Laporan Praktikum Absorpsi 2R
Laporan Praktikum Absorpsi 2R
Laporan Praktikum Absorpsi 2R
KELOMPOK 2R
1.4.2 Percobaan II: Absorpsi CO2 dengan NaOH (Analisis Larutan) ................. 3
3.1.2 Percobaan II: Absorpsi CO2 dengan NaOH (Analisis Larutan) ........... 13
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Tujuan dari percobaan modul absorpsi ini adalah:
• Menentukan dan mempelajari pola absorpsi CO2 dengan larutan NaOH
menggunakan alat analisis gas yang tersedia.
• Menentukan dan mempelajari pola absorpsi CO2 dengan larutan NaOH
menggunakan alat analisis larutan yang tersedia.
1
1.3.1 Alat
Tabel 1.1 Alat-Alat Percobaan Beserta Fungsinya
No. Alat Fungsi
1. Menara Tempat terjadinya proses absorpsi.
Absorpsi
2. Tangki Air Wadah penampung air dengan kapasitas 30 L.
3. Tangki CO2 Wadah penampung gas CO2 yang akan diabsorpsi.
4. Labu Erlenmeyer Wadah untuk melakukan titrasi.
Meneteskan bahan kimia identifikasi seperti PP dan
5. Pipet Tetes
methyl orange.
6. Titrator Wadah larutan penitrasi
7. Labu Ukur 1 L Wadah larutan HCl dan NaOH.
Mengukur waktu yang digunakan dalam pengambilan
8. Stopwatch
sampel.
9. Gelas Ukur Wadah awal sampel.
1.3.2 Bahan
Tabel 1.2 Bahan-Bahan Percobaan Beserta Fungsinya
2
1.4.2 Percobaan II: Absorpsi CO2 dengan NaOH (Analisis Larutan)
Prosedur:
1. Mengisi tangki dengan 30 liter NaOH 0.1 M.
2. Mengalirkan larutan dengan laju volumetrik 3 liter/menit.
3. Mengalirkan udara dengan laju volumetrik 30 liter/menit.
4. Mengalirkan CO2 dengan laju volumetrik 3 liter/menit.
5. Menunggu selama 15 menit sampai kondisi tunak.
6. Mengambil sampel gas tiap 20 menit setelah tunak dari S4 dan S5 sebanyak 60 ml.
Prosedur titrasi :
1. Memisahkan larutan sampel S4 dan S5 pada 2 labu erlenmeyer kapasitas 50 ml.
2. Pada labu erlenmeyer 1 :
a) Meneteskan PP (1 tetes) dan melakukan titrasi hingga warna pink berubah
menjadi bening dengan larutan HCl.
b) Meneteskan MO (1 tetes) dan melakukan titrasi hingga warna bening berubah
menjadi pink dengan larutan HCl.
3. Pada labu erlenmeyer 2 :
a) Menambahkan larutan BaCl2 sebanyak 10% dari nilai T2 – T1.
b) Meneteskan PP (2 tetes) dan melakukan titrasi hingga titik akhir dengan larutan
HCl.
3
BAB II
LANDASAN TEORI
4
• Absorpsi Fisika
Komponen yang diserap pada absorpsi ini memiliki kelarutan yang lebih
tinggi (dibanding komponen gas lain) dengan pelarut (absorben) tanpa melibatkan
reaksi kimia.
• Absorpsi Kimia
5
• Bagian tengah:
➢ Packed tower untuk memperluas bidang permukaan sentuh sehingga
memudahkan proses absorpsi.
➢ Disini terjadi kontak antara absorben dengan fluida yang akan di absorpsi.
• Bagian bawah:
➢ Input gas sebagai tempat masuknya gas ke dalam reaktor, dan juga sebagai
outlet dari absorben untuk kemudian diregenerasi.
Secara umum, kolom absorpsi dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Packed Bed Column
b. Plate Column
c. Spray Column
6
Gambar 2.3. Packed Bed Column Gambar 2.4. Plate Column
2.3 Absorben
Absorben adalah cairan yang dapat melarutkan bahan yang akan diabsorpsi
pada permukaannya, baik secara fisik maupun secara reaksi kimia. Absorben sering
juga disebut sebagai pelarut. Syarat yang harus dimiliki absorben adalah:
• Memiliki kelarutan gas tinggi, sehingga dapat meningkatkan laju absorpsi dan
menurunkan kuantitas absorben yang diperlukan.
• Memiliki viskositas yang rendah, karena laju absorpsi akan menjadi tinggi dan
terjadi perpindahan kalor yang baik.
• Memiliki tekanan uap yang rendah, karena akan ada banyak absorben yang
terbuang jika gas yang meninggalkan kolom absorpsi jenuh dengan absorben.
• Tidak bersifat korosif, karena dapat merusak peralatan kolom absorpsi.
• Tidak memiliki sifat beracun dan mudah terbakar.
• Stabil secara kimiawi dan memiliki titik beku yang rendah.
7
• Ketersediaan cukup tinggi, karena akan sangat berpengaruh terhadap stabilitas
harga dan biaya operasi secara keseluruhan.
8
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Absorpsi
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi laju absorpsi, diantaranya
yaitu:
• Luas pemukaan kontak
Semakin besar permukaan gas dan pelarut yang kontak, maka laju absorpsi yang
terjadi juga akan semakin besar. Hal ini dikarenakan, permukaan kontak yang
semakin luas akan meningkatkan peluang gas untuk berdifusi ke pelarut.
• Konsentrasi gas
Perbedaan konsentrasi merupakan salah satu driving force agar proses difusi
yang terjadi antar dua fluida.
• Laju alir fluida
Jika laju alir fluida semakin kecil, maka waktu kontak antara gas dengan pelarut
akan semakin lama. Dengan demikian, jumlah gas yang berdifusi meningkat.
• Kelembaban gas
Kelembaban yang tinggi akan membatasi kapasitas gas untuk mengambil kalor
laten. Oleh karena itu, proses dehumidifikasi gas sebelum masuk ke dalam
kolom absorpsi sangat dianjurkan.
• Tekanan operasi
Peningkatan tekanan akan meningkatkan efisiensi pemisahan.
• Temperatur komponen terlarut dan pelarut
Temperatur pelarut hanya sedikit berpengaruh terhadap laju absorpsi.
9
Gambar 2.7 Skema Neraca Massa pada Kolom Absorpsi
𝐼𝑛 − 𝑂𝑢𝑡 + 𝐴𝑐𝑐 = 0
𝐼𝑛 − 𝑂𝑢𝑡 + 0 = 0
𝐼𝑛 = 𝑂𝑢𝑡
𝐺𝑚 (𝑦1 − 𝑦2 ) = 𝐿𝑚 (𝑥1 − 𝑥2 ) … (1)
𝐺𝑚1 + 𝐿𝑚2 = 𝐺𝑚2 + 𝐿𝑚1 … (2)
dimana:
Gm1 = Laju alir molar inlet gas Lm1 = Laju alir molar outlet cairan
Gm2 = Laju alir molar outlet gas Lm2 = Laju alir molar inlet cairan
x = Fraksi mol gas terlarut y = Fraksi mol gas terlarut
dalam cairan murni dalam gas inert
10
Pi = Fraksi mol inlet × tekanan total
Po = Fraksi mol outlet × tekanan total
• Pembuatan Formalin
Formaldehid sebagai gas input dimasukkan ke dalam reaktor. Output dari
reaktor yang berupa gas yang didinginkan pada kondensor kemudian dimasukkan
ke dalam absorber. Keluaran dari absorber pada tingkat 1 mengandung larutan
formalin dengan kadar formaldehid sekitar 37 – 40%. Bagian terbesar dari metanol,
air, dan formaldehid dikondensasi di bawah bagian air pendingin dari menara, dan
hampir semua buangan dari sisa metanol dan formaldehid dari gas terjadi di bagian
atas absorber dan berkontakan dengan air secara berlawanan arah.
11
BAB III
HASIL PERCOBAAN
Keterangan:
V1 : Volume CO2 dan udara pada pada analisis sampel keluaran gas sisa
absorpsi (diukur dalam piston)
V2 : Volume CO2 yang terlarut dalam NaOH pada analisis sampel keluaran gas
sisa absorpsi (diukur di dalam tabung liquid overspill).
12
3.1.2 Percobaan II: Absorpsi CO2 dengan NaOH (Analisis Larutan)
Pada percobaan dilakukan pembacaan tekanan dan suhu packed column
yang digunakan untuk menghitung konversi CO2 yang terabsorpsi dengan hasil
pembacaan sebagai berikut:
P : Tekanan kolom absorpsi : 765 mmHg
T : Suhu kolom absorpsi : 298 K = 25°C
Dengan data kolom absorpsi yang digunakan adalah sebagai berikut:
D : Diameter kolom absorpsi : 0.075 m
t : Tinggi kolom absorpsi : 1.4 m
A : Luas spesifik kolom absorpsi : 440 m2
Bahan yang digunakan pada percobaan titrasi yaitu:
NaOH : 0.2 M
HCl : 0.2 M
BaCl2 : 10 gram dalam 100 ml air (BaCl2 10%)
Sampel : 10 ml/labu erlenmeyer
Data laju alir dan volume titrasi pada absorpsi CO2 dengan larutan NaOH
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.3 Laju Alir Volumetrik Tiap Fluida
Laju Alir Volumetrik
Variabel
(L/detik)
Air (F1) 3
Udara (F2) 30
CO2 (F3) 3
13
Keterangan :
F1 : Laju alir volumetrik air yang masuk ke dalam packed column (L/detik)
F2 : Laju alir volumetrik udara yang masuk ke dalam packed column (L/detik)
F3 : Laju alir volumetrik CO2 yang masuk ke dalam packed column (L/detik)
T1 : Volume HCl yang dibutuhkan untuk menetralkan NaOH dan mengubah
karbonat menjadi bikarbonat (ml)
T2 : Total volume HCl yang ditambahkan hingga mencapai end point kedua
untuk menetralkan basa NaOH dan Na2CO3 (ml)
T3 : Volume HCl yang ditambahkan untuk menetralkan NaOH (ml)
T2-T1 : Volume HCl yang ditambahkan untuk mereaksikan Na2CO3 (ml)
S4 : Saluran output yang terletak dibawah kolom (outlet)
S5 : Saluran output yang terletak dibawah tangki (inlet)
VBaCl : Volume BaCl yang ditambhakan kedalam sampel titrasi (ml)
14
𝑽𝟏
𝒀𝒐 =
𝑽𝟐
Maka, fraksi CO2 yang ada dalam sampel gas keluaran kolom absorpsi (Yo)
adalah:
2,7
𝑌𝑜 = = 0,045
60
b) Menghitung Jumlah CO2 Terabsorpsi
Untuk mengetahui berapa banyak CO2 yang terabsorpsi dalam waktu 15
meint pada kolom absorpsi, maka dapat digunakan neraca massa sederhana yang
memperhitungkan selisih antara fraksi CO2 pada bagian masukan dengan bagian
keluaran kolom.
𝐼𝑛 − 𝑂𝑢𝑡 − 𝐶𝑜𝑛 = 𝐴𝑐𝑐
𝐶𝑂2𝑖𝑛 − 𝐶𝑂2𝑜𝑢𝑡 = 𝐶𝑂2𝑡𝑒𝑟𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖
15
𝑷𝒌𝒐𝒍𝒐𝒎 𝑽𝒌𝒐𝒍𝒐𝒎 𝑻𝒔𝒕𝒅
𝑮𝒂𝒃 = 𝒏𝒌𝒐𝒍𝒐𝒎 = 𝒏
𝑷𝒔𝒕𝒅 𝑽𝒔𝒕𝒅 𝑻𝒌𝒐𝒍𝒐𝒎 𝒔𝒕𝒅
Pada rumus tersebut, Vkolom merupakan volume CO2 setelah 1 sekon. Selain
itu, pada rumus tersebut diperlukan informasi berupa suhu dan tekanan dalam
kolom. Namun, kedua informasi ini tidak diukur dalam percobaan, sehingga perlu
diasumsikan. Asumsi untuk tekanan kolom didasarkan pada fakta bahwa gas CO2
yang digunakan memliki tekanan di atas atmosfir (karena disimpan dalam tabung)
dan udara dialirkan memakai kompresor, sehingga memiliki tekanan yang lebih
tinggi dari atmosfir. Namun, terdapat pressure drop sepanjang kolom (meskipun
besarnya tidak terlalu signifikan) sehingga tekanan total tersebut turun menjadi
mendekati tekanan atmosfir. Maka, asumsi yang diambil harus berupa nilai tekanan
yang ada di atas tekanan atmosfir, namun masih mendekati. Asumsi untuk
temperatur didasarkan pada kondisi ruangan yang berada pada temperatur ruang,
sehingga temperatur keseluruhan kolom pun akan mendekati temperature ruang.
Maka asumsi yang diambil adalah:
𝑇𝑘𝑜𝑙𝑜𝑚 = 298,15 𝐾
𝑃𝑘𝑜𝑙𝑜𝑚 = 765 𝑚𝑚𝐻𝑔
Maka, nilai laju alir mol CO2 yang terabsorpsi (Gab) adalah:
765 0,02644 273,15
𝐺𝑎𝑏 = × × ×1 = 1,088×10−3 mol/s
760 22,42 298,15
Asumsi lain yang dipakai pada perhitungan ini adalah bahwa aliran volume
tidak dipengaruhi oleh pressure drop sepanjang kolom dan pressure drop ini sangat
kecil dibanding dengan tekanan atmosfer.
Dengan menggunakan bilangan Avogadro, maka jumlah molekul CO2 yang
terabsorpsi dapat diketahui seperti berikut ini:
𝑵 = 𝑵𝑨 × 𝒏
𝑁𝑎𝑏 = 6,022 × 1023 × 1,088 ×10−3 = 6,55 ×1020 molekul CO2 /s
16
Tabel 3.5. Hasil Perhitungan Fraksi CO2
Fraksi CO2 CO2 Terabsorpsi
Yi Yo Fab (L/s) Gab (mol/s) Nab (CO2/s)
0,09091 0,045 0,0264 1,088 x 10-3 6,55 x 1020
3.2.2 Percobaan II
a) Menghitung Kadar CO2 pada sampel gas
Fraksi mol CO2 yang masuk dapat dihitung menggunakan persamaan
berikut:
𝑉1
𝑌𝑖 =
𝑉2
𝐿
𝐹3 3𝑠
𝑌𝑖 = = = 0,091
𝐹2 + 𝐹3 30 𝐿 + 3 𝐿
𝑠 𝑠
Fraksi mol CO2 yang keluar dapat dihitung menggunakan persamaan
berikut:
𝑉2 2,7 𝑚𝑙
𝑌0 = = = 0,0675
𝑉1 40 𝑚𝑙
17
Tabel 3.6 Volume BaCl2 pada S4 dan S5
Parameter VBaCl
Volume S4 (ml) 1,87
Volume S5 (ml) 1,10
18
𝑇2 − 𝑇3 3,8ml − 3,7𝑚𝑙
𝐶𝑁𝑎2 𝐶𝑂3 ,𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 = 0,5 ( ) 0,2 𝑀 = 0,5 ( ) 0,2 𝑀
10𝑚𝑙 10𝑚𝑙
= 1×10−3 𝑀
𝑇2 − 𝑇3 4,8𝑚𝑙 − 4,6𝑚𝑙
𝐶𝑁𝑎2 𝐶𝑂3 ,𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 = 0,5 ( ) 0,2 𝑀 = 0,5 ( ) 0,2 𝑀
10𝑚𝑙 10𝑚𝑙
= 2×10−3 𝑀
19
BAB IV
ANALISIS
20
universal dimana dalam percobaan ini air digunakan sebagai media absorben dan
pelarut dalam berbagai preparasi bahan.
Terdapat dua indikator yang digunakan dalam percobaan ini, yaitu indikator
PP yang berfungsi sebagai indikator tercapainya titik akhir titrasi tahap awal untuk
menetralisir anion karbonat dan indikator MO yang berfungsi sebagai indikator
tercapainya titik akhir pada titrasi tahap lanjut. Digunakan juga BaCl2 untuk
mengendapkan semua anion karbonat menjadi barium karbonat pada sampel kedua.
Hal ini dilakukan untuk mempermudah terjadinya titrasi sehingga dapat dilihat
perubahan dari indikator yang ditambahkan ke larutan yang diuji.
4.2 Analisis Percobaan
4.2.1 Percobaan I
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui berapa gas karbon dioksida yang
dapat terabsorpsi oleh air dengan menggunakan analisis dari sampel gas karbon
dioksida yang tidak terabsorpsi oleh air. Pada percobaan ini diterapkan hukum
Avogadro, sehingga perlu diambil asumsi bahwa campuran gas yang terjadi pada
tiap bagian kolom, baik di daerah masukan maupun keluaran, akan memiliki
temperatur dan tekanan yang sama atau mendekati sama. Pada percobaan ini
digunakan suatu rangkaian peralatan yang dinamakan peralatan Hempl, yang
berfungsi untuk mengambil suatu sampel gas dengan volume tertentu dari suatu
sumber. Nantinya perbandingan volume yang ditunjukkan oleh alat ini dapat
digunakan untuk mengetahui fraksi CO2 yang ada pada gas keluaran kolom
absorpsi.
Perhitungan fraksi mol pada gas masukan dan keluaran didasarkan pada
hukum Avogadro, di mana pada suhu dan tekanan yang sama, perbandingan volume
suatu gas akan menunjukkan perbandingan jumlah molekul dari gas tersebut. Maka,
fraksi mol dari gas pada bagian masukan dapat diketahui dari perbandingan antara
laju alir CO2 terhadap total laju alir gas masukan. Untuk bagian keluaran kolom,
fraksi mol CO2 dapat diambil dari perbandingan antara volume cairan yang terukur
sebagai pengurangan volume pada sampel setelah terjadi reaksi dengan NaOH,
dengan volume awal sampel yang diambil dengan piston. Dari kedua fraksi ini,
fraksi mol gas CO2 yang terabsorbsi dapat diketahui dengan memakai neraca massa
21
sederhana untuk CO2. Setelah itu, laju alir CO2 dikonversi menjadi satuan mol
dengan memakai hubungan persamaan keadaan untuk gas ideal.
4.2.2 Percobaan I
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan dan mempelajari pola absorpsi
karbondioksida dengan NaOH menggunakan alat analisis larutan yang tersedia.
Absorpsi CO2 ke dalam NaOH terjadi karena adanya reaksi kimia antara NaOH
yang bersifat basa dan CO2 yang bersifat asam. Dilakukan pengukuran jumlah CO2
yang berada di sampel cair di bagian inlet (S4) dan outlet (S5).. Langkah pertama
yang harus dilakukan pada percobaan ini adalah mengisi tangki yang telah
disediakan dengan NaOH 0.1 M sebanyak 30 liter. Larutan NaOH dipilih sebagai
absorben karena larutan CO2 akan bereaksi dengan NaOH dan akan membentuk
garam natrium karbonat, sesuai dengan persamaan reaksi berikut:
2 𝑁𝑎𝑂𝐻 + 𝐶𝑂2 → 𝑁𝑎2𝐶𝑂3 + 𝐻2𝑂
Langkah selanjutnya adalah mengatur laju alir dari larutan sebesar 3
liter/menit dan laju alir udara sebesar 30 liter/menit serta laju alir karbon dioksida
sebesar 3 liter/menit. Laju alir karbon dioksida dan NaOH yang digunakan
cenderung kecil dengan tujuan agar waktu kontak antara NaOH dan CO2 akan lebih
besar sehingga semakin banyak karbon dioksida yang akan terabsorb oleh NaOH.
Langkah selanjutnya adalah menunggu kurang lebih selama 15 menit hingga
keadaannya steady state atau sudah cukup banyak karbon dioksida yang telah
teradsorbsi oleh NaOH untuk kemudian di titrasi. Cara mengetahui jumlah CO2
yang terabsorpsi pada larutan NaOH adalah dengan mengetahui jumlah NaOH dan
Na2CO3 dalam sampel. Besarnya jumlah NaOH dan Na2CO3 dalam sampel dapat
dihitung dengan metode titrasi menggunakan HCl.
Jumlah CO2 di bagian inlet dan outlet dapat dengan menggunakan jumlah
NaOH yang tersisa serta jumlah Na2CO3 yang terbentuk yang diambil sampel untuk
dilakukan titrasi. Sampel yang digunakan dalam titrasi I ini adalah (S4)1 dan (S5)1
dengan jumlah masing-masing 60 mL. Titrasi I bertujuan untuk mengetahui volum HCl
yang dibutuhkan untuk menetralisasi NaOH dan Na2CO3 secara keseluruhan. Kita bisa
mengetahui kandungan NaOH yang tersisa dan Na2CO3 yang terbentuk dengan titrasi
I ini. Penggunaan HCl yang bersifat asam akan menetralisasi NaOH dan Na2CO3 yang
bersifat basa. Titrasi I ini dilakukan dengan dua kali proses titrasi, yaitu pertama adalah
22
tahap titrasi I-1 dimana sampel (S4)1 dan (S5)1 ditambahkan larutan PP sebanyak
satu tetes. Larutan mengalami perubahan warna dari bening menjadi berwarna
merah muda atau pink. Hal ini disebabkan karena larutan sampel bersifat basa
(karena adanya kandungan NaOH dan Na2CO3) yang ditandai dengan perubahan
warna menjadi merah muda jika bereaksi dengan indikator PP. Titrasi kemudian
dilaukan dengan menggunakan HCl hingga warna merah muda pada sampel
menghilang, yang menandakan bahwa sampel telah berubah sifat menjadi asam. Dari
titrasi dengan indikator PP tersebut, didaptkan volume HCl yang dibutuhkan untuk
menetralkan NaOH dan mengubah karbonat dalam larutan menjadi bikarbonat.
Volume HCl yang digunakan untuk bereaksi dengan kedua senyawa ini disebut dengan
volume Ti. Setelah tahap titrasi 1.1 selesai, maka larutan akan mengalami titrasi 1.2.
Tujuan dari proses titrasi 1.2 ini adalah untuk mendeteksi terbentuknya H2CO3.
Indikator yang digunakan adalah methyl orange yang bekerja pada daerah asam.
Sampel yang ditetesi akan berubah warna menjadi orange keemasan. Hal ini
menunjukkan larutan bersifat asam.
Larutan sampel kemudian dititrasi dengan HCl hingga warna sampel menjadi
merah muda. Warna merah muda menandakan bahwa indikator metyl orange telah
berada dalam suasana asam, berarti proses titrasi telah selesai dan NaHCO 3 telah
berubah menjadi H2CO3. Volume HCl yang digunakan dalam titrasi ini disebut dengan
volume T2 titrasi II. Selanjutnya dilaukan titrasi pada Erlenmeyer 2. Sampel yang
digunakan dalam titrasi II ini adalah sampel (S4)2 dan (S5)2. Pada tahap titrasi ini, setiap
sampel ditambahkan larutan BaCl2. Volume BaCl2 yang ditambahkan ke dalam sampel
jumlahnya berbeda-beda, tergantung dari volume HCl yang digunakan pada titrasi
pertama tahap 1 dan 2. Dengan perkiraan bahwa 1 tetes memiliki volume 0,1 ml.
Sehingga jika dibutuhkan 1,1 ml BaCl2 diteteskan 11 kali tetes kedalam sampel.
Penambahan BaCl2 dimaksudkan untuk mengendapkan seluruh karbonat ddalam
larutan menjadi barium karbonat. Selain itu penambahan BaCl 2 ini bertujuan agar
terjadi pengendapan Na2CO3 ketika bereaksi dengan BaCl2. Pengendapan Na2CO3
bertujuan agar dalam proses titrasi ini volume HCl yang dibutuhkan hanya untuk
menetralkan NaOH sehingga HCl tidak bereaksi dengan Na 2CO3. Selanjutnya
menambahkan indikator PP ke dlaam larutan yang akan menyebabkan larutan berubah
warna menjadi merah muda karena sifatnya yang basa. Kemudian larutan NaOH
dititrasi dengan menggunakan HCl hingga warna larutan menjadi bening. Volume HCl
23
yang didapatkan pada titrasi ini menunjukkan volume HCl yang dibutuhkan untuk
menetralkan larutan NaOH secara keseluruhan dan disebut dengan volume T3. Volume
T3 menunjukkan banyaknya NaOH yang tidak bereaksi membentuk Na2CO3.
4.3 Analisis Data dan Hasil Pengamatan
4.3.1 Percobaan I
Berdasarkan hasil percobaan berupa fraksi mol CO2 dari gas masukan dan
keluaran pada kolom absorpsi, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan fraksi mol
CO2 selama gas berada dalam kolom, yaitu dari 0,09091 hingga menjadi 0,03.
Penurunan fraksi ini terbilang cukup besar, dan dapat disebabkan oleh gradien
konsentrasi yang tinggi pada awal gas masuk ke kolom (fraksi mol CO2 pada gas
di bawah kolom sebesar 0,9091, sedangkan pada air tidak ada kandungan CO2),
sehingga dapat menjadi driving force yang tinggi pula. Namun, dalam perhitungan
ini terdapat beberapa ketidak akuratan yang terjadi.
Pertama, penerapan hukum Avogadro untuk membuat perbandingan
volume menjadi perbandingan mol hanya dapat dilakukan dengan kondisi bahwa
gas berada dalam suhu dan tekanan yang sama. Dalam kasus ini, laju alir dari udara
dan CO2 diukur pada alat berupa flowmeter, dimana alat ini terpasang sebelum
kedua gas tersebut tercampur. Maka, dapat dikatakan bahwa kedua gas memiliki
potensi besar untuk berada dalam suhu dan tekanan yang berbeda, sehingga fraksi
mol CO2 pada gas masukan mungkin tidak tepat sebesar 0,09091.
Kedua, perhitungan ini tidak memperhitungkan kandungan CO2 yang sudah
ada dalam udara. Pada keadaan normal, hal ini bersifat tidak signifikan, karena
kandungan CO2 dalam udara kurang dari 1%, sehingga tidak memberi pengaruh
yang besar. Namun, pada kondisi ruangan lab dimana tidak ada ventilasi dan ada
beberapa orang di dalam ruangan tersebut, penggunaan oksigen akan meningkat
dan produksi CO2 akan meningkat pula, sehingga bisa memberi tambahan
konsentrasi CO2 pada udara.
Ketiga, konversi satuan dari laju alir volumetrik CO2 terabsorpsi menjadi
laju alir mol CO2 dilakukan menggunakan asumsi suhu dan tekanan kolom, di mana
hal ini sangat bersifat tidak pasti. Meskipun demikian, asumsi gas ideal untuk
perhitungan ini masih dapat diterima (karena tekanan yang tidak tinggi dan suhu
gas yang normal).
24
4.3.2 Percobaan II
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui laju absorpsi CO2 dengan NaOH
yang ditandai oleh pembentukan Na2CO3 dengan menggunakan analisis larutan.
Analisis larutan adalah perhitungan yang dilakukan untuk mendapatkan laju
absorpsi CO2 ke dalam NaOH dengan mengukur banyaknya jumlah CO2 yang
terdapat pada inlet dan outlet alat. Adapun reaksi yang terjadi adalah sebagai
berikut:
25
Nilai yang didapatkan dengan pendekatan melalui perhitungan konsentrasi
NaOH dengan Na2CO3 memiliki perbedaan yang cukup jauh. Hal ini diperkirakan
pada saat ditambahkan BaCl2, tidak semua karbonat mengendap sehingga masih
terdapat Na2CO3 yang tersisa dan mengganggu konsentrasi pada sampel. Selain itu
saat melakukan titrasi, praktikan dapat melakukan kesalahan akibat tidak tepatnya
waktu untuk menghentikan titrasi, sehingga volume HCl menjadi lebih banyak
daripada seharusnya. Adapun hal-hal tersebut akan dibahas juga dalam analisis
kesalahan.
4.4 Analisis Kesalahan
Pada praltikum ini, terdapat beberapa kesalahan yang menyebabkan
perhitungan ataupun kesalahan pada pengambilan data. Hal ini disebabkan oleh
beberapa hal, diantaranya adalah :
• Adanya gas-gas selain CO2 yang ikut terabsorpsi pada larutan sehingga
perbedaan volume yang terukur tidak murni menunjukkan absorpsi CO2
• Kesalahan dalam membaca skala manometer, yang akhirnya mempengaruhi
hasil percobaan.
• Pencatatan data Δp mungkin tidak dilakukan pada keadaan yang betul-betul
steady sehingga akan mempengaruhi hasil percobaan.
• Pengambilan sampel S4 dan S5 tidak benar-benar pada waktu yang
bersamaan sehingga juga mempengaruhi konsentrasi NaOH dan Na2CO3
yang diperoleh.
• Tidak meratanya aliran air di seluruh bagian packed column. Terkadang air
hanya mengalir pada bagian pinggir kolom.
26
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Absorpsi CO2 dalam air dapat terjadi akibat adanya perbedaan densitas antara
air dengan udara sebagai pelarut.
2. Absorpsi CO2 dalam NaOH dapat berlangsung karena terjadi reaksi asam basa,
yang menghasilkan senyawa bikarbonat dan air.
3. Jumlah gas CO2 yang terabsorpsi dalam air dapat dihitung dari nilai selisih
antara fraksi mol CO2 yang masuk kolom absorpsi dengan fraksi mol CO2 yang
keluar kolom absorpsi.
4. Laju absorpsi gas CO2 dalam NaOH dapat dihitung melalui perbandingan
koefisien stoikiometrik dari laju molar NaOH yang dibutuhkan untuk
mengabsorpsi gas CO2 atau laju molar terbentuknya bikarbonat hasil absorpsi
gas CO2.
5. Pada praktikum ini, laju absorpsi gas CO2 dalam air yang didapat sebesar 1,088
x 10-3 mol/s sedangkan laju absorpsi gas CO2 dalam NaOH yang didapat sebesar
0,027 mol/s berdasarkan laju molar NaOH.
6. Gas CO2 yang terabsorpsi dengan menggunakan NaOH lebih banyak
dibandingkan apabila menggunakan air.
5.2 Saran
Sebaiknya alat-alat yang digunakan dalam percobaan modul absorpsi ini
diletakkan dan disusun rapi di tempat yang mudah dilihat praktikan. Hal ini
berdasarkan pengalaman praktikan yang agak sulit mencari alat-alat seperti gelas
ukur, labu erlenmeyer, dan pipet tetes karena ternyata sempat dipakai juga untuk
praktikum lain. Selain itu, alat-alat dalam percobaan juga sebaiknya dicuci bersih
setelah praktikum agar terhindar dari kontaminan yang kemungkinan masih
menempel. dilakukan peremajaan dan pembersihan. Kemudian pada peralatan
absorpsi dapat juga ditempelkan keterangan-keterangan bagian peralatan agar
memudahkan praktikan melakukan praktikum absorpsi dengan benar.
27
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1995. Petunjuk Praktikum: Proses & Operasi Teknik II. Depok:
Departemen Teknik Gas & Petrokimia FT UI.
Dindin Angraini Nuu Stanzah. 2007. Absorbsi CO2 Dengan NaOH. [ONLINE]
Available at: https://www.scribd.com/doc/89056557/Absorbsi-CO2-
Dengan-NaOH. [Accessed 5 May 2017].
Eko Yulianto. 2014. Praktikum Absorbsi. [ONLINE] Available at: http://www.
academia.edu/4769014/Praktikum_Absorbsi. [Accessed 5 May 2017].
Rubby Setiaangga. 2013. 51091372-ABSORBSI-GAS. [ONLINE] Available at:
http://www.academia.edu/12295108/51091372-ABSORBSI-GAS.
[Accessed 5 May 2017].
Treybal, Robert E. 1981. Mass Transfer Operations. Malaysia: McGraw-Hill.
28