Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Putri Eka Savitry - Ringkasan Materi ADME

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

FARMAKOKINETIKA
“Ringkasan Materi ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, Eksresi)
dan Fungsi Farmakokinetika”

Kelas B 2015

Putri Eka Savitry


260110150064

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2018
Farmakokinetik saat ini mempelajari mengenai waktu penyerapan obat, absorpsi,
distribusi, metabolisme, serta ekskresi. Tujuan dari mempelajari farmakokinetik ini agar dapat
mengetahui dosis yang sesuai untuk pasien sehingga mencapai efek terapi dari obat yang sesuai
dengan yang diinginkan. Selain itu, seluruh mekanisme yang terjadi di dalam studi
farmakokinetik juga berguna untuk mengetahui efek yang diinginkan atau tidak diinginkan
ketika obat digunakan oleh pasien.

Absorpsi, distribusi, metabolisme, serta ekskresi biasa disingkat sebagai ADME.

Seluruh proses yang dipelajari tersebut bertujuan untuk mencapai efek obat yang diinginkan
terhadap target dari obat. Sebelum obat mencapai target, diperlukan distribusinya di dalam
tubuh yang dilakukan melalui beberapa rute pemberian (administration), misalnya secara oral
ataupun intravena. Liberasi suatu zat aktif dari bentuk obat yang utuh juga terjadi di dalam
tubuh sehingga distribusinya dapat terjadi, sehingga tekadang sering disingkat sebagi
LADME. Berikut skema singkat mengenai proses tersebut.

Obat dari seluruh jenis rute pemberian akan mengalami hal di atas, kecuali pemberian obat
melalui intravena yang tidak diabsorpsi.

1. Administrasi Obat (Rute Pemberian)


Rute pemberian obat ditentukan berdasarkan sifat asli dari obat serta kegunaannya.
Beberapa jenis rute pemberian obat di antaranya secara oral, intravena, sublingual, inhalasi,
rektal, dan rute pemberian lainnya.
Rute pemberian secara oral adalah obat yang mudah digunakan oleh pasien sebab tidak
memerlukan keahlian secara medis serta tidak memerlukan kondisi yang steril. Meski
begitu, rute ini perlu melalui saluran pencernaan yang lingkungannya memiliki kondisi
ekstrem untuk obat, dimana pH pencernaan adalah rendah, sehingga beberapa yang sulit
melawan kondisi ini perlu pergantian rute pemberian, misalnya obat benzilpenisilin.
Kehadiran protease juga menyebabkan sulitnya obat yang memilki protein dan peptide,
seperti insulin, untuk dapat melewatinya dan akhirnya sulit untuk absorpsi yang melalui
membran.
Absorpsi utama dilakukan secara difusi pasif untuk obat lipofilik serta transport aktif
untuk obat yang endogenik, misalnya levodopa dimana obat ini memiliki senyawa
endogenik serupa cytotoxic agent 5-florouracil. Dengan menggunakan difusi pasif, laju
absorpsinya proporsional terhadap konsentrasi, sedangkan absorpsi dengan mekanisme
carrier-mediated, transport aktif, atau difusi terfasilitasi, memiliki kapasitas tertentu dan

pembawanya dapat mengalami kejenuhan.


Grafik di atas menunjukan percobaan pada seekor tikus yang diberi urasil (mekanisme
absorpsi transport aktif) dimana peningkatakan konsetrasinya memberhantikan absorpsi,
sedangkan asam salisilat (dengan mekanisme difusi pasif) memberikan hasil absorpsi obat
bergantung pada konsentrasi.
Rute pemberian secara sublingual serupa dengan oral, namun dikunyah atau diletakan
di bawah lidah sehingga absorpsi terjadi pada mulut. Absorpsi terjadi dengan cepat seperti
obat GTN (glyceril trinitrate) yang efeknya perlu sangat cepat menuju jantung untuk
menghindari system portal hepatik dan dapat dihancurkan dalam pencernaan.
Rute pemberian secara rektal, melalui rectum untuk dibawa menuju vena kava,
digunakan pada beberapa negara untuk tujuan tertentu, misalnya Diazepam supositoria
untuk penderta epilepsi. Rute ini tidak mengalami absorpsi pada permukaan yang luas
namun suplai darah cukup efisien serta menuju target lebih cepat untuk mengatasi masalah.
Kerugian rute pemberian ini selain kurangnya penerimaan pasien terhadap rute pemberian
ini, inflamasi dapat terjadi pada rectum.
Rute pemberian intravena yang secara langsung diinjeksikan menuju aliran darah dapat
menghindari beberapa masalah absorpsi pada pasien serta menghasilkan efek obat yang
sangat cepat. Bila terjadi masalah lain atau perlu injeksi, secara bertahap, maka dapat
diberikan secara infus dalam kurun waktu tertentu, baik beberapa menit, jam, bahkan hari.
Namun rute ini tidak semudah rute pemberian secara oral sebab memerlukan kondisi steril
serta kemampuan secara medis yang tinggi demi kesalahan, seperti kerusakan jaringan.
Rute pemberian secara inhalasi dilakukan pada obat yang bersifat mudah menguap
seperti gas melalui paru-paru, dengan luas permukaan yang besar serta absorpsi yang cepat.
Obat yang biasa diberikan melalui rute pemberian ini merupakan obat yang digunakan
untuk mengatasi konstriksi brokus pada pasien asma, misalnya β-adrenoreseptor agonis
yaitu salbutamol dan terbutalin.

2. Absopsi
Absorpsi suatu obat di dalam tubuh dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya faktor
biologis, yaitu mengenai bagaimana keadaan membran dari setiap manusia. Pada membran
tersebut, terdapat beberapa mekanisme yang membantu dalam pemasukan zat-zat ekstrasel
ke dalam intrasel. Mekanisme tersebut adalah difusi pasif aqueous, difusi pasif lipid,
carrier-mediated facilitated transport, Selain itu, absorpsi sipengaruhi oleh bagaimana
aliran darah local. Misalnya seperti pada penggunaan rute pemberian secara rektal dimana
aliran darahnya tidak mengarahkan pada hati, melainkan pada target di pencernaan
sehingga dapat menghindari first-pass effect.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi absorpsi obat di dalam tubuh yaitu bagaimana
kekuatan obat untuk dapat secara kuat berikatan dengan reseptor atau dengan protein yang
berada dalam tubuh sehingga dapat melakukan distribusi ke dalam darah. pH dari tubuh
juga mempengaruhi bagaimana obat dapat terabsorpsi.
3. Distribusi
Distribusi obat yang terjadi dalam tubuh dibawa melalui sirkulasi darah menuju target.
Keberadaannya di dalam darah terkadang berikatan bersama protein darah. Distribusi ini
bergantung pada sifat fisikokimia dari suatu obat. Suatu obat yang bersifat lipofilik dengan
ukuran kecil, akan lebih banyak terdistribusi dalam darah setelah mudah melakukan
penetrasi dalam membran dibandingkan dengan senyawa obat bersifat polar, mudah
terionisasi, dan makromolekul.

Sifat fisikokimia tersebut mempengaruhi tingkat distribusi yang dapat dikuantifikasi


sebagai apparent volume of distribution (V) yang dapat menunjukan letak distribusi obat,
dimana nilai ini merupakan nilai dari volume yang dibutuhkan oleh cairan sehingga dapat
melarutkan obat dalam tubuh (A) untuk memberikan konsentrasi yang sama dalam plasma
pada waktu tersebut yang diinterpretasikan dengan rumus:

C merupakan nilai konsentrasi plasma

Sediaan injeksi intravena memiliki rumus sebagai berikut:

Dimana D merupakan dosis yang diinjeksikan dan Co merupakan konsentrasi pada waktu
= 0 secara teoritis sebab tidak bisa terjadi distribusi pada waktu 0 karena obat harus
bercampur dengan darah sehingga dapat terdistribusi dengan baik.
Senyawa seperti Evans’ blue, inulin, isotopically labelled water dapat
digunakan untuk menghitung volume dari plasma karena dapat berikatan dengan TBW
(total body water) dan ECF (extracelullar fluid).

Obat yang terbawa dalam peredaran darah dapat berpenetrasi ke dalam jaringan yang
mampu mereka tembus. Obat ini akan berada pada posisi dimana sistem terus berdifusi
sehingga tercapai konsentrasi ekuilibrium. Setelah tercapai, difusi terus berlangsung, tetapi
konsentrasi pada beberapa titik pada jaringan tidak berubah. Penghilangan obat dari ECF
oleh metabolisme dan ekskresi akan menurunkan kadar plasma darah, sehingga
pergerakannya dari jaringan menuju plasma. Meski begitu, berkumpulnya obat pada suatu
titik di dalam jaringan ditemukan lebih banyak dibandingkan konsentrasi obat yang berada
pada plasma darah, seperti pada hati, paru-paru, dan limfa.
Distribusi mengenai obat di dalam jaringan menuju organ telah dipelajari secara
modern. Tujuan dari studi ini yaitu untuk mnentukan jaringan mana yang dapat ditembus
secara selektif sehingga dapat menemukan target yang tepat, serta untuk mengetahui waktu
tempuh obat di dalam tubuh dan efek farmakologinya. Tiopental sebagai obat anthipertensi
dipelajari pada studi ini. Teknik yang digunakan untuk mengetahui distribusi dalam
jaringan di antaranya mikrodialisis. Mikrodialisis merupakan teknik melibatkan
pemasukan probe (satelit) sangat halus ke dalam jaringan tubuh hidup yang terdapat celah
berisi cairan seperti CSF(cerebrospinal fluid) atau cairan ekstrasel lainnya jika
memungkinkan. Satelit tersebut setidaknya mengandung 2 tabung lingkaran dan membran
semipermeabel yang memisahkan keduanya, diposisikan sedemikian rupa sehingga cairan
dialisis ekstrasel dapat diinfuskan perlahan melalui satelit dan melewati membran. Obat
yang molekulnya tidak berikatan dengan jaringan di sekitarnya, akan berdifusi ke dalam
dialisat, yang nantinya akan dikumpulkan untuk dianalisis. Berikut diagram mikrodialisis
morfin pada pasien yang mengalami cedera kepala.

4. Metabolisme
Metabolisme merupakan cara tubuh dapat mengubah sifat suatu obat, misalnya yang
obat yang belum aktif di dalam tubuh, dapat diubah menjadi obat yang aktif sehingga dapat
mencapai targetnya. Apabila diinterpretasikan ke dalam kurva tingkat kadar darah (y)
terhadap waktu (x), obat akan mengalami penurunan jumlah di dalam darah setelah
mencapai target dan memberikan efek maksimum, tentunya dengan bertambahnya waktu.
Serupa dengan absorpsi, metabolisme melewati proses menembus membran sehingga
terjadi beberapa proses seperti difusi, transpor aktif, dan mekanisme lainnya.
Organ utama yang digunakan dalam metabolisme yaitu hati. Meskipun begitu, organ
lainnya juga dapat melakukan metabolisme, di antaranya :
- Plasma dan cairan tubuh lainnya : melakukan hidrolisis terutama ester
- Terminal syaraf : metabolisme transmiter endogenic serta obat yang memiliki
struktur serupa
- Sel mukosa : bertanggung jawab dalam presistemik metabolisme beberapa obat
- Ginjal, paru-paru, otot : metabolisme beberapa obat
- Otak : mampu melakukan glukuronidasi dari morfin
- Flora pencernaan : metabolisme beberapa obatdanhidrolisis glukuronid

Metabolisme seringkali dibagi menjadi 2 atau 3 fase, dimana fase I biasanya berupa
oksidasi, hidrolisis, atau dealkilasi, sedangkan fase 2 merupakan fase dimana sebuah gugus
fungsi terkonjugasi bersama senyawa endogenic misalnya asam glukoronat, sulfat, asetat,
dan asam amino. Ikatan konjugasi ini bisa bagian dari fase I atau memiliki gugus fungsi
yang aktif. Misalnya obat fenasetin yang mengalami dealkilasi, berubah menjadi
parasetamol yang kemudian terkonjugasi dengan glukoronat atau sulfat. Berikut reaksinya:

Kinetika mengenai metabolisme biasanya menggunakan enzim yang ditemukan oleh

Michaelis. Substrat yang dikombinasikan dengan enzim akan terdisosiasi atau


menghasilkan produk sebagaimana dalam reaksi berikut:

Enzim + Substrat ↔ Kompleks → Produk + Enzim

Hal tersebut serupa dengan ikatan isotherm yang terja di antara obat dengan reseptor
dan obat dengan protein, hanya saja produk terebtnuk. Ketika konsentrasi subtrat (C)
meningkat, enzim akan mengalami kejenuhan sehingga kecepatan reaksi (v) tidak
meningkat, pada kondisi ini, enzim telah mencapai kecepatan maksimum (Vmax), yang
diinterpretasikan oleh Michaelis-menten di dalam rumus:
Berikut merupakan contoh metabolisme dari obat yaitu parasetamol.

5. Eksresi
Ekskresi yang paling utama terjadi di dalam ginjal, meskipun hati juga organ lain
melakukannya dalam jumlah yang sedikit. Eksreksi suatu obat dapat terjadi melalui saliva,
keringat, air mata serta lainnya. Bagian dari ginjal yang sangat berperan dalam eksreksi ini
yaitu nefron, yang mana terdapat sekitar 1,2 juta di dalam ginjal setiap manusia. Eliminasi
suatu obat dipengaruhi oleh sekresi tubular yang aktif serta difusi pasif pada senyawa yang
bersifat lipofilik. Dengan begitu, ekskresi obat di dalam tubuh sangat penting untuk diubah
sifatnya menjadi senyawa lipofilik agar mudah menembus glomerulus untuk melakukan
eksresi yang selanjutnya dibuang dalam bentuk urin.
Ginjal setiap manusia dapat melakukan pembersihan terhadap seluruh sisa di
dalam tubuh, maka muncul nilai yang disebut sebagai clearance. Nilai ini dapat
dikuantifikasi dengan rumus:

U merupakan konsentrasi senyawa di dalam urin, P adalah konsentrasi senyawa di


dalam darah. Nilai ini memiliki unit satuan mL min-1.
Produksi urin dapat dipengaruhi oleh faktor seperti pH. Pada setiap manusia, pH ini
berbeda-beda, bergantung pada pola hidup yang dijalani. Namun, nilai normal dari pH urin
telah ditetapkan yaitu 6,3 – 6,6. Perubahan pH yang terjadi misalnya dengan adanya
penambahakn NaHCO3 akan mempengaruhi pH sehingga menjadi suasana alkali, yang
tentunya dapat mempengaruhi obat yang harus dieksresikan dalam pH asam lemah atau
basa lemah. Misalnya obat amfetamin yang apabila dieksresikan pada pH 7,8 prosentasenya
1%, namun bila dieksresikan pada pH 4,8 menjadi 0,001 % saja. Hal ini juga terjadi pada
metamfetamin.
DAFTAR PUSTAKA

Curry, Stephen H and Robin Whelpton. 2011. Drug Disposition and Pharmacokinetics : From
Principles to Applications. United Kingdom : John Wiley & Sons, Ltd.

Edge Hill University. Phamacokinetics and Pharmacodynamics – the basic.

http://www.columbia.edu/itc/gsas/g9600/2004/GrazianoReadings/Drugabs.pdf

https://www.ashp.org/-/media/store%20files/p2418-sample-chapter-1.pdf

Sulosaari, V., Suhonen, R., & Leino‐Kilpi, H. 2011. An integrative review of the literature on
registered nurses’ medication competence. Journal of Clinical Nursing, 20, 464-478.

Anda mungkin juga menyukai