Vertical Social Mobility of Coffee Farmers in Kebonrejo Village, Kalibaru District, Banyuwangi
Vertical Social Mobility of Coffee Farmers in Kebonrejo Village, Kalibaru District, Banyuwangi
Vertical Social Mobility of Coffee Farmers in Kebonrejo Village, Kalibaru District, Banyuwangi
Banyuwangi
Abstrak
Mobilitas sosial merupakan perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial yang lain,
ada dua tipe mobilitas sosial yaitu vertikal dan horizontal. Dengan mendefinisikan
pengertian mobilitas sosial, artikel ini mengkaji tentang mobilitas sosial vertikal yang terjadi
pada petani kopi. Permasalahan yang dihadapi petani saat ini masih saja berkutat pada
kesejahteraan yang rendah, disini petani mulai memobilisasi dirinya untuk mencapai status
yang lebih tinggi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kulitatif dengan lokasi penelitian
di Desa Kebonrejo Kecamatan Kalibaru Banyuwangi. Dalam penelitian ini, data dan
informasi diperoleh melalui observasi partisipan, wawancara, dan dokumentasi. Data dan
informasi yang didapat kemudian diuji menggunakan teknik trianggulasi data. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kehidupan sosial masyarakat Desa Kebonrejo sebelum
menjadi petani kopi relatif rendah, kebanyakan mereka bekerja hanya sebagai buruh. Setelah
menjadi petani kopi perlahan kesejahteraan mereka mulai terangkat. Status yang sebelumnya
kelas rendahan buruh atau pekerja kini sudah menjadi petani pemilik. Ada bebrapa faktor
yang melatarbelakangi terjadinya mobilitas sosial petani kopi yaitu mereka melihat desa lain
sukses dengan tanaman kopinya selain itu ada keinginan dari masyarakat untuk menjadi
petani yang sukses dan maju.
Abstract
Social mobility is a movement from one social class to another, and there are two types of
social mobility, namely vertical and horizontal. By defining the definition of social mobility,
this article examines the vertical social mobility in coffee farmers. The problems farmers face
today are still struggling with low welfare; here, farmers begin to mobilize themselves to
achieve a higher status. This study uses a skin-active approach with a research location in
Kebonrejo Village, Kalibaru Banyuwangi District. In this study, the researcher obtained data
and information through participant observation, interviews, and documentation. The data
and information obtained are then tested using data triangulation techniques. The results
showed that the social life of the Kebonrejo Village community before becoming a coffee
farmer was relatively low. Most of them worked only as laborers. After becoming coffee
farmers, their welfare slowly began to rise. The status that was an inferior class of workers
has now become an owner. Several factors are underlying the social mobility of coffee
farmers. They see other villages succeeding with their coffee crops, and there is a desire from
the community to become successful and advanced farmers.
Pendahuluan
Sebelum masyarakat beralih menanam kopi, mereka tentunya sudah mempelajari untung dan
ruginya dari bertani kopi. Proses perubahan yang terjadi sejak adanya peralihan pekerjaan
dari buruh menjadi petani kopi memang dirasakan masyarakat. Perubahan yang terjadi tidak
hanya pada bidang ekonomi tetapi sosial budaya mereka. Tingkat pendapatan masyarakat
juga semakin meningkat hal ini mengakibatkan tingkat daya beli masyarakat semakin tinggi.
Tindakan-tindakan yang dilakukan Masyarakat bukannya tidak memiliki resiko namun
mereka berani mengambil tindakan tersebut sebagai pilihan rasional. Berdasarkan latar
belakang di atas peneliti tertarik untuk mengkaji tentang mobilitas sosial vertikal yang terjadi
pada masyarakat Desa Kebonrejo
Pembahasan
Desa Kebonrejo terbagi menjdi 4 dusun, 18 Rukun Warga dan 70 Rukun Tetangga. Pada
umumnya masyarakat yang tinggal di Desa Kebonrejo terdiri dari masyarakat etnis Jawa dan
Madura, meskipun berbeda etnis mereka tetap hidup berdampingan satu dengan yang lainnya.
Mayoritas pekerjaan masyarakat Desa Kebonrejo adalah petani dan buruh tani, hal ini
didukung karena terdapat perusahaan milik negara dan swasta yang berfokus pada
pengelolaan hasil pertanian dan perkebunan. Akses jalan menuju Desa Kebonrejo sangatlah
mudah, desa ini terhubung oleh jalan provinsi yang menghubungkan antara Kabupaten
Jember dan Banyuwangi.
Sejarah Pembukaan Lahan Pertanian Kopi Awal mula pembuakaan lahan kopi di Desa
Kebonrejo sekitar tahun 1998 era moneter pada zaman pemerintahan Gus Dur . Pada saat
terjadi peralihan kepemimpinan dari Presiden Habibi ke Presiden Gus Dur. Beliau
menyatakan bahwa hutan milik rakyat, seperti pernyataan Bapak Samidi sebagai berikut:
“..sejak tahun 1998 pada waktu itu moneter, perpindahan era Presiden Habibi ke
Presiden Gus Dur, pada waktu itu Gus Dur menyatakan menurut Undang-undang
pasal 33, mengatakan bahwa hutan milik rakyat itu disalah artikan..” diperjelas oleh
Mas Wawan mengenai awal mula pembukaan lahan sebagai berikut : “itu pun dulu
waktu masih awalnya itu perhutani yang ngasih lahan. Awalnya waktu itu ya Gus Dur
yang bicara hutan milik rakyat”.
Karena tafsir dari masyarakat tentang hutan milik rakyat itu salah, masyarakat kemudian ulai
menjarah hutan. Pohon-poho ditebangi dan kemudian oleh masyarakat dijadikan lahan
pertanian. Masyarakat yang dulunya menggantungkan hidup di hutan seperti mencari rumput,
kayu bakar daun-daun untuk di jual, ikut terpegaruh dengan adanya pembukaan lahan.
Dahulu mereka yang biasanya mencari kayu dan daun di hutan, kini sudah tidak boleh oleh
pemilik lahan, karena menurut orang yang membuka lahan itu merupakan lahan miliknya.
Permasalahan muncul ketika perhutani melarang masyarakat untuk membuka lahan, karena
ini akan merusak fungsi hutan yang tadinya merupakan penahan air ketika hujan. Terjadilah
perselesihan antara masyarakat dan petani, menurut perhutani tindakan masyarakat itu
merupakan ilegal logging. Hingga terjadilah negosisi yang dilakukan pemerintah setampat
dengan pihak perhutani. Dengan adanya negosisi tersebut terjadilah kesepakatan antara dua
belah pihak Dari kesepakatan itu masyarakat boleh mengelola lahan milik perhutani dengan
syarat yang sudah ditentukan oleh Perhutani. Pihak perhutani memberikan syarat agar tidak
merusak pohon pohon besar yang sudah tumbuh hal ini dimaksudkan untuk menjaga
lingkungan dari bencana tanah longsor. Perhutani hanya memberikan Hak Guna Usaha
(HGU) pada masyarakat untuk memanfaatkan lahan hutan menjadi pertanian. Pada mulanya
masyarakat tidak langsung menanam tanaman kopi melainkan jahe, karena pada waktu itu
ada ekspor jahe oleh pihak perhutani. Namun sekitar tahun 2004 ekspor jahe sudah menurun
dan kemudian masyarakat melihat desa lain sukses dengan tanaman kopinya, sehingga
mereka berinisiatif untuk mulai menanam kopi di selasela tanaman jahe.
Peralihan kekuasaan setelah era Orde Baru runtuh dan Gus Dur menjabat presiden, beliau
menyatakan menyatakan hutan milik rakyat. Pernyataan ini kemudian dijadikan dasar oleh
masyarakat untuk memulai membuka lahan. Awalnya masyarakat Desa Kebonrejo
menggantungkan hidup sebagai buruh atau karyawan di perusahaan yang mengelola
perkebunan kopi sekitar Desa Kebonrejo. Namun, saat lapangan pekerjaan di Perusahaan
mulai berkurang, mengakibatkan banyak masyarakat yang biasanya bekerja sebagai buruh di
perkebunan menjadi pengangguran. Sehingga mereka tidak memiliki penghasilan untuk
mencukupi kebutuhan keluarganya. Tuntutan biaya hidup terus berjalan sementara
pemasukan mereka terhenti kerena tidak lagi memiliki pekerjaan, pada kondisi seperti itulah
masyarakat memutuskan untuk mulai membersihkan hutan dan membuka lahan kebun kopi.
Selain hal diatas alasan masyarakat membuka lahan pertanian kopi adalah karena ikut-ikut
masyarakat lainya yang lebih dulu membuka lahan hutan, mereka menganggap dengan
membuka lahan hutan akan memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Hal tersebut dilakukan
JURNAL ENTITAS SOSIOLOGI
ISSN:2088-8260 Volume X,Nomor 1, Februari 2021
Mobilitas Sosial Vertikal Petani Kopi Di Desa Kebonrejo Kecamatan Kalibaru Banyuwangi 62
agar mereka dapat melanjutkan hidup dan memenuhi kebutuhah sehari-harinya, sebagaimana
yang disampaikan Oleh Bapak Poniman;
“Ya begini mas, saya kan sudah berkeluarga anak saya 2 kan juga perlu biaya,
mangkannya saya ikut-ikut warga buat nanam kopi, ya alhamdulillah sekarang sudah
cukup, penghasilannnya ya lumayan lah mas bisa buat kebutuhan sehari-hari”.
Kebanyakan masyarakat awalnya hanya berfokus pada tanaman jahe kemudian mulai
menanam kopi karena tanaman kopi dirasa cocok ditanam di daerah pegunungan dan nilai
jual yang juga menjanjikan. Seperti yang disampaikan oleh Pak Poniman. sebagai berikut:
“Saya itu tergiur sama hasil panennya mas, saya tau dari tetangga ini katanya kopi
kok bagus jadi saya mulai tanam itu. tapi tetep saya selingi tanaman yang cepat panen
mas supaya ada pengasilan lain. kalo sekarang ya hasilnya bisa dilihat..”
Dari penjelasan Pak Poniman di atas dapat diartikan bahwa penghasilan dari pertani kopi
lebih menguntungkan dari tanaman yang lain. Selain itu Pak Poniman juga melihat tetangga
desa memperoleh penghasilan yang besar dari bertani kopi. Pak Poniman tidak hanya
menanam kopi saja tetapi disela-sela tanaman kopi ia juga menanam tanaman yang masa
panennya lebih singkat. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh tambahan pendapatan dari
hasil penjualan tanaman tersebut. Jika pada awalnya masyarakat Desa kebonrejo membuka
lahan atas dasar tidak ada pilihan lain untuk mencari penghasilan sehingga memberanikan
diri untuk memutuskan untuk membuka lahan hutan dan dijadikan lahan untuk bercocok
tanam. Namun seiring berjalannya waktu pilihan membuka lahan kebun kopi memiliki
ketertarikan sendiri bagi masyarakat Desa Kebonrejo. Sehingga banyak dari mereka yang
memilih untuk membuka lahan kebun kopi dan juga melihat keberhasilan yang diraih oleh
petani kopi yang lain.
Pengelolaan Lahan Dan Keuangan Petani Kopi Penguasaan hutan dan dijadilakan lahan
produksi pertanian atau lahan kebun kopi adalah persoalah kemauan dan kegigihan.
Seseorang yang membuka lahan kebun kopi bukanlah dengan mudah melakukannya akan
tetapi penuh perjuangan dan kerja keras. Kebanyakan masyarakat yang membuka lahan
kebun kopi sebelumnya bekerja sebagai buruh perkebunan yang dikelola perusahaan.
Sehingga bekerja keras membuka lahan kebun kopi bukanlah perkara terlalu sulit bagi
mereka. Mereka yang sudah terbiasa
membanting tulang menjadi buruh kemudian membuka lahan hutan hingga layak menjadi
lahan produksi pertanian, bukan menjadi persoalan yang sulit bagi meraka. Masyarakat harus
memiliki strategi mengatasi kebutuhan hidup dengan tidak tergantung hanya pada panen
kopi. Hal tersebut sebagaimana disampiakan oleh Pak Aziz :
“..ndak semua, ada sebagian yang saya tanami sawi, lombok, ubi, jahe. soalnya kan
masa tunggu panen kopi lama. Jadi disela-sela itu saya tanami tanaman kecilkecil, kan
bisa seminggu dua minggu panen. Kalau tidak begitu tidak dapat penghasilan harian”.
Dari pernyataan Pak Aziz diatas bahwa tidak semua lahan yang mereka peroleh ditanami
kopi ada juga tanaman tumpangsari seperti, sawi, lombok, jahe untuk dijadikan penghasilan
tambahan sembari menunggu hasil panen kopi. Hal ini juga diperjelas degan pernyataan Mas
Wawan, berikut ini yang disampaikan Mas Wawan;
“Selama masa tanam kan masih menunggu kurang lebih 4-5 tahun sampai bisa
menghasilkan buah yang dapat kita nikmati. Jadi ya di campur juga selain kopi ada
tanaman lain cabe di sela-sela kopi yang masih remaja dimanfaatkan orang, ada yang
jahe, ada yang pisang, untuk menutupi biaya sehari-hari yaitu diambil dari panen jahe,
cabe, pisang masalahnya kan biayanya banyak”.
Selain itu perawatan dari pohon kopi juga banyak memakan biaya seperti biaya pupuk dan
perawatan lainnya. Beban biaya perawatan yang mahal mengharuskan petani memikirkan
bagaimana cara untuk mendapat uang yang digunakan untuk biaya perawatan kebun kopinya,
sedangkan biaya hidup juga harus dipenuhi. Untuk menyiasati itu petani meminjam modal
kepada pengepul dengan nominal tertentu. Sebagai jaminan pengepul mengharuskan petani
menjual hasil penen kopi kepadanya. Kebutuhan biaya perawatan tanaman kopi yang tinggi
juga diakui oleh pengepul hasil panen petani, bahkan ada beberapa masyarakat yang
mengambil pinjaman ke para pengepul sebelum panen, dengan syarat hasil panen kopi
tersebut harus dijual kepada pengepul yang memberikan pinjaman dengan selisih harga yang
lebih murah daripada nilai jual kopi. Pada kondisi ekonomi yang terhimpit petani dengan
terpaksa harus meminjam modal meskipun resikonya dihargai lebih murah.
Kehidupan petani tidak selalu beruntung, ada banyak dinamika yang harus dilalui baik dari
segi sosial maupun kebutuhan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan seharihari. Kebiasaan
petani biasanya lebih berhemat pada saat jauh dari masa panen, sedangkan pada saat panen
mereka lebih royal dan kurang baik mengelola keuanganya Hal tersebut diakui oleh Pak
Subroto sebagai berikut:
“2 tahun yang lalu itu kan panen bulan juli, hasilnya ya lumayan terus masyarakat
yang punya lahan itu diwajibkan untuk iuran soalnya mau dibuatkan kegiatan untuk
Agustusan, ya namanya orang sudah panen kalo masalah uang jangan di tanya kalo
cuma iuran minimal 100 itu mas, kalo yang punya lahan banyak bisa 1 juta kadang
lebih”
Diakui oleh Pak Subroto, loyalitas mereka ketika panen sangat tinggi, mereka bisa
memberikan sumbangan 100.000 sampai 1.000.000 untuk iuran kegitan mereka
menyanggupi, karena penghasilan mereka cukup tinggi. Hal serupa juga yang disampaikan
oleh Ibu Saminah, berikut yang disampaikan Bu Saminah: “Memang perubahan itu
dirasakan mas ketika kalo sudah penen kopi kalo sebelum panen kopi ya ngerem
pengeluaranlah mas, kan saya juga mikir pengeluaran sehari-harinya, tapi kalo pas musim
kopi saya itu gak bisa ngontrol pengeluaran mas, biasanya klo sehari 50 ribu ini bisa 100 ribu
kadang malah beli barang-barang lain.
Dari pernyataan di atas bahwa pengelolaan keuangan petani kopi sebelum dan sesudah panen
kopi itu berbeda. Jika sebelum panen kopi, keuangannya lebih terkontrol dan hanya
digunakan untuk membeli kebutuhan harian. Hal ini berbanding terbalik ketika sudah masuk
musim panen. Pengelolaan keuangan mereka ketika memasuki musim panen kopi menjadi
tidak terkontrol dan boros karena uang hasil panen yang didapat selain untuk membeli
sandang pangan mereka juga ingin memenuhi hasrat dengan membeli barang berharga seperti
kalung, perabotan rumah tangga, kendaraan pribadi dan sebagainya.
Mobilitas sosial adalah suatu pergeseran, perpindahan atau perubahanperubahan pada status
dan peran seseorangatau kelompok dalam komunitas sosialnya (Suyanto dan Narwoko, 2006:
64). Dalam masyarakat yang memiliki lapisan sosial yang terbuka sangat mudah terjadi
pergeseran atau perubahan sosial. Hal ini juga terjadi pada masyarakat Desa Kebonrejo
secara garis besar masyarakat telah mengalami perubahan status dan peran. Mobilitas yang
terjadi mengakibatkan terbentuknya pola baru yang menggantikan pola lama di dalam
masyarakat. Mobilitas yang dilakukan ketika beralih menjadi petani kebun kopi berdampak
pada naiknya status, pendapatan dan interaksi dalam masyarakat. Pada dasarnya masyarakat
telah berubah status dan perannya. Status merupakan posisi seorang dalam kelompok
sosialnya, sementara peran adalah hak dan kewajiban dari status tersebut. Pada dasarnya
buruh dipandang memiliki kelas sosial yang rendah oleh masyarakat. Ketika masyarakat
memiliki pekerjaan sebagai buruh mereka mempunyai peran sebagai orang yang
menyediakan jasa.
Pada saat mereka menjadi buruh perkebunan atau buruh pertanian, maka mereka memiliki
peran sebagai penyedia jasa pada pihak perkebunan, sedangkan pihak perkebunan adalah
orang atau lembaga yang membutuhkan jasa mereka dalam mengelola hasil perkebunan atau
pertanian Masyarakat yang menjadi petani kopi berasal dari beberapa profesi pekerjaan atau
status sosial yang beragam di dalam masyarakat. Status yang dimiliki petani kebun kopi
sebelumnya adalah sebagai buruh perkebunan, buruh pertanian, kuli bangunan dan pedagang.
Ada perubahan masyarakat yang membentuk pola baru seperti munculnya jenis pekerjan
baru. Pilihan masyarakat Kebonrejo untuk menjadi petani kopi merupakan suatu perubahan
artinya terdapat mobilitas di dalam masyaakat tersebut. Ketika status dan peran sosial
seseorang ataupun kelompok berubah maka mereka tengah mengalami mobilitas sosial. Hal
tersebut sebagaimana disampaikan oleh Bapak Poniman;
“Sebelumnya ya nguli mas cuma kan pendapatannya gak tetu, iya kalo ada panggilan
baru dikerjakan kalo ndak, kadang saya apa itu buruh mas di kebunnya orang, dari
pada jadi buruh terus mas tidak bebas. Akhirnya sampai bisa beli lahan sendiri”
Terjadi perubahan dari masyarakat yang kemudian memilih untuk menjadi petani kopi,
karena pada mulanya mereka berprofesi bukan sebagai petani sehingga dari segi kebiasaan
dan aktivitas sehari-hari mengalami perubahan. Jika sebelum menjadi petani mereka bekerja
sebagai buruh maka mereka akan beraktivitas dan bekerja sesuai jam kerja yang sudah
ditetapkan, namun setelah beralih menjadi petani kopi, mereka bekerja sesuai keinginan dan
kebutuhan mereka sendiri tanpa adanya arahan dan tekanan dari pihak lain
Menurut Suyanto dan Narwoko (2006:208) mobilitas sosial tidak selalu perpindahan dari
tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi karena mobilitas sosial sesungguhnya dapat
berlangsung dalam dua arah. Berbeda dengan Cohen (1992:268) yang mengartikan mobilitas
sosial merupakan perpindahan individu-individu atau kelompok dari suatu status sosial ke
status sosial yang lain. Pergerakan yang terjadi bisa naik atau turun, atau tetap pada tingkat
JURNAL ENTITAS SOSIOLOGI
ISSN:2088-8260 Volume X,Nomor 1, Februari 2021
Mobilitas Sosial Vertikal Petani Kopi Di Desa Kebonrejo Kecamatan Kalibaru Banyuwangi 66
yang sama tetapi dalam pekerjaan yang lain. Artinya jika kita bicara tentang mobilitas sosial
tidak selalu berbicara soal kenaikan status atau kelas sosial seseorang atau kelompok, akan
tetapi juga bisa turunnya status sosial atau kelas sosial seseorang dalam masyarakat Berikut
ini penulis menyajikan bagan bentuk-bentuk mobiitas yang terjadi pada petani kopi di Desa
Kebonrejo
Adanya perubahan yang signifikan pada petani kebun kopi dibandingkan sebelum memiliki
status petani kopi. Bentuk-bentuk perubahan yang terjadi bukan hanya dari segi ekonomi saja
melainkan juga dari segi kelas sosial dalam masyarakat. Sebelum menjadi petani kopi,
mereka seringkali dipandang sebagai kelas yang berada pada kasta yang rendah dalam
masyarakat karena bekerja sebagai buruh atau pekerja, yang biasanya berada dalam tekanan
orang lain setelah menjadi petani kebun kopi mereka kemudian menjadi tidak terikat dan naik
kelas menjadi pemilik lahan . Perubahan Setelah Menjadi Petani Kopi Perubahan pertama
yang di terjadi pada masyarakat Desa kebonrejo yang membuka lahan kopi adalah perubahan
profesi pekerjaan. Sebelum membuka lahan kopi masyarkat Desa Kebonrejo banyak
berprofesi sebagai buruh perkebunan, buruh karet dan kuli bangunan. Namun sejak mereka
membuka lahan kebun kopi mereka menjadi beralih profesi menjadi petani kebun kopi.
Menjadi petani kebun kopi adalah profesi baru bagi masyarakat Desa Kebonrejo yang
sebelumnya bekerja di sektor lain, sehingga mereka membutuhkan banyak penyesuaian-
penyesuaian dari beberapa aspek kehidupan, semisal pola kerja yang harus dilakukan ketika
mengelola lahan pertanian . Sebelum menjadi petani kopi seorang yang bekerja sebagai buruh
perkebunan, ia hanya perlu pergi dan bekerja sesuai jadwal yang telah di tentukan tanpa harus
memikirkan apa yang harus ditanam dan metode apa yang akan dipakai untuk perawatan
tanamannya. Namun ketika menjadi petani kopi artinya bekerja di lahan miliknya sendiri
maka ia harus mengatur sendiri bagaiman pola kerja yang akan ia dan keluarganya lakukan
serta bagamana memperoleh modal untuk bercocok tanam, tanaman apa yang harus di tanam,
kapan dan bagaiman ia harus bekerja semua harus diatur sendiri. Hal tersebut sebagaimana
disampaikan Bapak Poniman;
“Ya enak yang sekarang jadi petani punya sendiri. Mana ada enak orang di suruh
orang, kan kalo punya lahan sendiri kan sudah bebas. Mau berangkat jam berapa
pulang jam berapa kan sudah gak diperintah orang gak terikat. Kan kalo selesai
punyaan sendiri disuruh orang ya kerja”
Menjadi petani kopi memang bukan persoalan mudah, ada banyak kesulitan dan tambahan
beban pikiran serta tenaga yang harus ditanggung. Namun disisi lain menjadi petani kopi juga
memberikan banyak kemudahan bagi mereka. Jika sebelum menjadi petani kebun kopi
masyarakat sering bingung mencari pekerjaan kepada orang lain, saat ini tidak lagi.
Pekerjaan di kebun kopi selalu ada bahkan selalu banyak. Hal tersebut sebagaimana
disampaikan oleh Pak Aziz;
“Iya kalau orang sini bilangnya kopi itu berkah, orang bisa punya kerja kan tiap hari
merawat. Habis metik kan masih ada itu ngerabuk, cabang-cabang yang kering itu
dibersihan. Jadi yang gak punya kopi bisa kerja di orang yang punya lahan, jadi
buruh. Kalo masa panen bisa jadi ojek buat ngangkut hasil panen”
Selain terjadi perubahan jenis pekerjaan masyaraka Desa Kebonrejo juga mengalami
perubahan pendapatan meskipun panen kopi sejatinya dilakukan 1 tahun sekali. Jika petani
memiliki 1 hektar lahan kebun kopi, panen yang dihasilkan mencapai 9-10 ton dengan catatan
proses perawatan tanaman kopi ini dilakukan dengan baik untuk memperoleh buah yang
kualitasnya bagus. Jika jelek perawatannya petani hanya bisa memanen 5-6 ton. Jika dihitung
berdasarkan harga dari pengepul kopi, mereka mengambil atau membeli kopi gelondong per
kilonya 50006000 rupiah. Jika kita buat harga yang minim yakni 5000 petani dengan kualitas
kopi yang bagus bisa menghasilkan 45.000.00050.000.000 rupiah, sedangkan petani yang
memiliki kualitas jelek itu bisa dapat 25.000.000-30.000.000 rupiah.
JURNAL ENTITAS SOSIOLOGI
ISSN:2088-8260 Volume X,Nomor 1, Februari 2021
Mobilitas Sosial Vertikal Petani Kopi Di Desa Kebonrejo Kecamatan Kalibaru Banyuwangi 68
Banyak faktor yang mengakibatkan mobilitas sosial dalam masyarakat, faktor tersebut bisa
datang dari dalam maupun dari luar. Faktor pendorong perubahan pada lapiasan masyarakat
biasanya dari dalam diri masyarakat, adanya kesadaran diri untuk meperoleh kesejahteraan
akan mempercepat proses perubahan. Sama dengan yang dialami oleh masyarakat petani kopi
di Desa Kebonrejo, mereka memiliki keinginan yang kuat dalam mencapai kesejahteraan dan
ingin maju, sehingga terjadilah proses perubahan. Perubahan yang mereka alami terletak pada
perubahan status sosial dan ekonomi. Proses penantian panen kopi cukup lama, dari hasil
panen kopi sebagian ada yang digunakan sebagai biaya sekolah anaknya, artinya masyarakat
sudah mulai sadar akan pentingnya dunia pendidikan. Mereka tidak mau anak mereka sama
dengan orang tuanya minimal anak-anak mereka pernah mengenyam pendidikan dari SMA
hingga perguruan tinggi. Seperti yang diungkapkan Mas Wawan; “...disini sudah gak kayak
dulu, sekarang disini modern sudah jadi orang tua itu kebanyakan mengejar dimana putra
putrinya itu bisa sampai perguruan tinggi, rata-rata begitu. jadi bener-bener dikejar itu
pendidikan sekarang ini, dari masyarakat sini. istilahnya pola pikirnya sudah modern, ndak
kaya orang dulu yang penting bisa baca nulis sudah berhenti. Kalau sekarang sudah ndak,
meskipun orang ndak punya berusaha gimana anaknya bisa samapai punya karir, kuliah kalo
bisa. Orang ndak punya pun disini sudah lulusan SMK.”
Peningkatan pendapatan dari buruh menjadi pemillik lahan kopi dirsakan oleh masyarakat.
Jika pendapatan mereka sebagai buruh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Lain halnya ketika mereka menjadi petani kopi hasil dari penen kopi yang cukup besar selain
untuk pemenuhan kebutuhan, masyarakat juga menggunakan untuk membeli barang mewah,
renovasi rumah, kendaraan bahkan digunakan untuk menunaikan ibadah umruh dan haji.
Mobilitas yang dialami dialami oleh masyarakat desa Kebonrejo berdampak positif bagi
tatanan sosial yang ada. Mereka mulai aktif aktif turut serta dalam kegitan-kegiatan yang ada.
Kegiatan yang di gagas oleh pemuda terlahir dari adanya kejenuhan dalam masyarakat.
mereka yang mayoritas adalah petani kopi merasa bahwa dalam melakukan pekerjaan sehari-
hari di kebun butuh suatu hiburan. Maka dari itu masyarakat berinisiatif untuk mengaktifkan
potensi pemuda yang ada. para pemuda yang ada di desa diberikan tanggung jawab untuk
mengadakan kegitan desa. Kegiatan berupa pentas seni, merenofasi rumah ibadah, memberi
santunan Karena sebagian besar masyarakat menganut agama islam. Setelah penen raya
kopi, mereka mengadakan pengajian dengan mengundang tokoh keagamaan. Jadi, mereka
JURNAL ENTITAS SOSIOLOGI
ISSN:2088-8260 Volume X,Nomor 1, Februari 2021
Mobilitas Sosial Vertikal Petani Kopi Di Desa Kebonrejo Kecamatan Kalibaru Banyuwangi 69
tidak hanya menghamburkan uang hasil panen kopi utuk membeli barang mewah, tetapi juga
mengadakan pengajian. Hal ini merupakan bentuk rasa syukur mereka terhadap sang
pencipta, sehingga jiwa rohani mereka tetap terjaga. Berikut pernyataan Pak Aziz : “...kalo
sudah panen kopi uang 100 ribu gak ada harganya, royal orang sini kalo sudah panen. Kalau
di pengajian pas musim kopi kadang iuran paling sedikit 100 ribu sumbangannya 50 ini
jarang. Kadang ada yang 500 ribu, 1 juta. Kalo gak musim kopi ya 50, kadang 30, 20 ribu.
kalo musim kopi belanja orang sini. Semua mau di beli.”
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Narwoko, J Dwi dan Suyanto, Bagong. 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta
: Prenada Media Grup, 2006.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Terakhir Postmodern. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Ed Ke-8, 2012.
Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan Dan Pertanian. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press, 1999.
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar (Edisi Revisi). Jakarta : Rajawali Pers
cet.ke-44, 2006.
Yuswadi, Harry. 2005. Melawan Demi Kesejahteraan: Perlawanan Petani Jeruk Terhadap
Kebijakan Pembangunan Pemerintah. Jember : Kompyawisda Jatim, 2005.