Sumber
Sumber
Sumber
html
Berkaitan dengan penelaahan nilai yang terdapat dalam karya sastra, sedikitnya dapat
dikemukakan beberapa jenis nilai seperti berikut ini.
1. Nilai hedonik
Suatu karya sastra dikatakan mengandung nilai hedonik jika karya sastra tersebut memberikan
kesenangan secara langsung kepada penikmatnya.
2. Nilai artistik
Artistik berhubungan dengan seni atau keterampilan. Suatu karya sastra dikatakan mengandung
nilai artistik bila karya sastra itu memanifestasikan suatu seni atau keterampilan seseorang dalam
melakukan pekerjaannya tersebut.
3. Nilai kultural
Karya sastra yang memiliki hubungan yang mendalam dengan masyarakat, peradaban, atau
kebudayaan tertentu dapat dikatakan mengandung nilai kultural.
Nilai etis, moral, dan religius berkaitan dengan muatan pancaran ajaran-ajaran yang bersangkut-
paut dengan etika, moral, dan agama.
5. Nilai praktis
Sebuah karya sastra dikatakan mengandung nilai praktis jika karya sastra itu memberikan sesuatu
(faedah) yang dapat dilaksanakan atau dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari (Tarigan,
1992).
Novel karya Nh. Dini sering dikelompokkan ke dalam novel-novel kenangan, karena novel ini
bercerita tentang kehidupan Nh. Dini sebagai pengarangnya. Maka aku atau saya dalam novel
karangannya, menokohkan Nh. Dini sendiri. Berikut adalah sinopsis novel Sebuah Lorong di
Kotaku.
Akhirnya ibu mendapatkan sebuah rumah yang menyenangkan. Kami hidup tentram dalam
bimbingan ibu yang penuh kelembutan dan ayah yang berwibawa serta bijaksana.
Aku kesepian dan kadang-kadang merasa bosan bermain sendirian, menunggu saudaraku pulang
sekolah. Siang itu aku menunggu ayah dan saudara-saudaraku pulang, karena aku ingin sekali
menyerok ikan di halaman belakang rumahku. Sampai akhirnya mereka semua pulang. Saat
makan siang pun aku tidak sabaran untuk ikut mencari ikan di halaman belakang rumahku.
Pikiranku hanya tertuju pada genangan air itu. Akhirnya ayah mendahului aku berbicara, akan
tetapi bukan ajakan untuk menyerok ikan melainkan apakah mau ikut berlibur ke desa tempat
kakek. Semuanya pun mengucapkan kata setuju untuk pergi ke desa. Setelah lama menunggu,
tiba juga waktu menyerok ikan, awalnya aku tidak diizinkan untuk ikut tapi ayah
memperbolehkan aku ikut akan tetapi aku hanya diam di dalam ember sebagai perahuku.
Maryam berhasil menangkap ikan kutuk yang sangat besar.
Suatu hari kami pergi ke rumah di desa, menumpang kereta api yang cukup lama dan lumayan
membosankan. Kami sampai di Madiun, kami menumpang andong ke tempat pemberhentian bis.
Sepanjang jalan yang kami lalui, dari jalan beraspal sampai ke pedalaman, pemandangannya
berganti-ganti, ada sawah, kelompok-kelompok rumah beserta peternakannya, jembatan sempit
dengan gemercik air. Setelah melakukan perjalan yang lama itu, akhirnya kami sampai di rumah
kakek.
Kami sangat gembira setelah sampai di rumah kakek. Demikian juga kakek. Tak henti-hentinya
kami berbincang-bincang dengan kakek. Ayah pun tak lupa menanyakan keadaan dan kesehatan
kakek. Hari kedua aku diajak Paman Sarosa melihat isi kebun kakek, memetik kelapa, melihat
kejernihan air sungai yang mengalir di kebun. Terasa nyaman kehidupan di desa. Terdengar derit
tali timba, bunyi hewan, kicau burung, dan udara segar. Banyak yang kulakukan selama di rumah
kakek. Turut menjaga ladang, menghalau burung, ikut memandikan kerbau anak gembala
bersama kakakku, Teguh dan Nugroho. Dua hari telah berlalu aku harus pulang meninggalkan
desa kakek, berpisah dengan paman. Aku merasa sangat sedih. Banyak pengalaman yang aku
dapatkan di rumah kakek. Yang semula tidak kukenal, mulai kuketahui dan kumengerti.
Di Madiun kami singgah di rumah Pak De dan Bu De. Di rumah ini kegiatan kami selalu
diawasi. Bu De selalu hendak serba teratur. Karena itu aku merasa tidak puas. Selama di rumah
Pak De dan Bu De, tidak pernah aku merasa menjadi cucu mereka. Setiap kali berkunjung,
rumah itu selalu aku anggap rumah orang lain. Perasaan itu pun selalu membuntutiku sampai aku
berumur belasan tahun.
Kami kembali ke Semarang. Dalam beberapa hari itu aku belajar banyak sekali. Mengenai
keluarga ayahku, mengenai keluarga ibuku, dan keduanya memiliki hubungan darah pula. Aku
belajar betapa kayanya bumi tanah air kita.
Beberapa hari berikutnya, ayah diberi tahu oleh kakek bahwa ramalan Jayabaya akan terlaksana
dalam waktu singkat. Dianjurkan agar keluarga tidak kekurangan bahan makanan saat perang
meletus. Karena keadaan akan perang ibu mempersiapkan banyak makanan. Makanan itu
disimpan di atas loteng. Setiap malam banyak tetangga datang ke rumah untuk mendengarkan
siaran radio Australia dan mendengar tentang berita perang. Dan meskipun tidak ada perang,
dapat kurasakan keadaan dimana-mana tegang. Bermacam-macam peraturan baru diumumkan di
kelurahan. Demikian keadaan berlangsung hingga tiba liburan Puasa.
Ayah menerima surat dari kakek, bahwa Paman Imam Sudjarot akan mengambilku bersama
Maryam kemudian mengantar ke Tegalrejo. Setelah berunding dengan Ibu, keluarga dibagi tiga.
Anak laki-laki ke Magelang ke rumah kakak ibu kami, Maryam dan aku ke desa. ibu, ayah dan
Heratih tinggal di Semarang.
Aku dijemput Paman Imam untuk berlibur selama bulan puasa di tempat kakek. Paman Sarosa
sekali lagi menjadi kawan dan pamongku. Aku tinggal di rumah kakek bersama Maryam. Aku
senang bersama dengan Maryam karena kami mempunyai beberapa persamaan. Kakek
mengajariku berpuasa. Kakek mengajarku buat menahan keinginan, untuk mengetahui sampai
mana aku mampu mengatur kekuatan. Beberapa hari sebelum lebaran, orang tua dan kakak-
kakakku yang lain menyusul ke rumah kakek. Waktu lebaran juga berarti waktu berkunjung
untuk bermaaf-maafan.
Aku mulai sekolah. Hari pertama ke sekolah aku diantar ibu. Karena berangkat bersama kakak-
kakakku, kami naik dokar. Semua kakakku sekolah di HIS. Di HIS semua murid harus berbahasa
Belanda. Tapi ayah selalu mewajibkan kami berbahasa Jawa. Satu jam sehari, ada guru datang
buat mengajar menulis Jawa dan Latin serta sedikit bahasa Belanda.
Suatu hari ketika aku asyik bermain dengan teman-teman, Maryam memaksa pulang karena
kami akan mengungsi ke kampung Batan. Kami mengungsi di rumah temannya ayah bersama
pengungsi lain. Semalaman aku tidak dapat dikatakan tidur benar-benar. Sekali-sekali aku
terlelap, bermimpi berjalan jauh, masuk hutan penuh dengan pohon-pohon yang tinggi. Lalu
mimpi lain mendesak. Aku melihat kampung kami rata terbakar. Semuanya hitam.
Menjelang pagi, kami terbangun oleh suara-suara dari jalan. Ayah menjemput kami untuk
kembali pulang. Rumah kami yang tertutup kelihatan kesepian dan sedih. Ayah yang dibantu
Teguh, Nugroho dan Maryam membuat lubang besar di bawah pohon mangga di kebun belakang
sebelah barat. Pada waktu ada serangan, kami bertujuh duduk di dalam lubang itu, sambil
menggigit karet dan menyumpal kuping.
Dari hari ke hari kesukaran bahan makanan semakin terasa. Isi kampung mulai khawatir akan
adanya kelaparan. Akhirnya Belanda meninggalkan kota, akan tetapi itu tidak membuat kami
senang karena bangsa berkulit kuning yang datang dari utara akan tinggal di kampung kami
selama seumur jagung.
1. Nilai hedonik
Novel “Sebuah Lorong di Kotaku” mengandung nilai hedonik, yaitu jika karya sastra tersebut
memberikan kesenangan secara langsung kepada penikmatnya. Nilai ini dapat dirasakan oleh
pembaca karena novel ini menceritakan pengalaman pengarang saat kecil. Jadi setiap
pengalaman yang digambarkan dalam novel ini mampu membawa pembaca masuk dalam
suasana yang pernah dialami oleh pengarang sehingga memberi kesenangan bagi pembaca.
Berikut bukti kutipannya.
Air kelihatan tenang. Tetapi tentulah ada arus kuat yang berputar di sana, karena kulihat ada
beberapa batang pohon pisaang yang terapung, setengah patah maupun hancur. Sekali-sekali
kedengaran suara air terpukul. Begitulah berkali-kali, aku berhasil dapat menyaksikan beberapa
ekor ikan yang melompat atau bergerak menyelinap menghindari sesuatu. (Halaman 17)
Kutipan tersebut mengandung nilai hedonik karena pembaca dapat merasakan kesenangan dan
ikut merasakan peristiwa tersebut. Pembaca seakan-akan masuk dalam suasana tersebut,
menikmati suara air dan menyaksikan ikan-ikan melompat. Pengalaman yang diceritakan
pengarang hampir sama dengan pengalaman pembaca. Sehingga pembaca dapat terhibur melalui
membaca kutipan novel ini.
2. Nilai artistik
Novel “Sebuah Lorong di Kotaku” mengandung nilai artistik, yaitu bila karya sastra itu
memanifestasikan suatu seni atau keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya
tersebut. Berikut bukti kutipannya.
Mereka menjinjing bakul besar, satu atau dua bertumpukan di punggung, diikat erat oleh
selendang yang diselempangkan pada kedua bahu dan disimpulkan kedua ujungnya di depan
dada. Di atas kepala, mereka menyunggi sebuah atau beberapa tampah berisi barang dagangan
pula. (Halaman 12)
Kutipan ini mampu menunjukkan bahwa terkandung nilai artistik dalam novel “Sebuah Lorong
di Kotaku”. Pada kutipan tersebut nampak jelas bahwa tokohnya memiliki seni dan keterampilan
dalam melakukan pekerjaannya. Yang pertama adalah seni seorang pedagang dalam menjinjing
bakul di punggungnya dan menyunggi beberapa tampah. Yang kedua adalah seni dan
keterampilan yang dimiliki tokoh Ibu dalam membatik.
3. Nilai kultural
Novel “Sebuah Lorong di Kotaku” mengandung nilai kultural, yaitu bila karya sastra memiliki
hubungan yang mendalam dengan masyarakat, peradaban, atau kebudayaan tertentu dapat
dikatakan mengandung nilai kultural. Berikut bukti kutipannya.
Di waktu-waktu lain, aku dapat tinggal seharian di rumah salah satu seorang dari mereka.
Demikian, kami bergantian, kadang-kadang mereka bermalam di rumah kami, atau aku di
rumah mereka. Aku mulai keluar dari lingkungan keluarga, mengenal adat serta kebiasaan di
tempat-tempat orang lain dengan pandangan yang lebih kaya. (Halaman 89)
“Bangsa berkulit kuning yang datang dari utara akan tinggal di sini seumur jagung. (Halaman
105)
Kutipan ini mencerminkan bahwa adanya hubungan masyarakat dengan peradaban. Pada kutipan
tersebut pengarang mulai mengenal adat serta kebiasaan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat.
Novel “Sebuah Lorong di Kotaku” mengandung nilai etis, moral, religius, yaitu bila karya sastra
berkaitan dengan muatan pancaran ajaran-ajaran yang bersangkut-paut dengan etika, moral, dan
agama. Berikut bukti kutipannya.
“Awas hati-hati,”cepat ibu mengingatkan. “Berapa kali sudah kukatakan, kau harus meletakkan
kembali segala macam benda apa pun dengan perlahan-lahan. (Halaman 13)
Lalu dia pamit. Meskipun menurut kepercayaan, seorang penjual tidak boleh mengucapkan
kata-kata pamit agar tidak menghalangi lakunya dagangannya, tetapi penjual itu selalu sopan
terhadap ibuku dengan berpamitan sebelum meninggalkan rumah kami. Pembantu kami
menemaninya untuk membukakan pintu yang mengarah ke jalan kampung. (Halaman 15)
Pada waktu makan, seperti biasa kami tidak banyak berbicara. Kata lbuku, makanan harus
dinikmati dengan diam. Kalau orang terlalu cerewet pada waktu makan, itu berarti tidak
menghormati makanan yang ada di depannya. Padahal makanan adalah karunia Tuhan. Dan itu
harus dihormati. Juga menurut ibuku, makanan harus dilkunyah dengan lambat tetapi sebanyak
kali kesanggupan kita. Tanpa suara dan dengan mulut tertutup. Pandang orang yang sedang
makan tidak patut jika ditujukan ke mana-mana selain pada makanan yang ada di depannya.
Jika kami makan dengan tangan, kami harus mencuci tangan kanan di kobokan yang tersedia
dengan suara sesedikit mungkin. Tangan kiri harus tertopang dengan sopan di atas meja di
tentangan dada. Tetapi jika kami mempergunakan senduk dan garpu, harus dijaga jangan
sampai sentuhan kedua benda itu pada piring membikin bunyi yang mengejutkan tetangga
semeja. (Halaman 20)
Kami bergantian bersujud. Kakek mencium dahi kami masing-masing. Lalu menyuruh kami
cepat makan dan tidur. Besok pagi diharapakan menghadap lagi. (Halaman 48)
“Kita dapat berbicara kepada Tuhan dalam bahasa apa pun juga. Mengaji itu hanya agar orang
dapat membaca tulisan dan bahasa Arab, karena agama islam lahirnya di negeri Arab, karena
Nabi Muhammad menerima doa-doa dalam bahasa Arab. Lagi pula bahasa arab itu indah
didengar. Seperti nyanyian, seperti tembang kita. Jadi ada baiknya dipelajari”. (Halaman 53)
Tetapi dia berpendapat, bahwa sanggup dan berani menolak rangsangan itu telah berarti
memiliki kekuatan. Dari sanalah manusia dapat mulai mengukur kekuatannya sendiri untuk
menahan nafsu. Baik itu nafsu makan, nafsu memiliki berbagai kelebihan di dunia, maupun
nafsu kemarahan. (Halaman 56)
Ibuku memang tidak suka membiarkan anak-anaknya ke sungai setelah matahari surut ke barat.
Macam-macam yang dikhawatirkannya. Katanya, dengan perginya matahari, berbagai kekuatan
jahat yang tidak terlihat oleh manusia biasa, keluar berkeliaran mencari mangsa. Apalagi
tempat-tempat yang berair, biasanya lebih angker dan seram. (Halaman 69)
Kami sujud satu demi satu., berurutan dari ayah sampai kepada diriku. Kami semua harus
berjongkok di lantai, maju berjalan dengan sikap sama, yang disebut ayahku “laku dhodhok”,
hingga sampai di depan orang tua ibuku, lalu mencium lutut keduanya. Kedua orang tuaku
berbahasa “karma halus” kepada orang tua masing-masing. (Halaman 74)
Kata ibu, kampung kami dilindungi oleh wali-wali yang membangun mesjid Demak. Karena
menurut cerita, di kampung itulah para wali menyimpan kayu-kayu yang didatangkan dari
gunung melalui Sungai Semarang di belakang rumah. Di tempat penimbunan kayu itu para wali
mendirikan langgar sebagai tempat pesanggrahan. (Halaman 99)
Novel “Sebuah Lorong di Kotaku” sudah jelas mencerminkan nilai etis, moral dan religius
dengan bukti kutipan tersebut. Melalui kutipan tersebut kita dapat memperoleh pendidikan
mengenai etika, moral dan kepercayaan yang bisa kita jadikan pedoman untuk hidup
bermasyarakat.
5. Nilai praktis
Novel “Sebuah Lorong di Kotaku” mengandung nilai praktis, yaitu praktis jika karya sastra itu
memberikan sesuatu (faedah) yang dapat dilaksanakan atau dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari. Berikut bukti kutipannya.
Sisa-sisa tangkai serta kupasan sayur dan buah selalu dikumpulkan. Salah seorang pembantu
atau kami sendiri biasa memotongnya kecil-kecil, hampir mencacahnya, lalu membagikannya
kepada ayam di pelataran dan itik di kebun belakang. (Halaman 12)
Pagi-pagi benar ibu mewajibkan kami makan secukupnya. Katanya, perut harus diisi untuk
memulai perjalanan. (Halaman 32)
Sabar dan lapangkanlah dadamu. Jangan selalu mau cepat marah. Ambillah bumi ini sebagai
contoh. Dia kita injak, kita ludahi, kita belah, kita tusuk dan kita lukai dengan berbagai alat.
Tetapi dia selalu sabar dan diam, selalu memberi kita makanan lezat dan berguna. (Halaman
76)
“Lebih baik berpakaian dan berdandan sesederhana mungkin buat bersekolah. Tidak ada
gunanya memakai yang bagus-bagus, apalagi jika ternyata kurang maju belajar lalu mendapat
angka-angka buruk. Hal yang penting adalah kebersihan badan dan apa yang kaupakai.”
(Halaman 87)
Karena tidak ada sekolah, ayah memutuskan untuk meneruskan pengajaran anak-anaknya di
rumah. Selama beberapa waktu, setiap hari, kami harus belajar. (Halaman 102)
Dengan bukti kutipan tersebut pembaca akan dapat mempraktekkan peristiwa-peristiwa yang ada
pada novel “Sebuah Lorong di Kotaku” dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan kutipan di
atas, memberikan sesuatu (faedah) yang baik untuk diterapkan dalam kehidupan kita.
4.1 Simpulan
Berdasarkan pendekatan dan ukuran-ukuran yang digunakan dalam menganalisis nilai-nilai yang
terkandung dalam novel “sebuah Lorong di Kotaku” dapat disimpulkan bahwa novel “Sebuah
Lorong di Kotaku” mengandung nilai-nilai sebagai berikut.
1. Nilai hedonik
Suatu karya sastra dikatakan mengandung nilai hedonik jika karya sastra tersebut memberikan
kesenangan secara langsung kepada penikmatnya.
2. Nilai artistik
Artistik berhubungan dengan seni atau keterampilan. Suatu karya sastra dikatakan mengandung
nilai artistik bila karya sastra itu memanifestasikan suatu seni atau keterampilan seseorang dalam
melakukan pekerjaannya tersebut.
3. Nilai kultural
Karya sastra yang memiliki hubungan yang mendalam dengan masyarakat, peradaban, atau
kebudayaan tertentu dapat dikatakan mengandung nilai kultural.
Nilai etis, moral, dan religius berkaitan dengan muatan pancaran ajaran-ajaran yang bersangkut-
paut dengan etika, moral, dan agama.
5. Nilai praktis
Sebuah karya sastra dikatakan mengandung nilai praktis jika karya sastra itu memberikan sesuatu
(faedah) yang dapat dilaksanakan atau dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.