Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Pantun 1

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berpantun merupakan salah satu kebudayaan yang harus kita
lestarikan. Pantun dikategorikan sebagai puisi lama. Dalam pantun banyak
hal yang bermanfaat sebagai perenungan hidup. Namun, ada juga pantun
yang bersifat menghibur, yaitu pantun jenaka.
Mungkin, hampir seluruh masyarakat Indonesia mengetahui
tentang yang namanya pantun. Tapi banyak juga di antara kita yang belum
mengenal pantun secara menyeluruh ataupun lebih mendalam. Yang
diketahui sebagian orang hanyalah terdiri dari 4 baris, sudah seperti itu saja.
Karena sebagian orang menganggap bahwa pembelajaran ataupun materi
pembahasan tentang pantun tidaklah terlalu penting untuk dipelajari.
Mereka beranggapan bahwa materi itu hanyalah pembahasan yang tidak
enak dan tidak menyenangkan. Padahal pantun ini adalah salah satu jenis
karya sastra yang begitu populer di kalangan masyarakat Indonesia, tidak
heran sudah berjuta-juta orang membuat pantun yang beraneka ragam,
unik dan menarik.
Di Indonesia pantun banyak dikenal masyarakat. Dalam pelaksanaan
adat, pantun masih digunakan, misalnya, adat perkawinan masyarakat
Betawi. Beradu pantun masih digunakan dalam upacara palang pintu ketika
akan menemui mempelai perempuan di rumahnya. Namun, sayangnya
banyak generasi penerus bangsa yang tidak mengetahui tentang pantun.
Pantun merupakan sastra lisan yang dibukukan pertama kali oleh
Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau, seorang sastrawan yang hidup sezaman
dengan Raja Ali Haji. Antologi pantun yang pertama itu
berjudul Perhimpunan Pantun-pantun melayu. Genre pantun merupakan
genre yang paling bertahan lama. Selain pantun, masih ada bentuk puisi
lama lainnya, seperti pantun kilat (karmina), talibun, seloka, gurindam, dan
syair.
Pantun sudah dikenal masyarakat Indonesia sejak dahulu. Misalnya,
wawangsalan, paparikan, sisindiran, sesebred dalam masyarakat sunda;
pantun ludruk, dan gandrung dalam masyarakat jawa; serta ende-ende
dalam masyarakat Mandailing. Bahkan, di sebagian daerah Sumatera,
masyarakat Minangkabau menggunakan pantun sebagai pembuka acara di
perayaan-perayaan. Selain dibaca, pantun juga kerap dinyanyikan.
Pada dasarnya, pantun merupakan sebuah karya sastra yang
mengikuti aturan persajakan. Jadi, ketika membuat pantun, kamu terikat
dengan aturan ada, sehingga akan dihasilkan pantun yang indah dan
bersajak.

1
B. Rumusan Masalah
1) Apakah pengertian pantun?
2) Apa sajakah jenis-jenis pantun?
3) Bagaimana karakteristik dan struktur pantun?
4) Apa fungsi pantun?
5) Apa saja pantun-pantun khas Indonesia?
6) Bagaimanakah ciri-ciri pantun?
7) Apa saja syarat-syarat pantun?
8) Bagaimana cara berbalas pantun?

C. Tujuan Penulisan Makalah


 Tu j u a n U m u m
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata pelajaran
Bahasa Indonesia di kelas IX-F.

 Tu j u a n K h u s u s
1. Mengetahui pengertian pantun.
2. Mengetahui jenis- jenis pantun
3. Mengetahui karakteristik pantun.
4. Mengetahui fungsi pantun.
5. Mengetahui ciri-ciri pantun.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pantun adalah
bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap bait (kuplet) biasanya terdiri atas
empat baris yang bersajak (a-b-a-b), tiap larik biasanya terdiri atas empat
kata, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk tumpuan (sampiran)
saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi.
Dalam pengertian umum, pantun merupakan salah satu bentuk
sastra rakyat yang menyuarakan nilai-nilai dan kritik budaya masyarakat.
Pantun adalah puisi asli Indonesia (Waluyo,1987). Pantun juga terdapat
dalam beberapa sastra daerah di Indonesia seperti “parika” dalam sastra
jawa atau “paparikan” dalam sastra sunda. Orang yang pertama kali
membentangkan pikiran dari hal pantun Indonesia ini adalah H.C. Klinkert
dalam tahun 1868. Karangannya bernama “De pantuns of minnenzangen
der Maleier”.Sesudah itu datang Prof. Pijnapple; juga beliau memaparkan
pikirannya dari hal ini dalam tahun 1883. Pantun tepat untuk suasana
tertentu, seperti halnya juga karya seni lainnya hanya tepat untuk suasana
tertentu pula.

2
2.2 Jenis-jenis
Di Indonesia, terdapat berbagai macam pantun. Ada pantun yang
berisi nasihat ada juga pantun yang berisi komedi sehingga orang akan
tersenyum-senyum ketika mendengarnya.
Menurut jenisnya pantun dibagi menjadi 3, yaitu: pantun tua,
pantun muda dan pantun anak-anak.
1. Pantun tua
Terdiri atas 3 macam, yaitu sebagai berikut:
a. Pantun nasihat
b. Pantun adat
c. Pantun agama

Contoh pantun tua:


Asam kandis asam gelugur
Kedua asam riang-riang
Menangis mayat di pintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang

2. Pantun muda
Ada 4 macam, yaitu sebagai berikut:
a. Pantun nasib
b. Pantun berhubungan (perkenalan, bekasih-kasihan, perceraian,
beriba hati)
c. Pantun jenaka
d. Pantun teka-teki

Contoh pantun muda:


Dari mana hendak ke mana
Dari Malang ke Pasuruan
Kalau kami boleh bertanya
Apa boleh kami kenalan

3. Pantun anak-anak
Terdiri dari 2 macam, yaitu sebagai berikut:
a. Pantun bersuka ria
b. Pantun bersedih hati

Contoh pantun anak-anak:


Di bawa itik pulang kandang
Kandang berada di kebun teh
Tentu saja hatiku senang
Ibu pulang membawa oleh-oleh

Pantun digunakan untuk menyatakan segala perasaan atau curahan


hati, baik untuk menyatakan perasaan senang, sedih, cinta, benci, jenaka
maupun untuk menyatakan nasihat, agama, adat, dan sebagainya.

3
2.3 Karakteristik dan Struktur Pantun
A. Karakteristik
Pantun salah satu puisi lama yang dikenal luas dalam Bahasa-
bahasa Nusantara. Misalnya, dalam Bahasa Jawa, pantun dikeal sebagai
parikan dan dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan. Lazimnya,
pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan),
bersajak akhir dengan pola a-b-a-b (tidak boleh a-a-a-a, a-a-b-b, atau a-
b-b-a). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan, tetapi sekarang
dijumpai juga pantun yang tertulis.
Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi.
Sampiran ialah dua baris pertama. Sampiran kerap kali berkaitan dengan
alam (mencirikan budaya agraris masyarakan pendukungnya). Selain
untuk mengantarkan rima/sajak, sampiran biasanya tidak mempunyai
hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud. Dua baris
terakhir dalam pantun merupakan isi, yang merupakan tujuan dari
pantun tersebut.
Karmina dan talibun merupakan bentuk kembangan pantun,
dalam artian memiliki bagian sampiran dan isi. Karmina merupakan
pantun “versi pendek’’ (hanya dua baris), sedangkan talibun adalah
“versi panjang’’ (enam baris atau lebih).

B. Struktur Pantun
Menurut Sultan Takdir Alisjahbana, fungsi sampiran terutama
menyiapkan rima dan irama. Menurutnya, sampiran berperan untuk
mempermudah pendengar memahami isi pantun. Hal itu, dapat
dipahami karena pantun merupakn sastra lisan. Meskipun pada
umumnya sampiran tak berhubungan dengan isi, tetapi terkadang
bentuk sampiran membayangkan isi. Sebagai contoh dalam pantun ini:

Air dalam bertambah dalam


Hujan di hulu belum lagi teduh
Hati dendam bertambah dendam
Dendam dahulu belum lagi sembuh

Beberapa sarjana Eropa berusaha mencari aturan dalam pantun


maupun puisi lama lainnya. Misalnya satu larik pantun biasanya terdiri
atas 4-6 kata dan 8-12 suku kata. Namun, aturan ini tak selalu berlaku.

C. Peran Pantun
Sebagai alat pemelihara Bahasa, pantun berperan sebagai
penjaga fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berpikir. Pantun
melatih seseorang berpikir tentang makna kata sebelum berujar. Ia
juga melatih orang berpikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki
kaitan dengan kata yang lain.
Namun, secara umum peran sosial pantun ialah sebagai alat
penguat penyampaian pesan.Secara sosial pantun memiliki fungsi
pergaulan yang kuat, bahkan hingga saat ini.
4

4
2.4 Fungsi Pantun
Puisi atau sajak, atau pantun, atau pantun, atau bentuk sastra
nonprosa pada umumnya (gurindam, talibun, sonata, tersina, stansa,
kwatrin, septima;asli maupun impor) sering dianggap sebagai pilar
bahasa, atau saripati dari kebudayaan kata. Puisi lebih dari sekadar
alat komunikasi atau sarana untuk menyampaikan informasi. Di
dalamnya ada kekuatan magis dari kata dan bunyi. Oleh karena itu,
pantun sering dipakai untuk menenangkan massa, menyihir manusia,
membungkam ula, memanggil hujan, bahkan mengantarkan arwah
kea lam baka.
Fungsi-fungsi pantun dan puisi konvensional pada ummnya
cukup luas, meskipun jarang diakui. Pertama adalah sebagai
pengawal pola berpikir. Keteraturannya, pola, rima dan estetikanya
mendorong pemakai Bahasa berhati-hati dalam bicara. Minimal
berpikir terlebih dahulu sebelum diucapkan, dan bukan sebalik.
Untuk itu, jangan heran jika ada pendapat bahwa pantun bisa
mendorong masyarakat berbicara lebih sopan dan lebih berbudi
pekerti.
Fungsi-fungsi ini bisa diperluas. Diantaranya sebagai alat
pergaulan, media menyampaikan nasihat, pujian, doa-doa,
penghargaan, ataupun kritik sosial. Khusus untuk pantun, kita perlu
mempertimbangkan fungsi terpenting, yaitu untuk menyampaikan
isyarat, contoh:
Asap api embun berderai
Patah galah dalam perahu
Niat hati tidak bercerai
Kehendak allah siapa tahu
Pantun seperti ini menyampaikan berbagai hal sekaligus. Kita
bisa menikmati bahasanya, kosakatanya, iramanya, dan yang penting
kedalaman maknanya. Di mana dan untuk siapakah pantun ini dapat
dibacakan? Kita bisa memberi tafsiran sesuai dengan kebutuhan.
Mungkin pantun itu bisa dibaca dalam upacara pemakaman,
perpisahan, atau sekadar sentilan pada waktu berpamitan.
John Gawa mengumpulkan pantun-pantun buatan sendiri
ataupun kutipan dari berbagai sumber. Ia tidak menjelaskan
bagaimana dan di mana pantun-pantun itu dapat dipergunakan.
Namun, pilihannya banyak, kaya dan beragam. Untuk pantun buatan
sendiri, ia suka membuat judul atau semacam tema. Misalnya ada
tema “Silang Selisih’’.

Atambua di perbatasan
Lososae dan Timor Barat
Dua saudara harus berpisah
Gara-gara ‘jajak pendapat’

Sangat jelas ada fungsi lain dalam penciptaan pantun, yaitu


sebagai media pendidikan dan pencatat sejarah. Secara lebih leluasa,
John Gawa tanpa terbebani akurasi suku kata, rima dan persamaan
5
5
bunyi, tetapi mengedepankan fakta-fakta geografis, kejadian sosial politis, dan
aspirasi pribadi ataupun public. Oleh karena itu, di dalam pantun, kita bisa
menemukan peristiwa Sebelas September (2001) ketika terorisme menyerang
gedung World Trade Center di New York, Amerika Serikat.
Ada banyak masalah kemanusiaan diangkat langsung, baik
untuk sampiran maupun isi pantun. Itulah daya tarik pantun lama
maupun baru pada umumnya. Bahayanya, ada kalanya muncul
pelecehan terhadap etnis, kurang sadar gender dan perlu
peningkatan wawasan multikultural. Pantun memang rawan
terhadap pelesetan, lebih-lebih yang berbau fanatisme, humor fisik,
dan eksploitasi lingkungan. Salah satu contoh karya asli adalah
pantun Cium-Ciuman yang mungkin diharapkan terdengar lucu,
seperti berikut.

Pulau Timor hasil cendana


Potong kayu baunya harum
Nona Timor memang sifatnya
Mahal senyuman walau dicium.

Pantun itu tetap menyampaikan lebih dari sekedar informasi.


Ada hasil cendana di Pulau Timor dan ada tipe perempuan yang tidak
suka senyum sekalipun sudah dicium. Tidak ada pelecehan di sana.
Namun, wawasan gender dan lingkungannya bisa dipertanyakan.
Lebih dari itu, kata “memang sifatnya’’ sangat patut didiskusikan.

2.5 Pantun Indonesia


A. Pantun Nusantara
Pantun merupakan satu jenis puisi dari kesastraan Melayu
Lama dan merupakan puisi asli Indonesia. Tidak hanya masyarakat di
seluruh Nusantara juga mengenal pantun. Hanya saja, sebutan untuk
pantun berbeda-beda.
Misalnya saja masyarakat Batak. Mereka menyebut pantun
dengan sebutan ‘Umpasa’. Di Sunda, orang-orang menyebutnya
‘Paparikan’. Masyarakat Jawa menyebutnya dengan ‘Parikan’. Adapun
masyarakat Toraja menyebut pantun dengan ‘Londe’.
Penyebaran pantun yang sampai ke pelosok Nusantara
membuktikan bahwa pantun merupakan bahwa pantun merupakan
salah satu sastra yang masih hidup dalam kebudayaan Indonesia. Hal
itu juga berarti bahwa pantun masih disukai masyarakat Indonesia
dan merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia.
Isi pantun biasanya mencakup berbagai masalah dalam
kehidupan, misalnya, nasihat, berkasih-kasihan, jenaka, sindiran,
agama dan segala jenis pengalaman manusia. Untuk itu, pantun
mempunyai bermacam-macam jenis.
Berdasarkan isi atau temanya, pantun dibagi menjadi 3
bagian.
1. Pantun anak-anak
2. Pantun orang dewas

6
3. Pantun orang tua
6
Pantun, jika di baca sepintas tidak akan kita pahami
maksudnya, dan tidak dapat kita rasakan keindahnya. Oleh karena itu,
pantun bukan sekadar permainan bunyi atau kata kata, tetapi juga
ditujukan pada pikiran kita. Kita mungkin menganggap pantun tidak
ada artinya, tetapi jika kita pahami, kita akan menemukan banyak
makna dari pantun itu.
Memang, terkadang orang begitu saja menerima pantun,
tanpa mengerti maksud dua baris pertamanya. Seperti yang
dikatakan sultan takdir alisjahbana, bahwa fungsi sampiran (dua baris
pertanyaan) ialah menyiapkan rima (sajak) dan irama. Namun , kita
selalu ingin mencari artinya.
Di Minangkabau, pantun merupakan satu-satunya bentuk
sastra lisan yang dikuasai oleh semua anggota masyarakat, khususnya
masyarakat lampau. Pantun telah mendarah daging dalam kehidupan
masyarakat. Bahkan ada sebuah ungkapan bahwa pada zaman
dahulu, orang minang belum dapat dikatakan orang minang jika tidak
pandai berpantun.
Sebagai pedoman para pelajar, buku kumpulan pantun untuk
SD-SMP karya Inur Hidayah juga menyajikan berbagai ciri-ciri, bentuk-
bentuk, dan jenis-jenis puisi. Semoga buku terbitan Indonesia tera ini
bisa bermanfaat dan mampu mengenalkan pantun sebagai salah satu
puisi melayu lama yang masih hidup dalam kebudayaan Indonesia
sampai sekarang.

B. Pantun Betawi
1. Mengenal Pantun Betawi

Anak Arab pulang ke Arab,


Sampe di Arab maen robane,
Susa duda susa terungkap,
Berak mencret dalem celane

Beberapa bait di atas merupakan kutipan dari lagu pesisiran,


puisi-puisi Betawi karya budayawan Betawi, Ridwan Saidi. Ya, pantun
merupakan kebudayaan Betawi yang diyakini ada sejak ribuan tahun
lalu.
Pada tahun 1930 hingga 1950, pantun digunakan sebagai
potret sosial masyarakat atau ungkapan isi hati. Di tahun 50-an,
banyak bermunculan penyair Betawi, diantaranya Susi Aminah Aziz
dan Tuti Alawiyah. Generasi berikutnya seperti Ridwan saidi, zeffry
Alkatiri, nur Zaen Hae, Ihsan abdul salam, dan Aba mardjani.

Saat ini pantun Betawi masih terdengar di beberapa wilayah


Jakarta. Wilayah tersebut meliputi permukiman masyarakat Betawi
yang mulai terpinggirkan, seperti karawang, Bekasi, Depok, serta

7
tanggerang. Selain daerah tersebut, daerah lain di Jakarta seperti
marundam, tanahabang, condet, pasarminggu, rawabelong,
7
kebonjeruk, dan perkampungan Betawi di jagakarsa juga masih tetap melestarikan
pantun Betawi.
Penggunaan pantun di masyarakat Betawi masih banyak
digunakan saat acara pinangan adat Betawi, lagu khas Betawi,
termasuk beberapa lagu balada yang dinyanyikan seniman tersohor
Betawi, Almahrum Benyamin Sueb.
Seniman Betawi asal Kemayoran, Rachmad Hadi,
mengungkapkan bahwa pantun Betawi memiliki ciri atupun corak
yang tak dimiliki daerah lain, yaitu mengguna Bahasa Betawi. Selain
itu, keunikan pantun Betawi lainnya ialah isinya yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat Betawi, mulai dari adat istiadat,
agama, tingkah laku dan keadaan alam Betawi. Menurut Rachamad,
keunikan yang kentara dalam pantun Betawi ialah syairnya yang
terkesan kocak dan ceplas-ceplos.
Berkenan dengan isi pantun, sejumlah besar isi pantun Betawi
mengungkapkan berbagai nasihat yang berkaitan dengan etika,
moral, adab, sopan santun, dan ajaran-ajaran agama, juga begitu
banyak kritik sosial. Jadi peristiwa apa pun, termasuk penyampaian
pesan dalam diri, dapat disampaikan secara lepas.
Pantun dalam adat Betawi erat kaitannya sebagai
penyampaian pesan dalam peradaban masyarakat sekitar. Hal itu
dapat dilihat dalam pantun yang disampaikan secara berbalas saat
acara pernikahan masyarakat asli Betawi. Pantun yang disampaikan
secara berbalas, lanjut Rachmad, memiliki tujuan dan maksud yang
ingin disampaikan.
Sebagai contoh, pantun berbalas seperti berikut ini.

Kude lumping dari Tanggerang


Kedipan mate cari menantu
Pasang kuping lu terang-terang
Adepin dulu jago gue satu-per satu

Pantun itu sebagai syarat yang diajukan oleh mempelai wanita


dalam menerima pihak mempelai pria. Bisa tidak mempelai pria
menerima syarat itu. Selanjutnya, biasanya mempelai pria akan
membalas pantun dengan bunyi,

Bintang seawan-awan
Aye itungin beribu satu
Berape banyak abang punya jagoan
Aye bakal adepin satu per satu

Pantun di atas menunjukan mempelai pria menyanggupi syarat.


2. Sejarah Pantun Betawi

8
Masuknya pantun ke Betawi dibawa oleh pedagang Gujarat
pada abad ke-15. Saat itu, pantun masih bernafaskan Islami dan
mengandung kaidah-kaidah atau nasihat keagamaan. Barulah
pada abad ke-17 hingga abad ke-18, orang Melayu yang datang ke
Betawi memperkaya khazanah pantun menjadi sebuah syair
ungkapan isi hati.
Selama ratusan tahun berbaur dengan masyarakat Betawi,
akhirnya pantun menjadi sebuah penyampaian karakter
masyarakat Betawi, dengan memodifikasi syair berbahasa Betawi
yang terkesan cuek dan apa adanya. Hingga setelah kemerdekaan,
banyak bermunculan seniman Betawi yang membawa perubahan
isi pantun dengan gaya khas penyampaian masyarakat Betawi.
Perhatikan contoh lagu daerah Betawi Injit-Injit Semut berikut ini!
Jalan-jalan ke tanah Deli
sungguh indah tempat tamasya
kawan jangan bersedih
mari nyanyi bersama-sama
Kalau pergi ke Surabaya
naik perahu dayung sendiri
kalau hatimu sedih
yang rugi diri sendiri

Injit-injit semut
siapa sakit naik diatas
Injit-injit semu
twalau sakit jangan dilepas

Naik perahu ke Pulau Seribu


Sungguh indah Pulau Karang
Sungguh malang nasibku
punya pacar diambil orang

Ramai sungguh bandar Jakarta


tempat orang mengikat janji
walau pacar tak punya
hati senang dapat bernyanyi

Injit-injit semut
siapa sakit naik diatas
Injit-injit semut
walau sakit jangan di lepas 3x

C. Pantun Sunda

9
1. Pengertian Pantun Sunda
Pantun Sunda pengertiannya berbeda dari pantun Melayu.
Pantun Melayu semakna dengan “sisindiran’’, Sunda yaitu, puisi yang
terdiri atas dua bagian, sampiran da nisi. Adapun pantun sunda
adalah seni pertunjukan. Pantun Sunda adalah cerita tutur dalam
bentuk sastra Sunda lama yang disajikan secara paparan (prolog),
dialog dan sering kali dinyanyikan. Seni pantun itu dilakukan oleh
seorang juru pantun (tukang pantun) dengan diiringi alat music
kecapi yang dimainkannya sendiri.

2. Sejarah Pantun Sunda


Seni pantun merupakan seni yang sudah cukup tua usianya.
Disebutkan dalam naskah Siksa Kanda ng Karesyan, yang ditulis pada
tahun 1518 Masehi, bahwa pantun telah digunakan sejak zaman
Langgalarang, Banyakcatra, dan Siliwangi. Ceritanya pun berkisar
tentang cerita-cerita Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi,
Haturwangi dan lain-lain yang disajikan oleh prepantun (tukang
pantun). Pantun terdapat pula pada naskah kuno yang dituturkan
oleh Ki Buyut Rambeng, yakni Pantun Bogor. Dalam
perkembangannya, cerita-cerita pantun yang dianggap bernilai tinggi
itu terus bertambah, seperti cerita Lutung Kasarung, Ciung
Wanara, Mundinglaya Dikusumah, Dengdeng pati Jayaperang, Ratu
Bungsu Kamajaya, Sumur Bandung, Demung Kalagan dll. Masyarakat
Kanekes yang hidup dalam budaya Sunda Kuna sangat akrab dengan
seni Pantun. Seni ini melekat sebagai bagian dari ritual mereka.
Adapun lakon-lakon suci Pantun Kanekes yang disajikan secara ritual
seperti Langgasari Kolot, Langgasari Ngora dan Lutung Kasarung.
Seni Pantun yang cukup tua usianya melahirkan beberapa
tukang pantun pada setiap zamannya. Di Cianjur misalnya, dikenal
nama R. Aria Cikondang (abad ke-17), Aong Jaya Lahiman dan
Jayawireja (abad ke-19). Di Bandung terkenal Uce, juru pantun
kabupaten Bandung (awal abad ke-20) dan Pantun Beton
"Wikatmana" (pertengahan abad ke-20); dan di Bogor terkenal juru
pantun Ki Buyut Rombeng.
Alat musik yang dipakai mengiringi seni pantun adalah kacapi.
Pada mulanya kacapi tersebut sangat sederhana seperti yang
terdapat di Baduy, yaitu kacapi kecil berdawai 7 dari kawat.
Selanjutnya, sejalan dengan tumbuhnya seni Cianjuran, kacapi
tersebut diganti dengan kacapi gelung (tembang), dan akhirnya
menggunakan kacapi siter (Jawa). Adapun tangga nada (laras) yang
digunakan dalam iringan kacapi tersebut adalah pelog, namun
selanjutnya banyak yang menggunakan laras salendro.

3. Pertunjukan Pantun

10
Seni Pantun disajikan masyarakat Sunda dalam dua bentuk.
Pertama, untuk hiburan, dan kedua untuk acara ritual (ruwatan).
Sajian hiburan, ceritanya mengambil dari salah satu cerita pantun
yang dikuasai juru pantun, atau atas permintaan penanggap.
Sedangkan untuk acara ritual dalam ruwatan, ceritanya sama
dengan dalam pertunjukan wayang, yaitu Batara Kala, Kama
Salah atau Murwa Kala.
Dalam sajian pantun untuk ruwatan (tolak bala) diperuntukkan
bagi orang-orang yang termasuk dalam sukerta, di antaranya anak
tunggal, anak kembar, lima anak laki-laki, atau untuk keselamatan
rumah baru, bangunan baru dan lain-lain. Pertunjukannya biasa
dimulai sekitar pukul 02.00 - 05.00. Rajah dalam pertunjukan
ruwatan lebih panjang lebih tampak kesakralannya. Sedangkan
sajian pantun untuk kepentingan hiburan biasanya diadakan di
rumah penanggap yang waktunya pada malam hari. Pertunjukan
dimulai pukul 20.00 dan berakhlr sekitar pukul 04.00. Sekalipun
pertunjukan Pantun untuk hiburan, namun tidak sembarangan
disajikan. Pantun masih dianggap oleh masyarakat Sunda memiliki
sifat sakral yang selalu dikaitkan dengan upacara penghormatan
pada leluhur.
Dengan demikian bentuk pertunjukan Pantun biasanya masih
diikat dengan struktur pertunjukan yang baku dengan lakon yang
selalu berkisar tentang raja-raja Sunda atau legenda masyarakat
Sunda Secara umum pola pertunjukan Pantun dapat diurutkan
sebagai berikut.
a. Penyediaan sesajen;
b. Ngukus (membakar kemenyan);
c. Mengumandangkan rajah pamunah;
d. Babak cerita dari pembukaan hingga penutupan; dan
e. Ditutup dengan mengumandangkan rajah pamungkas.
Sebagai kesenian yang hidup sejak zaman Hindu sampai Islam
yang jadi anutan masyarakat, tak heran jika ungkapan dan ajaran
(petuah) ki juru pantun merupakan pembauran keduan zaman itu.
Selain isthigfar (Islam) terdengar pula ungkapan kepada dewata,
Pohaci, para karuhun (leluhur), buyut dll.
Kesenian Pantun Sunda yang bercirikan budaya Sunda dengan
berbagai aspeknya, terutama aspek kepercayaan Sunda Kuna,
memberi dampak pada nilai kedudukan seni Pantun di masyarakat
Sunda yang berbeda dengan kesenian-kesenian lain. Seni Pantun
bagi masyarakat Sunda merupakan medium untuk dapat
merasakan kembali sebuah masa keemasan sejarah masa lampau
masyarakatnya.
Dewasa ini perkembangan seni Pantun harus diakui sangat
memprihatinkan, namun dari sisi lain ada hal yang cukup
mengesankan, bahwa seni Pantun pun dapat bertahan dengan
tidak meleburkan diri menjadi satu bentuk kesenian yang
pop/kitchs.
11
D. Pantun Banjar
1. Pengertian Pantun Banjar
Pantun Banjar adalah pantun yang dilisankan atau dituliskan
dalam bahasa Banjar. Bahasa Banjar dituturkan oleh suku Banjar
yang umumnya digunakan di Kalimantan Selatandan provinsi
tetangganya serta daerah perantauan suku Banjar.
Definisi pantun Banjar menurut rumusan Tajuddin Noor
Ganie (2006) adalah puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang
dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk
fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus
yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.
2. Etimologi, Defenisi dan Bentuk Fisik
Pantun Banjar merupakan pengembangan lebih lanjut
dari Peribahasa Banjar. Istilah pantun sendiri menurut Brensetter
sebagaimana yang dikutipkan Winstead (dalam Usman, 1954)
berasal dari akar kata tun yang kemudian berubah
menjadi tuntun yang artinya teratur atau tersusun. Hampir mirip
dengan tuntun adalah tonton dalam bahasa Tagalog artinya
berbicara menurut aturan tertentu (dalam Semi, 1993:146-147).
Sesuai dengan asal usul etimologisnya yang demikian itu, maka
pantun memang identik dengan seperangkat kosa-kata yang
disusun sedemikian rupa dengan merujuk kepada sejumlah
kriteria konvensional menyangkut bentuk fisik dan bentuk mental
puisi rakyat anonim.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria konvensional yang harus dirujuk
dalam hal bentuk fisik dan bentuk mental pantun ini, yakni :

a. setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah

b. jumlah baris dalam satu baitnya minimal 2 baris (pantun kilat)


dan 4 baris (pantun biasa dan pantun berkait)

c. pola formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir


vertikal dengan pola a/a (pantun kilat), a/a/a/a, a/a/b/b, dan
a/b/a/b (pantun biasa dan pantun berkait)

d. khusus untuk pantun kilat, baris 1 berstatus sampiran dan baris


2 berstatus isi,

e. khusus untuk pantun biasa dan pantun berkait, baris 1-2


berstatus sampiran dan baris 3-4 berstatus isi

f. lebih khusus lagi, pantun berkait ada juga yang semua barisnya
berstatus isi, tidak ada yang berstatus sampiran.
Zaidan mendefinisikan pantun sebagai jenis puisi lama yang terdiri
atas 4 larik dengan rima akhir a/b/a/b. Setiap larik biasanya terdiri
12
atas 4 kata, larik 1-2 merupakan sampiran, larik 3-4 merupakan isi.
Berdasarkan ada tidaknya hubungan antara sampiran dan isi ini,
pantun dapat dipilah-pilah menjadi 2 genre/jenis, yakni pantun
mulia dan pantun tak mulia.

Disebut pantun mulia jika sampiran pada larik 1-2 berfungsi


sebagai persiapan isi secara fonetis dan sekaligus juga berfungsi
sebagai isyarat isi. Sementara, pantun tak mulia adalah pantun
yang sampirannya (larik 1-2) berfungsi sebagai persiapan isi secara
fonetis saja, tidak ada hubungan semantik apa-apa dengan isi
pantun di larik 3-4.
Sementara Rani (1996:58) mendefinsikan pantun sebagai jenis
puisi lama yang terdiri atas 4 baris dalam satu baitnya. Baris 1-2
adalah sampiran, sedang baris 3-4 adalah isi. Baris 1-3 dan 2-4
saling bersajak akhir vertikal dengan pola a/b/a/b.
Hampir semua suku bangsa di tanah air kita memiliki khasanah
pantunnya masing-masing. Menurut Sunarti (1994:2),
orang Jawa menyebutnya parikan,
orang Sunda menyebutnya sisindiran atau susualan,
orang Mandailing menyebutnya ende-ende,
orang Aceh menyebutnya rejong atau boligoni, sementara
orang Melayu, Minang, dan Banjar menyebutnya pantun.
Dibandingkan dengan genre/jenis puisi rakyat lainnya, pantun
merupakan puisi rakyat yang murni berasal dari kecerdasan
linguistik local genius bangsa Indonesia sendiri.
Istilah pantun tidak ditemukan padanannya dalam bahasa
Banjar, sehubungan dengan itu istilah ini langsung saja diadopsi
untuk memberi nama fenomena yang sama yang ada dalam
khasanah puisi rakyat anonim berbahasa Banjar (Folklor Banjar).
3. Fungsi Sosial Pantun Banjar
Pada masa-masa Kerajaan Banjar masih jaya-jayanya (1526-
1860), pantun tidak hanya difungsikan sebagai sarana hiburan
rakyat semata, tetapi juga difungsikan sebagai sarana retorika
yang sangat fungsional, sehingga para tokoh pimpinan masyarakat
formal dan informal harus mempelajari dan menguasainya dengan
baik, yakni piawai dalam mengolah kosa-katanya dan piawai pula
dalam membacakannya.
Tidak hanya itu, di setiap desa juga harus ada orang-orang
yang secara khusus menekuni karier sebagai tukang olah dan
tukang baca pantun (bahasa Banjar Pamantunan). Uji publik
kemampuan atas seorang Pamantunan yang handal dilakukan
langsung di depan khalayak ramai dalam ajang adu pantun atau
saling bertukar pantun yang dalam bahasa Banjar disebut Baturai
Pantun. Para Pamantunan tidak boleh tampil sembarangan,
karena yang dipertaruhkan dalam ajang Baturai Pantun ini tidak
hanya kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan
warga desa yang diwakilinya.

13
2.6 Ciri-ciri Pantun
Contoh pantun

Beli rambutan pergi ke pasar


Membeli ubi keliru talas
Mari kawan rajin belajar
Agar nanti bisa naik kelas

Dari contoh pantun di atas dapat terlihat ciri-ciri pantun. Berikut ini
ialah ciri-ciri pantun.
1. Satu bait terdiri daro 4 larik (baris).
2. Satu larik terdiri dari 8 sampai 12 suku kata.
3. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran.
4. Baris ketiga dan keempat merupakan isi.
5. Berima a-b-a-b.

2.7 Syarat-syarat Pantun


a. Terdiri dari empat baris
b. Tiap-tiap baris terdiri 8 sampai 10 suku kata
c. Dua baris yang pertama disebut “sampiran” dan dua baris berikutnya
disebut “isi”
d. Pantun mementingkan rima akhir, maksudnya bunyi akhir baris pertama
(1) sama dengan bunyi asli baris ketiga (3) dan bunyi akhir baris kedua
(2) sama dengan bunyi akhir baris keempat (4)
Contoh:

Kalau ada sumur diladang (a)


Boleh kita menumpang mandi (b)
Kalau ada umurku panjang (a)
Boleh kita berjumpa lagi (b)

2.8 Berbalas Pantun


A. Mengenal Permainan Berbalas Pantun
Berbalas pantun merupakan khazanah tradisi lisan budaya
Melayu. Dalam berbalas pantun, kedua belah pihak atau lebih saling
melemparkan pantun (jual-beli0 yang mengandung isi atau maksud tujuan
tertentu. Dalam tata cara adat perkawinan suku Melayu, berbalaspantun
sering dilakukan antara pihak mempelai laki-laki dengan pihak mempelai
perempuan sebelum terselenggara acara pernikahanataupun bersanding di
pelaminan.
Tradisi lisan seperti ini juga dapat ditemui di beberapa masyarakat
lainnya, seperti di masyarakat Sunda dengan istilah sisindiran.

14
B. Pemantunan
Pemantunan adalah seniman penghibur rakyat yang berkerja mencari
nafkah secara mandiri dengan mengandalkan kemampuannya dalam
mengolah kosakata berbahasa Banjar. Dengan demikian, pemantunan
dapat dijadikan sebagai sarana retorika yang fungsional.
Ada 6 karakteria professional yang harus dipenuhi oleh seorang
Pemantulan, yaitu sebagai berikut:
1. Terampil mengolah kosakatanya sesuai dengan tuntutan yang berlaku
dalam struktur bentuk fisika pantun Banjar,
2. Terampil mengolah tema dan amanat yang menjadi unsur utama
bentuk mental pantun Banjar,
3. Terampil mengolah vokal ketika menuturkannya sebagai sarana
retorika yang fungsional di depan khalayak ramai,
4. Terampil mengolah lagu ketika menuturkannya sebagai sarana
retorika yang fungsional,
5. Terampil dalam hal olah musik penggiring penuturan pantun
(menabuh gendang pantun), dan
6. Terampi dalam menata keserasian penampilannya sebagai seorang
pemantunan.

Tuntutan profesional yang begitu sulit untuk dipenuhi oleh


seorang Pamantunan membuatnya tergoda untuk memperkuat
tenaga kreatifnya dengan cara-cara yang bersifat magis. Akibatnya,
profesi Pamantunan pada zaman dahulu kala termasuk profesi
seniman yang begitu lekat dengan dunia mistik.

C.Pulung Pantun
Pulung Pantun adalah kekuatan supranatural yang berasal
dari alam gaib yang diberikan oleh Datu Pantun. Konon, berkat
Pulung inilah seorang Pamantunan dapat
mengembangkan bakat alam dan intelektualitasnya hingga ke tingkat
yang paling kreatif (mumpuni).
Faktor Pulung inilah yang membuat tidak semua orang
Banjar di Kalimantan Selatan dapat
menekuni profesi sebagai Pamantunan, karena Pulung hanya
diberikan kepada oleh Datu Pantun kepada Pamantunan yang
secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya
(hubungan nepotisme).
Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun, jika tidak,
maka tuah magisnya akan hilang tak berbekas lagi. Proses pembaruan
Pulung dilakukan dalam sebuah ritus adat yang khusus digelar untuk
itu, yakni Aruh Pantun.

D.Aruh Pantun

15
Aruh Pantun adalah sebuah ritus adat suku Banjar yang khusus
digelar untuk melakukan proses pembaruan pulung dari pantun
tersebut. Konon, Pulung Pantun harus diperbarui setiap tahun, jika
tidak, maka tuah magisnya akan hilang tak berbekas lagi.

Datu Pantun adalah seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam


Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal
para dewa kesenian rakyat. Datu Pantun diyakini sebagai orang pertama yang
secara geneologis menjadi cikal bakal pantun di kalangan suku
Banjar di Kalimantan Selatan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

16

Anda mungkin juga menyukai