Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Uv Uv Uv Uhuk

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 37

31

PENGARUH LAMA PENYINARAN ULTRAVIOLET DAN MACAM STRAIN


TERHADAP PERSENTASE PENETASAN TELUR Drosophila Melanogaster
HASIL PERSILANGAN N >< N DAN w ><w

LAPORAN PRAKTIKUM PROYEK

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH


Genetika I
yang dibimbing oleh Prof. Dr. Hj. Siti Zubaidah, M. Pd

Disusun oleh:
Kelompok 14
Offering G/ 2015
Alfi Kholishotuz Zuhroh T. 140341606477
Zefry Okta Wardana 150342600433

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
April 2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
32

Di era modern ini, segala ilmu telah mudah dipelajari karena adanya perkembangan
teknologi yang sangat pesat. Hal ini juga terjadi dalam bidang ilmu pengetahuan alam. Salah
satu cabang ilmu pengetahuan alam adalah ilmu biologi. Lebih rinci lagi, salah satu ilmu
biologi yang paling mendasar dalam bidang pengetahuan alam ialah ilmu genetika. Genetics
is a core of the Biology Science.
Mutasi merupakan perubahan materi genetik (DNA dan RNA) dan proses yang
menyebabkan terjadinya perubahan tersebut. Sedangkan mutan merupakan organisme yang
menunjukkan fenotip baru sebagai hasil terjadinya mutasi. Mutasi dapat disebut sebagai
mutasi terinduksi jika terjadinya disebabkan perlakuan organisme dengan agen mutagenik
seperti radiasi pengionan, sinar ultraviolet (sinar UV) atau berbagai bahan kimia yang
bereaksi dengan DNA atau RNA (Corebima, 2000). Bahan-bahan yang menyebabkan mutasi
disebut dengan mutagen. Mutagen dibagi menjadi tiga yaitu: mutagen kimia, fisika dan
biologi.
Sinar ultraviolet (UV) merupakan satu dari beberapa agen penyebab mutasi pada
materi genetik. Bakteri atau organisme lain yang dapat terpengaruh oleh sinar ultraviolet pada
panjang gelombang tertentu yang akan menyebabkan terkena mutasi. Hal tersebut
membuktikan bahwa sinar UV merupakan penyebab terjadinya mutasi. Spektrum aksi
(kekuatan pemancaran) yang dihasilkan oleh sinar UV sebanding dengan spektrum
penyerapan pada banyak molekul lain salah satunya pada materi genetik. Satu molekul yang
diserap oleh materi genetik menyebabkan mutasi pada panjang gelombang tertentu (Snustad,
2012). Lama dari penyinaran juga dapat menyebabkan mutasi tersebut memungkinkan terjadi
pada suatu organisme, namun hal tersebut juga tergantung dari tingkat sensitivitas dan
perbaikan DNA dari setiap organisme.
Crowder (1990) menyatakan bahwa pengaruh radiasi penyinaran ultraviolet akan
berbeda pada tiap bagian tertentu dari tubuh orgnisme. Pada sel yang sedang aktif tumbuh
dan membelah lebih sensitif terhadap radiasi sinar ultraviolet daripada individu yang dewasa.
Telur Drosophila melanogaster merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan untuk
mengetahui pengaruh sinar UV karena menurut Crowder (1990) embrio lebih sensitif
terhadap kondisi lingkungannya. Sel-sel embrio yang aktif tumbuh dan membelah memiliki
tingkat sensitivitas yang lebih tinggi terhadap radiasi.
Drosophila melanogaster merupakan salah satu jenis lalat buah dari famili
Drosophilidae yang banyak ditemukan di antara rumput-rumput, semak atau buah-buah yang
masak sebagai tempat berkembang biak. Mereka meletakkan telur pada buah yang masih
muda dan larvanya akan menghabiskan buah yang masak sebagai makanannya, sehingga
33

bersifat sangat merugikan. Sedangkan menurut Kerrebrock (1995) populasi Drosophila yang
sangat besar, mempunyai daur hidup yang sangat cepat, lalat buah mempunyai tingkat
kesuburan yang tinggi, individu betina dapat menghasilkan ratusan telur.
Saat ini banyak diketahui bahwa Drosophila melanogaster telah mengalami mutasi
yang menghasilkan variasi genotif intraspesifik yang disebut strain. Dalam penelitian yang
akan dilakukan menggunakan strain N (Normal) dan w (White). Drosophila melanogaster
strain N memiliki warna mata merah, sayap menutupi seluruh tubuh dan tubuh berwarna
kuning kecoklatan, sedangkan strain w memiliki warna putih, sayap menutupi tubuh dengan
sempurna dan tubuh berwarna kuning kecoklatan.
Menurut penelitian Zhepeng (2008) mengenai efek UVR pada strain normal, eboni
dan kuning ternyata memiliki pengaruh yang berbeda terhadap panjang hidup, kesuburan,
pacaran dan aspek biokimia. Oleh karena itu peneliti ingin melakukan penelitian dengan
judul Pengaruh Macam Strain dan Lama Penyinaran Ultraviolet Terhadap Persentase
Penetasan Telur Drosophila Melanogaster Hasil Persilangan N >< N dan w ><w.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dibuat, maka rumusan masalah pada penelitian
ini yaitu sebagai berikut:
1. Adakah pengaruh lama penyinaran ultraviolet terhadap persentase penetasan telur D.
melanogaster hasil persilangan N >< N dan w ><w?
2. Adakah pengaruh macam strain terhadap persentase penetasan telur D. melanogaster
hasil persilangan N >< N dan w ><w?
3. Adakah pengaruh interaksi antara lama radiasi ultraviolet dan macam strain D.
melanogaster terhadap persentase penetasan telur D. melanogaster hasil persilangan
strain N >< N dan w ><w?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui pengaruh lama radiasi ultraviolet terhadap persentase penetasan telur D.
melanogaster hasil persilangan N >< N dan w ><w.
2. Mengetahui pengaruh macam strain terhadap persentase penetasan telur D. melanogaster
hasil persilangan N >< N dan w ><w.
34

3. Mengetahui pengaruh interaksi antara lama radiasi ultraviolet dan macam strain D.
melanogaster terhadap persentase penetasan telur D. melanogaster hasil persilangan N
>< N dan w ><w.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat yang dapat diperoleh penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Pembaca:
a. Memberikan wawasan baru bagi pembaca pada umumnya dalam bidang genetika.
b. Memperluas wawasan mahasiswa khususnya jurusan biologi tentang berbagai
fenomena yang berkaitan dengan materi genetik, mutasi, dan pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari.
c. Sebagai acuan atau dasar dalam melakukan penelitian selanjutnya tentang bidang
yang terkait.
2. Bagi Mahasiswa
Penelitian ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan bagi mahasiswa biologi
khususnya mengenai pengaruh radiasi sinar UV terhadap persentase penetasan telur
Drosophila melanogaster.

3. Peneliti:
a. Sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh pada pembelajaran
secara khusus di bidang ilmu genetika.
b. Mendorong minat untuk melakukan penelitian lebih lanjut di bidang genetika
c. Memberikan wawasan baru bagi peneliti dalam bidang genetika.

1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian


Penelitian ini memiliki ruang lingkup dan batasan penelitian sebagai berikut:
1. Strain Dorsophila melanogaster yang digunakan dalam penelitian ini adalah strain N
dan w .
2. Telur dihasilkan dari persilangan N >< N dan w ><w. Perhitungan telur awal
dilakukan setelah 2 hari persilangan, pada hari ke tiga induk juga dilepas.
3. Radiasi sinar UV yang digunakan adalah radiasi sinar UV buatan yang berasal dari
lampu UV dengan panjang gelombang 254-269 nm.
35

4. Perlakuan penyinaran UV menggunakan lama waktu 0 menit, 3 menit, 6 menit, 9


menit, dan 12 menit.
5. Perhitungan penentasan telur Dorsophila melanogaster dihitung 1 hari setelah
perlakuan atau tanpa perlakuan penyinaran.
6. Penelitian ini dibatasi pada penghitungan jumlah telur yang menetas menjadi larva
selama 7 hari.

1.6 Asumsi Penelitian


Asumsi pada penelitian ini yaitu:
1. Faktor abiotik seperti suhu, kelembapan, dan intensitas cahaya dianggap sama.
2. Faktor fisiologis pada D. melanogaster yang digunakan dianggap sama.
3. Kondisi medium dan nutrisi medium dianggap sama.
4. Umur D. melanogaster yang disilangkan dianggap sama yaitu umur tiga hari setelah
penyilangan.
5. Tingkat stertilitas dari alat yang digunakan dianggap sama.
6. Panjang gelombang sinar UV dianggap sama

1.7 Definisi Operasional


1. Strain adalah kelompok intraspesifik yang hanya memiliki satu atau sejumlah kecil
ciri yang berbeda, biasanya dalam keadaan homozigot untuk ciri-ciri tersebut atau
galur murni (Corebima, 2003). Pada penelitian ini strain yang digunakan adalah strain
N dan w.
2. Mutasi adalah perubahan materi genetik (DNA dan RNA) dan proses yang
menyebabkan terjadinya perubahan tersebut. Sedangkan mutan adalah organisme
yang menunjukkan fenotip baru sebagai hasil terjadinya mutasi. Mutasi dapat disebut
sebagai mutasi terinduksi jika terjadinya disebabkan perlakuan organisme dengan
agen mutagenik seperti radiasi pengionan, sinar ultraviolet (sinar UV) atau berbagai
bahan kimia yang bereaksi dengan ADN atau ARN (Corebima, 2003).
3. Sinar Ultraviolet adalah jenis gelombang elektromagnetik yang dapat dideteksi oleh
sel-sel sensitif mata (Alcamo, 1990), memiliki panjang gelombang berbeda-beda,
tidak menimbulkan ionisasi, memiliki daya tembus rendah (Crowder, 1990). Sinar UV
yang digunakan berasal dari alat UV buatan yang biasa digunakan adalah lampu
hidrogen dan lampu deuterium dengan panjang gelombang 254-269 nm.
36

4. D. melanogaster strain N merupakan lalat buah yang normal, memiliki ciri warna
tubuh kecoklatan, mata berwarna merah, faset mata halus, dan sayap menutupi tubuh.
5. D. melanogaster strain w atau white merupakan mutan yang memiliki warna mata
putih.
6. Dalam penelitian ini penetasan terlur dinyatakan dalam persentase yang dihitung
dengan membandingkan jumlah telur awal dan telur setelah menetas.
7. Interaksi adalah hubungan atau kaitan antara sesuatu yang berbeda atau sama.
Interaksi dalam penelitian ini adalah interaksi antara strain dan lama penyinaran UV
(Corebima, 2003).
8. Peremajaan stok merupakan salah satu prosedur untuk memperbanyak lalat yang akan
digunakan sebagai obyek penelitian.
9. Mengampul stok merupakan kegiatan mengisolasi pupa dari D. Melanogaster yang
berwarna hitam kedalam selang ampul hingga menetas menjadi lalat.
10. Menyilangkan adalah salah prosedur penelitian dimana menyilangkan D.
Melanogaster jantan dan betina dalam satu strain yang sama.
11. Fenotip merupakan penampakan luar yang dapat diamati secara langsung.
12. Perbaikan DNA merupakan salah satu bentuk perbaikan pada DNA akibat adanya
mutasi.
37

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Drosophila melanogaster


Drosophila melanogaster, lalat buah yang umum pada kehidupan sehari-hari, menurut
Mayers (2012) klasifikasi Drosophila melanogaster dalam taksonomi hewan adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Drosophilidae
Genus : Drosophila
Spesies : Drosophila melanogaster.
Dalam penelitian ini, penggunaan Drosophila melanogaster sebagai hewan coba
karena ada berbagai alasan, yaitu Drosophila melanogaster memiliki jumlah kromosom yang
kecil yaitu 8 kromosom atau 4 pasang kromosom sehingga memudahkan kerja (Corebima,
2013). Hal ini juga disebutkan bahwa kromosom tersebut termasuk kromosom raksasa yang
terdapat pada kelenjar saliva fase larva (Aini, 2008). Selain itu, Drosophila
melanogaster memiliki ukuran tubuh kecil, mudah ditangani, praktis, siklus hidup singkat
yaitu hanya dua minggu, mudah dipelihara dalam jumlah besar, mudah berkembangbiak
dengan jumlah anak banyak, beberapa mutan mudah diuraikan (Aini, 2003).
Keberadaan organisme di alam ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor dalam dan
faktor luar termasuk lingkungan. Faktor luar meliputi faktor fisik, kimia dan biologis. Untuk
hewan, faktor fisik termasuk didalamnya adalah makanan mempunyai peranan lebih besar
dalam menentukan keberadaan hewan tertentu di suatu tempat dibandingkan dengan faktor
kimia. Suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap kehidupan lalat buah. Ciri-ciri yang
bersifat kuantitatif, panjang tubuh sangat sensitif terhadap perubahan faktor lingkungan
38

seperti fluktuasi suhu atau perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas jenis makanan
(Junitha, 1991).
Tubuh lalat jantan lebih kecil dibandingkan betina dengan tanda-tanda secara
makroskopis adanya warna gelap pada ujung abdomen, pada kaki depannya dilengkapi
dengan sisir kelamin yang terdiri dari gigi hitam mengkilap (Zhepeng, 2008). Banyak mutan-
mutan Drosophila melanogaster yang dapat diamati dengan mata biasa, dalam artian tidak
memerlukan alat khusus. Drosophila melanogaster tipe liar mempunyai mata merah, tipe
sepia mempunyai mata coklat tua dan tipe ebony mempunyai tubuh berwarna hitam
mengkilap (Iskandar, 1987).
Ada beberapa tanda yang dapat digunakan untuk membedakan lalat jantan dan betina,
yaitu bentuk abdomen pada lalat betina kecil dan runcing, sedangkan pada jantan agak
membulat (Gambar 2.1). Ada beberapa tanda yang dapat digunakan untuk membedakan lalat
jantan dan betina, yaitu bentuk abdomen pada lalat betina kecil dan runcing, sedangkan pada
jantan agak membulat. Tanda hitam pada ujung abdomen juga bisa menjadi ciri dalam
menentukan jenis kelamin lalat ini tanpa bantuan mikroskop. Ujung abdomen lalat jantan
berwarna gelap, sedang pada betina tidak. Pada lalat betina adanya 5 garis hitam pada
permukaan atas abdomen, sedangkan pada lalat jantan hanya terdapat 3 garis hitam (Aini,
2008).

Gambar 2.1. D. melanogaster betina dan jantan


(Sumber : Siburian, 2008)

2.2 Siklus Hidup Drosophila melanogaster


Drosophila melanogaster dapat kawin lebih dari sekali selama hidupnya. Panjang
telur sekitar 0,5 mm dan telur berasal dari sel telur yang biasanya dibuahi setelah betina
berumur 3 hari dalam fase dewasa. Pada mulanya, dalam embriogenesis ada 13 pembelahan
inti dalam sitoplasma tunggal. Kemudian inti ini terpisah oleh membran untuk membentuk
blastoderm yang terdiri dari 6000 sel identik yang dikelilingi massa yolk. Larva menetas
dalam 22 jam dimana umur larva ini biasanya adalah 4 hari. Larva tersebut transparan. Saat
39

akan menjadi pupa, larva akan naik ke dinding botol medium. Pupa memiliki tekstur yang
lebih keras dan gelap. Tahap pupa berlangsung 4 hingga 6 hari. Fase dewasa diawali dengan
keluarnya lalat dari pupa (Tyler, 2003).
Lamanya siklus hidup Drosophila melanogaster bervariasi sesuai suhu. Rata-rata lama
periode telur-larva pada suhu 20oC adalah 8 hari; pada suhu 25oC lama siklus menurun yaitu
5 hari. Siklus hidup pupa pada suhu 20oC adalah sekitar 6,3 hari, sedangkan pada suhu 25oC
sekitar 4,2 hari. Sehingga pada suhu 25oC siklus hidup Drosophila melanogaster dapat
sempurna sekitar 10 hari, tetapi pada suhu 20oC dibutuhkan sekitar 15 hari. Pemeliharaan
Drosophila melanogaster sebaiknya berada dalam suhu ruang dimana temperatur tidak
dibawah 20oC atau diatas 25oC. Suhu tinggi atau diatas 30oC dapat mengakibatkan sterilisasi
atau kematian, dan pada temperatur rendah keberlangsungan hidup dari lalat ini terganggu
dan memanjangkan siklus. Hal yang perlu diingat adalah bahwa suhu di dalam biakan botol
dapat lebih tinggi dibandingkan suhu lingkungan sekitar di luar botol, karena adanya
peningkatan panas akibat fermentasi ragi (Demerec dan Kaufmann, 1961).
1. Telur

Gambar 2.2 Telur D. melanogaster


(Sumber: Snustad, 2012)
Telur Drosophila melanogaster memiliki panjang kira-kira setengah millimeter.
Bagian struktur punggung telur ini lebih datar dibandingkan dengan bagian perut. Telur lalat
akan nampak di permukaan media makanan setelah 24 jam dari perkawinan (Wiyono, 1986).
Telur Drosophila melanogaster berbentuk benda kecil bulat panjang dan biasanya diletakkan
di permukaan makanan. Telur D. melanogaster dilapisi oleh dua lapisan, yaitu satu selaput
vitellin tipis yang mengelilingi sitoplasma dan suatu selaput tipis tapi kuat (khorion) di
40

bagian luar dan di anteriornya terdapat dua tangkai tipis. Korion mempunyai kulit bagian luar
yang keras dari telur tersebut (Borror, 1992).
Betina dewasa mulai bertelur pada hari kedua setelah menjadi lalat dewasa dan
meningkat hingga seminggu sampai betina meletakkan 50-75 telur perhari dan mungkin
maksimum 400-500 buah dalam 10 hari. Jumlah telur yang dihasilkan juga berbeda-beda.
Viabilitas dari telur-telur dipengaruhi oleh jenis strain dan jumlah makanan yang dimakan
oleh larva betina (Snustad, 2012). Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam
penetasan telur. Transport, temperatur, kelembaban, kondisi telur serta faktor yang
mempengaruhi keberhasilan dalam penetasan tersebut. Secara rinci faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi keberhasilan penetasan tersebut. Secara rinci faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan penetasan tersebut telah dilaporkan oleh Christensen (2001).
2. Larva
Setelah 2 hari telur menetas menjadi larva. Larva Drosophila melanogaster berwarna
putih, keruh bersegmen, berbentuk seperti cacing, dan menggali dengan mulut berwarna
hitam di dekat kepala. Untuk pernafasan pada trakea, terdapat sepasang spirakel yang
keduanya berada pada ujung anterior dan posterior. Larva berkembang selama 69 hari.
Larva instar 3 berkembang maksimum dengan ukuran 7mm (Silvia, 2003).

Gambar 2.3 Larva D. melanogaster


(Sumber: Snustad, 2012)
Saat kutikula pada larva Drosophila tidak lunak lagi, larva muda secara periodik
berganti kulit untuk mencapai ukuran dewasa. Kutikula lama dibuang dan integumen baru
diperluas dengan kecepatan makan yang tinggi. Selama periode pergantian kulit, larva
disebut instar. Instar pertama adalah larva sesudah menetas sampai pergantian kulit pertama.
Indikasi instar adalah ukuran larva dan jumlah gigi pada mulut hitamnya. Sesudah pergantian
kulit yang kedua, larva (instar ketiga) menempel pada permukaan yang kering dan siap untuk
membentuk pupa. Sehingga dapat diringkas, pada Drosophila, perubahan sel-sel larva terjadi
pada proses pergantian kulit (molting) yang berlangsung empat kali dengan tiga stadium
instar (Corebima, 2003).
41

3. Pupa
Pupa (kepompong) berbentuk oval, warna kecoklatan, dan panjangnya 5 mm. Pupa
yang baru terbentuk awalnya bertekstur lembut dan putih seperti kulit larva tahap akhir, tetapi
secara perlahan akan mengeras dan warnanya gelap (Borror, 1992). Diatas dari empat hari,
tubuh pupa tersebut sudah siap dirubah bentuk dan diberi sayap dewasa, dan akan tumbuh
menjadi individu baru setelah 12 jam (waktu perubahan fase diatas berlaku untuk suhu 25
C). Tahap akhir fase ini ditunjukkan dengan perkembangan dalam pupa seperti mulai
terlihatnya bentuk tubuh dan organ dewasa (imago). Ketika perkembangan tubuh sudah
mencapai sempurna maka Drosophila melanogaster dewasa akan muncul melalui anterior
enddari pembungkus pupa. Lalat dewasa yang baru muncul ini berukuran sangat panjang
dengan sayap yang belum berkembang. Waktu yang singkat, sayap mulai berkembang dan
tubuhnya berangsur menjadi bulat. Hari kelima pupa terbentuk dan pada hari kesembilan
keluarlah imago dari selubung pupa (puparium) (Borror, 1992).

Gambar 2.4 Pupa D. melanogaster


(Sumber: Snustad, 2012)
4. Imago
Perkawinan biasanya terjadi setelah imago berumur 10 jam, tetapi meskipun
demikian lalat betina biasanya tidak segera meletakkan telur sampai hari kedua. Lalat
buah Drosophila pada suhu 25C, dua hari setelah keluar dari pupa mulai dapat bertelur
kurang lebih 50 sampai 75 butir per hari sampai jumlah maksimum kurang lebih 400-500
dalam 10 hari, tetapi pada suhu 20C mencapai kira-kira 15 hari (Borror, 1992). Jumlah
telur tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik, temperatur lingkungan dan volume tabung
yang digunakan (Corebima, 2003).Siklus hidup total terhitung dari telur sampai telur
kembali berkisar antara 10-14 hari.
42

Gambar 2.5 Siklus hisup D. melanogaster


Sumber: Siburian, 2008

2.3 Peta Kromosom Drosophila melanogaster


Drosophila melanogaster memiliki empat pasang kromosom. Menurut Corebima
(2003) menjelaskan tentang pemetaan kromosom pada Drosophila melanogaster. Alel mutan
dari setiap gen ditunjukkan pada gambar sebelah kanan kromosom dengan deskripsi fenotip
yang muncul, sedangkan pada bagian kiri merupakan posisi pemetaan dari setiap gen yang
mengalami mutasi tersebutt. Berdasarkan peta kromosom, Drosophila melanogaster strain N
(normal) merupakan gen yang tidak mengalami. Sedangkan pada Drosophila melanogaster
strain w (white) diakibatkan oleh kerusakan pada kromosom I, lokus 1,5, sehingga
menimbulkan fenotipe warna mata yang putih.
43

Gambar 2.6 Peta Parsial Kromosom Drosophila melanogaster


(Sumber: Corebima, 2003)
2.4 Mutasi
Mutasi adalah perubahan materi genetik (DNA dan RNA) dan proses yang
menyebabkan terjadinya perubahan tersebut. Sedangkan mutan adalah organisme yang
menunjukkan fenotip baru sebagai hasil terjadinya mutasi. Mutasi dapat disebut sebagai
mutasi terinduksi jika terjadinya disebabkan perlakuan organisme dengan agen mutagenik
seperti radiasi pengionan, sinar ultraviolet (sinar UV) atau berbagai bahan kimia yang
bereaksi dengan DNA atau RNA (Gardner et al 1991).
Mutasi dapat diartikan sebagai proses yang dapat menyebabkan suatu perubahan
materi genetik yang dapat diwariskan dan terjadi secara tiba-tiba. Perubahan materi genetik
yang dapat diwariskan dan yang dapat dideteksi bukan disebabkan oleh rekombinasi genetik
(Gardner, 1991). Mutasi lainnya yang dikenal ialah mutasi letal yang menyebabkan makhluk
hidupnya tidak dapat lagi hidup. Misalnya satu makhluk hidup tidak lagi dapat menghasilkan
asam amino yang spesifik. Mutasi ini dapat terjadi sejak awal embriogenesis bahkan
sepanjang hayat makhluk hidup tersebut. Pengaruh mutasi ini terhadap jaringan, pola
perilaku, dan proses metabolik. Disamping itu pula ada mutasi kondisional yang dapat terjadi
44

pada kondisi tertentu saja, misalnya hanya terjadi jika suhu atau temperature sensitive
mutation yang memproduksi berbagai macam gen mutasi (Corebima, 2003).
Penyebab mutasi dalam lingkungan yang bersifat fisik adalah radiasi dan suhu.
Radiasi sebagai penyebab mutasi dibedakan menjadi radiasi pengion dari radiasi bukan
pengion (Gardner et al, 1991). Radiasi pengion berenergi tinggi, sedang radiasi bukan
pengion berenergi rendah. Contoh radiasi pengion misalnya radiasi sinar X, radiasi sinar
gamma, dan radiasi kosmik. Pada saat ini radiasi pengion diinduksi oleh sinar X, radiasi sinar
gamma, dan radiasi kosmik. Contoh radiasi yang bukan pengion misalnya radiasi ultraviolet
(UV) (Corebima, 2003).

2.5 Sinar Ultraviolet


Suwahyono, et al. (2003) menyatakan bahwa sinar ultraviolet (UV) merupakan salah
satu sinar dengan daya radiasi yang dapat bersifat letal bagi mikroorganisme. Sinar UV
mempunyai panjang gelombang mulai 4 nm hingga 400 nm dengan efisiensi tertinggi untuk
pengendalian mikroorganisme adalah pada 365 nm. Karena mempunyai efek letal terhadap
sel-sel mikroorganisme, maka radiasi UV sering digunakan di tempat-tempat yang menuntut
kondisi aseptik seperti laboratorium, ruang operasi rumah sakit dan ruang produksi industri
makanan dan minuman, serta farmasi.
Salah satu sifat sinar ultraviolet adalah daya penetrasi yang sangat rendah. Selapis kaca
tipis pun sudah mampu menahan sebagian besar sinar UV. Oleh karena itu, sinar UV hanya
dapat efektif untuk mengendalikan mikroorganisme pada permukaan yang terkena langsung
oleh sinar UV, atau mikroba berada di dekat permukaan medium yang transparan. Absorbsi
maksimal sinar UV di dalam sel terjadi pada asam nukleat. maka diperkirakan mekanisme utama
perusakan sel oleh sinar UV pada ribosom. sehingga mengakibatkan terjadinya mutasi atau
kematian sel (Atlas, 1997).
Sinar UV dapat menyebabkan dua residu pirimidin, yatu sitosin atau timin yang
berdekatan untuk membentuk dimer. Pada sel normal, dimer ini dapat dideteksi dengan
ptotein p53, yang akan memicu proses perbaikan DNA. Namun apabila ptotein p53 itu
sendiri termutasi dan menjadi tidak fungsional, maka dimer pirimidin ini akan menyebabkan
mutasi (Corvianindya & Auerkari, 2001).
Efek utama dari radiasi sinar UV adalah dimerisasi timin. Dimer timin ini dapat
menimbulkan rnutasi secara tidak lansung dengan cara:
1. Dimer timin dapat mengganggu double heliks DNA serta dapat menghambat replikasi
DNA.
45

2. Kesalahan yang kadang-kadang terjadi selama proses sel yang bertujuan untuk
memperbaiki kerusakan DNA, misalnya DNA mengandung dimer timin. (Corebima,
2008).

Gambar 2.7 Pembentukan dimer timin yang disebabkan oleh adanya radiasi UV
(Corvianindya & Auerkari, 2001).
Efek dari suatu mutasi tidak selalu sesuai dengan target teori sebab hubungan antara
mutasi dengan dosis penyinaran Ultraviolet tidak selamanya selalu berbanding lurus. Lebih
lanjut Gardner, dkk (1991) menyebutkan bahwa hubungan antara rata-rata mutasi dan dosis
UV tergantung pada jenis mutasi, organisme dan kondisi UV. Menurut Crowder (1990)
embrio lebih sensitif terhadap kondisi lingkungan. Sel-sel embrio yang aktif tumbuh dan
membelah memiiiki tingkat sensitivitas yang lebih tinggi terhadap radiasi.

2.6 Mekanisme Perbaikan DNA Akibat Radiasi Sinar Ultraviolet


1. Fotoreaktivitas Dimer Pirimidin
Sistem perbaikan DNA ini disebut fotoreaktivitas dimer pirimidin karena pada proses
perbaiakan ini membutuhkan cahaya. Melalui proses perbaikan tersebut dengan bantuan
cahaya yang kelihatan dalam rentang panjang gelombang 320-370 nm (cahaya biru), dimer
timin (atau dimer pirimidin lain) langsung berbalik putih menjadi bentukan semula.
Fotoreaktivasi itu dikatalisis oleh enzim fotoliase, atau photoreactivating enzime (PRE).
Enzim tersebut dapat menyingkirkan dimer pirimidin jika diaktivasi oleh foton (Russel,
1992). Contoh bagan fotoreaktivasi itu ditunjukkan melalui bagan berikut:
46

Gambar 2.8 Pembelahan Dimer Timin yang diaktivasi oleg enzim fotoliase
(Sumber: Snustad, 2012).
2. Perbaikan Melalui Pemotongan
Perbaikan ini disebut dark repair karena tidak membutuhkan cahaya. Perbaikan dark
repair ini pertama kali ditemukan pada Esherichia coli. Distorsi heliks DNA dapat ditemukan
oleh enzim endonuklease uvr ABC. Enzim tersebut dapat memotong unting DNA yang rusak
akibat pembentukan dimer pirimidin. Pemotongan nukleotida oleh enzim ini biasanya
sepanjang 12 nukleotida. Setelah pemotongan, celah DNA yang terbentuk selanjutnya
mengalami polimerasi DNA yang dikatalis oleh enzim polimerase DNA sehingga penggalan
DNA baru terbentuk dan akhirnya disambungkan ke celah tadi menggunakan enzim ligase
(Russel, 1992).
Proses ini juga memperbaiki dimer pirimidin yang terbentuk akibat induksi cahaya
UV yang ditemukan oleh R.P Boyce dan P.Howard-Flanders serta oleh R. Setlow dan W.
Carrier yang mengisolasi beberapa mutan E.Coli yang sensitif terhadap UV. Sesudah radiasi
UV, mutan-mutan (uvr A: UV repair) memperlihatkan laju mutasi dalam gelap lebih tinggi
daripada yang normal. Mutan uvr A memperbaiki dimer hanya dengan batuan cahaya. Dalam
hal ini wild-type dari mutan uvr A disebut uvr A+. Wild type dari mutan ini memperbaiki
dimer dalam gelap (Gardner, et al., 1991).

3 Kerangka Konseptual
47

Kerangka konseptual yang dibuat bertujuan untuk mempermudah peneliti atau


pembaca dalam memahami pengaruh lama penyinaran sinar ultraviolet dan jenis persilangan
terhadap jumlah penetasan telur Drosophila melanogster.

Radiasi Sinar UV

Telur D. melanogaster

Fase embrio lebih rentan terhadap perubahan lingkungan

Sensitivitas dan viabilitas telur tiap strain berbeda-beda dan lama penyinaran
UV berbeda

UV dapat menyebakan mutasi sehingga telur tidak menetas

Pengaruh macam strain dan lama radiasi utraviolet terhadap persentase


penetasan telur Drosophila melanogaster
hasil persilangan N>< N dan w ><w

2.8 Hipotesis
Penelitian ini memiliki hipotesis, yaitu:
a. Ada pengaruh lama radiasi ultraviolet terhadap persentase penetasan telur D.
melanogaster hasil persilangan N >< N dan w ><w.
b. Ada pengaruh macam strain terhadap persentase penetasan telur D. melanogaster
hasil persilangan N >< N dan w ><w.
c. Ada pengaruh interaksi antaran lama penyinaran ultraviolet dan macam strain
terhadap persentase penetasan telur D. melanogaster
48

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Rancangan pada penelitian ini adalah penyinaran sinar ultraviolet pada telur hasil
persilangan Drosophila melanogaster sesama strain N>< N dan w ><w. Terdapat 5
macam perlakuan dengan lama penyinaran waktu yang berbeda yaitu 0 menit, 3 menit, 6
menit, 9 menit, dan 12 menit. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sesuai perhitungan:
P = perlakuan = 5
S = strain =2
t=pxs =10
r = repeat
(t-1)(r-1) 15
(10-1)(r-1) 15
9r-9 15
9r 26
R 26/9
r 2,888 dibulatkan menjadi 3
Perhitungan telur dilakukan setiap hari selama 7 hari berturut-turut setelah
perhitungan telur awal dan perlakuan. Jumlah telur yang menetas dijumlah kemudian dibuat
grafiknya dan dianalisis.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


49

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetika gedung O5 lantai III ruang 310
Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri
Malang mulai tanggal 20 Februari 2017 sampai 12 April 2017.

3.3 Populasi dan Sampel


Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Drosophila melanogaster yang
telah dibiakkan di Laboratorium Genetika Jurusan Biologi FMIPA UM. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Drosophila melanogaster strain N dan w yang telah
dibiakkan di Laboratorium Genetika Jurusan Biologi FMIPA UM.
19

3.4 Variabel Penelitian


Variabel dari penelitian ini yaitu:
1. Variabel kontrol : Kondisi medium, suhu, intensitas cahaya, panjang
gelombang UV, dan jumlah pasangan lalat yang
disilangkan.
2. Variabel bebas : Lama penyinaran sinar UV yakni 0 menit, 3 menit,
6 menit, 9 menit dan 12 menit, dan strain
D. Melanogaster N dan w.
3. Variabel terikat : Jumlah telur yang menetas menjadi larva.

3.5 Alat dan Bahan


Alat:
Botol selai Kardus
Kertas pupasi Cutter
Blender Gelas Arloji
Panci Pinset
Pisau Alat Tulis
Timbangan UV Stelizer
Pengaduk Mikroskop stereo
Selang dengan kassa pada
bagian tengah
Kasa

Bahan:
50

D. melanogaster strain N dan w Ragi


Pisang Rajamala Alkohol 70%
Tape Singkong Tissue
Gula Merah Kapas
Kertas pupasi Gabus penutup 3.7 Prosedur

Kertas label Plastik 1. Pengamat


an Fenotip
a) D. melanogater stain N dimasukkan ke dalam plastik.
b) Mengamati menggunakan mikroskop stereo. Hal yang diamati meliputi: warna mata,
faset mata, sayap, dan warna tubuh.
c) Melakukan pengamatan yang sama pada D. melanogater stain w.
2. Pembuatan medium
a) Menimbang bahan berupa pisang, tape singkong, dan gula merah dengan perbandingan
7:2:1 untuk satu resep, yaitu 700 gram pisang, 200 gram tape singkong, dan 100 gram
gula merah.
b) Memotong-motong gula merah dan pisang rajamala yang telah dikupas.
c) Membersihkan tape singkong dari serat-seratnya.
d) Memblender pisang dan tape singkong dengan menambahkan air secukupnya sampai
halus, sementara gula merah yang telah dipotong-potong dipanaskan dengan air sampai
larut.
e) Setelah halus, adonan pisang dan tape singkong tersebut dimasukkan ke dalam panci
ditambahkan dengan gula merah yang terlarut dan air secukupnya.
f) Adonan dimasak selama 45 menit untuk satu resep. Jika lebih dari satu resep, adonan
dimasak selama satu jam.
g) Setelah 45 menit (atau satu jam), adonan medium dimasukkan ke dalam botol selai dan
segera ditutup dengan spon.
h) Medium didinginkan.
i) Menambahkan 3-5 butir ragi ke dalam medium serta memberi kertas pupasi.
j) Setelah medium dalam botol selai sudah dingin, botol selai dibersihkan dari uap.
3. Peremajaan stok
a) Menyiapkan botol berisi medium terlebih dahulu.
b) Memindahkan D. melanogaster kedalam botol yang berisi medium dengan
menggunakan selang.
51

c) Memasukkan pada tiap botol menimal 3 pasang D. melanogaster sesuai strain yang
akan diremajakan.
d) Memberi label botol medium sesuai nama strain dan tanggal peremajaan.
4. Pengampulan
a) Menyiapkan selang ampul dengan panjang 8cm dan gabus penutup untuk menutupi
kedua sisi lubang.
b) Mengiris pisang Rajamala dengan diameter seukuran selang ampul dan tinggi 1cm.
Bisa langsung dicetak dengan menggunkan selang. Pisang diletakkan ditengah selang.
c) Memasukkan Pupa yang sudah hitam di kedua sisi selang kemudian selang ditutup
dengan gabus.
d) Memberikan identitas berupa macam strain dan tanggal pengampulan.
e) Menyilangkan lalat yang menetas bisa langsung (maksimal dalam selang ampul hanya
2 hari).
5. Persilangan
a) Mensterilkan botol selai menggunakan alkohol 70% dan gabus penutup distrerilakn
diatas uap air.
b) Mengiris pisang Rajamala dengan tinggi 1cm tanpa mengupas kulitnya. Setelah itu
dimasukkan ke dalam botol selai.
c) Memasukkan strain N >< N dan w ><w sebanyak 3 pasang dalam satu botol.
d) Setelah tiga hari penyilangan, lalat dikeluarkan dari dalam botol.
e) Telur yang terdapat pada pisang dihitung dengan menggunakan mikroskop stereo.
Jumlah awal telur dicatat pada buku jurnal.
6. Penyinaran UV
a) Mensterilkan alat penyinaran UV, pinset dan gelas arloji terlebih dahulu dengan
menggunakan alkohol 70%.
b) Memanasi alat UV 1 jam sebelum perlakuan.
c) Memasukkan irisan pisang diletakkan di gelas arloji kemudian ke kotak penyinaran.
d) Variasi lama penyinaran dilakuakan selama 0 menit, 3 menit, 6 menit, 9 menit, dan 12
menit.
e) Setelah selesai penyinaran, irisan pisang dikembalikan kedalam botol selai.
f) Larva dari telur yang menetas dihitung selama 7 hari.
7. Perhitungan telur yang menetas
a) Menghitung telur yang menetas 1 hari setelah dihitung telur awalnya dan diberi
perlakuan UV, hal ini dilakukan berturut-turut selama 7 hari.
52

b) Memasukkan data berupa jumlah larva yang menetas kedalam data pengamatan.
c) Melepas larva yang menetas dari medium tersebut.

3.8 Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan cara menghitung jumlah
telur lalat mula-mula setelah 3 hari dari persilangan 3 pasang lalat dengan strain yang sama,
kemudian menghitung jumlah seluruh telur yang menentas hingga hari ke tujuh.
4.1 Format tabel data pengamatan.
Jumlah
Lama Tanggal
Sebelum Jumlah Sesudah Perlakuan Jumlah
Penyinaran Penyinaran
Ulangan Persilangan (Menit) UV Perlakuan H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 Total

9
N ><
N 12

9
w ><
I w 12

9
N ><
N 12

0
w ><
II w 3
53

12

9
N ><
N 12

9
w ><
III w 12

Persilangan Perlakuan Jumlah telur


UV U1 U2 U3
(menit) awal akhir awal akhir awal akhir
N ><N 0
2
4
6
8
w ><w 0
2
4
6
8
54

4. Teknik Analisis Data


Data dianalisis dengan uji statistik Analisis varian ganda dalam rancangan (RAK).
Jika F hitung lebih kecil dari F tabel maka hipotesis penelitian ditolak dan jika F hitung lebih
besar dari F tabel maka hipotesis diterima. Jika hasilnya signifikan maka dilanjutkan uji
lanjutan Beda Nyata Terkecil (BNT), pada taraf signifikansi 0,05.

BAB IV
DATA DAN ANALISIS

5.1 Data
Drosophila melanogaster yang digunakan dalam proyek ini adalah strain N dan w
dengan fenotip sebagai berikut:
Strain N Strain w
Warna mata merah Warna mata putih
Faset mata halus Faset mata halus
Warna tubuh kecoklatan Warna tubuh kecoklatan
Bentuk sayap menutupi tubuh Bentuk sayap menutupi tubuh
secara sempurna secara sempurna
55

Pembeda antara D. melanogaster jantan dan betina


Jantan :
Memiliki tubuh lebih kecil dibandingkan dengan betina
Terdapat bintik hitan pada bagian ujung abdomen.
Betina :
Memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan jantan.
Tidak terdapat bintik hitam pada bagian ujung abdomen.

Jenis Perlakuan Total


Jumlah telur menetas
Persilangan Penyinatan perlakuan
Strain UV (menit) U1 U2 U3 kombinasi

0 96 98 80 274
3 59 64 49 172
N ><N 6 48 67 45 160
9 37 55 41 133
12 50 39 41 130
56

0 93 90 65 248
3 64 53 54 171
w >< w 6 38 49 49 136
9 25 52 65 142
12 57 37 39 133
Total Kelompok/ulangan 567 604 528 1699
Perhitungan Jumlah Kuadrat :
1. Faktor Koreksi (FK)
(1699)2
FK =
30
2886601
= 30

= 96220,033

2. JK Total
JK Total = (96)2+(98)2+(80)2+.............+(98)2 FK
= 106527 - 96220,033
= 10306, 967

3. JK Ulangan
(567)2 +(604)2 +(528)2
JK Ulangan = FK
10
965089
= 10
FK

= 96508,9 96220,033
= 288,867

4. JK Perlakuan Kombinasi
(274)2 +(172)2 + +(133)2
JK Per.Komb = FK
3
311943
= FK
3

= 103981 - 96220,033
= 7760,967

5. JK Galat
JK Galat = JK Total JK Ulangan JK Perlakuan Kombinasi
57

= 10306, 967 - 288,867 - 7760,967


= 2257,133
Tabel Dua Arah
Jenis Perlakuan lama Penyinaran UV
Persilangan Total Strain
0 3 6 9 12
Strain
N ><N 274 172 160 133 130 869
w ><w 248 171 136 142 133 830
Total
Perlakuan 522 343 296 275 263 1699
sinar UV

6. JK Jenis Strain
(869)2 +(830)2
JK S = FK
5x3
1444061
= FK
15

= 96270,733 - 96220,033
= 50,7

7. JK Lama Penyinaran UV
(522)2 +(343)2 +(296)2 ++(275)2 +(263)2
JK UV = FK
2x3
622543
= FK
6

= 103757,168 96220,033
= 7537,133

8. JK Interaksi Strain Lama Penyinaran UV


JK Interaksi = JK Perlakuan Kombinasi JK S JK UV
= 7760,967 50,7 7537,133
= 173,133

SK db JK KT F hitung F0,05 F0,01


58

Ulangan 2 288,867 144,433


Perlakuan
9 7760,967 862,329
Komb.
S 1 50,7 50,7 0,40432 4,41387 8,28542
UV 4 7537,133 1884,283 15,02663 2,92774 4,57904
S-UV 4 173,133 43,283 0,34517 2,92774 4,57904
Galat 18 2257,133 125,396
Total 29 10306,967 355,413

Rujukan :
1. F tabel 0,05
a. F Hitung S (0,40432) < F0,05 (4,41387), H0 diterima, hipotesis penelitian
ditolak berarti macam strain tidak berpengaruh terhadap persentase penetasan
telur D. melanogaster hasil persilangan strain N >< N dan w ><w
b. F Hitung UV (15,02663) > F0,05 (2,92774), H0 ditolak, hipotesis penelitian
diterima berarti lama radiasi sinar ultraviolet berpengaruh terhadap persentase
penetasan telur D. melanogaster hasil persilangan strain N >< N dan w
><w
c. F Hitung S UV (0,34517) < F0,05 (2,92774), H0 diterima, hipotesis
penelitian ditolak berarti Interaksi antara lama radiasi ultraviolet terhadap jenis
strain D. melanogaster tidak berpengaruh terhadap persentase penetasan telur
D. melanogaster hasil persilangan strain N >< N dan w ><w

2. F tabel 0,01
a. F Hitung S (0,40432) < F0,05 (8,28542), H0 diterima, hipotesis penelitian
ditolak berarti macam strain tidak berpengaruh terhadap persentase penetasan
telur D. melanogaster hasil persilangan strain N >< N dan w ><w
b. F Hitung UV (15,02663) > F0,05 (4,57904), H0 ditolak, hipotesis penelitian
diterima berarti lama radiasi sinar ultraviolet berpengaruh terhadap persentase
59

penetasan telur D. melanogaster hasil persilangan strain N >< N dan w


><w
d. F Hitung S UV (0,34517) < F0,05 (4,57904), H0 diterima, hipotesis
penelitian ditolak berarti tidak ada interaksi antara lama radiasi ultraviolet dan
jenis strain D. melanogaster terhadap persentase penetasan telur D.
melanogaster hasil persilangan strain N >< N dan w ><w
UJI Lanjut BNT
2KTGalat
1. Nilai BNT 0,05 UV = t0,05(db galat=18) x rxs

2x125,39630
= 2,101 x 3x2

= 2,101 x 6,465
= 13,583
2KTGalat
2. Nilai BNT 0,01 UV = t0,01(db galat=18) x rxs

2x125,39630
= 2,878 x 3x2

= 2,878 x 6,465
= 18,609
UV Total Rerata Notasi BNT 0,05 Notasi BNT 0,01
12 263 43,8333333 a a
9 275 45,83333333 a a
6 296 49,33333333 a a
3 343 57,16666667 a a
0 522 87 b b

Kesimpulan dari Uji BNT:


5. Lama radiasi sinar ultraviolet berpengaruh terhadap persentase penetasan
telur D. melanogaster hasil persilangan strain N >< N dan w ><w.
Perlakuan interval 0 menit menghasilkan rerata penetasan telur Drosophila
melanogaster paling besar dan berbeda nyata dengan perlakuan interval
waktu lainnya
6. Macam strain tidak berpengaruh terhadap persentase penetasan telur D.
melanogaster hasil persilangan strain N >< N dan w ><w.
7. Tidak ada interaksi antara lama radiasi ultraviolet dan jenis strain D.
melanogaster terhadap persentase penetasan telur D. melanogaster hasil
persilangan strain N >< N dan w ><w.

1
61

BAB V
PEMBAHASAN

Pada dasarnya peristiwa mutasi dapat terjadi secara spontan dan terinduksi.
Mutasi spontan terjadi tanpa adanya penyebab yang jelas, sedangkan mutasi
terinduksi terjadi karena adanya agen mutagen seperti radiasi sinar X, sinar
ultraviolet dan bahan kimia yang beraksi dengan DNA (Gardner, dkk, 1991).
Dalam penelitian ini digunakan sinar ultraviolet yang berperan sebagai faktor
penyebab mutasi terinduksi dalam lingkungan yang bersifat fisik. Kemudian
menurut Corebima (2000) yang menyatakan bahwa penggunaan sinar ultraviolet
dimaksudkan karena radiasi sinar tersebut memiliki panjang gelombang 254-269
nm yang dapat diserap secara maksimal oleh DNA. Dari pernyataan tersebut
semakin jelas bahwa penggunaan sinar ultraviolet lebih efektif dibandingkan
dengan jenis sinar-sinar yang lain dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini digunakan telur Drosophila melanogaster dan bukan
tahapan lain dari proses metamorfosis lalat buah seperti fase larva, pupa dan
imago karena telur adalah salah satu tahapan dimana sel-selnya pada saat itu aktif
membelah dan tumbuh sehingga memiliki tingkat sensitivitas yang sangat tinggi
jika terpapar sinar ultraviolet. Pernyataan tersebut ditambah oleh Barror (1992)
yang menyatakan bahwa telur Drosophila melanogaster dilapisi oleh dua lapisan,
yaitu satu selaput vitellin tipis yang mengelilingi sitoplasma dan suatu selaput
tipis tapi kuat (khorion) dibagian luar dan di anteriornya terdapat dua tangkai tipis
sehingga memungkinkan sinar ultraviolet dapat menembus lapisan tersebut.
Kemudian didukung oleh pendapat Suryo (1998) bahwa dalam kurun waktu 2 hari
setelah persilangan, Drosophila melanogaster betina akan menghasilkan telur
sebanyak 50-75 telur perhari. Secara otomatis dengan jumlah telur yang banyak
akan semakin memudahkan penelitian yang ada.

A. Lama Penyinaran Ultraviolet Berpengaruh terhadap Persentase


Penetasan Telur Drosophila melanogaster
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan untuk mengetahui ada atau
tidaknya pengaruh lama penyinaran UV terhadap persentase penetasan telur

35
62

Drosophila melanogaster, diperoleh hasil F hitung penyinaran UV (15,02663) > F


tabel 0,05 (2,928) maka Ho ditolak, Hipotesis penelitian diterima. Artinya lama
radiasi sinar UV berpengaruh terhadap persentase penetasan telur D.
melanogaster. Berdasarkan data yang didapat diketahui bahwa jumlah persentase
telur yang menetas pada perlakuan UV 0 ,3, 6, 9, dan 12 menit terdapat perbedaan
persentase penetasannya. Adanya variasi lama waktu penyinaran ini bertujuan
untuk melihat pengaruh lama radiasi sinar UV terhadap persentase telur yang
menetas pada masing-masing strain. Dapat diketahui bahwa pada perlakuan UV 0
menit menghasilkan rerata penetasan telur Drosophila melanogaster paling besar
dan berbeda nyata dengan perlakuan interval waktu lainnya. Hal ini disebabkan
karena pada perlakuan kontrol, telur tidak mengalami mutasi akibat dari radiasi
sinar UV. Sedangkan jika dilihat dari perlakuan UV 12 menit tampak sangat
berbeda hasilnya dengan perlakuan UV 0 menit dimana pada perlakuan ini
menghasilkan rerata penetasan telur paling rendah dikarenakan telur mendapatkan
paparan sinar UV dalam waktu yang cukup lama.
Hasil dari penelitian tersebut diketahui bahwa berbanding lurus dengan
teori yang ada. Berdasarkan penelitian Sa'adah (2000) tentang pengaruh radiasi
sinar ultraviolet terhadap penetasan telur yang menyatakan bahwa radiasi sinar
UV yang diberikan pada telur Drosophila melanogaster dapat mempengaruhi
jumlah penetasan telur. Hal tersebut terkait dengan sensitivitas telur terhadap
radiasi sinar ultraviolet yang berkenaan dengan adanya kerusakan materi genetik
akibat perlakuan yang diberikan. Telur yang tidak dapat menetas adalah telur yang
memiliki sensitivitas tinggi terhadap radiasi sinar ultraviolet dan kerusakan materi
yang terjadi belum dapat diperbaiki.
Pada dasarnya radiasi sinar ultraviolet memiliki bentuk radiasi non
pengion yang dapat meningkatkan reaktifitas molekul DNA. Reaktifitas molekul
DNA meningkat disebabkan karena sinar UV membebaskan energinya kepada
atom-atom yang dijumpai sehingga dapat meningkatkan elektron-elektron pada
orbit luar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Atom-atom yang memiliki elektron
demikian dinyatakan tereksitasi atau tergiatkan. Molekul yang mengandung atom
yang berada dalam keadaan tereksitasi, secara kimiawi lebih reaktif dibandingkan
molekul yang memiliki atom-atom yang berada dalam keadaan stabil. Reaktivitas
63

yang meningkat dari atom-atom pada molekul DNA merupakan dasar dari efek
mutagenik radiasi sinar UV(Gardner, dkk, 1991).
Kemudian terdapat pendapat yang mendukung hasil penelitian yaitu
pernyataan dari Hamid (2009) yang mengatakan bahwa sinar ultraviolet dapat
menghasilkan pengaruh, baik letal maupun mutagenik, pada semua jenis virus dan
sel. Pengaruh ini disebabkan oleh terjadinya perubahan kimia pada basa DNA
akibat absorpsi energi dari sinar tersebut. Pengaruh terbesar yang ditimbulkan
oleh radiasi sinar UV adalah terbentuknya pirimidin dimer, khususnya timin
dimer, yaitu saling terikatnya dua molekul timin yang berurutan pada sebuah untai
DNA. Dengan adanya timin dimer, replikasi DNA akan terhalang pada posisi
terjadinya timin dimer tersebut.
Timin dimer ini menimbulkan mutasi secara tidak langsung yaitu
dengan cara menggangu double helix DNA serta menghambat pembentukan
replikasi DNA. Dalam hubungannya dengan molekul DNA, senyawa yang
paling utama adalah purin dan pirimidin, karena kedua senyawa tersebut menyerap
cahaya pada panjang gelombang 254-269 nm yang merupakan panjang gelombang
dari sinar UV. Pirimidin terutama timin sangat kuat menyerap sinar pada panjang
gelombang 254 nm sehingga menjadi sangat reaktif. Unting dan perlengkapan
sintesis unting DNA maupun RNA menjadi terhalang dengan adanya tapak-tapak
yang ditempati dimer tadi. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya keletalan apabila
tidak ada perbaikan(Saadah, 2000).
Mekanisme mutasi pada telur Drosophila melanogaster setelah terpapar
sinar ultraviolet menyabakan ketidaknormalan pada telur tersebut. Berikut ini
penjelasan M. Bownes dan K. Sander pada tahun 1976, tentang perkembangan
embrio Drosophila melanogaster setelah terpapar sinar ultraviolet :
1. Setelah terpapar sinar ultraviolet, nukleus sel telur tidak bisa bermigrasi ke
area yang terpapar radiasi UV, sehingga menyebabkan blastoderm hanya
terbentuk pada daerah posterior telur saja.
2. Karena balstoderm hanya terbentuk pada bagian posterior sacara otomatis
pembentukan blastoderm pada daerah anterior terhambat
3. Ketika efek dari paparan sianr ultraviolet berhenti, inti sel bermigrasi
menuju daerah yang mengalami radiasi ultraviolet namun blastoderm tetap
64

tidak terbentuk di daerah tersebut. Karena nantinya blastoderm ini akan


bergerak untuk membentuk lapisan blastoderm yang lengkap.
4. Dalam proses pembentukan lapisan blastoderm yang lengkap,tentunya
dibutuhkan energi dan untuk menfasilitasi hal tersebut maka dilakukan
pemotongan sebagian kecil yolk dalam prosesnya. Hal ini menyebabkan
pembentukan kepala embrio yang abnormal dan bagian mulut tidak
terbentuk.
Jadi dapat diartikan bahwa lama penyinaran UV berpengaruh pada
perkembangan embrio, khususnya pada saat terjadi pembentukan blastoderm.
Embrio yang memiliki viabilitas rendah dan sensibilitas tinggi terhadap sinar UV
akan mengalami kerusakan yolk, yang akhirnya akan membuat embrio tersebut
cacat dan tidak bisa menetas menjadi larva.
Akan tetapi pada saat pengamatan pada perlakuan 3 menit, 6 menit , 9
menit dan 12 menit diketahui ada beberapa telur yang tetap dapat menetas
walaupun diberikan paparan sinar ultraviolet. Hasil tersebut didukung oleh
pernyataan Corebima (2000) yang menyatakan bahwa sebelum terjadi kerusakan
yang parah pada jaringan telur, telah terjadi perbaikan DNA akibat mutasi induksi
yang disebabkan sinar ultraviolet tersebut. Sel-sel prokariot dan eukariot memiliki
sejumlah sistem perbaikan yang berhubungan dengan kerusakan DNA. Semua
sistem itu melakukan perbaikan secara enzimatis. Kerusakan DNA akibat radiasi
sinar ultraviolet dapat diperbaiki antara lain dengan cara fotoreaktivasi dimmer
pirimidin dan perbaikan melalui pemotongan (excision repair).
Melalui proses fotoreaktivasi dimmer pirimidin, bentukan dimmer akan
langsung berbalik menjadi seperti bentukan asli dengan menggunakan bantuan
cahaya pada panjang gelombang 320-370 nm (cahaya biru). Fotoreaktivasi ini
dikatalisasi oleh enzim fotoliase. Enzim fotoliase akan menyingkirkan dimmer
jika diaktivasi oleh suatu foton. Tampaknya, enzim ini berfungsi sebagai
pembersih sepanjang double helix untuk mencari bonggolan yang terbentuk
akibat dimerisasi yang ada. Enzim ini rupanya sangat efektif, karena biasanya
hanya sedikit dimer yang tersisa setelah fotoreaktivasi. Dewasa ini, enzim
fotoliase sudah ditemukan pada berbagai organisme yang pernah dikaji
(Corebima, 2000).
65

Perbaikan melalui pemotongan (excision repair) disebut juga sebagai


perbaikan gelap atau dark repair, karena tidak dibutuhkan cahaya. Proses ini juga
memperbaiki (menghilangkan) dimmer pirimidin yang terbentuk akibat induksi
cahaya ultraviolet (Corebima, 2000). Mekanisme perbaikan ini ditemukan pada
tahun 1964 oleh R. P. Boyce dan P. Howard-Flanders serta oleh R. Setlow dan W.
Carrier. Kelompok-kelompok peneliti itu mengisolasi beberapa mutan E. coli
yang sensitif terhadap ultraviolet. Sesudah radiasi ultraviolet, mutan-mutan
memperlihatkan laju mutasi dalam gelap yang lebih tinggi daripada normal.

B. Perbedaan Jenis Strain Tidak Berpengaruh terhadap Persentase


Penetasan Telur Drosophila melanogaster
Berdasarkan analisis data, macam strain tidak mempengaruhi penetasan
telur D.melanogaster. Hal tersebut dapat dibuktikan dari perhitungan analisis data
yang diperoleh. Pada analisis data diperoleh hasil F hitung (0,40432) < F tabel
(8,28542) maka maka Ho diterima, sedangkan Hipotesis penelitian (H1) ditolak.
Artinya tidak ada pengaruh macam strain terhadap penetasan telur lalat
D.melanogaster. Karena jika dilihat dari persentase telur yang menetas dari strain
N ataupun strain W pada perlakuan sinar ultraviolet 0 menit, 3 menit, 6 menit, 9
menit, maupun yang 12 menit didapatkan hasil persentase penetasan telur yang
tidak berbeda jauh satu sama lain.
Pada penelitian ini, macam strain tidak mempengaruhi persentase
penetasan telur D.melanogaster. Karena kedua jenis strain mengalami penurunan
jumlah penetasan, ditandai dengan jumlah telur yang menetas lebih sedikit dari
jumlah telur awal sebelum perlakuan UV. Menurut Saadah (2000), rendahnya
jumlah penetasan telur serta tingginya tingkat kematian telur D. Melanogaster,
berhubungan dengan sensitivitas telur terhadap radiasi sinar UV. Selain itu,
seperti yang telah dikemukakan oleh Crowder (1990) bahwa embrio lebih sensitif
terhadap perubahan kondisi lingkungannya. Sel yang aktif tumbuh dan membelah
lebih sensitif terhadap radiasi. Dalam hal ini ada kemungkinan bahwa telur yang
berhasil menetas adalah telur yang mempunyai viabilitas cukup tinggi terhadap
radiasi sinar UV. Secara lebih spesifik, sensitivitas telur terhadap radiasi dan
viabilitas telur D. Melanogaster berkaitan dengan perubahan materi genetik akibat
66

radiasi yang diterimanya. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa


sensitivitas telur kedua jenis strain berbeda. Akan tetapi telur kedua jenis strain
sama-sama mudah terpengaruh dengan adanya penyinaran UV
Selain itu, faktor lain yang menyebabkan macam strain tidak berpengaruh
karena pada dasarnya mutasi yang diinduksi oleh sinar ultraviolet terjadi secara
acak. Pernyatan tersebut diperkuat oleh Ayala (1984) yang menyatakan bahwa
mutasi merupakan kejadian yang acak karena tidak ada cara untuk mengetahui
apakah suatu gen tertentu akan bermutasi dan tidak dapat diramalkan individu
mana yang akan mengalami mutasi. Jadi tidak dapat diramalkan macam strain
yang mana yang akan mengalami paling banyak mutasi.

C. Interaksi Antara Lama Penyinaran UV dan Jenis Strain Tidak


Berpengaruh terhadap Persentase Penetasan Telur Drosophila
melanogaster
Berdasarkan analisa data yang menyatakan bahwa F hitung Interaksi
(0,34517) < F Tabel 0,05 (4,57904) yang berarti tidak ada interaksi antara lama
penyinaran dengan macam strain terhadap persentase penetasan telur D.
melanogaster. Hal tersebut karena terjadinya mutasi tidak terarah dan terjadi
secara acak. Pernyataan tersebut disempurnakan oleh Corebima (2000:38) bahwa
tidak ada cara untuk mengetahui apakah suatu gen tertentu akan bermutasi pada
suatu sel tertentu atau pada suatu generasi tertentu. Untuk suatu gen, kita tidak
bisa meramalkan individu mana yang akan mengalami mutasi dan mana yang
tidak mengalami mutasi. Dalam hal ini, terjadinya mutasi pada telur D.
melanogaster tidak dipengaruhi oleh interaksi antara lama penyinaran dengan
macam strain. Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah telur yang menetas paling
banyak umumnya pada perlakuan UV 0 menit, sedangkan jumlah telur paling
sedikit umumnya pada perlakuan UV 12 menit. Hal tersebut berlaku pada semua
jenis strain baik strain N maupun strain W.
67

BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
1. Lama radiasi sinar ultraviolet berpengaruh terhadap persentase
penetasan telur D. melanogaster hasil persilangan strain N >< N
dan w ><w.
2. Macam strain tidak berpengaruh terhadap persentase penetasan telur
D. melanogaster hasil persilangan strain N >< N dan w ><w.
3. Tidak ada pengaruh interaksi antara lama radiasi ultraviolet dan jenis
strain D. melanogaster terhadap persentase penetasan telur D.
melanogaster hasil persilangan strain N >< N dan w ><w.

6.2 Saran
1. Sebaiknya pada saat penelitian dilakukan dengan sabar, tekun dan teliti
untuk mendapatkan data yang lengkap dan benar.
2. Sterilisasi tempat, medium dan perlakuan harus selalu dijaga agar
terhindar dari kontaminan seperti jamur dan kutu sehingga mendapat
hasil yang akurat.
3. Konsultasi dengan asisten harus sering dilakuakan agar penelitian
berjalan lancar.
4. Sebaiknya perlu diperhatikan ketelitian dalam menghitung jumlah telur
awal dan larva yang menetas selama tujuh hari

41

Anda mungkin juga menyukai