Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Keracunan Parasetamol

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Obat adalah suatu zat yang digunakan untuk diagnosa, mencegah mengurangkan,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan
badaniah atau rokhaniah pada manusia atau pada hewan, memperelok badan atau bagian
badan manusia.Meskipun obat dapat menyembuhkan, tetap saja memiliki banyak efek
samping apabila penggunaannya tidak sesuai aturan.
Banyak kasus yang terjadi bahwa seseorang telah menderita akibat keracuna nobat.
Sehingga dapat dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat
sebagai obat apabila digunakan secara tepat dalam pengobatan suatu penyakit dengan
dosis dan waktu yang tepat. Jadi bila penggunaan obat tersebut salah dalam proses
pengobatannya, misalnya dosis yang diberikan lebih dari ketenuan maka akan
menimbulkan keracunan. Namun bila dosisnya lebih kecil kita tidak memperoleh
penyembuhan. Oleh karena itu, penggunaan obat harus tepat sesuai dengan dosis atau
ketentuan penggunaan obat yang baik (Anief,1995).
Di Indonesia cukup banyak laporan tentang kasus hepatotoksisitas, walaupun jumlah
kematian akibat toksisitas ini tidak begitu tinggi. Salah satu penyebab dari toksisitas ini
adalah pemakaian dalam jangka waktu yang lama atau overdosis dari suatu obat seperti
Parasetamol. Dilaporkan juga bahwa pemakaian parasetamol dengan dosis yang tinggi
atau penggunaan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan gangguan fungsi
hati berupa nekrosis dan dapat juga terjadi nekrosis pada tubulus ginjal. Melalui berbagai
kasus keracunan yang terjadi akibat penggunaan obat Parasetamol, maka di dalam
makalah ini akan dijelaskan mengenai toksisitas Parasetamol.

1.2. Rumusan Masalah


Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
a. Bagaimana rute paparan toksisitas Parasetamol ?
b. Apa saja antidotum yang tepat bagi pasien dengan keracunan Parasetamol ?
c. Bagaimana mekanisme antidotum tersebut?
d. Bagaimana cara pemberian dosis paracetamol pada pasien?
e. Bagaimana penatalaksanaan bagi pasien geriatric dengan toksisitas Paracetamol ?
1.3. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah:
a. Mengetahui rute paparan dalam tubuh dari peristiwa keracunan Parasetamol.
b. Mengetahui antidotum yang tepat bagi pasien dengan keracunan Parasetamol.
c. Mengetahui mekanisme antidotum bagi pasien dengan keracunan Parasetamol.
d. Mengetahui penatalaksanaan bagi pasien yang keracunan Parasetamol, terutama pada
pasien geriatri.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Parasetamol

Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara


kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP).
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal
sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu,
melalui resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono, 2002)
Parasetamol adalah para aminofenol yang merupakan metabolit fenasetin dan telah
digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 1995). Parasetamol (asetaminofen) mempunyai
daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak
menyebabkan iritasi serta peradangan lambung (Sartono,1993).
Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid
sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid sehingga
efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai
sedang, seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung,
2011)
Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan
asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol
tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan
lambung. Sebagai obat antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun
Parasetamol.
Diantara ketiga obat tersebut, Parasetamol mempunyai efek samping yang paling
ringan dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya
digunakan Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter. Dari
penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan
Parasetamol bekerja lebih efektif terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-
sendiri. (Sartono 1996).
2.2. Sifat Fisika Kimia Parasetamol

Gambar 2.1. Struktur Kimia Parasetamol

Sinonim : 4-Hidroksiasetanilida
BeratMolekul : 151.16
Rumus Empiris : C8H9NO2.
Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.
Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N; mudah larut
dalam etanol.
Jarak lebur : Antara 168 dan 172.

2.3. Farmakodinamik dan Farmakokinetik Parasetamol


2.3.1 Farmakodinamik
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya
menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek
sentral seperti salisilat.
Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan
Fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan
penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan
perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan
pernapasan dan keseimbangan asam basa. (Farmakologi UI)
2.3.2. Farmakokinetik
Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi
tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu jam tersebar ke seluruh cairan
tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol terikat oleh protein plasma. Obat ini
dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%)
dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil laiinya dengan asam sulfat.
Selain itu obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi
ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini
dieksresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagian parasetamol (3%) dan sebagian
besar dalam bentuk konjugasinya.

2.4. Dosis Parasetamol


Paracetamol Tablet
Dewasa dan anak di atas 12 tahun : 1 tablet, 3 4 kali sehari.
Anak-anak 6 12 tahun : 1, tablet 3 4 kali sehari.
Paracetamol Sirup 125 mg/5 ml
Anak usia 0 1 tahun : sendok takar (5 mL), 3 4 kali sehari.
Anak usia 1 2 tahun : 1 sendok takar (5 mL), 3 4 kali sehari.
Anak usia 2 6 tahun : 1 2 sendok takar (5 mL), 3 4 kali sehari.
Anak usia 6 9 tahun : 2 3 sendok takar (5 mL), 3 4 kali sehari.
Anak usia 9 12 tahun : 3 4 sendok takar (5 mL), 3 4 kali sehari.

2.5. Komposisi
Paracetamol Tablet
Setiap tablet mengandung Parasetamol 500 mg.
Paracetamol Sirup 125 mg/5 ml
Setiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung Parasetamol 125 mg.
Paracetamol Sirup 160 mg/5 ml
Setiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung Parasetamol 160 mg.
Paracetamol Sirup Forte 250 mg/5 ml
Setiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung Parasetamol 250 mg.

2.6. Indikasi
Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan demam dan nyeri
sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan bagi nyeri yang ringan sampai
sedang.(Cranswick 2000).

2.7. Kontra Indikasi


Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita hipersensitif terhadap obat
ini. (Yulida 2009).
2.8. Efek Samping
Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya berupa
eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada mukosa.
Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian kronik.
Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimmune, defisiensi enzim
G6PD dan adanya metabolit yang abnormal. Methemoglobinemia dan
Sulfhemoglobinemia jarng menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena hanya kira-
kira 1-3% Hb diubah menjadi met-Hb. Methemoglobinemia baru merupakan masalah
pada takar lajak. Insidens nefropati analgesik berbanding lurus dengan penggunaan
Fenasetin. Tetapi karena Fenasetin jarang digunakan sebagai obat tunggal, hubungan
sebab akibat sukar disimpulkan. Eksperimen pada hewan coba menunjukkan bahwa
gangguan ginjal lebih mudah terjadi akibat Asetosal daripada Fenasetin. Penggunaan
semua jenis analgesik dosis besar secara menahun terutama dalam kombinasi dapat
menyebabkan nefropati analgetik.

2.9. Mekanisme Obat Parasetamol

Mekanisme kerja parasetamol menghambat produksi prostaglandin (senyawa


penyebab inflamasi). Telah dibuktikan bahwa parasetamol mampu mengurangi
bentuk teroksidasi enzim siklooksigenase (COX), dengan cara menghambat suatu
enzim yang namanya COX-3 (siklooksigenase) yang ada di otak. Berbeda dengan
obat-obat analgesik yang lain seperti aspirin, ibuprofen, metampiron atau golongan
NSAID mereka menghambat COX-1 dan COX-2 yang ada di sistem syaraf perifer
(tepi).

Penghambatan tersebut untuk membentuk senyawa penyebab inflamasi.


Paracetamol juga bekerja pada pusat pengaturan suhu pada otak. Tetapi mekanisme
secara spesifik belum diketahui. Ternyata di dalam tubuh efek analgetik dari
parasetamol diperantarai oleh aktivitas tak langsung reseptor canabinoidCB1. Di
dalam otak dan sumsum tulang belakang, parasetamol mengalami reaksi deasetilasi
dengan asam arachidonat membentuk N-arachidonoylfenolamin, komponen yang
dikenal sebagai zat endogenous cababinoid.

Adanya N-arachidonoylfenolamin ini meningkatkan kadar canabinoid


endogen dalam tubuh, disamping juga menghambat enzim siklooksigenase yang
memproduksi prostaglandin dalam otak. Karena efek canabino-mimetik inilah
terkadang parasetamol digunakan secara berlebihan. Sebagaimana diketahui bahwa
enzim siklooksigenase ini berperan pada metabolisme asam arakidonat menjadi
prostaglandin H2, suatu molekul yang tidak stabil, yang dapat berubah menjadi
berbagai senyawa pro-inflamasi.

Mekanisme kerja lain parasetamol ialah bahwa parasetamol menghambat


enzim siklooksigenase seperti halnya aspirin mengurangi produksi prostaglandin,
yang berperan dalam proses nyeri dan demam sehingga meningkatkan ambang nyeri,
namun hal tersebut terjadi pada kondisi inflamasi, dimana terdapat konsentrasi
peroksida yang tinggi. Pada kondisi ini oksidasi parasetamol juga tinggi, sehingga
menghambat aksi anti inflamasi. Hal ini menyebabkan parasetamol tidak memiliki
khasiat langsung pada tempat inflamasi, namun malah bekerja di sistem syaraf pusat
untuk menurunkan temperatur tubuh, dimana kondisinya tidak oksidatif.

2.9.1. Mekanisme reaksi


Paracetamol bekerja dengan mengurangi produksi prostaglandins
dengan mengganggu enzim cyclooksigenase (COX). Parasetamol
menghambat kerja COX pada sistem syaraf pusat yang tidak efektif dan sel
edothelial dan bukan pada sel kekebalan dengan peroksida tinggi. Kemampuan
menghambat kerja enzim COX yang dihasilkan otak inilah yang membuat
paracetamol dapat mengurangi rasa sakit kepala dan dapat menurunkan
demam tanpa menyebabkan efek samping,tidak seperti analgesik-analgesik
lainnya

2.10. Interaksi Obat Parasetamol


pada dosis tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia. Masa paruh
kloramphenikol dapat sangat diperpanjang.

2.11. Peringatan dan perhatian


Bila setelah 2 hari demam tidak menurun atau setelah 5 hari nyeri tidak
menghilang, segera hubungi Unit Pelayanan Kesehatan.
Gunakan Parasetamol berdasarkan dosis yang dianjurkan oleh dokter. Penggunaan
paracetamol melebihi dosis yang dianjurkan dapat menyebabkan efek samping
yang serius dan overdosis.
Hati-hati penggunaan parasetamol pada penderita penyakit hati/liver, penyakit
ginjal dan alkoholisme. Penggunaan parasetamol pada penderita yang
mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan risiko kerusakan fungsi hati.
Hati-hati penggunaan parasetamol pada penderita G6PD deficiency.
Hati-hati penggunaan parasetamol pada wanita hamil dan ibu menyusui.
Parasetamol bisa diberikan bila manfaatnya lebih besar dari pada risiko janin atau
bayi. Parasetamol dapat dikeluarkan melalui ASI namun efek pada bayi belum
diketahui pasti.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Kasus Keracunan Parasetamol


Meninggal Gara-gara Overdosis Parasetamol
Merry Wahyuningsih - detikHealth
Senin, 19/03/2012 12:01 WIB
Shrewsbury, Inggris, Parasetamol dikenal sebagai obat penurun demam dan
pereda nyeri seperti sakit kepala, sakit gigi, sakit waktu haid dan sakit pada otot.
Namun penggunaannya harus memperhatikan dosis yang diresepkan. Bila tidak,
nyawa bisa melayang seperti yang dialami Cynthia Shearer.
Cynthia Shearer (68 tahun) dirawat karena mengalami patah tulang pinggul. Ia
harus berbaring di rumah sakit dan dokter meyakinkan akan melakukan apa saja untuk
meringankan rasa sakitnya. Keluarga berharap operasi ringan bisa membuatnya segera
pulang ke rumah. Tapi Cynthia tidak pernah pulang lagi. Setelah 20 hari di rumah
sakit, nenek ini pun harus meninggal dunia di usia 68 tahun. Bukan karena tulang
pinggul yang patah atau operasi yang gagal, Cynthia meninggal karena diberikan
lebih dari 85 persen dosis aman parasetamol selama 48 jam pertama di rumah sakit.
Overdosis obat penghilang rasa sakit itu menyebabkannya mengalami
kegagalan multi organ. Dengan berat badan hanya 34,9 kg, Cynthia seharusnya hanya
diberikan parasetamol dosis anak. Perlu diketahui bahwa dosis intravena harus
didasarkan pada berat badan pasien, bukan usia. "Ini karena kurangnya kesadaran dari
dokter junior, perawat, dokter senior dan apoteker, termasuk apoteker kepala," jelas
Koroner John Ellery, seperti dilansirMirror.co.uk, Senin (19/3/2012). Penyelidikan
menemukan bahwa kurangnya kesadaran tentang pedoman mengenai obat yang
paling banyak digunakan di antara dokter senior dan apoteker di Royal Shrewsbury
Hospital.
3. 1 Mekanisme Toksisitas
3.1.1. Rute Paparan
Parasetamol umumnya dikonversi oleh enzim sitokrom P450 di hati
menjadi metabolit reaktifnya, yang disebut N-acetyl-p-benzoquinoneimine
(NAPQI).
Proses ini disebut aktivasi metabolik, dan NAPQI berperan sebagai radikal bebas
yang memiliki lama hidup yang sangat singkat. Meskipun metabolisme parasetamol
melalui ginjal tidak begitu berperan, jalur aktivasi metabolik ini terdapat pada ginjal dan
penting secara toksikologi. Dalam keadaan normal, NAPQI akan didetoksikasi secara
cepat oleh enzim glutation dari hati. Glutation mengandung gugus sulfhidril yang akan
mengikat secara kovalen radikal bebas NAPQI, menghasilkan konjugat sistein.
Sebagiannya lagi akan diasetilasi menjadi konjugat asam merkapturat, yang kemudian
keduanya dapat diekskresikan melalui urin.
Pada dosis terapi, N-asetil-p-benzoquinoneimine (NAPQI) bersifat hepatotoksik,
dimana pada dosis berlebih (over dosis) produksi metabolit hepatotoksik meningkat
melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut
bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu pada
penanggulangan keracunan Parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa
glutation.

3.1.2. Dosis Toksik

Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa
berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15g pada dewasa dapat
menyebabkan hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati.
Sebagaimana juga obat-obat lain, bila penggunaan parasetamol tidak benar,
makaberisiko menyebabkan efek yang tidak diinginkan. Parasetamol dalam
jumlah 10 15g (20-30 tablet) dapat menyebabkan kerusakan serius pada hati dan
ginjal. Kerusakan fungsi hati juga bisa terjadi pada peminum alkohol kronik yang
mengkonsumsi parasetamol dengan dosis 2g/hari atau bahkan kurang dari itu.Pada
alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang menginduksi enzim
hati, kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meningkat karena produksi metabolit
meningkat

3.1.3. Gambaran Klinis

Gejala keracunan parasetamol dapat terdiri atas 4 fase :


Fase 1 :
Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, perasaan tak menentu pada tubuh yang
tak nyaman (malaise) dan banyak mengeluarkan keringat.
Saluran pencernaan dapat mengaktifkan pusat muntah oleh stimulasi
mekanoreseptor atau kemoreseptor trigger zone (CTZ) pada glossopharyngeal atau
aferen vagal (saraf kranial IX dan X) atau dengan pelepasan serotonin dari sel-sel
usus enterochromaffin, yang pada gilirannya merangsang reseptor 5HT3 pada
aferen vegal. Reseptor-reseptor ini mengirim pesan kepusat muntah ketika di
rangsang oleh zasetaminophen. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke vagus,
frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk melakukan refleks
muntah.
Fase 2
Pembesaran liver (Hepatomegali), peningkatan bilirubin dan konsentrasi enzim
hepatik, waktu yang dibutuhkan untuk pembekuan darah menjadi bertambah lama
dan kadang-kadang terjadi penurunan volume urin. Kerusakan akan organ hati
dapat menganggu kemampuan tubuh manusia untuk memecah sel darah merah dari
toksin atau racun yang terkandung didalamnya. Bilirubin pada darah serta racun
lain yang ada pada darah pun tidak akan mampu dikeluarkan tubuh sehingga tetap
mengendap dan menetap dalam hati, sehingga hati mengalami kerusakan dan hati
mengalami penurunan kemampuan dalam memecah protein .
Fase 3 :
Berulangnya kejadian pada fase 1 (biasanya 3-5 hari setelah munculnya gejala
awal) serta terlihat gejala awal gagal hati seperti pasien tampak kuning karena
terjadinya penumpukan pigmen empedu di kulit, membran mukosa dan sklera
(jaundice), hipoglikemia, kelainan pembekuan darah, dan penyakit degeneratif
pada otak (encephalopathy). Pada fase ini juga mungkin terjadi gagal ginjal dan
berkembangnya penyakit yang terjadi pada jantung (cardiomyopathy).
Fase 4 :
Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan hati luas dan progresif dapat
terjadi sepsis, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan kematian.
(Lusiana Darsono, 2002)

3.2.Penegakan Diagnosa
Penegakan diagnosa keracunan parasetamol dilakukan setelah mendapatkan
riwayat/anamnesa yang jelas dari korban maupun saksi (keluarga atau penolong). Saat
melakukan anamnesa, tenaga medis harus menanyakan apakah korban sedang menjalani
terapi menggunakan obat-obatan yang bersifat menginduksi enzim CYP2E1 (seperti
isoniazid), atau obat-obatan yang meningkatkan metabolisme enzim CYP450 (seperti
fenobarbital dan rifampisin). Selain itu harus diketahui juga apakah pasien mempunyai
riwayat mengkonsumsi alkohol secara kronik serta periksa kondisi pasien, apakah pasien
tersebut mengalami malnutrisi. Pemberian antidot (N-asetilsistein) dilakukan setelah
mendapatkan hasil konsentrasi parasetamol dalam plasma pada pasien maksimal 4 jam
setelah parasetamol ditelan.
3.3. Penatalaksanaan
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan sebagai pertolongan pertama saat
menemukan korban yang dicurigai keracunan parasetamol adalah sebagai berikut:
1. Berikan arang aktif (norit) dengan dosis 100 gram dalam 200 ml air untuk orang
dewasa dan larutan 1 g/kg bb untuk anak-anak untuk mengikat obat yang tersisa di
saluran pencernaan.
2. Apabila keracunan parasetamol dalam hitungan menit dapat dicoba untuk
mengosongkan perut. Hal ini dapat dicapai dengan menginduksi muntah atau dengan
menempatkan sebuah tabung besar melalui mulut seseorang dan masuk ke perut,
memasukkan cairan kedalam perut kemudian memompa keluar (gastric lavage).
3. Pemberian N-asetilsistein (NAC)

N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan parasetamol. N-


konjugasi sulfat pada parasetamol. Methionin per oral, juga bisa asetilsistein bekerja
mensubstitusi glutation, meningkatkan sintesis glutation dan meningkatkan digunakan
sebagai antidotum yang efektif, tetapi absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan N-
asetilsistein.
Mekanisme Kerja NAC :

a) Glutathione (GSH) sendiri butuh sistein sebagai salah satu prekursornya.


Dengan pemberian NAC maka sistein dalam tubuh akan meningkat dan
demikian pula pembentukan Glutathione (GSH). Jika GSH ada banyak dan
jumlahnya mampu mengimbangi atau melebihi jumlah NAPQI maka tidak
ada lagi NAPQI bebas yang akan mengikat protein hati
b) NAC punya atom S dalam gugus tiolnya (S-H), sehingga NAC dapat
menyumbangkan S nya ini untuk digunakan dalam proses metabolisme
parasetamol sulfatasi. Dengan adanya sulfat dari NAC maka sulfatasi akan
dapat berjalan lagi sehingga metabolisme di CYP dan pembentukan NAPQI
akan menurun
c) NAC dapat menggandeng NAPQI karena dia juga punya nukleofil, hal ini
dapat mencegah pembentukan ikatan NAPQI dengan protein hati.

Regimen dose pemberian NAC sebagai berikut:


1. diberikan loading dose 150 mg/kgBB selama 15-30 menit
2. maintenance dose 50 mg/kgBB dalam 500 cc dextrose 5% selama 4 jam
3. 100 mg/kgBB dalam 1000 cc dextrose 5% selama 6 jam
Berdasarkan grafik diatas dapat ditentukan tentang pemberian NAC. Apabila titik
tersebut berada di bawah kedua garis (daerah low risk) maka tidak perlu diberikan
NAC karena kemungkinan hepatotoksik rendah, namun apabila di atas kedua garis
(daerah probable risk) maka perlu diberikan NAC.
Terapi asetilsistein paling efektif bila diberikan dalam waktu 8-10 jam pasca
penelanan parasetamol. N-asetilsistein harus diberikan secara hati-hati dengan
memperhatikan kontraindikasi dan riwayat alergi pada korban, terutama riwayat
asthma bronkiale.

Efek samping penggunaan NAC


1. Reaksi Anafilaksis pada Pasien tanpa Intoksikasi Parasetamol.
Pasien yang diterapi dengan asetilsistein, sedangkan kadar parasetamol
serum berada dalam rentang kadar terapeutik atau nontoksik beresiko
mengembangkan reaksi anafilaksis. Dawson et al. menyatakan bahwa pasien
tanpa intoksikasi parasetamol yang menerima terapi asetilsistein, akan
mengembangkan efek merugikan dari asetilsistein tersebut. Namun dia tidak
menjabarkan efek-efek buruk tersebut.
2. Bronkospasme
Asetilsistein dapat menginduksi bronkospasme pada pasien-pasien asma
akibat adanya pelepasan histamin lokal atau karena adanya penghambatan
tachyphylaxis terhadap alergen
3. Status Epileptikus
Ada laporan studi yang mengaitkan status epileptikus sehubungan
penggunaan asetilsistein. Hal ini terjadi pada pasien dengan overdosis
asetilsistein.
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dibuat beberapa kesimpulan yaitu:

1. NAPQI pada dosis berlebih (over dosis) menyebabkan produksi metabolit


hepatotoksik meningkat melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi,
sehingga metabolit tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis
sentro-lobuler.
2. Antidotum spesifik bagi pasien keracunan parasetamol adalah N-asetilsistein dan
metionin.
3. N-asetil-sistein bekerja mensubstitusi glutation, meningkatkan sintesis glutation dan
meningkatkan konjugasi sulfat pada parasetamol.
4. Penatalaksanaan bagi pasien keracunan parasetamol disesuaikan dengan kondisi
pasien, terutama pasien geriatric.

4.2. Saran

Dalam pemberian dosis hendaknya diberikan sesuai dengan luas permukaan tubuh
pasien. Jangan hanya sekedar melihat umur dari si pasien.
Dalam melakukan praktik kesehatan seharusnya melakukan prinsip pharmaceutical
care. Jadi dengan menggunakan system ini komunikasi dan kerja antara dokter,
farmasis, dan perawat bisa melakukan pekerjaan dengan baik. Dan dapat
meminimalisir miss komunikasi.
Jangan sekali-kali menyalahgunakan parasetamol. Karena efeknya bisa sangat fatal.
Jika terjadi keracunan segera dilakukan penanganan yang tepat sedini mungkin.
Untuk meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 1997. Ilmu Meracik Obat.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Departemen Kesehatan Dirjen POM. 1995. Farmakologi Indonesia Edisi IV. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Katzung, Bertram G. 2007. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai