555-Article Text-2670-1-10-20230428
555-Article Text-2670-1-10-20230428
555-Article Text-2670-1-10-20230428
Article history: Chitin is a biopolymer that compiles the shells of insects and crustaceans and
the cell walls of fungi, diatoms, bacteria, and algae, while chitosan is chitin
Received : February 22, 2023 derivate. Both of the products have essential roles in various industrial fields.
Revised : March 24, 2023 Chitin and chitosan are often produced chemically from shrimp waste (head
Accepted : April 16, 2023 and the shell). However, chemical residues and poor product characteristics
are the weaknesses of this method. Another alternative method is to extract
the products enzymatically. This review examines the effectiveness of chitin
Keywords: and chitosan extraction from shrimp waste based on research results of
various related scientific articles. So far, microbial strains or enzyme and
Chitin, Chitosan, Extraction,
fermentation conditions that can extract shrimp waste into chitin with
Enzymatic, Shrimp shell reasonable effectiveness have been found (demineralization value > 90% and
deproteination > 80%). Deacetylation of shrimp shell chitin with A. niger
capable of producing chitosan with a degree of deacetylation 86%. Moreover,
the by-products of enzymatic extraction are rich in high-quality protein,
carotenoids (especially astaxanthin), and minerals (especially calcium).
ABSTRAK
Kata Kunci: Kitin merupakan salah satu biopolimer penyusun cangkang serangga dan
Kitin, Kitosan, Ekstraksi krustasea, serta dinding sel fungi, diatom, bakteri, dan alga, sedangkan kitosan
Enzimatik, Kulit udang merupakan turunan kitin. Kedua produk ini punya peran penting di berbagai
bidang industri. Kitin dan kitosan sering diproduksi secara kimiawi dari
limbah (kepala dan kulit) udang. Residu bahan kimia dan karakter produk
yang kurang baik menjadi kelemahan dari metode ini. Metode alternatif
lainnya adalah dengan mengekstraksi produk secara enzimatik. Review ini
bertujuan mengkaji efektivitas ekstraksi kitin dan kitosan dari limbah udang
berdasarkan hasil riset dari berbagai artikel ilmiah terkait. Sejauh ini telah
ditemukan strain mikroba atau enzim, serta kondisi fermentasi yang mampu
mengekstraksi limbah udang menjadi kitin dengan tingkat efektivitas yang
baik (nilai demineralisasi >90% dan deproteinasi >80%). Deasetilasi kitin dari
kulit udang dengan A. niger mampu menghasilkan kitosan dengan derajat
deasetilasi 86%. Selain itu, hasil samping ekstraksi enzimatik kaya akan
protein bermutu tinggi, karotenoid (khususnya astaxanthin), dan mineral
(khususnya kalsium).
Nainggolan (2023) 50
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
kimiawi. Proses ekstraksi kitin dari kulit udang alam (Kaczmarek et al., 2019; Younes et al.,
dilakukan menggunakan larutan asam kuat pekat 2014).
(biasanya HCl) di suhu ruang untuk Limbah udang (kepala dan kulit) merupakan
menghilangkan mineral, diikuti dengan salah satu sumber bahan baku penghasil kitin
penggunaan basa kuat (umumnya NaOH) di suhu yang mudah diperoleh dan berlimpah
sekitar 100°C untuk melepas protein dan pigmen ketersediaannya di alam. Porsi tubuh udang yang
warna. Hasilnya diperoleh serbuk kitin berwarna tidak dapat dimakan (termasuk kepala, kulit, dan
putih. Kitosan diperoleh melalui ekstraksi lebih ekor) dapat mencapai 46% (Arancibia et al.,
lanjut α-kitin dengan larutan alkali (umumnya 2014), dengan nilai ekonomi yang sangat rendah.
NaOH berkonsentrasi 40–50%) pada suhu proses Kandungan kitin pada kulit udang berkisar 15-
120–150°C sehingga terjadi deasetilasi 40%. Selain itu kulit udang juga mengandung
(pemutusan gugus asetil) pada kitin (Kurita, 2006; protein sebesar 20-40% dan mineral 30-60%
Younes & Rinaudo, 2015). (Bastiaens et al., 2019; Kurita, 2006). Adapun
Kelemahan dari ekstraksi secara kimiawi jenis kitin penyusun kulit udang adalah α-kitin,
adalah polusi dari residu bahan kimia (khususnya yaitu kitin dengan struktur kristalinitas yang
residu asam-basa kuat), kebutuhan energi yang sangat kuat dikarenakan adanya dua ikatan
cukup besar dari penggunaan suhu tinggi, adanya intramolekul dan antar(inter)molekul yang
efek negatif terhadap karakter produk akibat tersusun secara anti-pararel di tiap unit sel kitin
reaksi dari penggunaan asam-basa kuat, serta yang memungkinkan terbentuknya ikatan
kesulitan mengambil senyawa-senyawa hasil hidrogen yang maksimum.
samping lainnya (protein, mineral, lipid, atau Hal ini membuat α-kitin memiliki karakter
senyawa pigmen) saat proses ekstraksi (Duan et bahan yang lebih kaku dan stabil dibanding jenis
al., 2012; Kaur & Dhillon, 2015). kitin lainnya, bersifat tidak reaktif, dan tidak larut
Penelitian menunjukkan ekstraksi kitin dan air (Bastiaens et al., 2019; Kurita, 2006; Minke &
produk turunannya secara enzimatik Blackwell, 1978). Struktur kristal tersebut
menghasilkan produk yang lebih baik dan membuat perlu ada perlakuan khusus untuk
terkontrol (Hongkulsup et al., 2016; Rao et al., mengekstrak kitin dari kulit udang. Namun,
2000). Selain itu, ekstraksi secara enzimatik apakah metode enzimatik dapat secara efektif
bersifat ramah lingkungan, menggunakan suhu mengekstrak kitin dan kitosan dari limbah udang.
proses yang relatif rendah (umumnya mendekati Review ini berfokus mengkaji efektivitas ekstraksi
suhu ruang), serta dimungkinkan mengekstraksi kitin dan kitosan dari limbah udang secara
senyawa lain yang ada di substrat (Cahú et al., enzimatik berdasarkan hasil riset dari berbagai
2012; Kaur & Dhillon, 2015; Rao et al., 2000). artikel ilmiah terkait.
Meski di sisi lain, waktu proses yang relatif lebih
panjang dibanding ekstraksi kimiawi dan biaya 2. TINJAUAN PUSTAKA: KULIT
produksi enzim yang cukup tinggi menjadi UDANG, KITIN, DAN KITOSAN
kelemahan dari ekstraksi enzimatik (Kaczmarek
et al., 2019). Salah satu solusi yang dilakukan 2.1 Struktur dan Kandungan Kulit Udang
untuk menekan biaya produksi enzim adalah Udang merupakan bagian dari filum
penggunaan enzim dari limbah ikan atau udang, Arthropoda, dengan subfilum Crustasea.
serta dari bakteri atau mikroba lain yang ada di
51 Nainggolan (2023)
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
Kelompok udang dengan nilai ekonomis penting al., 2003). Anatomi tubuh udang dapat dilihat
umumnya termasuk dalam keluarga Penaeidae, pada Gambar 1.
yang merupakan turunan dari kelas Malacostraca, Bagian paling luar tubuh udang dilapisi oleh
ordo Decapoda, sub-ordo Dendrobranchiata (De kulit yang keras yang disebut kutikula. Susunan
Grave et al., 2009; Kannupandi et al., 2003). kutikula secara berurutan dari bagian paling luar
Secara morfologi, tubuh udang berbentuk ke dalam adalah epikutikula, eksokutikula,
memanjang yang terdiri atas kepala (toraks), perut endokutikula, dan lapisan membran. Kutikula
dengan enam ruas, dan ekor. Segmen perut Crustasea disusun oleh 60% senyawa anorganik
terakhir disebut telson. Toraks memiliki tulang dan 40% senyawa organik. Senyawa anorganik
belakang yang disebut mimbar, sepasang mata, tersebut adalah kalsium, klorida, tembaga,
dua pasang antena, tiga pasang rahang atas untuk magnesium, mangan, fosfor, kalium, dan sulfur.
makan, dan lima pasang kaki untuk berjalan. Sedangkan senyawa organik penyusun kutikula
Setiap segmen perut kecuali telson memiliki Crustasea adalah lipid, glikoprotein, protein,
pleopod, yaitu sepasang sirip yang berfungsi glikosaminoglikan, mukopolisakarida,
sebagai kaki renang (Evans, n.d.; Kannupandi et karbohidrat, dan kitin (Promwikorn et al., 2005;
Roer & Dillaman, 1984).
Nainggolan (2023) 52
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
Gambar 4. Ilustrasi perubahan kutikula udang selama siklus molting (Roer & Dillaman, 1984)
Epikutikula merupakan lapisan tipis yang Kutikula udang secara periodik akan
bersifat kedap air oleh adanya lapisan lipoprotein. terkelupas dan berganti dengan kulit baru setiap
Fungsi utama epikutikula sebagai pelindung kali ukuran tubuh udang bertumbuh melebihi
tubuh Crustasea dari dunia luar, diantaranya ukuran kulitnya. Proses tersebut disebut molting.
mencegah penguapan air dan penghalang mekanis Kutikula mengalami perubahan komposisi kimia
dari serangan mikroba (Grunenfelder et al., 2014; seiring dengan tahapan molting. Siklus molting
Roer & Dillaman, 1984). Tidak seperti lapisan terdiri dari empat fase, yaitu: premolt, molt
kutikula lainnya, epikutikula mengandung lipid (ecdysis), postmolt, intermolt. Di fase premolt
serta tidak mengandung serat kolagen dan kitin terjadi pembentukan dua lapisan kutikula baru,
(Promwikorn et al., 2005). Eksokutikula dan yaitu epikutikula dan eksokutikula. Kutikula baru
endokutikula sama-sama disusun oleh molekul yang terbentuk masih sangat lembut karena tidak
kitin terkristalisasi yang terbungkus protein mengandung kalsium, namun sebagian mineral
membentuk agregat nanofibril kitin-protein yang dari kutikula lama diabsorbsi kembali untuk
matriksnya diisi oleh mineral. Molekul nanofibril kepentingan pembentukan kutikula baru. Fase
ini tersusun dalam bentuk lembaran-lembaran selanjutnya adalah fase molt, dimana terjadi
planar yang terangkai menyerupai struktur pelepasan kulit udang (kutikula) lama. Fase
Bouligand atau kayu lapis terpilin (Fabritius et al., tersebut diikuti dengan fase postmolt, yang mana
2011; Grunenfelder et al., 2014). Poulicek et al lapisan kutikula lainnya, endokutikula dan lapisan
menggambarkan struktur protein-kitin-mineral membran, mulai terbentuk diikuti dengan proses
tersebut menyerupai roti lapis (sandwich) (lihat kalsifikasi pada semua lapisan kutikula sehingga
Gambar 2), hal ini khususnya untuk cangkang kutikula mulai mengeras oleh adanya
moluska (Poulicek et al., 1986). Lapisan pertumbuhan jaringan kalsium karbonat (CaCO3).
membran terkadang dikenal dengan istilah Kemudian, di fase intermolt kutikula sudah
hipodermis atau epitelium karena terletak diantara sepenuhnya terkalsifikasi. Kebanyakan Decapoda
endokutikula dan epidermis. Lapisan kutikula ini dewasa berada di fase intermolt (Dang et al.,
juga kaya akan serat kolagen, protein, karbohidrat 2018; Promwikorn et al., 2005; Roer & Dillaman,
dan kalsium (Promwikorn et al., 2005). Susunan 1984). Perubahan kulit udang selama siklus
kutikula kulit udang terilustrasikan pada Gambar molting terilustrasikan pada Gambar 4.
3.
53 Nainggolan (2023)
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
2.2 Sejarah Kitin dan Kitosan rawan (Crini, 2019). Di tahun 1811, Henri
Braconnot, ahli kimia asal Perancis, mengekstrak
Penyelidikan tentang kitin telah dimulai sejumlah fungi menggunakan larutan alkali
lebih dari dua ratus tahun lalu dimulai dari catatan hangat dan memperoleh fraksi bahan yang
Charles Hatchett, ahli kimia asal Inggris, di tahun
bersifat tidak larut alkali serta mengandung
1799 mengenai suatu bahan yang dihasilkan dari nitrogen. Braconnot menamai bahan tersebut
proses dekalsifikasi cangkang kepiting, lobster, fongine (Crini, 2019; Muzzarelli et al., 2012).
udang prawn, dan udang karang (crayfish) Namun istilah kitin (tepatnya chitine) disebutkan
menggunakan sejumlah asam mineral. Hatchett pertama kali oleh Auguste Odier melalui
melaporkan material tersebut tidak bereaksi publikasinya yang terbit di tahun 1823, guna
(resistan) terhadap senyawa kimia biasa,
merujuk pada fraksi bahan tidak larut alkali yang
berwarna putih kekuningan, dan seperti tulang diisolasi dari kumbang cockchafer melalui
Nainggolan (2023) 54
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
Gambar 5. Ilustrasi orientasi rantai (gambar atas) dan pola ikatan hidrogen (gambar bawah) pada
α-, β-, dan γ-kitin (Fernando et al., 2021). Arti simbol gambar terjabar pada kotak paling bawah
perlakuan dengan larutan kalium kaustik panas kitosan (dipatenkan oleh George W. Rigby di
(Crini, 2019). tahun 1936-1937), pemanfaatan kitin-kitosan
Penelitian tentang kitin terus bergulir, hingga untuk industri kertas, tekstil, fotografi, dan
di tahun 1956, Charles Rouget melaporkan sebagai perekat (Crini, 2019).
tentang bahan yang dia beri nama ”chitine
modifée” atau kitin termodifikasi yang bersifat 2.3 Jenis Kitin
larut dalam larutan encer asam organik, berbeda
dengan kitin yang belum termodifikasi. Bahan ini Di alam, kitin ditemui dalam tiga bentuk
juga menghasilkan warna yang berbeda dengan polimorfik kristal, yaitu α, β, dan γ (Jang et al.,
kitin ketika dilarutkan dalam larutan iodium asam. 2004). Perbedaan struktur kristal tersebut terletak
pada pola pengepakan dan polaritas rantai yang
Fraksi bahan tersebut diperoleh melalui proses
refluksi dengan mendidihkan kitin dalam larutan berdekatan. Sumber kitin diperoleh akan
kalium hidroksida (KOH) pekat. Bahan tersebut mempengaruhi jenis kitin yang dihasilkan
kemudian dinamakan kitosan oleh Hoppe-Seyler menurut struktur kristalnya (Jang et al., 2004;
di tahun 1894. Kitosan merupakan turunan utama Minke & Blackwell, 1978). Perbedaan struktur
dari kitin, dan penemuan kitosan membuka kristal tersebut biasanya diidentifikasi
peluang pemanfaatan kitin lebih lanjut (Crini, menggunakan kristalografi sinar-X (Blackwell,
1982), yang diperjelas karakternya menggunakan
2019).
Penelitian tentang kitin semakin berkembang Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier
setelah semakin jelas struktur polisakaridanya, (Fourier Transform Infrared Spectroscopy/FTIR)
dan NMR (Nuclear Magnetic Resonance)
yang berbeda dengan selulosa, yang terungkap
spektroskopi serta metode lainnya (Fernando et
menggunakan analisa X-ray (sinar-X). Di tahun
1930an, mulai muncul paten berbahan dasar kitin al., 2021; Jang et al., 2004).
dan kitosan, diantaranya film dan serat dari
55 Nainggolan (2023)
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
Kestabilan struktur kristal tiap jenis kitin glukosa, yaitu bentuk ikatan yang sama dengan
ditentukan oleh ikatan hidrogen intra- dan unit glukosa penyusun selulosa.
antarmolekul pada lembaran sel kitin yang Grup asetamida (CH3CONH2) merupakan
umumnya dihubungkan melalui grup amida dan senyawa amida sederhana yang berasal dari asam
karbonil (Fernando et al., 2021). Perbedaan α-, β- asetat (CH3COOH). Hal tersebut membuat
, dan γ-kitin terjabarkan pada Tabel 1. Sedangkan struktur asetamida menyerupai asam asetat,
orientasi rantai dan pola ikatan hidrogen pada α-, namun gugus hidroksil (‒OH) pada asam asetat
β-, dan γ-kitin terilustrasikan pada Gambar 5. tergantikan dengan gugus amina (‒NH2) di
asetamida. Itu sebabnya unit glukosa penyusun
2.4 Struktur Kitin dan Kitosan kitin disebut juga N-asetilglukosamin (N-acetyl-
D-glucosamine, GlcNAc).
Kitin merupakan polisakarida yang terdiri Secara struktur, molekul kitin serupa dengan
dari rangkaian residu (1→4)-linked-2-acetamido- molekul selulosa, namun atom C(2) pada unit
2-deoxy-β-D-glucopyranose (Zargar et al., 2015).
selulosa berikatan dengan hidroksil, sedangkan
Nama tersebut menunjukkan bahwa kitin disusun pada kitin berikatan dengan asetamida (Jang et al.,
oleh rangkaian unit D-glukopiranosa, yaitu 2004; Zargar et al., 2015). Perbedaan N-
enansiomer D-glukosa berbentuk cincin piranosa asetilglukosamin (monomer pada kitin) dan
(pyranose) dengan enam atom penyusun utama glukosa (monomer pada selulosa) dapat dilihat
(satu atom Oksigen dan lima atom Carbon), yang pada Gambar 6. Kitosan (GlcN, Glucosamine)
pada atom karbon nomor dua/C(2) terikat dengan merupakan polimer turunan kitin dengan struktur
grup asetamida (acetamide) menggantikan grup kimia yang serupa, hanya saja mayoritas residu
hidroksil (OH) pada glukosa secara umum. Unit-
glukopiranosa-nya dalam bentuk terdeasetilasi
unit glukosamin tersebut terikat satu dengan yang (grup amida pada C(2) glukosamin tidak terikat
lainnya di atom C(1) dan C(4) melalui ikatan β- dengan grup asetil atau tidak dalam bentuk
Nainggolan (2023) 56
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
asetamida). Perlu diketahui, sangat jarang ditemui biopolimer tersebut atau dengan kata lain semakin
kitin yang keseluruhan molekulnya dalam bentuk sulit bereaksi dengan senyawa lain, begitu pula
N-asetilglukosamin, serta kitosan yang semua sebaliknya. Itu sebabnya kitosan lebih reaktif
molekulnya merupakan glukosamin. Selain itu, di dibanding kitin karena kitosan memiliki DD
alam kitin selalu terikat dengan senyawa lain, diatas 50%, sedangkan DD kitin dibawah 50%.
seperti polisakarida, protein, atau mineral (Zargar Kitosan dianggap memiliki DD rendah jika
et al., 2015). Suatu polimer glukosamin memiliki persentase glukosamin (GLcN) berkisar
dinyatakan sebagai kitin apabila lebih dari lebih 55–70%, DD sedang jika GLcN berkisar 70–85%,
dari 50% molekulnya dalam bentuk N- DD tinggi jika GLcN berkisar 85–95%, dan
asetilglukosamin, namun jika lebih dari setengah sangat tinggi jika GLcN berkisar 95–100% (He et
molekul glukosamin terdeasetilasi maka disebut al., 2016; Rkhaila et al., 2021).
kitosan (Kasaai, 2009; Morin-Crini et al., 2019; Analisa DA atau DD kitin atau kitosan dapat
Zargar et al., 2015). Struktur kitin dan kitosan dilakukan menggunakan tiga kelompok besar
dapat dilihat pada Gambar 7. metode, yaitu spektroskopi (H NMR, C NMR, N
NMR, IR, near-IR, dan UV); secara konvensional
2.5 Karakteristik Kitin dan Kitosan (berbagai prosedur menggunakan titrasi koloidal,
titrasi konduktometri, titrasi potensiometri, and
Perbedaan struktur kitin dan kitosan
uji ninhidrin); dan secara destruktif (analisis
menghasilkan perbedaaan karakter pada kedua unsur, hidrolisis dengan asam atau enzim yang
biopolimer tersebut. Derajat asetilasi (degree of diikuti oleh kolorimetri atau analisis HPLC, dan
acetylation/DA) pada kitin atau derajat deasetilasi
analisis termal menggunakan DSC). Waktu yang
(degree of deacetylation/DD) pada kitosan dibutuhkan untuk pengukuran DA menggunakan
merupakan salah satu karakteristik fisikokimia
kelompok metode konvensional dan destruktif
penting yang sangat mempengaruhi sifat fisik, lebih lama dibandingkan menggunakan kelompok
kimia, dan biologi dari kitin dan kitosan (Chatelet spektroskopi. Diantara semua, H NMR dan UV
et al., 2001; Kasaai, 2009; Philibert et al., 2017).
spektrometri dianggap paling cocok untuk analisa
Sifat kimia tersebut meliputi: kelarutan DA atau DD secara kuantitatif. H NMR mampu
(solubility), fleksibilitas, konformasi polimer,
menghasilkan data yang akurat dengan tingkat
viskositas, kristalinitas, luas permukaan yang variasi hasil yang rendah, sedangkan UV
tinggi (high surface area), porositas, kekuatan spektrometri dapat menganalisa sampel tanpa
tarik (tensile strength), konduktivitas,
terpengaruh oleh adanya kontaminasi protein dan
fotoluminesensi. Sedangkan sifat biologi kelembaban (kadar air) pada sampel. Pada
meliputi: biodegradabilitas, biokompatabilitas,
beberapa metode lain, adanya unsur-unsur lain
mukoadhesif, hemostatik, analgesik, penguat (impurities) dalam sampel dapat menciptakan
adsorpsi (adsorption enhancer), antimikroba, gangguan dan memberikan variasi yang besar
antikolesterolemia, dan antioksidan (Philibert et pada hasil percobaan. Hal yang perlu diperhatikan
al., 2017). pada analisa DA atau DD secara kuantitatif
Derajat asetilasi (DA) menunjukkan
adalah: waktu pengukuran, ketepatan metode, dan
persentase N-asetilglukosamin (GlcNAc) pada keakuratan hasil (Kasaai, 2009).
biopolimer kitin (Chatelet et al., 2001). Derajat
Pada kondisi asam (pH 3–6) gugus amino
deasetilasi (DD) menunjukkan hal sebaliknya, pada kitosan akan terprotonasi (pada pH 3 akan
yaitu proporsi glukosamin (GlcN) pada sepenuhnya terprotonasi; pKa 6,3), yang
biopolimer kitosan. Semakin tinggi DA atau membuat rantai polimer, khususnya gugus amina,
semakin rendah DD, maka akan semakin stabil bermuatan positif (Gambar 8). Kondisi tersebut
Gambar 8. Protonasi dan deprotonasi gugus amino kitosan yang diinduksi oleh kondisi asam dan
basa (Sampath et al., 2017)
57 Nainggolan (2023)
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
memungkinkan kitosan membentuk kompleks seperti molekul sulfat, fosfat, polimer anionik,
dengan molekul-molekul bermuatan negatif, polisakarida, protein, pewarna, lipid, enzim, sel
Nainggolan (2023) 58
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
tumor, protein dinding sel bakteri, DNA dan RNA kitosan dilanjutkan dengan tahapan deasetilasi.
(Mathur & Narang, 1990; Philibert et al., 2017; Tahapan tersebut berlaku baik untuk proses
Roy et al., 2017; Zargar et al., 2015). Hal tersebut ekstraksi secara kimiawi maupun enzimatik
juga menjelaskan mengapa kitosan mampu larut (Arnold et al., 2020). Tahapan pra-perlakuan
pada senyawa asam organik. Kitosan juga mampu bertujuan untuk mempersiapkan bahan baku
mengkelat (berikatan) dengan berbagai ion logam sehingga mempermudah proses ekstraksi. Khusus
karena adanya gugus hidroksil dari residu D- untuk bahan baku dari krustasea, tahapan pra-
glukosamin (Philibert et al., 2017). perlakuan dapat meliputi : pencucian, perebusan,
Kitin memiliki kestabilan yang tinggi pencacahan atau penggilingan untuk mengurangi
dikarenakan adanya disposisi ekuatorial yang ukuran partikel bahan baku, penyaringan ukuran
stabil dari semua substituen kitin. Selain itu kitin partikel bahan baku, dan pengeringan. Tahapan
juga memiliki cincin piranosa yang terhubung ini tidak semuanya dilakukan di berbagai proses
melalui ikatan β glikosidik yang memungkinkan ekstraksi kitin atau kitosan. Ada yang hanya
terbentuknya struktur rantai lurus berdekatan melakukan beberapa proses, seperti pencucian
dengan ikatan hidrogen antar rantai yang kuat dan pengeringan (Bastiaens et al., 2019).
(Mathur & Narang, 1990). Grup asetamida pada Mengingat kitin pada krustasea tersusun
N-asetilglukosamin berperan penting terhadap berikatan dengan protein dan mineral (lihat
kestabilan ikatan hidrogen pada kitin (Rinaudo, gambar 2 dan 3) dengan jumlah komponen protein
2006; Roy et al., 2017). dan mineral yang cukup tinggi, maka perlu ada
Secara fisik, penampakan kitin dan kitosan tahapan demineralisasi dan deproteinasi yang
terlihat sama, yaitu berupa serbuk kristal atau dilakukan secara berurutan. Kebanyakan isolasi
amorf tanpa pigmen warna (Mathur & Narang, kitin melalui proses demineralisasi terlebih
1990), yang berwarna putih atau putih dahulu, lalu dilanjutkan deproteinasi. Meski
kekuningan, dan tidak berbau (Amelia & demikian, kedua tahap tersebut dapat ditukar
Herdyastuti, 2017; Natalia et al., 2021). Hanya, urutannya (Bastiaens et al., 2019).
secara kimia dan biologi kitin dan kitosan Demineralisasi adalah tahapan penghilangan
memiliki karakter berbeda. Garis besar karakter mineral seperti kalsium karbonat dan kalsium
umum kitin dan kitosan terjabar pada Tabel 2. fosfat. Untuk proses demineralisasi secara kimia,
pelarut yang umum digunakan adalah HCl, HNO3,
2.6 Pemanfaatan Kitin dan Kitosan H2SO4, CH3COOH, and HCOOH; namun
diantara semua, HCl merupakan pelarut yang
Kitin dan kitosan digunakan secara luas paling sering digunakan (Bastiaens et al., 2019;
dalam berbagai industri. Philibert et al,
Kumari & Kishor, 2020). Berikut reaksi
menyatakan ada lebih dari dua ribu bentuk demineralisasi kalsium karbonat menggunakan
pemanfaatan kitin dan turunannya dalam berbagai asam klorida (Kumari & Kishor, 2020) :
bidang industri, seperti bioteknologi, pertanian,
kesehatan, pengolahan air, kosmetik, fotografi, 𝐶𝑎𝐶𝑂! + 2 𝐻𝐶𝑙 → 𝐶𝑎𝐶𝑙" + 𝐻" 𝑂 + 𝐶𝑂"
oftalmologi (terkait kesehatan mata), dan pangan Proses demineralisasi matriks kitin dengan
(Philibert et al., 2017). Pemanfaatan kitin dan HCl akan menghasilkan garam kalsium larut air.
kitosan tidak lepas dari karakter biopolimer Selanjutnya bahan yang telah mengalami
tersebut yang dipengaruhi oleh DA, DP, MW, dan demineralisasi tersebut disaring, dicuci dengan air
mungkin juga PA. Sejauh ini kitosan lebih luas distilasi hingga pH netral, dan dikeringkan. Proses
pemanfaatannya dikarenakan reaktivitasnya yang demineralisasi akan berbeda-beda, tergantung
lebih baik disbanding kitin. Garis besar pada jenis bahan baku, waktu ekstraksi, suhu,
pemanfaatan kitin dan kitosan terjabar pada Tabel ukuran cangkang atau kulit, konsentrasi asam, dan
3. rasio antara solut (zat terlarut) dan solven
(pelarut). Namun perbandingan solut/solven
3. METODE sebaiknya didasarkan pada stoikiometri, misalnya
2 mol asam klorida untuk menguraikan 1 mol
3.1 Ekstraksi kitin secara kimiawi
kalsium karbonat. Proses demineralisasi biasanya
Secara umum tahapan ekstaksi (isolasi) kitin dilakukan pada suhu tinggi agar pelarut lebih
terdiri atas tiga tahapan utama, yaitu : pra- mudah berdifusi ke dalam matriks kitin (Kumari
perlakuan (pre‐treatment), demineralisasi, dan & Kishor, 2020).
deproteinasi. Selanjutnya, untuk memperoleh
59 Nainggolan (2023)
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
Nainggolan (2023) 60
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
Kosmetik - Kitin, kitosan, dan turunannya banyak digunakan dalam kosmetik terutama karena
memiliki fungsi antioksidan, pembersihan, perlindungan, humektan (zat higroskopis
untuk menjaga kelembaban), dan antioksidan (Casadidio et al., 2019).
- Kitosan telah digunakan sebagai komponen produk perawatan rambut, sampo, produk
pewarna, hairspray, krim dan losion (wajah, tangan, dan tubuh), pewarna kosmetik
(makeup, cat kuku, eye shadow, dan lipstik), produk deodoran, dan mikro-enkapsulasi
zat aktif produk kosmetik (Morin-Crini et al., 2019).
Pertanian Sifat chelating kitosan sangat baik sebagai bahan anti-fungi. Kitosan juga bersifat
bakterisidal (membunuh bakteri) dan bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri).
Kitosan mampu mengaktifkan respon pertahanan tanaman dan berfungsi sebagai elisitor
(pemicu terbentuknya metabolit sekunder sebagai fungsi pertahanan diri), sehingga sering
digunakan dalam pengendalian penyakit tanaman. Fungsi tersebut membuat kitosan sering
digunakan sebagai komponen biosida dan biopestisida. Kitosan juga digunakan sebagai
pelapis benih, buah, sayuran; dan pupuk hayati (bio fertilizer) (Morin-Crini et al., 2019).
Industri Kitosan digunakan sebagai bahan pengikat pewarna, laminasi atau pelapis komponen
tekstil tekstil, agen pengikat bahan non-tenun, modifikasi permukaan tekstil, komponen pencetak
tekstil, bahan pengawet dan deodoran tekstil, serat non-alergi, pemberi sifat anti-mikroba,
dan benang bedah (Morin-Crini et al., 2019).
Lingkung Kitosan mampu mengikat polutan dengan selektivitas sangat baik sehingga sering
an digunakan sebagai biosorben (bahan biologis pasif penghilang polutan larutan), matriks
polimer adsorben penghilang pewarna, agen koagulasi dan flokulasi untuk
penjernihan/pemurnian air dan pengolahan limbah cair (Morin-Crini et al., 2019).
Bioteknol - Kitin dan kitosan cocok digunakan sebagai bahan pendukung (support) untuk imobilisasi
ogi enzim (Krajewska, 2004; Verma et al., 2020).
- Bead dari kitosan dapat dibuat menjadi berbagai ukuran dan porositas sehingga cocok
sebagai bahan imobilisasi enzim (Kumari & Kishor, 2020).
- Kitin dan kitosan cocok digunakan sebagai biosensor. Nanokomposit kitosan dan
Graphene Oxide mampu secara sensitif dan cepat mendeteksi adanya tifus melalui
pendeteksian DNA (Moura et al., 2016).
- Imunosensor elektrokimia berbasis kitosan telah digunakan sebagai biomarker untuk
mendeteksi hepatitis B, berbagai kanker, kehamilan, kandungan besi darah, ochratoxin
A, dan bakteri Shigella flexneri pemicu diare (Suginta et al., 2013).
- Kitosan juga digunakan untuk komponen instrumen analisa di laboratorium, seperti
untuk pemisahan protein, matrix untuk afinitas dan permeasi gel, dan kromatografi
(Morin-Crini et al., 2019)
Gambar 9. Mekanisme deasetilasi kitin dalam larutan alkali (contoh: NaOH) (Bastiaens et al.,
2019; Novikov et al., 2023; Vicente et al., 2021)
61 Nainggolan (2023)
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
Gambar 10. Reaksi asam laktat dengan kalsium karbonat menghasilkan kalsium laktat
Gambar 11. Deasetilasi kitin menjadi kitosan dengan enzim kitin deasetilase (Tsigos et al., 2000)
Nainggolan (2023) 62
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
63 Nainggolan (2023)
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
Nainggolan (2023) 64
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
perlakukan enzimatik untuk memperoleh kitin masa keberlangsungan hidup mikroba tersebut.
(Deng et al., 2020; Gopalakannan et al., 2000; Bahkan deasetilasi kitin secara enzimatik menjadi
Manni et al., 2010; Marzieh et al., 2019; Mhamdi kitosan sejauh ini belum membuahkan hasil
et al., 2017; Nasri et al., 2011; Paul et al., 2015; berarti karena tingkat keberhasilannya yang boleh
Pérez et al., 2022; Sila et al., 2014; Xin et al., dibilang masih rendah.
2020; Younes et al., 2012, 2014b). Ada pula yang Di sisi lain, keuntungan dari proses ekstraksi
sepenuhnya mengisolasi kitin dan kitosan secara secara enzimatik adalah dapat menghasilkan
enzimatik (Tabel 4). Sangat disayangkan produk sesuai kondisi alaminya (Deng et al.,
penelitian-penelitian tersebut menunjukkan 2020), dengan proses yang lebih ramah
bahwa dibanding secara kimiawi, nilai lingkungan. Selain itu, senyawa-senyawa di
deproteinasi limbah udang yang diproses secara substrat yang menjadi hasil samping proses
fermentasi lebih rendah dengan rendemen dan ekstraksi dapat diisolasi dan dimanfaatkan lebih
derajat deasetilasi kitin yang juga lebih rendah. lanjut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
Guna memperoleh hasil ekstraksi yang proses fermentasi limbah udang menghasilkan
optimum, beberapa penelitian tersebut mencoba larutan yang kaya akan protein, karotenoid
mengawinkan deproteinasi enzimatik dengan (khususnya astaxanthin), mineral (khususnya
mild-demineralisasi menggunakan bahan kimia kalsium), dan lemak. Protein hasil fermentasi
yang lebih ramah lingkungan (asam asetat, asam tersebut juga kaya akan asam amino esensial
sitrat, asam laktat) dan suhu proses cukup rendah (Arancibia et al., 2014; Armenta-López et al.,
(suhu ruang hingga maksimal 60°C) (Marzieh et 2002; Deng et al., 2020). Hal tersebut
al., 2019; Pérez et al., 2022; Rao et al., 2000). Ada menunjukkan proses ekstraksi limbah udang
pula yang memperkuat proses deproteinasi secara enzimatik tidak hanya menghasilkan
menggunakan strain bakteri penghasil protease produk utama, yaitu kitin dan kitosan, namun juga
termutasi (Xin et al., 2020), atau menggunakan produk-produk lain yang tak kalah manfaat dan
strain bakteri protease yang termostabil (Mhamdi nilainya dibanding produk utama, yaitu protein
et al., 2017). Semua upaya tersebut mampu bermutu tinggi, karotenoid, kalsium, dan mungkin
menurunkan nilai protein dan mineral dalam saja lemak bermutu tinggi (yang kaya akan asam
limbah udang antara 88–98%. Namun waktu lemak tak jenuh). Produk-produk tersebut dapat
inkubasi yang cukup lama atau perlu adanya tahap dimanfaatkan lebih lanjut untuk produksi pakan
persiapan strain bakteri sebelum digunakan atau pangan bermutu tinggi, pangan fungsional,
menjadi hal yang perlu dipertimbangkan. atau untuk kepentingan terkait dunia kesehatan.
Hingga kini, proses ekstraksi kitin dan Hal yang juga perlu diapresiasi adalah penelitian
kitosan skala industri masih dilakukan secara yang ada sejauh ini sudah cukup berhasil
kimiawi. Waktu proses yang pendek (dari 30 menemukan strain mikroba atau enzim, serta
menit hingga maksimal 6 jam), sistem ekstraksi kondisi yang diperlukan guna secara efektif
standar yang mudah diatur dan disesuaikan, mengekstaksi kitin dari kulit udang. Di sisi lain,
dengan hasil yang optimum (umumnya nilai meski deasetilasi kitin menjadi kitosan masih
demineralisasi dan deproteinasi >85%; rendemen perlu eksplorasi lebih, namun penelitian
dan DD kitin yang tinggi) merupakan kelebihan menunjukkan modifikasi kitin atau kitosan secara
dari proses kimiawi tersebut. Terlebih bahan enzimatik akan menghasilkan produk yang jelas
kimia utama yang umumnya digunakan hanyalah strukturnya, khususnya dari sisi pola asetilasi
NaOH dan HCl, yang tentu membuat proses (PA) polimer atau oligomer. Hal tersebut tidak
kimiawi cukup ekonomis. Ini berbeda dengan dapat diperoleh melalui proses kimiawi. Lebih
kitin dan kitosan yang diekstraksi secara lanjut disebutkan, PA mempengaruhi aktivitas
enzimatik karena membutuhkan waktu fermentasi biologi kitosan. Dan proses enzimatik
yang cukup panjang (umumnya minimal 6 jam memungkinkan untuk mendapatkan kitosan
hingga beberapa hari), jumlah enzim yang cukup dengan PA tertentu dengan aktivitas yang sangat
banyak (rasio E/S ≥5 U/mg protein), dengan juga baik (Basa et al., 2020; Hamer et al., 2015).
harus mempertimbangkan kondisi optimum kerja Meski demikian, ekstraksi kitin dan kitosan
enzim (pH, suhu dan waktu inkubasi, rasio E/S, secara enzimatik masih memiliki tantangan
serta faktor penghambat kerja enzim) dan metode tersendiri yang masih harus diselesaikan sehingga
recovery enzim. Terlebih jika proses fermentasi prosesnya layak digunakan di ranah industri.
dilakukan menggunakan strain mikroba hidup, Diantaranya, berupaya memperpendek masa
maka perlu diperhatikan asupan karbon serta fermentasi dengan hasil optimum. Lalu mencoba
65 Nainggolan (2023)
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
Nainggolan (2023) 66
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
for facilitating shrimp peeling: A review. Chaabouni, M., Nasri, M., & Jellouli, K.
Innovative Food Science and Emerging 2013. Optimization of chitin extraction from
Technologies. 45: 228–240. shrimp waste with Bacillus pumilus A1
using response surface methodology.
De Grave, S., Pentcheff, D., Ahyong, S. T., Chan,
International Journal of Biological
T.-Y., Crandall, K. A., Dworschak, P. C.,
Macromolecules. 61: 243–250.
Felder, D. L., Feldmann, R. M., Fransen, C.
H. J. M., Goulding, La. Y. D., Lemaitre, R., Gonçalves, C., Ferreira, N., & Lourenço, L. 2021.
Low, M. E. Y., Martin, J. W., Ng, P. K. L., Production of low molecular weight
Schweitzer, C. E., Tan, S. H., Tshudy, D., & chitosan and chitooligosaccharides (COS):
Wetzer, R. 2009. A classification of living A review. Polymers. 13(15): 1–23.
and fossil genera of decapod crustaceans. https://doi.org/10.3390/polym13152466
Raffles Bulletin of Zoology. 21: 1–109.
Gopalakannan, A., Indra Jasmine, G.,
Deng, J. J., Mao, H. H., Fang, W., Li, Z. Q., Shi, Shanmugam, S. A., & Sugumar, G. 2000.
D., Li, Z. W., Zhou, T., & Luo, X. C. 2020. Application of proteolytic enzyme, papain
Enzymatic conversion and recovery of for the production of chitin and chitosan
protein, chitin, and astaxanthin from shrimp from shrimp waste. J. Mar. Biol. Ass. India,
shell waste. Journal of Cleaner Production, 42(2): 167–172.
271, 122655.
Hamed, I., Özogul, F., & Regenstein, J. M. 2016.
Ding, J., & Guo, Y. 2022. Recent Advances in Industrial applications of crustacean by-
Chitosan and its Derivatives in Cancer products (chitin, chitosan, and
Treatment. Frontiers in Pharmacology, chitooligosaccharides): A review. Trends in
13(April). 1–13. Food Science and Technology. 48: 40–50.
Evans, L. (n.d.). Indian white prawn Hamer, S. N., Cord-Landwehr, S., Biarnés, X.,
(Fenneropenaeus indicus Edwards, 1837). Planas, A., Waegeman, H., Moerschbacher,
In Aquaculture Feed and Fertilizer B. M., & Kolkenbrock, S. 2015. Enzymatic
Resources Information System (AFFRIS), production of defined chitosan oligomers
Food and Agriculture Organization of the with a specific pattern of acetylation using a
United Nations. [ONLINE]. From: combination of chitin oligosaccharide
https://www.fao.org/fishery/affris/species- deacetylases. Scientific Reports. 5: 1–9.
profiles/indian-white-prawn/indian-white-
Harmsen, R. A. G., Tuveng, T. R., Antonsen, S.
prawn-home/en/#:~:text=Morphological
G., Eijsink, V. G. H., & Sørlie, M. 2019. Can
characteristics&text=Shrimp have a head
we make Chitosan by Enzymatic
(thorax,five pairs of walking legs. [Diakses
Deacetylation of Chitin? Molecules. 24(21).
pada 27 Februari 2023].
https://doi.org/10.3390/molecules24213862
Fernando, L. D., Dickwella Widanage, M. C.,
He, X., Li, K., Xing, R., Liu, S., Hu, L., & Li, P.
Penfield, J., Lipton, A. S., Washton, N.,
2016. The production of fully deacetylated
Latgé, J. P., Wang, P., Zhang, L., & Wang,
chitosan by compression method. Egyptian
T. 2021. Structural Polymorphism of Chitin
Journal of Aquatic Research. 42(1): 75–81.
and Chitosan in Fungal Cell Walls From
Solid-State NMR and Principal Component Hülsey, M. J. 2018. Shell biorefinery: A
Analysis. Frontiers in Molecular comprehensive introduction. Green Energy
Biosciences. 8: 1–12. and Environment. 3(4): 318–327.
Gardner, K. H., & Blackwell, J. 1975. Refinement Jang, M. K., Kong, B. G., Jeong, Y. Il, Lee, C. H.,
of the structure of β‐chitin. Biopolymers. & Nah, J. W. 2004. Physicochemical
14(8): 1581–1595. characterization of α-chitin, β-chitin, and γ-
chitin separated from natural resources. In
Gartner, C., Peláez, C. A., & López, B. L. 2010.
Journal of Polymer Science, Part A:
Characterization of chitin and chitosan
Polymer Chemistry. 42(14) : 3423–3432.
extracted from shrimp shells by two
methods. E-Polymers. 069: 1–16. Kameda, T., Miyazawa, M., Ono, H., & Yoshida,
M. 2005. Hydrogen bonding structure and
Ghorbel-Bellaaj, O., Hajji, S., Younes, I.,
stability of α-chitin studied by 13C solid-
67 Nainggolan (2023)
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
Nainggolan (2023) 68
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
69 Nainggolan (2023)
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
Nainggolan (2023) 70
MANFISH JOURNAL, Vol. 4. No. 1 (2023), Hal. 50-71
71 Nainggolan (2023)