Part 25
Part 25
Part 25
Ben mengajak Rara nonton film. Mereka memesan kelas VIP. Meski heran
dengan tingkah Ben yang terlalu royal hari itu, Rara diam saja. Dia tak ingin
banyak bertanya. Takut menyinggung pacarnya. Selama ini pun, jika Ben
memberi sesuatu kepada Rara, laki-laki itu tidak suka ditolak atau ditanyai. Cukup
terima barangnya dan ucapkan terima kasih.
Rara sudah paham tabiat Ben. Namun, kali ini, membelikannya laptop
adalah hal yang berlebihan. Dia mengeluarkan terlalu banyak uang untuk Rara.
Gadis itu merasa bahwa pemberian Ben terlalu banyak untuk seorang pacar.
Walau demikian, Rara pun sadar, dia tak hanya sekedar pacar biasa. Mereka
melakukan hubungan yang mungkin jika Ben harus membayar orang lain di luar
sana, nominal yang dikeluarkannya akan jauh lebih besar.
Rara menerima laptop itu dengan menepis perasaan bahwa dia telah
dibayar oleh Ben. Tidak. Dirinya tak pernah meminta. Tak pula bermaksud
melakukan hubungan apapun hanya karena materi. Dulu, Ijung jauh lebih kaya.
Tak pernah sekalipun Rara meminta. Laki-laki itulah yang selalu menyodorkan
semua yang menurutnya akan disukai Rara. Tetapi, jawaban Rara selalu sama :
dia hanya ingin disayang.
Kehidupan Rara sejak masih bayi hingga remaja nihil kehadiran sosok
ayah. Oleh sebab itu, dia menyukai berhubungan dengan laki-laki yang usianya
jauh lebih dewasa dari dirinya. Pada saat kelas 8, Rara pernah menyukai Ahmadi,
seorang pemuda putus sekolah dari kampung sebelah. Tiga bulan lamanya
memendam rasa, dia akhirnya kecewa ketika mendengar bahwa Ahmadi
mengatakan tak menyukai Rara. Katanya, Rara gendut dan berjerawat. Hati Rara
langsung patah saat itu juga.
Sebetulnya, Rara tak mendengar langsung dari mulut Ahmadi. Syam yang
merupakan teman Ahmadi adalah orang yang mengatakan itu padanya. Pemuda
berusia 21 tahun yang bekerja sebagai karyawan di pabrik garment itu menemui
Rara dan mengatakan apa yang dikatakan Ahmadi mengenai Rara.
Syam mendekati Rara saat gadis itu masih sering berhubungan dengan
Ahmadi melalui ponsel. Dia meminta nomor telepon Rara kepada Ahmadi dengan
dalih ingin melakukan tes kesetiaan. Apakah Rara gadis yang baik? Atau
perempuan murahan yang mudah diajak kenalan oleh siapapun? Mendengar
alasan Syam, Ahmadi yang saat itu masih berusia 17 tahun pun setuju. Dia
memberikan nomor ponsel Rara tanpa curiga sedikitpun.
Hanya butuh waktu sebulan bagi Syam untuk bisa membawa Rara keluar.
Mereka berdua makan bakso dan minum es teler di dekat alun-alun. Saat pulang,
Syam memegang tangan Rara dan memasukkannya ke saku jaket miliknya. Rara
terkejut dan langsung menarik tangannya. Jantungnya berdebar kencang. Baru
pertama kali itulah tangannya disentuh oleh laki-laki.
“Apa ini?” tanya Ahmadi. Meski usianya lebih muda dibanding Syam, dia
tak pernah memanggilnya ‘Kak’ atau ‘Mas’. Hal itulah yang membuat Syam
muak dengannya. Ahmadi dianggap tak memiliki sopan santun terhadapnya.
“Ini foto cewek yang kamu suka. Rara. Sekarang dia udah sama aku, jadi
kamu minggir.” Sahut Syam kalem.
“Asu, kowe! Katanya mau ngetes, eh malah macarin. Balikin foto Rara!”
Syam keliru. Rara bukanlah gadis yang mudah jatuh cinta. Setelah
mendengar dirinya diejek oleh Ahmadi meski secara tidak langsung, maka Rara
pun menutup hatinya. Dia tak memberi kesempatan pada Syam meski lelaki itu
sering datang untuk mengajaknya pergi atau sekedar mengantarkan makanan.
Rara tak peduli. Hingga akhirnya, gadis itu memilih untuk tak membalas semua
pesan Syam. Sadar diri, pemuda itupun berhenti menghubungi Rara. Dia tak ingin
merasa menjadi pengganggu.
Sama seperti Ben. Rara tertarik padanya, karena menganggap laki-laki itu
menarik dengan segala kecerdasan dan wawasannya. Rara tak tahu, justru
kemampuan otak Ben itulah yang membuatnya menjadi terlalu pintar untuk
menipu.