Representasi Maskulinitas Modern Dalam Ajang
Representasi Maskulinitas Modern Dalam Ajang
Representasi Maskulinitas Modern Dalam Ajang
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Media merupakan salah satu sarana yang berperan dalam pencitraan maskulinitas. Melalui berbagai media berbagai pihak berupaya memberikan gambaran mengenai konsep
maskulinitas. Hal itu seperti dilakukan Beynon (Nasir, 2007: 5) yang melakukan kajian mengenai konsep maskulinitas melalui berbagai hal, terutama media. Berbagai media yang dijadikan sebagai objek kajian mengenai maskulinitas diantaranya: karya sastra, media cetak, media siar, media Visual dan Performatif, Autobiografi/Biografi dan Dokumentasi, dan etnografi. Konsep maskulinitas dalam perkembangan jaman juga mengalami perkembangan. Hal itu seperti dikemukakan Beynon (Nasir, 2007: 2) yang melakukan kajian tentang maskulin dalam bukunya Masculinities and Culture. Dalam buku ini, Beynon menggambarkan sosok maskulin dalam setiap dekade. Pada awal tahun 1980-an sosok maskulin yang muncul adalah pada figur-figur laki-laki kelas pekerja dengan bentuk tubuh dan perilakunya sebagai dominator, terutama atas perempuan. Citra laki-laki semacam ini memang kental dengan awal industrialisasi pada masa itu, laki-laki bekerja di pabrik sebagai buruh berlengan baja. Laki-laki terlihat sangat
bapak, sebagai penguasa dalam keluarga dan sosok yang mampu memimpin perempuan serta pembuat keputusan utama. Konsep maskulinitas semacam ini dinamakan konsep maskulin yang tradisional dalam pandangan barat. Maskulinitas merupakan isu gender yang tidak bisa terlepas dari feminitas. Gender merupakan konstruksi sosial dan budaya di mana hal ini tidak terikat oleh sifat bawaan dari lahir atau seksualitas. Menurut Helen McDonald, perbedaan laki-laki dan perempuan adalah sebagai berikut: MEN are (should be) Masculine WOMEN are (should be) Feminine
MEN like: Cars/technology Getting drunk Casual sex with many partners
Perbedaan maskulin dan feminin pun menggiring anggapan umum bahwa karakteristik maskulin lekat dengan laki-laki dan karakter ini dikaitkan dengan tiga sifat khusus yaitu kuat, keras dan beraroma keringat. Secara sederhana laki-laki dilabeli sifat macho. Sementara itu sifat perempuan diidentikan dengan sifat lemah, lembut, dan beraroma wangi dan dikaitkan dengan sifat seorang putri. Namun, ternyata maskulinitas yang merupakan produk budaya terus berkembang hingga saat ini. Fenomena yang ada di tahun abad ke 21 ini adalah adalah munculnya sesuatu yang khas dan semakin lama gejala kelelakian semakin penuh dengan terminologi-terminologi baru. Homoseksual yang sudah berkembang semenjak dekade 80-an, sekarang bahkan terminologi laki-laki sudah mengenal istilah metroseksual (Beynon, dalam Nasir, 2007: 5). Laki-laki metroseksual adalah laki-laki yang berasal dari kalangan menengah atas, mereka rajin berdandan, berpenampilan dandy berhiaskan anting dan juga tergabung dalam komunitas yang terpandang dalam masyarakat. Laki-laki metroseksual semacam socialite (orang-orang yang senang gaul bergengsi). Mereka pada umumnya harus berpengetahuan luas, atau mereka yang disebut dengan laki-laki yang berbudaya. Laki-laki metroseksual
4
mengagungkan fashion, mungkin mirip dengan tipe maskulin yang ada di tahun 1980-an, bahkan mungkin sama. Laki-laki metroseksual adalah orang-orang yang peduli dengan gaya hidup yang teratur, menyukai detail, dan cenderung perfeksionis. Laki-laki metroseksual berbeda dengan banci atau laki-laki normal, tapi sama saja laki-laki. Metroseksual lebih condong kepada pilihan akan identitas kelelakian, terutama karena tuntutan bahwa laki-laki metroseksual biasanya berada dalam kelas ekonomi menengah ke atas yang mampu menghiraukan remeh-temeh gaya hidup mereka. Makin banyak pria di kota-kota besar yang ingin mengubah penampilan menjadi lebih menarik dengan cara menghabiskan uangnya untuk berolah tubuh ke fitness center maupun ke salon. Perawatan tubuh yang umumnya hanya dilakukan kalangan perempuan dan dianggap tabu bila dilakukan laki-laki, atau perawatan wajah yang dahulu identik dengan wanita, sekarang juga banyak dilakukan kaum pria. Kini pria semakin nyaman dan mudah mengekspresikan sisi-sisi feminin seperti wanita. Penampilan diri yang menarik menjadi hal penting bagi kaum pria itu sehingga mereka tidak ragu lagi melakukan perawatan diri, termasuk di salon. Pria metroseksual saat ini bebas dalam mengekspresikan dirinya. Golongan pria ini pun terkesan menolak paham patriarki, yang mempunyai anggapan bahwa pria haruslah seorang "lelaki", bukan perempuan. Ini dipicu nilai-nilai baru yang mewarnai gaya hidup masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia terhadap laki-laki yang tinggal di perkotaan, yang cenderung berorientasi pada nilai-nilai kebendaan. Artinya, telah terjadi pergeseran orientasi nilai budaya pada jenis kegiatan, minat, maupun pendapat yang lebih mementingkan penampilan secara fisik, glamour, dan sebagainya. Dengan demikian, mau tidak mau, dapat dipastikan bahwa keberadaan gaya hidup tersebut menimbulkan kesan modern. Para pria yang tinggal di kota besar menjadi bagian penikmat dari layanan salon atau klinik kecantikan yang mulai menjamur di kota-kota besar, yang sebelumnya tempat para wanita memanjakan diri. Pria makin peduli terhadap perawatan diri dan tidak malu pergi ke salon untuk facial, manicure, atau pun berdandan untuk memperbaiki penampilan. Selain itu, juga tertarik kepada dunia fashion. Karena itu, mereka selalu mengikuti perkembangan dunia fashion terkini di majalah-majalah mode pria, selalu mengikuti tren, model rambut, baju, dan celana, bahkan rela menghabiskan waktu untuk melakukan perawatan tubuh di salon-salon kecantikan.
Karakter laki-laki metroseksual pun juga menjadi wacana baru sebagai counter hegemony termadap hegemonic masculinity yang selama ini mendominasi dunia periklanan. Kemunculan sosok laki-laki metroseksual dalam iklan ini tentu saja tidak otomatis menghapus konsep sosok laki-laki maskulin dalam iklan. Wacana laki-laki metroseksual ini menjadi wacana alternatif yang tergantung dari kuat lemahnya budaya patriarki dalam sebuah masyarakat. Di sini media memegang peranan penting dalam penyebaran sebuah wacana baru. Iklan bukanlah sekedar informasi mengenai produk tertentu melainkan sebuah media yang menawarkan ideologi, gaya hidup dan imaji. Wernick (1991: 32) melihat iklan sebagai media promosi budaya dan iklan sebenarnya merupakan sarana ekspresi ideologi dan ekspresi simbolik budaya. Iklan dapat menjadi wacana dalam masyarakat karena iklan bermain dalam dunia tanda dan bahasa, termasuk dalam wacana gender. Adanya iklan-iklan di media khususnya televisi yang sering menampilkan pria-pria ideal menurut media memberikan dorongan bagi pria untuk melakukan seperti apa yang terlihat dalam media tersebut. Kecenderungan media menampilkan figur pria ideal dan yang disukai perempuan adalah pria-pria yang berotot, wangi, rapi, berkulit halus, dan sejenisnya. Isu gender ini dilakukan secara masif oleh media, sehingga secara perlahan-lahan nilai ini menjadi nilai yang diakui dan menyebar dalam masyarakat. Akhirnya, tidak hanya perempuan yang menjadi sasaran iklan seperti yang dahulu dipercayai oleh banyak orang karena perempuan mudah dipengaruhi, tapi sekarang laki-laki pun menjadi sasaran iklan karena gaya hidup konsumtif tidak lagi hanya identik dengan perempuan. Sekarang ini banyak sekali ditemui iklan-iklan produk yang ditujukan untuk laki-laki yang berhubungan dengan penampilan fisik misalnya, pembersih wajah khusus laki-laki, deodoran khusus laki-laki hingga susu untuk membentuk otot bagi laki-laki. Sehingga dari banyaknya iklan-iklan yang tersebut dan ditonton oleh masyarakat luas, gaya hidup pria metroseksual tidak hanya menjadi fenomena di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan lainnya tapi juga terlihat di kota-kota kecil lainnya. Sehingga hal ini menumbuh suburkan produk-produk fashion termasuk produk kecantikan khusus untuk pria, seperti halnya sabun pembersih wajah yang membuat kulit wajah bersih dan lembut. Salah satu contohnya adalah LOreal Men Expert. LOreal merupakan sebuah merek yang menawarkan seluruh aspek kecantikan, mulai dari produk perawatan kulit dan tata rias sampai dengan produk perawatan, pewarnaan dan
6
penataan rambut. LOreal dikenal sebagai simbol kecantikan wanita Paris yang diwujudkan oleh wanita-wanita terglamor di dunia, seperti Laetitia Casta, Eva Longoria, Doutzen Kroes dan Claudia Schiffer.1 Di tahun 2000-an, LOreal mengeluarkan produk perawatan khusus laki-laki, yaitu LOreal Men Expert. Produk ini dikhususkan untuk perawatan kulit berjerawat, memutihkan kulit dan mengatasi semua masalah kulit seperti berminyak, komedo, khusus bagi laki-laki. Dalam artikel ini, akan dilakukan pengkajian semiotik terhadap salah satu iklan cetak produk LOreal Men Expert yang beredar di Indonesia. Iklan ini menarik untuk diteliti karena lewat gambar-gambar tersebut, banyak laki-laki muda yang tertarik memakai produk tersebut dan mengubah gaya hidupnya dalam perawatan diri. Laki-laki yang awalnya tidak mempedulikan masalah kebersihan dan kecantikan wajah akhirnya tertarik untuk mempercantik wajahnya layaknya perempuan. Selain itu, gambaran-gambaran yang ada dalam iklan produk-produk semacam ini, di mana menonjolkan gambar maskulinitas seorang laki-laki yang saat ini dianggap menarik sedikit banyak telah menanamkan ideologi baru mengenai konsep maskulinitas itu sendiri. Jika konsep maskulinitas dulu adalah maskulinitas yang bertolak belakang dengan feminitas, Namun maskulinitas modern adalah yang semakin mendekati feminitas. Konsep semiotika yang akan digunakan dalam mengamati iklan ini adalah dengan menggunakan teori Rolland Barthes mengenai makna konotatif dan denotatif yang tergambar dalam visualisasi iklan tersebut. Teori ini digunakan karena menurut Rolland Barthes dalam memaknai tanda dilakukan atas dua tingkatan yaitu konotasi dan denotasi tanpa mengesampingkan mitos yang melekat di dalamnya. Sedangkan metode semiotik yang akan digunakan yakni pemaknaan interpretatif pada data-data yang terdapat dalam iklan cetak LOreal Men Expert dengan memfokuskan pada narasi, layout, warna, gesture dan pemaknaan terhadap visualisasi tanda dalam iklan tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana representasi maskulinitas modern dalam iklan LOreal Men Expert yang beredar di Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang serta identifikasi masalah yang telah dipaparkan diatas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: Gambaran Indonesia. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Penelitian Akademis Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khasanah keilmuan, serta konsep dan teori mengenai gambaran konstruktivisme maskulinitas modern di media. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dokumen akademik yang berguna dan acuan bagi civitas akademika. 1.4.2 Manfaat Penelitian Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat lebih memantapkan penguasaan keilmuan Peneliti, yang dipelajari selama mengikuti program perkuliahan program studi Ilmu Komunikasi dengan peminatan Kajian Media di Universitas Paramadina. 1.5 Visualisasi Iklan maskulinitas modern dalam iklan LOreal Men Expert yang beredar di
BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Pengertian Komunikasi Menurut Littlejohn (2002: 7) komunikasi merupakan suatu proses pemindahan (transmisi) informasi. Sedangkan menurut Lasswell (Mulyana, 2008: 69) menjelaskan komunikasi secara lebih rinci dengan menjawab pertanyaan berikut: Who Says What in Which Channel to Whom with What Effect? Secara sederhana komunikasi menurut Lasswell memiliki 5 unsur, yaitu (Mulyana, 2008: 69-71): Sumber (source) sering disebut dengan pengirim (sender), penyandi (coder), komunikator (communicator), pembicara (speaker), atau originator. Sumber adalah pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi. Sumber boleh jadi individu, kelompok, organisasi atau pun suatu perusahaan. Pesan, yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol verbal atau non verbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksud sumber tadi. Pesan mempunyai tiga komponen, yaitu: makna, simbol yang digunakan untuk menyampaikan makna dan bentuk atau organisasi pesan. Saluran atau media, yakni alat atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima. Penerima (receiver), sering juga disebut sasaran/tujuan (destination), komunikate (communicatee), penyandi-balik (decoder), atau khalayak (audience), pendengar (listener), penafsir (interpreter), yakni orang yang menerima pesan dari sumber. Efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut, misalnya penambahan pengetahuan, terhibur, perubahan sikap, perubahan keyakinan, perubahan perilaku, dan sebagainya. 2.2 Pengertian Komunikasi Massa Menurut Wright dalam Severin & Tankard (2007: 4), komunikasi massa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
10
Komunikasi massa diarahkan kepada audiens yang relatif besar, heterogen, dan anonim.
Pesan-pesan yang disebarkan secara umum, sering dijadwalkan untuk bisa mencapai sebanyak mungkin anggota audiens secara serempak dan sikapnya sementara.
Komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah organisasi yang kompleks yang mungkin membutuhkan biaya yang besar. 2.3 Pengertian Iklan dan Kajian Semiotika Jika melihat fungsi dan tujuannya, sebenarnya iklan adalah salah satu bentuk
komunikasi. Hal ini dapat dilihat dari definisi iklan menurut Arens, bahwa Iklan adalah struktur informasi dan susunan komunikasi nonpersonal yang biasanya dibiayai dan bersifat persuasif, tentang produk produk (barang, jasa dan gagasan) oleh sponsor yang teridentifkasi melalui berbagai macam media. Sedangkan menurut Philip Kotler, Gary Amstrong (Kotler, 2006: 147) berpendapat bahwa: Periklanan adalah setiap bentuk penyajian dan promosi bukan pribadi yang dibayar mengenai gagasan, barang atau jasa oleh sponsor yang teridentifikasi. Dari definisi di atas, jelas bahwa iklan memiliki fungsi utama menyampaikan informasi tentang produk kepada massa (nonpersonal). Iklan menjadi penyampai informasi yang sangat terstruktur, yang menggunakan elemen-elemen verbal dan nonverbal. Dalam menjalankan fungsi komunikasinya ini, iklan memiliki berbagai keunikan, baik dalam penyajian maupun isi iklan itu sendiri.isi dan model iklan selalu mengalami perubahan. Pada awalnya iklan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada produk penyajian. Visualisasi iklan lebih menekankan pada produk yang diiklankan itu sendiri. Mulai dari segi fungsi, harga maupun kualitasnya. Perubahan isi dan model iklan ini dapat dilihat melalui kajian Leiss, Kline dan Shut Jally yang mengidentifikasi sejumlah tahapan berbeda dalam periklanan Amerika sepanjang abad ke-20 (Noviani, 2002: 23). Periklanan merupakan salah satu bentuk khusus komunikasi untuk memenuhi fungsi pemasaran. Iklan adalah bentuk penyajian pesan yang dilakukan oleh komunikator secara nonpersonal melalui media untuk ditujukan pada komunikan dengan cara membayar (Rendra Widyatama, 2005: 13). Iklan memberikan informasi dan membujuk khalayak ramai agar membeli produk yang ditawarkan. Iklan harus dapat mempengaruhi pemilihan dan keputusan
11
pembeli (Jefkins, 1997: 15). Iklan harus menarik dan diperlukan kreatifitas dalam pembuatannya. Untuk mengkaji iklan dengan perspektif semiotika, dapat dilakukan dengan mengkaji tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik verbal maupun yang berupa ikon. Rolland Barthes menganalisa iklan berdasarkan pesan yang dikandungnya berupa: a. Pesan linguistik, berupa semua kata dan kalimat dalam iklan b. Pesan ikonik yang terkodekan, merupakan konotasi yang muncul dalam visualisasi iklan yang hanya dapat berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat c. Pesan ikonik yang tak terkodekan, berupa denotasi dalam visualisasi iklan Pada dasarnya lambang dalam iklan terdiri atas dua jenis, yaitu verbal dan non verbal. Lambang verbal adalah bahasa yang kita kenal. Lambang non verbal adalah bentuk dan warna yang ditampilkan di dalam iklan, dan yang secara tidak langsung meniru rupa atas bentuk realitas.
Kajian Budaya menurut Barker adalah mengkaji kebudayaan sebagai "praktik-praktik pemaknaan" dalam konteks kekuasaan sosial (Barker, 2005: 45). Dengan mengajukan berbagai pertanyaan mengenai pemaknaan yaitu bagaimana peta-peta makna diciptakan dalam kebudayaan yang kemudian menjadi sekumpulan praktik pemaknaan, melacak maknamakna apa saja yang disirkulasikan, oleh siapa, untuk siapa, dengan tujuan apa, dan atas kepentingan apa. Bagi Barker menguraikan kajian budaya secara komprehensif berarti melakukan kontruksi terhadap kajian budaya. Melakukan konstruksi dalam hal ini dimaknai mereproduksi dan mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan kajian budaya, baik berupa teksteks tentang kajian budaya maupun teori-teori yang layak disebut sebagai kajian budaya atau yang mempengaruhi kajian budaya. Menurut Barker kajian budaya memberi perhatian khusus terhadap budaya (sebagai bagian konsep kunci), dimana budaya sangatlah erat kaitannya dengan makna-makna sosial yang dimunculkan lewat tanda yang disebut "bahasa". Bahasa berperan memberi makna pada objek-objek material dan praktik sosial yang menjadi tampak bisa dipahami karena adanya bahasa, dan proses produksi makna ini kemudian disebut dengan "praktik-praktik pemaknaan" (Barker, 2005: 10). Menurut Wernick (1991:32) iklan tidak hanya media yang sekedar digunakan untuk menginformasikan sebuah produk tertentu. Menurutnya, iklan merupakan media promosi budaya dan sebenarnya iklan merupakan sarana ekspresi ideologi dan ekspresi simbolik budaya. Iklan dapat menjadi wacana yang terus berkembang dalam masyarakat karena iklan menggunakan tanda dan bahasa dalam publikasinya. Lewat tanda dan bahasa ini, masyarakat bebas menginterpretasikan maknanya sesuai dengan imaji dan pengalamannya. Termasuk dalam representasi maskulinitas dalam iklan yang ditunjukan lewat tanda dan bahasa yang dikemas sedemikian rupa. Untuk mengungkap representasi maskulinitas ini, kerangka berpikir yang digunakan adalah ideologi dominan atau patriarki yang mayoritas dianut oleh masyarakat Indonesia. Iklan menampilkan sebuah stereotype tentang maskulinitas laki-laki yang
digambarkan oleh Wood dalam Fowles (1996: 208), active, advenurous, powerful, sexually aggressive and largely uninvolved in human relationship. Maskulinitas erat hubungannya dengan otot sebagai tanda kelelakian. Pandangan ini disebutkan oleh Media Awareness
13
Network yang mengidentifikasikan karakteristik maskulinitas. Hal ini diungkapkan juga oleh Wibowo (2004: 161-162) yang menyebutkan dominasi kesan maskulinitas pada iklan yang merajai Indonesia dipenuhi oleh gaya para pria berotot. Menurutnya, akar stereotype pria maskulin yang berotot dapat dilihat melalui tradisi Yunani yang kemudian dilanjutkan dengan tradisi Romawi untuk akhirnya diserap dalam budaya modern. Unsur maskulinitas dalam budaya Yunani ini dikembangkan melalui perwujudan dewa dan tokoh mitos mereka yang tampan, gagah, berotot, perkasa serta pandai. 2.3 Metrosexual: Maskulinitas Model Baru Budaya merupakan bentukan dari masyarakat yang dapat berubah seiring berjalannya waktu. Begitu juga dengan sebuah konsep mengenai maskulinitas yang mulai bergeser di masyarakat. Konsep baru mengenai maskulinitas ini pada dasarnya merupakan upaya counter-hegemoni untuk meninggalkan budaya patriarki yang dominan. Hal ini pun terlihat dalam mayoritas iklan-iklan sekarang yang memposisikan laki-laki sebagai subjek seksual. Iklan menciptakan standar baru masyarakat untuk laki-laki yakni sebagai sosok yang agresif sekaligus sensitif, memadukan antara unsur kekuatan dan kepekaan sekaligus. Laki-laki macho yang berotot tidak lagi terpakai, digantikan oleh sosok laki-laki kuat dan tegar di dalam tapi lebut di permukaan. Karakter ini yang disebut laki-laki metroseksual. Dalam The Urban Dictionary disebutkan beberapa definisi alternatif mengenai metroseksual yaitu: A modern man who has adopted what was traditionally perceived as feminine traits A straight urban man male eager to embrace and/or show off his feminine side, especially when it comes to pricy haircuts, designer suits and skin care product Tricky word for a guy who is actually straight, but everyone thinks he is gay because he is very much in touch with his feminine side Sementara, menurut Flocker dalam The Metrosexual Guide to Style, mendefinisikan metroseksual sebagai laki-laki trendsetter di abad 21, yang normal (tidak gay), urban, mempunyai kepekaan estetika tinggi, menghabiskan banyak waktu dan uang demi penampilan dan rajin berbelanja untuk hal itu, mempunyai keinginan untuk memunculkan sisi femininnya.
14
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian yang dilakukan oleh Penulis dengan judul Representasi Maskulinitas Modern dalam Iklan LOreal Mens Expert ini akan menggali mengenai unsur semiotika dalam iklan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Taylor dan Bogdan menjelaskan pendekatan kualitatif sebagai suatu cara mengumpulkan data deskriptif berdasarkan kata-kata yang keluar dari seseorang dan behavior yang muncul (Hernanto, 2008). Menurut Keirl dan Miller dalam Moleong yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia pada kawasannya sendiri, dan berhubungan dengan orangorang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya. Metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, di mana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Ciri-ciri penelitian kualitatif antara lain mendasarkan diri pada kekuatan narasi, studi dalam situasi alamiah, menggunakan analisis induktif, ada kontak personal langsung, perspektif holistic, perspektif dinamis, orientasi pada kasus unik, serta menjadikan peneliti sebagai instrument kunci (Hernanto, 2008). Pertimbangan penulis menggunakan penelitian kualitatif ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Lexy Moleong: 1. Menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda 2. Metode ini secara tidak langsung terdapat hubungan antara peneliti dan responden 3. Metode ini lebih peka dan menyesuaikan diri dengan manajemen pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi
15
3.2. Jenis Penelitian Jenis penelitian kualitatif pada penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan teknik pengambilan data melalui analisa gambar dan narasi menggunakan kajian semiotika Barthes. . Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenahi fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki (Nazir, 2005). 3.3. Objek Penelitian Objek pada penelitian ini adalah pesan yang akan di teliti melalui analisi isi pesan yang dimaksud berupa gambar, tagline, kalimat, layout dalam isi iklan atau keseluruhan isi pesan (Ghazali: 2009). Sedangkan objek dalam penelitian ini adalah visualisasi gambar dan teks dalam iklan LOreal Mens Expert. 3.4. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah salah satu iklan cetak terbaru LOreal Mens Expert dengan bintang iklan Nicholas Saputra. 3.5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Data dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu data primer dan sekunder. 3.5.1. Data Primer Pengambilan data primer dilakukan peneliti melalui studi pustaka dan observasi guna memperoleh data secara langsung yang diperoleh dari sumber peneliti. Teknik yang digunakan adalah Teknik Dokumentasi. Teknik ini digunakan untuk mendapatkan data-data tentang perkembangan iklan di Indonesia dan perkembangan konsep maskulinitas dan metroseksual. Data tersebut dapat diperoleh dengan kepustakaan yang ada baik berupa buku, artikel, internet dan bahan tertulis lainnya untuk melengkapi data penelitian. 3.5.2. Data Sekunder Data sekunder adalah data-data yang didapat dari sumber bacaan dan berbagai macam sumber lainnya yang terdiri dari surat-surat pribadi, buku harian, notulen rapat perkumpulan, sampai dokumen-dokumen resmi dari berbagai instansi. Data sekunder juga dapat berupa
16
majalah, buletin, publikasi dari berbagai organisasi, lampiran-lampiran dari badan-badan resmi seperti kementrian-kementrian, hasil-hasil studi, tesis, hasil survey, studi historis, dan sebagainya. Peneliti menggunakan data sekunder ini untuk memperkuat penemuan dan melengkapi informasi yang telah dikumpulkan melalui studi pustaka. 3.6. Teknik Analisis Data Dalam sebagian besar penelitian kualitatif, analisis data tidak dilakukan dalam satu tahap saja, setelah data terkumpul. Analisis data merupakan proses sistematis yang berlangsung secara terus menerus, bersamaan dengan pengumpulan data (Daymon 2008:545548). Analisis data kualitatif berkaitan dengan : 1. Reduksi data : Memilah-milah data yang tidak beraturan menjadi potonganpotongan yang lebih teratur dengan mengkoding, menyusunnya menjadi kategori (memoing), dan merangkumnya menjadi pola dan susunan yang sederhana. 2. Interpretasi : Mendapatkan makna dan pemahaman terhadap kata-kata dan tindakan para partisipan riset, dengan memunculkan konsep dan teori (atau teori berdasarkan generalisasi) yang menjelaskan temuan. Dalam melakukan analisis data di penelitian ini, peneliti menggunakan analisis model Roland Barthes yang menggunakan dua tahap signifikan dalam melakukan penganalisaan terhadap benda. Roland Barthes dalam melakukan kajian terhadap tanda menggunakan tahapan-tahapan sebagai berikut. Tahap pertama tahap signifikasi denotasi, dalam tahapan ini hubungan antara signifier dan signified dalam sebuah tanda pada
realitas eksternal, yaitu makna paling nyata dengan tanda. Sedangkan dalam tahap kedua, tahap ini dinamakan tahap konotasi. Dalam tahap ini akan terjadi jika si penafsir akan bertemu dengan emosi serta nilai-nilai kebudayaan yang ada (Sobur: 2009). Dalam definisi lain, penanda (signifier) adalah citraan atau kesan mental dari sesuatu yang bersifat verbal atau visual, seperti suara, tulisan atau tanda. Sedangkan petanda (signified) adalah konsep abstrak atau makna yang dihasilkan oleh tanda. Adapun langkah-langkah untuk menganalisa tanda bekerja dalam penelitian adalah langkah-langkah analisa berdasarkan peta Roland Barthes. ini
17
1. SIGNIFIER (PENANDA)
2. SIGNIFIED (PETANDA)
3.7 Keabsahan Penelitian Kriteria-kriteria untuk mengevaluasi keterpercayaan adalah : 1. Credibility (kredibilitas), Menurut Lincoln dan Guba (1985), suatu riset akan kredibel jika orang-orang yang terlibat mengakui kebenaran temuan-temuan riset dalam konteks sosialnya sendiri. Ada beberapa teknik untuk mencapai kreadibilitas ialah teknik : teknik triangulasi, sumber, pengecekan anggota, perpanjangan kehadiran peneliti dilapangan, diskusi teman sejawat, dan pengecekan kecakupan referensi. 2. Transferability. Apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain. Maksudnya adalah mempertimbangkan bagaimana prinsip atau model apapun yang kemungkinan dimunculkan dalam riset ini, dapat diberlakukan untuk situasi sejenis dimanapun gejala itu dianggap berlangsung. Penelitian ini, diharapkan dapat menjadi acuan untuk penelitian lain. 3. Dependability (tingkat ketergantungan), Kredibilitas dan tingkat ketergantungan berhubungan erat. Agar temuan riset dapat dikaitkan (dengan yang lain), maka temuan tersebut harus konsisten dan akurat. 4. Confirmability (dapat dikonfirmasikan), Yaitu apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan. Agar riset dapat
18
dikonfirmasikan, peneliti harus mampu menunjukkan bagaimana data terkait dengan sumbernya, sehingga pembaca dapat menetapkan bahwa kesimpulan dan penafsiran muncul secara langsung dari sumber tersebut. Untuk memenuhi standar confirmability, seluruh jawaban yang bersumber dari sebuah sumber putaka dikonfirmasi dengan interpretasi dari sumber pustaka yang lainnya sehingga hasilnya diharapkan menjadi obektif. Selain itu penggunaan sumber data sekunder berupa website, surat kabar, majalah turut pula membantu konfirmasi data yang diperoleh melalui sumber pustaka utama. Langkah lain untuk memenuhi standar
confirmability, adalah peneliti menyertakan lampiran interpretasi data yang berasal dari beberapa sumber pustaka.
3.8 Keterbatasan Penelitian Dalam setiap penelitian pasti ditemui kelemahan dan keterbatasan penelitian, begitu pula dengan penelitian ini terdapat kelemahan dan keterbatasan penelitian yaitu : penelitian ini menggunakan kajian semiotika di mana kajian ini adalah hasil interpretasi dari Penulis yang berdasarkan sumber pustaka menjadi keterbatasan penulis. Hasil interpretasi penulis hanya berdasar dari sumber-sumber pustaka yang penulis baca, sehingga banyaknya sumber akan menentukan ketajaman analisis dari interpretasi semiotik ini.
19