Aku Dan
Aku Dan
Aku Dan
Pagi itu aku pulang sekolah lebih awal, karena memang minggu ini kami menjalani ujian
semester 2 untuk kenaikan kelas 3 SMU. Sesampai dirumah nampak sebuah mobil sedan
putih parkir didepan rumah. Siapa ya ? dalam hatiku bertanya.
Padahal mama hari ini jadwalnya tennis. Untuk menghilangkan penasaranku segera
kumasuki rumah. Ternyata di ruang tamu ada mama yang sedang berbincang dengan
tamunya. Mama masih menggunakan pakaian olah raganya, sedangkan tamu itu masih
berpakaian kerja dan berdasi.
“Sudah pulang sekolahnya ya sayang” Tanya mama padaku.
“Oh iya, ini perkenalkan om Ari relasi bisnis papamu, kebetulan pulang tennis tadi
ketemu, jadi mama diantar pulang sekalian”. Kami saling berjabat tangan untuk
berkenalan. Mereka kutinggalkan masuk kekamarku untuk berganti baju seragam
sekolah.
Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku perempuan melanjutkan sekolah
SMU-nya di kota “M” dan tingalnya indekost disana. Alasannya karena mutu sekolahnya
lebih baik dari yang ada dikotaku ( padahal daripada tidak naik kelas dan jadi satu kelas
denganku ). Jadi tinggal aku sendirian yg menemani mamaku, karena papa sering pergi
ke luar kota untuk melakukan kegiatan bisnisnya.
“Indra, tolong kesini sebentar sayang.” tiba-tiba terdengar suara mama memanggilku.
“Ya ma !” aku segera beranjak untuk menemui mama di ruang tamu.
“Om Ari mau minta tolong di belikan rokok ke warung sayang” pinta mama. Aku segera
mengambil uang dan beranjak pergi ke warung untuk beli rokok. Sepulangnya dari
warung tidak kutemui mama maupun om Ari di ruang tamu, padahal mobil om Ari masih
parkir di depan rumah. Rokok kuletakkan di meja tamu lalu kutinggalkan kembali ke
kamarku.
Melewati kamar mama nampak pintu sedikit terbuka. Dengan rasa penasaran kuintip
melalui celah pintu yang terbuka tadi. Didalam kamar nampak pemandangan yang
membuat jantungku berdegup kencang dan membuatku sering menelan ludah. Nampak
mama yang telanjang bulat tidur di atas ranjang dengan om ari menindih dan mengulum
payudara mama tanpa menggunakan celana lagi. Dengan gerakan teratur naik turun
menyetubuhi mamaku. Sambil mengerang dan meggeleng ke kiri dan kekanan, nampak
mamaku menikmati puncak dari birahinya. Tak lama kemudian nampak om Ari
mengejang dan rubuh diatas pelukan mama. Mungkin sudah mengalami orgasme. Tanpa
sengaja dengan wajah kelelahan mama melihat kearah pintu tempat aku mengintip dan
mebiarkan aku berlalu untuk kembali ke kamarku.
Tiba tiba mamaku mengeluarkan penisku dari celana pendek yang kupakai, kepalanya
mendekati penisku dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Sambil mengocok ngocok
dan memainkan lidahnya di ujung penisku. Kurasakan kenikmatan yang belum pernah
kurasakan, tiba tiba “crot…crot. .” keluar cairan kenikmatan yang langsung ditampung
mulut mama.
“Yah, sudah keluar deh, padahal mama belum kebagian” kata mamaku sambil menelan
cairan sperma yang ada dalam mulutnya. Aku jadi malu sendiri, maklum yang pertama
kali kulakukan.
“Pindah ke ranjang yuk” ajak mamaku sambil berdiri menuju ranjangku. Aku ngikut aja
bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Mamaku tidur terlentang diatas ranjang masih
menggunakan dasternya. Ketika kakinya diangkat agak ditekuk tampak mem*k mamaku
yang dikelilingi bulu halus itu terbuka. Ternyata mamaku tidak memakai celana dalam
dibalik dasternya. Membuat dadaku jadi berdebar debar melihat pemandangan yang
indah itu.
“Ayo kesini!” kata mamaku sambil menarik turun celana kolor yang aku pakai. Dasar si
kecilku nggak bisa melihat barang aneh, langsung terbangun lagi.
“Nah, itu sudah bangun lagi.” seru mamaku. Kudekati bagian pangkal paha mamaku,
tercium olehku aroma yang keluar dari mem*k mamaku yang membuaku makin
terangsang. Sambil perlahan kusibak belahan lobang kenikmatan yang didalamnya
berwarna merah jambu itu. Kujilat cairan yang keluar dari dalamnya, nikmat rasanya.
“Teruskan indra, jilati bagian itu” lenguh mamaku yang merasakan kenikmatan. Kujilat
dan terus kuhisap cairan yang keluar sampai tak bersisa. Setelah sekian lama bermain
didaerah vagina mamaku, kuangkat kepalaku dari jepitan paha mamaku. Kulihat mamaku
sudah tergolek tanpa selembar benangpun yang menutupi tubuhnya. Mungkin waktu
asyik bermain dibawah tadi, mamaku mulepaskan daster yang dikenakannya. Kubuka
kaos yang sedang kupakai, sehingga kami sama-sama dalam keadaan telanjang bulat.
Kudekati tubuh mamaku sambil perlahan lahan kutindih sambil menghujani ciuman ke
bibir mamaku. Kami berciuman sambil memainkan payudara mamaku, kuremas remas
dan kupuntir puting payudara yang dulu menjadi sumber makananku pada waktu masih
bayi. Tangan mamaku sudah memegang batang penisku dan dibimbingnya kearah lobang
kenikmatannya yang sudah basah.
“Tekan sayang…” pinta mamaku. Dengan ragu-ragu kutekan penisku dan bless
menancap masuk ke lobang vagina mamaku yang sudah licin.
Oh..nikmatnya, sambil kutarik keluar masuk kedalam lobang kenikmatan itu. Desahan
napas mamaku semakin membuat aku terpacu untuk mempercepat irama pemompaan
batang penisku kedalam lobang kenikmatan mamaku. Tak lama kemudian…
“Oh, aku sudah sampai sayang, kamu benar benar hebat”.
Terasa lobang kenikmatan mamaku bertambah basah oleh cairan yang keluar dari dalam
dan menimbulkan bunyi yang khas seirama keluar masuknya batang penisku. Tiba-tiba
mama mencabut batang penisku, padahal sedang keras-kerasnya.
“Sebentar ya sayang, biar ku lap dulu lobangya, sambil kita rubah posisi.”
Disuruhya aku telentang dengan batang penis yang tegak hampir menyentuh pusarku.
Mamaku jongkok tepat diatas batang penisku. Sambil membimbing batang penisku
memasuki lobang kenikmatan yang sudah mongering karena di lap dengan ujung kain
daster, ditekannya pantat mamaku hingga bless, kembali si kecilku memasuki goa
kenikmatan mamaku, meskipun agak seret tapi rasanya lebih enak, sambil perlahan lahan
diangkatnya naik turun pantat mamaku, yang membuat aku jadi tambah merem melek.
Lama kelamaan jadi tambah licin dan membuat semakin lancarnya batang penisku untuk
keluar masuk. Semakin cepat irama naik turunya pantat mamaku, tiba tiba tanganya
mencengkeram kuat dadaku dan…
“Aku sudah sampai lagi sayang” desah mamaku. Tubuhnya melemah dan menghentikan
irama naik turun pantatnya. Tubuhnya mengelosor telentang disampingku, dan
membiarkan batang penisku masih tegak berdiri. ” Aku sudah tidak sanggup lagi sayang,
terseah mau kamu apain saja ” kata mamaku pelan. Aku hadapkan mamaku kekiri, sambil
kuangkat kaki kanannya hingga nampak tonjolan lobang vaginanya mulai terbuka.
Kumasukkan batang penisku lewat belakang sambil perlahan lahan ku pompa keluar
masuk kedalamnya. Irama pemompaanku makin lama makin kupercepat sampai akhirnya
tubuhku mengejang hendak mengeluarkan peluru cairan dari lobang penisku, dan crot…
crot…crot muntahlah lahar dari lobang penisku. Bersamaan dengan itu mamaku
mengerang lemah ” Oh sayang, aku keluar lagi “. Batang peniskupun melemah, dan
keluar dengan sendirinya dari lobang petualangan. Kamipun tertidur pulas dalam keadan
telanjang bulat sambil berpelukan ( kaya telletubis aja ).
Pagi harinya aku terbangun dengan keadaan segar, mamaku sudah tidak ada
disampingku. Ku ambil handuk dan kulilitkan menutupi kemaluanku menuju ke kamar
mandi. Di ruang makan aku berpapasan dengan mama yang sudah segar bugar habis
mandi. Kudekati mamaku dan kucium pipinya dengan mesra, aroma sabun mandi tercium
dari tubuh mamaku. ” Semalam kamu hebat sayang, untuk itu mama siapkan telor
setengah matang dan susu hangat untuk memulihkan lagi staminamu ” bisik mamaku
lembut. Sambil duduk dengan hanya dililit oleh handuk kuminum susu hangat dan
kumakan dua butir telur setengah matang dengan kububuhi merica bubuk dan garam.
Mamaku mendampingiku berdiri disampingku, karena tercium aroma segar sabun mandi
membuat birahiku jadi naik. Perlahan lahan batang penisku berdiri menyibak lilitan
handuk yang menutupinya. Mamaku terseyum melihat kejadian itu, sambil dipegangnya
batang penisku berbisik ” Nanti siang aja sepulang kamu dari sekolah kita lakukan lagi “.
Dengan kecewa aku beranjak menuju kamar mandi untuk bersiap siap ujian semester di
hari terakhir. Tak sabar rasanya untuk segera menyelesaikan ujian hari ini, agar bisa
berpetualang penuh kenikmatan
Kerjaan yg gak bisa ditinggal. gw pun mulai sering telepon2an ama tony, walau dia
memaksa untuk datang ke rumah gw, gw tetap aja nolak biarpun gw udah pernah
janji, alasan gw takut ketauan, dia ngajak ML di luar gw juga tetap nolak, karena gak
mau ninggalin rumah dan takut kalo mas eko pulang gw gak ada di rumah..
Paling banter kita phone sex sampe berjam2. gw berupaya nolak dengan berbagai cara..
tapi ditinggal terus menerus bikin gairah gw semakin tinggi…apalagi setiap pulang
kantor mas eko selalu menolak berhubungan dengan alasan keletihan.. ntar aja an,
wekeend aja ya.. gila seminggu sekali buat pasangan baru nikah..mmh bikin gw pusing…
kejadian yg gak disangka2 pun terjadi.. suatu pagi, selasa pagi, setelah mas eko ke kantor.
entah setelah pesta itu, gw semakin berani aja berpakaian, gw sering banget gak make
bra, kalo keluar kemana2.. karena kompleks rumah kami dekat ama pasar, gw
memutuskan untuk ke pasar, hanya make daster, dan itupun tanpa bra.. setelah pulang
dari pasar, gw lucuti daster gw, tinggal make CD doank, sambil masak.. selesai masak,
gw nyantai nonton dvd semiblue..
Gak lama kemudian bel berbunyi, kontan gw kaget, gw kecilin volumenya, lantas ke
belakang ngambil baju handuk trus ke pintu.. pas gw buka ternyata om gw ( adik nyokap
gw ). om gw ini emang akrab banget ama gw, bisa dibilang gw ponakan paling disayang
lah..hehehe ( maklum imut ), doi emang sering mampir ke rumah. dia sendiri udah
berkeluarga anaknya dua, masih kecil2 tapi, dulu sebelum married gw sering banget
nginep di rumahnya buat ngurusin anaknya, maklum mereka berdua pada bekerja sebagai
PNS, lagian dulu waktu gw masih kecil om gw sering ngurusin gw. om gw di dephankam
sedang istrinya di depkominfo… gw kaget aja liat om gw, maklum keadaan gw lagi
sedang ‘in’, eh om.. darimana.. ini tadi dari kantor tapi gak ada kerjaan ya om mampir aja
kesini sekalian nengokin kamu, gimana udah isi belom ?.. isi apaan? wong mas eko sibuk
melulu. sambil melangkah ke ruang dalam.. ani lagi ngapain nih, baru abis mandi?…
baru abis masak, mau juga mandi.. oya om mau makan gak? ani tadi masak udang tuh?..
udah om tadi baru makan di kantor, minum aja deh.. gw lantas kebelakang,buatin kopi.
gw balik k ruang tamu, nyediain kopi, otomatis gw nunduk didepan doi, baju handuk gw
talinya rada kendor, so doi bisa ngeliat nenen gw.. gw mikir ah biasalah.. doi langsung
ngomong..
doi emang blak2an orangnya dan sangat dekat ama gw.. weh udah gede aja itu, sambil
matanya tertuju ke payudara gw, dulu waktu kamu masih kecil om yg ngurusin kencing
beraknya, gak nyangka sekarang udah besar.. idih om bisa aja, yee lagian dulu om udah
liat donkh, ani malah blom liat punyanya om..hihihi.. eh, tambah pintar aja sekarang?
gimana kabar papa mama? .. tuh kan paling pintar alihkan perbincangan, baik2 aja kok
om.. diminum kopinya.. iya, udah kamu mandi aja sana, om mo liat tv bentar.. gak mau
mandiin nih om? tantang gw sambil nyalain tv.. eh kamu mulai berani ya? kan sekarang
udah gede, jadi bisa mandi sendiri.. alah bilang aja takut ada yg bangun.. eh nakal kamu
ya, awas om bilangin papa loh.. udah sana mandi.. duh lagi malas mandi nih om, kan
enak kalo bau keringat gini, lagian kalo ada yg bangun, ntar ani yg beresin deh.. beresin
apanya.. ah om masa perlu penjelasan lagi ( om gw biar kulitnya kecoklat2an/hitam tapi
badannya tegap banget kayak tentara ) ..
beresin baju maksud kamu .. bikin tenang yang bangun lah om gimana sih.. emang kamu
bisa tenanginnya.. yaelah om, emang ani masih kecil apa.. siapa yg ngajarin kamu an?
Gak ada suami kamu juga kok ngomong2 yg engak2.. nah tuh kan pasti udah mulai
tegang tuh, lagian ani jarang gituan om, mas eko sibuk melulu trus sedari kuliah, ani suka
terkagum2 ama bodynya om.. ingat gak waktu kita berenang dulu, ani suka meluk om
dari belakang kan.. ah kamu bisa aja, sana kamu mandi.. emang abis mandi mau diapain
ani?… eh nih anak, biar segar lah… masa sih gak tertarik ama ani om? … hush.. tertarik
sih tertarik, tapi ingat kamu kan ponakan saya, masa om tega sih ama ponakan… kalo ani
yang mau gimana?.. hush ngaco kamu, udah sana mandi.. gw lantas berdiri, tapi gak ke
belakang, gw ke pintu dpan, nutupin pintu trus gw locked, ga balik lagi ke ruang tamu
tengah, gw liat om gw lagi nonton tv, gw buka aja tali baju handuk..bluup baju
handuknya
maksud om apaan.. sambil tangan gw turunin resleting baju pnsnya.. abis itu, om cuma
ngelilit handuk doankh di pinggang trus berbalik.. ani tau om,
baju renang ani emang sexy, om bisa leluasa ngeliat buah dada ani kan.. karena ani tau
om konak, waktu pura make-in baju buat dicky, ani ngeliat bagian depannya kok nonjol
banget.. udah gitu om pura2 berdiri di belakang ani.. sambil ddempetin punya om
kan.. ani ngerasa ada yang keras banget di belahan pantat ani, apalagi ani masih make
baju renang, yg cuman celada dalam dan bra gitu.. trus om suruh dicky tunggu di luar,
padahal om gesek2in punya om persis di belahan pantat ani, padahal kalo om mau
bantuin make baju si layla, harusnya kan kta berhadapan.. tau gak om ani sampe ngumpet
dalam hati, gila pasti besar banget nih..udah gitu om julurin tangan alasan buat megang
baju si layla padahal om nyenggol toket ani kan, udah gitu om suruh layla tunggu di luar,
tangan om megang pinggul ani sambil om terus gesek2in kontol om di pantat ani..pasti
om tau ani juga menikmatinya, makanya ani gak mau beranjak..ani tau kalo saat itu om
juga udah habis akal, ani kan dengar suara om udah ngos2an.. tapi ani sama sekali gak
protes kan.. malah ani bantu om kan, ani sengaja goyang2in pantat.. coba om pikir dalam
kamar mandi cowok, cowok hanya make handuk megang pinggul cewek yg hanya make
baju renang berduaan sendirian.. tapi ani tetap gak beranjak..untung kamar mandinya gak
ada pintu, gak ada lampu dan kita sedikit terbantu dengan suasana sepi.. inget gak, waktu
om udah gak nahan lagi, kontol om udah tegang banget, tapi om gak juga mau nyingkirin
handuk, dan om semakin cepat nusuk pantat ani, tangan om sampai meluk perut
ani..kenapa om gak mau nyentuh susu ani?..sampai si dicky masuk trus teriak papa lagi
ngapain..lalu om kaget..cepat2 masuk ke kamar kecil..ingat gak?,,
ani tau om tanggung, makanya pas pulang waktu di mobil, ani sengaja make rok mini
tanpa $$CD, biar d mobil om bisa liatin punya ani kan..terbukti pas di mobil ani duduk
depan, ani narik naik rok ani..om ngeliatin aja meqi ani… tangan gw udah ngocok2in
kontol om gw, yg emang gede, panjang, keras, berurat dan hitam kecoklat2an .. sekarang
om gakperlu canggung karena ani udah dewasa dan kita sama2 mau kan?.. iyaaaa nnni
tapi kalo kamu hamil gimana? jgn takut om, gak bakal, kan sekarang bukan masa subur,
lagian banyak dokter ahli kan…. om gw mulai horny, bajunya doi lepas tangan gw masih
ngocokin kontolnya, abis itu gw jongkok didepan dia, turunin celananya, langsung gw
isap kontolnya, dari telur, gw mainin lidah gw di ujung kontolnya.. kontol om gede
banget, tau gak dari dulu ani udah pengen ngerasainnya.. abis gw kulum kontolnya, gw
merangkak naik jilatin dadanya, pentil susunya yg hitam gw sedot..mmh bau keringat
lelaki semakin bikin
gw bergairah..om gw keliatan kaku banget… tapi doi menikmati, gak lama kemudian,
tangan doi megang tubuh gw, ditidurin gw di sofa, tangan gw diangkat keatas, doi jilat
ketiak gw, tangannya mainin susu gw..ani gak papa nih om rasain punya ani..gak papa
om, ani mauu ommm, ani mau kontol om.. abis diremas2, doi jilatin susu gw, turun ke
pusar, ke perut gw, abis itu doi mainin meqi gw, dari bibirnya sampe kedalam2 nya..
mmh punya ani wangi.. emang punya tante gak om.. ah punya tante banyak bulunya..
kontol om juga enak .. kan kontol om hitam, lebih putih suami kamu kan.. ah mas eko
gak ada apa2nya om, punya om 3 kali lipat…om masukin donk.. iya ponakan sayang..
lantas doi ngangkat pinggul gw dan.. bluuupp, masukin kontolnya yg udah tegang
pelan2.. lama2 gerakan makin liar..mmmhhhh ommmm..sambil gw goyangin pantat gw..
annii punya kamu enak banget.. yg benar ahhh om.. kontol om gede banget.. ani suka
kontol om?..suka omm…om juga suka meqi ani.. om terus omm.. om gw lalu menunduk,
akhirnya kita berpagutan mulut, sambil terus memompa dan gw pun terus goyang2in
pantat gw.. enak an? .. enak ommm.. om sering2 kesini ya.. ntar kalo ketauan gimana..
udah om ygpenting kesini aja dulu ntar kita liat sikon…kontol om enakk banggeeett, lagi
ommmmmmm…oooommmmmmmmm,
Ketika aku mencoba menanyakannya pada awal Agustus 1998, kakakku sama sekali
tidak berusaha menampiknya. Ia mengakui terus terang kalau ia masuk sebuah klub
lesbian di kampusnya, begitu juga dengan kekasihnya. Waktu itu aku merasa jijik
sekaligus iba padanya, karena aku menyadari ada faktor psikologis yang mendorong
kakakku untuk berbuat seperti itu. Kekasihnya pernah mengecewakannya, kekasih yang
dicintainya dan menjadi tumpuan harapannya ternyata telah menikah dengan orang lain
karena ia telah menghamilinya. Kembali pada masalah tadi, sejak itu aku jadi sering
berbincang-bincang dengan kakakku mengenai pengalaman seksnya yang menurutku
tidak wajar itu. Ia bercerita, selama menjalani kehidupan sebagai lesbian, ia sudah empat
kali berganti pasangan, tapi hubungannya dengan mantan-mantan pacarnya tetap berjalan
baik.
Ketika aku meraba ke pangkal pahanya, sudah terasa begitu basah oleh cairan yang
menandakan kakakku benar-benar sedang bergairah. Aku sendiri terus menggelinjang
karena remasannya di payudaraku, tapi aku ingin lebih agresif dari pada dia, jadi kubelai
lembut kemaluannya, dan merasakan jemariku menyentuh clitorisnya, aku membasahi
jemariku dengan cairan yang ada di liang senggamanya kemudian kuusap clitorisnya,
lembut pelan, sementara ia mendesah dan kemudian meremas rambutku kuat-kuat.
“Oh.. Yeahh.. Ukkhh, ahh, terus, teruss, ahh”, celoteh kakakku dengan ributnya. Aku
terus mengusap clitoris kakakku, dan tiba-tiba kurasakan tubuhnya mengejang kuat-kuat,
jemarinya meremas punggungku, lantas ia merebah lemas.
Lama kami berada dalam posisi seperti itu, sampai suatu ketika aku merasakan ada
sesuatu di dalam tubuhku yang membuatku seolah merinding seluruh tubuh karena
nikmatnya, dan tahu-tahu aku menegang kuat-kuat, “okh.. kaakk.. ahh.. ahh!” Tubuhku
serasa luluh lantak dan aku tahu aku telah mengalami orgasme, kucium paha kakakku dan
kumasukkan penis silikon itu lebih cepat, dan pada ritme-ritme tertentu, kumasukkan
lebih dalam, kakakku mengerang dan merintih, dan terus-terang, aku menikmati
pemandangan yang tersaji di depanku ketika ia mencapai orgasme. Terakhir, aku
mencium clitorisnya, kemudian perut, payudara dan bibirnya. Lantas ketika ia bertanya,
“Nyesel nggak?” aku menggeleng dengan tegas. Malam itu kami tidur dengan tubuh
telanjang bulat, dan sekarang kami kian sering melakukannya.
“Senamnya di mana Tante ?” Aku coba membuka percakapan. Aku memberanikan diri
duduk di sofa yang sama sebelah kanannya.
“Dekat, di Tebet Timur Dalam”. Malam ini Tante mengenakan daster pendek tak
berlengan, ada kancing-kancing di tengahnya, dari atas ke bawah.
“Di Kampung saya sering olah-raga Tante” Aku mulai berani memandangnya langsung,
dari dekat lagi. Ih, bahu dan lengan atasnya putih banget!
“Pantesan badanmu bagus” Senang juga aku dipuji Tanteku yang rupawan ini.
“Ah, Kalau ini mungkin saya dari kecil kerja keras di kebun, Tante” Wow, buah putih itu
mengintip di antara kancing pertama dan kedua di tengah dasternya. Ada yang bergerak
di celanaku.
“Mengolah tanah, menanam, memupuk, panen” Buah dada itu rasanya mau meledak
keluar.
“Apa saja yang kamu tanam ?” tanyanya lagi sambil mengubah posisi duduknya,
menyilangkan sebelah kakinya.
Kancing terakhir daster itu sudah terlepas. Waktu sebelah pahanya menaiki pahanya yang
lain, ujung kain daster itu tidak “ikut”, jadi 70 % paha Tante tersuguh di depan mataku.
Putih licin. Yang tadi bergerak di celanaku, berangsur membesar.
“Macam-macam tergantung musimnya, Tante. Kentang, jagung, tomat” Hampir saja aku
ketahuan mataku memelototi pahanya.
“Nanti aja Tante, nunggu Oom” Aku memang belum lapar. Adikku mungkin yang
“lapar”
“Oom tadi nelepon ada acara makan malam sama tamu dari Singapur, pulangnya malam”
“Saya belum lapar” jawabku supaya aku tidak kehilangan momen yang bagus ini.
“Kerasan sekali, Tante. Cuman saya banyak waktu luang Tante, biasa kerja di kampung,
sih. Kalau ada yang bisa saya bantu Tante, saya siap”
Di antara kancing daster yang satu dengan kancing lainnya terdapat “celah”. Ada yang
sempit, ada yang lebar, ada yang tertutup. Celah pertama, lebar karena busungan
dadanya, menyuguhkan bagian kanan atas buah dada kiri. Celah kedua memperlihatkan
kutang bagian bawah. Celah ketiga rapat, celah keempat tak begitu lebar, ada perutnya.
Celah berikutnya walaupun sempit tapi cukup membuatku tahu kalau celana dalam Tante
warna merah jambu. Ke bawah lagi ada sedikit paha atas dan terakhir, ya yang
kancingnya lepas tadi.
“Mau bantu Tante sekarang ?”
“Betul ?”
“Tapi saya engga bisa mijit Tante, cuma sekali saya pernah mijit kaki teman yang keseleo
karena main bola” Aku berharap ia jangan membatalkan perintahnya.
Sekarang ia tengkurap di karpet. Hatiku bersorak. Aku mulai dari pergelangan kaki
kirinya. Aah, halusnya kulit itu. Hampir seluruh tubuh Tante pernah kulihat, tapi baru
inilah aku merasakan mulus kulitnya. Mataku ke betis lainnya mengamati bulu-bulu
halus.
Tangan memijit, mata jelalatan. Lekukan pantat itu bulat menjulang, sampai di pinggang
turun menukik, di punggung mendaki lagi. Indah. Kakinya sedikit membuka,
memungkinkan mataku menerobos ke celah pahanya. Tanganku pindah ke betis
kanannya aku menggeser dudukku ke tengah, dan..terobosan mataku ke celah paha
sampai ke celana dalam merah jambu itu. Huuuh, sekarang aku betul-betul keras.
“Maaf Tante”
Ke Atas ? Berarti ke pahanya ? Apa tidak salah nih ? Jelas kok, perintahnya. Akupun ke
paha belakangnya.
Ampuuun, halusnya paha itu. Kulit Tante memang istimewa. Kalau ada lalat hinggap di
paha itu, mungkin tergelincir karena licin!
Aku mulai tak tenang. Nafas mulai tersengal, entah karena mijit atau terangsang, atau
keduanya. Aku tak hanya memijit, terkadang mengelusnya, habis tak tahan. Tapi Tante
diam saja.
Kedua paha yang diluar, yang tak tertutup daster selesai kupijit. Entah karena aku sudah
“tinggi” atau aku mulai nakal, tanganku terus ke atas menerobos dasternya.
Kedua tanganku ada di paha kirinya terus memijit. Kenyal, padat. Tepi dasternya dengan
sendirinya terangkat karena gerakan pijitanku. Kini seluruh paha kirinya terbuka
gamblang, bahkan sebagian pantatnya yang melambung itu tampak. Pindah ke paha
kanan aku tak ragu-ragu lagi menyingkap dasternya.
Aku hampir saja berkomentar :”Paha Tante indah sekali”. Untung aku masih bisa
menahan diri. Terus memijit, sekali-kali mengelus.
Ini yang kuimpikan! Sudah lama aku ingin meremas pantat yang menonjol indah ke
belakang itu, kini aku disuruh memijitnya! Dengan senang hati Tante!
Aku betul-betul meremas kedua gundukan itu, bukan memijit, dari luar daster tentunya.
Dengan gemas malah! Keras dan padat.
Ah, Tante. Tante tidak tahu dengan begini justru menyiksa saya! kataku dalam hati.
Rasanya aku ingin menubruk, menindihkan kelaminku yang keras ini ke dua gundukan
itu. Pasti lebih nikmat dibandingkan ketika memeluk tubuh mbak Mar dari belakang.
“Ih, geli To. Udah ah, jangan di situ terus” ujarnya menggelinjang kegelian. Barusan aku
memang meremas pinggir pinggulnya, dengan sengaja!
“Sama sekali engga, Tante” jawabku cepat, khawatir saat menyenangkan ini berakhir.
“Bener nih ? Kalau masih mau terus, sekarang punggung, ya ?”. Aha, “daerah jamahan”
baru!
Jari-jariku menyentuh “tumpahan” buah itu. Tidak langsung sih, masih ada lapisan kain
daster dan kutang, tapi kenyalnya buah itu terasa. Punggungnya sedikit berguncang, aku
makin terangsang.
“Cukup, To..” Kedua tangannya lurus ke atas. Ia tengkurap total. Nafasnya terengah-
engah.
“Depannya Tante ?” usulku nakal. Lancang benar kau To. Tante sampai menoleh
melihatku, kaget barangkali atas usulku yang berani itu.
“Kaki depannya ‘kan belum Tante” aku cepat-cepat meralat usulku. Takut dikiranya aku
ingin memijit “depannya punggung” yang artinya buah dada!
“Boleh aja kalau kamu engga cape”. Ya jelas engga dong! Tante berbalik terlentang.
Sekejap aku sempat menangkap guncangan dadanya ketika ia berbalik. Wow! Guncangan
tadi menunjukkan “eksistensi” kemolekkan buah dadanya! Aduuh, bagaimana aku bisa
bertahan nih ? Tubuh molek terlentang dekat di depanku. Ia cepat menarik dasternya ke
bawah, sebagai reaksi atas mataku yang menatap ujung celana dalamnya yang tiba-tiba
terbuka, karena gerakan berbalik tadi. Silakan ditutup saja Tante, toh aku sudah tahu apa
yang ada dibaliknya, rambut-rambut halus agak lurus, hitam, mengkilat, dan lebat. Lagi
pula aku masih bisa menikmati “sisanya”: sepasang paha dan kaki indah! Aku mulai
memijit tulang keringnya. Singkat saja karena aku ingin cepat-cepat sampai ke atas, ke
paha.
Lutut aku lompati, takut kalau ia kesakitan, langsung ke atas lutut, kuremas dengan
gemas.
“Iih, geli”. Aku tak peduli, terus meremas. Paha selesai, untuk mencapai paha atas aku
ragu-ragu, disingkap atau jangan. Singkap ? Jangan! Ada akal, diurut saja. Mulai dari
lutut tanganku mengurut ke atas, menerobos daster sampai pangkal paha.
“Aaaah, Tooo ….” Biar saja. Kulihat wajahnya, matanya terpejam. Aku makin bebas.
Dengan sendirinya tepi daster itu terangkat karena terdorong tanganku. Samar-samar ada
bayangan hitam di celana dalam tipis itu. Jelas rambut-rambut itu. Ke bawah lagi, urut
lagi ke atas. Aaah lagi. Dengan cara begini, sah-sah saja kalau jempol tanganku
menyentuh selangkangannya. Sepertinya basah di sana. Ah masak. Coba ulangi lagi
untuk meyakinkan. Urut lagi. Ya, betul, basah! Kenapa basah ? Ngompol ? Aku tidak
mengerti.
“Ya, Tante” mendadak suaraku serak. Dia tak menyahut, matanya tetap memandangiku,
setengah tertutup. Ada apa nih ? Apakah Tante ….. ? Ah, mana mungkin. Kalau Tante
terrangsang, mungkin saja, tapi kalau mengajak ? Jangan terlalu berharap, To!
Aku meneruskan pekerjaanku. Kini tak memijit lagi, tapi menelusuri lengkungan
pinggulnya yang indah itu, membelai. Habis tak tahan.
“Ada apa, Tante” panggilku mesra. Mukaku sudah dekat dengan wajahnya.
Matanya kemudian terpejam, mulut setengah terbuka. Ini sih ajakan. Aku nekat, sudah
kepalang, kucium bibir Tante perlahan.
Aku terengah-engah.
Dia tersengal-sengal.
Tangan kananku meremas dada kirinya. Besar, padat, dan kenyal! Ooooohhhh, aku
melayang.
Selain besar, padat, dan kenyal, ternyata juga halus dan hangat!
Sebelum sampai ke dipanku, Tante minta turun. Berdiri di samping dipan. Aku
memeluknya, dia menahan dadaku.
Kulepas seluruh kancingnya, dasternya jatuh ke lantai. Tinggal kutang dan celana dalam.
Buah dada itu serasa mau meledak mendesak kutangnya!
“Eehhmmmmmm” dengusnya
“Besar sekali”
Stop Tante, jangan sampai keluar. Aku ingin pengalaman baru, Tante. Ingin memasuki
kelaminmu..sekarang!
Kutarik tangannya dari penisku. Untung Tante menurut. Aku tak jadi “keluar”
Kulepas tali kutangnya, tapi yang belakang susah dilepas. Tante membantu. Buah dada
itu terbuka. Wow.luar biasa indahnya. Belum sempat aku menikmat buah itu, Tante
memelukku. Meraih tangan kananku, dituntunnya menyelip ke celana dalamnya.
Dibawah rambut-rambut itu terasa basah. Diajarinya aku bagaimana jariku harus bermain
di sana : menggesek-gesek antara benjolan dan pintu basah itu.
“Uuuuuuhhhhhh, Tooo..”
Dilepasnya bajuku, singletku, celanaku luar dalam. Aku telanjang bulat. Kutarik juga
celana dalamnya. Ia telanjang bulat juga. Luar biasa. Pinggang itu ramping, perut itu rata,
ke bawah melebar lengkungannya indah. Rambut-rambut halus itu menggemaskan, diapit
oleh sepasang paha yang nyaris bulat. Seluruhnya dibalut kulit yang putih dan mulusnya
bukan main!.
Ditariknya aku ke dipan. Ia merebahkan diri. Kakinya ditekuk lalu dibuka lebar.
Dipegangnya kelaminku, ditariknya, ditempelkannya di selangkangan. Rasanya terlalu ke
bawah. Ah, dia ‘kan yang lebih tahu. Aku nurut saja. Tangannya pindah ke pantatku.
Ditariknya aku mendekat tubuhnya. Sesuatu yang hangat terasa di ujung penisku.
Pernah kupikir waktu pertama kali aku melihat kelamin Tante beberapa hari lalu, mana
cukup lubang sesempit itu menampung kelaminku yang lagi tegang ?
Tante membuka pahanya lebih lebar lagi, mengarahkan penisku lagi, dan aku sekarang
yang mendorong. Kepalanya sudah separoh tenggelam, tapi macet!
“Aaaaahhh” teriak kami berbarengan. Terasa ada sesuatu yang menjepit penisku, hangat,
enak!
Seedaaaaaaaaap!
Tante bergoyang.
Nikmaaaaaaaat!
Tante menjepit.
Geliiiiiiiiiiiiiiii!
Kutarik pelan. Terasa gesekan, enak. Ya, digesek begini enak. Tarik sedikit lagi, dan
kudorong lagi.
Makin geli..
Geli sekali…
Tak tahaaaaaann…
Mana bisa.
“Ayo, To”
“Tooooo, ..”
Beberapa menit yang lalu aku mengalami peristiwa yang luar biasa, yang baru kali ini
aku melakukan. Baru kali ini pula aku merasakan kenikmatan yang luar biasa.
Kenikmatan berhubungan kelamin.
Hubungan kelamin antara pria yang mulai menginjak dewasa dengan wanita dewasa
muda.
Aku mendapatkan kenikmatan luar biasa sementara aku tak mampu memberi kepuasan
kepada “lawan mainku”, Tante Yani.
“Harus Tante, saya tadi nikmat sekali, sebaliknya Tante belum merasakan. Saya engga
mampu, Tante. Saya belum pengalaman Tante. Baru kali ini saya melakukan itu”
“Sungguh Tante”
“Engga apa-apa, To. Tante bisa mengerti. Kamu bukannya tidak mampu. Hanya karena
belum biasa saja. Syukurlah kalau kamu tadi bisa menikmati”
Tante diam lagi, mengelus-elus punggungku. Nyaman sekali aku seperti ini.
“To ” panggilnya.
“Ya, Tante”
“Ini rahasia kita berdua saja ya ? Tante minta kamu jangan katakan hal ini pada
siapapun”
“Tentu Tante, tadinya sayapun mau bilang begitu” Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Mendadak
aku jadi cemas.
“Tante ”
“Hhmm”
“Nanti apa ?”
“Hamil ?” potongnya.
“Ya ”
“To, lain kali saja ya Tante jelasin. Sekarang Tante harus mandi, Oommu ‘kan sebentar
lagi datang”
Kubantu ia mengenakan kutangnya. Buah dada itu belum sempat aku nikmati. Lain kali
pasti!
“Sana mandi, cuci yang bersih niih” katanya lagi sambil menggenggam penisku waktu
bilang ‘niih’
Malam ini pertama kali aku ciuman dengan nikmat, pacaran sampai “keterusan”. Pertama
kali penisku memasuki kelamin wanita. Pertama kali aku menumpahkan “air” ku ke
dalam tubuh wanita, tidak ke perut atau ke lantai.
Padahal wanita itu sudah 26 tahun, sepuluh tahun di atas usiaku. Tapi lebih padat dari Si
Ani yang 17 tahun, lebih manis dari Si Yuli yang sepantaranku, lebih indah dari Si Rika
yang seumurku.
Yang masih mengganjal, wanita itu Tanteku, isteri Oom Ton. Ya, aku meniduri isteri
Oomku! Aku mendapatkan pengalaman baru dari isterinya! Aku memperoleh kenikmatan
dari meniduri isterinya. Isteri orang yang membiayai sekolahku, yang memberiku makan
dan tempat tinggal!
Pakai meremas pantat ? Habis, siapa yang tahan ? Aku masih 16 tahun, masih sangat
muda, tapi sudah matang secara seksual, mudah terrangsang.
Tante sendiri, kenapa tidak menolak ? Bisa saja ia menempelengku ketika aku mau
mencium bibirnya di karpet itu. Bisa saja ia menolak waktu aku membopongnya ke
kamarku. Dan aku, bisa saja memberontak waktu ia merogoh celana dalamku, waktu ia
menggenggam kelaminku dan diarahkan ke kelaminnya….
***
Paginya, kami sarapan bertiga, Aku, Oom, dan Tante. Aku jadi tidak berani menatap
mata Oom waktu kami berbicara. Mungkin karena ada perasaan bersalah. Sedangkan
Tante, biasa-biasa saja. Sikapnya kepadaku wajar, seolah tak terjadi apa-apa. Tak ada
pembicaraan penting waktu makan.
Tante bangkit menuangkan minuman buat Oom. Kupandangi tubuhnya. Aku jadi ingat
peristiwa semalam. Rasanya aku tak percaya, tubuh yang ada di depanku ini, yang
sekarang tertutup rapat, sudah pernah aku tiduri. Aku ngaceng lagi..
Susah sekali aku berkonsentrasi menerima pelajaran hari ini. Pikiranku ke rumah terus,
ke Tante. Bagaimana ia “menuntunku” masuk. Bagaimana aku mulai belajar
“menggesek”, terus keenakkan. Aku ingin lagi…!
Tante bagaimana ya, apakah ia ingin lagi ? Aku meragukannya, mengingat semalam ia
tidak puas. Jangan-jangan ia kapok. Tadi pagi sikapnya biasa saja. Mestinya sedikit lebih
mesra kepadaku. Memangnya kamu ini siapa.
***
Dua hari kemudian ketika aku pulang sekolah, kulihat ada mobil Oom di garasi. Apakah
Oom Ton tak ke kantor hari ini ? Atau jangan-jangan Oom tahu kalau aku ..
Ah, jangan berpikir begitu. Dua hari terakhir ini sikap Oom kepadaku tak ada perubahan
apa-apa. Sikap Tante juga wajar-wajar saja. Justru aku yang kelimpungan. Bayangkan.
Setiap hari ketemu Tante. Aku selalu membayangkan “dalam”-nya, walau pakaian Tante
tertutup rapat. Lalu, terbayang, aku sudah pernah menjamah tubuh itu, dan terangsang
lagi.
Selama dua hari ini aku betul-betul tersiksa. Terlihat paha Tante yang sedikit tersingkap
saja, aku langsung “naik”. Ooh..! Aku ingin lagiiiiii.
Siang ini aku makan sendirian. Kamar Tante tertutup rapat. Oom pasti ada di dalam,
mobilnya ada. Tante juga tentunya. Mungkin mereka sedang …? Siang-siang ? Biar saja,
toh suami-isteri. Sekejap ada rasa tak nyaman. Tanteku sedang ditiduri suaminya…! Aku
iri! Memangnya kamu siapa ?
Baru saja aku selesai menyantap sendok terakhir makananku, kemudian mengangkat
gelas, ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka, Tante keluar, mengenakan baju tidur. Aku
terpana. Tanganku yang sedang memegang gelas berhenti, belum sempat minum,
terpesona oleh Tante dengan baju tidurnya. Kelihatan ia baru bangun tidur, melihatku.
Ia tutup pintu kamarnya kembali lalu mendekatiku, dan tiba-tiba mencium pipiku erat,
lenganku merasakan lembutnya sesuatu yang menandakan Tante tak memakai kutang.
Aku jadi penasaran. Penasaran pada benda lembut yang mendesak lenganku tadi, serta
pada kabar gembira apa ?
Ketika Ia kembali lagi, aku berdiri untuk memuaskan rasa penasaran tadi.
Sejam kemudian kulihat Oom Ton duduk di sofa ruang tengah bersama Tante. Oom Ton
berpakaian rapi berdasi, seperti hendak ke kantor, sedangkan Tante mengenakan daster
pendek tak berlengan berkancing tengah, daster kesukaanku. Terlihat segar, baru saja
mandi, mungkin.
“Ya, Oom”
Dua hari Oom tak ada di rumah, tentunya dua malam juga. Dua malam aku menjaga
rumah, bersama Tante.
Dua malam bersama Tante ? Bukan main!. Eit, jangan berharap dulu, ya. ‘Kan tadi Ia
bilang kabar gembira ?
Kok kamu yakin kabar gembiranya Tante adalah karena Oom ke Bandung ? Jangan sok
pasti ya!
Pak Dadan datang membawa tas di bahunya, masuk garasi menghidupkan mesin mobil.
“Ya, Oom”
Seisi rumah mengantar Oom sampai depan pintu pagar, melambai sampai mobilnya
berbelok ke jalan Tebet Timur Raya.
Semuanya masuk ke rumah kembali. Hatiku bersorak. Dadaku penuh berharap dan
kepalaku penuh rencana.
Tante sedikit kaget, lalu berbalik membalas pelukanku. Cuma sebentar, melepaskan diri.
Kami duduk berdampingan di sofa, sedikit berjarak. Aku nonton TV, Tante membaca.
Aku tak tahan lagi, penisku sudah tegang dari tadi. Sekarang baru jam setengah empat
sore. Berapa jam lagi aku mesti menunggu ? Oh, lama sekali.
Kulihat sekeliling meyakinkan situasi. Luki masih sama si Tinah di tetangga. Mbak Mar
menyetrika di belakang. Aman!
Kupegang tangan Tante yang sedang ada di pahanya. Dengan begini aku bisa meremas-
remas tangannya sambil merasakan lembutnya paha. Ia sesekali membalas remasanku,
tetap membaca.
Kuusap lembut pahanya. Paha itu masih seperti yang kemarin, padat, kenyal, halus,
berbulu lembut. Masih tetap membaca.
Aku makin berani, tanganku bergerak ke atas menyusup dasternya. Kuusap celana
dalamnya. Nafasnya mulai terdengar meningkat “volume”nya.
“To., kamu engga sabaran, ya ?” katanya sambil memegang tanganku di bawah sana.
“Maafkan saya Tante, saya.. saya ..engga kuat lagi Tante, saya ingin lagi, Tante” Kataku
terputus-putus menahan birahi yang mendesak. Kelaminku juga mendesak.
“Tolonglah., Tante, saya membayangkan terus setiap ..hari” kataku setengah memohon.
Aku yakin Tantepun sebenarnya telah terangsang, terlihat dari nafasnya dan aku
merasakan basah di celananya. Aku sudah sampai pada titik yang tak mungkin surut
kembali. Situasi sekeliling aman. Jadi, apa lagi selain berlanjut ?
Kuremas buah dada itu yang hanya ditutupi selembar kain daster.
“Eeeeeeehhh” desahnya.
Tiga hari lalu, waktu aku pertama kali meniduri Tante (memang baru pertama kali aku
berhubungan sex), aku belum sempat menikmati buah dada ini. Waktu itu kami sudah
sama-sama terangsang sehabis aku memijatnya. Aku baru sempat meremasnya, itupun
dibalik kutang. Lalu ketika kutangnya sudah terbuka, Tante sudah keburu menuntun
kelaminku memasukinya.
Putih, besar, menonjol, bulat, bergerak maju mundur seirama nafasnya, putingnya kecil
agak panjang tegak lurus ke depan berwarna merah jambu.
Aku berlutut di depannya, kusingkirkan daster itu, kucium belahan dadanya yang seperti
parit kecil di antara dua bukit.
Kukemot lagi, kuhisap, kupermainkan dengan lidahku, putting itu mengeras. Puting
satunya lagi juga mengeras, terasa di antara telunjuk dan ibujari tangan kananku.
Ada kesamaan gerak antara mulut dan tangan kananku. Kalau mulutku mengulum puting,
jari-jariku memilin puting sebelahnya. Bila bibir dan lidahku merambahi seluruh
permukaan buah yang sangat halus itu, telapak tanganku merambah pula. Seluruh
permukaan dada itu demikian halus, sehingga ada sedikit yang tak halus di sebelah puting
agak ke bawah menarik perhatianku.
Kulepaskan muluku dari dadanya, ingin memeriksa. Di sebelah puting dada kiri Tante
ada bercak merah. Kuperhatikan dan kuraba. Seperti bekas gigitan. Oh. Aku ingat tadi
siang waktu makan. Ini pasti “hasil kerja” Oom Ton di kamar yang terkunci tadi..
Dada kanan bagianku. Kucium puting itu kembali, geser sedikit, aku mulai menggigit.
Ah, bodohnya aku. Kalau kugigit tentu nanti berbekas, jelas pemilik sahnya, Oom Ton,
akan curiga!
Aku bangkit berdiri. Tante masih tergolek duduk. Kancing tengah dasternya sudah
semuanya terlepas, menyibak kesamping, tinggal celana dalamnya saja. Dada itu rasanya
makin besar saja.
Kutarik kedua tangan Tante, tapi ia melepaskannya. Dibukanya gesperku, lalu kancing
celanaku, dan ditariknya resleting dan celana dalamku. Penisku yang tegang itu keluar
dengan gagahnya persis di depan mukanya.
Dengan perlahan kupelorotkan celana merah jambu itu. Kembali aku bertemu dengan
rambut halus hitam mengkilat itu. Ada cairan bening di sana. Kutindih tubuhnya lalu
kakinya menjepit tubuhku. Kamipun berciuman, saling menggigit lidah. Lalu akupun tak
tahan lagi.
Aku bangkit. Kubuka kakinya lebar. Lubang sempit itu terbuka sedikit, merah. Sekarang
aku tak perlu dituntun lagi. Aku sudah tahu. Kutempelkan kepala penisku ke lubang
sempit itu, lalu kudorong hati-hati.
Aku heran, lubang sesempit itu bisa “menelan” kepala penis besarku. Kenapa
kupikirkan ? Yang penting enak.
Sambil memegangi kedua belah dadanya, aku mendorong lagi. Enak-enak geli atau geli-
geli enak. Entah mana yang benar. Kudorong lagi, Aaah lagi, enak lagi, geli lagi.
Pinggul Tante mulai berputar. Aku tahu tugasku, menarik dan mendorong. Mulut Tante
mengeluarkan bunyi-bunyian setiap aku mendorong. Melenguh, mendesah, kadang
menjerit kecil, atau kata-kata yang tak bermakna.
Kejadian tiga hari lalu berulang. Baru beberapa kali “tusuk” aku sudah merasakan geli
luar biasa. Nampaknya aku tak mampu menahan lagi. Ah, kenapa begini ? Aku tak bisa
tahan lama. Aku cemas jangan-jangan Tante nanti kecewa lagi. Tapi bagaimana lagi, aku
sudah hampir tiba di puncak.
Aku coba berhenti bergerak sambil menahan agar jangan sampai keluar dulu, persis kalau
aku menahan kencing. Tapi begitu aku diam, pantat Tante langsung berputar. Seluruh
bagian tubuh yang di dalam sana memeras-meras kelaminku. Oh, aku tak akan berhasil
menahan diri. Langsung saja aku bergerak lagi, makin cepat malah. Ocehan Tantepun
makin ngawur.
Aku jadi cepat, makin cepat dan semakin cepat, lalu ……. badanku bergetar hebat,
mengejang, berulang, memuntahkan, mengejang lagi, muntah lagi…
Aku selesai. Selesai menggetar, selesai mengejang, selesai melepas, selesai semuanya.
Tanteku selesai terpaksa. Aku yakin ia kecewa lagi.
“Hmmm, To”
“Sudahlah, To”
“Benar, To. Memang Tante merasa belum “tuntas”, tapi kocokanmu tadi bisa Tante
nikmati”. Aku agak tenteram.
“Ini karena kamu belum biasa, To. Tante yakin, lama-lama kamu akan mampu.
Barangmu kerasnya luar biasa”
Tante tak menjawab. Akupun berdiam diri. Lama kami berdua membisu.
Tante melihat jam, pukul empat sore, lalu bangkit mencari-cari pakaiannya yang
berserakan.
Kupeluk Tante erat sekali, agak lama. Lalu kucium pipinya dalam-dalam.
“Tante”
“Apa, To ?”
“Engga tahu Tante, pokoknya saya sayang sama Tante. Tante jangan kapok, ya ? Tarto
ingin kita terus begini”
“Bisa, Tante”
“Iya,Tante”
Malam itu aku nonton TV sendirian. Tante ada di kamarnya, tertutup. Aku kesepian. Aku
mengharapkan Tante akan ke luar dari kamar menemaniku di sini. Kemudian aku
mendekatinya, lalu ciuman, raba-raba, dan …diakhiri dengan hubungan suami-isteri.
Heran aku, baru tadi sore aku dipuaskan oleh Tante di kamarku, malam ini aku ingin lagi!
Aku ingin kenikmatan itu lagi. Aku tetap menunggu.
Malam ini adalah malam pertama Oom tak ada di rumah. Ayolah Tante, ini kesempatan
yang tak boleh dilewatkan.
Kelamin berambut halus itu tak ada yang memasukinya malam ini.
Aku putuskan, malam ini memang Tante tak mau diganggu. Biar sajalah. Toh besok
siang, sore, atau malam masih ada kesempatan. Oom Ton menginap di Bandung dua
malam. Yah, besok sajalah.
Aku ingin malam ini kelaminku masuk dan kemudian mengeluarkan cairan dengan
nikmat!
Kemudian aku mengeluarkan penisku yang sudah tegang itu. Kata Tante punyaku ini
besar. Entah benar-benar besar, aku tak tahu. Sebab aku belum pernah lihat punya orang
lain.
Karena tidak ada Oom Ton, aku jadi makin berani menggoda Tanteku. Seperti waktu
sarapan tadi. Aku mengelus-elus bahu dan lengan atasnya yang terbuka di meja makan.
Bahkan mencium pipinya.
“Hati-hati, To”
“Tante”
“Ehm ?”
“Aku udah ada yang punya, To” katanya sambil mencubit pahaku. Aku senang.
“Ya. Pokoknya saya sayang” Jangan-jangan aku jatuh cinta benar-benar sama Tanteku
ini.
“Ya. Tante tahu, kamu nonton TV. Kamu masuk kamar jam 10 ‘kan ? Masa’ mau terus-
terusan”. Aku lega, Tante tak tahu perbuatanku semalam yang menyelinap ke kamar
Mbak Mar.
“Iya dong. Mumpung ada kesempatan. Sekarang juga saya mau” kataku nakal.
Bagaimana tidak mengganggu sekolah, seharian aku ingat Tante terus. Membayangkan
apa yang akan kuperbuat nanti bersama Tante.
Tante Yani [3]
Di kelas aku jadi sering melamun, membayangkan waktu aku menyelusuri seluruh
permukaan dada Tante dengan mulut dan lidahku. Membayangkan bagaimana kelaminku
secara perlahan memasukinya… Bel tanda pulang berbunyi. Aku bersorak. Ingat ke
rumah, ingat malam ini Tante menjadi milikku. Akan kureguk semua kenikmatan dari
tubuh Tante. Pokoknya nanti akan kunikmati seluruhnya, mulai dari ujung rambut sampai
ujung kaki, sampai puas. Memang aku bisa puas, tapi bagaimana dengan Tante ? Dua kali
aku berhubungan kelamin dengan Tante, dua-duanya aku bisa mengeluarkan spermaku
ke dalam lubang kelamin Tante, sampai puncak, sampai puas. Tapi Tante tidak. Aku jadi
cemas, jangan-jangan nanti aku juga begitu.
Tapi aku ingat, yang kedua kemarin tante bilang aku ada kemajuan. Hal ini sedikit
menghiburku. Mudah-mudahan yang ketiga nanti dengan bertambahnya pengalamanku,
ada kemajuan lagi. Aku agak tenang sekarang. Di rumah sepi-sepi saja. Tak ada
siapapun, juga Tante. Aku makan siang sendirian. Tante mungkin ada di kamar, pintu
kamarnya tertutup. Kuselesaikan makan siangku dengan cepat, lalu duduk saja di meja
makan, berharap Tante akan keluar dari kamarnya. Setengah jam berlalu, masih sendiri.
Aku ke ruang keluarga nonton TV. Duduk di sofa lalu ingat, kemarin di sini aku
menikmati buah dada Tante dengan tuntas. Diam-diam punyaku mulai tegak, padahal
hanya membayangkan yang kemarin. Ditambah lagi acara TV menyajikan fashion show
di Sydney, Australia. Peragawati cantik-cantik yang berlenggok di catwalk itu umumnya
tak memakai kutang. Kalau model bajunya berdada rendah, belahan dadanya jelas. Kalau
bahannya tipis, putingnya menonjol. Apalagi peragawati yang punya dada besar, buahnya
berguncang waktu ia melenggang. Aku tambah tegang, makin pusing karena terangsang.
Oh. Tante sayang, kemanakah engkau. Aku membutuhkanmu sekarang! Tiba-tiba pintu
kamar Tante terbuka. Aku menoleh. Kepala Tante nongol memberi isyarat padaku
dengan mengangguk-angguk. Nasibku memang beruntung. Jelas ini isyarat ajakan
masuk. Tapi masak di kamar itu, kamar pribadi Oom dan Tante. Aku ragu, bengong saja
belum bereaksi atas isyaratnya. Sekali lagi Tante mengangguk, kali ini sambil
mengedipkan kedua matanya.
Dengan pasti aku melangkah menuju kamarnya. Kepala Tante lenyap. Aku masuk
langsung menutup pintu kamarnya dan mengunci. Di ranjang besar itu Tante terlentang.
Mengenakan baju tidur tipis, sehingga samar-samar celana dalam dan kutangnya terlihat.
Matanya sayu memandangku, berkaca-kaca. Kutang itu bergerak naik-turun menandakan
nafas Tante sudah memburu. Aku tak tahan melihat pemandangan yang menggairahkan
ini, segera saja aku menghampirinya. Tapi… “Tunggu dulu. Buka dulu dong,
pakaianmu” perintahnya. Okey, tanpa dimintapun aku akan membuka. Sementara aku
membuka pakaian sampai telanjang bulat, Tante memelorotkan celana dalamnya dengan
posisi masih terlentang. Kini di balik baju tidur tipis itu nampak rambut-rambut halus
yang menggemaskan itu. Belum sempat aku bergerak, ada lagi ‘ulah’ Tante. Ditariknya
gaun tidur tipis itu perlahan, memperlihatkan paha bulat itu. Ditarik lagi keatas sampai
pusarnya nongol. Kelamin berambut halus dan perutnya terbuka terhidang di depanku.
Luar biasa. Tante menyajikan ’strip tease show’ di depanku! Ada-ada saja Tante ini.
Dengan ’senjata’ yang tegak keras aku menghampiri tubuh indah ini. Kucium rambut-
rambut halus itu sebentar. Gemasnya aku. “Aaaaaaaahhhh” teriak Tante. Aku berpindah
ke atas, kulumat bibirnya sambil meremas sebelah dadanya. Kutang itu perlu
disingkirkan dulu seharusnya, tapi aku tak sempat. Tanganku sebelah lagi bergerak ke
bawah. Eh, Tante sudah basah! Benjolan dan pintu itu licin. “Hhhhhhhhmmmmmmmm..”
Tante tak mampu melenguh karena bibirnya aku kunci dengan bibirku. Disingkirkannya
tanganku yang sedang asyik di bawah, dipegangnya kelaminku, lalu diarahkannya ke
‘pintu’. Rupanya Tante ingin memulai sekarang. Mungkin sama dengan aku, sudah sama-
sama terangsang lebih dulu sebelum bergumul. Aku terrangsang oleh bayanganku dan
peragawati tadi, Tante terangsang entah oleh apa. Aku mulai ‘masuk’ “Aduhh! Pelan-
pelan, To!” Tante mengaduh, memang masukku tadi agak kasar. “Maaf Tante, habis
engga tahan sih..”kataku tersengal. Kamipun saling menggenjot. Lucu kelihatannya kali
ini. Tante masih mengenakan gaun tidur dan kutangnya, kelamin kami sudah saling
pagut… Hasilnya, seperti kemarin. Aku ‘keluar’ lebih dulu, sementara Tante belum
terpuaskan benar. Kentara dari pinggulnya yang masih mencoba menggoyang sambil
kakinya menjepit pinggangku. Kembali aku kecewa. Kalau kelaminku sudah bergesekan
dengan kelamin Tante, disamping rasa nikmat, juga rasa geli luar biasa. Jika sudah geli
begitu, aku tak sanggup lagi menahan untuk jangan sampai ke puncak dulu.
Kembali aku gagal memuaskan Tante. Kembali aku berusaha menetralkan suasana yang
tak enak ini. Kuelus buah dada yang putingnya masih tegang itu dengan penuh perasaan,
lalu kucium perlahan. Tante mengusap kepalaku. Kucium pipinya dengan mesra.
“Tante..” “Hmmm” “Saya..engga..” “Udahlah..Tante tahu. Kamu engga usah merasa apa-
apa. Tante maklum kok. Kamu tadi lumayan, sudah ada kemajuan” “Tapi Tante kan
belum …” “Engga usah kamu pikirin. Tante mengerti” katanya menentramkan sambil
mengelus-elus dadaku. “Saya engga bisa bertahan lama, Tante” “Sudah lumayan, kok.
Tante tadi juga merasa nikmat. Kamu udah mulai pintar mengocok tadi” “Saya bisa
merasakan Tante tadi belum puas” “Iya, memang wanita membutuhkan waktu yang lebih
lama dibanding laki-laki. Tapi kamu tadi ada kemajuan dibanding kemarin” “Tak adil
rasanya. Saya merasakan kenikmatan luar biasa, sedangkan Tante belum” “Sudahlah, To.
Tak perlu kamu pikirkan. Tante mengerti” “Terima kasih Tante” Kupeluk tubuhnya erat.
Erat sekali. Diciumnya pipiku, lalu merebahkan kepalanya di dadaku. Aku mengelus
rambutnya. “Tubuhmu atletis sekali. Dadamu bidang” katanya sambil tangannya
menelusuri dadaku. “Iya, Tante. Dulu saya kerja di kebun. Saya juga sering olahraga”
Tiba-tiba tangan Tante ke bawah menggenggam punyaku. “Kelaminmu besar sekali”
“Ah, masa Tante. Saya kira biasa-biasa saja” “Apalagi kalau lagi tegang”. Kulirik
punyaku, sudah agak surut. “Tubuh Tante luar biasa” balasku. “Kalau lagi tegang keras
dan panas” komentarnya lagi masih tentang penisku, mengabaikan pujianku. “Buah dada
Tante indah sekali” “Ah, masa. Dibanding punya siapa” pancingnya. “Siapa saja” Aku
pura-pura terpancing. “Berarti kamu sering lihat buah dada, ya” Kubalikkan badannya.
“Besar, bulat, kenyal, putih, licin, halus lagi” kataku sambil melihat dekat-dekat buah itu.
“Buah dada siapa yang kamu lihat” tanyanya sambil menggoyang-goyang kelaminku
yang masih berada digenggamannya. “Cuma baru ini” jawabku sambil mulai merabai
permukaan dadanya. “Jujur aja, To. Dada siapa yang pernah kamu lihat” katanya lagi.
Tante penasaran rupanya. “Sungguh mati Tante. Cuma punya Tante yang pernah saya
lihat” “Yang bener, To” tangannya tidak menggenggam lagi, tapi mengelus kelaminku.
“Benar Tante” “Kok tahu bagus ?” “Saya hanya lihat punya teman-teman sekolah. Itupun
dari luar” “Pernah kamu pegang ?” Tangannya masih mengelus, aku mulai terangsang.
“Ih, engga lah, Tante. Bisa gempar, dong” “Jadi, tahunya punya Tante bagus, dari
mana ?” “Pokoknya, dari luar, punya Tante paling besar” Ujung jariku mempermainkan
putingnya. Putting itu mulai mengeras. “Tante” “Hmm ?” “Apa setiap buah dada
ujungnya begini ?’ “Begini gimana” “Panjang, mungil, tapi keras” “Mungkin. Punyamu
mulai keras” Aku seperti disadarkan. Memang aku sudah terangsang akibat percakapan
tentang dada dan elusan Tante pada kelaminku. Aku mau lagi. Kenapa tidak ? Mumpung
masih ada kesempatan. Oom Ton paling cepat besok siang pulangnya.
Kadang diputar, seperti diperas. Kadang Tante “jongkok”, pantatnya naik-turun, sedap
juga. “Aaaahhhh..kamu..nakal” teriaknya ketika dia berjongkok membenamkan
kelaminku, aku mengangkat pantatku. Kedua tanganku diraih, dituntun ke dadanya.
Kuremas dada yang tambah licin kena keringat. Entah sudah berapa lama akhirnya Tante
capek juga. Dia rebahkan tubuhnya. Kupeluk. Kumiringkan, aku ingin di atas lagi. Tante
menurut. Dengan hati-hati kami mengubah posisi, agar jangan terlepas. Aku berhasil.
“Kamu…udah..pintar..”pujinya. Dengan posisi di atas aku jadi bebas menggenjot. Lagi-
lagi Tante teriak. “Terus..To.., Tante…hampir…” Terus. Tusukanku makin menggila.
Teriakannya makin keras. Rasa geli datang, dimulai dari ujung penis, terus menjalar ke
seluruh tubuh. Makin geli. Makin cepat aku menarik-tusuk. Kesemutan…
mengambang..melayang..dan……. “Aaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh….” Seeeerrr, denyut-
denyut, seeerrr, bergetar, serrrrr, berguncang..seer. Entah sudah berapa kali seerr, yang
jelas setiap kali keluar aku merasakan kenikmatan yang tak bisa kugambarkan dengan
kata-kata. Begitu nikmat. Aku sampai lupa memperhatikan tingkah Tante. Badannya
telah bergeser ke atas karena ku”dorong” dengan tusukanku. Bantalnya bukan lagi di
kepala, tapi di punggung. Sedangkan kepala terkulai, mata melihat ke atas, bibir terkatub
rapat seluruh tubuh gemetaran. Teriakannya ? Tak perlu kuceritakan. Agak lama juga aku
dan Tante bergetaran begini, merasakan puncaknya kenikmatan hubungan kelamin…….
Lalu, hanya nafas kami berdua yang terdengar, seolah berebut mengisap oksigen untuk
mengembalikan enerji yang keluar. Lalu barangsur pelan, makin beraturan. Tante masih
“terkapar” Aku lunglai di atas tubuhnya.
Ini keempat kalinya aku bersetubuh dengan Tante. Yang terakhir inilah kurasakan sangat
berbeda dibanding tiga kali yang terdahulu. Lebih nikmat, lebih memuncak, lebih lama,
lebih banyak aku mengeluarkan “air”ku, lebih bergetar, pokoknya …..susah diceritakan.
Pengalaman baru tentang rasa nikmat. Dan lagi, mudah-mudahan pengamatanku tak
salah, Tante begitu menggelepar, mengerang, teriak, berbeda dengan sebelumnya, Tante
kali ini kelihatan “selesai”. Semoga begitu. “Ooh..To., kamu hebat” Diciumnya pipiku
dengan gemasnya. “Apanya yang hebat, Tante” “Kamu betul-betul lelaki” tambahnya
“Memang dari dulu saya laki-laki. Ini buktinya” Kusodorkan kelaminku, menusuk
perutnya. “Laki-laki yang jantan” diremasnya penisku dengan gemas. “Auu” teriakku
“To…luar biasa..” Tak putus-putusnya ia memujiku. “Enak engga tadi, Tante ?” “Wow.
bukan main. Sangat!” Kupeluk tubuhnya. Aku merasa bahagia sekali. “Tante sayang..”
Aku berbisik semesra mungkin. Agak kaget Tante memandangku, lalu tersenyum. Manis
sekali! “Ada apa ‘yang ?” Wuih, mesra banget. Tante memanggilku ‘yang’. “Saya sayang
Tante” Kucium bibirnya. “Hhmmmmmmm” lenguhnya. “Kalau lama, enak sekali ya
Tante” “Kok kamu tadi bisa lama” “Engga tahu, Tante. Mungkin karena tadi ronde
kedua” “Atau mungkin karena kamu udah mulai pandai” “Yang pandai gurunya”
“Huuuu” cibirnya sambil mencubit tongkolku. Aku senang. “Guruku yang cantik”
Dicubitnya hidungku. “Dan berpengalaman” godaku lagi. “Aaah, udahlah, To” Kami
diam lagi. “To.” panggilnya tiba-tiba. “Ya.sayang” “Jangan tinggalin Tante, Ya” “Oo,
engga dong. Masa Tante yang jelita begini mau ditinggalin” “Tante serius, To” “Saya
juga serius, Tante. Saya membutuhkan Tante. Saya ingin begini setiap hari, Tante” “Saya
butuh kamu” Nah ini baru pernyataan. Ini pernyataan baru. Tante membutuhkanku ?
Bukankan ia punya suami ? “Oom Ton gimana Tante” Tiba-tiba wajah Tante berubah,
agak sedih kulihat. “Tante….ah engga. Pokoknya kita harus hati-hati, To. Ingat pesanku
‘kan ? Tante juga senang kita bisa begini terus. Tapi hati-hati, ya ?” “Pasti, Tante. Saya
akan hati-hati. Tapi Tante mau kan, tiap hari” “Nanti kamu bosan” “Saya sudah bilang,
Tarto sayang Tante. Tarto butuh Tante. Tarto ingin menikmati setiap hari. Tadi Tante
bilang membutuhkan Tarto. Maksudnya gimana Tante ?” “Iya.sama seperti kamu, Tante
juga ingin setiap hari” Klop ‘kan ? Keinginan yang sama, saling membutuhkan, saling
memuaskan, dan….saling menyayangi. Apakah ini yang dinamakan cinta ? Ya, apakah
kami saling mencintai ? Aku memang tak ingin kehilangan Tante, tapi Tante sendiri
bagaimana ? Apakah ia membutuhkanku karena mencintai keponakannya ini ? Atau
karena aku baru saja memuaskannya ? Bagaimana dengan suaminya ? Jangan-jangan ia
tak mendapatkan kepuasan dari Oom Ton ? Aku ingin mendapatkan jawaban dari
pertanyaan terakhir ini, tapi mana berani aku menanyakan langsung kepada Tante. Ah, itu
tak penting. Yang penting, aku sekarang punya kekasih yang luar biasa, yang bisa
membuatku melayang-layang di puncak kenikmatan. Lelah benar aku malam ini.
Bayangkan, malam ini dua kali aku “bertempur”.
Terutama yang terakhir tadi, permainan lama yang betul-betul menguras tenagaku. Aku
sekarang ingin istirahat. Masih agak sempoyongan aku bangkit mengumpulkan
pakaianku. “Mau ke mana To ?” “Saya ingin tidur, Tante” “Sudah tidur sini aja, temanin
Tante” “Saya senang sekali Tante, tapi besok Oom ‘kan pulang ?” “Paling cepat besok
siang” Aku memperhatikan Tante yang dengan malas bangkit. Tubuh wanita ini memang
luar biasa. Aku benar-benar beruntung mendapatkannya. Masih telanjang bulat Tante
berjalan menuju kamar mandi. Tak lepas mataku menatapnya. “Kenapa, To” Tante
merasa aku tatap begitu. “Tante memang indah” kataku sambil bergantian menatap dada
dan ‘rambut’ bawahnya. “Kamu memang nakal. Sudahlah, bersih-bersih dulu baru kita
tidur” Di dalam kamar tidur Tante yang luas ini ada kamar mandi yang luas pula. Ada
dua wastafel cermin lebar, bath-tube, dan tempat untuk mengguyur (douce) yang berpintu
kaca agak buram. Di bath-tube kami saling membersihkan, Tante menyabun tubuhku
sementara aku mengguyur tubuhnya, lalu gantian. Ah, mesra sekali. Lalu berdua kami
tidur berpelukan dibawah selimut yang hangat, tanpa pakaian. Tante yang punya ide
begini. Enak juga. Jam dinding menunjuk waktu 11.32. Dua ronde permainan makan
waktu hampir 3 jam. Pantas saja aku lelah. Dengan tergagap aku terbangun. Dimana aku
in ? Tante masih ada di pelukanku. Kulihat sekeliling, ah aku tidur di kamar pribadi Oom
Ton dan Tante Yani! Ada rasa enak di bawah sana. Ooh, Tante sedang asyik mengelus-
elus penisku yang tegang. Setiap bangun pagi, tanpa dieluspun penisku memang tegang.
Elusan ini yang membuat aku terbangun.
Kulihat jam dinding, pukul 05.17. Ah , sudah pagi, aku harus siap-siap. Tapi Tante ini..
Tante memandangku, tersenyum, seperti biasa : manis. “Punyamu udah keras, To” Buah
dada itu menyembul karena terpepet dadaku. Aku terangsang. Langsung saja aku raih
buah indah itu. Putingnya sudah keras. Kami berpagutan. Aku ingin tahu kesiapan Tante
pagi ini, tanganku ke bawah sana. Sudah basah rupanya. Mengingat waktu, aku ingin
segera mulai. Tantepun paham. Kembali aku melakukan ‘pertempuran’ panjang melawan
Tante. Rasanya jalan ke puncak masih lama. Aku mempercepat “pompaan”ku Belum
juga. Aku terus melumat bibir Tante, mencegah “kicauan”nya yang makin keras,
khawatir terdengar Mar yang sangat mungkin sudah bangun. Ganti posisi Percepat lagi.
Hampir Ubah posisi Akhirnya, aku makin yakin seperti yang Tante katakan, bahwa aku
lelaki tulen, jantan, hebat…. Pagi yang melelahkan sekaligus menyegarkan……! Tante
memberikan bukti, bukan hanya janji.
Kami bersetubuh hampir tiap hari, kecuali kalau Tante senam. Waktu yang dipilihnya
adalah siang hari, waktu saya baru pulang sekolah, di kamarku. Ini demi keamanan.
Siang hari adalah saat yang paling aman. Saat Si Mar sedang sibuk bekerja di belakang,
Si Luki bermain dengan pengasuhnya di rumah sebelah, dan saat Oom Ton belum pulang
kantor. Siang hari memberikan Tante cukup waktu untuk membersihkan diri,
menghilangkan “bekas”. Aku jauh dari bosan, seperti yang dikhawatirkan Tante. Karena
aku memang sangat menikmati hubungan ini. Faktor lain yang membuat aku tak bosan
adalah kreativitas Tante. Seperti yang kukemukakan di awal tulisan ini, ada saja ide
Tante untuk membuat kejutan untukku setiap berhubungan kelamin. Entah itu posisi
berhubungan, atau acara “pembukaan”, tambahan ronde, dan lain-lain yang membuat aku
merasa “lain”. Pernah sekali waktu ketika aku pulang sekolah, ia sudah siap di dipanku
memakai selimutku sebatas dada dan tak memakai apa-apa lagi di balik selimut itu.
Kejutan yang membuatku “terbakar”. Lain kali lagi ia memintaku “masuk” dari belakang.
Bertumpu pada lututnya ia ‘nungging’, aku bermain sambil memegangi pantatnya yang
bahenol itu. Saat yang lain lagi, kami ‘bertempur’ di atas meja belajarku. Ia duduk di
pinggiran meja membuka kaki, aku ‘masuk’ sambil tetap berdiri. Pernah juga di kursi
belajarku. Aku duduk di kursi yang dirapatkan ke dinding, ia duduk di atas pahaku
berhadapan. Dengan posisi begini ia bebas “memilih” posisi tusukan kelaminku di
vaginanya. Posisi atau gaya apapun, yang jelas membuat kami berdua menuju puncak
bersamaan atau hampir berbarengan. Kejutan yang susah kulupakan serta merupakan
pengalaman baru bagiku adalah seperti yang akan kuceritakan di bawah ini. Seperti yang
sudah-sudah, pulang sekolah setelah ganti baju, aku langsung menemui Tante meminta
“jatah” bersetubuh. Aku sebut jatah karena kalau malam hari Tante bukan milikku lagi,
tapi jatah suaminya. Siang itu ruang tengah sepi, Tante mungkin ada di kamarnya, kulihat
pintunya sedikit terbuka. Aku ingin masuk ke kamarnya, kali ini aku ingin main di
kamarnya, karena sejak “semalam 3 ronde” itu aku tak pernah lagi making love di kamar
itu, selalu di kamarku.
Kuperiksa keadaan sekeliling dulu. Aman. Aku masuk kamarnya. Tante mengenakan
kimono sedang mengikat rambutnya. Kukunci pintu, kupeluk Tante dari belakang,
menggerayangi. Tak ada apa-apa lagi di balik kimono itu. “Hhmmmmm..sebentar ya
‘yang, Tante mau mandi dulu” “Engga usah mandi juga Tante tetap wangi” kataku terus
menjelajahi tubuhnya. “Entar biar segar. Sabar dulu ya..” Aku menghentikan aksiku.
“Saya ikut mandi Tante” kataku bercanda. “Ayolah, kita mandi bareng” Tak kusangka
Tante menganggapnya serius. Ayo, kalau begitu. Aku langsung bertelanjang, menuntun
Tante memasuku kamar mandi. Tante membuka kimononya, bertelanjang bulat juga,
masuk ke ruang douce. Tak bosan-bosannya aku memandangi tubuh indah ini, padahal
hampir tiap siang aku menggumulinya. “Ayo, To” ajaknya. “Kita main di sini Tante ?”
nakalku timbul. “Hush, sekarang kita mandi dulu, kapan-kapan bolehlah” Tanganku yang
bersabun menggosoki dadanya. Di bagian putting sengaja kutekan-tekan. Tante juga
menggosok dadaku dengan sabun. Lalu perutnya, dan ke bawah lagi. Tangan Tante juga
ke bawah. Diusapnya dengan sabun ‘rambut’ bawahku, kemudian dipegangnya batang
kelaminku, digosok juga. Karuan saja batang itu membesar. “Hiiiiii, bangunnya cepet
bener” Aku menikmati gosokannya. Tante benar-benar teliti, semua bagian dari alat
vitalku itu dibersihkan dengan sabun lalu diguyur. Enak. Aku ikut-ikutan. Seluruh bagian
kelaminnya aku bersihkan. Kalau aku lagi menggosok “pintu” kelaminnya, kulihat mata
Tante merem-melek keenakan. Selesai mengeringkan badan aku langsung menubruk
Tante. “Heee, jangan disini To, ingat dong” Oh ya. Siang begini terkadang si Luki suka
masuk ke kamar, tentu diikuti si Tinah. Berbahaya. Aku berpakaian, hanya pakaian luar
saja, pakaian dalam aku bawa, menyingkat waktu. “Hiiiii, lucu.” kata Tante
mengomentari tonjolan di celanaku. Tantepun hanya memakai daster, tanpa pakaian
dalam.
Aku masuk kamarku duluan, langsung berbugil. Sejurus kemudian Tante menyusul, juga
langsung bertelanjang bulat. Kami langsung bersatu, saling raba dan saling pagut. Kali ini
mungkin tak ada kejutan yang dibuat Tante. Atau ya itu tadi, mandi dulu sebelum main.
Betul juga kata Tante, lebih segar. Aku meringkik kegelian ketika Tante menciumi
pusarku. Ini mungkin kejutannya, tak biasanya Tante begitu. Tapi, Tante terus ke bawah
menciumi ‘rambut’ku. Lebih kaget lagi, tangannya menggenggam kelaminku dan mulai
menciumi barang yang sudah mengeras itu! Bukan main! Geli-geli nikmat. Bahkan..
“Aaaaaaaahhhh” aku mengerang ketika kepala penisku dimasukkan ke mulutnya! Luar
biasa nikmatnya. Ini rupanya mengapa Tante begitu teliti membersihkan kelaminku
waktu mandi tadi. “Tante…” Tante seolah tak mendengar panggilanku, terus saja asyik
melahap barangku. Tante sanggup memasukkan barang itu hingga separohnya. Sewaktu
di dalam, jelas kurasakan lidah Tante ikut bermain menggelitiki penisku. Woooow
sedapnya tak terkira .! Sungguh ini pengalaman baru bagiku. Nikmatnya terasa lain.
Entah apa yang dirasakan oleh Tante. Kok mau-maunya ia melakukan ini. Aku sih
keenakan. Aku perhatikan bagaimana ia sibuk mengeluarkan-memasukkan penisku,
kepalanya naik-turun berirama. “Aaaahhhhhhh…hhmmmmmmmm…ssssshhhhhhhh..sed
ap, .. Tante., …Tante..pintar .sekali…” celotehku menahan nikmat. Bagaimana nanti
kalau aku tak mampu menahan diri ? Masa aku menyemprotkan spermaku ke mulut
Tante ? Ah, bagaimana nanti saja, yang penting sekarang….sedaaaaaaaaaap. Tiba-tiba
Tante melepas “makanan”nya, disapunya barangku dengan kain dasternya yang
tergeletak di dipan. Aku merasa kehilangan sesuatu. Dikeringkan. Lalu…dikulum lagi…!
Nikmaaaaat.. Dilepaskannya lagi, barangkali mau dilap lagi. Ternyata tidak, badannya
digeser sehingga kaki Tante berpindah ke arah kepalaku. “To, .. ayo cium, To..”katanya
terengah. Sejenak aku bengong tak mengerti permintaannya. “Kamu cium ini…” katanya
kemudian sambil menunjuk ke selangkangannya. Okey, Tante, toh aku sudah sering
mencium ‘rambut-rambut’ halusmu itu. Aku mulai mencium. “Ke bawah lagi, dong To..”
Ke bawah ? berarti disitunya ? Hal baru, kenapa tidak ? Kucium tonjolan kecil yang
sudah keras itu. Asin rasanya. “Aaaaaaaahhhhhhhh, sedap To, terus…”
Kini lidahku yang menyapu-nyapu pintu dan tonjolan tadi “Yaaaahhh. yaaaaaa…begitu
enak…” katanya sambil mulutnya menyergap lagi batang kelaminku. Ada cairan yang
asin rasanya. Di kemudian hari aku baru tahu bahwa yang sedang aku dan Tante lakukan
sekarang ini namanya “posisi 69″ Dalam mengulum ini Tante pintar sekali, banyak
variasinya. Keluar-masuk, kadang menyedot-nyedot, bermain lidah, sesekali menggigit
(aku langsung teriak). Akupun diajarinya bermain. Menggelitik ‘lubang’ dengan lidahku,
menggigit kelentitnya (pelan, tentu saja), menyapu bibirku ke “bibir”nya. Asyik juga
bermain seperti ini. Masing-masing sibuk, masing-masing merasakan nikmatnya. Entah
sudah berapa lama kami bermain begini. Untung saja aku berhasil menahan diri untuk
tidak keluar. Aku sekarang memiliki ketrampilan baru untuk mengontrol diri, mengatur
diri kapan saatnya ‘keluar’. Kalau tidak, masa aku menyiram mulut Tante dengan
maniku. Sampai akhirnya…. “Ayo, To….sekarang.To….” Aku memutar tubuhku,
sementara Tante rebah terlentang membuka kakinya, siap menerima tusukanku. Aku
masuk dengan gemas. Tante menerima dengan antusias. Untuk kesekian kalinya kami
saling menggenjot. Bersama menuju puncak. Berbarengan menggelepar. Sudah itu Sama-
sama lemas Sama-sama puas.
Oh, betapa bahagianya aku. Kebutuhan lahir dan batin terpenuhi. Kurang apa lagi ? ***
Tak ada yang kurang pada diri Tante. Cantik, putih, tubuh bagus, permainan di tempat
tidur luar biasa, dan kreatif. Kreativitas Tante tercermin dari cara bersetubuh. Ada saja
yang dilakukannya yang membuatku merasa bersetubuh dengan orang baru. Selalu ada
hal baru dalam setiap permainannya. Sejak Tante memperkenalkan “posisi 69″, aku
selalu minta dikulum penisku sebagai acara pembukaan. Tante juga amat menikmati
permainan lidahku di vaginannya. Seperti biasa sepulang sekolah aku mendekati Tante
untuk melaksanakan ‘tugas’ rutin, bersetubuh. Aku sudah membuka resleting celanaku,
mengeluarkan penisku yang tegang di dekat Tante yang sedang duduk di tepi ranjang,
masih berpakaian lengkap, di kamar Tante yang sudah kukunci. Yah, semacam
pemberitahuan bahwa aku sudah siap. Tapi tante menyambut dengan dingin, tak seperti
biasanya. Ia hanya mengelus-elus. Ketika dengan kurang ajar aku mendekatkan
kelaminku ke mulutnya, ia hanya mengecup lembut kepalanya, tidak dikulum seperti
biasanya, paling-paling hanya menggenggam. “Tante engga bisa sekarang, To” “Kenapa
Tante ?” “Tante lagi …itu..” “Lagi apa, Tante ?” “Lagi mens.” “Mens ? Apa itu Tante ?”
“Kamu engga tahu ?” “Bener, Tante. Saya sungguh engga tahu” Memang aku tidak tahu.
“Begini, setiap bulan wanita yang sudah dewasa mengalami masa menstruasi.
Wanita yang normal pasti mengalami” Lalu Tante memberiku kuliah tentang menstruasi
itu. Bahkan ditunjukkannya kepadaku celana dalamnya yang berbalut itu. “Kalau begitu,
besok saja ya, Tante” pertanyaan bodoh memang. “Engga bisa To. Masa mens biasanya
sekitar seminggu. Tapi kalau Tante sekitar 4 – 5 hari.” Wah, menunggu 4 – 5 hari, mana
tahan ? “Tapi Tante, saya ingin …” “Engga, To. Sabar aja ya, yang…” Aduh, pusing juga
aku, keinginan sudah sampai ke kepala. “Bagaimana kalau begini saja Tante..” Kataku
sambil menempelkan penisku ke bibir Tante, minta dikulum. “Engga bisa juga, To. Itu
namanya kamu egois. Kamu bisa puas, tapi kalau Tante terangsang, gimana ?” Benar
juga kata Tante. “Maafkan saya, Tante. Saya sungguh-sungguh belum tahu” kataku
sambil memeluknya dengan mesra. “Engga apa-apa, To. Tante maklum” Dimasukkannya
penisku, celana dalamku dibetulkan letaknya, lalu ditutupnya resleting celanaku. Mesra
sekali. “Awas, ya. Jangan cari sasaran lain” katanya. Kucium kedua belah pipi Tante,
dengan mesra juga. “Engga dong, Tante. Emangnya apaan.” Ternyata ada yang belum
aku ketahui tentang wanita Sekarang masalahku, mana bisa aku menunggu 4 – 5 hari
tanpa bersetubuh, setelah hampir tiap hari menikmati. Pulang sekolah agak kaget aku
mendapati Tante duduk di sofa, membaca. Kucium pipinya. “Engga senam, ‘yang ?”
“Engga, lagi banyak-banyaknya” “Apanya yang banyak ?” “Ah, kamu. Ya mens-nya”
Aku mengerti. Tapi berarti hilang juga kesempatanku siang ini menyatroni mBak Mar.
Paling tidak aku harus menunggu 2 hari lagi, jadwal senam Tante berikutnya, atau
menunggu sampai Tante “bersih”.
Malamnya, terkantuk-kantuk aku menunggu Oom Ton dan Tante masuk kamar. Pukul
10.15 mereka masih asyik menonton TV. Aku masuk kamar duluan, gelisah. Setengah
jam berikutnya kudengar TV dimatikan, lampu tengah juga, lalu kudengar suara pintu
ditutup dan dikunci. *** Sengaja aku datang ke sekolah lebih pagi. Hari in ada ulangan
Fisika dan aku merasa belum siap. Di rumah aku tak bisa konsentrasi belajar, ingatanku
ke Tante melulu. Apalagi sekarang udah beberapa hari aku tak bersetubuh, pusing aku,
mana bisa belajar di rumah. Pagi ini kesempatan terakhirku untuk belajar Fisika
menghadapi ulangan nanti. Belum banyak kawan yang datang, cuma ada Tono, Edi dan
Rika yang lagi ngrumpi. Dito belum nongol. Aku ambil bangku paling belakang, mojok,
lalu mencoba berkonsentrasi. Lumayanlah dalam setengah jam aku bisa memecahkan
soal-soal yang kuperkirakan akan keluar nanti. Juga beberapa rumus sempat “masuk’ ke
otakku, sampai seseorang datang menghampiriku dengan senyuman yang amat manis.
Yuli memang manis, apalagi kalau senyum. Masih ingat dengan Yuli, pembaca ? Yuli
teman sekelasku yang kugambarkan badannya biasa-biasa saja, dadanya menonjol wajar
dan wajahnya manis. Akhir-akhir ini kami makin akrab, sebatas dalam pelajaran lho!
Sering saling meminjam buku catatan, diskusi soal-soal PR, atau cuma ngomongin guru-
guru. Makin dekat kurasakan Yuli makin menarik, dadanya makin menonjol aja. Aku
sudah berada di pelukan Tante sih, jadi aku kurang memperhatikan Yuli. Entah ini hanya
ge-er saja, kulihat Yuli begitu ceria kalau berdekatan denganku. “Rajin bener. belajar
Fisika ya..?” tegurnya sambil duduk di sebelah kananku. “Ah engga. Justru karena aku
males, baru sempet belajar sekarang” sahutku “Pinjam catatan Matematiknya dong Tar”
“Matematik ? Kan entar ulangan Fisika” “Iyyaa. Tapi kemarin gua engga sempet nyatet
jawaban soal kemarin” Aku ulurkan buku Matematik, sambil memgang tangannya. Yuli
membiarkan tanganku meremas tangannya, meskipun kemudian dia tarik tangannya,
without any words. Tanda “penerimaan”. Tangannya halus bener .. Lalu dia dengan
serius memelototi catatanku itu. Anak ini memang serius banget kalau belajar. Mataku
tak lepas memperhatikannya.
Dia mungkin tahu aku melihatnya, tapi pura-pura tidak tahu. Ah .. Ini dia. Di sela-sela
kancing bajunya, aku sempat “mencuri” keindahan sebelah buah yang tumbuh di
dadanya. Hanya sedikit sih, tapi cukup membuatku “berdiri”. Apalagi daging itu terlihat
sedikit naik-turun seirama tarikan nafasnya. Ah seandainya ..khayalanku melayang
tinggi. Kuperiksa keadaan sekeliling. Masih sepi, memang masih pagi sih. Hanya ada 2
kawan yang tadi, lagi asyik menulis. Sekaranglah waktunya! Toh 2 teman tadi
menghadap ke depan kelas, tak akan melihat bila aku “menggarap” Yuli. Segera saja
tangan kananku merangkul bahu Yuli. Tak ada reaksi. Aksi kuteruskan dengan
memegang dagu dan menariknya. Mata Yuli sedikit membelalak, agak kaget mungkin,
tapi tak ada tanda-tanda penolakan. Ah. bibir merah membasah yang menggairahkan.
Kucium bibirnya. Dan … Yuli membalas ganas ciumanku..! Tanganku mulai membuka
kancing baju putih itu, lalu empat jariku menyusup ke balik BH-nya. Halus, padat, dan
lumayan besar. Aku meremas. Yuli melenguh. Jariku mencari-cari putingnya. Mengeras.
Tangannya kepangkuanku. Meremas juga. Sambil masih berciuman, aku melirik dua
temanku tadi, mereka masih tak acuh sibuk sendiri. Aman! Bibirku menelusuri lehernya
yang licin, terus kebawah. Kancing bajunya sudah terbuka semuanya. Kulepas baju
seragamnya, lalu kudorong Yuli hingga rebah di bangku sekolah! Aku menindihnya
hingga tubuh kami “lenyap” dari pandangan teman-teman tadi kalau mereka menengok
ke belakang. Kuciumi habis-habisan kedua bukit perawan itu. Aku yakin bukit kembar ini
belum tersentuh oleh “pendaki” manapun. Keras, dan padat. Aku tak sanggup menahan
lagi. Walaupun pakaianku masih lengkap nempel di badan, tapi meriamku sudah nongol
tegak dari rits celana, siap.
Kusingkap rok abu-abu itu jauh-jauh ke atas. Kupelorotkan celana dalam krem-nya…
Amboi … bulu-bulu halus, merata di seluruh permukaan kewanitaanya.. Luar biasa..
Masa aku kerjain di sini, di kelas ? Biar saja. Kalau nanti ketangkap basah gimana ?
Peduli amat. Kalau sudah begini, mana bisa “delay”, apalagi “cancel”. Lagi pula Yuli
sudah merintih-rintih sambil membuka pahanya agak lebar. We got the point no return!
Mulai sekarang ? Ya, tunggu apa lagi. BH-nya masih nempel. Biar saja, tak ada waktu
lagi. Kutempatkan penisku ke “tempat yang layak”. Menyapu-nyapu sebentar di seputar
pintu-basahnya, lalu mulai menusuk. “Uuuuhhhhhh ..” Yuli melenguh. Mentok. Padahal
baru “kepala”ku yang tenggelam. Tusuk lagi dengan menambah tekanan. “Aaaahhhhh
.pelan ..pelan ..sakiiit…” Desahnya pelan dan terbata-bata. Buset! Susah bener. Vagina
yang satu ini sempit benar. Apa betul, Yuli masih perawan .? Mungkin juga. Sebab
biasanya kalau sama Tante Yani tusukan begini sudah mampu mencapai “dasar”. Aku
tusuk lagi lebih kuat, bahkan sekuat tenagaku. Dan ….. “Heh! ngelamun aja!”kudengar
suara agak membentak. Suara Yuli! Aku tersadar. Aku kembali ke alam nyata. Kembali
dari lamunan nakal. Lamunan bersetubuh dengan gadis yang duduk di sebelahku ini.
Gadis yang baru saja mengagetanku! Ah.sialan. Kenapa aku begini ? Gara-gara
mengintip sedikit buah Yuli, aku jadi melayang.. *** Hari berikutnya aku kurang
beruntung. Tante ada di rumah mengajakku ngobrol. Hanya ngobrol. Sayang sekali tubuh
molek ini belum bisa “dipakai”. Sembulan dada bagian atas Tante dan sedikit belahannya
cukup membuatku kepingin. “Tante…” panggilku dengan suara serak” “Hmm ?” “Saya
pengin, Tante” “Kamu itu, engga sabaran, engga pernah puas” “Bukan begitu, Tante.
Saya puas, puas sekali. Cuma ketagihan, habis enak sih. Udah biasa setiap hari…”
“Sabar, dong” katanya sambil menggenggam selangkanganku. “Eh, udah keras..” katanya
lagi. “Iya, Tante. Saya siap setiap saat” kataku meniru iklan “Dasar…….! Dua hari lagi”
“Lama bener..” Besok siangnya lagi, ada kejutan baru untukku. Tidak bersetubuh sih, tapi
menyenangkan. Tante sedang duduk di sofa menyulam. Begitu datang aku langsung
menyingkirkan kain sulamannya, lalu kucium pipi dan kemudian bibirnya. Aku langsung
tahu bahwa dibalik gaun merah jambu, warna kesukaannya, Tante tak memakai BH.
“Mandi dulu sana, To” “Udah bisa, Tante ?” tanyaku cerah. “Ih, kesitu aja pikiranmu.
Belum, belum bersih” jawabnya sambil menuntun tanganku ke bawah perutnya. Masih
ada pembalut di sana. “Jadi, gimana dong Tante” kuremas dadanya yang tak berkutang.
“Pokoknya kamu mandi dulu” Aku mandi dan mengganti baju dengan penuh harap,
barangkali ada kreativitas baru dari Tante. Aku keluar kamar. Ini dia kejutannya. Tante
masih duduk di situ, hanya kancing gaunnya telah dibuka sampai perut,
mempertontonkan sepasang buah dada yang mengagumkan.
Luar biasa. Berani benar Tante ini, bertelanjang dada di ruang tengah. Jelas belum bisa
bersetubuh, tapi kelakuan Tante ini menandakan ada permainan apa lagi nih. Langsung
saja kuserbu buah dada itu. “Eeeeehhhhmmmmmm” Dengan gemasnya aku mengacak-
acak buah indah itu dengan mulut dan tanganku. Belum puas aku bermain dengan dada,
Tante mendorongku sampai aku berdiri di depannya. Lalu.Tante membuka kancing jeans-
ku! “Tante… Si Mar nanti…..” “Engga ada, lagi pergi…” Dibukanya resleting celanaku,
diturunkannya celana dalamku, lalu dikeluarkannya penisku yang langsung tegang,
digenggam pangkalnya, terus diciumi ‘kepala’-nya, lalu masuk mulutnya! Ooooohhh,
nikmat sekali permainan baru ini. Suasana baru. Bayangkan. Di ruang tengah, berdua
masih berpakaian, aku hanya mengeluarkan kelaminku, Tante mengulumnya dengan
bertelanjang dada! Oh, indahnya dunia ini. “Ooohhhhhhhhh, Tante, …sedaaaaappp.”
Kepala Tante bergerak maju-mundur, sangat perlahan. Terasa sekali bibirnya menjepit
dan bergerak menelusuri permukaan penisku. “Tante..Tante…enaaaaaaaak, Tante..”
Tante terus saja. Tanganku dituntun ke buah dadanya. Aku sampai lupa diri tak berbuat
apa-apa pada Tante. Habis sedap sekali sih! Kedua tanganku meremasi sepasang buah
kenyal itu. Tante terus bekerja. Geli, Tante…! Ya, geli. Aku hampir ke puncak. Entah
mengapa kali ini aku cepat mendaki. Mungkin karena pintarnya bibir dan lidah Tante
merayapi permukaan kulit kelaminku, atau karena suasana yang aneh ini. Aku tak mampu
menahan lebih lama lagi. Tante rupanya tahu kalau aku hampir sampai, ia mempercepat
gerakannya. Bagaimana kalau keluar, aku tak tega kalau sampai menumpahi mulut Tante
dengan spermaku. Segera..ya..segera sampai…. Dilepasnya kulumannya, tangannya yang
memegang sapu tangan secepat kilat menutupi kelaminku dan digenggam.
“Aaaaaaaaaahhhhhh” sambil berteriak aku muncrat. Sedaaaaaaap. Tante meremas.
Muncrat lagi, enak, meremas lagi, muncrat, nikmat, remas, sedap, muncrat, remas….
Beberapa detik aku terbang, kakiku goyah, lalu mendarat ditubuh Tante. Kucium
mulutnya. Masih ada muncratan lagi, tertampung di saputangan. Ada lagi, makin
sedikit….. Beberapa saat aku masih menubruk Tante, ia masih menggenggam dengan
saputangan. “Terima kasih, Tante…” “Enak, To ?” “Sedaaaaaaap, Tante. Tapi lebih
nikmat ke sini…” jawabku sambil memegang benda yang masih berpembalut itu. “Masih
pusing ?” “Hilang, Tante. Lepas sudah…” Keteganganku memang lepas. “Tante sendiri,
gimana dong, Tante ?” “Engga apa-apa. Ini ‘kan cuma membantu kamu” Kupeluk lagi
Tante lebih erat.
Aku makin sayang saja sama Tanteku ini. “Terima kasih, Tante. Tarto makin sayang
sama Tante” kataku jujur. “Sudah, cuci dulu sana. Ih, banyaknya….” “Iya, habis sudah
tiga hari engga keluar.”. *** Sejak peristiwa ‘penguluman di ruang tengah’ kemarin itu
aku jadi makin berani ‘kurang ajar’ kepada Tante. Seperti siang ini. Waktu Tante sedang
duduk membaca di ruang tengah, aku mendekatinya dari belakang dengan kelaminku
sudah kukeluarkan, terjulur kutempelkan di pipi Tante. “He, ngawur kamu.!” Tante
kaget. Ditariknya punyaku. “Aauuu” aku teriak. “Masukkin, engga aman!” “Iya Tante,
saya tahu. Cuma bercanda” Di hari berikutnya Tante membalas. Sewaktu aku sedang
makan siang sendiri, Tante mendekatiku, sangat dekat sehingga perutnya hanya berjarak
beberapa senti dari pipiku. Kucium bawah perutnya. Lalu Tante meraih tanganku,
dimasukkan ke balik gaunnya, langsung vaginanya terpegang. Tak ada celana dalam di
balik gaun Tante. “Sudah bersih, Tante ?” “Sudah..” Kuangkat gaun itu sehingga
‘rambut’ yang menggemaskan itu nampak. Aku langsung tegang, berarti siang ini bisa.
Aku langsung berdiri meninggalkan makanku, memeluknya. “Tunggu dulu” kata Tante
sambil mendorongku terduduk kembali. “Kali ini Oommu dulu, ya..” Katanya sambil
meninggalkanku masuk ke kamarnya. Kurang ajar! Oom Ton ada di kamar. Seharusnya
aku tahu, mobilnya ada di garasi. Tante masih sempat melihatku sambil tersenyum,
sebelum ia mengunci kamar. Aku makin tegang ketika setengah jam kemudian lamat-
lamat mendengar suara erangan Tante dari kamar.. Aku masuk kamar, tak tahan di situ.
Tante sudah selesai mens-nya, seharusnya siang ini ia milikku. Tapi Oom Ton
merebutnya. Merebut ? Memang Oom Ton pemilik sah. Aku gagal mencoba
berkonsentrasi membaca Fisika, besok ulangan. Bayangan Tante disetubuhi suaminya
yang muncul. Ah, sialan.. Setelah mencoba menyadari posisiku, aku jadi agak tenang.
Aku ‘kan hanya kemenakannya yang dibantu, lahir dan batin, kenapa musti sewot ?
Kelaminku mulai surut. Tapi itu tak lama. Tiba-tiba Tante masuk, langsung mengunci
pintu kamarku. Disodorkan buah dadanya ke mulutku. Buah itu masih berkeringat, juga
wajahnya. Tak peduli. Aku serbu dada itu, masih duduk di kursi belajarku. Kelaminku
langsung membesar lagi.
Di pintu kamarku Tante nengok kanan-kiri sebelum keluar. Aku ke kamar mandi. Selesai
dari kamar mandi aku lihat kamar Luki, kosong. Luki sedang dibawa pengasuhnya
keluar. Pelan-pelan aku masuk, hati-hati pintunya kukunci. Ini dia pintu penghubung tadi.
Aku mengintip. Tak melihat apa-apa, kuncinya masih menggantung. Aku kecewa.
Kuncinya hanya bisa dicabut dari arah kamar Tante. Ia harus membantuku. Aku mencari
Tante, lagi di kamarnya. Lebih baik aku makan dulu sambil menunggu Tante keluar.
Benar, Tante keluar, segar sekali nampaknya. “Tante, cabut dulu kuncinya, saya mau
coba” bisikku. Tante tersenyum, masuk lagi ke kamarnya. Dari lubang kunci di kamar
Luki aku bisa melihat dengan jelas dari arah kaki, Oom sedang tidur pulas, hanya
bercelana tidur. Kubayangkan, dari arah bawah ini aku akan bisa lihat kelamin mereka
berdua, baik posisi ‘biasa’, Tante di bawah, atau Tante di atas. Kecuali kalau mereka
memutar posisi dengan kakinya ke arah bantal, aku hanya bisa melihat kepala mereka,
paling-paling dada Tante. *** Malam itu sekitar pukul 10, aku sudah berada dalam kamar
Luki yang sudah pulas. Dari lubang kunci aku lihat mereka sedang membaca. Hanya
sekali-sekali mereka bicara. Oom Ton mengenakan pakaian tidur lengkap, Tante
memakai daster. Aku menyadari sebenarnya berbahaya aku disini. Bisa saja tiba-tiba
Oom membuka pintu ini untuk melihat anaknya. Jadi setiap Oom bangkit, aku harus siap-
siap. Kalau Tante sih, aku engga perlu bereaksi. Tegang juga aku. Ah, ternyata Tante
juga berpakaian ‘lengkap’. Sekarang aku bisa dengan jelas melihat celana dalam merah
jambu itu, karena Tante mengangkat sebelah kakinya. Kecil kemungkinannya mereka
akan main malam ini. Setengah jam aku capek menunggu, Oom mematikan lampu baca,
lalu tidur.
Kamar itu walaupun hanya diterangi lampu tidur, tapi cukup jelas aku bisa melihat tubuh
mereka. Dengan kecewa aku kembali ke kamar dan tidur…. Esok siangnya, ketika kami
baru saja melaksanakan ‘tugas’ nikmat dan masih terlentang berdua tanpa busana,
kutanyakan pada Tante tentang semalam aku tak jadi menyaksikan ‘pertunjukan’ Tante
dan Oom main. “Yaa.itulah To, Oom-mu memang jarang meminta, paling dua kali atau
bahkan cuma sekali seminggu. Makanya Tante butuh ini” jawabnya sambil mencekal
kelaminku. “Kenapa engga Tante yang minta” “Ah, Tante ‘kan melayani Oom-mu” “Tak
ada salahnya Tante yang mulai” “Betul, memang. Tapi, sering Tante malah kecewa.
Oom-mu kan hobinya kerja, jadi mungkin capek. Lebih baik Oom-mu yang mulai, itu
artinya dia betul-betul butuh” “Sayang, memiliki badan sebagus ini tak optimal
dimanfaatkan” kataku sambil mengelus buah dadanya. Tak bosan-bosannya aku pada
buah kembar yang indah ini. “Sekarang sudah optimal” “Ya. Dan sayalah yang
beruntung” “Tante juga beruntung punya kamu” Kamipun berpelukan erat. Kalau sudah
begini, aku bisa lupa semuanya. Lupa pada Yuli, Rika, atau mBak Mar. Aku berguling,
jadi menindihnya. Pahaku mendesak di antara pahanya. Penisku mencari-cari. Dan….aku
masuk lagi. “Heeeeh!’ Tante teriak kaget. Aku mendorong. “Eeeeeeeehhhhhh”
lenguhnya. Sekarang ia tak kaget lagi.
Aku menarik dan mendorong. Aku menikmati. Tante juga. Aku tak ingat bahwa ia
tanteku. Tante lupa bahwa aku kemenakannya. Bahkan lupa bahwa kami berdua manusia.
Begitu ‘gila’nya kami bermain, kami lebih mirip hewan. Hewan yang sedang menikmati
reproduksi. Reproduksi bukan untuk mendapatkan keturunan, cuma untuk kenikmatan.
Dan..kenikmatan kami dapatkan secara bersamaan. Gila! Sesiang ini kami telah dua kali
bersetubuh! Memang edan. “Edan kamu, To…” komentar sesudahnya. “Supaya optimal,
Tante..” komentarku juga. Kurasakan bagian dalam vaginanya berdenyut-denyut
meremas penisku. Permainan yang melelahkan. Aku jadi lemas, penisku jadi pegal.
Pegal-pegal nikmat ….!