Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Bab I & Ii

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau

umbai cacing (apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (cecum).

Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan

tindakan pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya

berbahaya (Wim de jong et al, 2005). Penyakit ini dapat terjadi pada semua

umur, tetapi umumnya terjadi pada dewasa dan remaja muda, yaitu pada

umur 10-30 tahun (Agrawal, 2008) dan insiden tertinggi pada kelompok umur

20-30 tahun (Sjamsuhidajat, 2010). Apendisitis merupakan penyebab

tersering nyeri abdomen akut dan memerlukan tindakan bedah segera untuk

mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Sjamsuhidajat, 2010).

Salah satu penatalaksanaan pada pasien apendisitis adalah apendiktomi.

Menurut Smeltzer & Bare, 2002 Apendiktomi adalah tindakan

pembedahan untuk mengangkat apendisitis yang dilakukan sesegera mungkin

untuk menurunkan resiko abses atau perforasi. Tindakan apendiktomi selalu

menjadi solusi yang dapat memulihkan seseorang agar gejala apendiktomi

tidak muncul lagi. Insiden terjadinya appendisitis di negara maju lebih tinggi

dibandingkan dengan negara berkembang. Di Amerika Serikat apendisitis

merupakan kedaruratan bedah abdomen paling sering dilakukan, dengan

jumlah penderita pada tahun 2008 sebanyak 734.138 orang dan meningkat

pada tahun 2009 menjadi 739.177 (Santacrore & Craigh, 2012). Sementara

1
untuk Indonesia insidennya 120/100.000 per tahun. Jumlahnya semakin

berkurang dalam berapa dekade terakhir (Jonathan Gleade, 2005) Rasio pria :

wanita data adalah 2 : 1 antara usia 15 sampai dengan 25 tahun, tetapi

selanjutnya rasio nya 1:1. (Schwartz, shires.spencer.2000) Berdasarkan data

yg didapat, menurut depkes RI (2011), Jumlah pasien yang menderita

penyakit appendiksitis di indonesia berjumlah sekitar 27% dari jumlah

penduduk di Indonesia.

Tindakan bedah apendiktomi merupakan suatu ancaman potensial atau

actual kepada integritas seseorang baik bio-psiko-sosial yang dapat

menimbulkan respon berupa nyeri, rasa nyeri tersebut biasanya timbul setelah

operasi. Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri

adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang

didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau

menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (Tamsuri, 2007 Dikutip dari

Yusrizal, 2012). Sedangkan menurut Azis, (2009) Nyeri merupakan kondisi

berupa perasaan yang tidak menyenangkan bersifat sangat subjektif. Perasaan

nyeri pada setiap orang berbeda-beda dalam hal skala ataupun tingkatannya

dan orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri

yang dialaminya

Menurut Potter. Perry (2010) Penanganan nyeri bisa dilakukan secara

farmakologi yaitu dengan pemberian obat-obatan analgesik dan obat

penenang. Sedangkan secara non farmakologi dengan melakukan relaksasi,

distraksi, stimulasi kutaneus, dan herbal. Pengkombinasian antara teknik

2
farmakologi dan teknik non farmakologi adalah cara yang efektif untuk

menghilangkan nyeri terutama nyeri yang sangat hebat yang berlangsung

selama berjam-jam atau bahkan berharihari (Smeltzer&Bare,2002).

Penanganan nyeri dengan teknik non farmakologi merupakan modal

utama menuju kenyamanan (Catur, 2005 dikutip dari Yusrizal, 2012). Untuk

menurunkan rasa nyeri pada pasien apendiktomi, maka perlu dilakukan

beberapa terapi non farmakologis. Dari Putra Specialist Hospital Melaka

didapatkan data 15 orang penderita apendisitis selama dua bulan terakhir di

ruangan Bedah Ward 10. (Buku Sensus Pasien,2018)

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan

pengelolaan kasus pada pasien Apendisitis dengan judul “Asuhan

Keperawatan Medikal Bedah Pada An.K dengan Apendisitis Akut di Ruang

Rawat Inap Bedah Pria Putra Spesialst Hospital Melaka Tahun 2018”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan

pengelolaan kasus pada pasien Apendisitis dengan judul “Asuhan

Keperawatan Medikal Bedah Pada An.K dengan Apendisitis Akut di Ruang

Rawat Inap Bedah Pria Putra Spesialst Hospital Melaka Tahun 2018”.

3
C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mampu mengelola Asuhan Keperawatan Pada An.K dengan Apendisitis

Akut di Ruang Rawat Inap Bedah Pria Putra Spesialst Hospital Melaka

Tahun 2018

2. Tujuan Khusus

a. Mampu mengetahui konsep teori asuhan keperawatan tentang


Apendisitis
b. Mampu mengelola asuhan keperawatan tentang Apendisitis
c. Mampu menganalisa jurnal terkait dengan kasus Apendisitis Akut
d. Mampu menganalisa hasil penelitian dengan kasus kelolaan dan teori
tentang Apendisitis
e. Mampu menerapkan hasil penelitian berdasarkan Evidance Based
yang ada pada pasien dengan Apendisitis
D. Manfaat
1. Bagi Pasien
Diharapkan pasien dapat menerima asuhan keperawatan yang

diberikan dan mampu mencegah komplikasi lebih lanjut.

2. Bagi Pelayanan kesehatan

Dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam melaksanakan asuhan

keperawatan pada pasien dengan Apendisitis, sehingga dapat dilakukan

tindakan yang segera untuk mengatasi masalah yang terjadi pada pasien

dengan Apendisitis Akut.

4
3. Bagi Perguruan Tinggi

Sebagai bahan informasi, kepustakaan, dan acuan untuk

pengembangan dan peningkatan pengetahuan dalam hal Apendisitis akut.

4. Bagi Mahasiswa

Diharapkan mahasiswa dapat menambah ilmu pengetahuan dan

pengalaman yang lebih mendalam dalam memberikan Asuhan

Keperawatan khususnya pada pasien dengan Apendisitis Akut.

5. Bagi Pembaca

Memberikan pengertian / pengetahuan dan pengambilan keputusan

yang tepat kepada pembaca. Khususnya dalam menyikapi dan mengatasi

jika ada penderita Apendisitis Akut.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR

I. Definisi Apendisitis

Menurut (Mansjoer, Arief, dkk, 2007). Apendisitis adalah

peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab abdomen

akut yang paling sering. Sedangkan menurut (Wim de jong et al, 2005)

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai

cacing (apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (cecum). Pendapat

lain menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), Apendisitis adalah penyebab

paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga

abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen

darurat.

Berdasarkan dari defenisi-defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa

apendisitis adalah peradangan pada usus buntu atau umbai cacing

(apendiks) yang merupakan penyebab abdomen akut yang memerlukan

tindakan bedah segera. Apendiksitis adalah peradangan dari apendiks

vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.

Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun

perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30

tahun. (Mansyoer, 2000).

6
Apendiksitis adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti

kantung yang tak berfungsi terletak pada bagian inferior dari sekum.

Penyebab yang paling umum dari apendisitis adalah abstruksi lumen oleh

feses yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa

menyebabkan inflamasi (Wilson & Goldman, 2002).

Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut

pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum

untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001).

Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing.

Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus

memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang

terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan

oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur.

(Anonim, Apendisitis, 2007)

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu

atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan.

Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu

merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian

awal usus besar atau sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar

kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti

bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang

senantiasa mengeluarkan lendir. Apendisitis merupakan peradangan pada

usus buntu/apendiks ( Anonim, Apendisitis, 2007)

7
Gambar 2.1 Appendik Normal dan Appendik Inflamasi

2. Anatomi dan Fisiologi

Usus buntu dalam bahasa latin disebut sebagai Appendix

vermiformis. Appendiks terletak di ujung sakrum kira-kira 2 cm di bawah

anterior ileo saekum, bermuara di bagian posterior dan medial dari

saekum. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior, medial dan

posterior. Secara klinik appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu

daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan sias kanan dengan pusat.

Posisi apendiks berada pada Laterosekal yaitu di lateral kolon asendens.

Di daerah inguinal: membelok ke arah di dinding abdomen (Harnawatiaj,

2008). Walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing

bisa di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di

peritoneum.

Ukuran panjang apendiks rata-rata 6 – 9 cm. Lebar 0,3 – 0,7 cm.

Isi 0,1 cc, cairan bersifat basa mengandung amilase dan musin. Pada

kasus apendisitis, apendiks dapat terletak intraperitoneal atau

retroperitoneal. Apendiks disarafi oleh saraf parasimpatis (berasal dari

8
cabang nervus vagus) dan simpatis (berasal dari nervus thorakalis X). Hal

ini mengakibatkan nyeri pada apendisitis berawal dari sekitar umbilicus (

Nasution, 2010 ).

Saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ

imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin

(suatu kekebalan tubuh) dimana memiliki/berisi kelenjar limfoid.

Apendiks menghasilkan suatu imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan

oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue), yaitu Ig A.

Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi,

tetapi jumlah Ig A yang dihasilkan oleh apendiks sangat sedikit bila

dibandingkan dengan jumlah Ig A yang dihasilkan oleh organ saluran

cerna yang lain. Jadi pengangkatan apendiks tidak akan mempengaruhi

sistem imun tubuh, khususnya saluran cerna (Nasution,2010).

Gambar 2.2 Anatomi Appendiksitis

9
Gambar 2.3 Anatomi Fisiologi

3. Klasifikasi Apendisitis

Menurut (Sjamsuhidayat, 2005) Klasifikasi apendisitis terbagi

menjadi dua yaitu apendisitis akut dan apendisitis kronik.

1. Apendisitis Akut

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari

oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat,

disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala

apendisitis akut ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan

nyeri viseral di daerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini

sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan

menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik mcBurney.

10
Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga

merupakan nyeri somatik setempat .

2. Apendisitis Kronik

Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan

adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang

kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria

mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding

apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan

parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik.

Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.

4. Etiologi Apendisitis

Obstruksi lumen disebabkan oleh fekalit, hipertrofi limfoid, barium

kering, biji, atau cacing usus. Gejala-gejala obstruksi lingkaran tertutup

berkembang karena sekresi mukosa terus menerus sampai kapasitas lumen

0,1ml dan karena multiplikasi cepat dari bakteri dalam apendiks.

Distensi merangsang serat nyeri aferen visceral, menimbulkan

nyeri abdomen bawah dan tengah yang samar samar, tumpul, difus.

Distensi mendadak dapat menyebabkan peristaltic dengan kram. Tekanan

vena berlebihan dan aliran arteriol kedalam menyebabkan kongesti

vascular apendiks, dengan reflek mual.

11
Pembendungan serosa merangsang peradangan peretoneum

prietalis dengan pergesaran atau nyeri yang lebih hebat ke kuadran kanan

bawah. Gangguan mukosa memungkinkan invasi bakteri, dan selanjutnya

timbul demam, takikardi, dan leukositosis.

Dengan distensi yang makin progresif, terjadi infark anti

mesenteric dan perforasi. Kadang episode apendisitis akut dapat

menghilang jika obstruksi dihilangkan; pemeriksaan patologi selanjutnya

menemukan dinding apendiks yang menebal dan berjaringan parut

(Schwartz, s.i, 2000).

a. Ulserasi pada mukosa

b. Obstruksi pada colon oleh fecalit (feses yang keras)

c. Pemberian barium

d. Berbagai macam penyakit cacing

e. Tumor

f. Struktur karena fibrosis pada dinding usus

5. Patofisiologi Apendisitis

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen

apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur

karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.Obstruksi

tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami

bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas

12
dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan

penekanan tekanan intralumen. Tekanan ya ng meningkat tersebut akan

menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri,

dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang

ditandai oleh nyeri epigastrium.

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat.

Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan

bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan

mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah

kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.Bila

kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang

diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa.

Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.

Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang

berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal

yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat

menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih

pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan

tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang

memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi

mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer,

2007).

13
14
15
16
17
18
6. Manifestasi Klinis Apendisitis

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis

adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar

umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa

mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan

menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran

kanan bawah, ke titik Mc Burney (terletak di petengahan antara umbilikus

dan spina anterior ilium). Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas

letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang,

tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat

konstipasi sehingga penderita memerlukan obat pencahar. Tindakan ini

dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.

Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar

37,5-38,5°C.

Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul

sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak

apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut :

a. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu dibelakang sekum

(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu

jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah

perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti

berjalan, bernafas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena

adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.

19
b. Bila apendiks terletak di rongga pelvis

Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rectum, akan timbul

gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik

meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan

berulang-ulang (diare).

c. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih

dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan

dindingnya (Nurarif, Kusuma 2013).

7. Diagnosis

Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut.

Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi

pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh

perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi nervus vagus.

Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut

jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi,

antara 37,5-38,5 C tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi

perforasi (Departemen Bedah UGM, 2010). Pada pemeriksaan fisik yaitu

pada inspeksi di dapat penderita berjalan membungkuk sambil memegangi

perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut

bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler abses (Departemen Bedah

UGM, 2010). Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit

20
kembung. Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan

sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri.

Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah adalah :

1. Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri

tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini

merupakan tanda kunci diagnosis.

2. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness

(nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan

bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya

dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.

3. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen

yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal.

4. Rovsing sign (+) adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah

apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal

ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena

iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.

5. Psoas sign (+) terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas

oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.

6. Obturator sign (+) adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan

lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar

secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak

pada daerah hipogastrium (Departemen Bedah UGM, 2010).

21
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok pada auskultasi akan terdapat

peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena

peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak

membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah

terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada

pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-

12 (Departemen Bedah UGM, 2010).

Apendisitis dapat didiagnosis menggunakan skor alvarado yang dapat


dilihat pada tabel 2.1

Tabel 2.1 Gambaran klinis apendisitis akut berdasarkan skor alvarado

Tabel Skor Alvarado Skor


Gejala Klinis
Nyeri perut yang berpindah ke kanan bawah 1
Nafsu makan menurun 1
Mual dan atau muntah 1
Tanda Klinis
Nyeri lepas Mc. Burney 1
Nyeri tekan pada titik Mc. Burney 2
Demam (suhu > 37,2° C) 1
Pemeriksaan Laboratoris
Leukositosis (leukosit > l 0.000/ml) 2
Shift to the left (neutrofil > 75%) 1
TOTAL 10

Sumber : www.alvarado score for appendicitis.co.id

Interpretasi:
Skor 7-10 = apendisitis akut, Skor 5-6= curiga apendisitis akut,

Skor l-4 = bukan apendisitis akut.


Pembagian ini berdasarkan studi dari McKay (2007).

22
8. Pemeriksaan Diagnostik Apendisitis

1. Laboratorium

Ditemukan leukosit 10.000 sd 18.000/mm³, kadang-kadang dengan

pergeseran ke kiri leukositosis lebih dari 18.000/mm³ disertai

keluhan/gejala apendisitis lebih dari empat jam mencurigakan perforasi

sehingga diduga bahwa tingginya leukositosis sebanding dengan

hebatnya peradangan.

2. Radiologi

Pemeriksaan radiologi akan sangat berguna pada kasus atipikal. Pada

55% kasus apendisitis stadium awal akan ditemukan gambaran foto

polos abdomen yang abnormal, gambaran yang lebih spesifik adanya

masa jaringan lunak di perut kanan bawah dan mengandung

gelembunggelembung udara. Selain itu gambaran radiologist yang

ditemukan adanya fekalit, pemeriksaan barium enema dapat juga dipakai

pada kasus-kasus tertentu cara ini sangat bermanfaat dalam menentukan

lokasi sakum pada kasus “Bizar”. Pemeriksaan radiology X-ray dan

USG menunjukan densitas pada kuadran kanan bawah atau tingkat aliran

udara setempat.

3. Pemeriksaan Penunjang Lainnya

a. Pada copy fluorossekum dan ileum terminasi tampak irritable.

b. Pemeriksaan colok dubur : menyebabkan nyeri bila di daerah infeksi,

bisa dicapai dengan jari telunjuk.

23
c. Uji psoas dan uji obturator.

8. Komplikasi Apendisitis

Komplikasi yang paling sering timbul adalah :

1. Perforasi

Insidens perforasi 10-32%, rata-rata 20%, paling sering terjadi pada usia

muda sekali atau terlalu tua, perforasi timbul 93% pada anakanak

dibawah 2 tahun antara 40-75% kasus usia diatas 60 tahun ke atas.

Perforasi jarang timbul dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi

insiden meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi terjadi 70% pada

kasus dengan peningkatan suhu 39,5°C tampak toksik, nyeri tekan

seluruh perut dan leukositosis akibat perforasi dan pembentukan abses.

2. Peritonitis

Adalah trombofebitis septik pada sistem vena porta ditandai dengan

panas tinggi 39°C - 40°C menggigil dan ikterus merupakan penyakit

yang relatif jarang.

a. Tromboflebitis supuratif dan sitem portal, jarang terjadi tetapi

merupakan komplikasi yang letal.

b. Abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominal lain.

c. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.

24
9. Penatalaksanaan Apendisitis

1. Intervensi pada unit gawat darurat

a. Tujuan intervensi kedaruratan yang dilakukan pada pasien

apendiks adalah memberikan cairan untuk mencegah dehidrasi dan

septikemia.

b. Pasien dipuasakan dan tidak ada asupan apapun secara oral.

c. Pemberian analgetik dan antibiotic melalui intravensi.

2. Terapi farmakologis

Preoperatif antibiotik untuk menurunkan resiko infeksi pasca bedah.

3. Terapi bedah

Bila diagnosis klinis sudah jelas, maka tindakan paling tepat adalah

apendiktomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik.

Penundaan tindak bedah sambil pemberian antibiotik dapat

mengakibatkan abses atau perforasi. Apendiktomi bisa dilakukan

secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi. Pada apendisitis

tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali

pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata (Syamsuhidajat,

2005).

25
10. Apendiktomi

I. Defenisi

Apendiktomi adalah tindakan pembedahan yang dilakukan

untuk memotong jaringan apendiks yang mengalami peradangan

apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan

sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi

dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi

abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode

terbaru yang sangat efektif (Smeltzer, Suzanne C, 2001).

II. Indikasi Apendiktomi

Secara praktis apendiktomi diindikasikan untuk semua kasus

apendisitis akut yang ditemukan dalam 72 jam pertama ini tidak

berlaku pada anak-anak. Setelah 72 jam mungkin dapat masa

peradangan, pada kasus-kasus ini pengobatan yang mengandung

harapan harus dipertimbangkan, diikuti dengan apendiktomi tertunda

atau sering disebut “interval” yang dilakukan 6 minggu kemudian.

Apendiktomi juga diindikasikan pada apendisitis kronis. Keadaan-

keadaan jarang lainnya yang melibatkan apendiktomi seperti

karsinoid, tumor juga harus kedalam daftar indikasi (Johanes, 2009).

Sebaiknya pencegahan nyeri sebelum operasi direncanakan agar

penderita tidak terganggu oleh nyeri setelah pembedahan. Cara

pencegahan tergantung pada penyebab dan letak nyeri dan keadaan

26
penderitanya. Nyeri pasca operasi mungkin sekali disebabkan oleh

luka operasi, tetapi kemungkinan sebab lain harus dipertimbangkan

(Sjamsuhidajat,2002).

III. Perawatan Post Op Appendiktomi

Pasca operasi perawat harus melakukan perawatan luka

pasien apendiktomi. Perawatan pada pasien post op apendiktomi

adalah :

a. Memonitor tanda-tanda vital serta keadaan umum pasien

Pemeriksaan tanda-tanda vital bertujuan untuk mengetahui

terjadinya perdarahan di dalam, syok, hipertermia, atau

gangguan pernafasan.

b. Melakukan penanganan nyeri post op apendiktomi

Dua tindakan keperawatan yang menjadi dasar dari semua

penatalaksanaan nyeri adalah hubungan perawatan pasien dan

penyuluhan pada pasien tentang nyeri serta cara meredakan

nyeri. Analgetik oploid sering diresepkan untuk nyeri,

kegelisahan pada pasien post op apendiktomi, meski minimum

dosis pasien diresepkan. Waktu pemberian sering kali

merupakan fungsi penilaian keperawatan. Nyeri dalam 24 jam

pertama setelah pembedahan membutuhkan peredaan dengan

oploid dan penggunaan medikasi ini harus didukung oleh

tindakan peredaan seperti perubahan posisi pasien, penggunaan

27
analgetik dan memberikan perawatan fisik. Sentuhan fisik yang

sesuai dapat menenangkan dan menyenangkan bagi pasien

(Syamsuhidayat, 2002).

c. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

Penderita post operasi umumnya oliguria, tetapi kurang toleran

terhadap air sehingga pemberian cairan yang tidak diimbangi

dengan diuretik akan menyebabkan cairan dalam tubuh akan

berkurang. Oleh karena itu pemberian cairan post operasi

didasarkan atas kebutuhan sehari-hari (Syamsuhidayat, 2002).

d. Melakukan perawatan luka

Meskipun semua balutan pertama pasien diganti oleh ahli

bedah, balutan berikutnya dalam proses post operasi segera

biasanya diganti oleh perawat. Bagian luar balutan kering dan

bersih, sehingga mengurangi kontaminasi. Kondisi dari balutan

operasi dan luka disokumentasikan, jangan pernah mengganti

balutan pada waktu makan. Pengangkatan balutan sejajar

dengan pertumbuhan rambut, bukan membentuk sudut ke

kanan balutan lama dilepas dan dibuang. Dan melakukan

perawtan luka post op sesuai dengan prinsip SOP (Suzanne,

2000).

28
e. Mobilisasi dini

Mobilisasi dini adalah kebijaksanaan untuk selekas mungkin

membimbing penderita untuk melakukan perubahan posisi di

tempat tidurnya dan membimbing berjalan selekas mungkin

(Sulaiman, 2003).

f. Mempersiapkan pasien pulang

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS APPENDIKTOMI.

1. Pengkajian

a. Identitas

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, suku, agama, status

perkawinan, ruang rawat, no medical record, tanggal/jam masuk,

tanggal/jam pengkajian dan diagnosa medis.

b. Keluhan utama dan riwayat kesehatan sekarang.

Klien akan mendapatkan nyeri disekitar epigastrium menjalar ke perut

kanan bawah, timbul keluhan nyeri perut kanan bawah mungkin berapa

jam kemudian, setelah nyeri kepusat atau epigastrium dirasakan dalam

beberapa waktu. Sifat keluhan nyeri dirasakan terus menerus, dapat hilang

atau timbul nyeri dalam waktu yang lama.

c. Riwayat kesehatan lalu

1. Riwayat pembedahan sebelumnya

29
2. Riwayat penyakit yang pernah ada sebelumnya, seperti kelainan

pendarahan (Trombositopenia/Hemophilia), Infeksi saluran

pernapasan,penyakit hati, deman, penyakit pernapasan (asma,

emfisema, bronchitis)

3. Riwayat alergi (Obat-obatan)

d. Kebiasaan merokok

Pasien perokok memiliki resiko yang lebih besar untuk mengalami

komplikasi paru-paru pasca operasi dari pada pasien tidak perokok.

e. Kebiasaan konsumsi alkohol/penyalahgunaan oba-obatan.

Kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan dapat

memicu pasien pada reaksi yang merugikan terhadap obat anestesi.

f. Dukungan Keluarga

Keluarga merupakan sumber terpenting bagi pasien yang mengalami

keterbatasan fisik dan keluarga memberi dukungan emosional yang

dibutuhkan untuk memotivasi pasien mencapai kembali status kesehatan

sebelumnya.

g. Pekerjaan

Pembedahan dapat menyebabkan perubahan fisik yang menghambat atau

mencegah seseorang kembali bekerja. Apabila pasien tidak mampu

kembali bekerja kepada pekerjaan nya semula hal ini akan menyebabkan

gangguan ekonomi pada pasien dan keluarga.

30
h. Nyeri Pre Operatif

Perlu dikaji pengalamnan nyeri klien sebelumnya, metode pengontrolan

nyeri yang biasa dilakukan, sikap pasien dalam menggunakan obat-obatan

penghilang rasa nyeri, frespon perilaku terhadap nyeri, pengetahuan

pasien, harapan, dan metode manajemen nyeri yang dipilih, serta harapan

atau perhatian keluarga tentang manajemen nyeri.

i. Pola kebiasaan sehari-hari

1. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan.

Ds : Persepsi klien terhadap kebersihan diri, lingkungan dan makanan

serta riwayat kesehatan keluarga.

Do : Mengkaji kebersihan seluruh tubuh

2. Pola nutrisi dan metabolic

Ds : Bagaimana kebiasaan makanan dan minuman sehari-hari dan

kenaikan berat badan.

Do : Mengkaji gambaran nutrisi tubuh atau berat badan, kebiasaan

makan, nilai kebersihan badan sendiri.

3. Pola eliminasi

Ds : Kebiasaan BAB/BAK sebelum sakit, riwayat penyakit kelamin

yang pernah di derita.

Do : Pola BAB/BAK.

31
4. Pola tidur dan Istirahat

Ds : Kebiasaan tidur sehari-hari (Lama tidur malam, tidur siang),

gangguan tidur dan kebiasaan sebelum tidur.

Do : Tingkat kemampuan observasi matadan ekspresi wajah.

5. Pola persepsi kognitif

Ds :Identifikasi tingkat interval secara umum, kemampuan

mengukapkan perasaan nyaman atau nyeri dan

kemampuan berpikir, penginderaan, pengecapan, serta

penggunaan alat bantu.

6. Pola peran dan hubungan dengan masyarakat

Ds : Identifikasi hubungan klien dengan seksama, saudara, atau

keluarga, cara klien mengukapkan masalah pada teman

atau keluarga.

Do : Klien berhubungan dengan keluarga dan saudaranya.

7. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress

Ds : Identifikasi respon emosi klien saat klien menghadapi masalah

atau stress dan bagaimana klien mengukapkan atau

melampiaskannya.

Do : Kaji ekspresi wajah klien.

32
8. Pola sistem kepercayaan

Do : Kepercayaan dan kegiatan klien beribadah pada kepercayaanya,

apakah klien rajin berdoa selama sakit.

j. Pemeriksaan fisik (Head to toe)

1. Keadaan umum : Baik / Sedang / Buruk.

2. Kesadaran : Composmentis / dimensia dll.

3. Tanda-tanda vital : Tekanan darah, RR, nadi, suhu.

a. Kepala

Inspeksi :Bentuk, ubun-ubun warna rambut, kebersihan.

Palpasi : Ada atau tidak massa atau bengkak.

b. Mata (kiri-kanan)

Inspeksi : Ketajaman visus, palpebrae,simetris atau tidak,

Konjungtiva ada atau tdk hiperremia, warna

sclera putih atau tidak, kornea jernih atau tidak,

pupil bulat atau tidak ukurannya, reflek cahaya

normal atau tidak.

c. Telinga

Inspeksi : Bentuk simetris atau tidak, ada cairan atau tidak

Palpasi : Ada atau tidak massa atau luka

33
d. Hidung

Inspeksi : Simetris atau tidak, cavum nasal atau tidak

Palpasi : Ada atau tidak cairan

e. Mulut

Inspeksi :Mukosa bibir kering atau lembab. Lidah kotor atau

tidak, trismus ada atau tidak, lidah normal atau

tidak, labioschizis ada atau tidak

f. Leher

Inspeksi : Ada bengkak atau tidak, reflek menelan ada atau

tidak, distensi vena juguralis atau tidak, edema

kelenjar tiroid ada atau tidak.

Palpasi : Ada bengkakbatau tidak

g. Dada (Paru-Paru)

Inspeksi : Bentuk dada normal atau tidak, simetri atau tidak,

deformitas ada atau tidak

Palpasi : Taktil fremitus kanan dan kiri simetris atau tidak

Perkusi : Sonor atau hipersonor

Auskultasi : Vesikuler atau wheezing ada atau tidak

h. Jantung

Inspeksi : Ictus cordis terlihat atau tidak

Palpasi : Ictus cordis teraba atau tidak pada inter costal V

mid clavicula sinistra

34
Perkusi : Normal atau tidak

Auskultasi : Bunyi jantung I, II, S1, S2 normal atau tidak

i. Abdomen

Inspeksi : Simetris atau tidak, ada atau tidak pembengkakan

Palpasi : Supel atau tidak, nyeri tekan atau teraba massa

atau tidak

j. Ekstremitas (Atas atau Bawah)

Inspeksi : Ada atau tidak bengkak, nyeri atau tidak saat

digerakan, perubahan bentuk, sendi atau tidak,

terbatas atau tidak pergerakan

Palpasi : Kelemahan otot atau tidak, nyeri tekan ada atau

tidak, pitting edema ada atau tidak.

2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul.

a. Pre Operasi.

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury biologi ( distensi

jaringan intestinal oleh inflamasi).

2. Perubahan pola eliminasi (Konstipasi) berhubungan dengan

penurunan peristaltik.

3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah

35
b. Post Operatif

1. Nyeri berhubungan dengan agen injury fisik (luka insisi post operasi

appendik).

2. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (Insisi post

pembedahan).

3. Hambatan mobilitas berhubungan dengan keterbatasan gerak.

36
3. INTERVENSI KEPERAWATAN

Tabel 2.1 : Intervensi Teoritis

a. Pre Operasi

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC

1. Nyeri akut berhubungan dengan a. Pain Level. Pain Management

agen injury biologi ( distensi b. Pain Control. 1. Kaji tingkat nyeri, secara komprehensif, termasuk

jaringan intestinal oleh c. Comfort Level. lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan

inflamasi). Kriteria hasil : faktor presipitasi.

1.Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab 2. Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyaman.

nyeri, mampu menggunakan teknik non 3. Gunakan teknik komunikasi terapautik untuk

farmakologi untuk mengurangi nyeri, mengetahui pengalaman nyeri pasien.

mencari bantuan). 4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri.

2.Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau.

menggunakan manajemen nyeri. 6. Kurangi faktor presipitasi nyeri.

37
3.Tanda-tanda vital dalam rentang normal. 7. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (

TD : Sistole 110-130 mmhg. farmakologi, non farmakologi dan interpersonal).

Diastole 70-80 mmhg. 8. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan

HR : 60 – 100 intervensi.

x/menit 9. Ajarkan teknik non farmakologi.

RR : 16-24 x / 10. Berikan anlgetik untuk mengurangi nyeri.

menit. 11. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri.

Suhu : 36,5 -37,5˚ C. 12. Tingkatkan istirahat.

4.Tampak rileks, mampu tidur atau istirahat. 13. Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan

tindakan menghilangkan nyeri tidak berhasil.

2. Perubahan pola eliminasi Elimination Control. Nutrisions Management

(Konstipasi) berhubungan dengan Kriteria Hasil : 1. Auskultasi bising usus.

penurunan peristaltik. 1. BAB 1-2 Kali / hari. 2. Tinjau ulang pola diet dan jumlah atau tipe masukan

2. Feses lunak / lembek. cairan.

3. Bising usus 5-30 kali / menit. 3. Berikan makanan tinggi serat.

38
4. Berikan obat sesuai indikasi, contoh : pelunak feses.

3. Kekurangan volume cairan Fluid Balance Monitor Cairan

berhubungan dengan mual, 1. Kelembaban membrane mukosa. Monitor asupan dan pengeluaran, periksa turgor kulit.

muntah 2. Turgor kulit baik. 1. Monitor tanda-tanda vital.

3. Haluaran urin adekuat : 0,5 – 1 cc / Kg BB 2. Kaji membran mukosa, turgor kulit dan pengisian

/ Jam. kapiler (CRT).

4. Tanda-tanda vital dalam batas normal. 3. Awasi masukan dan haluaran, catat warna urine atau

TD : Sistolik (110-130 mmhg) kosentrasi berat jenis.

Diastole ( 70-80 mmhg) 4. Auskultrasi, bising usus, catat kelancaran, flatus,

RR : 16-24 x / Menit. gerakan usus.

HR : 80-100 x / Menit. 5. Berikan perawatan mulut sering, dengan perhatian

Suhu : 36,5-37,5 ˚ C khusus pada perlindungan bibir.

6. Pertahankan penghisapan gaster atau usus.

7. Kolaborasi pemberian cairan infus.

39
b. Post Operasi

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC

1. Nyeri berhubungan dengan agent a. Pain control Pain Management :

injury fisik (luka insisi post b. Congart level 1. Kaji nyeri secara komprehensif meliputi lokasi,

operasi). Kriteria hasil : karakteristik, frekuensi, kualitas, intensitas atau

1.Mampu mengenali kapan nyeri terjadi. berat nya nyeri dan faktor pencentus.

2.Mampu menggunakan tindakan 2. Observasi adanya petunjuk non verbal mengenai

pengurangan nyeri tanpa analgesic ketidaknyamanan.

(distraksi). 3. Gunakan teknik relaksasi nafas dalam.

3.Melaporkan nyeri yang terkontrol. 4. Evaluasi pengalaman nyeri masa lalu meliputi

4.Mengunakan analgesic yang riwayat nyeri kronik.

direkomendaksikan 5. Metode farmakologi untuk mengurangi nyeri.

2. Resiko infeksi berhubungan Infection Control Kriteria Infection Control

dengan tindakan invasif (insisi post hasil : Kriteria hasil :

pembedahan) 1. Tandadan gejala infeksi tidak terjadi. 1. Pakai sarung tangan dengan tepat.

40
2. Tanda-tanda vital dalam batas normal. 2. Pastikan teknik perawatanluka yang tepat.

3. Penyembuhan luka baik. 3. Batasi jumlah pegunjung.

4.Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan saat

memasuki dan meninggalkan ruangan pasien.

5.Bersihkan lingkungan yang baik setelah

digunakan pasien.

6. Pastikan teknik perawatan luka yang tepat.

7.Berikan antibiotik yang sesuai

8. Dorong untuk istirahat.

9. Anjurkan pasien minum antibiotic seperti yang

diresepkan.

3. Hambatan mobilitas berhubungan Pergerakan. Perawatan tiah baring

dengan keterbatasan gerak. Kiteria Hasil : 1. Jelaskan alasan diperlukannya tirah baring.

1. Keseimbangan. 2. Posisikan sesuai body alignment yang tepat.

2. Koordinasi. 3. Monitor kondisi kulit klien.

41
3. Gerakan otot. 4. Balikan (pasien) sesuai dengan kondisi kulit.

4. Gerakan sendi. 5.Tempatkan matras atau kasur teraupautik dengan

5. Bergerak dengan mudah. cara yang tepat.

6.Hindari menggunakan kain linen kasar yang

teksturnya kasar.

7.Gunakan alat ditempat tidur dengan cara yang

tepat.

42

Anda mungkin juga menyukai