al-
tsaniy ini karena tidak adanya dalil baik al-Qur‟an maupun Hadis yang menjelskan secara
jelas kriteria tersebut. Perbedaan tersebut bersumber pada perbedaan ahli bahasa dalam
38
Fakhr al-Dîn al-Zayla„î, Tabyîn al-Ḥaqâ‟iq Syarḥ Kanz al-Daqâ‟iq, Vol. 16 (t.t.: t.p., t.th.), 305. Abû Bakr bin
Mas„ûd al-Kâsânî, Badâ‟i„ al-Ṣanâ‟i„ Fî Tartîb al-Syarâ‟î„, Vol. 10 (t.t.: t.p., t.th.), 277. Lihat juga dalam
Cholidi Zainuddin dan Zuraidah Azkia, “Polemik Usia Hewan Aqiqah: Studi Komparasi Pendapat Imam
Madzhab Hukum Islam,” Mazahib, Vol XVI, No 2 (Desember 2017), 178.
39
Lihat Ḥisâm al-Dîn „Afânah, al-Mufaṣṣal Fî Aḥkâm al-Uḍḥiyyah (t.t.: t.p., t.th.), 52.
40
Muṣṭafâ Alkhin, Muṣṭafâ al-Bughâ dan „Alî al-Syarbajî, al-Fiqh al-Manhajî „Alâ al-Madzhab al-Imâm al-
Syâfi„î, Vol. 1 (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1992), 233.
41
Ibn Qudâmah al-Maqdisî, al-Mughnî Fî Fiqh al-Imâm Aḥmad bin Ḥanbal al-Syaibânî, Vol. 11 (Beirut: Dâr
al-Fikr, 1405 H.), 100
menjelaskan kedua term tersebut, sehingga dalam menjelaskan dua istilah tersebut
merujuknya kepada ahli bahasa.
Kurban murah Jadza‘at al-Ḍa’n (domba enam bulan) perspektif Fiqh al-Taysîr
Konsep fiqh al-taysîr sebagaimana yang telah dipaparkan di atas salah satunya adalah
mengambil pendapat yang lebih mudah ketika ada pilihan beberapa pendapat di kalangan
ulama. Fiqh al-taysîr menekankan mengambil pendapat yang lebih ringan diamalkan (aysar)
dibandingkan pendapat yang lebih hati-hati (aḥwaṭ). Dalam kasus kurban dengan
menggunakan domba jadza„ah, fiqh al-taysîr akan mengambil pendapat para ulama yang
menyatakan bahwa jadza„at al-ḍa‟n adalah domba yang telah sempurna berusia enam bulan.
Pendapat ini tentu akan lebih mudah diamalkan oleh masyarakat muslim kelas ekonomi
bawah dan masyarakat pedesaan yang mempunyai penghasilan pas-pasan namun mempunyai
keinginan dan semangat tinggi untuk melaksanakan ibadah kurban. Dengan adanya pendapat
ini masyarakat muslim kelas bawah akan lebih mudah melaksanakan ibadah kurban, tidak
ngoyo harus membeli kambing super yang harganya lebih dari dua juta atau bahkan lebih dari
tiga juta rupiah, karena harga kambing domba usia sempurna enam bulan relatif lebih murah.
Saat artikel ini ditulis harga kambing domba usia sempurna enam bulan di daerah Semarang
berkisar 1,2 juta rupiah di harga peternak kambing.42
Dalam tinjauan pendapat para ulama, pendapat yang mengatakan bahwa jadza„at al-
ḍa‟n adalah domba yang sempurna berusia enam bulan ternyata tidak hanya pendapat
Ḥanafiyyah dan Ḥanabilah saja, melainkan juga pendapat yang dipilih dan difatwakan oleh
para ulama Timur tengah seperti „Alî Jum„ah43 dan Naṣr Farîd Wâṣil44 dari Dâr al-Iftâ‟ Mesir,
„Abdullâh bin Ghadayân, „Abd al-Razzâq „Afîfî dan „Abd al-„Azîz bin „Abdullâh bin Bâz
dari al-Lajnah al-Dâ‟imah Li al-Buḥûth al-„Ilmiyyah wa al-Iftâ‟ Saudi Arabia45, Yûsuf al-
Qaraḍâwî46, Muḥammad bin Ṣâliḥ al-„Utsaymîn47, Muḥammad Ṣâliḥ al-Munajjid,48 „Alawî
42
Informasi ini didapat dari wawancara secara langsung dengan salah satu peternak domba di daerah Mijen,
Semarang yang bernama Muhammad Ichrom pada tanggal 23 Juni 2023.
43
Lihat fatwa „Alî Jum‟ah dalam : https://www.dar-
alifta.org/ar/fatawa/12348/%D8%A7%D9%84%D8%A7%D8%B6%D8%AD%D9%8A%D8%A9-
%D9%88%D8%A8%D8%B9%D8%B6-%D8%A7%D8%AD%D9%83%D8%A7%D9%85%D9%87%D8%A7
diakses 30 Juni 2023.
44
Lihat fatwa Naṣr Farîd Wâṣil dalam: https://www.dar-
alifta.org/ar/fatawa/14313/%D8%B4%D8%B1%D9%88%D8%B7-
%D8%A7%D9%84%D8%A7%D8%B6%D8%AD%D9%8A%D8%A9 diakses 30 Juni 2023.
45
Al-Lajnah al-Dâ‟imah Li al-Buḥûts al-„Ilmiyyah wa al-Iftâ‟, Fatâwâ al-Lajnah al-Dâ‟imah al-Majmû„ah al-
Ulâ, Vol. 11 (t.t.: t.p, t.th.), 414.
46
Lihat fatwa al-Qaraḍâwî dalam; https://www.al-qaradawi.net/node/3666 diakses 30 Juni 2023.
47
Muḥammad bin Ṣâliḥ al-„Utsaymîn, Aḥkâm al-Uḍḥiyyah wa al-Dzakâh (t.t.: t.p., t.th.), 5.
bin „Abd al-Qâdir al-Saqqâf49 dan Markaz al-Fatwâ Islamweb.net Departemen Dakwah dan
Bimbingan Agama pada Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Qatar.50
Memilih pendapat ini berarti memberikan pilihan dan solusi bagi kalangan muslim
ekonomi bawah untuk ikut berpartisipasi melaksanakan ibadah kurban sesuai dengan
kemampuan finansial mereka. Pendapat ini juga sangat tepat difatwakan dan dikampanyekan
pada masa-masa sulit seperti sekarang ini, dimana kondisi ekonomi dan finansial masih sulit,
terutama bagi kalangan kelas bawah dan pekerja sektor informal pasca pandemi.
Memilih pendapat ini bukan berarti kemudian menafikan keutamaan kurban dengan
hewan yang lebih besar, super dan berkualitas, karena pendapat ini ditujukan kepada
masyarakat ekonomi bawah yang mempunyai keinginan melaksanakan kurban namun
terbatas dengan dana yang mereka miliki, bukan kalangan menengah atas yang mapan secara
finansial. Merujuk pernyataan al-Imâm „Abd al-Wahhâb al-Sya„rânî, perbedaan pendapat
para ulama adalah pilihan dan kelonggaran bagi umat. Pendapat-pendapat yang cenderung
berat diperuntukkan untuk mereka yang mampu dan kuat, dalam konteks kurban adalah
mereka yang kuat secara finansial dan mampu membeli hewan kurban yang super dan
berkualitas tanpa adanya kesulitan. Sementara pendapat-pendapat yang mudah diperuntukkan
untuk mereka yang lemah. Dalam konteks kurban adalah mereka yang lemah secara finansial
dan kalangan ekonomi pas-pasan.51
Kesimpulan
Fiqh al-taysîr adalah implementasi hukum-hukum syariat secara objektif sebagaimana
yang terdapat dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah tanpa berlebih-lebihan dengan mengharamkan
yang halal dan juga sebaliknya menghalalkan yang haram. Fiqh al-taysîr memperhatikan
kondisi mukalaf dan mendahulukan hukum-hukum syariat yang telah ditentukan oleh al-
Syâri„ dengan mempertimbangkan kondisi, zaman dan tempat. Fiqh al-taysîr juga
menekankan kepada pendapat yang lebih mudah diamalkan oleh mukalaf. Dalam konteks
48
Lihat fatwa Muḥammad Ṣâliḥ al-Munajjid dalam:
https://islamqa.info/ar/answers/41899/%D8%A7%D9%84%D8%B3%D9%86-
%D8%A7%D9%84%D9%88%D8%A7%D8%AC%D8%A8-
%D9%85%D8%B1%D8%A7%D8%B9%D8%A7%D8%AA%D9%87-%D9%81%D9%8A-
%D8%A7%D9%84%D8%A7%D8%B6%D8%AD%D9%8A%D8%A9 diakses 30 Juni 2023.
49
Lihat dalam: https://dorar.net/feqhia/3074/%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%A8%D8%AD%D8%AB-
%D8%A7%D9%84%D8%AB%D8%A7%D9%86%D9%8A:-%D8%B0%D8%A8%D8%AD-
%D8%A7%D9%84%D8%A3%D8%B6%D8%AD%D9%8A%D8%A9 diakses 30 Juni 2023.
50
Lihat: https://islamweb.net/ar/fatwa/13271 diakses 30 Juni 2023.
51
„Abd al-Wahhâb al-Sya„rânî, al-Mîzân al-Kubrâ, Vol. 1 (Mesir: Syirkah Maktabah wa Maṭba„ah Muṣṭafâ al-
Bâbî al-Ḥalabî wa Awlâduh, t.th.), 4-5.
kriteria hewan kurban dengan jadza„at al-ḍa‟n (domba), konsep fiqh al-taysîr mengambil
pendapat ulama yang menyatakan bahwa jadza„at al-ḍa‟n adalah domba yang usianya
sempurna enam bulan yang harganya relatif lebih murah dan terjangkau, sehingga lebih
mudah diamalkan oleh masyarakat muslim kalangan ekonomi bawah. Dengan adanya
pendapat ini masyarakat muslim kelas bawah akan lebih mudah melaksanakan ibadah kurban,
tidak ngoyo dan bersusah payah harus membeli kambing super yang harganya relatif mahal.
Pendapat ini berarti memberikan pilihan dan solusi bagi kalangan muslim ekonomi bawah
untuk ikut berpartisipasi melaksanakan ibadah kurban sesuai dengan kemampuan finansial
mereka. Pendapat ini juga sangat tepat difatwakan dan dikampanyekan pada masa-masa sulit
seperti sekarang ini. Apalagi pendapat ini juga banyak didukung dan difatwakan oleh para
ulama Timur Tengah.
Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal:
„Afânah, Ḥisâm al-Dîn. al-Mufaṣṣal Fî Aḥkâm al-Uḍḥiyyah. t.t.: t.p., t.th.
„Ajilûnî (al), Ismâ„îl bin Muḥammad. Kasyf al-Khafâ‟ Wa Muzîl al-Albâs „Ammâ Isytahara
Min al-Aḥâdîts „Alâ Alsinat al-Nâs, Vol. 1. Beirut: Dâr Iḥyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, t.th.
„Asqalânî (al), Ibn Ḥajar. al-Talkhîṣ al-Ḥabîr Fî Takhrîj Aḥâdîts al-Râfi„î al-Kabîr, Vol. 4.
Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1989.
Afrîqî (al), Ibn al-Manẓûr. Lisân al-„Arab, Vol. 13. Beirut: Dâr al-Ṣâdir, t.th.
_______. Lisân al-„Arab, Vol. 5. Beirut: Dâr al-Ṣâdir, t.th.
Alfin, Aidil dan Rezi, Muhamad. “Komersialisasi Pupuk Kandang dalam Perspektif Hukum
Islam,” Jurnal Mahkamah, Vol. 4, No.2 (Desember 2019).
Alkhin, Muṣṭafâ, Muṣṭafâ al-Bughâ dan „Alî al-Syarbajî, al-Fiqh al-Manhajî „Alâ al-
Madzhab al-Imâm al-Syâfî„î, Vol. 1. Damaskus: Dâr al-Qalam, 1992.
Al-Lajnah al-Dâ‟imah Li al-Buḥûts al-„Ilmiyyah wa al-Iftâ‟, Fatâwâ al-Lajnah al-Dâ‟imah
al-Majmû„ah al-Ûlâ, Vol. 11. t.t.: t.p, t.th.
Aṣbuḥî (al), Mâlik bin Anas. al-Muwaṭṭâ‟, Vol. 2. Mesir: Dâr Iḥyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, t.th.
Bayjûrî (al), Ibrâhîm. Ḥâsyiyah al-Bayjûrî, Vol. 1. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2013.
Bukhârî (al), Muḥammad bin Ismâ„îl. al-Jâmi„ al-Ṣaḥîḥ, Vol. 1. Kairo: Dâr al-Sya„b, 1987.
_______. al-Jâmi„ al-Ṣaḥîḥ, Vol. 3. Kairo: Dâr al-Sya„b, 1987.
_______. al-Jâmi„ al-Ṣaḥîḥ, Vol. 4. Kairo: Dâr al-Sya„b, 1987.
Daylamî (al), Abû Syujâ„. al-Firdaus Bi Ma‟tsûr al-Khiṭâb, Vol. 1. Beirut: Dâr al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 1986.
Faisol, Ach. “Analisis Pemikiran Asy-Syafi‟iyah Dalam Berkurban Pada Masa Wabah
Penyakit Mulut Dan Kuku (Pmk) Di Madura,” al-Hakim, Vol. 5, No. 1 (Mei 2023).
Faridah, Durratul. “Matemorfosis Ibadah Kurban dalam Al-Quran,” Qaf, Vol. 1, No. 01
(September 2016).
Hadi, Nur. “Istinbath Hukum Kurban Uang Perspektif Ekonomi Islam,” Ijtihad: Jurnal
Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol. 34, No. 2, (November 2018).
Ḥanafî (al), Ibn „Âbidîn. Nasyr al-„Arf Fî Binâ‟i Ba„ḍ al-Aḥkâm „Ala al-„Urf . Oman: Markaz
Anwâr al-„Ulamâ‟ Li al-Dirâsât, 2020.
Hariyanto, B. “Dinamika Ibadah Kurban dalam Perkembangan Hukum Islam,” Ijtihad:
Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol. 34 No. 2 (November 2018).
Ḥiṣnî (al), Abû Bakr. Kifâyat al-Akhyâr, Vol. 1. Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2004.
Ibn Fâris, Abû al-Ḥusayn Aḥmad. Mu„jam Maqâyîs al-Lughah, Vol. 4. Beirut: Dâr al-Fikr,
1979.
_______. Mu„jam Maqâyîs al-Lughah, Vol. 6. Beirut: Dâr al-Fikr, 1979.
Jabahjî, „Umar Muḥammad. Fiqh al-Taysîr Fî al-Syarî„ah al-Islâmiyyah. t.t.: t.p., t.th.
Jayusman, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ibadah Kurban Kolektif,” Al-„Adalah, Vol. X,
No. 4 (Juli 2012).
Kâsânî (al), Abû Bakr bin Mas„ûd. Badâ‟i„ al-Ṣanâ‟i„ Fî Tartîb al-Syarâ‟î„, Vol. 10. t.t.: t.p.,
t.th.
Kudhori, Muhammad. “Qaul Al-Mukhtâr Al-Nawawî sebagai Pendapat Alternatif Muslim
Nusantara”. Al-Manâhij, Vol. 12, No. 1 (2018).
Kusnadi, “Tafsir Tematik tentang Ibadah Kurban (Studi Surat al-Hajj: 36) ,” Jurnal Ulumul
Syar'i, Vol. 10, No. 2 (Desember 2021).
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Nomor: 32 Tahun 2022
tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban Saat kondisi Wabah
Penyakit Mulut dan Kuku.
Maqdisî (al), Ibn Qudâmah. al-Mughnî Fî Fiqh al-Imâm Aḥmad bin Ḥanbal al-Syaibânî, Vol.
11. Beirut: Dâr al-Fikr, 1405 H.
Munâwî (al), Zayn al-Dîn. Faiḍ al-Qadîr Syarḥ al-Jâmi„ al-Ṣaghîr, Vol. 1. Beirut: Dâr al-
Kutub al-„Ilmiyyah, 1994.
Nawawî (al), Yaḥyâ bin Syaraf. al-Majmû„ Syarḥ al-Muhadzdzab, Vol. 9. t.t.: t.p., t.th.
_______. al-Minhâj Syarḥ Ṣaḥîḥ Muslim bin al-Ḥajjâj, Vol. 6. Beirut: Dâr Iḥyâ‟ al-Turâts al-
„Arabî, 1392 H,
_______. Rauḍ al-Ṭâlibîn wa „Umdat al-Muftîn, Vol. 3. Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1405 H.
Naysâbûrî (al), Muslim bin al-Ḥajjâj. al-Jâmi„ al-Ṣaḥîḥ, Vol. 5. Beirut: Dâr al-Jayl, t.th.
_______. al-Jâmi„ al-Ṣaḥîḥ, Vol. 7. Beirut: Dâr al-Jayl, t.th.
_______. al-Jâmi„ al-Ṣaḥîḥ, Vol. 6. Beirut: Dâr al-Jayl, t.th.
Qaraḍâwî (al), Yûsuf. Taysîr al-Fiqh Li al-Muslim al-Mu„âṣir Fî Ḍaw al-Qur‟ân Wa al-
Sunnah. Beirut: Mu‟assasah a1-Risâlah, 2001.
Sakhâwî (al), „Abd al-Raḥmân. al-Maqâṣid al-Ḥasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Aḥâdîts al-
Musytahirah „Alâ al-Alsinah, Vol. 1. Beirut: Dâr al-Kitâb „Arabî, t.th.
Sya„rânî (al), „Abd al-Wahhâb. al-Mîzân al-Kubrâ, Vol. 1. Mesir: Syirkah Maktabah wa
Maṭba„ah Muṣṭafâ al-Bâbî al-Ḥalabî wa Awlâduh, t.th.
Syâmî (al), „Abd al-Raqîb Ṣâliḥ Muḥsin. Fiqh al-Taysîr Fî al-Syarî„ah al-Islâmiyyah.
Kuwait: Wizârat al-Awqâf Wa al-Syu‟un al-Islâmiyyah, 2019.
Syaybânî (al), Aḥmad bin Ḥanbal. Musnad Aḥmad bin Ḥanbal, Vol. 6. Kairo: Mu‟assasah
Qurṭubah, t.th.
Sijistânî (al), Abû Dâwud. Sunan Abî Dâwud. Vol. 4. Beirut: Dâr al-Kitâb al-„Arabî, t.th.
Suyûṭî (al), „Abd al-Raḥmân bin Abî Bakr. al-Jâmi„ al-Ṣaghîr. t.t.: t.p., t.th.
„Utsaymîn (al), Muḥammad bin Ṣâliḥ. Aḥkâm al-Uḍḥiyyah wa al-Dzakâh. t.t.: t.p., t.th.
Zainuddin, Cholidi dan Azkia, Zuraidah. “Polemik Usia Hewan Aqiqah: Studi Komparasi
Pendapat Imam Madzhab Hukum Islam,” Mazahib, Vol XVI, No 2 (Desember 2017).
Zayla„î (al), Fakhr al-Dîn. Tabyîn al-Ḥaqâ‟iq Syarḥ Kanz al-Daqâ‟iq, Vol. 16. t.t.: t.p., t.th.
Zuḥaylî (al), Wahbah. al-Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuh, Vol. 1. Damaskus: Dâr al-Fikr, t.th.