Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

239 798 1 SM

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 16

PERAN RELIGIOUS COPING SEBAGAI MODERATOR

DARI JOB INSECURITY TERHADAP STRES KERJA


PADA STAF AKADEMIK

Triantoro Safaria
Fakultas Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan
Jalan Kapas No 9 Yogyakarta
safaria_diy@yahoo.com

Abstract
Job stress is a main problem for modern organization. It has negative
effect on employee, organization and productivity. Previous study found
that job stress could create several problems and difficulties either on work
performance or employees health status. This study aims to examine
relationship between job insecurity and religious coping as moderator
variable with job stress among university academic staffs. Moderated
regression analysis was used to analyze the data. One hundred and fiftyfive academic staffs participated in this study. The result showed that job
insecurity has significant effect on job stress. Meanwhile, religious coping
has significant effect on job stress by moderating the effect of job insecurity.
Further discussion will be explained in this paper.
Keywords: Job Insecurity, Job Stress, Religious Coping.
Abstrak
Stres kerja merupakan ancaman utama bagi organisasi modern saat
ini yang berpotensi menimbulkan banyak dampak negatif, baik untuk
karyawan atau pun organisasi. Hasil studi-studi terdahulu menyimpulkan
bahwa stres kerja merupakan faktor utama yang menyebabkan munculnya
beberapa bentuk hendaya dan kecelakaan kerja. Penelitian ini bertujuan
untuk menguji hubungan antara job insecurity, dan religious coping
sebagai moderator dengan job stress pada staf akademik sebuah universitas
di Yogyakarta. Analisis data menggunakan teknik moderated regression
dengan jumlah sampel sebanyak 155 staf akademik. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa job insecurity memiliki efek terhadap peningkatan

156

Humanitas, Vol. VIII No.2 Agustus 2011

stres kerja di kalangan staf akademik, sedangkan religious coping memiliki


peran yang signifikan sebagai moderator terhadap stres kerja.
Kata kunci: Job Insecurity, Religious Coping, Stres Kerja.

Pendahuluan
Stres kerja merupakan ancaman utama bagi organisasi modern saat ini yang
berpotensi menimbulkan banyak dampak negatif, baik untuk karyawan atau pun
organisasi. Hasil studi-studi terdahulu menyimpulkan bahwa stres kerja merupakan
faktor utama yang menyebabkan munculnya beberapa bentuk hendaya dan
kecelakaan kerja (Sulsky & Smith, 2005). Ini termasuk respon psikologis individu
seperti kecemasan dan depresi (Stoner & Perrewe, 2006; Gellis & Kim, 2004),
apatis, keterasingan, agresi, alkoholisme dan penyalahgunaan napza (Jones, Kinman,
& Payne, 2006), rendahnya motivasi dan produktivitas kerja (Jex et al, 2006). Masalah
masalah kesehatan yang disebabkan oleh stres dapat mempengaruhi kinerja individu
melalui peningkatan tekanan darah (Mills, Davidson & Farag, 2004; OConnor et
al, 2001), kardiovaskular dan penyakit jantung koroner (Lee et al, 2002), ketegangan
otot (Devereux et al., 2004), kelelahan internal (Friesen et al., 2008), aterosklerosis
(Hintsanen, 2006), menurunkan aktivitas sel kekebalan tubuh alami (Morikawa et
al., 2005), pekerjaan yang berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal (Carayon,
Smith, & Haims, 1999), arrhythmogenesis (Qureshi et al, 2001), siklus menstruasi
pendek pada wanita (Fenster et al., 1999), radang tenggorokan, dan asam lambung
yang berlebihan (Sulsky & Smith, 2005; Rice, 2005).
Jika stres pekerjaan ini tidak ditangani dan dikelola secara efektif, akan
mengarah pada jenis stres kerja yang berat yaitu burnout (Rice, 2005; Spangenberg,
& Theron, 2005; Burke, 2002; Wilhelm et al., 2004). Burnout merupakan bentuk
stres kerja jangka panjang yang digambarkan sebagai sindrom kelelahan emosional
berat, adanya depersonalisasi, dan penurunan performansi pribadi (Maslach, 1993).
Selain itu, stres kerja dapat merusak kesehatan dan kualitas hidup pekerja (de Jonge
et al., 2000) dan secara langsung dapat mengakibatkan terjadinya kerugian biaya
sosial dan ekonomi (Dollard, 2003). Di tempat kerja, stres dapat mempengaruhi
kinerja. Terlalu sedikit stimulus dan tantangan dalam pekerjaan akan membuat individu
tidak maksimal tampil di tingkat terbaik mereka, sementara mereka yang terlalu banyak
mendapatkan tekanan, sering tidak mampu berkonsentrasi atau bekerja secara efektif
dan efisien. Bagaimana pun dinamika hubungan antara stres dan kinerja adalah

Triantoro Safaria

157

kompleks (Sulsky & Smith, 2005).


Di Indonesia, fenomena stres kerja juga terjadi. Beberapa studi terakhir
menyimpulkan bahwa setiap tahunnya kasus stres kerja di Indonesia meningkat dengan
cepat dan berpotensi menimbulkan dampak sosial, emosional, psikologis dan masalahmasalah yang berhubungan dengan kesehatan. Hasil studi Sugijanto (1999)
menunjukkan bahwa dari 326 responden guru, ia menemukan 168 (51,5%) guru
yang benar-benar merasa stres dan 60% sampel guru mengatakan bahwa mereka
mengalami stres kerja. Studi lain dari Arismunandar (2008) menyimpulkan bahwa
30,27% dari 80.000 guru mengalami stres kerja berat. Yang berarti bahwa jumlah
guru mengalami stres kerja adalah 24,000 individu. Dalam studi tersebut juga
menunjukkan bahwa stres kerja menurunkan kinerja guru dengan cepat, semakin
tinggi tingkat stres yang dialami oleh guru, maka kinerja dan produktivitas guru tersebut
akan semakin rendah.
Badra & Prawitasari (2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa skor
rata-rata stres kerja staf akademik di Akademi Keperawatan di Sorong Papua adalah
menengah (56,72) dan saat uji korelasi menunjukkan bahwa hubungan antara kinerja
dan stres kerja adalah -0,695. Nilai korelasi yang negatif ini menunjukkan bahwa
stres kerja memiliki dampak cukup kuat, ketika stres kerja meningkat, maka
performansi kerja staf akademik menjadi semakin menurun.
Studi lain dari Widyastuti (2008) menunjukkan bahwa stresor organisasi secara
simultan memiliki pengaruh signifikan pada kepuasan kerja. Ini berarti bahwa tekanan
organisasi harus dikendalikan dan dikelola untuk mencegah kondisi tempat kerja
yang penuh tekanan/stres yang dapat mengakibatkan meningkatnya stres kerja pada
staf akademik universitas.
Kata stres berasal dari bahasa Latin stringere: untuk menggambar konsep
tegangan. Hans Selye, pencetus konsep stres mengamati bahwa stres merupakan
fenomena fisiologis sekaligus juga psikologis. Stres juga menunjukkan pada adanya
perubahan eksternal dalam lingkungan suatu organism, dan agar organisme mampu
berkembang dengan optimal, diperlukan suatu lingkungan internal dan eksternal yang
tetap stabil dan memberikan stimulasi optimal (Selye, 1976).
Definisi tentang stres yang diterima dan digunakan secara luas, dikemukankan
oleh Lazarus dan Folkman (1984) sebagai proses interaksi antara individu dan
lingkungan. Definisi ini adalah merupakan konsep stres transaksional (Lazarus &
Folkman, 1984). Lazarus dan Folkman (1984) mendefinisikan stres sebagai suatu
kejadian atau peristiwa di mana tuntutan lingkungan dan/ atau tuntutan internal (fisiologis
/ psikologis) menuntut atau melebihi sumber daya adaptif individu. Dalam definisi ini,

158

Humanitas, Vol. VIII No.2 Agustus 2011

stres dideskrispsikan sebagai sebuah proses interaksional dimana stres dimodelkan


sebagai proses interaksi. Salah satu konsep dari model interaksional stres ini adalah
teori kognitif stres dan coping yang diusulkan oleh Lazarus dan Folkman
(1984). Teori ini terdiri dari dua komponen penting yang terjadi dalam proses stres
yaitu : interpretasi kognitif dan strategi coping.
Dalam penelitian ini, definisi dari Lazarus dan Folkman (1984) dan Gibson et
al (2006) akan diadaptasi dan menjadi perspektif penelitian. Dan definisi operasional
stres kerja dalam penelitian ini adalah setiap kejadian/peristiwa/tuntutan apa pun
dalam lingkungan kerja eksternal dan/atau internal (fisiologis / psikologis) yang melebihi
sumber daya adaptif individu dan hal tersebut menyebabkan munculnya distres dan
respon negatif secara fisiologis, emosional, kognitif, dan perilaku.
Coping adalah komponen penting lain dari teori kognitif stres (Lazarus &
Folkman, 1984). Bersama dengan proses interpretasi, coping dipandang sebagai
mediator antara stres dan hasil adaptational. Coping mengacu pada usaha kognitif
dan perilaku untuk menguasai, mengurangi atau mentoleransi tuntutan internal dan/
atau eksternal yang diciptakan oleh situasi transaksi yang penuh stres. Di dalam proses
terjadinya stres, coping memiliki tiga bentuk, Pertama, coping berorientasi pada
proses, coping berfokus pada apa yang sebenarnya individu pikirkan dan lakukan
dalam menghadapi situasi yang spesifik. Kedua, coping bersifat kontekstual, artinya
coping dipengaruhi oleh interpretasi individu terhadap tuntutan aktual dalam suatu
situasi. Variabel individual dan situasional secara bersama-sama menentukan usaha
dan strategi copingnya. Ketiga, adanya asumsi a priori dimana tidak ada penentuan
bagaimana bentuk coping yang baik dan buruk tersebut.
Sedangkan religious spiritual coping didefinisikan sebagai sejauhmana
individu mengunakan keyakinan dan praktek ritual religiusnya untuk menfasilitasi proses
pemecahan masalah dalam mencegah atau meringankan dampak psikologis negatif
dari situasi yang penuh stres, dan hal ini membantu individu untuk beradaptasi dalam
situasi kehidupan yang menekan (Koenig et al., 1998). Definisi operasional religious
coping dalam penelitian ini adalah sejauhmana individu menggunakan strategi coping
religius negatif dan coping religius positif yang mereka miliki untuk menfasilitasi
pemecahan masalah dan tuntutan situasi kerja yang penuh tekanan (stressfull).
Job insecurity berkaitan dengan persepsi dan kekhawatiran individu tentang
adanya potensi kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba (De Witte 1999; Heaney et al.
1994). Greenhalgh & Rosenblatt (1984) mendefinisikan job insecurity sebagai
perasaan kehilangan kendali untuk mempertahankan keberlangsungan pekerjaan dalam
situasi yang mengancam. Job insecurity muncul berdasarkan persepsi dan interpretasi

Triantoro Safaria

159

individu atas lingkungan kerjanya saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman
subjektif individu muncul sebagai akibat adanya ancaman nyata yang dihadapinya di
lingkungan kerja melalui proses persepsi kognitif (Borg & Elizur, 1992).
Heaney, Israel, & House (1994) mendefinisikan job insecurity sebagai
persepsi individu terhadap adanya potensi ancaman keberlangsungan pekerjaannya
saat ini. Sedangkan Hartley, Jacobson, Klandermans and van Vuuren (1991)
mendefinisikan job insecurity sebagai adanya kesenjangan antara tingkatan rasa
aman yang dialami individu saat ini dengan tingkatan rasa aman yang diinginkan
individu.
Dapat disimpulkan bahwa job insecurity sebagai keadaan rasa tidak aman
yang diakibatkan oleh adanya ancaman terhadap keberlangsungan pekerjaannya.
Hal ini menjelaskan bahwa job insecurity merupakan sebuah pengalaman internal
individu yang dicirikan dengan adanya ketidakpastian terhadap keberlangsungan
pekerjaannya. Definisi operasional dari job insecurity dalam penelitian ini adalah
keseluruhan kekhawatiran atau rasa tidak aman tentang eksistensi keberlangsungan
pekerjaannya di masa depan yang berkaitan dengan kestabilan pekerjaan,
perkembangan karir, dan penurunan penghasilan yang menyebabkan keadaan distress,
cemas dan tidak aman.
Robbins (2003) menyatakan dan menyarankan sebuah model stres yang terdiri
dari tiga faktor utama potensial, yaitu lingkungan, organisasional, dan faktor individu
menentukan bagaimana bentuk responnya terhadap sebuah stressor. Artinya faktor
inidividu ini bertindak sebagai variabel moderator yang menengahi dan memoderasi
kuatnya pengaruh stressor lingkungan dan organisasional. Contoh faktor individual
adalah kecenderungan kepribadiannya, strategi coping yang digunakan dan sumber
daya yang dimilikinya.
Sementara Gibson, Ivancevich, Donnelly and Konopaske (2006) menyarankan
sebuah model lainnya dimana sedikit berbeda dari model Robbins di atas. Mereka
menyatakan bahwa terdapat empat level model stres yang mempengaruhi individu,
yaitu faktor individual, kelompok, organisasional, dan faktor diluar-kerja. Tetapi
keempatnya tidak secara langsung mempengaruhi terjadi stress pada individu, karena
dimoderasi oleh adanya perbedaan individual seperti usia, jenis kelamin, strategi coping
dukungan sosial, sumber daya yang dimilikinya dan kecenderungan kepribadiannya.
Namun kedua model di atas memiliki kesamaan yaitu memperhitungkan adanya
variabel moderator yang mempengaruhi dan menciptakan dinamika hubungan stressor
dan stres dalam konteks dunia kerja.
Dalam penelitian ini variabel organisasional adalah job insecurity, sedangkan

160

Humanitas, Vol. VIII No.2 Agustus 2011

variabel moderatornya adalah religious spiritual coping dan variabel tergantungnya


adalah stres kerja.
Metode Penelitian
Untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini digunakan teknik
analisis data yang bersifat kuantitatif dengan mengunakan metode moderated
regression analysis. Tujuan penggunaan analisis ini adalah untuk menguji model teoritik
apakah religious coping memoderasi hubungan antara job insecurity dengan stres
kerja yang diajukan dalam penelitian ini. Data diolah mengunakan program statistik
SPSS 16 .
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala yang
mengukur konsep psikologis individu. Skala yang digunakan skala job insecurity,
skala religious coping dan skala stress kerja yang dibuat oleh peneliti berdasarkan
konsep teoritiknya. Skala ini sebagai alat ukur penelitian, sebelum digunakan akan
diuji validitas dan reliabilitasnya. Hasil uji reliabilitas menunjukkan hasil yang
memuaskan. Skala religious coping = .863, job insecurity = .888, dan skala job
stres sebesar = .920. Sedangkan uji validitas menggunakan professional judgment
melalui diskusi dengan dua peneliti yang kompeten. Tabel 1 memaparkan hasil
reliabilitas, mean dan standar deviasi semua skala penelitian ini.
Table 1: Reliability, means and standard deviasi
untuk religious coping , job insecurity and job stress

Variabel

SD

Religious coping

0.863 18.50

3.56

Job stress

0.920 41.78

10.36

Job insecurity

0.888 14.51

3.76

Populasi subyek penelitian adalah staf akademik sebuah Universitas Swasta


di Yogyakarta yang akan diambil sampelnya dengan mendasarkan diri pada
keterwakilan subyek dari semua fakultas dan jurusan yang ada. Sehingga sampel
penelitian ini mampu mewakili semua staf akademik di Universitas tersebut. Staf
akademik yang diambil sebagai sampel penelitian ini mempunyai karakteristik sebagai
berikut yaitu :
1) Telah bekerja sebagai staf akademik selama minimal 1 tahun

161

Triantoro Safaria

2) Laki-laki dan perempuan


3) Pendidikan minimal S1
Sebanyak 155 staff akademik berpartisipasi dalam penelitian ini. Terdiri dari
70 laki-laki (45,2%) dan 80 (54.8%) perempuan yang berusia antara 20 (3:1.9%)
sehingga lebih dari 50 tahun (2: 1.3%). Dengan jabatan fungsional sebagai berikut,
tutor sebanyak 17 responden (11%), asisten ahli 106 responden (68.4%) dan
merupakan responden yang paling dominan berpartisipasi dalam penelitian ini, lektor
28 (18.1%), dan lektor kepala sebanyak 4 responden (2.6). Frekuensi dan persentasi
demografik responden dapat dilihat pada tabel 2.
Table 2: Frekuensi dan persentase demografik responden

Variabel
Gender

Isi

Frekuensi

Persentase

Male
Female

70
80

45.2
54.8

20-25

1.9

26-30

26

16.8

31-35

39

25.2

36-40

35

22.6

41-45

50

32.3

>50

1.3

Tutor

17

11

Asisten ahli

106

68.4

Lektor

28

18.1

Lektor kepala

2.6

Age

Hasil dan Pembahasan


Moderated regression analysis dengan metode interaksi digunakan untuk
menguji hubungan antara job insecurity dengan job stress dimoderasi oleh religious
coping. Asumsi linieritas, normalitas data, dan uncorrelated errors sebelumnya diuji
dan menunjukkan hasil yang memuaskan. Hasil analisis moderated regression
menunjukkan bahwa model regresi yang digunakan secara signifikan memprediksi
terjadinya stres kerja pada staff pengajar dengan F (3, 151) = 8.769, p<.001. Tabel
4 memaparkan hasil moderated regression antar prediktor dengan stress kerja.
Jika melihat korelasi antar variabel prediktor dengan stress kerja, maka job

162

Humanitas, Vol. VIII No.2 Agustus 2011

insecurity berhubungan secara positif dengan job stress (r = .303, p < .01), dan
religius coping memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan job stres sebesar
(r = -.203, p < .01). Tabel 3 memaparkan besaran korelasi antar variabel.
Table 3: korelasi antar variabel penelitian dalam model

Job stress

1.000

X1

Religious coping

-.203**

1.000

X2

Job insecurity

.303**

.206

Moderator

-.170*

.050

(Job insecurity x religious coping)

Significantly greater (p<0.05); Note: *: p<0.05; **p<0.01


Semua variabel prediktor secara signifikan memprediksi terjadinya stres kerja.
Adjusted R squared memiliki nilai = .14.8 yang menunjukkan bahwa 14.8% variansi
yang terjadi pada stres kerja disumbangkan oleh model regresi ini. Menurut Cohen
(1988), nilai R2 squared ini memiliki efek yang medium. Beta weights, yang
dipaparkan pada tabel 4 menunjukkan bahwa job insecurity merupakan faktor
kontribusi yang terbesar terhadap stres kerja ( = .304). Sedangkan religious coping
memiliki ( = -.217).
Table 4: Analisis moderated regression antar variabel

B
X1

Religious coping

X2

Job insecurity

Moderator

SEB

-.632

.202

-.217*

.837

.191

.301

-.102

.134

-.114*

Note: R2 = .29 ; F(4, 150)= 14.917, p < .001


p<0.05*; p<0.01**

Analisis lanjutan dengan hierarchical moderated regression menunjukkan


bahwa variabel interaksi moderator memiliki sumbangan R2 squared sebesar = .025
yang menunjukkan bahwa secara mandiri variabel moderator ini mampu
memprediksikan 2.5% terhadap stres kerja. Variabel moderator yang merupakan

163

Triantoro Safaria

interaksi antara job insecurity dengan religious coping memiliki nilai beta
( = .114) dengan p<.05. Sedangkan variabel job insecurity, dan religious coping
mampu memprediksi 25, 6% terhadap stress kerja.
Untuk melihat hubungan yang lebih spesifik antara prediktor, moderator dan
variabel kriterium, maka diperlukan pengujian melalui post hoc probing untuk melihat
simple slope dari interaksinya. Hasil dari uji post hoc probing tersebut dapat dilihat
pada gambar 1 di bawah ini.
Estimated Marginal Means of jobstress
level of religius coping
47.50

religius coping tinggi


religius coping rendah

Estimated Marginal Means

45.00

42.50

40.00

37.50

35.00

job insecurity rendah

job insecurity sedang

job insecurity tinggi

level of job insecurity

Gambar 1. Grafik simple slope antara prediktor, moderator dan kriterium.

Pada gambar grafik di atas menunjukkan bahwa pada situasi dimana job
insecurity tinggi, maka individu dengan religius coping yang rendah akan semakin
tinggi respons stres kerjanya. Sebaliknya pada individu yang memiliki religius coping
tinggi, ketika berada pada situasi job insecurity yang tinggi, maka respons stresnya
cenderung rendah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa job insecurity merupakan prediktor
bagi job stress. Hal ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang membuktikan
bahwa job insecurity merupakan variansi subtansial bagi job stress. Beberapa
penelitian terdahulu menunjukkan bahwa job insecurity berhubungan dengan sikap
kerja seperti kepuasan kerja (Probst & Brubaker, 2001), dan berhubungan juga
dengan sikap organisasional seperti komitmen organisasi dan kepercayaan organisasi,
kesejahteraan psikologis dan fisik (Hellgren & Sverke, 2003; Kivimaki, Vahtera,
Pentti, & Ferrie, 2000). Studi lainnya menambahkan juga bahwa job insecurity
berhubungan dengan perilaku kerja seperti meningkatkan job search behavior
(Adkins, Werbel, & Farh, 2001; Reisel & Banai, 2002) dan menurunkan perilaku
keselamatan kerja (Probst & Brubaker, 2001). Penelitian lainnya juga menegaskan

164

Humanitas, Vol. VIII No.2 Agustus 2011

bahwa job insecurity menyebabkan konsekuensi negatif bagi karyawan (Cheng et


al. 2005). Sebagai contoh memunculkan perasaan uncontrollability dan
powerlessness, yang diketahui berhubungan dengan kesejahteraan psikologis yang
rendah (poor well-being) (De Witte 1999).
Mekanisme interaksi antara job insecurity dapat dijelaskan sebagai berikut.
Ketika religious coping individu tinggi, maka individu mampu meredam tekanan
emosional yang ditimbulkan oleh job insecurity melalui perilaku religiusnya seperti
berdoa, atau berserah diri kepada Tuhan. Hal ini kemudian menyebabkan individu
mampu meredakan tekanan emosionalnya tersebut sehingga secara langsung mampu
menurunkan response stres kerjanya. Sebaliknya ketika religius coping individu
rendah maka tekanan emosional akibat job insecurity yang tinggi tidak mampu
diredam, sehingga menyebabkan secara langsung peningkatan respons stres kerja
pada individu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa religius coping memiliki efek
menahan atau menurunkan (buffers) pengaruh job insecurity. Sehingga religius
coping mampu memoderasi dan merubah pengaruh job insecurity terhadap respons
stress kerja.
Efek religious coping sebagai variabel moderator konsisten dengan penelitian
yang dilakukan oleh Noor (2008) yang menunjukkan adanya interaksi tiga jalur yang
signifikan antara pengalaman kerja, usia, and religiusitas dalam memprediksi
kesejahteraan psikolgis perempuan Melayu Muslim. Kemudian studi yang dilakukan
oleh Kasbergers (2002) menunjukkan bahwa religius coping menurunkan jumlah
respons stres individu. Penggunaan religious coping secara positif berkorelasi dengan
tingkat penyesuaian setelah perceraian pada dewasa muda dari orang tua yang
bercerai.
Secara psikologis, keyakinan religius and spiritual dapat dipahami sebagai
bagian dari skema kognitif individu dan berhubungan pula dengan bagaimana individu
menginterpretasikan dunianya. Keyakinan religius ini mempengaruhi bagaimana
individu membentuk ide-idenya tentang kehidupannya, dan bagaimana individu
menginterpretasikan dunianya (Carone and Barone, 2001). Dalam paradigma teori
transaksional stres, peran dari atribusi dan interpretasi individu terhadap kejadian
yang sedang dihadapinya sangat mempengaruhi bagaimana tekanan emosi yang
dirasakannya kemudian (Lazarus, 1999). Hal ini menegaskan bahwa atribusi positif
akan menghasilkan efek emosi yang positif pula.
Ada empat argumentasi yang diberikan oleh Koenig (2001) untuk membantu
menjelaskan hubungan dan peran positif dari religi, dan religiusitas terhadap kesehatan
fisik serta psikologis individu. Pertama, religi membentuk sebuah makna ketika individu

Triantoro Safaria

165

dihadapkan pada suatu masalah dalam kehidupannya dengan menciptakan sebuah


cara pandang umum yang positif (positive worldview), karena adanya atribusi atau
keyakinan bahwa Tuhan Maha pengasih dan Maha penyayang dan Tuhan akan
membantu hambanya yang sedang berada dalam kesulitan. Atribusi dan keyakinan
ini akan membentuk rasa optimisme individu. Sehingga mereka yang religius lebih
mampu untuk menginterpretasikan pengalaman hidup yang negatif dalam cara pandang
yang bermakna dan penuh hikmah. Pandangan positif ini kemudian menumbuhkan
harapan (sense of hopefulness), yang kemudian menumbuhkan emosi yang lebih
tenang, dan penuh harapan. Tentu saja suasana emosi yang lebih positif ini akan
menghindarkan individu terjebak dalam depresi dan keadaan distress.
Argumentasi kedua, praktek religius dan pengalaman religius membuat
seseorang mampu untuk menumbuhkan emosi positif yang terkait dengan kesehatan
mental. Emosi positif dari religi dapat pula mencegah individu terlibat perilaku
kompensasi negatif dalam menyelesaikan masalahnya seperti menggunakan napza
atau tindakan agresif. Sebagai tambahan emosi positif yang dihasilkan dari kegiatan
religious akan menurunkan kerumitan dan stres sehari-hari (daily hassles).
Argumentasi ketiga, melalui ritual religius individu mendapatkan dukungan psikologis
oleh komunitas religiusnya ketika menghadapi persoalan kejadian hidup yang besar
(major life changes). Selain itu komunitas religius ini juga ikut mempromosikan
perilaku altruistik, kerendahan hati dan sikap memaafkan, yang secara langsung akan
meningkatkan kebermaknaan hidup individu. Argumen terakhir yaitu, religi
menciptakan sebuah landasan moral dan nilai-nilai positif dalam berperilaku yang
harus diikuti oleh individu. Landasan moral ini akan mencegah individu terlibat dalam
perilaku-perilaku yang menyimpang dari norma agamanya (napza, kriminalitas) akan
menghindari individu dari permasalahan tambahan dalam hidupnya (Koening, 2001).
Simpulan
Penelitian ini membuktikan bahwa religius coping memoderasi efek dari job
insecurity terhadap stress kerja. Peran religius coping sebagai moderator variabel
dalam memodifikasi pengaruh stressor kerja pada stres kerja menegaskan hasil
penelitian sebelumnya. Religius coping memainkan peran penting dalam menurunkan
atau menahan (reducing and buffering) efek stressor kerja pada individu.
Implikasinya, pengembangan keterampilan dan perilaku religius atau religius coping
sangat dianjurkan sebagai sebuah kekuatan bagi individu untuk menghadapi tuntutan
stres kerja yang semakin meningkat. Pihak managemen Universitas dalam kaitannya

166

Humanitas, Vol. VIII No.2 Agustus 2011

dengan penurunan job insecurity dapat memberikan kepastian bagi akademik staf
dalam hal pengembangan karir dan penghasilan yang memadai sehingga dapat
menurunkan tingkat stres bagi para akademik staf. Pemberian kepastian ini dapat
dilakukan melalui kebijakan atau aturan tentang pengembangan karir yang jelas serta
kebijakan dalam hal pemberian gaji yang lebih memadai.
Daftar Pustaka
Adkins, C. L., Werbel, J. D., & Farh, J. L. (2001). A field study of job insecurity
during a financial crisis. Group & Organization Management, 26, 463
483.
Arismunandar (2008) 24.000 guru di Sulawesi Selatan menderita stress b e r a t .
www.forumsdm.org. retrieved 26 May 2009.
Badra, I.W., & Prawitasari, J.E. (2005). Kinerja dosen: Hubungan antara stress
dan motivasi dengan kinerja dosen tetap pada Akper sorong. KMPK
Working Paper. Januari no 8. Yogyakarta: Magister Kebijakan dan
Managemen Pelayanan Kesehatan Universitas Gadjah Mada.
Borg, I., & D. Elizur. (1992). Job Insecurity: Correlates, Moderators and
Measurement, International Journal of Manpower 13, 13 26.
Burke, R.J. (2002). Work Stress and Womens Health: Occupational Status
Effects. Journal of Business Ethics 37: 91 102.
Carayon, P., Smith, M.J., & Haims, M.C. (1999). Work Organization, Job Stress
and Work-Related Musculoskeletal Disorders. Human Faktors. Volume:
41. Issue 4: 644.
Carone, D.A., & Barone, D.F. (2001). A social cognitive perspective on religious
beliefs: Their functions and impact on coping and psychotherapy. Clinical
Psychology Review, 21, 989-1003.
Cheng, Y., Chen, C. W., Chen, C. J., & Chiang, T. L. (2005). Job insecurity and its
association with health among employees in the Taiwanese general population.
Social Science and Medicine, 61(1), 41 52.
Devereux,J., Rydstedt, L., Kelly, V., Weston, P., & Buckle, P. (2004). The role of
work stress and psychological faktors in the development of
musculoskeletal disorders. Robens Centre for Health Ergonomics
University of Surrey Guildford : Surrey.

Triantoro Safaria

167

De Jonge, J., Bosma, H., Peter, R., & Siegrist, J. (2000). Job strain, effort-reward
imbalance and employee well-being: A large-scale cross-sectional study.
Social Science and Medicine, 50, 1317-1327.
De Witte, H. (1999). Job insecurity and psychological well-being: Review of the
literature and exploration of some unresolved issues. European Journal
of Work and Organi ational Psychology, 8(2), 155 177.
Dollard, M.F. (2003) Introduction: context, theories and intervention. In Dollard,
M.F., Winefield, A.H., & Winefield, H.R. (Eds.). Occupational
stress in the service professions. (pp.1-42). New York: Taylor & Francis
Inc.
Fenster, L., Waller, K., Chen, J., Hubbard, A.E., Windham, G.C., Elkin, E., &
Swan, S. (1999). Psychological Stress in the Workplace and Menstrual
Function. American Journal of Epidemiology, Vol. 149, No. 2
Friesen, L.D., Arpana R., Vidyarthi, A.R., Baron, R.B., & Katz, P.P. (2008). Faktors
Associated with Intern Fatigue. Journal General Internal Medicine,
23(12):1981 6.
Gellis, Z.D., & Kim, J.C. (2004). Predictors of Depressive Mood, Occupational
Stress, and Propensity to Leave in Older and Younger Mental Health
Case Managers. Community Mental Health Journal, Vol. 40, No. 5
October
Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., Donnelly, J.H., & Konopaske, R. (2006).
Organi ations: Behavior, Structure, Processes. 12th edition. Boston:
McGraw-Hill Irwin.
Greenhalgh, L., and Rosenblatt, Z. (1984). Job insecurity: Toward conceptual clarity.
Academy of Management Review, 3, 438-448.
Hartley, J., Jacobson, D., Klandermans, B., & van Vuuren, T. (1991). Job insecurity:
Coping with jobs at risk. London: Sage.
Heaney, C., Israel, B., & House, J. (1994). Chronic job insecurity among automobile
workers: Effects on job satisfaction and health. Social Science and
Medicine, 38(10), 1431 1437
Hellgren, J., & Sverke, M (2003). Does job insecurity lead to impaired well-being
or vice versa? Estimation of cross-lagged effects using latent v a r i a b e l
modelling. Journal of Organizational Behavior, 24, 215 236.
Hintsanen, M. (2006).Work Stress and Early Atherosclerosis: Do Genetic

168

Humanitas, Vol. VIII No.2 Agustus 2011

Background and Pre-Employment Risk Faktors Explain Conflicting


Findings?. Research Reports no 40. Helsinki: Department of Psychology
University of Helsinki.
Jex, S.M., Cunningham, C.J.L., De la Rosa, G., & Broadfoot, A. (2006). Stress
and employee effectiviness. In Rossi, A.M., Perrewe, P.L., & Sauter
S.L.(Eds.). Stress and quality of working life: current perspectives in
occupational health. (pp. 101-120). Greenwich: Information age
publishing.
Jones, F., Kinman, G., & Payne, C. (2006). Work stress and health behaviors: a
work-life balance issue. In F. Jones., R. J. Burke., & M. Westman (Eds).
Work-life balance: A psychological perspective.
Kasberger. E.R. (2002). A Correlational Study of Post-Divorce Adjustment and
Religious Coping Strategies in Young Adults of Divorced Families. Second
AnnualUndergraduate Research Symposium CHARIS Institute of
Wisconsin Lutheran College. Milwaukee.
Kivimaki, M., Vahtera, J., Pentti, J., & Ferrie, J. E. (2000). Factors underlying the
effect of organizational downsizing on health of employees: Longitudinal
cohort study. British Medical Journal, 320, 971 975.
Koenig, H.G. (1998). Is religion good for your health? The effects of religion on
physical and mental health. Binghamton, NY: The Haworth Pastoral
Press.
Koenig, H.G. (2001). Religion and medicine II: Religion, mental health, and related
behaviors. International Journal of Psychiatry in Medicine, 31,
97-109.
Lazarus, R. S. (1999). Psychological stress and appraisal. Stress and emotion: A
new synthesis (pp. 49-85). New York: Springer Publishing.
Lazarus, R. & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York:
Springer Publishing.
Lee, S., Colditz, G., Berkman, L., & Kawachi, I. (2002). A prospective study of
job strain and coronary heart disease in US women. International Journal
of Epidemiology, 31; 1147-1153.
Maslach, C. (1993). Burnout: A multidimensional perspective. In W Schaufeli, C.
Maslach, & T. Marek (Eds.), Professional burnout: Recent
developments in theory and research (pp. 19 32). Washington: Taylor

Triantoro Safaria

169

& Francis.
Mills, P.J., Davidson, K.W., & Farag, N.H. (2004). Work Stress and Hypertension:
A Call From Research Into Intervention. Annals of B e h a v i o r a l
Medicine Volume 28, Number 1,
Morikawa, Y., Kitaoka-Higashiguchi, K., Tanimoto, C., Hayashi, M., Oketani, R.,
Miura, K., Nishijo, M., & Nakagawa, H. (2005). A cross-sectional study
on the relationship of job stress with natural cell killer activity, and natural
killer cell subsets among healthy nurses. Journal Occupational
Health, 47; 378-383.
Noor, M, N. (2008). Work and Womens Well-being: Religion and Age as
Moderators. Journal of Religious Health. 47:476 490.
OConnor, D.B. (2000). The effect of job strain on British general practitioners
Mental health. Journal Mental Health, 9 : 637.
Probst, T., & Brubaker, T. L. (2001). The effects of job insecurity on employee
safety outcomes: Cross-sectional and longitudinal explorations. Journal
of Occupational and Health Psychology, 6, 139 159.
Qureshi, E., Bornstein, A., Donnelly, J., & Rozanski, A. (2001) Psychological
Stress and Arrhythmogenesis: Epidemiology, Pathophysiology, and
Therapeutic Implications. Cardiac Electrophysiology Review, 5:385
393.
Reisel, W. D., & Banai, M. (2002). Comparison of a multidimensional and a global
measure of job insecurity: Predicting job attitudes and work behaviors.
Psychological Reports, 90, 913 922.
Rice, L. P. (2005). Stress and Health. California : Brooks/Cole Publishing.
Robbins, S. P. (2003). Organi ational Behavior. 10th Ed. New Jersey: PrenticeHall, Inc.
Selye, H. (1976). The stress of life. (2nd ed). New York: McGraw-Hill.
Spangenberg, J.J., & Theron, J.C. (2005). Stress and Coping Strategies in Spouses
of Depressed Patients. American Journal of Psychiatry. 155:9,
Stoner, J., & Perrewe, P. (2006). Consequences of depressed mood at work: the
importance of supportive superiors. In Rossi, A.M., Perrewe, P.L., &
Sauter S.L. (Eds.). (2006). Stress and quality of working life: current
perspectives in occupational health. (pp. 87-100). Greenwich:

170

Humanitas, Vol. VIII No.2 Agustus 2011

Information age publishing.


Sugijanto. (1999). Studi tentang Stres pada Guru SLTP Negeri di Wilayah Jakarta
Pusat Tahun 1998. Tesis. Tidak diterbitkan. Jakarta: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Sulksky, L. & Smith, C. (2005). Work stress. California: Thomson Wadsworth.
Theorell, T. (1999). How to deal with stress in organization ? a helath
perspective on theory and practice. Scandinavian Journal of Work
Environment Health, Special issue, 25, 616-624.
Widyastuti, E. (2008). Influence of organizational stress on job satisfaction faculty of
economics lecturer with internal locus of control as moderator variabel in
university of muhammadiyah malang. Thesis. Unpublished. Surabaya:
Faculty of Management Airlangga Univeristy..
Wilhelm, K., Kovess, V., Rios-Seidel. C., & Finch, A. (2004). Work and mental
health. Social Psychiatry Psychiatrist Epidemiology 39 : 866 873.

Anda mungkin juga menyukai