Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Temukan jutaan ebook, buku audio, dan banyak lagi dengan uji coba gratis

Mulai dari $11.99/bulan setelah uji coba. Batalkan kapan saja.

Amaenudu
Amaenudu
Amaenudu
eBook68 halaman1 jam

Amaenudu

Penilaian: 5 dari 5 bintang

5/5

()

Baca pratinjau

Tentang eBuku ini

Ini adalah untaian kisah nyata, 'side story' yang memperlihatkan sisi patriotik kehidupan manusia. Bahwa hidup, sekeras apapun ... segetir apapun ... tetap harus diperjuangkan ... hingga titik darah nan penghabisan. 

Coba lihat, ada Lalu Slamet yang gigih membelah batu gunung dan dilakoni bertahun-tahun hingga dijuluki orang gila, demi memperjuangkan air untuk dipersembahkan pada warga Kelurahan Ijo Balit, Lombok Timur. Ada pria asal Perancis, Chanee, yang gigih memberikan perlindungan pada satwa owa di pedalaman Kalimantan. Andre Graff, yang mengabdikan diri sebagai tukang gali sumur di Sumba Barat sebagai langkah simpati pada warga yang harus berjalan kaki berjam-jam untuk mendapatkan seember air, atau Sri, ibu rumah tangga di Lombok Tengah, yang berjibaku mengubah nasib dengan memelihara puluhan kambing. 

Inilah hidup, tidak untuk diratapi ... tidak untuk dirutuki, tetapi jalani. Melangkah dengan sepenuh hati, niscaya lentera alam akan menuntun pada arah yang kita tuju.  

BahasaBahasa indonesia
Tanggal rilis1 Apr 2020
ISBN9781393790518
Amaenudu

Terkait dengan Amaenudu

E-book terkait

Ulasan untuk Amaenudu

Penilaian: 5 dari 5 bintang
5/5

3 rating0 ulasan

Apa pendapat Anda?

Ketuk untuk memberi peringkat

Ulasan minimal harus 10 kata

    Pratinjau buku

    Amaenudu - Vivi Suryanitta

    AMAENUDU

    @2020  Vivi Suryanitta

    All Rights Reserved

    ––––––––

    Diterbitkan:

    Laksara Publishing

    Cetakan pertama: April 2020

    ––––––––

    Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

    Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau

    seluruh isi bagian buku ini tanpa seizin penulis/penerbit

    SATU

    Pejuang Air di Dataran Dahaga

    Dataran itu, semula merupakan bentangan tanah yang kering, di mana tumbuh-tumbuhan meranggas, debu-debu beterbangan dan sebagian besar penduduk menatap sayu pada perbukitan Ijo Balit yang mengering, dengan sorot mata tanpa pengharapan akan masa depan. 

    Satu-satunya mata pencaharian penduduk adalah menambang pasir atau batu. Tidak ada alternatif pekerjaan lain. Ketiadaan air, membuat warga tidak bisa beternak atau mengupayakan lahan pertanian, kata Lalu Slamet Suryawan Sahak, salah seorang penduduk di Kelurahan Ijo Balit, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. 

    Di tengah-tengah kehidupan berlumur debu ini, Lalu Slamet pun turut larut melakoni kehidupan sebagai penambang pasir di lahan miliknya seluas 20 hektare, demi menggerakkan roda perekonomian keluarganya.

    Namun, dalam perjalanan waktu, pada lahan itu pun membentuk kubangan besar, sehingga menerbitkan ide di benak Lalu Slamet untuk membuatnya menjadi sesuatu yang bisa bermanfaat. Dalam mimpi yang digagasnya, lelaki itu membayangkan lahan itu dapat diubah menjadi kolam pemandian yang indah.

    Ide kontroversial ini, langsung saja menimbulkan cibiran bagi sebagian masyarakat. Meski Lalu Slamet adalah seorang lulusan jurusan teknik arsitektur di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta, namun ide mengubah lahan meranggas menjadi kolam pemandian, dinilai sudah jauh melenceng dari kewajaran.

    Saya sempat dianggap masyarakat sebagai orang gila, karena desa saya adalah dataran tanpa air. Ibarat dataran yang dahaga, namun saya malah mencetuskan ide membuat kolam pemandian. Tapi saya tidak menyerah. Saya harus bisa membuktikan, itu tekad saya, ujar ayah tiga anak ini.

    Lendang Panas

    Di antara cekungan lahan itu, pada tahun 1994 Lalu Slamet mulai menyisihkan batu-batu besar hasil penggalian dan menyiapkan jalan yang memadai. Seiring dengan itu, lelaki ini mulai memikirkan langkah-langkah untuk mendatangkan air. Bahkan, Lalu Slamet tidak hanya terpikir mendatangkan air untuk mengaliri lahan miliknya, namun juga memperjuangkannya bagi warga yang lain.

    Berhari-hari mengamati kontur wilayah desa, Lalu Slamet kemudian memikirkan satu langkah yang dianggapnya paling rasional. Dia bertekad membelah bukit, dan menggunakan metode sodetan agar air  Sungai Sordang yang selama ini terbuang ke laut, dapat dimanfaatkan.

    Kalau air itu dapat dibelokkan ke desa kami, tentu sangat besar artinya bagi masyarakat yang sudah ratusan tahun hidup dalam belenggu kekeringan. Saya bertekad memutus rantai kekeringan agar daerah kami tidak terus-menerus mendapat cap sebagai 'lendang panas', yakni padang rumput yang gersang. Ini makanya saya memiliki ide membelah bukit, katanya.

    Namun, ide membelah bukit itu lagi-lagi membuat Lalu Slamet menuai cibiran. Dan lagi-lagi, lelaki ini tiada gentar menghadapi. Dibantu beberapa warga yang mempercayai mimpinya, Lalu Slamet kemudian mengayun linggis di atas perbukitan.

    Hari berganti dan tahun berlalu di bawah paparan terik matahari, Lalu Slamet tetap meneguhkan niatnya untuk membelah bukit, sehingga lama-lama upaya itu membuahkan hasil. Bukit yang semula utuh tegak, akhirnya membelah.

    Lalu Slamet melanjutkan langkahnya dengan membuat terowongan yang dibuat sepanjang 4 kilometer. Terowongan itu dibuat mulai dari sungai, melintasi bukit, kemudian menuju perkampungan tempat Lalu Slamet bermukim.

    "Demi memperjuangkan mimpi mendatangkan air ke desa, saya dan beberapa penduduk membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk membelah

    Menikmati pratinjau?
    Halaman 1 dari 1