Jihad Keluarga: Membina Rumah Tangga Sukses Dunia Akhirat
Oleh A.Fatih Syuhud
()
Tentang eBuku ini
"Jaga dirimu dan keluargamu dari api neraka." (QS At-Tahrim 66:6) Perintah pada suami dan orang tua untuk membina keluarga dengan benar ini berimplikasi terus menerus selagi istri dan anak itu ada. Melakukan ini adalah perbuatan yang tidak ringan karena berjangka panjang. Dan bersifat maraton. Butuh kesabaran, kekuatan, motivasi tinggi dan keikhlasan terus menerus. Dan karena beratnya, namun baik hasilnya, maka ia disebut jihad.
Al-Quran QS Al-Ankabut 29:69 menyatakan, "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.."
A.Fatih Syuhud
A. Fatih Syuhud saat ini sebagai pengasuh dan pengajar di Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang Buku yang sudah terbit: 1. Tip Menulis di Media Massa (Pustaka Al-Khoirot, 2008) 2. Santri, Pesantren dan Tantangan Pendidikan Islam (Pustaka Al-Khoirot, 2009) 3. Wanita Salihah, Wanita Modern ((Pustaka Al-Khoirot, 2010) 4. Pribadi Akhlakul Kariman (Pustaka Al-Khoirot, 2011) 5. Dasar-dasar Jurnalistik (Pustaka Al-Khoirot, 2012) 6. Pendidikan Islam: Cara Mendidik Anak Salih, Smart dan Pekerja Keras (Pustaka Al-Khoirot, 2011) 7. Menuju Kebangkitan Islam dengan Pendidikan (Pustaka Al-Khoirot, 2012) 8. Keluarga Sakinah (Pustaka Al-Khoirot, 2013) 9. Rumah Tangga Bahagia (Pustaka Al-Khoirot, 2014) 10. Meneladani Akhlak Rasul dan Para Sahabat (Pustaka Alkhoirot, 2015) Pendidikan: • Madrasah Diniyah Al-Khoirot • Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang. • Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. • Pondok Pesantren Langitan, Tuban. • S1 Fakultas Hukum Unisda Lamongan (1989-1995) • S1 Fakultas Syariah wa Ushuluddin, Nadwatul Ulama, Lucknow India (1995 – 1998) • S2 Islamic Studies, Aligarh Muslim University, (1999 – 2000) • S2 Political Science, Agra University, 2001-2003 • S3 Islamic Studies, Jamia Millia University, 2004-2007
Baca buku lainnya dari A.Fatih Syuhud
Ahlussunnah Wal Jamaah: Islam Wasathiyah Tasamuh Cinta Damai Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianIslam dan Politik: Sistem Khilafah dan Realitas Dunia Islam Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Dasar-dasar Jurnalistik: Cara Mudah Menulis dan Membuat Buletin, Majalah dan Mading Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianHukum Waris Islam Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPendidikan Islam: Cara Mendidik Anak Salih, Smart dan Pekerja Keras Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianBahasa Arab Modern dan Amiyah Arab Saudi bagi Pemula: Percakapan, Membaca dan Menulis Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaian
Terkait dengan Jihad Keluarga
E-book terkait
Kehidupan Abu Bakkar Siddique (RA) - Life of Abu Bakkar Siddique (RA) Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianKehidupan Ali Ibn Abu Talib (RA) - Life of Ali Ibn Abu Talib (RA) Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianNasihat Perwatakan Baik Untuk Wanita - Good Character Advice for Women Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianNasihat Nabi Tentang Akhlak Mulia - Hadith - Prophetic Advice on Noble Character - Hadith Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianBagaimana cara memperbaiki dunia Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianNiat Wudu Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianSeni Kepemimpinan (Edisi Ketiga) Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Budaya dan Agama Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianModel Pernikahan Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Kehidupan Nabi Muhammad (SAW) - Life of the Prophet Muhammad (SAW) Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianKetenangan Fikiran & Kepuasan - Peace of Mind & Contentment Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianBermasyarakat, Keadilan & Persaudaraan - Socializing, Justice & Ties of Kinship Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianMind Heart Connection Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Excellent Insight: Motivasi Diri dan Tips Wirausaha Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Kehidupan Umar Ibn Khattab (RA) - Life of Umar Ibn Khattab (RA) Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianKesetiaan dan Ketidak Setiaan Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Jiwa Bahagia Hidup Sejahtera Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Ilusi Dari Kebahagiaan: Memilih Cinta Di Atas Ketakutan Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianPergaulan Yang Baik Dalam Perkahwinan Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianIman Seorang Isma'il Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianDi Belakang Barisan Musuh Diselamatkan oleh Senjata Rahasia: Bahasa Indoneasia Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Kumpulan Artikel Pendidikan Keluarga Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Kesuksesan Bukanlah Hal Mustahil: Cara Baru Berpikir Kreatif Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianBagaimana Anda Bisa Menjadi Orang Kristen Yang Kuat Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Pemikiran Rohani bagi Murid Kristus Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianSebutkan! Klaim!! Ambil!!! Penilaian: 2 dari 5 bintang2/5Mereka Yang Sombong Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5Harapan, Amanah & Rezeki Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianKejadian Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianSeni Mengikuti Penilaian: 5 dari 5 bintang5/5
Metode & Bahan Ajar untuk Anda
Biografi Nabi Muhammad SAW Edisi Bilingual Inggris & Indonesia Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Menemukan Makna Hidup (The Leepers' Lessons) Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Gaya Kepemimpinan Yesus Penilaian: 4 dari 5 bintang4/59 Alasan Kenapa Penguasa Dinasti Han Bukan Leluhur Minahasa Penilaian: 2 dari 5 bintang2/5Bagaimana Oligarki Mati Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianKisah Masjid Kobe Dari Jepang Yang Tetap Kokoh Walau Di Hantam Serangan Bom Perang Dunia Ke-2 & Gempa Bumi Penilaian: 4 dari 5 bintang4/5Kisah Hikayat Nabi Isa AS Putra Siti Maryam & Burung Merpati Yang Tercipta Dari Tanah Liat Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaianTentang Kretek Penilaian: 0 dari 5 bintang0 penilaian
Ulasan untuk Jihad Keluarga
0 rating0 ulasan
Pratinjau buku
Jihad Keluarga - A.Fatih Syuhud
BAB I
Jihad Memilih Jodoh
J:\BUKU MEDIA ARAB\23.jpgTujuan Pernikahan adalah Keluarga Sakinah
Dalam (QS Ar Rum 30:21)[11] Allah berfirman bahwa tujuan sebuah rumah tangga adalah agar supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang (mawaddah wa rahmah)
. Inilah salah satu kriteria dan filosofi rumah tangga yang ideal menurut Islam. Mengapa kriteria ini penting karena dari situ akan tercipta sebuah keluarga berkualitas. Dan hanya dari sebuah lingkungan keluarga yang berkualitas akan muncul generasi yang berkualitas pula yang akan meneruskan tongkat estafet perjuangan menyebarkan kebaikan dan mencegah keburukan (QS Ali Imran 3:110).[12]
Membina sebuah rumah tangga yang mawaddah wa rahmah tentu saja tidak semudah mengatakannya. Hal itu terjadi karena ia melibatkan sedikitnya dua pihak yaitu suami dan istri. Kalau struktur kejiwaan satu orang saja begitu kompleks dan rumit, dapat dibayangkan betapa rumitnya kehidupan bersama yang melibatkan dua manusia. Apalagi kalau ditambah dengan anak-anak. Maka, dibutuhkan kemampuan untuk mengatasinya. Dalam Islam kemampuan itu bernama iman dan ilmu yang dengan keduanya akan membuat seseorang memiliki derajat jauh lebih tinggi daripada yang lain baik di dunia maupun di akhirat (Al Mujadalah 58:11).[13]
Iman dan ilmu merupakan dua hal yang saling terkait dan berkelindan. Bagi seorang muslim yang mendapat hidayahNya, iman akan semakin meningkat seiring meningkatnya keilmuan Sedang motivasi utama dalam mencari ilmu adalah keimanan itu sendiri.
Di sisi lain, ilmu juga diperlukan untuk meningkatkan kualitas pribadi dalam berinteraksi dengan kehidupan duniawi. Karena begitu bervariasinya kehidupan di dunia maka bervariasi pula ilmu yang perlu dipelajari. Dari sini lahirlah puluhan bahkan ratusan bidang keilmuan sesuai dengan kebutuhan dan ketertarikan umat manusia untuk mempelajarinya. Banyaknya ragam keilmuan dan terbatasnya waktu dan kemampuan otak manusia membuat seseorang harus memnentukan ilmu apa saja yang harus dipilih dan diprioritaskan yaitu (a) berdasarkan ketertarikan naluri atau kepentingan duniawi; dan (b) berdasarkan kewajiban agamanya. Artinya, apapun ilmu yang menjadi ketertarikan manusia, seorang muslim tetap diwajibkan untuk mempelajari ilmu agama minimal yang terkait dengan hal-hal yang diwajibkan dalam Islam seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
***
Hidup berumah tangga pada dasarnya tidaklah berbeda dengan kehidupan sosial yang lain dalam arti kita memiliki kebebasan untuk memilih mana sosok yang akan dijadikan teman atau sahabat dan mana yang tidak. Begitu juga dalam memilih calon pasangan.
Perbedaannya, dalam berumah tangga kita mempunyai waktu kebebasan memilih yang terbatas. Begitu kita memutuskan bahwa si A adalah calon pasangan kita, maka ia (idealnya) akan menjadi pasangan hidup kita selamanya. Dalam suka maupun duka. Oleh karena itulah, memilih calon pasangan sangat berbeda dengan memilih teman. Rasulullah dengan tegas menganjurkan—kendati tidak mewajibkan—agar prioritas utama yang menjadi kriteria dasar calon pasangan adalah agama (dzat ad-din) karena hanya orang agamislah yang relatif memiliki resistensi paling kuat dalam melawan penyakit-penyakit mendasar yang biasa menjadi penyebab rusaknya tatanan rumah tangga seperti perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), ketiadaan tanggung jawab (tidak memberi nafkah lahir dan batin), dan sejumlah kejahatan syariah yang lain. Kriteria lain dalam memilih pasangan seperti kecantikan, kekayaan dan keturunan hendaknya tidak menjadi faktor prioritas dalam memilih pasangan. Setidaknya itulah anjuran dari Nabi.[14]
Sebagian muslim yang awam wawasan agama dan sosialnya tidak setuju dengan pernyataan ini. Mereka berpendapat bahwa kasih sayang, cinta dan mengenal pribadi calon pasangan secara dekat dan mendalam melalui hubungan taaruf
(baca, pacaran) adalah sangat penting dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan supaya tidak salah pilih. Mereka juga berargumen bahwa memilih calon yang agamis tidak menjamin bahagia karena tidak sedikit kalangan yang mengerti dan berlatarbelakang agama yang berkepribadian nyebelin.
Kekurangan dan kelebihan memang akan selalu ada dalam setiap pilihan termasuk dalam proses memilih calon pasangan. Namun, bagi seorang muslim yang taat, pilihan itu jelas: ia harus sesuai dengan koridor hukum syariah dan tidak bertentangan dengan spirit Islam yang ideal. Banyak cara yang secara lebih efektif dan efisien dapat dilakukan untuk memahami karakter calon tanpa harus melakukan khalwat seperti mengumpulkan informasi dari orang-orang terdekat. Cara ini dianggap justru lebih efektif dan lebih aman
serta lebih fokus pada tujuan utamanya yakni pernikahan itu sendiri. Cara ini yang dipakai Sayyidah Khadijah saat memutuskan untuk memilih Rasulullah sebagai suaminya.
Anggapan bahwa sosok pribadi yang agamis terkadang ada juga yang berperilaku menyebalkan dan korup adalah benar kalau yang dimaksud dengan wanita atau pria agamis itu adalah kalangan yang berlatarbelakang santri. Padahal, santri tidak otomatis individu agamis.
Seorang santri yang alim, tinggi ilmu agamanya, rajin berceramah, aktif memberi khutbah Jum’at secara reguler di berbagai masjid, jadi pengasuh pesantren, dosen agama, anggota atau ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) belum tentu pantas mendapat gelar agamis dalam pengertian hadits Nabi di atas. Hal itu disebabkan karena ketinggian wawasan keilmuan hanyalah salah satu dari prasyarat menjadi individu agamis. Bukan satu-satunya. Masih ada dua syarat lagi yang harus dipenuhi yaitu iman dan akhlakul karimah.[15]
Pribadi Agamis
Seperti disinggung di muka, pribadi agamis tidak otomatis mengacu pada mereka yang berlatarbelakang pendidikan pesantren atau siapa saja yang luas wawasan ilmu agamanya. Walaupun itu termasuk salah satu kriteria. Pribadi agamis adalah pribadi yang memiliki komitmen kuat untuk menjalankan dan mengamalkan perintah agama secara holistik (kaffah) serta memiliki wawasan Islam yang relatif baik karena keduanya adalah dua hal yang tak terpisahkan.
Realisasi Islam kaffah berarti ia mengamalkan syariah Islam secara lahiriah berupa implementasi perintah yang wajib sekaligus mengamalkan spirit Islam dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan standar syariah, nilai universal dan kearifan lokal. Oleh karena itu, pribadi agamis pastilah sosok individu yang disayang Allah karena selalu mengikuti perintah dan menjauhi laranganNya; dan disukai umat manusia karena memiliki fleksibilitas dan sensitifitas yang tinggi kepada sesama. Inilah manusia dengan pribadi akhlakul karimah,[16] manifestasi akhlak Nabi yang sangat dipuji oleh Allah (QS Al Qalam 68:4).[17]
Untuk menuju akhlakul karimah yang diridhoi Allah dan disukai manusia, seorang santri hendaknya tidak hanya puas dengan memahami ilmu agama yang biasa dipelajari di pesantren seperti tafsir, hadits, fiqih, nahwu sharaf, dan lain-lain; tetapi ia harus juga banyak belajar ilmu-ilmu yang terkait dengan hubungan antar manusia (human relationship), ilmu kepemimpinan (leadership) dan memahami pentingnya mengamalkan nilai-nilai universal yang dianut oleh seluruh umat manusia yang berbudi luhur terlepas dari agama apa yang dianut. Buku Pribadi Aklakul Karimah dapat dipakai sebagai pengantar untuk memahami akhlak universal dan etika lokal tersebut.[18]
Dengan demikian, benarlah apa yang dikatakan Nabi di atas bahwa orang yang memilih pasangan agamis pastilah akan bahagia. Maka, tidaklah berlebihan kalau saya katakan bahwa kalau ingin rumah tangga yang sakinah, wamaddah wa rahmah dunia akhirat resepnya hanya satu: pilihlah pasangan yang agamis! Maka, Anda akan dapat melalui hidup di dunia dengan kelapangan dada, ketenangan hati dan kesejukan jiwa yang diberkati Allah dan disenangi alam dan isinya. Wallahu a’lam bis shawab.[]
––––––––
Menentukan Calon Pasangan
Salah satu proses natural kesinambungan eksistensi umat manusia adalah adanya keinginan untuk menikah. Bagi laki-laki, keinginan itu timbul dari beberapa faktor, seperti timbulnya syahwat (sexual drive), keinginan untuk berbagi hidup bersama pasangan (suami/istri), keinginan untuk memiliki keturunan dan untuk mengikuti sunnah Rasul.
Jadi, jelas, dorongan syahwat hanyalah salah satu motivasi bagi seseorag untuk sebuah pernikahan yang ideal. Oleh karena itu, seorang laki-laki yang menikah hanya karena faktor dorongan syahwat semata, maka perkawinannya tidak akan lama. Atau, setidaknya akan sulit merasakan kedamaian dalam mengarungi dinamika rumah tangganya yang biasa disebut dengan rumah tangga sakinah mawaddah wa rahmah.
Oleh karena tujuan suatu pernikahan bukan hanya untuk melampiaskan syahwat, maka Rasulullah memerintahkan agar seorang pria lebih memprioritaskan calon pasangan yang salihah. Dalam sebuah hadits sahih riwayat Muslim, Nabi menegaskan bahwa seorang perempuan yang salihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia.[19] Dalam hadits lain riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah menyatakan bahwa dalam menentukan pilihan calon istri, seorang laki-laki hendaknya memilih seorang wanita yang agamis. Bukan karena harta, kecantikan fisik atau darah keturunan.[20]
Dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah (Ensiklopedi Fiqih) dikatakan bahwa wanita salihah adalah wanita yang membuat suami senang saat melihatnya, taat pada suami, tidak melakukan sesuatu yang tidak disukai suami, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
[21]
Hadits-hadits dan ucapan ulama di atas walaupun konteksnya adalah petunjuk bagaimana sebaiknya seorang lelaki dalam memilih calon istri, namun tentu saja berlaku juga untuk seorang wanita dalam memutuskan apakah ia akan menerima lamaran seorang pria. Karena, wanita juga mempunyai hak untuk menerima atau menolak pinangan seseorang, maka keputusan apapun yang akan diambil hendaknya berdasarkan petunjuk agama. Yakni, dengan menjadikan kesalihan pria sebagai prioritas utama.
Secara insting awal, seorang pria akan lebih memilih wanita yang cantik fisiknya, dari keluarga hartawan dan keturunan bangsawan sebagai calon pasangan hdiup. Begitu juga, seorang wanita akan lebih cenderung memilih pria yang tampan tampilan fisiknya, dan kaya raya serta keturunan bangsawan. Kalau tidak bisa semuanya, wanita akan cenderung memilih seorang pria yang kaya atau tampilan fisik yang meyakinkan.
Pola pikir seperti itu pada level tertentu adalah wajar dan manusiawi. Akan tetapi, dengan bantuan ilmu, akal budi dan lingkungan yang baik manusia diberi kemampuan untuk meningkatkan daya fikirnya untuk melihat jauh ke depan. Dengan kemampuan ini, maka kita akan melihat dengan jelas dan terang benderang bahwa seseorang dengan kecantikan atau ketampanan akhlak adalah jauh lebih penting dan paling cocok sebagai calon pasangan seumur hidup kita dibanding calon pasangan yang hanya memiliki ketampanan dan kecantikan lahiriah.
Bagi yang belum mampu melihat kebenaran anjuran Nabi di atas, cukuplah dengan mengikuti anjuran beliau dengan keikhlasan, ketaatan dan keyakinan. Karena sabda Nabi adalah kebenaran. Kalau akal kita tidak dapat menembus logika kebenaran itu sekarang, pasti kita akan dapat memahaminya nanti saat kita melihat dan mengalaminya sendiri.[]
Kriteria Calon Istri
Secara faktual seorang pria yang sedang memilih calon istri dambaan umumnya dipengaruhi dua pertimbangan. Yaitu, pertimbangan pribadi dan pertimbangan calon anak. Umpamanya, yang ingin mempunyai anak tampan dan cantik, cenderung memilih istri yang memiliki tampilan fisik sempurna. Yang ingin mempunyai anak cerdas akan mencari istri yang ber-IQ tinggi. Yang ingin memiliki anak salih akan mencari istri yang salihah, dan seterusnya. Tentu saja kalau memungkinkan ingin memilih semuanya. Tetapi manusia mempunyai sejumlah keterbatasan dan karena itu harus melakukan kompromi dalam melakukan pilihan.
Memilih calon istri berdasarkan calon anak yang diinginkan memang bukan prioritas utama bagi kebanyakan pria. Namun, hal itu perlu menjadi pertimbangan yang tidak kalah pentingny karena kesalahan memilih calon istri akan berakibat fatal pada calon anak kita. Misalnya, istri yang ber-IQ rendah dapat menular pada anak. Memiliki anak yang bodoh tentunya bukan harapan kita, bukan?
Menurut pakar biologi genetika karakter genetika berikut akan menular pada anak. Pertama, karakter fisik yang dimiliki anak merupakan turunan dari orang tua. Termasuk tinggi badan, jenis rambut (kriting atau lurus) bahkan tahi lalat.
Kedua, masalah medis dan kesehatan. Tidak semua masalah medis menurun ke anak, tetapi kebanyakan dapat menurun. Seperti penyakit jantung, astma, alergi, dan lain-lain. Kendatipun begitu, sistem kekebalan tubuh, faktor lingkungan, pola makan, kecelakaan dan faktor eksternal lain juga memiliki pengaruh signifikan terhadap kesehatan seseorang.
Ketiga, problema genetika seperti sickle cell anemia, muscular dystrophy dan cystic fibrosis dapat menurun pada anak. Namun demikian, suatu penyakit genetika dapat menurun pada anak apabila kedua orang tua mengidap problema genetika tersebut.
Keempat, kecerdasan. Walaupun para ahli sepakat bahwa kecerdasan tidak hanya dipengaruhi oleh keturunan, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa manusia yang berasal dari satu keluarga cenderung memiliki nilai kecerdasan yang tidak berbeda jauh antara satu dengan yang lain. Itu artinya, bahwa pada level tertentu, kecerdasan adalah bawaan lahir. Selebihnya tinggi rendah kecerdasan banyak juga dipengaruhi oleh nutrisi dan lingkungan. Seperti kebiasaan membaca dapat meningkatkan kecerdasan.
Selain keempat faktor turunan di atas yang merupakan bawaan lahir seorang anak, faktor kelima yang juga tak kalah pentingnya dalam memengaruhi masa depan anak adalah lingkungan dalam rumah. Di sinilah pentingnya mengapa seorang pria muslim harus mencari istri yang salihah yaitu seorang wanita yang memiliki ketaatan inheren terhadap Islam dan memiliki wawasan yang cukup dalam hal parenting (pengasuhan anak).
Oleh karena itu, Nabi Muhammad menganjurkan agar seorang muslim hendaknya mencari istri yang agamis agar ia beruntung. Beruntung bukan hanya dalam arti akan terjadi keharmonisan hubungan suami-istri, tapi juga beruntung karena istri religius akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk dapat berkembang dengan sehat, salih, cerdas dan tumbuh sesuai potensi maksimal dirinya.
Tentu saja, hidup ini bersifat resiprokal. Take and give. Menerima dan memberi. Jangan mengharap istri salihah, cerdas dan sehat, kalau diri sendiri tidak memiliki kriteria tersebut. Memulai dari diri sendiri adalah langkah yang tepat, baru kemudian mengharapkan orang lain, yakni calon istri kita, memiliki kualitas yang sama.[]
Pesan Nabi: Pilihlah Wanita Agamis
Seorang pria yang hendak menikahi seorang wanita, kata Rasulullah, tidak lepas dari tiga pertimbangan: kecantikan (jamaliha), kekayaan (maliha) dan agama (diniha).[22] Dari ketiga faktor tersebut, kata Rasululullah lagi, pertimbangan berdasarkan kualitas spiritual seorang wanita (li diniha) adalah yang paling tepat dan menguntungkan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat—menuju keluarga sakinah mawaddah warahmah. Tentu saja konsep yang sama (li diniha) hendaknya juga dijadikan prioritas utama bagi wanita dalam menentukan calon pendamping hidupnya; bukan berdasarkan ketampanan dan kekayaannya. Dalam Quran Surat Annur 24:3[23] Allah membuat larangan tegas kepada seorang muslim yang salih agar tidak menikahi wanita pezina (kecuali setelah bertobat nasuha).
––––––––
EQ dan SQ
Manusia dikaruniai kecerdasan yang jauh melebihi hewan. Sebagian ahli psikososial membagi kecerdasan yang ada pada diri manusia dalam beberapa macam, yang terpenting dan relevan dengan pembahasan saat ini ada dua yaitu kecerdasan emosional atau EQ (emotional quotient) dan kecerdasan spiritual atau SQ (spiritual quotient).
EQ atau kecerdasan emosional yang ada pada diri manusia berfungsi untuk mengontrol perilaku agar sesuai dengan tatanan sosial yang ada. Untuk memahami mana perilaku yang ditabukan, dibolehkan atau dianjurkan dalam suatu masyarakat tertentu. Ia juga berfungsi untuk memahami mana sikap yang akan melukai, menyinggung perasaan atau menyenangkan orang lain. Semakin tinggi kadar EQ seseorang, maka akan semakin diterima orang tersebut di lingkungannya. Kebalikannya, semakin lemah kadar EQ-nya, akan semakin terasing dan tak disenangi seseorang di mana pun dia berada.
Tanda paling menyolok dari individu yang lemah EQ-nya adalah sikap egois, kikir, pemarah dan tidak hati-hati dalam menjaga perasaan orang lain dan lingkungannya.
Dalam pandangan Islam, memiliki EQ tinggi saja tidak cukup. Seorang Muslim harus juga memiliki kecerdasan spiritual atau SQ yang tinggi yakni ketundukan pada Allah, Sang Pencipta (QS Adz Dzariyat 51:56).[24] Ketundukan dengan ikhlas untuk melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangannya menjadi prasyarat yang tak kalah pentingnya dalam rangka usaha manusia untuk menuju kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat (Al Baqarah 2:201).[25]
Dengan demikian, yang disebut wanita agamis bukanlah mereka yang cuma
memiliki kecerdasan spiritual (SQ) yang tinggi yang ditandai dengan ketundukan pada prinsip-prinsip Islam dan menguasai keilmuan agama yang mumpuni. Juga bukanlah wanita yang cuma memiliki kecerdasan perilaku (EQ); apalagi kecerdasan intelektual (IQ).
Wanita agamis adalah mereka yang memiliki baik kecerdasan SQ maupun EQ. Semakin tinggi kadar SQ dan EQ-nya, semakin tinggi ke-agamis-annya.
Berbeda dengan IQ atau kecerdasan intelektual, SQ dan EQ bukanlah bawaan lahir.
Ia harus diusahakan dengan kerja keras (Al Balad 90:10-18).[26] Dengan perjuangan terus menerus. Rasulullah menyebutnya sebagai jihad besar.
Karena memang tiada perjuangan yang lebih berat selain perjuangan untuk mereformasi diri; meningkatkan kadar kualitas EQ dan SQ. Karena ia merupakan perjuangan terus menerus dan berkelanjutan dari lahir sampai akhir hayat.[]
Wanita Santri Kunci Sukses Keluarga
Dalam sebuah hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim (muttafaq alaih), Nabi bersabda: Wanita dinikah karena salah satu dari empat (pertimbangan): harta, keturunan, kecantikan fisik, agama (kecantikan batin). Maka pilihlah yang agamis (dzatiddin) supaya kamu beruntung.
Pada kalimat pertama, Nabi hanya mengungkapkan fakta sosiologis yang dijadikan pertimbangan seorang lelaki dalam menikahi seorang wanita. Pada kalimat kedua, Nabi menganjurkan agar laki-laki memilih wanita agamis agar beruntung dalam membina keluarga. Itu artinya bahwa kecantikan batin hendaknya menjadi prioritas pertama dan utama sebelum pertimbangan yang lain. Wanita agamis dalam konteks Indonesia adalah wanita santri yaitu perempuan yang pernah belajar di pesantren dan komitmen dalam mengamalkan ajaran agama Islam.
Pertanyaan yang sering dikemukakan sebagian orang adalah apakah menikahi wanita santri akan menjamin terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah warohmah? Tentu saja tidak sembarang santri. Ada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang wanita santri agar dapat membawa biduk rumah tangga menjadi sukses dalam konteks hubungan suami istri maupun dalam pendidikan keluarga.
Pertama, taat dan komitmen pada syariah. Ketaatan pada syariah pada gilirannya akan membuat seorang istri taat pada suami dan tidak pernah menentang selagi perintah suami benar dan tidak berlawanan dengan syariah. Rasulullah pernah ditanya tentang siapa wanita terbaik?
Nabi menjawab, Wanita yang dapat menyenangkan suami, menaati perintah suami, dan tidak pernah melawan suami dengan perilaku yang tidak menyenangkannya.
Dari hadits sahih riwayat Nasai ini Nabi membuat tiga kriteria wanita salehah yaitu (a) dapat menyenangkan suami karena perilaku, cara berinteraksi dan tampilannya yang agamis; (b) apabila suami sedang pergi, istri selalu menjaga diri dari fitnah dan menjaga harta suami dari konsumsi yang tidak perlu; (c) menaati perintah suami selagi bukan perinah maksiat.
Kedua, membantu suami dalam meningkatkan kualitas agamanya. Mendorong suami untuk selalu menaati perintah dan anjuran syariah dan melarang suami dengan tegas untuk tidak melakukan perbuatan yang haram. Ini merupakan poin krusial. Banyak suami yang asalnya baik kemudian menjadi jahat karena dorongan istri atau karena ketidakpedulian istri atas perilaku suami yang menyimpang. Istri agamis berfungsi tidak hanya mendidik anak, tapi juga mendidik
suami terutama apabila suami memiliki wawasan dan komitmen keagamaan yang lemah. Abul Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakpuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan Tirmidzi (8/390) menyatakan "seorang istri yang santri hendaknya membantu suaminya untuk meningkatkan kualitas iman dan Islam-nya dengan cara mengingatkan suami untuk shalat, berpuasa dan ibadah wajib lain dan mencegahnya dari perbuatan zina dan perbuatan haram yang lain.
Ketiga, memiliki akhlak yang baik. Istri yang mengamalkan kewajiban agama dan menjauhi larangannya belum menjamin memiliki akhlak yang baik. Akhlak yang baik sama pentingnya dengan ketaatan pada syariah. Wanita santri yang memiliki akhlak yang baik akan selalu membuat senang suami, pintar dalam mendidik anak, pandai berinteraksi dengan mertua, tetangga, kerabat dan manusia yang lain. Karena wanita santri yang berakhlak memiliki kemampuan yang baik bagaimana cara bergaul dengan santun dan beretika.
Untuk menjadi wanita santri yang berakhlak diperlukan pembelajaran dan pelatihan secara terus menerus dengan banyak bertanya, berkonsultasi, membaca dan mencoba. Salah satu caranya adalah belajar pada orang yang memiliki akhlak yang baik.
Jadi, pengertian agamis tidak hanya pintar agama tapi juga mencakup perilaku yang memenuhi standar etika universal.[]
Wanita Pintar Ilmu dan Perilaku
Ada dua kepintaran yang umumnya dikenal yaitu pintar ilmu dan pintar perilaku. Pintar ilmu dapat dicapai dengan belajar yang rajin dan terus menerus. Semakin lama belajar dan semakin tinggi tingkat pendidikan seorang wanita, maka akan semakin pintar dan dalam ilmunya.
Menjadi wanita yang pintar ilmu itu mudah
, setidaknya tidak sesulit menjadi wanita yang pintar perilaku. Karena jalan menuju kepintaran ilmu itu lebih kasat mata
dibanding lika-liku yang perlu dilalui untuk menuju kepintaran perilaku.
Seorang wanita yang memiliki kepintaran ilmu tidak otomatis membuat yang bersangkutan menjadi pintar perilaku. Kendatipun kepintaran ilmu bisa menjadi salah satu jalan menuju kepintaran perilaku.
Apa itu pintar perilaku? Allah memuji Nabi Muhammad karena kepintaran perilakunya yang tinggi. Dalam (QS Al Qalam 68:4)[27] Allah berfirman Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Dengan demikian, pintar perilaku, sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam QS Al Qalam di atas, bermakna kemampuan seseorang untuk berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan etika yang dianut masyarakat.
Seorang wanita Muslimah yang memiliki kepintaran perilaku setidaknya akan mengikuti dua standar etika.
Pertama, etika Islam. Seorang wanita muslimah hendaknya menyesuaikan tindak-tanduknya selaras dengan syariah Islam; sedikitnya dengan melakukan yang wajib dan menjauhi yang haram (QS Ali Imron 3:110)[28].
Kedua, etika masyarakat. Sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam, menghormati tradisi lokal adalah keharusan. Melakukan perbuatan yang dianggap baik dan berusaha menjauhi segala perilaku yang dianggap tabu oleh masyarakat setempat menjadi salah satu jenjang untuk mendapatkan predikat wanita muslimah yang pintar perilaku, bukan hanya pintar ilmu.
Kepintaran perilaku yang membuat seorang Muslimah disenangi dan dihormati oleh lingkungan sekitarnya terkadang merupakan bawaan lahir.
Apabila Anda termasuk golongan ini, maka syukurilah anugerah tersebut dan jangan lupa untuk terus mengasah kepintaran perilaku untuk menjadi semakin berkilau.
Bagi wanita Muslimah yang tidak dilahirkan dengan kepandaian perilaku, hal pertama yang perlu dilakukan adalah menyadari bahwa Anda memiliki sejumlah karakter dan watak buruk yang tidak disukai oleh lingkungan Anda. Kedua, berusaha keras untuk menghilangkan sedikit demi sedikit segala perilaku buruk tersebut. Menghilangkan karakter buruk atau kebodohan perilaku jauh lebih sulit dibanding menghilangkan kebodohan ilmu. Karena itu, seseorang yang berusaha, apalagi berhasil, untuk menghilangkan kebodohan perilaku akan mendapat pahala tidak hanya dari Allah, tapi juga penghargaan dan penghormatan dari seluruh umat manusia, baik yang pintar (ilmu) maupun yang bodoh.[]
Wanita berjilbab Lahir Batin
Sheikh Yusuf Qardhawi, ulama asal Mesir yang diakui kepakarannya dalam bidang hukum Islam, menegaskan wajibnya berjilbab bagi wanita Muslimah hal ini antara lain berdasarkan pada pengertian dari QS An Nur 24:31[29]. Yang dimaksud berjilbab di sini adalah menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan. Menurut Qardhawi wajibnya wanita Muslimah berjilbab adalah ijmak—konsensus ulama dari berbagai bidang keahlian (Tafsir, Hadits, fiqh, tasawuf) dan kurun waktu dari dulu sampai sekarang.
Berdasarkan sebuah Hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim, Islam mengandung tiga unsur pokok yang harus dimiliki dan terus dikembangkan oleh seorang Muslim yaitu Iman, Islam (syariah) dan ihsan.
Pertama, Iman. Iman atau keyakinan kepada Allah yang Tunggal dan kerasulan Muhammad, sebagai Nabi yang terakhir pembawa risalah Islam, menjadi tulang punggung (backbone) dari ajaran Islam. Tanpanya, seorang tidak lagi bisa disebut Muslim. Dalam Hadits tersebut ada empat lagi keimanan yang mesti diyakini yakni iman pada Al Quran, Malaikat, Hari Akhir dan ketentuan Allah (qadha dan qadar). Iman bertempat di hati.
Kedua, Syariah. Sebagaimana dikatakan Nurcholis Madjid dalam Islam dan Peradaban ketaatan pada syariah menjadi konsekuensi logis dari keimanan kita pada Allah dan Rasulnya (QS An Nisa 4:13)[30]. Keimanan tanpa dibarengi dengan ketaatan pada perintah Allah yang kita imani adalah keimanan yang semu.
Syariah mengandung lima unsur pokok yaitu membaca syahadat, shalat lima waktu, zakat, haji bagi yang mampu dan puasa di bulan Ramadhan. Ketaatan pada kelima unsur syariah di atas merupakan bukti minimal dari keislaman kita. Ketaatan seorang wanita Muslimah untuk berjilbab juga menjadi bagian dari ketaatan pada syariah ini.
Ketiga, Ihsan. Ihsan disebut juga dengan akhlaqul karimah atau budi pekeri yang luhur (QS Al Qalam 68:4)[31]. Ia disebut juga dengan syariah universal karena nilai-nilai yang ada di dalamnya diakui, dianut dan dipraktikkan tidak hanya oleh Muslim tapi juga oleh non Muslim di seluruh dunia. Ihsan mendapatkan penekanan pada sikap dan perbuatan yang bukan hanya bermanfaat bagi diri sendiri tapi juga harus mengandung manfaat bagi orang banyak. Selain itu muhsin (seorang yang berperilaku ihsan) tidak akan pernah terpikir untuk melakukan sesuatu yang merugikan umat manusia (QS Al Qashash 28:77)[32].
Seorang Muslimah ideal adalah mereka yang memiliki ketiga