Retorika
Retorika
Retorika
John, dikatakan bahwa studi retorika sesungguhnya adalah bagian dari disiplin ilmu komunikasi. Di dalam retorika terdapat penggunaan simbol-simbol yang dilakukan oleh manusia. Karena itu Retorika berhubungan erat dengan komunikasi Persuasi. Sehingga retorika diartikan sebagai suatu seni dari mengkonstruksikan argumen dan pembuatan pidato. Little John mengatakan retorika adalah adjusting ideas to people and people to ideas (Little John, 2004: 50). Selanjutnya Retorika diartikan sebagai seni untuk berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses komunikasi antarmanusia (Hendrikus, 1991,p.14) Sedangkan oleh sejarawan dan negarawan George Kennedy mendefinisikan re torika sebagai the energy inherent in emotion and thought, transmitted through a system of signs, including language to other to influence theirdecisions or actions (dikutip dalam Puspa, 2005:10) atau terjemahan dalam bahasa Indonesia menjadi Retorika adalahsuatu energi yang inheren dengan emosi dan pemikiran, yang dipancarkan melalui sebuah sistem dari tanda-tanda, termasuk didalamnya bahsa yang ditujukan pada orang lain untuk mempengaruhi pendapat mereka atau aksi mereka. Retorika (rethoric) biasanya disinonimkan dengan seni atau kepandaian berpidato, sedangkan tujuannya adalah, menyampaikan fikiran dan perasaan kepada orang lain agar mereka mengikuti kehendak kita. Menurut Aristoteles, Dalam retorika terdapat 3 bagian inti yaitu :
1. Ethos (ethical) : Yaitu karakter pembicara yang dapat dilihat dari cara ia berkomunikasi 2. Pathos (emotional) : Yaitu perasaan emosional khalayak yang dapat dipahami dengan
Menurut Kenneth Burke, bahwa setiap bentuk-bentuk komunikasi adalah sebuah drama. Oleh karena itu, seorang pembicara hendaknya mampu mendramatisir keadaan khalayaknya (Dramaturgical Theory). Sedangkan menurut Walter Fisher, bahwa setiap komunikasi adalah bentuk dari cerita (storytelling). Karenanya, jika kita mampu bercerita sesungguhnya kita punya potensi untuk berceramah (Narrative Paradigm). Sejarah Perkembangan Retorika
Objek studi retorika adalah kehidupan manusia. Kefasihan bicara mungkin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kematian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato (retorika) disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah, mengatakan bahwapenting sekali diperhatikan adalah catatan peristiwa yang dramatis, yang seringkali disebabkan oleh para orator hebat. Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian orasi dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga terkenal dengan kefasihan bicaranya yang menawan. Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara. Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis sezaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang teknik kemungkinan. Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya, Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri. Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama. Akhirnya, retorika memang mirip ilmu silat lidah. Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpulan. Dari sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato. Walaupun
demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh. Konon, Gelon, penguasa yang menggulingkan demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderita halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun berani memberitahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang perempuan asing berani menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat dengannya, tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax. Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia menjauhi perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberontakan untuk menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan diktator. Sebagai orator, menurut Aristoteles, ia mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena. Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh sebagai negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan selain memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif. Gorgias memenuhi kebutuhan pasar ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu (kita bahas pada Bab II). Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000) untuk seorang murid saja. Bersama Protagoras dan kawan-kawan, Gorgias berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Mereka adalah dosen-dosen terbang. Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, guru kebijaksanaan Sejarahwan menyebut mereka kelompok Sophis. Mereka berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya. Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung perwakilan dan pengadilan. Bila mereka
bertanding, orang-orang Athena berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan menikmati adu pidato seperti menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan dua tokoh saja sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates. Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbungabunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (delivery). Menurut Will Durant, ia meletakkan rahasia pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih pidato dengan sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur rambutnya sebelah, supaya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan suaranya seperti menjerit. Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-jasanya kepada negara dan atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya, menentang pemberian mahkota dan memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan anggota juri, ia melancarkan kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes menyerang Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri memihak Demosthenes dan menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke Rhodes dan hidup dari kursus retorika yang tidak begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan uang kepadanya untuk membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena profesi. Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang dirintis oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra negatif tentang kaum Sophis. Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme negatif adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak semua orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit, hanya untuk mereka yang berbakat. Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia
menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini dianggap warisan prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund Burke. Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka. Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja. Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut. Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata Socrates, adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato. Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar yang membawa orang kepada hakikat Plato membahas organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato menganjurkan para pembicara untuk mengenal jiwa pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah. Aristoteles mengatakan bahwa retorika sebagai filsafat. Sedangkan tokoh lain menekankan filsafat sebagai seni. Menurut Aristoteles, tujuan retorika adalah membuktikan maksud pembicaraan atau memperlihatkan bukti. Hal ini terdapat pada logika. Keindahan bahasa hanya digunakan untuk membenarkan, memerintah, mendorong dan mempertahankan sesuatu. Aristoteles merupakan murid Plato yang paling cerdas. Pada usia 17 tahun, ia sudah mengajar di Akademi yang didirikan Plato. Ia menulis tiga jilid buku berjudul De Arte Rhetorica, yang diantaranya berisi lima tahap penyusunan pidato. Tahapan itu dikenal dengan lima hukum retorika atau The five canons of rhetoric (Rakhmat, 1994: 6-8) yang meliputi:
1. Inventio (penemuan). Pada tahap ini pembicara menggali topik dan meneliti khalayak
untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Pembicara juga merumuskan tujuan dari mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
2. Dispositio
(penyusunan).
Pada
tahap
ini,
pembicara
menyusun
pidato
atau
mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.
3. Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa
yang tepat untuk mengemas pesannya. Aristoteles memberikan nasihat ini: gunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan pembicara.
4. Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin
disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya. Aristoteles menyarankan jembatan keledai untuk memudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik, memori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern.
5. Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampaikan pesannya secara
lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demosthenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini muncul kata hipokrit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakangerakan,anggota badan (gestus moderatio cum venustate). Dasar-dasar Retorika menurut Aristoteles adalah sebagai berikut: Retorika erat hubungannya dengan moral karena harus mengemukakan sesuatu yang benar. kebenaran menjadi landasan retorika yang sejati. Moral dalam perkembangannya mempelajari psikologi. Metode retorikanya mendasarkan diri pada analitica yakni meneliti argumentasi dari proposisi yang benar dan dialektika yaitu meneliti berbagai argumentasi dari proposisi yang diragukan kebenarannya. Analitika dan dialektika ini pada perkembangannya disebut dengan logika. Retorika sebagai sesuatu yang inheren yang diresepsi semua orang. Dalam upaya mencari kebenaran, dialog menjadi tekniknya.
Totalitas suatu pidato mencakup faktor ethos, pathos dan logos. Ethos sebagai sumber kredibilitas komunikator atau kesadaran orator yang tampil sebagai pribadi yang dapat dipercaya oleh pendengar. Pathos merupakan segi emosional pembicara yang mendasar dan secara implisit terkandung di dalam isi pidato. Logos mencakup himbauan berdasarkan argumen yang logis.