Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Cerpen Singkat

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

CERPEN SINGKAT

Bangkit

Cahaya bulan malam ini begitu terang, bintang pun berkelap kelip memamerkan
keindahannya. Aku berjalan menyusuri sebuah lorong nan sepi, tak ada satu orang
pun disana. Hatiku terasa sepi dan gundah dengan segala kekacauan yang terjadi
hari ini. Sebuah hari dimana seharusnya kebahagiaan ku dapati.

Namun apa yang terjadi? Hal buruk justru menimpaku bertubi-tubi, konflik dengan
orang tua karena ketidak lulusanku, perayaan ulang tahun yang terpaksa gagal,
hadiah sepeda motor yang gagal ku dapat, adik yang menyebalkan dan sorak sorai
teman-teman merayakan kelulusannya.

Hari-hari yang keras karena kisah cinta pahitku. Hingga indahnya malam ini seakan
tak mampu membuatku tersenyum lagi. Tetesan air mata mulai mengalir di pipiku
dan perlahan ku usap.

Ya, sakit memang putus cinta.

Rasanya beberapa menit lalu kata-kata terakhirnya masih bisa kurasakan merobek-
robek hatiku “sudah sana… pergilah jika itu yang kamu inginkan! Kamu kira aku tak
bisa menemukan yang lebih baik darimu.

Semoga kamu tak menyesali keputusanmu yang telah menyia-nyiakan cinta


suciku!” kutipan pesan yang masuk ke ponselku.

Beberapa telephone masuk pun sengaja ku tolak karena sudah begitu muaknya. Air
mata terus mengalir di pipiku diikuti dengan sakit kepala yang mulai terasa.
Seakan tak mampu bangkit, aku terus duduk termenung di pinggir jalan.

“Halo mba.. lagi sedih banget nih kayanya, bisa bagi uangnya dong” ucap seorang
pemuda yang sedang mabuk menghampiriku.

Karena tak meresponnya, pemuda itupun pengancamku dengan sebilah pisau lipat
yang dikeluarkan dari saku celana jeansnya. Tanpa berfikir panjang, ku ambil tas di
sebelahku dan kuserahkan semua uang yang ku miliki.

“Ambil semua ini dan pergilah menjauh!”

Kembali ku susuri jalan hingga sampailah ke sebuah jembatan tua dengan jurang
tinggi di bawahnya. Kakiku mulai melangkah maju dan ku angkat kaki kananku.
Selangkah lagi tubuhku akan jatuh ke dalam jurang, semua kekacauan di hatiku
seakan menghilangkan rasa takutku terhadap ketinggian.

Namun tiba-tiba seseorang menarik bajuku. Ternyata pria pemabuk tadilah yang
menarikku menjauh dari pinggir jembatan.

“Kenapa kamu lakukan ini, kenapa kamu menolongku?!”

Tanpa berkata apa-apa ia pergi meninggalkanku lalu ku kejar dia. Setelah


beberapa saat ia baru mulai berbicara.

“Aku sangat membenci orang-orang lemah sepertimu. Maaf jika aku menarikmu”
ucapnya sembari menatapku tajam dan menjulurkan tangannya. Kaget bukan main
ku lihat tangannya yang ternyata sisa 2 jari saja.

“Kaget ya, ini adalah bukti kerasnya kehidupan di jalan. Jariku yang lain hilang
dipotong preman karena persaingan.” Karena tak ku sabut jabatan tangannya, ia
pun meletakkan kembali tangannya dan melanjutkan ceritanya.

“Maaf ku ambil tasmu, sudah 3 hari aku tak makan. Biasanya aku makan dari sisa
makanan di tong sampah. Namun karena hujan deras kemarin, semua makanan
yang ku anggap masih layak sudah berubah membusuk.”

Memang jika dilihat dari tubuhnya, ia sangat kurus. Sembari menahan aroma
alkohol yang begitu menyengat dari mulutnya, ku berikan kembali tasku padanya.
“Ambilah ini, mungkin kamu lebih membutuhkannya.”

Dari percakapan singkat dengannya, hatiku mulai kembali kuat. Tak bisa
kubayangkan jika aku yang berada di posisinya.

Ya meskipun hidupku selalu kecukupan, namun tak pernah ada rasa syukur di hati.
Pria yang selama ini ku perjuangkan namun ternyata selalu membuatku kecewa
pun seakan tak lagi membebaniku.

“Pulanglah, masih banyak yang menanti kepulanganmu!” ucapnya sembari


beranjak menjauh dariku.

Malam semakin sunyi, ku susuri jalan ke arah rumah. Ketika sampai di


persimpangan jalan, ku dapati kekasihku berdiri dengan segenggam bunga di
tangannya.

3 orang yang ku kenal juga berdiri menantiku, ya kedua orang tua dan adikku pun
ikut mencariku.
“Maaf sayang, aku telah banyak mengecewakanmu dan salah menilaimu” pelukan
erat mendarat di badanku. Tak kuasa menahan tangis haru, ku peluk balik
kekasihku.

Beberapa saat berlalu ia kemudian menyerahkan bunga di tangannya dan sebuah


buku kecil yang ternyata diary ku.

Di buku kecil itulah aku menuliskan keluh kesah dan rasa banggaku pada sosok pria
yang sedang menggenggam erat tanganku ini.

Di balik sana, keluargaku tersenyum melihatku kembali. Kami pun masuk ke mobil
dan pergi ke mall untuk merayakan ulang tahunku. Ya meskipun hadiah motor
tetap tak kudapat karena aku gagal lulus ujian.
Terimakasih

Malam itu suasana di rumah seakan begitu dingin. Semua anggota keluarga tak
mengeluarkan satu patah kata pun. Bukan karena marah atau kecewa, namun
karena pusing memikirkan bagaimana cara membayar iuran wisata sekolahku.

Awalnya aku hanya ingin mengurangi beban kedua orang tuaku dengan
memutuskan untuk tidak ikut study tour. Namun belum selesai ku ucapkan
keinginanku, Ayah yang semula terdiam seribu bahasa langsung membantah.

“Tidak, kamu tetap ikut! Sudah tidurlah, besok ayah bayarkan biaya study tourmu”

Ku susuri ruang tengah menuju kamarku. Meski sebenarnya tak bisa tidur, ku coba
memejamkan mata dan tak memikirkan apapun. Namun isak tangis ibuku yang
terdengar lirih semakin membuatku tak bisa terlelap.

Aku tahu betul mengapa ibuku menangis, namun ayah tetap bersikeras untuk
menyuruhku mengikuti kegiatan sekolah tersebut. Dialah sosok pria yang tak
pernah membiarkan buah hatinya sedih bahkan malu karena ketidak mampuannya.

Kala itu malam belum terlalu larut, hingga masuk pukul 8.00 malam suara pintu
terketuk memecahkan hening di rumahku. Seorang tetangga datang dengan
membawa sebuah amplop coklat.

“Malam pak, maaf datang malam-malam”

“Tidak papa pak, silahkan masuk” sambut ayahku.

Setelah keduanya berbincang santai, tetanggaku menyerahkan amplop tersebut


pada ayahku. “Ini adalah uang pembayaran tanah yang beberapa bulan lalu
digunakan untuk jalan desa.”

Seketika ayahku terkejut. Bagaimana tidak, uang tak tak pernah ia bayangkan
sebelumnya tiba-tiba diantarkan ke rumah. Ya, awalnya tanah yang seberapa itu
direlakan ayah untuk menjadi jalan umum. Namun karena kebijakan desa, tanah
tersebut diputuskan untuk dibeli.

Seperginya tetanggaku, ibu langsung masuk ke kamarku sembari memelukku erat.


Tanpa berkata panjang ia memberikan sejumlah uang untuk membayar biaya study
tourku. Air mata tak bisa tertahankan dari mata kami, dan malam itu rasa syukur
memenuhi hatiku.

Pagi itu Dina berangkat sekolah bersama Nina sahabatnya. Sembari menyusuri
lorong kelas yang cukup panjang, Dina bertanya pada Nina.

“Nin, menurutmu tipe cewek idaman Andi itu kaya apa sih?”
Sambil tersenyum lebar Nina lantas menjawab. “Em gimana ya? Setahuku tipenya
Andi sih gak muluk-muluk. Justru dia lebih suka sama cewek yang natural gitu lah.”

“Oh gitu ya, gak suka sama cewek yang hobi dandan gitu” Sambut Dina dengan
muka semakin berbinar kegirangan.

“Ya kira-kira gitu lah.”

“Lalu gimana dong biar wajah tampak tetap cantik meski gak pake make up tebal?”
Tanya Dina lagi.

“Coba aja pakai masker bengkoang dan scrub gula pasir biar bibir merah merona”

“Wah ide bagus tuh, nanti malam ku coba deh”

Selama beberapa hari Dina mencoba tips yang diberikan oleh Nina. Dina pun sangat
senang karena wajahnya mulai tampak lebih cerah dan berseri. Bekas jerawat yang
awalnya tampak jelas pun mulai tersamarkan.

Scrub gula pasir untuk bibir pun tak pernah lupa untuk ia gunakan mengingat
seminggu lagi bakal ada acara pensi. Pastinya di acara ini Dina bakal ketemu Andi
dan dia harus tampil secantik mungkin.

“Loh bibirmu kenapa Din, seksi banget sampe keliatan bonyok gitu hahaha” sambut
Nina saat Dina baru saja masuk kelas.

Dengan muka cemberut dan tanpa rasa berdosa Dina mengatakan jika ini akibat
scrub gula pasir yang Nina sarankan.

“Init uh akibat scrub gula pasir yang aku pakai tiap malam. Bibirku jadi digigiti
nyamuk sampai sensual gini”

“Oh My Good” Nina heran dengan sahabat sebangkunya ini.


Keutamaan Istighfar

Tangis dan air mata seakan menjadi teman sehari-hari seorang janda bernama
Aisyah. Bagaimana tidak, setelah menikah selama 15 tahun dan menjadi ibu rumah
tangga seutuhnya ia kehilangan suami tercintanya.

Meskipun alm suaminya merupakan karyawan tetap di sebuah perusahaan besar


dan setelah meninggal ia mendapat cukup banyak pesangon, namun itu tidak akan
cukup untuk membiayai kehidupannya dengan 4 orang anak dari pernikahannya
dengan alm suaminya tersebut dalam kurun waktu yang lama.

Sebulan berlalu rasa rindu pada suaminya masih begitu terasa, dan peninggalan
suaminya pun sudah semakin menipis. Sedangkan dirinya masih dalam masa indah
yang membuatnya tak bisa bekerja keluar rumah.

Ya Aisyah adalah seorang wanita terjaga yang begitu rapat menutup diri dari
perbuatan yang dilarang atau dimubahkan oleh agama.

Hingga tiba 40 hari ia ditinggal suaminya, pengajian pun dilaksanakan di


kediamannya untuk mendoakan suaminya. Dalam pengajian tersebut ustadzah yang
mengisi menceritakan tentang keutamaan istighfar.

“Barang siapa memperbanyak istighfar, segala yang ia minta akan dikabulkan oleh
Allah dan rezeki mengalir akan didapatinya” sebuah kalimat yang begitu mengena
di hati Aisyah.

Setelah pengajian selesai, Aisyah begitu memikirkan isi pengajian siang tadi.
Akhirnya ia pun memutuskan untuk melakukan apa yang dikatakan oleh
ustadzahnya.

Tak hanya dirinya, ia pun mengajak semua anaknya untuk mengalamkan dzikir
ringan tersebut. Tiada hari, jam bahkan menit yang terlewat tanpa lafadz
istighfar.

Hari demi hari berlalu, minggu demi minggu berlalu dan uang uang peninggalan
suaminya semakin menipis sedangkan kebutuhan hidup semakin tinggi.

Ia bingung bukan main, sedangkan anak-anaknya masih kecil sehingga tak ada yang
mengasuhnya jika ia pergi bekerja. Karena semakin bingung dan merasa tak ada
orang yang mampu menolongnya, ia semakin rajin memanjatkan doa dan
memperbanyak istighfar setiap harinya.

Keajaiban datang seketika itu juga.

“Assalamualaikum, tok-tok” Terdengar suara di balik pintu ruang tamunya.


Bergegas Aisyah pun membukakan pintu, ternyata seorang wanita paruh baya tak
dikenal yang datang ke rumahnya.

Pembicaraan dimulai dengan hangat, hingga masuk pada pembicaraan inti. Wanita
paruh baya tersebut ternyata seorang konglomerat dermawan yang sedang mencari
lahan untuk membuat masjid.

Diketahui jika suami Aisyah juga meninggalkan sebuah pekarangan yang terletak di
pinggir jalan dan cukup strategis. Lahan tersebut pun ditawar oleh wanita berparas
cantik tersebut.

Karena tidak tahu pasaran harga tanah, Aisyah pun tidak mematok harga. Tanpa
diduga, ternyata wanita tersebut memberi penawaran harga yang begitu tinggi.

“Bagaimana jika lahan ibu saya ambil alih dengan harga 1 Milyar?” ucapnya
lembut.

Dengan mata berkaca-kaca Aisyah sontak mengiyakan tawaran tersebut.

“Boleh, sangat boleh. Suami saya pasti sangat bahagia jika lahan yang lama tak
terpakai tersebut bisa bermanfaat bagi keluarganya dan dibuat untuk lahan
masjid” jawabnya.

“Baik setelah ini saya akan mengurus pemindah namaan sertifikat tanah dan
pembayaran akan saya lakukan secara cash”.

Sore harinya, dua orang pria dengan pakaian serba hitam datang membawa koper
ke rumahnya pagi tadi dan koper yang dibawanya berisikan uang senilai 1 milyar.
ke rumah Aisyah. Ternyata dua orang tersebut adalah ajudan dari wanita yang
datang

Penandatanganan penjualan pun ia lakukan untuk memproses pemindah namaan


sertifikat tanah. Uang senilai 1 milyar pun ia dapatkan.

Tangis haru tak bisa ia bendung lagi. Bagaimana cara Allah mengeluarkan hamba-
Nya dari kesulitan sungguh di luar perkiraan. Ada saja cara yang Allah pilihkan
untuk memberikan kebahagiaan dan jalan keluar bagi hamba yang mau memohon.

Setelah hari itu, Aisyah dan anak-anaknya pun tak pernah henti mengucapkan
istighfar setiap saat. Sedangkan uang yang ia dapat dari penjualan tanah
peninggalan alm. suaminya ia gunakan untuk biaya sekolah anak-anak dan biaya
membuka bisnis catering , Ya, ia lebih memilih bisnis rumahan karena dengannya
ia tetap bisa memantau anak-anaknya di rumah.
Aku Menantimu

“Lis, tadi ada yang nanyain kamu loh, cowok kayaknya belum pernah datang kesini
deh sebelumnya” ucap Nia.

“Oh paling pelanggan baru yang mau minta jadwal periksa” sahut Lisa sepele
menanggapi ucapan teman kerjanya.

Lisa dan Nia adalah dua sahabat yang bekerja di sebuah klinik. Keduanya sering
berjumpa dengan orang-orang baru jadi, bukan hal aneh jika hal semacam ini
sangat wajar dan biasa baginya.

“Gak, dia kayaknya beda deh. Bukan pasien biasa” sambung Nia.

“Maksudnya beda?” muka Lisa tampak nyengir dan heran dengan ucapan Nia.

“Ih kamu masa gak paham juga sih, ya sudah lah tak usah dipikirkan lagi”.

“Kring-kring” terdengar suara telpon menyahut pembicaraan mereka.

“Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?”

“Selamat pagi, saya mau bicara dengan ibu Lisa, apakah ada di klinik?” sambut
seorang pria di balik telephone.

“Iya saya sendiri, maaf dengan siapa ya?”

Tut-tut-tut tiba-tiba telpon mati dan tidak ada pembicaraan lebih lanjut.

Hari ini Lisa bekerja seperti biasa dan malam harinya ketika ia sampai ke rumah,
suasana nampak berbeda. Kedua orang tua Lisa tiba-tiba memanggilnya untuk
berkumpul di ruang keluarga.

“Lis, tadi anak sahabat ibu datang kesini dan ingin bertemu kamu. Anaknya baik
dan tampan lho”

“Ih ibu apa sih, kenal juga belum udah main puji-puji aja.” jawabnya sambil pergi
ke dapur untuk membuat teh hangat.

Kembalinya di ruang tengah, ia langsung disambut dengan ucapan ayahnya yang


mengatakan jika ia ingin cepat memiliki cucu. Kaget bukan main, Lisa pun tersedak
dengan tehnya.

“Apa salahnya jika ayah ingin menggendong cucu, sedangkan kamu sudah cukup
umur untuk menikah dan adikmu juga sudah besar. Kalian harus bergantian.”

Ucapan singkat tersebut memang tak disautinya, namun berhasil membuat Lisa tak
bisa tidur semalaman.
Keesokan harinya, Nia mengabari hal yang sama seperti kemarin. Jika ada seorang
pria yang sama mencarinya kembali.

Lalu pada malam hari setelah klinik tutup, ia bergegas pulang. Sesampainya di
rumah, segerombolan orang sudah duduk di ruang tamu rumahnya dan
bercengkrama hangat dengan kedua orang tuanya.

Dengan senyum kecil di wajah manisnya, Lisa beranjak masuk ke dapur.

“Dek mereka itu siapa, kok kakak belum pernah lihat.”

“Mereka itu calon keluarga baru kakak.” sahut Ria adik Lisa.

“Whatt??!! Kamu itu yang ngarang banget kalo ngomong.” Tapi memang si salah
satu diantaranya ada yang masih muda dan lumayan ganteng juga, batin Lisa.

Setelah bersih-bersih, Lisa dipanggil ibunya untuk ke ruang tamu.

“Lis perkenalkan ini anak sahabat ibu yang ibu ceritakan kemarin”

Senyum manis tampak di wajah panjangnya yang ke Araban.

Meski ragu, Lisa seakan pernah mengenal pria yang ada di hadapannya tersebut.

“Halo namaku Heru, kamu pasti lupa ya sama aku?”

Pipi Lisa pun mendadak merah dan memori otaknya flashback pada kenangan 7
tahun lalu. Ternyata Heru adalah teman SMA Lisa yang pernah menjadi pujaan
hatinya.

Tak disangka jika pria yang pernah ia dambakan datang melamarnya tanpa isyarat
apapun sebelumnya.

Tidak, bukan tanpa isyarat, sebenarnya Heru adalah pria yang sempat mencari Lisa
beberapa kali ke kliniknya. Akan tetapi karena tak kunjung bertemu, ia
memutuskan untuk langsung datang ke rumahnya. Tentu dengan persetujuan orang
tua Lisa karena mereka sudah saling mengenal sebelumnya.

2 bulan berlalu, pernikahan Heru dan Lisa berlangsung. Keduanya tampak masih
malu-malu saat bersanding di pelaminan, namun aura bahagia juga begitu
terpancar di mimik wajah keduanya.
Membantu Kesusahan Orang Maka Kesusahan Kita Akan Terangkat

Hari ini dagangan Pak Yanto tersisa setengah lebih, pasar begitu sepi. “Buk maaf
uang belanja hari ini kurang banyak, dengan bapak tidak habis” ucap Pak Yanto
pada istrinya.

“Gak papa pak, semoga cukup untuk makan dan uang saku anak-anak” jawab
istrinya dengan lembut dan menyodorkan teh hangat pada suaminya.

Keesokan harinya Pak Yanto kembali ke pasar untuk berjualan. Di tengah jalan ia
bertemu seorang kakek tua yang tampak sudah rapuh. Ia terlihat kebingungan, lalu
dihampirilah oleh Pak Yanto.

“Ada apa kek, ada yang bisa dibantu?”

“Kakek mau pulang, tapi tidak punya ongkos. Kakek tak tahu harus bagaimana
karena bekerja pun sudah tidak mungkin.”

Melihat kakek tua tersebut hati Pak Yanto tak kuasa membiarkannya. Meski hanya
memiliki uang pas-pasan, ia memberikannya untuk ongkos kakek pulang ke
kampungnya. Pak Yanto pun mengantarkannya ke terminal untuk mencari bis yang
sesuai tujuan kakek.

“Terima kasih banyak nak, semoga rejekimu selalu lancar, kakek tak bisa
membalas apa-apa selain doa” ucapnya dengan sedikit memeluk Pak Yanto.

“Amin makasih kek, semoga selamat sampai tujuan.”

Seperginya kakek tersebut Pak Yanto kembali ke pasar, ternyata sudah ada seorang
membeli yang menunggu untuk memborong habis dagangannya dengan harga
tinggi.

Sungguh kemurahan hati Pak Yanto telah membawa keuntungan untuk dirinya
sendiri.
Bolos Sekolah

Siapa sih yang tak suka dengan hari minggu. Hari dimana kamu bisa bersantai
sepanjang hari tanpa harus pergi ke sekolah dan mengikuti pelajaran dengan soal-
soal yang membuat kepala pusing. Pada hari minggu ini Danu memutuskan untuk
pergi ke waterboom dan menikmati hari liburnya untuk bersenang-senang bersama
keluarga. Suasana yang begitu menyenangkan membuat Danu lupa jam hingga tak
disadari ternyata ia bermain di waterboom hingga siang.

Karena lapar ia dan keluarganya pergi ke mall untuk makan siang dan nonton di
bioskop. Kebetulan hari itu ada film anime anak yang cukup bagus dan pastinya
mendidik. Liburan menyenangkan ini berlanjut hingga malam dan sesampainya di
rumah ia langsung pergi ke kamar membaringkan tubuhnya yang sudah begitu lelah
namun bahagia.

Kring.. kringgg… Suara alarm terdengar nyaring dari meja belajar di kamar Danu.

Ia pun segera bangkit mematikan alarm tersebut, namun bukannya pergi ke kamar
mandi Danu justru melanjutkan tidurnya.

“Danu.. sudah siang begini kenapa belum bangun. Nanti kamu telat sekolah lho”
panggil ibunya.

“Danu masih lelah bu, bolos sehari boleh ya. Lagian hari ini gak ada tes ataupun PR
kok jadi aman” sahutnya.

“Kamu itu sekolah untuk masa depanmu, tak bisa sembarangan begitu. Lagi pula
sekolahmu itu mahal.”

“Iya bu, tapi sekali saja bolos boleh yaa” lanjut Danu merayu

Geram dengan jawaban anak sematang wayangnya, ibu Danu kemudian


membangunkan paksa anaknya dan membawanya ke sebuah tempat. Tanpa turun
dari mobil, ibu Danu menunjuk anak-anak yang sedang bermain dengan baju ala
kadarnya.

Ternyata Danu diajak ke sebuah panti asuhan.

“Lihat anak-anak itu, mereka tak memiliki orang tua yang bisa membiayai sekolah.
Padahal mereka sangat ingin menimba ilmu di sekolah sepertimu” Jelas ibu Danu.

Selanjutnya Danu diajak menyusuri jalan dan berhenti di sebuah persimpangan.


Dari situ terlihat segerombolan anak dengan penampilan yang lusuh. Mereka
sedang memainkan alat musik tiup kecil sembari menyodorkan plastik bekas untuk
meminta uang pada orang yang lewat.
Ya, anak-anak gelandangan tersebut harus bersusah payah demi mendapatkan uang
untuk makan. Jangankan sekolah, untuk makan 3 kali sehari saja mereka harus
berjuang keras terlebih dahulu.

Di perjalanan pulang Danu pun melihat seorang anak dengan tongkat sedang
berjalan kaki. Terlihat anak itu mengenakan seragam merah putih dan
menggendong tas yang sudah nampak using.

Dalam hatinya mulai sadar “betapa beruntungnya aku, hidup berkecukupan dan
bisa menempuh pendidikan dengan enak. Fisik yang sempurna juga ku miliki tapi
kenapa aku menyia-nyiakan kenikmatan ini.”

Setelah dibeli pelajaran berharga oleh ibunya, akhirnya Danu berangkat sekolah.
Meskipun telat namun ia tetap semangat mengikuti pelajaran di kelas.

Anda mungkin juga menyukai