Tetanus
Tetanus
Tetanus
Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala. Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%. Selama 30 tahun terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara yang berisiko tinggi, tidak
memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum yang
dilaporkan. Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 1.000.000 kasus per tahun. Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan peningkatan cakupan imunisasi. Meskipun demikian, di negara dengan program imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua masih rentan, karena vaksinasi primer yang tidak lengkap ataupun berjalannya waktu. Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar saat ini sudah karena kadar antibodinya yang telah menurun seiring
menurun, namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%. Selain itu, meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan
imunisasi sudah diterapkan secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai penatalaksanaan serta pencegahan tetanus guna menurunkan angka kematian penderita tetanus, khususnya pada anak.
BAB II TETANUS 2.1. Definisi Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman Clostridium tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular (neuromuscular junction) dan saraf otonom. 2.2. Etiologi Kuman yang menghasilkan berbentuk batang dengan sifat : Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentukseperti pemukul genderang. Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagela. Menghasilkan eksotoksin yang kuat. Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi, kekeringan dan desinfektan Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya, dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun dalam lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8 F (121C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. toksin adalah Clostridium tetani, kuman
Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya luka mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan. Tetanus juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus
dekubitus, abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi telinga tengah, pembedahan, persalinan, dan pemakaian obat-obatan intravena atau subkutan. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan. 2.3. Epidemiologi Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologik lingkungan peternakan/pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa.
Tetanus pada anak tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaan aktivitas fisiknya. Tetanus tidak menular dari
2.4. Patogenesis Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran lingkungan oleh bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal menurunkan attack rate adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port dentree tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui : 1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas. 2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik. 3. Otitis media, karies gigi, luka kronik. 4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum. Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya
disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. C. tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini.
Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat sistem saraf: (1) motor end plate di otot rangka, (2) medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis. Dampak toksin antara lain : 1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena
eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku. 2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada
gangliosida serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus. 3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia. Gambar 2.1 Skema Patofisiologi Tetanus
2.5 Gejala Klinis Gejala pertama biasanya rasa sakit pada luka, diikuti trismus (kaku rahang, sukar membuka mulut lebar lebar), rhisus sardonicus (wajah setan). Kemudian diikuti kaku buduk, kaku otot perut, gaya berjalan khas seperti robot, sukar menelan, dan laringospasme. Pada keadaan yang lebih berat terjadi epistothonus (posisi cephalic tarsal), di mana pada saat kejang badan penderita melengkung dan bila ditelentangkan hanya kepada dan bagian tarsa kaki saja yang menyentuh dasar tempat berbaring. Dapat terjadi spasme diafragma dan otot otot pernapasan lainnya. Pada saat kejang penderita tetap dalam keadaan sadar. Suhu tubuh normal hingga subfebris. Sekujur tubuh berkeringat. .Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni : 1. Generalized tetanus (Tetanus umum). Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari,
sebagian besar tergantung dari jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens. Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada otot
abdomen. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah,hiperhidrosis dan disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan
berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan. 2. Localized tetanus (Tetanus lokal) Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik). Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk. 4. Tetanus neonatorum. Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%. Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan yaitu: Tabel 5. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus
2.6 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi: Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka. Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan. Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan dimana kesadaran tetap baik. Temuan laboratorium : Lekositosis ringan Trombosit sedikit meningkat Glukosa dan kalsium darah normal Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat Enzim otot serum mungkin meningkat EKG dan EEG biasanya normal Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan. Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)
2.7. Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut : 1. Penanganan spasme. 2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik. 3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan dengan sistem saraf.
4. Jika memungkinkan,
kuman, untuk memusnahkan pabrik penghasil tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum eksisi luas tunggul umbilikus tidak diindikasikan. 5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus. 6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena
biasanya terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme berulang, juga pada pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus yang berat, disfagia atau hidrofobia. Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari 2 yaitu; 1. Tatalaksana Umum Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya
dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker). Mengurangi spasme dan mengatasi spasme. Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan BB 10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40
mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai
spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih spasme atau mengalami spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernapasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respons klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan secara bertahap (berkisar antara 20% dari dosis setiap dua hari). Midazolam iv atau bolus, fenobarbital iv dan morfin dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika pasien dirawat di ICU karena terdapat risiko depresi pernapasan. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port dentree, maka diperlukan konsultasi dengan dokter gigi/THT. 2. Tatalaksana Khusus Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG). Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU iv. Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak, pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia, dapat
diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung HTIG tidak tersedia. terhadap
antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika Kontraindikasi HTIG adalah riwayat
hipersensitivitas
trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara IM. Pada keadaan tetanus berat memerlukan perawatan di ruang perawatan intensif. Penatalaksanaan tambahan di ICU adalah sebagai berikut : a. HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan perbaikan klinis dari 430%). b. Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu. c. Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah spasme otot. d. Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu melalui infus iv. e. Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper dan hipotensi yang berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan labetolol, magnesium, klonidin atau nifedipin. 2. Antibiotika Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G secara
parenteral dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan antibiotik yang sesuai.Pemberian antibiotika bertujuan untuk memusnahkan klostridium di tempat luka yang dapat memproduksi toksin.
Pengolahan Tetnus Eradikasi bakteri penyebab Antitoksin netralisasi terhadap luka Pembersihan luka Antibiotik Metronidazol 15-30 mg/kgBB/hari dibagi tiap 8-12 jam; tidak melebihi 2 g/hari. Atau antibiotik lain yang sesuai. - Human tetanus immune globulin (3.000-6.000 IU /kg i.m) -Antitetanus serum (ATS) 50.000 IU im dan 50.000 IU iv. (terlebih dahulu dilakukan tes kulit) (untuk tetanus neonatorum 10.000 IU i.v.) Diazepam (iv bolus) 0,1-0,3 mg/kgBB/kali i.v. tiap 2-4 jam, tetanus neonatorum dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari Dalam keadaan berat diazepam drip 20 mg/kgBB/hari dirawat di PICU/NICU. Dosis pemeliharaan 8 mg/kgBB/hari p.o. dibagi dalam 6-8 dosis Midazolam (iv infus/bolus) Vekuronium Bila spasme sangat hebat pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB iv diikuti 0,05 mg/kgBB/dosis diberikan setiap 2-3 jam Diazepam (iv bolus) Midazolam (iv infus/bolus) Morfin (im/iv) Klorpromazin Trakeostomi Tekanan positif intermiten Ventilasi Penggantian volum yang cukup Sedasi (seperti di atas) Inotropik Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan diberikan beta bloker seperti propanolol atau alfa dan beta bloker (labetolol)
Antitoksin
Sedasi
Pemberian MgSO4 juga sangat penting dalam terapi terapi tetanus untuk penanganan spasme otot. Hal ini sesuai dengan peneliatian yang dilakukan oleh Wahyuni, Ni Luh Tatik S dengan judul penelitian Hasil Guna Terapi Magnesium Sulfat Dalam Mengontrol Disfungsi Otonom Kardiovaskuler Pada Penderita Tetanus Derajat III-IV. Penelitian dilakukan di unit perawatan intensif RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Dari perhitungan besar sampel didapatkan 51 pasien pada masing-masing kelompok. Pasien diikutsertakan dalam penelitian (sampling) secara konsekutif. Pasien tetanus derajat III-IV yang memenuhi kriteria penelitian dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok terapi standar dan kelompok terapi standar ditambah pemberian MgSO4. Pasien menerima terapi dengan cara randomisasi yang ditetapkan dengan randomisasi komputer. Terapi standar tetanus: antitoksin, antibiotika, debridement luka, antikonvulsi, nutrisi enteral yang adekuat, trakheostomi (sesuai indikasi), perawatan trakheostomi dan mulut, fisioterapi, dan evaluasi elektrolit. Kelompok terapi MgSO4 mendapatkan terapi standar ditambah MgSO4 dosis awal 2 gram dalam 5 menit diikuti 10 mg/kgBB/jam (intravena/infus). Luaran terapi yang dinilai adalah pengontrolan disfungsi otonom kardiovaskuler. Uji statistik yang digunakan adalah chi-square test untuk menilai perbedaan proporsi perubahan spasme otot dan independent ttest untuk menilai perbedaan rerata perubahan tanda vital dengan nilai p<0,05 ditetapkan memiliki kemaknaan statistik. Kesimpulan dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pemilihan terapi MgSO4 sebagai terapi tambahan dalam penanganan disfungsi otonom kardiovaskuler pada penderita tetanus derajat III dan IV.
BAB III KESIMPULAN 1. Tetanus masih merupakan penyebab kematian yang penting di seluruh dunia dan berhubungan dengan mortalitas yang tinggi. 2. Terapi untuk penanganan Tetanus adalah antibiotik, antikonvulsan, antitoksin.
DAFTAR PUSTAKA Hendarwanto. llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta: 2001, 49- 51. Mardjono mahar. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta:2004. 322. Medscape. Tetanus. http://emedicine.medscape.com/article/786414-overview. 23 agustus 2013 De Jong dkk. 2004 .Buku Ajar Ilmu Bedah .. Ed 2 , Jakarta. http://firwanintianur93.blogspot.com/2013/05/laporan-pendahuluan-tetanus.html YudhaHeri.2011.Tetanus.http://herrysetyayudha.wordpress.com/2011/11/02/tetan us .23 agustus 2013 MakalahReferatKedokteran.2010.Tetanus.http://referensikedokteran.blogspot.com /2010/07/tetanus.html. 23 agustus 2013 Electronic theses & dissertations (ETD) Gadjah Mada University.2008. Hasil guna terapi Magnesium Sulfat dalam mengontrol disfungsi otonom Kardiovaskuler pada penderita Tetanus. http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail &act=view&typ=html&buku_id=37048&obyek_id=4 .23 agustus 2013. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2008. Penatalaksanaan Tetanus Pada Anak.Jakarta.