Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Makalah Seminar Ileus Obstruksi

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan aliran normal isi usus
sepanjang saluran usus. Obstruksi usus dapat akut dengan kronik, partial atau
total. Obstruksi usus biasanya mengenai kolon sebagai akibat karsinoma dan
perkembangannya lambat. Sebagian dasar dari obstruksi justru mengenai usus
halus. Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosa ileus
(Davidson, 2006). Di Amerika diperkirakan sekitar 300.000-400.000 menderita
ileus setiap tahunnya (Jeekel, 2003). Di Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileus
paralitik dan obstruktif tanpa hernia yang dirawat inap dan 7.024 pasien rawat
jalan pada tahun 2004 menurut Bank data Departemen Kesehatan Indonesia.
Terapi ileus obstruksi biasnya melibatkan intervensi bedah. Penentuan waktu
kritis serta tergantung atas jenis dan lama proses ileus obstruktif. Obstruksi total
usus halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan
tindakan pembedahan darurat bila penderita ingin tetap hidup. Operasi dilakukan
secepat yang layak dilakukan dengan memperhatikan keadaan keseluruhan pasien
(Sabiston, 1995). Untuk itu penulis tertarik untuk mengakat penyakit ini untuk
bahan seminar kami.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengetahui konsep dasar dan asuhan keperawatan dari Ileus Obstruktif
2. Tujuan Khusus
a. Mampu memahami Konsep Dasar : Anatomi, Fisiologi sistem pencernaan
b. Mampu memahami Definisi, Etiologi, Manifestasi Klinis, Patofisiologi,
Komplikasi, Pemeriksaan Diagnostik, dan Penatalaksanaan dari illeus
Obstruktif .
c. Mampu melakukan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan illeus
Obstruktif mulai dari awal Pengkajian, Diagnosa, Perencanaan,
Implementasi dan Evaluasi

C. Ruang Lingkup Penulisan


1. Konsep Dasar

1
2

a. Anatomi
b. Fisiologi
c. Definisi
d. Etiologi
e. Manifestasi Klinis
f. Patofisiologi
g. Komplikasi
h. Pemeriksaan Diagnostik
i. Penatalaksanaan

2. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
b. Diagnosa
c. Perencanaan
d. Implementasu
e. Evaluasi

D. Metodelogi Penulisan
Penyusunan karya tulis ini menggunakan metode deskriptif yaitu suatu
pengumpulan data berdasarka apa yang ada waktu observasi. Dalam
pelaksanaannya penulis mengumpulkan data dengan cara :
1. Wawancara dengan pasien dan keluarga
2. Observasi partisipasi
Observasi partisipasi adalah mengadakan pengawasan terhadap perkembangan
pasien dengan ikut serta melaksanakan asuhan keperawatan.
3. Studi dokumentasi
Studi dokumentasi adalah mempelajari, buku, laporan, catatan medik dan hasil
pemeriksaan penunjang lainnya.
4. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik adalah ketrampilan dasar yang digunakan selama
pemeriksaan antara lain : inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi yang
memungkinkan perawat untuk mengumpulkan data fisik klien yang luas.
5. Berdiskusi dengan teman sekelompok, perawat senior di Instalasi Kamar
Oprasi dan dengan CI

E. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN Berisi Latar Belakang, Tujuan Penulisan,
Ruang Lingkup Penulisan, Metodelogi
Penulisan dan Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Berisi Konsep Dasar : Anatomi, Fisiologi,


Definisi, Etiologi, Manifestasi Klinis,
3

Patofisiologi, Komplikasi, Pemeriksaan


Diagnostik, dan Penatalaksanaan.
Asuhan Keperawatan : Pengkajian,
Diagnosa, Perencanaan, Implementasi dan
Evaluasi

BAB III TINJAUAN KASUS Berisi Pengkajian, Diagnosa, Perencanaan,


Imlementasi dan Evaluasi
BAB IV PEMBAHASAN Berisi Pengkajian, Diagnosa, Perencanaan,
Imlementasi dan Evaluasi
BAB V PENUTUP berisi Kesimpulan dan Saran
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR
1. ANATOMI
a. Usus Halus
Usus halus berbentuk tubuler, dengan panjang 6 meter pada orang

dewasa, yang terbagi atas tiga segmen yaitu duodenum, jejunum, dan

ileum. Duodenum merupakan segmen yang paling proksimal, terletak

retroperitoneal berbatasan dengan kaput dan batas inferior dari korpus

pancreas. Duodenum dipisahkan dari dari gaster oleh adanya pylorus dari

jejunum oleh batas ligamentum Treitz. Jejunum dan ileum terletak di

intraperitoneal dan bertambat ke retroperitoneal melalui mesenterium.

Tak ada batas anatomi yang jelas untuk membedakan antara jejunum dan

ileum; 40% panjang dari jejunoileal di yakini sebagai jejunum dan 60%

sisanya sebagai ileum. Ileum berbatasan dengan sekum dikatup ileosekal.

(Whang. dkk, 2005)


Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8

meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong atau disebut juga jejunum.

Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada

sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 meter dan

terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu

atau appendiks. Ileum memiliki pH atara 7 dan 8 (netral atau sedikit

basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan dan garam-garam

empedu. (Whang. dkk, 2005)


Usus halus terdiri atas lipatan mukosa yang disebut plika sirkularis

atau valvula conniventes yang dapat terlihat dengan mata telanjang.

4
5

Lipatan ini juga terlihat secara radiografi dan membantu membedakan

usus halus dan kolon. Lipatan ini akan terlihat lebih jelas pada bagian

proksimal usus halus daripada distal. Hal lain yang juga dapat digunakan

untuk membedakan bagian proksimal dan distal usus halus ialah

sirkumferensial yang lebih besar, dinding yang lebih tebal, lemak

mesentrial yang lebih sedikit dan vasa rekta yang lebih panjang.

Pemeriksaan makroskopis dari usus halus juga didapatkan adanya folikel

limfoid. Folikel tersebut, berlokasi di ileum, juga disebut Peyer Patches.

(Whang. dkk, 2005)

Gambar 1. Anatomi usus halus.


(Whang. dkk, 2005)
b. Usus Besar
Usus besar terdapat diantara anus dan ujung terminal ileum,

dimulai dair ileocecal ke anus dan rata-rata panjangnya 1,5m dan

lebarnya 5-6cm. Usus besar terdiri atas segmen awal (sekum), dan kolon

asendens, tranversum, desenden, sigmoid, rectum, dan anus. Sisa

makanan dan yang tidak tercerna dan tidak diabsorpsi di dalam usus

halus didorong ke dalam usus besar oleh gerak peristaltik kuat

muskularis eksternus usus halus. Residu yang memasuki usus besar itu

berbentuk semi cair; saat mencapai bagian akhir usus besar, residu ini

telah menjadi semi solid sebagaimana feses umumnya. Meskipun

terdapat usus halus, sel-sel goblet pada epitel usus besar jauh lebih
6

banyak dibandingkan dengan usus halus. Sel goblet ini juga bertambah

dari dari bagian sekum ke kolon sigmoid. Usus besar ini tidak memiliki

plika sirkularis maupun vili intestinales, dan kelenjar intestinal terletak

lebih dalam dari pada usus halus. (Eroschenko, V. P, 2003)

Gambar 2. Anatomi usu besar.


(Eroschenko, V. P, 2003)

Suplai Vaskuler

Usus halus diperdarahi oleh arteri mesenterika superior yang

merupakan cabang dari aorta tepat dibawah arteri soelika. Arteri ini

memperdarahi seluruh usus halus kecuali duodenum yang sebagian atasnya

diperdarahi oleh arteri pankreotikoduodenalis superior, suatu cabang dari

arteri gastroduodenalis. Sedangkan separuh bawah duodenum diperdarahi

oleh arteri pankreotikoduodenalis inferior, suatu cabang cabang arteri

mesenterika superior. Pembuluh-pembuluh darah yang memperdarahi

jejunum dan ileum ini beranastomosis satu sama lain untuk membentuk

serangkaian arcade. Bagian ileum yang terbawah juga diperdarahi oleh arteri

ileocolica. Darah dikembalikan lewat vena mesentericus superior yang


7

menyatu dengan vena lienalis membentuk vena porta. (Snell, Richard S,

2004)

Pada usus besar ateri mesenterika superior memperdarahi belahan

bagian kanan (sekum, kolon ascenden, deua pertiga proksimal kolon

tranversum) : (1) Ileokolika, (2) kolika dekstra, (3) kolika media, dan arteri

mesenterika inferior memperdarahi bagian kiri (sepertiga distal kolon

tranversum, kolon desenden, dan sigmoid, dan bagian proksimal rectum) :

(1) kolika sinistra, (2) sigmoidalis, (3) rektalis superior. (Whang. dkk, 2005)

Pembuluh limfe

Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan cairan

limfe; (1) ke atas melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi

lympahatici gastroduodenalis dan kemudian ke nodi limpatici coeliacus dan

(2) kebawah melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi

lymphatici mesenteries superior sekitar pangkal aterteri mesenterika

superior. (Snell, Richard S, 2004)

Pembuluh limfe jejunum dan ileum berjalan melalui banyak nodi

lymphatici mesentricus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici

mesentericus superior, yang terletak sekitar pangkal arteri mesenterikus

superior. Pembuluh limfe sekum berjalan melewati banyak nodi lymphatici

mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici mesenterikus superior.

Pembuluh limfe untuk kolon mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe

yang terletak di sepanjang perjalanan vena kolika. Untuk kolon ascendens

dan dua pertiga dari kolon tranversum cairan limfenya akan masuk ke nodi
8

limphatici mesenterikus superior, sedangkan yang berasal dari sepertiga

distal kolon tranversum dan kolon desenden akan masuk ke nodi limphatici

mesenterikus inferior. (Snell, Richard S, 2004)

Persarafan

Saraf-saraf duodenum berasl dari saraf simpatis dan parasimpatis

(vagus) dari pleksus mesenterikus superior dan pleksus coelicus. Saraf

untuk jejunum dan ileum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis

(nervus vagus) dari pleksus mesenterikus superior. (Snell, Richard S, 2004)

Rangsangan parasimpatis merangsang aktivitas sekresi dan pergerakan,

sedangkan rangsang simpatis menghambat nyeri, sedangkan serabut-

serabutparasimpatis mengatur refleks usus. Suplai saraf intrinsic, yang

menimbulkan fungsi motorik, berjalan melalui pleksus Auerbach yang

terletak dalam lapisan muskularis, dan pleksus Meisener di lapisan

submukosa. (Price, 2003)

Persarafan usus besra dilakukan oleh system saraf otonom dengan

pengecualian pada sfingter eksterna yang berada di bawah control volunteer

(Price, 2003). Sekum, appendiks dan kolon ascendens dipersarafi oleh

serabut saraf simpatis dan parasimpatis nervus vagus dari pleksus saraf

mesenterika superior. Pada kolon tranversum dipersarafi oleh saraf simpatis

nervus vagusdan saraf parasimpatis nervus pelvikus. Serabut simpatis

berjalan dari pleksus mesenterikus superior dan inferior. Serabut-serabut

nervus vagus hanya mempersarfi dua pertiga proksimal kolon tranversum;

sepertiga distal dipersarafi oleh saraf parasimpatis nervus pelvikus.


9

Sedangkan pada kolon desenden dipersarafi serabut-serabut simpatis dari

pleksus saraf mesenterikus inferior dan saraf parasimpatis sekresi dan

kontraksi, serta perangsangan sfingter rectum, sedangkan perangsangan

parasimpatis mempunyai efek berlawanan. (Price, 2003)

2. FISIOLOGI
Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan

absorbsi nutrisi, air, elektrolit dan mineral. Proses pencernaan dimulai dari

dalam mulut dan lambung oleh kerja ptyalin, asam klorida dan pepsin

terhadap makana yang masuk. Proses dilanjutkan di dalam duodenum

terutama oleh kerja enzim-enzim pancreas yang menghidrolisis karbohidrat,

lemak dan protein menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Adanya bikarbonat

dalam sekret pancreas membantu menetralkan asam dan memberikan pH

optimal untuk kerja enzim-enzim. Sekresi empedu dari hati membantu

proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehingga memberikan

permukaan yang lebih luas untuk kerja lipase pancreas. (Evers, 2004)
Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam getah

usus (sukus enterikus). Banyak di antara enzim-enzim ini terdapat pada

brush border vili dan mencernakan zat-zat makanan sambil di absorbsi.

Pergerakan segmental usus halus akan mencampur zat-zat yang dimakan

dengan secret pancreas, hepatobiliar dan sekresi usus dan pergerakan

peristaltic mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung lainya dengan

kecepatan yang sesuai untuk absorbsi optimal dan suplai kontinyu isi

lambung. Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir pencernaan karbohidrat,

lemak dan protein melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk
10

digunakan oleh sel-sel tubuh. Selain itu, air, elektrolit dan vitamin juga

diabsorbsi. Pergererakan usus halus berfungsi agar proses digesti dan

absorbs bahan-bahan makanan dapat berlangsung secara maksimal.

Pergerakan usus halus terdiri dari; pergerakan mencampur (mixing) atau

pergerakan segmentasi yang mencampur makanan dengan enzim-enzim

pencernaan agar mudah untuk dicerna dan diabsorbsi. Pergerakan polpusif

atau gerak peristaltic yang mendorong makanan kea rah usus besar.

(Sjamsuhidajat, 2005)
Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktivitas otot polos usus halus

yang terdiri dari 2 lapis, yaitu lapisan otot longitudinal dan otot sirkuler.

Otot yang terutama berperan pada kontraksi segmentasi untuk mencampur

makanan adalah otot longitudinal. Bila bagian mengalami distensi oleh

makanan akan kembali ke posisinya semula. Gerakan ini berulang terus

menerus sehingga makanan akan bercampur dengan enzim pencernaan dan

mengadakan hubungan dengan mukosa usus halus dan selanjutnya di

absorbs. (Evers, 2004)


Kontraksi segmentasi berlangsung oleh karena adanya gelombang

lambat yang merupakan basic electric rhytm (BER) dari otot polos saluran

cerna. Proses kontraksi segmentasi berlangsung 8 sampai 12 kali/menit pada

duodenum dan sekitar 7 kali/menit pada ileum. Gerakan peristaltic pada

usus halus mendorong makanan menuju kearah kolon dengan kecepatan 0,5

sampai 2 cm/detik, dimana pada bagian proksimal lebih cepat daripada

bagian distal. Gerakan peristaltic ini sangat lemah dan biasanya menghilang

setelah berlangsung sekitar 3 sampai 5 cm. (Evers, 2004)


Pengaturan frekuensi dan kekuatan gerakan segmentasi terutama

diatur oleh adanya gelombang lambat yang menghasilkan potensial aksi


11

yang disebabkan oleh adanya sel-sel pace maker yang terdapat pada dinding

usus halus, diamana aktivitas dari sel-sel ini dipengaruhi oleh sitem saraf

dan hormonal. Aktivitas gerakan peristaltic akan meningkat setelah makan.

Hal ini sebagian besar disebabkan oleh masuknya makanan ke duodenum

sehingga menimbulkan reflex peristaltic yang akan menyebar ke dinding

usus halus. Sebaliknya sekretindan glucagon menghambat pergerakan usus

halus. Setelah makanan mencapai katup ileocecal, makan kadang-kadang

terhambat selama beberapa jam sampai seorang makan lagi. Pada saat

tersebut, reflex gastrial meningkatkan peristaltik dan mendorong makanan

melewati katup ileocaecal menuju kolon. Makan yang menetap untuk

beberapa lama pada daerah ileum oleh sfingter ileocaecal berfungsi agar

makanan dapat diabsorbi pada daerah ini. Katup ileocaecal berfungsi untuk

mencegah makanan kembali ke caecum masuk ke ileum. (Sjamsuhidajat,

2005)
Fungsi sfingter ileocaecal diatur oleh mekanisme umpan balik. Bila

tekanan di dalam caecum meningkat sehingga terjadi dilatasi, maka

kontraksi sfingter ileocaecal akan meningkat dan gerakan peristaltic ileum

akan berkurang sehingga memperlambat pengosongan ileum. Bila terjadi

peradangan pada caecum atau pada appendiks makan sfingter ileocaecal

akan mengalami spasme, dan ileum akan mengalami paralisis sehingga

pengosongan ileum terhambat. (Sjamsuhidajat, 2005)

3. DEFINISI

Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang

terjadi karena adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi

dinding usus sehingga menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen


12

usus. Hal tersebut menyebabkan pasase lumen usus terganggu. (Nobie,

2011)

Obstruksi intestinal secara umum didefinisikan sebagai kegagalan isi

intestinal untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke anus. Obstruksi

Intestinal ini merujuk pada adanya sumbatan mekanik atau nonmekanik

parsial atau total dari usus besar dan usus halus. (Nobie, 2011)

Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana

merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu

jalannya isi usus (Sabara, 2007)

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa ileus obstruktif adalah

sumbatan total atau parsial yang menghalangi aliran normal melalui saluran

pencernaan atau gangguan usus disepanjang usus

4. ETIOLOGI
Ileus obstruktif sering dijumpai dan merupakan penyebab terbesar

pembedahan pada akut abdomen. Hal ini terjadi ketika udara dan hasil

sekresi tak dapat melewati lumen intestinal karena adanya sumbatan yang

menghalangi. Obstruksi mekanik dari lumen intestinal biasanya disebabkan

oleh tiga mekanisme ; 1) blokade intralumen (obturasi), 2) intramural atau

lesi intrinsik dari dinding usus, dan 3) kompresi lumen atau konstriksi akibat

lesi ekstrinsik dari intestinal. Berbagai kondisi yang menyebabkan

terjadinya obstruksi intestinal biasanya terjadi melalui satu mekanisme

utama. Satu pertiga dari seluruh pasien yang mengalami ileus obstruktif,
13

ternyata dijumpai lebih dari satu faktor etiologi yang ditemukan saat

dilakukan operasi. (Thompson, 2005)

Gambar 3. Penyebab ileus obstruktif. (Simatupang, 2010)

Penyebab terjadinya ileus obstruktif beragam jumlahnya berdasarkan

umur dan tempat terjadinya obstruksi. Adhesi post operatif merupakan

penyebab utama dari terjadinya obstruksi usus halus. Pada pasien yang tidak

pernah dilakukan operasi laparotomi sebelumnya, adhesi karena inflamasi

dan berbagai hal yang berkaitan dengan kasus ginekologi harus dipikirkan.

Adhesi, hernia, dan malignansi merupakan 80 % penyebab dari kasus ileus

obstruktif. Pada anak-anak, hanya 10 % obstruksi yang disebabkan oleh

adhesi; intususepsi merupakan penyebab tersering dari ileus obstruktif yang


14

terjadi pada anak-anak. Volvulus dan intususepsi merupakan 30 % kasus

komplikasi dari kehamilan dan kelahiran. Kanker harus dipikirkan bila ileus

obstruktif ini terjadi pada orang tua. Metastasis dari genitourinaria, kolon,

pankreas, dan karsinoma gaster menyebabkan obstruksi lebih sering

daripada tumor primer di intestinal. Malignansi, divertikel, dan volvulus

merupakan penyebab tersering terjadinya obstruksi kolon, dengan

karsinoma kolorektal. (Simatupang, 2010)

Tabel 1. : Beberapa Penyebab Obstruksi Mekanik dari Intestinal:

(Thompson, 2005)
Obturasi Lesi Ekstrinsik Lesi Intrinsik
Intraluminal

Benda Asing Adhesi Kongenital

- Iatrogenik Benda Asing a. Atresia, stenosis, dan


- Tertelan webs
- Batu Hernia b. Divertikulum Meckel
Empedu a. Eksternal
- Cacing b. Internal
Intususepsi Massa Inflamasi

Pengaruh Cairan a. Anomali organ a. Divertikulitis


atau pembuluh b. Drug-induced
a. Barium darah c. Infeksi
b. Feses b. Organomegali d. Coli ulcer
c. Meconium c. Akumulasi Cairan
d. Neoplasma Neoplasma
a. Tumor Jinak
Post Operatif
b. Karsinoma
Volvulus c. Karsinoid
d. Limpoma
e. Sarcoma

Trauma

5. KLASIFIKASI
15

Berdasarkan penyebabnya ileus obstruktif dibedakan menjadi tiga

kelompok (Yates, 2004):

a. Lesi-lesi intraluminal, misalnya fekalit, benda asing, bezoar, batu


empedu.
b. Lesi-lesi intramural, misalnya malignansi atau inflamasi.
c. Lesi-lesi ekstramural, misalnya adhesi, hernia, volvulus atau intususepsi.

Berdasarkan Lokasi Obstruksi :

a. Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum

b. Letak Tengah : Ileum Terminal

c. Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum

Ileus obstruktif dibagi lagi menjadi tiga jenis dasar (Sjamsuhidajat,

2005) :

a. Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan

terjepitnya pembuluh darah.

b. Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya

penjepitan pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir

dengan nekrosis atau gangren yang ditandai dengan gejala umum berat

yang disebabkan oleh toksin dari jaringan gangren.

c. Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan

masuk dan keluar suatu gelung usus tersumbat, dimana paling sedikit

terdapat dua tempat obstruksi.


16

Untuk keperluan klinis dan berdasarkan letak sumbatan, ileus obstruktif

dibagi dua (Ullah S, 2009) :

1. Ileus obstruktif usus halus, yaitu obstruksi letak tinggi dimana mengenai

duodenum, jejunum dan ileum

2. Ileus obstruktif usus besar, yaitu obstruksi letak rendah yang mengenai

kolon, sigmoid dan rectum.

6. PATOFISIOLOGI
Respon Usus Halus Terhadap Obstruksi
Normalnya, sekitar 2 L asupan cairan dan 8 L sekresi dari gaster,

intestinal dan pankreaticobilier ditansfer ke intestinal setiap harinya.

Meskipun aliran cairan menuju ke intestinal bagian proksimal, sebagian

besar cairan ini akan diabsorbsi di intestinal bagian distal dan kolon. Ileus

obstruktif terjadi akibat akumulasi cairan intestinal di proksimal daerah

obstruksi disebabkan karena adanya gangguan mekanisme absorbsi normal

proksimal daerah obstruksi serta kegagalan isi lumen untuk mencapai

daerah distal dari obstruksi.


Akumulasi cairan intralumen proksimal daerah obstruksi terjadi dalam

beberapa jam dan akibat beberapa faktor. Asupan cairan dan sekresi lumen

yang terus bertambah terkumpul dalam intestinal. Aliran darah meningkat

ke daerah intestinal segera setelah terjadinya obstruksi, terutama di daerah

proksimal lesi, yang akhirnya akan meningkatkan sekresi intestinal. Hal ini

bertujuan untuk menurunkan kepekaan vasa splanknik pada daerah

obstruksi terhadap mediator vasoaktif. Pengguyuran cairan intravena juga

meningkatkan volume cairan intralumen. Sekresi cairan ke dalam lumen

terjadi karena kerusakan mekanisme absorpsi dan sekresi normal. Ileus


17

obstruktif menyebabkan dilatasi proksimal usus akibat akumulasi sekresi GI

dan udara yang tertelan. Dilatasi usus ini merangsang aktivitas sekretori sel,

menyebabkan akumulasi lebih cair.


Hal ini menyebabkan peningkatan peristaltik atas dan di bawah

obstruksi, dengan diare dan flatus awal perjalanan penyakit. Distensi lumen

menyebabkan terjadinya kongestif vena, edema intralumen, dan iskemia.


Gas intestinal juga mengalami akumulasi saat terjadinya ileus

obstruktif. Sebagian kecil dihasilkan melalui netralisasi bikarbonat atau dari

metabolisme bakteri. Gas di Intestinal terdiri atas Nitrogen (70%), Oksigen

(12%), dan Karbon Dioksida (8%), yang komposisinya mirip dengan udara

bebas. Hanya karbon dioksida yang memiliki cukup tekanan parsial untuk

berdifusi dari lumen.


Intestinal, normalnya, berusaha untuk membebaskan obstruksi

mekanik dengan cara meningkatkan peristaltik. Periode yang terjadi ialah

berturut-turut: terjadinya hiperperistaltik, intermittent quiescent interval, dan

pada tingkat akhir terjadi ileus. Bagian distal obstruksi segera menjadi

kurang aktif. Obstruksi mekanik yang berkepanjangan menyebabkan

penurunan dari frekuensi gelombang - lambat dan kerusakan aktivitas

gelombang spike, namun intestinal masih memberikan respon terhadap

rangsangan. Ileus dapat terus menetap bahkan setelah obstruksi mekanik

terbebaskan.
Tekanan intralumen meningkat sekitar 20 cmH2O, sehingga

menyebabkan aliran cairan dari lumen ke pembuluh darah berkurang dan

sebaliknya aliran dari pembuluh darah ke lumen meningkat. Perubahan yang

serupa juga terjadi pada absorbsi dan sekresi dari Natrium dan Khlorida.

Namun, peningkatan tekanan intralumen tidak selalu terjadi dan mungkin


18

terdapat mekanisme lain yang menyebabkan perubahan pada mekanisme

sekresi. Peningkatan sekresi juga dipengarui oleh hormon gastrointestinal,

seperti peningkatan sirkulasi vasoaktif intestinal polipeptida, prostaglandin,

atau endotoksin.
Peningkatan volume intralumen menyebabkan terjadinya distensi

intestinal di bagian proksimal obstruksi, yang bermanifestasi pada mual dan

muntah. Proses obstruksi yang berlanjut, kerusakan progresif dari proses

absorbsi dan sekresi semakin ke proksimal. Selanjutnya, obstruksi mekanik

ini mengarah pada peningkatan defisit cairan intravaskular yang disebabkan

oleh terjadinya muntah, akumulasi cairan intralumen, edema intramural, dan

transudasi cairan intraperitoneal. Selain itu dapat menyebabkan kompresi

limfatik mukosa, menyebabkan dinding usus lymphedema. Muntah terjadi

jika tingkat obstruksi proksimal.


Hilangnya cairan dan dehidrasi berat dan berkontribusi terhadap

peningkatan morbiditas dan mortalitasPemasangan nasogastric tube malah

memperparah terjadinya defisit cairan melalui external loss. Hipokalemia,

hipokhloremia, alkalosis metabolik merupakan komplikasi yang sering dari

obstruksi letak tinggi. Hipovolemia yang tak dikoreksi dapat mengakibatkan

terjadinya insufisiensi renal, syok, dan kematian.


Stagnasi isi intestinal dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi

bakteri. Bakteri Aerob dan Anaerob berkembang pada daerah obstruksi.

Koloni berlebihan dari bakteri dapat merangsang absorbtif dan fungsi

motorik dari intestinal dan menyebabkan terjadinya translokasi bakteri.

Strangulasi
Obstruksi strangulasi adalah hilangnya aliran darah di segmen

obtruksi dari intestinal. Hal ini dapat terjadi karena adanya penekanan
19

langsung dari vasa mesenteric atau sebagai akibat perubahan lokal pada

dinding intestinal. Komplikasi ini sering berhubungan dengan obstruksi

yang disebabkan oleh hernia dan volvulus. Obstruksi strangulasi pada kolon

paling sering disebabkan oleh volvulus.


Iskemia intramural dapat terjadi karena berbagai sebab. Distensi dan

peningkatan tekanan pada intramural dapat menyebabkan kongesti dari

vena, kebocoran kapiler, edema dinding usus besar dan perdarahan serta

thrombosis dari arteri dan vena. Peningkatan pertumbuhan bakteri terjadi

dalam beberapa jam setelah strangulasi. Hal ini menyebabkan produksi

toksin intralumen dan dapat merangsang pelepasan mediator vasoaktif

seperti prostaglandin. Mukosa dari intestinal lebih peka terhadap iskemia

dan beberapa faktor tampaknya memainkan peranan penting untuk

mendukung terjadinya iskemia, termasuk hipoksia, protease pankreas dan

radikal bebas.
Mukosa pada intestinal lebih peka terhadap terjadinya iskemia

dibandingkan mukosa pada kolon. Saat terjadi nekrosis mukosa, bakteri dan

toksin dapat dengan segera berpindah tempat dari dinding intestinal menuju

ke cavum peritoneal, limfe pada mesenterikum, dan sirkulasi sistemik. Hal

ini dapat menyebabkan iskemia, sepsis, perforasi frank yang dapat disertai

dengan peritonitis dan kematian akibat syok sepsis. Gut iskemia dan

terjadinya reperfusion juga mendukung terjadinya gagal organ, seperti paru.


Volvulus
Terjadi saat obstruksi terdapat di dua tempat. Volvulus merupakan

sebab yang paling sering dan dapat juga menyebabkan terjadinya perputaran

mesenterium. Obstruksi di bagian distal dari usus besar juga dapat

menyebabkan terjadinya closed loop obstruction jika katup ileocekal masih


20

tersisa. Saat tekanan intralumen di segmen obstruksi meningkat, sekresi

cairan ke dalam lumen meningkat sementara absorbsinya menurun.

Kepentingan klinis yang mungkin terjadi akibat fenomena ini ialah

meningkatnya resiko kejadian strangulasi. Distensi pada obstruksi gelung

tertutup terjadi sangat cepat sehingga biasanya strangulasi terjadi lebih

dahulu bahkan sebelum gejala klinis dari obstruksi tampak jelas.

Obstruksi Parsial Intestinal


Pada obstruksi parsial, lumen tak sepenuhnya tersumbat. Adhesi

merupakan penyebab tersering dari gangguan ini dan jarang sekali

mengakibatkan terjadinya strangulasi. Obstruksi parsial kronis dapat

menyebabkan terjadinya penebalan dinding intestinal akibat hipertrofi otot.

Perpanjangan waktu kontraksi dan peningkatan kelompok kontraksi

merupakan karakteristik yang dapat ditemukan. Kelainan motoris ini dan

kemungkinan berhubungan dengan pertumbuhan bakteri dapat

menyebabkan terjadinya malabsorbsi, distensi dan diare sekretorik.


PATWAYS Non mekanik Mekanis
(manipulasi organ abdomen, (perlengketan, neoplasma, hernia,
peritonitis, sepsis dll) benda asing striktur)

Passage usus terganggu

Akumulasi gas dan cairan dalam


lumen usus Nyeri, kram, kolik

Ventilasi paru terganggu


Gangguan absobsi H O dan elektrolit Obstruksi komplit Distensi usus akibat tekanan pada
2

pada lumen usus diafragma

Gelombang paristaltik berbalik arah,


Kehilangan H O dan Natrium isi usus terdorong ke mulut Polanafas tidak
2
Peningkatan tekanan Menekan vesika
efektif
intralumen urinaria

Penurunan volume cairan


ekstraseluler Mual - Muntah Gg. Pola
Iskemik dinding usus Resistensi urin eliminasi urin

a. Syok hipovolemik
Nekrosis
b. Penurunan curah jantung Kehilangan ion H dan K dari Dehisrasi
c. Penurunan perfusi jaringan lambung, penurunan CL dan K
dalam darah Rupture
d. Hipotensi
Resiko kekurangan volume
e. Asidosis metabolik cairan Gg. Rasa nyaman : Nyeri
Alkalosis metabolik Perforasi

Asidosisis Metabolik

Pelepasan bakteri dan


toksik dari usus yang
nekrotik ke dalam Resiki tinggi penyebaran infeksi
Perubahan nutrisi kurang dari peritoneum dan sirkulasi
kebutuhan tubuh21 systemik

Peritonitis septikemia
22

7. Manifestasi Klinis

Obstruksi dapat diklasifikasikan parsial atau totalis, sederhana atau

strangulasi. Tidak ada gambaran klinis khas untuk mendeteksi awal

obstruksi strangulasi. Nyeri perut sering digambarkan sebagai kram perut

dan sifatnya intermiten (berkala/ hilang timbul) merupakan gejala yang

paling menonjol pada obstruksi sederhana. Seringkali presentasi dapat

menunjukan lokasi perkiraan dan sifat obstruksi. Biasanya rasa sakit yang

terjadi dalam jangka waktu yang lebih singkat dan nyeri kolik disertai

dengan muntah menandakan obstruksi ileus bagian proksimal. Sedangkan

pada nyeri yang lama (beberapa hari), bersifat progresif, dan disertai dengan

distensi abdomen merupakan gejala khas pada obstruksi letaknya lebih

distal. Perubahan karakter nyeri dapat menunjukan perkembangan

komplikasi yang lebih serius misalnya nyeri yang menetap pada abdomen

yang menandakan adaya strangulasi atau tanda iskemik.

Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual dan muntah dan

obstipasi. Adanya flatus atau feses selama 6-12 jam setelah gejala

merupakan ciri khas dari obstruksi parsial. Nyeri kram abdomen bisa

merupakan gejala penyerta yang berhubungan dengan hipermotilitas

intestinal proksimal daerah obstruksi. Nyerinya menyebar dan jarang

terlokalisir, namun sering dikeluhkan nyeri pada bagian tengah abdomen.

Saat peristaltik menjadi intermiten, nyeri kolik juga menyertai. Saat nyeri

menetap dan terus menerus kita harus mencurigai telah terjadi strangulasi

dan infark. (Whang, 2005)


23

Tanda-tanda obstruksi usus halus juga termasuk distensi abdomen

yang akan sangat terlihat pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau

distensi bisa tak terjadi bila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus,

dan peningkatan bising usus. Hasil laboratorium terlihat penurunan volume

intravaskuler, adanya hemokonsentrasi dan abnormalitas elektrolit. Mungkin

didapatkan leukositosis ringan. (Thompson, 2005)

Muntah terjadi setelah terjadi obstruksi lumen intestinal dan menjadi

lebih sering saat telah terjadi akumulasi cairan di lumen intestinal. Derajat

muntah linear dengan tingkat obstruksi, menjadi tanda yang lebih sering

ditemukan pada obstruksi letak tinggi. Obstruksi letak tinggi juga ditandai

dengan bilios vomiting dan letak rendah muntah lebih bersifat malodorus.

(Thompson, 2005)

Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting

untuk membedakan terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi

masih terjadi pada obstruksi letak tinggi karena perjalan isi lumen di bawah

daerah obstruksi. Diare yang terus menerus dapat juga menjadi tanda adanya

obstruksi partial. (Sheedy SP, 2006)

Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya,

namun distensi akan segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah.

Tanda awal yang muncul ialah penderita segera mengalami dehidrasi. Massa

yang teraba dapat di diagnosis banding dengan keganasan, abses, ataupun

strangulasi. Auskultasi digunakan untuk membedakan pasien menjadi tiga

kategori : loud, high pitch dengan burst ataupun rushes yang merupakan
24

tanda awal terjadinya obstruksi mekanik. Saat bising usus tak terdengar

dapat diartikan bahwa obstruksi telah berlangsung lama, ileus paralitik atau

terjadinya infark. Seiring waktu, dehidrasi menjadi lebih berat dan tanda-

tanda strangulasi mulai tampak. Pemeriksaan lipat paha untuk mengetahui

adanya hernia serta rectal toucher untuk mengetahui adanya darah atau

massa di rectum harus selalu dilakukan.(Sheedy SP, 2006)

8. KOMPLIKASI
a. Nekrosis usus, perforasi usus, dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi
selalu lama pada organ intra abdomen.
b. Sepsis, infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik
dan cepat.
c. Syok-dehidrasi, terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.
d. Abses Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi, karena
absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehinnga terjadi peradangan
atau infeksi yang hebat pada intra abdomen.
e. Pneumonia aspirasi dari proses muntah.
f. Gangguan elektrolit, karena terjadi gangguan absorbsi cairan dan
elektrolit pada usus.
g. Kematian
( Brunner and Suddarth, 2002 ) dan ( Sabara, 2007 dikutip dari
(http://www.Files-of-DrsMed.tk ).

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga mengalami

obstruksi intestinal terutama ialah darah lengkap dan elektrolit, Blood

Urea Nitrogen, kreatinin dan serum amylase. Pemeriksaan elektrolit

diperlukan karena pasien mual muntah tujuannya untuk mengevaluasi

elektrolitnya. Berikut adalah tes laboratorium yang penting dan

diperlukan sebagai berikut:


25

1) Kimia serum : hasilnya biasanya normal atau sedikit meningkat.


2) BUN (Blood Ure Nitrogen) : Jika BUN meningkat, hal ini dapat

menunjukan penurunan volume cairan tubuh (dehidrasi).


3) Kreatinin : peningkatan kreatinin mengindikasikan adanya dehidrasi.
4) CBC (Complete Blood Count): Sel darah putih (WBC) mungkin

meningkat dengan pergeseran ke kiri biasanya terjadi pada ileus

obstruktif sederhana atau strangulasi, peningkatan hematokrit adalah

indikator kondisi cairan dalam tubuh berkurang (misalnya; dehidasi).


5) World Society of Emergency Surgery memperbaharui pedomana

untuk diagnosis dan manajemen dari ileus obstruksi adhesive, meliputi

hal-hal sebagai berikut: dengan tidaka adanya strangulasi dan riwayat

muntah terus menerus atau gabungan tanda-tanda pada CT scan,

pasien dengan ileus obstruksi parsial dapat dengan aman dikelola

dengan manajemen non-operativ yaitu penggunaan tabung dekompresi

atau dikenal dengan WSCM (Water Soluble Contrast Medium)

adalaha rekomendasi kedua untuk tujuan diagnostic dan terapetik pada

pasien yang menjalani manajemen non-operativ. Manajemen non-

operative dapat diperpanjang hingga 72 jam tanpa adanya tanda-tanda

strangulasi atau peritonitis. Pemebdahan dianjurkan setelah 72 jam

manajemen nonoperativ tanpa ada perbaikan. Eksplorasi laparotomi

yang sering digunakan untuk pasien dengan ileus obstruktif

strangulasi dan setelah manajemen konservatif gagal, pendekatan

laproskopi terbuka sangat di anjurkan.


b. Pemeriksaan Foto Rontgen
1) Foto Polos Abdomen
Menilai foto polos untuk pasien dengan ileus obstruksi setidaknya

2 tampilan yaitu posisi terlentang atau datar dan tegak. Foto polos

merupakan diagnose lebih akurat pada kasus ileus obstruksi


26

sederhana, namun tingkat kegagalan diagnostik sebanyak 30% telah

dilaporkan.(Thompson, 2007)
Pada foto abdomen dapat membedakan temuan obstruksi

sedehana atau strangulasi, dan beberapa telah menggunakanya utnuk

membedakan antara obstruksi lengkap atau parsial atau bukan suatu

ileus obstruksi. Studi Lappas et al menemukan 2 temuan lebih

prediktif dari ileus obstruktif letak tinggi dan ileus obstruktif komplit

antara lain: (1) adanya deferensial air-fluid level di usus halus, (2)

dilatasi usus lebih dari 25 mm. Studi ini menemukan bahwa ketika 2

temuan yang hadir, obstruksi kemungkinan besar letak tinggi atau

ileus obstruksi totalis. Ketika temuan kedua ini tidak ada maka ileus

obstruksi letak rendah (parisial) atau tidak ada obstruksi.


Temuan spesifik untuk obstruksi usus halus ialah dilatasi usus

halus ( diameter > 3 cm ), adanya air-fluid level pada posisi foto

abdomen tegak, dan kurangnya gambaran udara di kolon. Sensitifitas

foto abdomen untuk mendeteksi adanya obstruksi usus halus mencapai

70-80% namun spesifisitasnya rendah. Pada foto abdomen dapat

ditemukan beberapa gambaran, antara lain:

1) Distensi usus bagian proksimal obstruksi

2) Kolaps pada usus bagian distal obstruksi

3) Posisi tegak atau dekubitus: Air-fluid levels

4) Posisi supine dapat ditemukan :

a) distensi usus
b) step-ladder sign
27

5) String of pearls sign, gambaran beberapa kantung gas kecil yang

berderet.

6) Coffee-bean sign, gambaran gelung usus yang distensi dan terisi

udara dan gelung usus yang berbentuk U yang dibedakan dari

dinding usus yang oedem.

7) Pseudotumor Sign, gelung usus terisi oleh cairan.

Ileus paralitik dan obstruksi kolon dapat memberikan gambaran

serupa dengan obstruksi usus halus. Temuan negatif palsu dapat

ditemukan pada pemeriksaan radiologis ketika letak obstruksi berada

di proksimal usus halus dan ketika lumen usus dipenuhi oleh cairan

saja dengan tidak ada udara. Dengan demikian menghalangi

tampaknya air-fluid level atau distensi usus. Keadaan selanjutnya

berhubungan dengan obstruksi gelung tertutup. Meskipun terdapat

kekurangan tersebut, foto abdomen tetap merupakan pemeriksaan

yang penting pada pasien dengan obstruksi usus halus karena

kegunaannya yang luas namun memakan biaya yang sedikit.


28

Dilatasi usus.

Multipel air fluid level dan “string of pearls” sign.


29

Herring bone appearance.

Coffee bean appearance.

Step ledder sign.


30

c. Enteroclysis
Enteroclysis berfungsi untuk mendeteksi adanya obstruksi dan juga

untuk membedakan obstruksi parsial dan total. Cara ini berguna jika pada

foto polos abdomen memperlihatkan gambaran normal namun dengan

klinis menunjukkan adanya obstruksi atau jika penemuan foto polos

abdomen tidak spesifik. Pada pemeriksaan ini juga dapat membedakan

adhesi oleh karena metastase, tumor rekuren dan kerusakan akibat

radiasi. Enteroclysis memberikan nilai prediksi negative yang tinggi dan

dapat dilakukan dengan dua kontras. Barium merupakan kontras yang

sering digunakan. Barium sangat berguna dan aman untuk mendiagnosa

obstruksi dimana tidak terjadi iskemia usus maupun perforasi. Namun,

penggunaan barium berhubungan dengan terjadinya peritonitis dan

penggunaannya harus dihindari bila dicurigai terjadi perforasi.

Intususepsi (coiled-spring appearance).

d. Pemeriksaan Laboratorium Tumor Colon


1) Pemeriksaan enzim transaminase sebagai penanda adanya metastase

pada liver.
31

2) Pemeriksaan marker tumor CEA ( Carcino Embryonic Antigen)

bertujuan untuk monitor pascaterapi. Jika pada pemeriksaan inisial

tidak meningkat maka penggunaa CEA untuk follow up menjadi

kurang penting.
e. Pemeriksaan Imaging Tumor Colon
1) Barium Enema, Dengan adanya endoskopi, barium enema semakin

digunakan. Pada keadaan dimana endoskopi/ kolonoskopi tidak

tersedia barium enema dapat digunakan untuk diagnosis, lokasi,

fiksasi dengan jaringan sekitar, kanker sinkronos, ataupun lesi

prakanker, seperti polips, chronis ulcerative colitis.


2) CT Scan , Terutama ditujukan untuk melihat adanya metastase pada

hepar, KGB para aorta, ataupun infiltrasi langsung ke organ sekitar.


3) MRI, Digunakan untuk menggantikan CT Scan, terutama jika terdapat

kontra indikasi penggunaan kontras .


4) PET Scan, Digunakan untuk melihat adanya metastase dari kanker

kolon dan tidak untuk mendiagnosis tumor kolon primer.


5) Foto Thoraks &USG hepar, Digunakan untuk tujan mengetahui

stadium M pada paru dan hepar dan untuk persiapan operasi.


6) Kolonoskopi, merupakan “standar emas” untuk mendiagnosis kanker

kolon. Digunakan untuk melihat adanya lesi prakanker, untuk skring,

dan melihat gambaran macros tumor dan biopsy.


10. PENATALAKANAAN
Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan

kekurangan Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian

cairan intravena dengan cairan salin isotonic seperti Ringer Laktat. Urin

harus di monitor dengan pemasangan Foley Kateter. Setelah urin adekuat,

KCl harus ditambahkan pada cairan intravena bila diperlukan. Pemeriksaan

elektrolit serial, seperti halnya hematokrit dan leukosit, dilakukan untuk

menilai kekurangan cairan. Antibiotik spektrum luas diberikan untuk


32

profilaksis atas dasar temuan adanya translokasi bakteri pada ostruksi

intestinal. (Evers, 2004)

Dekompresi

Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga penting

untuk dilakukan ialah pemasangan nasogastric tube. Pemasangan tube ini

bertujuan untuk mengosongkan lambung, mengurangi resiko terjadinya

aspirasi pulmonal karena muntah dan meminimalkan terjadinya distensi

abdomen. Pasien dengan obstruksi parsial dapat diterapi secara konservatif

dengan resusitasi dan dekompresi saja. Penyembuhan gejala tanpa terapi

operatif dilaporkan sebesar 60 – 85% pada obstruksi parsial. (Evers, 2004)

Terapi Operatif

Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit membutuhkan

terapi operatif. Pendekatan non – operatif pada beberapa pasien dengan

obstruksi intestinal komplit telah diusulkan, dengan alasan bahwa

pemasangan tube intubasi yang lama tak akan menimbulkan masalah yang

didukung oleh tidak adanya tanda-tanda demam, takikardia, nyeri tekan atau

leukositosis. Namun harus disadari bahwa terapi non operatif ini dilakulkan

dengan berbagai resikonya seperti resiko terjadinya strangulasi pada daerah

obstruksi dan penundaan terapi pada strangulasi hingga setelah terjadinya

injury akan menyebabkan intestinal menjadi ireversibel. Penelitian

retrospektif melaporkan bahwa penundaan operasi 12 – 24 jam masih dalam

batas aman namun meningkatkan resiko terjadinya strangulasi.


33

Pasien dengan obstruksi intestinal sekunder karena adanya adhesi dapat

diterapi dengan melepaskan adhesi tersebut. Penatalaksanaan secara hati

hati dalam pelepasan adhesi tresebut untuk mencegah terjadinya trauma

pada serosa dan untuk menghindari enterotomi yang tidak perlu. Hernia

incarcerata dapat dilakukan secara manual dari segmen hernia dan dilakukan

penutupan defek.

Penatalaksanaan pasien dengan obstruksi intestinal dan adanya riwayat

keganasan akan lebih rumit. Pada keadaan terminal dimana metastase telah

menyebar, terapi non-operatif, bila berhasil, merupakan jalan yang terbaik;

walaupun hanya sebagian kecil kasus obstruksi komplit dapat berhasil di

terapi dengan non-operatif. Pada kasus ini, by pass sederhana dapat

memberikan hasil yang lebih baik baik daripada by pass yang panjang

dengan operasi yang rumit yang mungkin membutuhkan reseksi usus.

Pada saat dilakukan eksplorasi, terkadang susah untuk menilai viabilitas

dari segmen usus setelah strangulasi dilepaskan. Bila viabilitas usus masih

meragukan, segmen tersebut harus dilepaskan dan ditempatkan pada kondisi

hangat, salin moistened sponge selama 15-20 menit dan kemudian

dilakukan penilaian kembali. Bila warna normalnya telah kembali dan

didapatkan adanya peristaltik, berarti segmen usus tersebut aman untuk

dikembalikan. Ke depannya dapat digunakan Doppler atau kontras

intraoperatif untuk menilai viabilitas usus.

Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan

pada obstruksi ileus.


34

1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan

bedah sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada

hernia incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada

volvulus ringan.

2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati"

bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn

disease, dan sebagainya.

3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat

obstruksi, misalnya pada Ca stadium lanjut.

4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis

ujung-ujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus,

misalnya pada carcinomacolon, invaginasi strangulata, dan sebagainya.

Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan

operatif bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena

keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula

dilakukan kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan

anastomosis. (Ullah S, 2009)

Suatu problematik yang sulit pada keadaan pasca bedah adalah

distensi usus yang masih ada. Pada tindakan operatif dekompressi usus,

gas dan cairan yang terkumpul dalam lumen usus tidak boleh dibersihkan

sama sekali oleh karena catatan tersebut mengandung banyak bahan-

bahan digestif yang sangat diperlukan. Pasca bedah tidak dapat

diharapkan fisiologi usus kembali normal, walaupun terdengar bising


35

usus. Hal tersebut bukan berarti peristaltik usus telah berfungsi dengan

efisien, sementara ekskresi meninggi dan absorpsi sama sekali belum

baik.

Sering didapati penderita dalam keadaan masih distensi dan disertai

diare pasca bedah. Tindakan dekompressi usus dan koreksi air dan

elektrolit serta menjaga keseimbangan asam basa darah dalam batas

normal tetap dilaksanakan pada pasca bedahnya. Pada obstruksi yang

lanjut, apalagi bila telah terjadi strangulasi, monitoring pasca bedah yang

teliti diperlukan sampai selama 6 - 7 hari pasca bedah. Bahaya lain pada

masa pasca bedah adalah toksinemia dan sepsis. Gambaran kliniknya

biasanya mulai nampak pada hari ke 4-5 pasca bedah. Pemberian

antibiotika dengan spektrum luas dan disesuaikan dengan hasil kultur

kuman sangatlah penting.

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pre operasi
a) Pengkajian
1) Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan
status kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat
penyakit, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik lengkap.,
antara lain status hemodinamika, status kerdiovaskuler, status
pernapasan, fungsi ginjal dan hepatic, fungsi endokrin, fungsi
imonologi, dan lain-lain.
2) Status nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat
badan, kadar protein darah dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk
defisiensi nutrisi harus dikoreksi sebelum pembedahan untuk
memberikan protein yang cukup untuk perbaikan jaringan.
3) Keseimbangan cairan dan elektrolit
36

Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan


output cairan. Demiikian juga kadar elektrolit serum harus berada
dalam rentang normal. Keseimbangan cairan dan elektrolit erat
dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal berfungsi dengan mengatur
mekanisme asam basa dan ekskresi metabilisme obat-obatan anastesi.
Jika fungsi ginjal baik maka operasi dapat dilakukan denggan baik,
namun jika ginjal mengalami gangguan seperti oliguria/anuria,
infusiensi renal akut, nefritis akut maka operasi harus ditunda
menunggu perbaikan fungsi ginjal.
4) Kebersihan lambung dan kolon
Lambung dan kolon harus dibersihkan terlebih dahulu. Intervensi
keperawatan yang biasanya diberikan diantaranyya adalah pasien
dianjrkan dipuasakan dan dilakukan tindakan pengosongan lambung
dan kolon dengan tindakan enema, lamanya puasa sekitar 7-8 jam.
Tujuannya dari pengosongan lambung dan kolon adalah untuk
menghindari aspirasi (masuknya cairan lambung ke paru-paru) dan
menghindari kontaminasi fese ke area pembedahan sehingga
menghindarkan terjadinya infeksi pasca pembedahan.
5) Pencukuran daerah operasi
Pencukuran pada daerah operasi ditunjukan untuk menghindari
terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan karena
rambut yang tidak dicukur dapat menjadi tempat bersembunyi kuman
dan dapat juga mengganggu/menghambat proses penyembuhan dna
perawatan luka.

6) Personal hygiene
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi
karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan dapat
mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi.
7) Pengosongan kandung kemih
Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan
pemasangan kateter. Selain untuk pengosongan isi bladder tindakan
kateter juga diperlukan untuk observasi balnce cairan.

b) Diagnose Keperawatan
37

1) Kurang pengetahuan berhubungan dengan prosedur tindakan


pembedahan.
2) Kecemasan berhubungan dengan tindakan operatif

c) Intervensi Keperawatan
Diagnose Tujuan intervensi

Kurang NOC NIC


Setelah diberikan penjelasan Pengetahuan penyakit :
pengetahuan
1. Kaji pengetahuan klien
selama 1x 2 jam tentang
berhubungan
tentang penyakitnya.
penyakit, pasien mengerti
dengan prosedur 2. Jelaskan tenta proses
proses penyakitnya dan
tindakan penyakit (tanda dan
program perawatan serta
pembedahan. gejala). Identifikasi
therapy yang diberikan
kemungkinan
dengan indicator ;
penyebab. Jelaskan
Pasien mampu :
1. Menjelaskan kembali kondisi tentang klien.
3. Jelaskan tentang
tentang penyakitnya.
2. Mengenai kebutuhan program pengobatan
perawatan dan dan alternative
pengobatan tanpa cemas. pengobatan.
4. Diskusikan tentang
terapi dan pilihannya,
5. Tanyakan kembali
pengetahuan klien
tentang prosedur
operasi.

Teaching: preoperative

1. Informasikan klien
waktu pelaksanaan
prosedur operasi.
2. Informasikan klien lama
waktu pelaksanaan
38

prosedur operasi.
3. Jelaskan tujuan prosedur
operasi
4. Jelaskan hal-hal yang
perlu dilakukan setelah
prosedur.
5. Pastikan persetujuan
operasi telah
ditandatangani.
6. Lengkapi ceklist operasi.

Kecemasan NOC NIC


Setelah dilakukan tindakan Penurunan kecemasan
berhubungan
1. Bina hubungan saling
keperawatan selama 1x 2
dengan tindakan
percaya.
jam cemas berkurang dengan
operatif 2. Bantu pasien untuk
indicator :
mengektifkan sumber
1. Mengungkapkan cara
support.
mengatasi cemas.
3. Berikan reinfoscement
2. Mampu menggunakan
untuk menggunakan
coping
sumber coping yg
efektif.

2. Intra Operasi
a) Pengkajian
Diruang penerimaan perawat sirkulasi :
1) Memvalidasi identitas klien
2) Memvalidasi inform concent.
Perawat menanyakan :
1) Riwayat alergi.
2) Check riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik
3) Check pengobatan sebelumnya : therapy antikoagulasi.
4) Check adanya gigi palsu, contact lensa, perhiasan, wigs dilepas.
5) Keterisasi.

b) Diagnose keperawatan
1) Resiko infeksi berhubungan dengan factor resiko prosedur invasiif,
pembedahan, infus
39

2) Resiko hipotermi berhubungan dengan factor resiko berada diruangan


yang dingin
3) Resiko cidera berhubungan dengan factor resiko gangguan persepsi
sensori karena anastesi.

c) Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan Intervensi

Resiko infeksi NOC : control infeksi NIC : control infeksi intra


berhubungan dengan selama dilakukan tindakan operasi
factor resiko prosedur operasi tidak terjadi
1. Gunakan pakaian
invasiif, pembedahan, transmisi agent infeksi.
khusus ruang operasi
infus Indicator : 2. Pertahankan prinsip
aseptic dan antiseptic.
Alat dan bahan yang
dipakai tidak
terkontaminasi

Resiko hipotermi NOC : control NIC : pengaturan


berhubungan dengan temperature temperature intraoperatif
factor resiko berada
Criteria : 1. Atur suhu ruangan
diruangan yang dingin
yang nyaman
1. Temperature ruangan 2. Lindungi area di
nyaman. wilayah operasi.
2. Tidak terjadi
hipotermi.
Resiko cidera NOC: control resiko NIC: surgical precaousen
berhubungan dengan
Indicator : tidak terjadi Aktifitas :
factor resiko gangguan
40

persepsi sensori karena injuri 1. Tidurkan klien pada


anastesi. meja operasi dengan
posisi sesuai
kebutuhan
2. Monitor penggunaan
instrument, jarum dan
kasa
3. Pastikan tidak ada
instrument, jarum dan
kasa yang tertinggal
dalam tubuh klien.

3. Post Operatif
a) Pengkajian
1) System pernafasan , Ketika klien dimasukan ke PACU, perawat
segera mengkaji klien: Potensi jalan napas, Perubahan pernafasan
2) System kardiovaskuler, Sirkulasi darah, nadi dan suara jantung tiap
15 menit, Penurunan tekanan darah, nadi dan suara jantung, Kaji
sirkulasi perifer (temperature dan ukuran ekstremitas), Keseimbangan
cairan dan elektrolit
3) Inspeksi membrane mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit
4) Ukur cairan : NGT tube, drainase urin
5) Monitor cairan intravena
6) System persyarafan, Kaji fungsi serebral dan tingkat kesadaran :
semua klien dengan anestesi umum.
7) Klien dengan bedah kepala : respon pupil, kekuatan otot.
8) System perkemihan , Control volunteer fungsi perkemihan setelah 6-
8 jam post anestesi inhalasi, IV, spinal. Dower cateter kaji warna,
jumlah urine.
9) System gastrointestinal ( Mual muntah , Kaji fungsi gastrointestinal
dengan auskultasi suara usus, Kaji paralitic ileus : suara usus, distensi
abdomen, tidak flatus)
41

10) System integument (Luka bedah sembuh sekitar 2 minggu, jika tidak
ada infeksi, trauma, malnutrisi, obat-obat steroid, Penyembuhan
sempurna sekitar 6 bulan- satu tahun)
11) Drain dan balutan, Semua balutan dan drain dikaji setiap 15 menit .
(jumlah, warna, konsitensi, dan bau cairan
12) Pengkajian nyeri , Kaji tanda fisik dan emosi : peningkatan nadi dan
tekanan darah, gelisah, menangis, kualitas nyeri sebelum dan sesudah
pemberian analgetik.

b) Diagnose keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan efek sisa anastesi.
2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka pembedahan
3) Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan
4) Resiko injury berhubungan dengan effect anastesi
5) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
intra dan post operasi
6) Ketidakefektifan kebersihan jalan nafas berhubungan dengan
peningkatan sekresi.

c) Intervensi Keperawatan
Diagnose Tujuan Intervensi

Gangguan pertukaran NOC : NIC:


gas berhubungan
1. Respiratory status : gas Aiway management :
dengan efek sisa
exchange
anastesi. 2. Respiratory: ventilation 1. Posisikan pasien
3. Vital sign status untuk
Criteria hasil : memaksimalkan
ventilasi.
1. Mendemontrasikan
2. Pasang mayo bila
peningkatan ventilasi
diperlukan
dan oksigenasi yang 3. Keluarkan secret
adekuat. dengan suction
2. Memelihara kebersihan 4. Monitor repirasi dan
42

paru-paru dan bebas status o2


dari tanda-tanda
distress pernafasan.
3. Tanda-tanda vital Respiratory monitoring :
dalam batas normal.
1. Monitor rata-rata
kedalaman, irama
suara nafas.
2. Monitor pola nafas
(takipneu. dsypneu)
Kerusakan integritas NOC: tissue integritas: skin NIC :
kulit berhubungan mucus membranes.
Preasure management :
dengan luka
Criteria hasil :
pembedahan 1. Anjurkan pasien
1. Integritas kulit yang untuk menggunakan
baik bias dipertahankan pakaian yang
(elastisitas, pigmentasi) longgar.
2. Tidak ada lesi pada 2. Jaga kebersihan kulit
kulit agar tetap bersih dan
3. Perfusi jaringan baik
lembab.
3. Mobilisasi klien tiap
2 jam sekali
4. Oleskan lotion atau
minyak baby oil pada
daerah yang tertekan.
Nyeri akut berhubungan NOC: NIC :
dengan insisi
1. Pain level Pain management :
pembedahan 2. Pain control
3. Comfort level 1. Lakukan pengkajian
Criteria hasil : nyeri
2. Observasi reaksi
1. Mampu mengontrol
nonverbal dari
nyeri
ketidaknyamanan.
2. Melaporkan bahwa
3. Control lingkungan
nyeri berkurang dengan
nyeri seperti suhu,
menggunakan
pencahayaan dan
43

menajemen nyeri kebisingan.


3. Mampu mengenali 4. Ajarkan tentak
nyeri (skala, intensitas, teknik non
frekuensi). farmakologi
5. Kolaborasi :
pemberian analgetik
Resiko injury NOC: NIC:
berhubungan dengan
Risk control environment
effect anastesi
management
Criteria hasil :
1. Pastikan lingkunan
1. Klien terbebas dari
aman untuk pasien
cidera 2. Memasang side trail
tempat tidur
3. Menghidarkan
lingkungan yang
berbahaya. (misalnya
memidahkan
perabotan).
Kekurangan volume NOC: NIC :
cairan berhubungan
1. Fluid balance Fluid management :
dengan kehilangan 2. Nutritional status
cairan intra dan post Kriteri hasil : 1. Monitoring catatan
operasi intake dan ouput
1. Mempertahankan urine
yang akurat
dan output sesuai 2. Monitoring tanda-
denga kebutuhan. tanda dehidrasi
2. Vital sign dalam batas 3. Monitoring vital sign
4. Lakukan terapi IV
normal.
3. Tidak ada tanda-tanda
dehidrasi.
Ketidakefektifan NOC: NIC :
kebersihan jalan nafas
1. Repiratory status : Airway section :
berhubungan dengan
ventilation
peningkatan sekresi. 1. Pastikan kebersihan
Kriteri hasil :
jalan nafas
44

menunjukan jalan nafas 2. Lakukan suction


3. Monitor respirasi
yang paten
dan status 02
BAB III

TINJAUAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF

PADA Tn. L (29 Tahun) di

INSTALASI KAMAR OPERASI RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN


DARAT GATOT SOEBROTO

1. PRE OPERASI
a. Pengkajian
Nama : Tn. L. Umur : 29 th

No. RM :43 91 95 Tanggal Lahir : 01-03-1985

Jenis Kelamin : Laki-laki Status : BPJS mandiri

Tgl. Masuk : 20-01-2015, jam 08:28:08 TB/BB : 160cm/60kg

Alamat : Jl. Tanah tinggi 1 no. 17 rt

005/ 002 tanah tinggi johar baru

Diagnosa medis : Obstruksi parsial ec ilitis dd neoplasma

1. Keluhan utama :
Nyeri perut kiri bagian atas, sejak 3 bulan lalu dan memberat sejak 2 minggu ini,
nyeri menjalar ke perut bagian bawah, mual.
2. Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada
3. Riwayat alergi
Tidak ada
4. Riwayat obat-obatan
Riwayat konsumsi narkoba jenis shabu.
5. Pemeriksaan radiologi
USG berkesan parenchymical liver disease dan suspek meteorismus dan suspek
tanda-tanda awal peritonitis.

6. Pemeriksaan laboratorium
Albumin : 2.7 g/dl
LED : 11 mm/jam
Na : 132 mmol/L

45
K : 4.1 mmol/L
Cl : 93mmol/L
Ureum : 20 mg/dl
Kreatinin : 0.8 mg/dl
7. Keadaan umum : compos mentis GCS : E : 4 V : 5 M : 6
8. Tanda-tanda vital
TD : 100/65 mmHg, N : 101X/menit, S : 360C, RR : 12X/memnit,

TB/BB : 160cm/60kg

Skala nyeri : nyeri sedang (4)

O: Nyeri timbul sejak 3 tahun yang lalu

P: Nyeri menjadi lebih berat ketika aktifitas berat dan olahraga

Q: Nyeri terasa melilit kecil, hilang dengan istirahat

R: Nyeri terasa di perut bagian kiri atas

S: Nyeri dapat timbul sampai 2 kali dalam sehari

T: Lamanya nyeri bisa sampai 20 detik

9. Pernafasan : spontan
10. Integritas kulit : utuh
11. Sign in : ya
12. Marker area operasi : ya

b. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri kronis berhubungan dengan adanya sumbatan pada saluran cerna


illeum
b. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, ketidak akraban dengan
lingkungan
c. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan persepsi sensori karena
anastesi

c. Intervensi Keperawatan
No tanggal Diagnose keperawatan intervensi Rasional

1 20-01- Nyeri kronis 1. Selidiki laporan nyeri, 1. Nyeri cenderug menjadi


2015 berhubungan dengan catat lokasi, lama, konstan, lebih hebat dan
adanya sumbatan pada intentitas (skala 0-10) menyebar keatas nyeri
dan karakteristiknya
saluran cerna illeum dapat bersifat local.
(dangkal, tajam,

46
konstan) 2. Memudahkan drainase
2. Pertahankan posisi semi cairan/luka karena
fowler sesuai indikasi gravitasi dan membantu
3. Berikan tindakan meminimalkan nyeri
kennyamanan, contoh karena gerakan
pijatan punggung, napas 3. Meningkatkan relaksasi
dalam, latihan relaksasi/ dan mungkin
visualisasi meningkatkan relaksasi
4. Observasi reaksi non 4. Menurunkan laju
verbal dari metabolic dan iritasi usus
ketidaknyamanan karena toksin
5. Control lingkungan sirkulasi/local. Yang
nyeri seperti suhu , membantu
pencahayaan dan menghilangkan nyeri dan
kebisingan mempercepat
penyembuhan
5. Meringis, merengutkan
Kolaborasi: dahi dan perilaku
menjauh merupakan
1. Pemberian analgetik reaksi non verbal
sesuai indikasi ketidaknyamanan
6. Suhu ruangan terlalu
dingin atau terlalu panas
dan suasana ruangan
operasi mempengaruhi
keadaan nyeri
2 20-01- Ansietas berhubungan 1. Sediakan waktu 1. Dapat menjamin dan
2015 dengan krisis kunjungan oleh personel meredakan keresahan
situasional, kamar operasi sebelum pasien dan juga
pembedahan jika menyediakan informasi
ketidakakraban dengan
memungkinkan untuk perawatan
lingkungan 2. Identifikasi tingkat rasa intraoperasi formulatif
takut yang mengharuskan 2. Kembangkan hubungan
dilakukannya penundaan rasa saling percaya pada
prosedur pembedahan klien
3. Validasi sumber rasa 3. Strees berisiko
takut. Sediakan informasi pembalikan reaksi
yang akurat dan factual terhadap prosedur
4. Catat ekspresi yang anestesi
berbahaya/perasaan tidak 4. Mengidentifikasi pasien
tertolong untuk menghadapinya
5. Beritahu pasien secara realistis
kemungkinan di lakukan 5. Pasien mungkin telah
anestesi local atau spinal berduka terhadap
dimana rasa pusing/ kehilangan yang di
mengantuk akan terjadi . tunjukan dengan
6. Perkenalkan staff pada antisipasi prosedur
waktu pergantian ke pembedahan

47
ruang operasi 6. Suara gaduh dan
7. Kontrol stimulasi keributan akan
eksternal meningkatkan ansietas
8. Berikan reinforcement
untuk menggunakan
koping efektif
3 20-01- Resiko cidera 1. Cek daerah 1. Persiapan kulit pra
2015 berhubungan dengan kulit/persiapan kulit dan operasi sangat
gangguan persepsi persiapan perut menentukan kejadian
(pencukur) cidera pada pasien
sensori karena anastesi
2. Pasang bed streil, sabuk 2. Meja operasi sangat
pengaman pada paha, sempit sehingga
papan lengan memerlukan restrein
3. Lepas tusuk konde dan pada kaki atau papan
wig dan tutup kepala jika lengan
ada 3. Benda-benda yang
4. Lepas perhiasan terbuat dari logam akan
5. Bersihkan cat kuku berkonduksi dengan alat-
6. Lepas kontak lensa dan alat elektrik dan
amankan membahayakan tubuh
7. Lepas protesa (gigi palsu, terhadap pemakaian
mata palsu) elektrokauter
8. Cek site marking area 4. Cat kuku merupakan
operasi benda asing bagi tubuh
dan dapat
membahayakan bagi
pasien
5. Lensa kontak dapat
menyebabkan abrasi
kornea pada waktu
pasien dalam anastesi
6. Benda asing dalam tubuh
dapat teraspirasi selama
intubasi/ekstubasi selang
trachea.
7. Site marking area perlu
di perhatikan untuk
meminimalkan resiko
terjadinya cidera

d. Implementasi Keperawatan
No Tanggal/jam Dianosa keperawatan implementasi

1 20-01-2015 Nyeri kronis berhubungan 1. Melakukan pengkajian nyeri


dengan adanya sumbatan H/ keluhan nyeri di perut kiri bagian
pada saluran cerna illeum atas, hilang timbul, skala nyeri sedang
dengan nilai skala nyeri 4

48
2. Mengatur posisi klien dalam posisi
nyaman untuk klien
H/ posisi supinasi
3. Menganjurkan klien untuk menarik nafas
dalam dalam untuk merelaksasi nyeri
H/ klien mampu berpartisipasi dalam
intruksi dan mengatakan nyeri berkurang

2 20-01-2015 Ansietas berhubungan 1. Memperkenlakan diri kepada klien dan


dengan krisis situasional, meminta klien mengulanginya
ketidakakraban dengan H/ klien mampu menyebutk ulang nama
lingkungan staff
2. Menanyakan penyebab klien merasa
takut akan pembedahan yang akan di
lakukan
H/ cerita pengalaman teman tentang
kegiatan operasi
3. Memberitahu klien saat akan di anestesi
dan efek samping akan di rasakan
H/ klien mengerti dan menyetujui
4. Mengikuti prosedur rumah sakit untuk
menciptakan lingkungan ruang operasi
yang nyaman untuk klien
H/ tidak mengeluarkan suara gaduh,
tidak bercanda dan tetap focus terhadap
klien

3 20-01-2015 Resiko cidera 1. Menobservasi daerah kulit/persiapan


berhubungan dengan kulit dan persiapan perut (pencukur)
gangguan persepsi sensori H/ kulit utuh dan sudah tercukur
2. Memasang bed streil, sabuk pengaman
karena anastesi
pada paha, papan lengan
H/ papan lengan terpasang
3. Melepas tusuk konde dan wig dan tutup
kepala jika ada
H/ topi sudah di lepas
4. mengobservasi perhiasan
H/ pasien tidak memakai perhiasan
5. mengevaluasi pemakaian cat kuku
H/ pasien tidak memakai cat kuku
6. Mengobservasi kontak lensa
H/ pasien tidak memakai kontak lensa
7. Mengobservasi pemakaian protesa (gigi
palsu, mata palsu)
H/ pasien tidak memakai gigi palsu
8. Mengevaluasi site marking area operasi

49
H/ sudah di lakukan

e. Evaluasi Keperawatan
No Diagnose keperawatan Evaluasi keparawatan

1 Nyeri kronis berhubungan dengan S : klien mengatakan nyeri berkurang


adanya sumbatan pada saluran O : Skala nyeri 2
cerna illeum A : Masalah keperawatan teratasi sebagian
P :Intervensi dilanjutkan selama pre dan inta
operasi, monitor TTV, Keadaan umum pasien,
dan status cairan

2 Ansietas berhubungan dengan krisis S : Pasien mengerti akan prosedur tindakan


situasional, ketidakakraban dengan operasi dan merasa rasa cemasnya berkurang
lingkungan O : Ekspresi wajah klien terlihat agak sedikit
tenang
A : Masalah keperawatan teratasi
P : Intervensi di hentikan

3 Resiko cidera berhubungan dengan S : -


gangguan persepsi sensori karena O : Prosedur pencegahan cidera sudah di lakukan
anastesi A : Masalah keperawatan teratasi
P : Intervensi keperawatan di hentikan

2. INTRA OPERASI
a. Pengkajian
Nama : Tn. L Umur : 29 th

No. RM :43 91 95 Tanggal Lahir : 01-03-1985

Jenis Kelamin : Laki-laki Status : BPJS mandiri

Tgl. Masuk : 20-01-2015, jam 08:28:08 TB/BB : 160cm/60kg

Alamat : Jl. Tanah tinggi 1 no. 17 rt

005/ 002 tanah tinggi johar baru

Diagnose medis : Obstruksi parsial ec ilitis dd neoplasma

1. Anastesi mulai : 16.45 S/D 20.40 WIB Pembedahan : 17.05 S/D 20.35 WIB
2. Jenis pembiusan : umum

50
3. Tanda-tanda vital
TD : 105/65 mmHg, N : 62X/menit, S : 36,40C, RR : 15X/memnit, TB/BB :
160cm/60kg

4. Pernafasan : ventilator
5. Posisi canul infus : tangan
6. Posisi operasi : supinasi
7. Jenis operasi : steril
8. Catheter urine : ya, no.16
9. Antiseptic kulit : betadine 7,5%, betadine 10 %, alkohol 70%
10. Time out : ya
11. Insisi kulit : mediana
12. Pemeriksaan kulit sebelum operasi : bersih
13. Pemeriksaan kulit setelah operasi : utuh
14. Monitor anastesi : ya
15. Mesin anastesi : ya
16. Irigasi luka : ya
17. Cairan : NaCl
18. Perdarahan : 200 cc

b. Diagnosa Keperawatan

a. Resiko ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan


sekresi air ludah
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
cairan saat operasi

c. Intervensi Keperawatan

No tanggal Diagnose keperawatan Intervensi Rasional

1 20-01- Resiko ketidakefektifan 1. Evaluasi bersihan jalan 1. Melihat adanya obstruksi


2015 jalan nafas nafas klien jalan nafas
berhubungan dengan 2. Monitor tanda-tanda vital 2. Kenaikan pola nafas
3. Observasi ETT setiap 15 dapat menunjukan
peningkatan sekresi air
menit adanya ketidakefektifan
ludah 4. Auskultasi jalan nafas jalan nafas
5. Pantau saturasi oksigen 3. Pernafasan eksternal di
6. Monitor status respirasi butuhkan saat prosedur
pembedahan agar
kebutuhan oksigen
pasien terpenuhi
4. Bunyi nafas ronkhi
menandakan adanya
penumpukan sputum
pada saluran nafas
5. Saturasi oksigen

51
memuudahkan pemilihan
intervensi dan evaluasi
tindakan
6. Peningkatan frekuensi
nafas menandakan
adanya upaya
pemenuhan kebutuhan
oksigen pasien

2 20-01- Resiko kekurangan 1. Pertahankan volume 1. Volume cairan sangat


2015 volume cairan keseimbangan cairan mempengaruhi
berhubungan dengan 2. Pantau tanda-tanda awal keberhasilan prosedur
dehidrasi operasi
kehilangan cairan saat
3. Pantau urin output setiap 2. Kenaikan denyut nadi dan
operasi jam penurunan tekanan darah
4. Kolaborasi pemberian merupakan tanda awal
darah dehidrasi
5. Observasi selama 3. Dokumentasi yang akurat
pemberian darah akan membantu dalam
6. Catat semua cairan yang mengidentifikasi masukan
masuk dan keluaran dan keluaran cairan
7. Lakukan terapi Intra sehingga mempengaruhi
Vena intervensi
4. Mungking akan terjadi
penurunan dan
menindikasikan
malfungsi atau obstruksi
system urinarius
5. Dokumentasi yang akurat
akan membantu dalam
mengidentifikasi masukan
dan keluaran cairan
sehingga mempengaruhi
intervensi
6. Akses terapi intra vena
dan terapi intra vena di
butuhkan untuk
memenuhi kebutuhan
cairan pasien intra operasi

d. Implementasi Keperawatan

no Tanggal/jam Dianosa keperawatan Implementasi

1 20-01-2015 Resiko ketidakefektifan 1. Mengevaluasi bersihan jalan nafas klien


jalan nafas berhubungan H/ terdapat bunyi ronkhi pada paru kanan dan
dengan peningkatan kiri saat di auskultasi

52
sekresi air ludah 2. Memonitor tanda-tanda vital
H/ TD: 100/65mmHg N: 101x/menit,
S: 360C RR: 16x/menit
3. Mengobservasi ETT setiap 15 menit
H/ ETT terpasang dan aliran udara oksigen paru
kanan dan kiri baik
4. Memantau saturasi oksigen
H/ SpO2 99%
5. Memonitor status respirasi
H/ frekuensi pernafasan 16x/menit

2 20-01-2015 Resiko kekurangan 1. Mempertahankan volume keseimbangan cairan


volume cairan 2. Memantau tanda-tanda awal dehidrasi
berhubungan dengan H/ TD: 100/65mmHg N: 101x/menit,
S: 360C RR: 16x/menit
kehilangan cairan saat
Turgor kulit : elastis
operasi 3. Memantau urin output
H/200 cc

4. Kolaborasi pemberian darah


H/ tranfusi darah jenis PRC golongan darah O
250 cc
5. Mengobservasi selama pemberian darah
H/ tranfusi di berikan selama pembedahan
6. Mencatat semua cairan yang masuk dan
keluaran
H/ terapi intra vena assering 500 cc
7. Melakukan terapi Intra Vena
H/ pemasangan catheter infus di lengan kanan

e. Evaluasi Keperawatan
no Diagnose keperawatan Evaluasi keparawatan

1 Resiko ketidakefektifan jalan nafas S : -


berhubungan dengan peningkatan O : pasien terpasang ETT, dan aliran udara oksigen paru
sekresi air ludah kanan dan kiri baik, saturasi O2 99 %
A : Masalah teratasi sebagian
P : Intervensi dilanjutkan selama tindakan pembedahan :
monitor TTV, Mengobservasi ETT setiap 15 menit
sekali, memantau saturasi O2, dan memonitor status
respirasi.

2 Resiko kekurangan volume cairan S : -


berhubungan dengan kehilangan O : terdapat perdarahan 200 cc selama pembedahan,
cairan saat operasi kesadaran CM, urin output 200 cc, pemasukan cairan
asering 500 cc , klien terpasang infuse dilengan kanan

53
(lancar)
A : Masalah teratasi setelah pemberian terapi asering 500
cc, tranfusi PRC 250 cc
P : Intervensi keperawatan intra operasi di hentikan

3. POST OPERASI
a. Pengkajian
Nama : Tn. L Umur : 29 th

No. RM :43 91 95 Tanggal Lahir : 01-03-1985

Jenis Kelamin : Laki-laki Status : BPJS mandiri

Tgl. Masuk : 20-01-2015, jam 08:28:08 TB/BB : 160cm/60kg

Alamat : Jl. Tanah tinggi 1 no. 17 rt

005/ 002 tanah tinggi johar baru

Diagnose medis: Obstruksi parsial ec ilitis dd neoplasma

1. Kesadaran : compos mentis


2. Pernafasan : canula
3. Tanda-tanda vital
TD : 100/67 mmHg, N : 60X/menit, S : 360C, RR : 17X/memnit, TB/BB : 160cm/60kg
SpO2 : 99%

4. Perdarahan : 600 cc
5. Cairan infus :assering
6. Ekstremitas : hangat
7. Mukosa mulut : lembab
8. Turgor kulit : elastis
9. Sirkulasi : merah muda
10. Urine : 400 cc
11. Catheter urine : ya

b. Diagnosa Keperawatan
Resiko ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
sekresi air ludah

c. Intervensi Keperawatan

54
No tanggal Diagnose keperawatan intervensi Rasional

1 20-01- Resiko ketidakefektifan 1. Evaluasi bersihan jalan 1. Melihat adanya obstruksi


2015 jalan nafas nafas klien jalan nafas
berhubungan dengan 2. Monitor tanda-tanda vital 2. Kenaikan pola nafas
3. Observasi ETT setiap 15 dapat menunjukan adanya
peningkatan sekresi air
menit ketidakefektifan jalan
ludah 4. Auskultasi jalan nafas nafas
5. Pantau saturasi oksigen 3. Pernafasan eksternal di
6. Posisikan kepala miring butuhkan saat prosedur
kesalah satu sisi pembedahan agar
kebutuhan oksigen pasien
terpenuhi
4. Bunyi nafas ronkhi
menandakan adanya
penumpukan sputum pada
saluran nafas
5. Saturasi oksigen
memuudahkan pemilihan
intervensi dan evaluasi
tindakan
6. Mencegah terjadinya
aspirasi karena
peningkatan produksi
saliva saat pembedahan

a. Implementasi Keperawatan

no Tanggal/jam Dianosa keperawatan Implementasi

1 20-01-2015 Resiko ketidakefektifan jalan 1. Mengevaluasi bersihan jalan nafas klien


nafas berhubungan dengan H/ terdapat bunyi ronkhi pada paru kanan dan
peningkatan sekresi air ludah kiri saat di auskultasi
2. Memonitor tanda-tanda vital
H/ TD: 100/67mmHg N: 60x/menit,
S: 360C RR: 17x/menit
3. Mengobservasi canula oksigen
H/ terapi oksigen 8L/menit
4. Mengauskultasi jalan nafas
H/ terdengar bunyi ronkhi saat auskultasi

5. Memantau saturasi oksigen


H/ SpO2 99%
6. Memonitor status respirasi
H/ frekuensi pernafasan 16x/menit
7. Mengatur posisi klien
H/ posisi kepala klien di miringkan ke kanan

55
d. Evaluasi Keperawatan
No Diagnose keperawatan Evaluasi keparawatan

1 Resiko ketidakefektifan S : -
jalan nafas berhubungan O : Pasien mendapat terapi suction, memiringkan kepala ke sisi
dengan peningkatan kanan , terapi O2 4 L
sekresi air ludah A: Masalah teratasi sebagian
P : intervensi dihentikan dan dilanjutkan di ruang perawatan

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis secara khusus membahas tentang pencapaian yang telah
diperoleh setelah memberikan asuhan keperawatan pada Tn. L dengan gangguan
sistem Pencernaan “Ileus Obstruksi”. Bab ini juga terdapat kesenjangan-
kesenjangan yang terjadi dilihat dari konteks teori dan hasil penerapan secara

56
nyata pada klien. Adapun pembahasan terhadap asuhan keperawatan pada Tn. L
dengan gangguan sistem pencernaan “Obstruksi parsial ec ilitis dd neoplasma”
adalah sebagai berikut.

A. Pre Operasi

1. Pengkajian

Pada data pengkajian saat pre operasi, pasien telah melakukan beberapa
pemeriksaan seperti yang ada di teori seperti pemeriksaan status kesehatan
secara umum, seperti :

a. dentitas pasien

Nama : Tn L

Usia : 29 tahun

Tanggal Lahir : 01-03-1985

Jenis Kelamin : Laki-laki

TB/BB : 160cm/60kg

b. Riwayat penyakit
Klien mengatakan Nyeri perut kiri bagian atas, sejak 3 bulan yang lalu
dan memberat sejak 2 minggu ini, nyeri menjalar ke perut bagian bawah,
BAB seperti kotoran kambing, pernah mengalami trauma abdomen
sebulan yang lalu, dan mual.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Klien mengatakan dalam keluarganya tidak mempunyai penyakit yang
sama seperti yang klien derita.

d. Pemeriksaan USG abdomen


Hepar : besar dan bentuk dalam batas normal. Echostructure
parenkim meningkat; tidak tampak lesi fokal, tidak tampak
asites ataupun efusi pleura kanan dan kiri
Kd. Empedu : tidak dapat dinilai – pasien tidak puasa
Pancreas : besar dan bentuk normal, echostructure homogen, tidak
tampak lesi fokal, duktus pankreatikus tidak melebar
Lien : besar dan bentuk normal, echostructur homogen, tidak
tampak lesi fokal. V. lienalis tidak melebar

57
Kedua ginjal :besar dan bentuk normal, diferensiasi cortex dan dan
medulla baik. Echostructur parenkhim homogen. Tidak
tampak lesi fokal ataupun batu
V. urinaria : dinding licin. Tidak tampak batu
Prostat : echostructure parenkhim homogeny. Tidak tampak lesi
fokal.
Aorta : tidak dapat dievaluasi, udara usus prominent
Usus-usus : tampak pelebaran usus-ususdengan dinding usus menebal
Kesan :
a. Parenchymal liver disease
b. Suspek meteorismus dengan suspek tanda-tanda awal peritonitis

58
e. Pemeriksaan Laboraturium klinik
Jenis Hasil Nilai Rujukan
Pemeriksaan
Kimia Klinik
Albumin 2.7* 3.5 – 5.0 g/dL
Natrium (Na) 132* 135 – 147 mmol/L
Kalium (K) 4.1* 3.5 – 5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 93* 95 – 105 mmol/L
Ureum 20 20 – 50 mg/dL
kreatinin 0.8 0.5 -1.5 mg/dL

f. Status nutrisi
Pasien TB/BB : 160cm/60kg pasien dianjurkan memperoleh intake
nutrisi 2000kkal
g. Keseimbangan cairan dan elektrolit
Cairan masuk dipantau selama pre operasi
h. Kebersihan lambung dan kolon
Pasien dianjurkan puasa ± 4 jam sebelum tindakan operasi sedangkan
dalam teori seharusnya pasien puasa sekitar 7 – 8 jam untuk pengosongan
lambung dan kolon agar terhindar dari aspirasi (masuknya cairan
lambung ke paru-paru) dan menghindari kontaminasi fese ke area
pembedahan sehingga menghindarkan terjadinya infeksi pasca
pembedahan.
i. Pencukuran daerah operasi
Sebelum operasi pasien dilakukan pencukuran pada daerah operasi
ditunjukan untuk menghindari terjadinya infeksi pada daerah yang
dilakukan pembedahan karena rambut yang tidak dicukur dapat menjadi
tempat bersembunyi kuman dan dapat juga mengganggu/menghambat
proses penyembuhan dan perawatan luka.
j. Personal hygiene
Pasien pre operasi sebelumnya dilakukan personal hygin dan dilakukan
desinfektan pada area operasi tujuannya kebersihan tubuh pasien sangat
penting untuk persiapan operasi karena tubuh yang kotor dapat
merupakan sumber kuman dan dapat mengakibatkan infeksi pada daerah
yang dioperasi.
k. Pengosongan kandung kemih

59
Pasien dilakukan pengosongan kandung kemih dengan dengan
melakukan pemasangan kateter. Selain untuk pengosongan isi bladder
tindakan kateter juga diperlukan untuk observasi balnce cairan.

2. Diagnosa Keperawatan

Teori
a. Kurang pengetahuan berhubungan dengan prosedur tindakan
pembedahan.
b. Kecemasan berhubungan dengan tindakan operatif
Kasus

a. Nyeri kronis berhubungan dengan adanya sumbatan pada saluran cerna


illeum
b. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, ketidak akraban dengan
lingkungan
c. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan persepsi sensori karena
anastesi
Pada teori maupun kasus terdapat perbedaan namun sesuai dengan kasus
maka diagnose yang ditegakkan pun seuai dengan keadaan pasien yang
ditemukan
3. Intervensi
Intervensi yang direncanankan banyak namun tidak semua intervensi dapat
dilaksanaakan karena keadaan dan kondisi pasien serta tenaga kesehatan
yang ada.
4. Evaluasi
Evaluasi dilakukan setiap jam dan di catat berdasarkan respon pasien,
keadaan pasien.

BELUM SELESAI BAB IV

60
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah menganalisa kasus Ileus Obstruksi pada Tn. L, maka penulis menarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Tanda dan gejala yang ditemukan secara langsung selama pengkajian Pre,
Intra, dan Post teryata tidak selalu sama bila dibandingkan dengan teori yang
ada, hal ini dapat terjadi mungkin karena adanya komplikasi dan berat
ringannya kondisi klien
2. Diagnosa keperawatan yang ditegakkan juga pada nyatanya berbeda dengan
kemungkinan diagnosa yang muncul secara teoritis, hal ini terjadi karena
respon individu terhadat suatu penyakit bisa berbeda-beda
3. Penyakit Ileus Obstruksi yang terjadi pada Tn. L kemungkinan disebabkan
karena faktor usia yang diperburuk dengan ketidaktahuan pasien dan keluarga
bahwa pasien mengidap Ileus Obstruksi “Obstruksi parsial ec ilitis dd
neoplasma”. Secara teoritis, diagnosa dini sangat membantu dalam
peningkatan angaka kesuksesan asuhan keperawatan pada Ileus Obstruksi.

B. Saran
Dari kesimpulan di atas, maka penulis memberikan kesimpulan bahwa :
1. Dengan kondisi pasien setelah menjalani operasi selama kurang lebih 2 jam
maka seharusnya pasien mendapat perhatian khusus pada luka operasi, karena
pada saat proses pembedahan maka terjadi insisi kulit yang cukup luas diarea
abdomen yang merupakan organ paling sensitive terhadap infeksi yang
mungkin berasal dari lingkungan pasien, kontak dengan alat-alat bedah, dan
kondisi tim operasi yang kurang aseptic mapu menyebabkan infeksi
nosokomial terhadap pasien. Oleh karena itu hendaknya sebagai perawat
maupun tim bedah lainya mampu menerapkan prinsip steril dan aseptic
selama proses pembedahan berlangsung.
2. Selama proses pembedahan juga harus terus mamantau tanda-tanda vital
pasien yang terdiri dari TD, RR, N, dan S, keadaan umum pasien, dan balance
cairan.

61
3. Sebagai perawat harus lebih berfikir kritis dan memahami suatu penyakit dari
sudut medik maupun keperawatan sebelum menetukan diagnosa keperawatan
sehingga klien bisa mendapatkan asuhan keperawatan yang lebih aktual dan
tepat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buranda, Theopilus Dkk. (2008). Anatomi Umum. Makassar : Bagian


Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin.

2. Yusuf, Irawan. (2005). Fisiologi Sistem Gastro-Intestinal. Makassar: Bagian


Ilmu Faal, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin.

3. Marylin. E, doenges. (2003). Rencana asuhan keperawatan. Egc : jakarta.

4. Johnson, M. Etall. (2008). Nursing Outcom Clasification (NOC). USA:


Mosbay Elsevier.

5. Bulecheck, Gloria M, Butcher, Howard K, doctcherman, joanne. M. (2008).


Nursing Intervention Clasivication (NIC). USA : Mosby Elsevier.

62

Anda mungkin juga menyukai