Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

16 Handoko 23 (386-408)

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 23

KONSEP MIRANDA RULE

DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA


PERSPEKTIF MAQA>S{ID AL-SHARI>’AH

Priyo Handoko
Universitas Islam Negeri
priyohandoko@uinsby.ac.id
Sunan Ampel
Anis Farida Jl. A. Yani 117 Surabaya, Indonesia
anisfarida@uinsby.ac.id

Abstract: This article examines the application of the Miranda


rule concept in Criminal Procedure Law in Indonesia which is
viewed from the perspective of maqa>s}id ash-syari>'ah. The
research method used in this research is normative law which is
described in an explorative-qualitative manner. The results of
the study explain that the existence of The Miranda Rule
concept in the Criminal Procedure Code in Indonesia is not
entirely included. It is limited only to Article 52 of the Criminal
Code which gives freedom to suspects or defendants in giving
information. The right to remain silent is not justified in the
Criminal Procedure Code as in Mirnada Right. This is because
in some cases there was coercion by the authorities which then
led to an inaccurate decision by the court. So maqa>s}id ash-
syari>'ah views the concept of the miranda rule of benefit to be
applied in criminal law in Indonesia, especially the Criminal
Procedure Code as a form of safeguarding human dignity and
human rights. Mistakes or harm should be minimized or even
eliminated when dealing with human life or human dignity. So
the author concludes that it is necessary for lawmakers or in this
case the legislature and the government to carry out legal
reforms to the existence of the rights of suspects or defendants
in procedural law in accordance with the objectives or benefits
of a law.
Keywords: Miranda Rule, maqa>s}id al-shari>’ah, KUHAP, hifz al-
Irdi

Abstrak: Artikel ini mengkaji terhadap penerapan konsep


Miranda Rule dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia yang
dipandang dalam perspektif maqa>s}id al-shari>’ah. Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah hukum
normatif yang diuraikan secara ekploratif-kualitatif. Hasil
al-Jinâyah: Jurnal Hukum Pidana Islam
Vol. 7, No. 2, Desember 2021; P-ISSN 2460-5565; E-ISSN 2503-1058
penelitian menjelaskan bahwa keberadaan konsep Miranda
Rule dalam Hukum Acara Pidanan di Indonesia tidak seluruhnya
dimasukkan. Terbatas hanya dalam pasal 52 KUHP yang
memberi kebebasan terhadap tersangka atau terdakwa dalam
memberi keterangan. Hak untuk diam (the right to remain
silent) tidak mendapat justifikasi dalam KUHAP seperti dalam
Miranda Right. Karena senyatanya beberapa kassus terdapat
pemkasaan oleh aparat yang kemudian berujung pada putusan
yang kurang cermat oleh pengadilan. Sehingga maqa>s}id al-
shari>’ah memandang konsep Miranda Rule maslahat untuk
diterapkan dalam hukum pidana di Indonesia terkhusus
KUHAP sebagai bentuk penjagaan terhadap martabat manusia
dan Hak Asasi Manusia (HAM). Kekeliruan-kekeliruan atau
madarat seyogyanya di tekan sekecil mungkin atau bahkan
dihilangkan ketika berhadapan dengan nyawa manusia atau
martabat manusia. Sehingga penulis berkesimpulan perlu
kiranya pembuat undang-undang atau adalam hal ini legislatif
bersama pemerintah melakukan legal reform terhadap
keberadaan hak-hak tersangka atau terdakwa dalam hukum
acara sesuai dengan tujuan atau maslahat suatu hukum
Kata Kunci: Miranda Rule, maqa>s}id al-shari>’ah, KUHAP, h}ifz} al-
‘Ird}

Pendahuluan
Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah
daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah. Adagium
tersebut sudah sepatutnya menjadi ruhul ijtihad seorang hakim
dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara.
Kecermatan dan kehati-hatian adalah suatu hal yang mutlak
dimiliki seorang hakim. Namun dalam konteks Indonesia terlebih
dalam Hukum Acara Pidana, dikenal istilah integrated criminal
justice system atau sistem hukum pidana terpadu yang didalamnya
ada Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan. 1 Sehingga putusan hakim sangat mungkin
dipengaruhi oleh penyidikan sebagai hulu dari integrated criminal
justice system.

1
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System): Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme (Bandung: Bina Cipta, 1996), 8.

al-Jinâyah | Volume 7 Nomor 2 Desember 2021 | 387


Lembaga Kepolisian mempunyai salah satu kewenangan
penyidikan seringkali kurang cermat dalam melakukan tugas
pokok dan fungsinya sebagai penyidik. Setidak-tidaknya
IMPARSIAL sebagai organisasi advokasi dalam bidang Hukum
dan Ham mencatat ada tiga kasus yang diputus dengan
menyisakan tunggakan keadilan bagi para terdakwa yang dimulai
dari tidak disertakan penasihat hukum dalam awal penyidikan
kasus-kasus tersebut. Bahkan terjadi pula pemaksaan terhadap
tersangka untuk mengakui suatu perbuatan yang belum tentu
dilakukannya. Ketiga kasus tersebut adalah pertama, kasus Zulfikar
Ali yang dipaksa untuk mengakui kepemilikan heroin sebesar 300
gram.
Kasus kedua yaitu kasus Zainal Abidin yang karena ketidak
tahuannya dijerat hukuman mati karena kedapatan membawa
ganja kering sebesar 58,7 Kg yang sebenarnya titipan dari seorang
temannya. Selanjutnya kasus yang ketiga menimpa Rodrigo
Gularte seorang kewarganegaraan Brazil yang karena kurang
cakapnya (gangguan mental) dimanfaatkan temannya untuk
membawa kokain sebesar19 Kg. 2
Apabila diinventarisir dari beberapa kasus diatas, dapat
diketemukan beberapa pelanggaran terhadap tersangka. Hak yang
seharusnya dipenuhi oleh penyidik saat melakukan penyidikan
tidak didapatkan oleh tersangka. Seperti halnya penyediaan
penasihat hukum, penerjemah, dan hak-hak lainnya yang diberi
justifikasi oleh perundang-undangan, disimpangi dan bahkan
dirasa suatu hal yang lazim ketika penyidik menempatkan
tersangka pada bilik ketersudutan.
Serupa namun tak sama kasus yang demikian pernah
menjadi preseden di Negara Amerika Serikat (USA) pada tahun
1966. 3 Berawal dari kasus Miranda seorang warga Arizona yang

2
Tim Penyusun, “Hukuman Mati dan Peradilan yang Tidak Adil,” diakses 18 September
2021, https://imparsial.org/evaluasi -praktik-hukuman-mati-pada-era-pemerintahan-
jokowi-2014-2020-imparsial/.
3
M Sofyan Lubis, Prinsip Miranda Rights Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan (Jakarta:
Pustaka Yustitia, 2010), 16.

388 | Handoko – Farida | Implementasi Konsep Miranda Rule ...


dituduh melakukan pemerkosaan dan tanpa penawaran untuk
didampingi seorang advokat. Penandatanganan berita acarapun
terpaksa dibubuhkan oleh Miranda setelah melelui tekanan verbal
yang bersifat intimidatif dan fatalnya Miranda masih belum
mendapatkan pendampingan dari advokat. Sedangkan konstitusi
Amerika memberi justifikasi terhadap due process of law dan prinsip
anti-kriminalisasi diri dan bahkan secara expressive verbis
menyebutkan hak pendampingan penasihat hukum terhadap
tersangka. Konstitusi Amerika serikat tersebut melegitimasi
putusan hakim dalam memutus perkara Miranda. Menurut hakim
perbuatan penyidik yang melakukan intimidasi merupakan
pencideraan terhadapap harkat dan martabat manusia, 4 meskipun
bukan dalam ranah intimidasi fisik. Putusan hakim ini pula telah
menjadi landmark decision pada masanya. Sehingga memunculkan
sebuah kaidah the right remain silent dan dikenal oleh kalangan
yuris sebagai Miranda Right, atau Miranda Rules.
Pada dasarnya Miranda Rules merupakan hak-hak
konstitusional dari tersangka atau terdakwa yang meliputi hak
untuk tidak menjawab atas pertanyaan pejabat bersangkutan
dalam proses peradilan pidana dan hak untuk didampingi atau
dihadirkan penasihat hukum sejak dari proses penyidikan sampai
berakhirnya proses peradilan. Miranda Rules merupakan hak
konstitusional yang bersifat universal dan berlaku hampir di
seluruh negara hukum di dunia. 5
Selanjutnya Hukum Acara Pidana Indonesia yang lahir
dari rahim eropa continental mencoba memadu padankan miranda
right tersebut dalam KUHAP. Namun terkhusus the right to silent
tidak secara khusus diakomodir dalam KUHAP. Hal tersebut
dapat dilihat dalam pasal 52 KUHAP yang hanya menyatakan
bahwa “dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan

4
Munir Fuady dan Sylvia Laura, Hak Asasi Tersangka Pidana (Jakarta: Prenada Media
Group, 2015), 92.
5
Dwi Seno Wijanarko dan Irman Jaya, “Kedudukan Miranda Rules dan Penegakan
Hukumnya dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,” Jurnal Hukum Sasana 7, no. 2
(Desember 2021): 185.

al-Jinâyah | Volume 7 Nomor 2 Desember 2021 | 389


pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan
keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.” Sehingga
konsep the right to silent berbeda dengan rumusal pasal 52
KUHAP. The right to silent atau hak untuk diam menjadi
kewajiban untuk diberitahukan penyidik kepada tersangka
sebelum proses interogasi atau penyidikan dilakukan.
Prinsip konsep the right to silent dalam miranda rule
mempunyai tujuan dan maksud yang sama dengan pandangan
maqa>s}id al-shari>’ah yang mengutamakan tujuan dari sebuah
hukum. Maqa>s}id al-shari>’ah menempatkan manusia sebagai subjek
dalam pembuatan sebuah regulasi atau aturan. Hukum-hukum
yang diterapkan dalam Islam mempunyai segmentasi tertentu
dalam tujuannya yang mengedepankan penjagaan terhadap hak-
hak yang dimiliki setiap manusia. Terutama dalam konteks the
right to silent merupakan upaya menjaga martabat manusia dan hak
asasi manusia (HAM). Nilai-nilai tersebut merupakan manifestasi
yang ditegakkan pula dalam maqa>s}id al-shari>’ah terutama dalam
konsep h}ifz} al-’ird}.6 Nilai keluhuran dan kehormatan seoarang
manusia menjadi titik kunci dari konsep h}ifz} al-’ird} yang harus
menjadi pertimbangan filosofis dalam sebuah regulasi atau aturan
dalam hukum Islam.
Sejatinya nilai-nilai yang dimunculkan dalam konsep
miranda rule dan maqa>s}id al-shari>’ah tidak tercerabut dari
Pancasila sebagai filosofische grondlag dan UUD NRI Tahun 1945
yang menjadi sumber aturan-aturan dibawahnya. Nilai-nilai
kemanusian sangat erat dipegang teguh dan dipertahankan dalam
konsep Negara hukum layaknya Indonesia. Sila kedua dalam
pancasila juga terang menegaskan bahwa manusia adalah suatu
subjek yang layak untuk mendapat keadilan dan dilakukan dengan
cara beradap. Inilah yang dimaksud oleh Satjipto Raharjo sebagai
hukum untuk manusia. 7

6
Syahrul Sidiq, “Maqa>s}id al-shari>’ah dan Tantangan Modernitas: Sebuah Telaah
Pemikiran Jasser Auda,” Jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia 7, no. 1 (2017): 155.
7
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir Mengalir: Catatan Kritis Tentang
Pergulatan Manusia dan Hukum (Jakarta: Kompas, 2007), ix.

390 | Handoko – Farida | Implementasi Konsep Miranda Rule ...


Selain dalam Pancasila, perihal kemanusiaan juga secara
expresive verbis terang dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 28 A –
J. Namun seringkali aturan-aturan organik dibawah UUD NRI
1945 seringkali menyimpangi nilai-nilai kemanusiaan tersebut.
Inilah yang kemudian menjadi masalah dalam pengembangan legal
subtance. Selain seringkali pincang dalam legal subtance, penegak
hukum sebagai legal structure juga menjadi sorotan tersendiri.
Nilai-nilai kemanusian seringkali diabaikan dan diletakkan jauh
demi tercapainya kepastian sebuah hukum.
Perihal konsep miranda rule dalam khasanah akademis
teruatama bidang hukum telah mendapat perhatian tersendiri.
Berikut beberapa penelitian terkait konsep miranda rule. Pertama,
penelitian yang dilakukan oleh Pidel Kastro Hutapea dan Indra
Karianga dengan judul Prinsip Miranda Rule “The Right To
Remain Silent” dalam Perspektif Perbandingan Hukum. 8
Penelitian ini terfokus pada perbandingan hukum USA dan
hukum Indonesia terkusus dalam Hukum Acara Pidana.
Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan
oleh penulis adalah dalam hal menambil objek prinsip Miranda
Rule, namun terdapat perbedaan dengan penelitian yang dilakukan
oleh penulis adalah dalam perspektif yang digunakan. Penulis lebih
fokus pada perspektif maqa>s}id al-shari>’ah.
Penelitian yang kedua dilakukan oleh Zainuddin dengan
judul Penerapan Prinsip Miranda Rule Dalam Proses Penyidikan
Perkara Pidana (Studi Kasus Kepolisian Resort Parigi Moutong). 9
Penelitian ini berfokus pada penerapan prinsip miranda rule dari
proses penyidikan di sebuah lembaga kepolisian. Memngabil dua
isu hukum sebagai berikut: 1) Bagaimanakah Penerapan Prinsip
Miranda Rule di dalam Proses Penyidikan Perkara Pidana di
Wilayah Hukum Kepolisian Resort Parigi Moutong ?; 2).
8
Pidel Kastro Hutapea dan Indra Karianga, “Prinsip Miranda Rule ‘The Right To Remain
Silent’ dalam Perspektif Perbandingan Hukum,” Jurnal Media Iuris 2, no. 3 (Oktober
2019): 393–406.
9
Zainuddin, “Penerapan Prinsip Miranda Rule Dalam Proses Penyidikan Perkara Pidana:
Studi Kasus Kepolisian Resort Parigi Moutong,” Jurnal Legal Opinion 4, no. 6 (2016): 1–
17.

al-Jinâyah | Volume 7 Nomor 2 Desember 2021 | 391


Bagaimanakah pemberian sanksi terhadap oknum penegak hukum
yang mengabaikan Prinsip Miranda Rule di Wilayah Hukum
Kepolisian Resort Parigi Moutong? Penelitian ini mempunyai
kesamaan dengan penelitian yang penulis lakukan adalah dalam
hal penggunaan obyek prinsip miranda rule. Namun penelitian ini
tidak menggunak perpektif maqa>s}id al-shari>’ah seperti yang penulis
lakukan.
Selanjutnya penulis juga berangkat dari penelitian yang
ditulis oleh Saibatul Hamdi dan Khabib Mustofa dengan judul
Mengahdirkan Konsep H}ifz} al-’ird} dalam Bermedia Sosial: Upaya
Menyikapi Asusila Abu-Abu di Youtube. 10 Fokus penelitian ini
yakni merekontruksi ulang adab bermedia sosial dengan
mengedepankan nilai-nilai luhur dan menjunjung martabat
manusia sebagai inti dari konsep h}ifz} al-’ird}. Isu hukumnya adalah
sebagai berikut: 1). Melacak motif munculnya konten asusila abu-
abu di youtube; 2) wawasan al-Qur’an tentang h}ifz} al-’ird}; 3) h}ifz}
al-’ird} sebagai etika bermedia sosial khususnya di youtube.
Penelitian mempunyai kesamaan dengan penelitian penulis adalah
dalam cara mengambil perspektif atau pisau analisnya, namun
dalam penelitian ini tidak menganalisis prinsip Miranda Rule.
Beranjak dari litetature review yang telah disampaikan
diatas penulis berkeinginan untuk mengambil sebuah tema
penelitian tentang Konsep Miranda Rule Dalam Hukum Pidana
Di Indonesia Perspektif Maqa>s{id al-shari>’ah. Karena penelitian-
penelitian terdahulu belum pernah memotret Miranda Rule dari
sebuah perspektif maqa>s{id al-shari>’ah. Latar belakang sistem
hukum antara Miranda Rule dan maqa>s{id al-shari>’ah akan menjadi
kombinasi yang unik dalam penelitian ini. Selain itu penelitian ini
juga memotret keberlakuan prinsip Miranda Rule hukum pidana
di Indonesia, sehingga nantinya mampunya tercipta harmonisasi
dan pembaharuan sebuah hukum pidana di Indonesia.

10
Saibatul Hamdi dan Khabib Mustofa, “Mengahdirkan Konsep Hifz al-Irdi dalam
Bermedia Sosial: Upaya Menyikapi Asusila Abu-Abu di Youtube,” El Madani: Jurnal
Dakwah dan Komunikasi Islam 1, no. 2 (2020): 141–62.

392 | Handoko – Farida | Implementasi Konsep Miranda Rule ...


Fokus dari pembahasan tulisan ini pada dua hal. Pertama
pada: “bagaimana konsep Miranda Rule diakomodir dalam
Hukum Pidana di Indonesia?” Kedua pada: “bagaimana perspektif
Maqa>s{id al-shari>’ah terhadap konsep Miranda Rule?”

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif
(normative legal research), yakni penelitian terhadap norma-norma
yang terdapat dalam hukum positif, yang memandang hukum
sebagai kaidah tetulis ataupun tidak tertulis atau suatu keputusan
dari lembaga yang berwenang. Secara sederhana penelitian
normatif merupakan penelitian yang objek kajiannya meliputi
norma dan kaidah dasar, asas-asas hukum, peraturan perundang-
undangan, perbandingan hukum, doktrin, serta yurisprudensi. 11
Penulis mengumpulkan bahan hukum yang dijadikan basis
penelitian dalam artikel ini dengan mengelompokkan ke dalam
dua kaetgori bahan hukum, yakni bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana;
Constitution of United State dan Buku-Buku penunjang lainnya.
Selain penulis juga menggali bahan hukum sekunder terkait
penelitian ini sebagai penjelas atas bahan hukum primer yang telah
didapatkan sebelumnya. Bahan hukum sekunder yang penulis
peroleh yakni terkait pelanggaran-pelanggaran terkait penyidikan
yang berujung pada putusan yang kurang berkeadilan dan
menyisakan pelanggaran kemanusian terhadap terdakwa.
Pengolahan bahan hukum pada hakikatnya merupakan
kegiatan untuk mensistematisasi terhadap bahan-bahan hukum.
Sitematisasi memilki makna membuat klasifikasi terhadap bahan-
bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan
kontruksi. 12 Bahan hukum yang telah tersusun secara sitematis
akan dianalisi menggunakan metode analisis eksploratif-kualitatif,

11
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengamtar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), 119.
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), 251–52.

al-Jinâyah | Volume 7 Nomor 2 Desember 2021 | 393


Analisis eksploratif merupakan menganalisa sesuatu yang menarik
perhatian yang belum diketahui, belum difahami, dan belum
dikenal dengan baik. Hasil bahan hukum yang telah dikumpulkan,
kemudian dianalisis untuk memperloleh pengertian yang
mendalam dan komrehensif guna mendapatkan pemecahan
masalah yang tersedia.

Prinsip Miranda Right dalam Miranda Rule


Prinsip Miranda Rule berasal dari kasus seorang yang
bernama Miranda warga Negara Arizona USA. Miranda dituduh
telah melakukan tindak pidana pemerkosaan. Sebetulnya kasus
yang dilakukan Miranda tersebut masuk dalam perbuatan
pemerkosaan yang umum, namun akhirnya mendapat atensi lebih
karena pada proses penyidikan Miranda mendapat intimidasi
untuk mengakui kesalahannya. Hal tersebut diperparah dengan
tidak adanya pendampingan dari penasihat hukum saat
pemeriksaan. 13
Berangkat dari kasus tersebut akhirnya suatu aturan
muncul yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Miranda
Rule. Sebuah aturan yang didedikasikan terhadap harkat dan
martabat manusia. Karena pada faktanya di beberapa Negara yang
terbilang maju dan modern masih sering dijumpai paksaan secara
fisik maupun psikis guna memaksa tersangka mengakui
perbuatannya. Praktek yang demikan merupakan pelanggaran
terhadap prinsip Miranda Rule. 14 Sebagaimana pernyataan hukum
Hakim dalam kasus Miranda:15
“it is obvious that such an interrogation environment is created
for no puspose other than to subjugate the individual to the will
of his examiner. This atsmosphere carries its own badge of
intimidation to be sure, this not physical intimidation, but it is
equally destructive of human dignity”.

13
Fuady dan Laura, Hak Asasi Tersangka Pidana, 92.
14
Fuady dan Laura, 93.
15
Fuady dan Laura, 92.

394 | Handoko – Farida | Implementasi Konsep Miranda Rule ...


Efek yang ditimbulkan dari intimidasi tersebut membawa
tersangka pada suasana tertekan dan dengan terpaksa mengakui
sesuatu yang belum tentu dilakukannya. Meskipun intimidasi yang
dilakukan bukan dalam bentuk fisik tapi secara kemanusiaan hal
tersebut sama sekali tidak dibenarkan. Sehingga dapat dilihat
bahwa Miranda rule merupakan derivasi dari konsep kemanusiaan
dan kemerdekaan individu yang dijamin oleh HAM sebagaimana
telah mendapat justifikasi konstitusinal pula dalam Konstitusi
Negara Amerika Serikat.
Keseriusan Amerika serikat dalam penjagaan terhadap
harkat dan martabat manusia Nampak jelas terlihat dengan
dicantumkannya beberpa norma terkait dengan hak asasi manusia.
Selain itu hak tersangka untuk mendapatkan penasihat hukum
juga telah tercantum dalam Konstitusi USA. Sehingga konsekuensi
logisnya ketika tersangka dihadapkan dengan kondisi financial
yang tidak memungkinkan untuk menyewa penasihat hukum,
maka Negara berkewajiban memenuhi hak tersebut dengan
menyediakannya seorang penasihat hukum. Amerika Serikat
menaruh hak untuk didampingi oleh Advikat sebagaimana yang
diatur di Konstitus USA dalam Amandemen ke VI: 16
“In criminal prosecutions, the occused shall enjoy the right to a
speedy and public trial, by an impartial jury of the state and
district where in the crime shall have been committed, which
district shall have been previously ascertained by law, and to be
informed of the nature and cause of the accusation; to be
confronted with the witnesses against him; to have compulsory
process for obtaining witnesses in his favor, and to have the
Assistance of Counsel for his defence”.
Sebelum Miranda rule dinormakan dalam Konstitusi USA,
pengakuan tersangka diterima sebagai bentuk yang sempurna
meskipun pengakuan tersebut keluar akibat intimidasi dari aparat
penegak hukum terhadap tersangka. Konsekuensi adanya Miranda
Rule membuat kewajiban penyidik terhadap tersangka secara

16
Fuady dan Laura, 78.

al-Jinâyah | Volume 7 Nomor 2 Desember 2021 | 395


prosedural bertambah. Penyidik harus mengingatkan secara verbal
bahwa tersangka mempunyai hak diam selama proses penyidikan
(the right to remain silent) dan setiap setiap keterangan yang
diberikan kepada penyidik mungkin akan digunakan sebagai bukti
yang akan mungkin berpotensi merugikan tersangka. Kewajiban
penyidik memberitahukan hak-haka tersangka tersebut dikenal
sebagai Miranda Warning.
Secara filosofis prinsip Miranda Rule berangkat dari
positivisme hukum yang selalu berkelindan dengan ketertiban.
Kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik dalam menjalankan
tugas berangkat dari sebuah norma yang mengedepankan
ketertiban. Hal itu pula yang dijaga oleh hukum pidana yang erat
dengan asas legalitas. Satu sisi Kepolisian hadir guna menegakkan
aturan atau norma hukum tersebut demi tercapainya ketertiban
hukum atau terciptanya law and order. Pada sisi lain kepolisian
juga dibatasi dalam kewenangnnya demi terciptanya kemerdekaan
individu. Sehingga kepolisian dengan kewenangannya dituntut
untuk menciptakan iklim yang kondusif diantara ketertiban
masyarakat dan kemerdekaan individu. 17
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Royal Commision: 18
“The Police should be powerful but not oppressive; they should
be efficient but not officious; they should from an impartial force
in the body politic, and yet subject to a degree of control by
person who are not required to be impartial and who are
themselves liable to police supervision.”
Imparsialitas lembaga Kepolisian menjadi penting karena
merupakan hulu dari proses ajudikasi seuatu perkara atau kasus.
Sebagaimana disampaikan oleh Romli Atmasasmita bahwa dalam
peradilan pidana atau criminal justice sytem terdapat empat point
penting. Pertama, fungsi ganda penerapan hukum sebagai
intrumen ketertiban umum dan sebagai pembatas kewenangan
penegak hukum. Kedua, pentingya dukungan lembaga kepolisian
dalam law enforcement. Ketiga, langkah preventif dalam tindak

17
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), 25.
18
Atmasasmita, 26.

396 | Handoko – Farida | Implementasi Konsep Miranda Rule ...


kejahatan sebagai tugas kepolisan. Keempat, penggunaan
kewenangan diskresi oleh kepolisan dalam pelaksanaan tugas. 19

Perspektif Maqa >s}id al-Shari>’ ah terhadap Miranda Rule


Konsep maqa>s}id al-shari>’ah bermula dari bahwa Allah
SWT. sebagai sha>ri’ (pembuat hukum) tidak menetapkan aturan
atau hukum begitu saja, namun terdapat maksud dan tujuan dalam
penetapannya tersebut yang disebut dengan maqa>s}id al-shari>’ah
yaitu sebuah konsep dalam kajian hukum Islam yang sangat
penting sehingga wajib untuk dimengerti oleh para mujtahid
ketika berijtihad untuk menetapkan sebuah hukum. 20
Sebelum jauh melangkah terhdap pandangan maqa>s{id al-
shari>’ah terhadap miranda rule, perlu kiranya didudukkan terlebih
dahulu keberadaan maqa>s{id al-shari>’ah dalam hukum islam itu
sendiri. Secara definitif disiplin ilmu, maqa>s{id al-shari>’ah belum
pernah di berikan definisi secara komperhensif. Namun secara
terminologi, maqa>s{id al-shari>’ah berasal dari dua suku kata yakni
maqa>s}id dan al-shari>’ah.
Pertama, kata maqa>s}id merupakan bentuk jamak dari kata
maqs}ad, qas}d, maqs}id atau qus}u>d, bentuk kata tersebut merujuk
pada wazan atau bentuk kata kerja qas}ada-yaqs}udu yang
mempunyai arti sebagai berikut: suatu arah, tujuan, tengah-
tengah, adil, tidak melampaui batas, tengah-tengah antara
berlebihan dan kekurangan. 21 Kedua, kata al-shari>’ah berasal dari
kata shara’a – yashra’u – shar’an yang bermakna membuat syari’at
atau peraturan/hukum. 22 Sedangkan menurut istilah kata syarī’ah
merupakan sesuatu yang dirujuk kepada sejumlah hukum Islam
yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. yang termaktub

19
Atmasasmita, 26.
20
Zakiyatul Ulya, “Penyelenggaraan Perlindungan Anak dalam Perda Kota Surabaya No.
6 Tahun 2011 Perspektif Maqa>s}id al-Shari>’ah,” Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam 6,
no. 1 (Juni 2020): 32.
21
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyat dan Evolusi Maqhasid al
Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan (Yogyakarta: LKiS, 2010), 178.
22
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
712.

al-Jinâyah | Volume 7 Nomor 2 Desember 2021 | 397


ldalam al-Qur’an dan Hadis. 23 Fazlurrahman memberikan definisi
syarī’ah berupa jalan menuju sumber air yang dapat diartikan jalan
ke arah sumber pokok kehidupan. 24
Konsep maqa>si}d al-shari>’ah ini sebenarnya telah dimulai
dari masa al-Juwaini dan Imam al-Ghazali kemudian disusun
secara sistematis oleh Imam al-Syatibi, seorang ahli ushul fikih
bermadhab Maliki dari Spayol dalam kitabnya Al-Muwa>faqa>t
fi>Us}u>l al-Ah}ka>m. Maqa>s}id al-shari>’ah sendiri terdiri dari kata
maqa>s}id yang merupakan bentuk jamak dari kata maqs}ad berarti
yang dikehendaki atau dimaksudkan dan syari>’ah berarti jalan
menuju sumber kehidupan. 25
Berangkat dari definisi-definisi tersebut dapat
diketemukan bahwa maqās}id al-sharī’ah adalah suatu
maksud/tujuan yanag menjadi landasan terbentuknya aturan atau
ketentuan hukum Islam. 26 Sehingga secara sederhana dapat
dikatakan bahwa maqās}id al-sharī’ah adalah maksud dan tujuan
disyariatkan sebuah hukum. 27 Namun ulama-ulama salaf belum
memberi penjelasan yang konkrit dan komperhensif terhadap
definisi maqa>s{id al-shari>’ah. Pun demikian dengan ulama sebelum
al-Syatibi juga belum meberikan pengertian yang jelas terhadap
maqās}id al-sharī’ah. Sehingga wajar apabila terdapat beberapa
redaksi definisi yang berbeda, namun dengan maksud dan tujuan
yang sama. 28 Inti dari maqa>s{id al-shari>’ah adalah bertujuan
mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia maupun di akhirat. 29

23
Muhammad Shalabi, Al-Makhdal fi Ta’ri>f bi al-Fiqh al-Isla>my (Beirut: Da>r al-Nahd}ah al-
’Arabiyyah, 1969), 28.
24
Fazlurrahman, Islam, trans. oleh Ahsin Muhamad (Bandung: Pustaka, 1984), 140.
25
Ulya, “Penyelenggaraan Perlindungan Anak dalam Perda Kota Surabaya No. 6 Tahun
2011 Perspektif Maqa>s}id al-Shari>’ah,” 32.
26
Jasser Auda, Maqa>s}id al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach
(Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 2010), 2.
27
Jasser Auda, Maqa>s}id al-Shari’ah a Beginner’s Guide (Herndon: The International
Institute of Islamic Thought, 2008), 3.
28
Ali Mutakin, “Teori Maqa>s}id al-Syari>’ah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath
Hukum,” Kanun Jurnal Hukum 19, no. 3 (t.t.): 551.
29
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), 64.

398 | Handoko – Farida | Implementasi Konsep Miranda Rule ...


Penentuan tujuan shari>’ah, hanyalah untuk kebaikan
hamba di dunia dan akhirat secara bersamaan. Terdapat
perselisihan tentang alasan diletakkannya shari>’ah dalam ilmu
kalam, al-Razi beranggapan bahwa hukum Allah tidak memiliki
‘illat sama sekali. Begitu pula segala bentuk tindakan-Nya. Adapun
mu’tazilah sepakat, bahwa hukum Allah beralasan untuk menjaga
kemaslahatan hamba, ulama ahli fiqih era modern juga memilih
pendapat yang ini. Selanjutnya dalam ilmu usul fiqih diharuskan
penetapan alasan hukum bagi hukum shari>’ah, hal itu ditetapkan,
karena ‘illah bermakna tanda yang diketahui bagi hukum yang
tertentu.30
Beberapa ulama konteporer mencoba memformulasikan
definisi maqa>s}id al-shari>’ah. Salah satunya Ahmad Abdul Salam Ar-
Raisuni dengan meberikan definisi singkat dan umum terhadap
shari>’ah, yaitu sejumlah aturan atau hukum ‘amaliyah yang
terdapat dalam ajaran agama Islam, baik berkaitan dengan
konsepsi aqidah maupun aturan hukumnya. 31 Selanjutnya Ibnu
A>syur juga mencoba mendefinisikan maqa>s}id al-shari>’ah, yakni
suatu hikmah yang terkandung dalam penetapan suatu syari>’ah.
Berangkat dari beberapa formulasi yang ditawarkan oleh
ulama kontemporer tentang definisi maqa>s}id al-shari>’ah di atas,
dapat penulis ketengahkan pengertian maqa>s}id al-shari>’ah adalah
suatu maksud dan tujuan diberlakukannya suatu shari>’ah guna
terciptanya kemaslahatan individu maupun masyarakat secara
umum. Serta terjaganya kebutuhan dasar manusia yakni agama,
keturunan, jiwa, akal, dan hartanya.
Pada dasarnya, maqa>s}id dapat ditinjau dalam dua hal:
pertama, dikembalikan kepada tujuan shari’ dan yang kedua
dikembalikan kepada tujuan mukallaf. Adapun yang pertama, arah
tujuan shar’iy pada dasarnya adalah untuk penentuan shari>’ah,

30
Moh. Hatta, “Maqa>s}id Shari>’ah al-Shat}iby sebagai Metode Hukum Islam yang Mandiri
(Qa>iman li Dha>tih),” Al-Qanun: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam 18, no.
1 (Juni 2015): 65.
31
Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyat dan Evolusi Maqhasid al Syari’ah dari Konsep
ke Pendekatan, 179.

al-Jinâyah | Volume 7 Nomor 2 Desember 2021 | 399


Penentuan shari>’ah bertujuan untuk memahamkan, arah tujuan
Sha>ri’ dalam penentuan shari>’ah sebagai tuntutan yang sesuai
dengan porsinya, arah tujuan sha>ri’ memasukkan mukallaf di
bawah ketetapan shari>’ah. 32
Keberlakuan suatu aturan atau syari>’ah apabila dipandang
atau dianalisis menggunakan pisau maqa>s}id al-shari>’ah, maka akan
terlihat klasifikasi maksud dan tujuannya. Ulama maqa>s}id sepakat
akan adanya maksud dan tujuan di balik setiap ketentuan shari>’ah.
Betapapun mereka berbeda dalam menguraikan makna maqa>s}id
shari>’ah, semuanya menuju satu muara, yakni terciptanya
kemaslahatan dan hilangnya kemafsadatan. Lantas, bagaimana cara
maqa>s}id shari>’ah itu diketahui, atau dengan bahasa yang lain,
bagaimana cara menetapkan maqa>s}id shari>’ah dari suatu ketetapan
shari>’ah?33
Berikut klasifikasi maksud dan tujuan sebagaimana hasil
kesepakatan para ulama: 34
1. Memelihara agama;
2. Memelihara jiwa;
3. Memelihara akal; dan
4. Memelihara harta.

Namun oleh ulama us}u>llyyi>n kontemporer ada satu


tambahan lagi yakni h}ifz} al-’ird} atau memelihara kehormatan.35
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Jasser Auda sebagai berikut: 36
“Traditional classifications of maqasid divide the into there
level of necessity, which are nescessities (darurat), needs
(hajiyat), and luxuries (tahsiniyat). Necessities are futher
calssified into what preserve one’s faith, soul, wealth, mind, and

32
Hatta, “Maqa>s}id Shari>’ah al-Shat}iby sebagai Metode Hukum Islam yang Mandiri
(Qa>iman li Dha>tih),” 65.
33
Hatta, 65–66.
34
Suparman Usman dan Itang, Filsafat Hukum Islam (Serang: Laksita Indonesia, 2015),
156.
35
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, trans. oleh Rosidin
dan Ali Abd. el-Mun’im (Bandung: Mizan, 2015), 34.
36
Auda, 57.

400 | Handoko – Farida | Implementasi Konsep Miranda Rule ...


off spring. Some usulis added the preservation of honor to the
above five widely popular necessities”
Dari kelima klasifikasi di atas, penulis akan lebih fokus
pada klasifikasi maqa>s}id al-shari>’ah dalam rangka memelihara
harkat dan martaba manusia atau h}ifz} al-’ird}.
Secara terminologi, h}ifz} diartikan dengan menjaga atau
memelihara, 37 sedangkan al-‘ird} adalah kehormatan. 38 Secara
istilah menurut al-Juwaini h}ifz} al-’ird} adalah penjagaan
kehormatan. Konsep ini telah menjadi habitus masyarakat Arab
sedari dulu, bahkan sebelum islam datang. Rasululloh menjelaskan
bahwa darah, harta dan kehormatan setiap muslim adalah haram,
dan tidak boleh disimpangi oleh siapapun. Diperluasnya makna
maqa>s}id al-shari>’ah ke dalam klasifikasi h}ifz} al-’ird} menunjukkan
bahwa syari’at Islam sangat serius dalam merawat nilai-nilai dasar
kemanusiaan. H}ifz} al-’ird} tidak hanya bicara soal perlindungan diri
dari berbagai hinaan, namun lebih dalam dari itu sebagai suatu
pedoman dalam rangka menjamin harkat dan martabat manusia.
Prinsip nilai-nilai yang dijaga dalam Miranda Rule sejalan
dengan prinsip nilai yang dipelihara dalam maqa>s}id al-shari>’ah.
Berpuncak pada penjagaan kerhormatan harkat martabat manusia
yang merupakan hak-hak dasar manusia itu sendiri. Meskipun
tercipta dari tradisi hukum yang berbeda, nilai-nilai kemanusiaan
sebagai hukum alam atau hukum kodrat 39 senantiasa berlaku
universal dan tidak terbatas oleh waktu. Tesisnya yang abadi
membuat keberlakuan terhadap norma-normanya senantiasa
mempunyai validitas langsung berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Meletakkan tersangka sebagai obyek dalam perspektif
Miranda rule dan maqa>s}id al-shari>’ah dipandang tidak tepat dan
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian terkhusus hak-hak
dasar yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Deretan peristiwa

37
Busyro, Maqasid al-Syariah: Pengetahuan Mendasar Memahami Masalah (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2019), 210.
38
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzuriyah, 1990),
105.
39
Otje Salman, Filsafat Hukum (Jakarta: Refika Aditama, 2012), 41.

al-Jinâyah | Volume 7 Nomor 2 Desember 2021 | 401


kongkrit yang penulis sajikan pada bagian pendahuluan telah nyata
membuat para jurist menghela nafas panjang. Pemaksaan terhadap
tersangka guna mengakui sebuah kesalahan ditambah tidak ada
pendampingan dari pensihat hukum membuat penerapan hukum
oleh hakim juga tidak berimbang, sehingga posisi tersangka dimata
hukum tidak berimbang dan tersudut. Tidak berlebihan kemudian
ketika miranda rule dan maqa>s}id al-shari>’ah memandang hal ini
perlu di formulasikan dalam pengaturan hukum pidana. Nyawa-
nyawa yang kemudian terengut akibat penyidikan yang kurang
cermat sehingga berpengaruh pada penerappa hukum hakim harus
dihilangkan. Karena menjaga nyawa adalah langgam utama dari
adanya maqa>s}id al-shari>’ah.
Selain itu martabat manusia yang luhur tidak boleh
dilecehkan dengan mudahnya dengan due process of law yang
kurang cermat. Sehingga miranda rule melegitimasi miranda
warning yang didalamnya tersangka diberi hak untuk diam (the
right to remain silent) ketika proses penyidikan sebagai bentuk
penghargaan terhadap manusia yang luhur karena sesuai asas
praduga tak bersalah memposisikan manusia sebagaimana
seutuhnya manusia sebelum ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Hal tersebut juga menjadi wilayah
konseptual dari h}ifz} al-‘ird} yang menjaga luhurnya kehormatan
manusia dan menegaskan bahwa darah setiap muslim haram
hukumnya uktuk disimpangi leh siapapun termasuk proses
hukum yang kurang cermat dan penerapan hukum yang kurang
tepat.

Penerapan Prinsip Miranda Rule dalam KUHAP


Sejatinya perihal pemberian hak-hak terhadap tersengka
dalam proses peradilan pidana atau integrated criminal justice system
telah diakomodir dalam KUHAP. 40 Dan ini sebagai konsekwensi
Indonesia sebagai negara hukum sehingga membuktikan

40
Meldrik B. Pattipeiluhu, “Penerapan Prinsip Miranda Rule dalam Pemeriksaan
terhadap Tersangka,” Lex Crimen IV, no. 6 (Agustus 2015): 17.

402 | Handoko – Farida | Implementasi Konsep Miranda Rule ...


komitmennya terhadap pelaksanaan Miranda Rules dalam sistem
peradilan pidana. 41
Selain itu, dalam sistem hukum nasional, konsepsi
Miranda Rules dapat ditemui dalam instrumentarim peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan peradilan, diantaranya:
1. Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
2. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (diatur dalam
Bab VI: Pasal 69 sampai dengan Pasal 74).
3. Undang-undang Nomot 18 Tahun 2003 tentang Advokat
(Pasal 22 ayat (1) dan (2)).
4. Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Pasal 56 dan Pasal 57).

Tentunya, termasuk di dalamnya adalah hak tersangka


untuk mendapatkan penasihat hukum terkhusus tersangka yang
diancam pidana lima tahun atau lebih. Hal tersebut dijelaskan
dalam pasal 56 KUHAP. Selain itu pasal 52 KUHAP juga
menegaskan bahwa tersangka berhak memberikan keterangan
secara bebas. Namun tidak secara expresive verbis menyatakan
bahwa tersangka mempunyai hak untuk diam sebagaimana prinsip
the right to remain silent. Apalagi hak-hak tersebut dalam KUHAP
tidak diwajibkan untuk diberitahukan penyidik sebelum
melakukan pemeriksaan atau penyidikan seperti halnya Miranda
warning dalam prinsip Miranda Rule.
Berikut kami sampaikan table perbandingan prinsip
Miranda rule dan pengaturan hak-hak tersangka dalam KUHAP:
Kewajiban
Hak Tersangka
Hak Mendapat Penyidik
dalam
Penasihat memberitahukan
Memberikan
Hukum hak-hak
Keterangan
tersangka

41
Wijanarko dan Jaya, “Kedudukan Miranda Rules dan Penegakan Hukumnya dalam
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,” 185.

al-Jinâyah | Volume 7 Nomor 2 Desember 2021 | 403


kepada
tersangka
Tersangka berhak
mendapatkan
penasihat hukum Tersangka dapat
KUHAP

apalagi untuk memberikan


Tidak Wajib
perkara yang keterangan
ancamannya secara bebas
pidana 5 tahun
atau lebih
Miranda

Tersangka wajib
The Right To
Rule

mendapatkan Wajib
Remain Silent
penasihat hukum

Sumber: Diperoleh dari berbagai sumber

Apabila dirunut secara yuridis maupun filosofis, perihal


pengaturan hak-hak tersangka dalam KUHAP dapat diketemukan
psala-pasal yang memberi justifikasi konstitusional. Berikut
beberpa pasal tersebut dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun
1945: Pasal 28 A, Pasal 28 D, Pasal 28 G, Pasal 28 I, dan Pasal 28
J. selain itu secara filosofis juga mendapat garansi dari sile ke-2
dalam Pancasila yakni Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradap.
Sehingga wajar apabila isu-isu perihal kemanusiaan atau HAM
sangat serius menjadi pembangunan hukum di Indonesia.
Sejatinya hal tersebut juga menjadi konsentrasi yang sama dalam
Konstitusi Amerika Serikat yang secara tegas melarang adanya
perampasan kemerdekaan serta menjunjung tinggi equality before
the law. sehingga penegakkan hukum atau due process of law
menjadi langgam utama dalam criminal justice system. Hal tersebut
sebagaimana ditegaskan oleh Hebert L. Packer:
“In situation of necessity, it may be made by a police officer
acting on probative data is subject to subsequent judicial
scrutiny. Once a suspect has been arrested, he should be brought

404 | Handoko – Farida | Implementasi Konsep Miranda Rule ...


before a magistrate without unnecessary delay, which is to say as
soon as it is physically possible to do so, once the preliminary
formalities of recording his arrest have been completed”. 42
Kepolisian sebagai lembaga penyidik tidak diperkenankan
untuk sewenang-wenang dalam menyatakan seseorang telah
bersalah dimuka hukum, karena haruslah berdasarkan bukti-bukti
yang cukup. Kemudian terhadap proses tersebut harus
mendapatkan pengawasan, sehingga due process of law yang dicita-
citakan dapat tercapai.

Penutup
Meskipun secara sistem hukum antara Amerika Serikat dan
Indonesia berbeda, namun terhadap pemenuhan hak-hak dasar
manusia kedua Negara sepakat menempatkan HAM pada posisi
startegis sebagai pembangunan hukum. Hukum Acara Pidana
Indonesia yang lahir dari rahim eropa continental mencoba
memadu padankan Miranda Right tersebut dalam KUHAP.
Namun terkhusus the right to silent tidak secara khusus diakomodir
dalam KUHAP. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 52 KUHAP
yang hanya menyatakan bahwa “dalam pemeriksaan pada tingkat
penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak
memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau
hakim.” Sehingga konsep the right to silent berbeda dengan rumusal
pasal 52 KUHAP. The right to silent atau hak untuk diam menjadi
kewajiban untuk diberitahukan penyidik kepada tersangka
sebelum proses interogasi atau penyidikan dilakukan.
Prinsip konsep the right to silent dalam Miranda Rule
mempunyai tujuan dan maksud yang sama dengan pandangan
maqa>s}id al-shari>’ah yang mengutamakan tujuan dari sebuah
hukum. Maqa>s}id al-shari>’ah menempatkan manusia sebagai subjek
dalam pembuatan sebuah regulasi atau aturan. Hukum-hukum
yang diterapkan dalam islam mempunyai segmentasi tertentu
dalam tujuannya yang mengedepankan penjagaan terhadap hak-
42
Luhut MP. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Suarat Resmi Advokat di Pengadilan
(Depok: Papas Sinar Sinanti, 2014), 27.

al-Jinâyah | Volume 7 Nomor 2 Desember 2021 | 405


hak yang dimiliki setiap manusia. Terutama dalam konteks the
right to silent merupakan upaya menjaga martabat manusia dan hak
asasi manusia (HAM). Nilai-nilai tersebut merupakan manifestasi
yang ditegakkan pula dalam maqa>s}id al-shari>’ah terutama dalam
konsep h}ifz} al-’ird}. Nilai keluhuran dan kehormatan seoarang
manusia menjadi titik kunci dari konsep h}ifz} al-’ird} yang harus
menjadi pertimbangan filosofis dalam sebuah regulasi atau aturan
dalam hukum Islam.

Daftar Rujukan
Amiruddin, dan Zainal Asikin. Pengamtar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Kontemporer. Jakarta: Kencana,
2010.
———. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System): Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bandung: Bina Cipta, 1996.
Auda, Jasser. Maqa>s}id al-Shari’ah a Beginner’s Guide. Herndon: The
International Institute of Islamic Thought, 2008.
———. Maqa>s}id al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law: A System
Approach. Herndon: The International Institute of Islamic
Thought, 2010.
———. Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah.
Diterjemahkan oleh Rosidin dan Ali Abd. el-Mun’im. Bandung:
Mizan, 2015.
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996.
Busyro. Maqasid al-Syariah: Pengetahuan Mendasar Memahami Masalah.
Jakarta: Prenadamedia Group, 2019.
Fazlurrahman. Islam. Diterjemahkan oleh Ahsin Muhamad. Bandung:
Pustaka, 1984.
Fuady, Munir, dan Sylvia Laura. Hak Asasi Tersangka Pidana. Jakarta:
Prenada Media Group, 2015.
Hamdi, Saibatul, dan Khabib Mustofa. “Mengahdirkan Konsep Hifz al-
Irdi dalam Bermedia Sosial: Upaya Menyikapi Asusila Abu-Abu
di Youtube.” El Madani: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam
1, no. 2 (2020).

406 | Handoko – Farida | Implementasi Konsep Miranda Rule ...


Hatta, Moh. “Maqa>s}id Shari>’ah al-Shat}iby sebagai Metode Hukum
Islam yang Mandiri (Qa>iman li Dha>tih).” Al-Qanun: Jurnal
Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam 18, no. 1 (Juni
2015).
Hutapea, Pidel Kastro, dan Indra Karianga. “Prinsip Miranda Rule ‘The
Right To Remain Silent’ dalam Perspektif Perbandingan
Hukum.” Jurnal Media Iuris 2, no. 3 (Oktober 2019).
Lubis, M Sofyan. Prinsip Miranda Rights Hak Tersangka Sebelum
Pemeriksaan. Jakarta: Pustaka Yustitia, 2010.
Mawardi, Ahmad Imam. Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyat dan Evolusi
Maqhasid al Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan. Yogyakarta:
LKiS, 2010.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir. Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997.
Mutakin, Ali. “Teori Maqa >s}id al-Syari>’ah dan Hubungannya dengan
Metode Istinbath Hukum.” Kanun Jurnal Hukum 19, no. 3
(t.t.): Agustus 2017.
Pangaribuan, Luhut MP. Hukum Acara Pidana Suarat Resmi Advokat di
Pengadilan. Depok: Papas Sinar Sinanti, 2014.
Pattipeiluhu, Meldrik B. “Penerapan Prinsip Miranda Rule dalam
Pemeriksaan terhadap Tersangka.” Lex Crimen IV, no. 6
(Agustus 2015).
Rahardjo, Satjipto. Biarkan Hukum Mengalir Mengalir: Catatan Kritis
Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum. Jakarta: Kompas,
2007.
Salman, Otje. Filsafat Hukum. Jakarta: Refika Aditama, 2012.
Shalabi, Muhammad. Al-Makhdal fi Ta’ri>f bi al-Fiqh al-Isla>my. Beirut:
Da>r al-Nahd}ah al-’Arabiyyah, 1969.
Sidiq, Syahrul. “Maqa>s}id al-shari>’ah dan Tantangan Modernitas: Sebuah
Telaah Pemikiran Jasser Auda.” Jurnal Agama dan Hak Asasi
Manusia 7, no. 1 (2017).
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press,
1986.
Tim Penyusun. “Hukuman Mati dan Peradilan yang Tidak Adil.”
Diakses 18 September 2021. https://imparsial.org/evaluasi -
praktik-hukuman-mati-pada-era-pemerintahan-jokowi-2014-
2020-imparsial/.

al-Jinâyah | Volume 7 Nomor 2 Desember 2021 | 407


Ulya, Zakiyatul. “Penyelenggaraan Perlindungan Anak dalam Perda
Kota Surabaya No. 6 Tahun 2011 Perspektif Maqa>s}id al-
Shari>’ah.” Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam 6, no. 1 (Juni
2020).
Usman, Suparman, dan Itang. Filsafat Hukum Islam. Serang: Laksita
Indonesia, 2015.
Wijanarko, Dwi Seno, dan Irman Jaya. “Kedudukan Miranda Rules dan
Penegakan Hukumnya dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia.” Jurnal Hukum Sasana 7, no. 2 (Desember 2021).
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus
Wadzuriyah, 1990.
Zainuddin. “Penerapan Prinsip Miranda Rule Dalam Proses Penyidikan
Perkara Pidana: Studi Kasus Kepolisian Resort Parigi
Moutong.” Jurnal Legal Opinion 4, no. 6 (2016).

408 | Handoko – Farida | Implementasi Konsep Miranda Rule ...

You might also like