Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

TSWF

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 17

MAKALAH

PENGERTIAN TASAWUF

Dosen Pembimbing : Dr. M. Arrafie Abduh, M.Ag


Disusun Oleh :
Kelompok 1
Aditya Saputra (12330410821)
adityas071204@gmail.com
Rahmi Syafitri (12330422563)
syafitrirahmi98@gmail.com

PROGRAM STUDI ILMU HADITS


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU 2023
ABSTRACT

Sufism (Arabic: ‫ الُّصوِفَّية‬aṣ-ṣūfiyya), also known as Tasawwuf (‫ الَّت َص ُّو ف‬at-


taṣawwuf), is a mystic body of religious practice found within Islam which is
characterized by a focus on Islamic purification, spirituality, ritualism,
asceticism and esotericism. The original meaning of sufi seems to have
been "one who wears wool (ṣūf)", and the Encyclopaedia of Islam calls
other etymological hypotheses "untenable".Woolen clothes were
traditionally associated with ascetics and mystics. Al-Qushayri and Ibn
Khaldun both rejected all possibilities other than ṣūf on linguistic grounds.
Another explanation traces the lexical root of the word to ṣafā (‫)صفاء‬,
which in Arabic means "purity", and in this context another similar idea of
tasawwuf as considered in Islam is tazkiyah (‫تزكية‬, meaning: self-
purification), which is also widely used in Sufism. These two explanations
were combined by the Sufi al-Rudhabari (d. 322 AH), who said, "The Sufi is
the one who wears wool on top of purity. Others have suggested that the
word comes from the term Ahl al-Ṣuffa ("the people of the suffah or the
bench"), who were a group of impoverished companions of Muhammad
who held regular gatherings of dhikr, one of the most prominent companion
among them was Abu Huraira. These men and women who sat at al-Masjid
an-Nabawi are considered by some to be the first Sufis.
The current consensus is that Sufism emerged in the Hejaz, and that it
has existed as a practice of Muslims from the earliest days of Islam, even
predating some sectarian divides.
Sufi orders are based on the bayah (Arabic: ‫َب ْي َع ة‬, lit. 'pledge') that was
given to Muhammad by his Ṣahabah. By pledging allegiance to
Muhammad, the Sahabah had committed themselves to the service of
God. Sufis believe that by giving bayʿah (pledging allegiance) to a
legitimate Sufi Shaykh, one is pledging allegiance to Muhammad;
therefore, a spiritual connection between the seeker and Muhammad is
established. It is through Muhammad that Sufis aim to learn about,
understand and connect with God. Ali is regarded as one of the major
figures amongst the Sahaba who have directly pledged allegiance to
Muhammad, and Sufis maintain that through Ali, knowledge about
Muhammad and a connection with Muhammad may be attained. Such a
concept may be understood by the hadith, which Sufis regard to be
authentic, in which Muhammad said, "I am the city of knowledge, and Ali is
its gate.” Eminent Sufis such as Ali Hujwiri refer to Ali as having a very high
ranking in Tasawwuf. Furthermore, Junayd of Baghdad regarded Ali
as Sheikh of the principals and practices of Tasawwuf.
Later developments of Sufism occurred from people like Dawud Tai and
Bayazid Bastami. Early on Sufism was known for its strict adherence to the
sunnah, for example it was reported Bastami refused to eat a watermelon
because he did not find any proof that Muhammad ever ate it. According to
the late medieval mystic, the Persian poet Jami, Abd-Allah ibn Muhammad
ibn al-Hanafiyyah (died c. 716) was the first person to be called a "Sufi".
The term also had a strong connection with Kufa, with three of the earliest
scholars to be called by the term being Abu Hashim al-Kufi, Jabir ibn
Hayyan and Abdak al-Sufi. Later individuals included Hatim al-Attar, from
Basra, and Al-Junayd al-Baghdadi. Others, such as Al-Harith al-Muhasibi
and Sari al-Saqati, were not known as Sufis during their lifetimes, but later
came to be identified as such due to their focus on tazkiah (purification).
Important contributions in writing are attributed to Uwais al-Qarani, Hasan
of Basra, Harith al-Muhasibi, Abu Nasr as-Sarraj and Said ibn al-Musayyib.
Ruwaym, from the second generation of Sufis in Baghdad, was also an
influential early figure, as was Junayd of Baghdad; a number of early
practitioners of Sufism were disciples of one of the two.

Keywords : Tasawuf/Sufism, Islamic Mysticism, Worship, Nature


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tasawuf dalam Islam mulai timbul sesudah Islam mempunyai hubungan
dengan agama Kristen dan agama Hindu Budha. Dimana pada saat itu
animisme merupakan kepercayaan pertama yang dianut oleh orang
Indonesia. Islam sendiri datang tanpa kampanye, Islam datang secara
damai, dari berkembangnya Islam inilah kemudian muncul para da’i-da’i
yang merupakan gambaran pertama dari sebagai pengantar masuknya
tasawuf.1

Tasawuf atau sufisme adalah satu cabang keilmuan dalam Islam atau
secara keilmuan adalah hasil kebudayaan Islam yang lahir kemudian
setelah Rasulullah wafat. Pada hakikatnya tasawuf dapat diartikan mencari
jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani.2 Tasawuf
atau sufieme ini merupakan salah satu aspek esoterik Islam sekaligus
perwujudan dari ihsan yang menyadari akan adanya komunikasi antara
hmba dengan Tuhannya.

Tasawuf merupakan jantung bagi pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan


kunci kesempurnaan amaliah. Tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui
bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun
dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf
pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam
Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam.
Adapun tujuan dari tasawuf adalah menjalani hidup pada tingkat spiritual
1
Sahlawi, Islam Sufistik
2
H. Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf, (Solo: Ramadhani, 1990), 28
dengan cara membersihkan hati dan menggunakan semua indra dan
pikiran di jalan Allah.3

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Tasawuf Menurut Etimologi dan Terminologi ?


2. Apa Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Ilmu Tasawuf ?
3. Bagaimana Perkembangan Ilmu Tasawuf ?

3
Fathullah Gulen, Kunci-kunci Rahasia Sufi, (Jakarta: Srigunting, 2010), 3
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Tasawuf Secara Etimologi dan Terminologi

Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang
umum adalah kata itu berasal dari Suf (‫)صوف‬, bahasa Arab untuk wol,
merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim.
Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Ada
juga yang berpendapat bahwa sufi berasal dari kata saf, yakni barisan
dalam sholat. Suatu teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar
kata dari Sufi adalah Safa (‫)صفا‬, yang berarti "kemurnian". Hal ini menaruh
penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa.4 Teori lain
mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu
ketuhanan.

Banyak ulama jaman dahulu dan sarjana modern mencoba memberikan


definisi tentang tasawuf atau sufisme. Buya Hamka, salah satu ulama
nasional, mendefinisikan tasawuf sebagai "kehendak memperbaiki budi
dan men-shifa'-kan (membersihkan) batin5, yang mana hal ini mudah
dipahami karena tasawuf identik dengan tazkiyatun-nafs (pembersihan
jiwa).

4
Shaykh Muhammad Hisham Kabbani, The Naqshbandi Sufi Tradition Guidebook of Daily Practices and Devotions,
2004, hlm. 83.
5
Hamka (2015). Tasawuf Modern. Jakarta: Republika Penerbit.
Annemarie Schimmel memberikan definisi tasawuf yang lebih ringkas,
yakni "dimensi mistik dalam Islam”.6 Definisi ini sejalan dengan yang
dikemukakan Seyyed Hossein Nasr, bahwa sufisme merupakan "dimensi
batin (esoteris) Islam yang memiliki dasar di dalam Al-Quran dan Sunnah
Nabi”.7

Sementara itu ulama-ulama masa awal juga memberikan beragam


pengertian atau definisi. Dimyati Sajari mengidentifikasi bahwa hingga
abad ke-3 Hijriah, sebagaimana disitir oleh Ibrahim Basyuni dalam Nasy'at
at-Tashawwuf al-Islami, sudah terdapat empat puluh definisi.8 Beberapa
definisi dari ulama-ulama terkemuka dirangkum oleh Abu Nashr al-Thusi
(w. 377 H/988 M) di dalam kitab Al-Luma' sebagai berikut:9

 Muhammad bin Ali al-Qashshab: tasawuf adalah akhlak mulia, yang


tampak jelas pada zaman yang mulia, yang berasal dari orang mulia,
beserta kaum yang mulia.
 Junaid al-Baghdadi (w. 298 H/911 M): tasawuf adalah hendaknya
engkau bersama Allah tanpa menyertakan yang selain-Nya.
 Ruwaim bin Ahmad (w. 303 H/915 M): tasawuf adalah mengarahkan diri
bersama Allah atas apa yang dikehendaki-Nya.
 Sumnun bin Hamzat: tasawuf adalah hendaknya engkau merasa tidak
memiliki sesuatu dan tidak dimiliki oleh sesuatu.
 Abu Muhamad al-Jariri (w. 311 H/921 M): tasawuf adalah masuk ke
dalam setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang hina.

6
Schimmel, Annemarie (1986). Dimensi-Dimensi Mistik dalam Islam. Diterjemahkan oleh Djoko Damono, Sapardi.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
7
Nasr, Seyyed Hossein (2020). Tasawuf Dulu dan Sekarang. Yogyakarta:
8
Sajari, Dimyati (2015). "Keotentikan Ajaran Tasawuf". Dialog Journal. 38 (2): 145–156.
9
as-Sarraj, Abu Nashr (2009). Al-Luma'. Surabaya: Risalah Gusti.
 Amr bin Utsman al-Makki: tasawuf adalah hendaknya seorang hamba
melakukan sesuatu yang utama di suatu waktu tertentu.
 Ali bin Abdul Rahman al-Qannad: tasawuf adalah menempuh maqam-
maqam (tahapan-tahapan) dan mempertahankannya dengan
melanggengkan berkomunikasi dengan Allah.

Berbagai pengertian dan definisi tentang tasawuf pun bermunculan, namun


terdapat benang merah yang menghubungkannya, yaitu akhlak,
sebagaimana dinukil Al-Hujwiri yang mengaitkan tasawuf dengan
akhlak.10 Terkait hal ini, Abu Hasan al-Nuri mengatakan bahwa tasawuf itu
bukan bentuk dan bukan pulai ilmu, melainkan akhlak, atau dalam kalimat
berbeda Abu Muhammad Murta'isy mengatakan at-tashawwuf husnul-
khuluq (tasawuf adalah penghalusan akhlak).11

2. Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Ilmu Tasawuf

Sufisme Berasal dari Islam

 Asal usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad.


Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan
aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah
keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi disiplin tersendiri
ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari
keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995)12

 Seorang penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani


mendefinisikan Sufisme sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun

10
Al-Hujwiri, Ali Ibnu Utsman (2015). Kasyful Mahjub. Bandung: PT. Mizan Pustaka.
11
Sajari, Dimyati (2015). "Keotentikan Ajaran Tasawuf". Dialog Journal. 38 (2): 145–156
12
Place of Tasawwuf in Traditional Islam
dari Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup
berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa
disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari
Qur'an, sunnah, atau ijma." [11. Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra (Kairo,
1374), I, 4.].13

 Sufi tidak lain adalah ajaran untuk mencapai maqam Ihsan


(sebagaimana tersebut dalam hadist) atau mencapai status
muqarrabun (orang-orang yang didekatkan kepada Allah).

 Tasawuf adalah penafsiran bathin (psikologis) dari ayat-ayat Quran


seperti: Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-
pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat
rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah
laba-laba kalau mereka mengetahui (Quran, 29:41). Dalam Tasawuf,
yang dimaksud pelindung dalam ayat ini juga termasuk pelindung
secara psikologis, sebagaimana kita ketahui manusia banyak
menggantungkan keberhargaan dirinya kepada dunia (seperti harta,
jabatan, pasangan, teman, dan lain-lain). Dalam Tasawuf,
keberhargaan diri hanya boleh digantungkan kepada Allah. Karena
jika memang mereka percaya Allah adalah yang paling kuat dan
berharga, maka menggantungkan kepada selain Allah adalah taghut
(sesembahan). Inilah kenapa dalam tareqahnya, seorang Sufi
(penempuh Tasawuf) harus bisa menjadikan Allah sebagai satu-
satunya sumber kekuatan dan penghargaan dirinya. Dalam istilah
lain, Tasawuf adalah ajaran untuk mencapai Tauhid secara bathin
(psikologis).

13
Islamic Spirituality, the forgotten revolution
 Sisi psikologis (bathin) yang terdapat dalam ajaran-ajaran Kristen,
Budha, dan lain-lain sebaiknya tidak menafikan keberadaan Tasawuf
sebagai sisi psikologis (bathin) dalam ajaran Islam. Hal ini karena
Islam adalah ajaran penyempurna sehingga tidak harus sepenuhnya
baru dari ajaran-ajaran yang terdahulu. Adanya sisi bathin dalam
ajaran-ajaran yang sebelumnya ada malahan memperkuat status
Tasawuf karena tentunya harus ada garis merah antara agama-
agama yang besar, karena kemungkinan besar ajaran-ajaran
tersebut dulunya sempat benar, sehingga masih ada sisa-sisa
kebenaran yang mirip dengan Tasawuf sebagai sisi bathin
(psikologis) dari ajaran Islam.

Sufisme Pengaruh di Luar Islam

 Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat
dari wol pada kaum asketen (yaitu orang yang hidupnya menjauhkan
diri dari kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo
platonisme, pengaruh Persi dan India ikut menentukan paham
tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam (Mr. G.B.J
Hiltermann & Prof. Dr. P. Van De Woestijne).

 (Sufisme) yaitu ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok


kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan
bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali
(als idealish verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari
Tuhan selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan DIA (J.
Kramers Jz).
 Al Quran pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun
kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya.
Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya,
Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari
pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut
agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti
ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan
dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan
agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim
abad 2 Hijriyah (yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut
agama Non Islam, semisal orang India yang sebelumnya
beragama Hindu, orang-orang Persia yang sebelumnya
beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama
Masehi) tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim
karena pada mereka masih terdapat kehidupan batin yang ingin
mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan gerak-
gerik (akibat paham mistik) ini makin hari makin luas mendapat
sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli
dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran
mistik ini yang pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik
Masehi, Platonisme, Persi dan India perlahan-lahan memengaruhi
aliran-aliran di dalam Islam (Prof. Dr. H. Abubakar Aceh).

 Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu (1) Perasaan


kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal
perkembangan Agama Islam, (2) Adat atau kebiasaan orang Islam
baru yang bersumber dari agama-agama non Islam dan berbagai
paham mistik. Oleh karenanya, paham tasawuf itu bukan ajaran
Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur ajaran Islam.
Dengan kata lain, dalam agama Islam tidak ada paham Tasawuf
walaupun tidak sedikit jumlah orang Islam yang menganutnya (MH.
Amien Jaiz, 1980).14

 Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan
karena suka mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba
(Shuuf), maka mereka disebut dengan "Sufi". Soal hakikat Tasawuf,
hal itu bukanlah ajaran Rasulullah SAW dan bukan pula ilmu warisan
dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan
Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi
periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka
baik yang keluar dari lisan ataupun yang terdapat di dalam buku-buku
terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al
Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul
ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad
SAW, dan juga dalam sejarah para sahabatnya yang mulia, serta
makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan
sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari
kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan
zuhud Buddha" - At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.
(Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc).15

14
Masalah Mistik Tasawuf & Kebatinan, MH. Amien Jaiz, PT Alma'arif - 1980 Bandung
15
Hakikat Tasawuf dan Sufi
3. Perkembangan Ilmu Tasawuf

Meskipun secara esensi dipraktikan sejak awal mula Islam, namun


terminologi tasawuf—sebagaimana fiqh dan kalam—tidak dikenal pada
masa kehidupan Nabi Muhammad saw dan para sahabat. Istilah ini baru
dikenal ketika Abu Hasyim al-Kufi (w. 160 H/776 M) mencantumkan
kata al-Sufi di belakang namanya16, namun bukan berarti dia adalah sufi
pertama karena sebelumnya sudah ada tokoh-tokoh sufi terkenal
seperti Hasan al-Basri (w. 110 H/728 M). Sebelum istilah tasawuf dikenal di
masa awal, menurut Reynold A. Nicholson sebagaimana dikutip Dimyati
Sajari, bentuk-bentuk tasawuf pada mulanya adalah gerakan kejuhudan
(asketis) yang merupakan bentuk tertua dari sufisme.17

Hasan al-Bashri (w. 110 H/728 M), seorang tabi'in yang hidup di abad ke-
8 Hijriah, merupakan murid dari Huzaifah bin al-Yaman yang merupakan
sahabat sekaligus kepercayaan Nabi Muhammad saw dengan
julukan Shahibu Sirri Rasulullah (Pemegang Rahasia Rasulullah). Hasan
al-Bashri, yang sangat terkenal dengan kehidupannya yang sederhana
dan zuhud, membuatnya didaulat dikenal sebagai tokoh awal sufisme.18
Namun, hidup sederhana dan zuhud bukanlah hal asing di masa itu,
karena Nabi Muhammad saw dan para sahabat adalah tokoh-tokoh awal
yang menjalani kehidupan seperti demikian. Bahkan di masa-masa
sebelum Islam, Muhammad muda kerap berkhalwat di Gua Hira untuk
mensucikan dirinya dan menjauh dari masyarakat jahiliyah.

16
Syukur, HM. Amin (1999). Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
17
Nicholson, Reynold A (1963). The Mystics of Islam. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
18
Nashr, Seyyed Hossein (2008). The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam's Mystical Tradition.
San Francisco: HarperOne. hlm. 168.
Tokoh sufi lainnya yang hidup sejaman dengan Abu Hasyim al-Kufi
adalah Ibrahim bin Adham (w. 165 H/782 M). Kisah pertobatan Ibrahim bin
Adham sangatlah terkenal dan menjadi legenda sufi, dari seorang
Pangeran Balkh menjadi seorang yang hidupnya sangat zuhud.
Sebagaimana diceritakan oleh Abu Nuaim, Ibrahim bin Adham sangat
menekankan pentingnya uzlah dan tafakur.

Seiring dengan munculnya berbagai cabang ilmu dalam Islam di abad ke-
2 dan ke-3 Hijriah, maka berkembang pula Ilmu Tasawuf. Berbagai ajaran
tentang tasawuf pun bermunculan, namun akhlak adalah benang merah
dari semua ajaran yang ada,19 dan hal ini dapat dipahami sebagai akhlak
kepada diri sendiri, akhlak kepada sesama, dan akhlak kepada Allah. Hal
ini dikembangkan dari tiga pilar agama dalam Islam, yakni iman-islam-
ihsan; di mana yang terkahir, ihsan, merupakan landasan sekaligus tujuan
dari praktik sufisme yang ingin dicapai ketika seorang sufi berserah diri
seutuhnya kepada Allah.20

19
Sajari, Dimyati (2015). "Keotentikan Ajaran Tasawuf". Dialog Journal. 38 (2): 145–156.
20
Chittick, William C. (2007). Sufism: A Beginner's Guide. Oneworld Publications.
BAB III
KESIMPULAN

Tasawuf adalah bagian dari ilmu Islam yang penting. Dalam Islam, ada
tiga ilmu dasar yang harus dipahami umatnya. Ilmu ini adalah ilmu tauhid,
fiqih, dan tasawuf.

Tasawuf adalah perwujudan dari ihsan dalam syariat Islam. Tasawuf


adalah ilmu yang berfokus pada membangun diri untuk menjauhi hal
duniawi. Tasawuf adalah ilmu yang memiliki berbagai versi asal
sejarahnya. Beberapa pendapat mengungkapkan tasawuf adalah ilmu
yang lahir di luar Islam.

Sebagai umat Islam, tasawuf adalah ilmu yang penting diketahui.


Tasawuf adalah salah satu ilmu yang mengajarkan tentang upaya untuk
tetap hidup sederhana, jauh dari hal-hal duniawi.
DAFTAR PUSTAKA

Shaykh Muhammad Hisham Kabbani, The Naqshbandi Sufi Tradition


Guidebook of Daily Practices and Devotions, 2004, hlm. 83.

Hamka (2015). Tasawuf Modern. Jakarta: Republika Penerbit.

Schimmel, Annemarie (1986). Dimensi-Dimensi Mistik dalam Islam


Diterjemahkan oleh Djoko Damono, Sapardi. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Nasr, Seyyed Hossein (2020). Tasawuf Dulu dan Sekarang. Yogyakarta:

Sajari, Dimyati (2015). "Keotentikan Ajaran Tasawuf". Dialog Journal. 38 (2)

As-Sarraj, Abu Nashr (2009). Al-Luma'. Surabaya: Risalah Gusti.

Syukur, HM. Amin (1999). Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung


Jawab Sosial Abad 21. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nicholson, Reynold A (1963). The Mystics of Islam. London: Routledge &


Kegan Paul Ltd.

Nashr, Seyyed Hossein (2008). The Garden of Truth: The Vision and
Promise of Sufism, Islam's Mystical Tradition. San Francisco: HarperOne

Masalah Mistik Tasawuf & Kebatinan, MH. Amien Jaiz, PT Alma'arif - 1980
Bandung
Chittick, William C. (2007). Sufism: A Beginner's Guide. Oneworld
Publications.

You might also like