Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
907 tayangan15 halaman

Cerpen Bella

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 15

Sweet Serendipity

Ini kisahku dengannya. Seseorang yang pernah mengisi ruang dihatiku dan dijaganya dengan
sangat baik. Melalui keunikannya aku jatuh cinta. Seorang wanita yang memiliki banyak pria,
tak percaya akan kesetiaan dan apa itu cinta yang sebenarnya. Luluh karena sosok pria yang
ditemuinya melalui pertemuan singkat yang tak disengaja. Ia tak pernah menyangka bahwa
kakak gugus yang ditemuinya tiga tahun lalu itu akan menjadi seseorang yang akan selalu
memenuhi ruang di hati dan fikirannya.

Agustus 2017

Sudah satu bulan semenjak pengumuman penerimaan siswa baru, hari ini adalah hari pertamaku
masuk sekolah, sekaligus ospek pertama. Hati ini merasa belum siap karena aku sudah terbiasa
berada di pulau kapuk bersama series kesukaanku. Terlebih lagi, topi kerucut yang aku kenakan
serta papan nama yang menggantung di dada, membuatku tak ingin memasuki gerbang sekolah
itu. Oh my.. how stupid I am.

Sekolahku yang sekarang memiliki 6 gedung yang saling berhadapan, tiap gedung mempunyai
satu tingkat, sehingga murid-murid seringkali berkumpul di koridor. Sialnya, sepanjang
perjalanan menuju kelas ini, dipenuhi oleh kakak kelas yang selalu menggodaku ketika melewati
mereka.

Jika kalian ingin tahu, aku termasuk wanita yang bisa dibilang diidamkan oleh banyak pria,
mengingat kulitku yang putih, hidungku yang mancung, dan pipiku yang chubby dengan sedikit
lesung pipi. Karena perawakanku ini, aku sudah terbiasa dengan perlakuan mereka, walau
terkadang sedikit dongkol.

Matahari sudah berada di atas kepala. Aku berfikir bahwa takkan ada yang spesial hari ini.
Sampai akhirnya aku melihat seorang pria berambut hitam ikal, hidung mancung, dan mata
cokelat. Dia adalah kakak gugus-ku, kak Rey. Allahu akbar, ganteng banget. Aku merasa
getaran yang luar biasa dari dalam dadaku, tetapi aku berusaha untuk terlihat biasa saja di
depannya, sungguh gengsiku lebih besar daripada dentuman perasaan ini.

Saat istirahat adalah saat yang paling ditunggu-tunggu. Tak lama setelah bel berbunyi, aku
langsung bergegas menuju kantin. Kudengar cacing-cacing diperutku sudah mulai mengadakan
konser. Kantin kami berada di belakang gedung kelasku. Terlihat seperti foodcourt, tetapi versi
ekonomisnya. Sesampainya di kantin, kulihat wajah yang tak asing itu sedang bercengkrama
bersama beberapa temannya. Tatapan kita bertemu, ketika aku tak sengaja meliriknya. Dia
tersenyum. Karena tidak ada kursi yang tersisa, dia menawarkanku untuk duduk di sampingnya.

“sendirian aja?”, tanya Rey.

“iya kak, hehe”, jawabku singkat. Aku merupakan orang yang tidak menyukai basa-basi,
berbicara seperlunya, menjawab ketika ditanya. Pria itu melanjutkan berbincang bersama
temannya, padahal makanan mereka telah habis.

Untuk meminimalisir getaran yang lebih dahsyat, aku mempercepat makanku. Ketika hendak
kembali ke kelas, dia menawarkan untuk kembali ke kelas bersama. Aku tak tahu apa yang
merasukiku namun aku mengiyakan. Di sepanjang jalan menuju kelas, ia melontarkan banyak
sekali pertanyaan kepadaku, asal sekolah, hal yang aku sukai, minat dan kegemaran.

Dan yang lebih aneh adalah kita mengobrol seakan-akan sudah kenal dekat satu sama lain
sebelumnya. Satu hal yang membuatku terkejut bukan main adalah ketika dia bertanya nomor
teleponku. Katanya sih biar lebih mudah mengabari jika ada informasi penting mengenai ospek,
tetapi aku paham bahwa itu semua hanya modus semata.

Seminggu telah berlalu dan kegiatan ospek pun berakhir. Pagi ini, aku menjalankan aktivitasku
seperti biasa. Dibangunkan oleh alarm, membuat sarapan sendiri, jalan menuju halte dan
menunggu bus menjemput. Membosankan. Kebetulan aku merupakan petugas piket pada hari
itu. Aku tidak tahu ini kebetulan atau tidak tetapi gedung kelasku dan kak Rey bersebrangan dan
berada di posisi paling belakang.

Entahlah, mungkin semesta sengaja untuk membuat kami selalu berdekatan. Ketika tengah
menyirami tanaman di halaman kelas, kulihat pangeran tampan memasuki parkiran dengan
gagahnya. Dia mulai menaiki tangga dan menuju kelas yang berada di lorong paling ujung
sembari menggotong helm merahnya. Aku memandanginya dari kejauhan. Ada sesuatu yang tak
biasa di dalam hati ini, mungkinkah aku jatuh cinta?

***
Jam sudah menunjukkan pukul 14.15, sudah waktunya siswa-siswi untuk pulang. Sialnya, hari
itu anak kelasku harus tetap tinggal karena secara tiba-tiba guruku meminta untuk menambah
jam pelajarannya, yang berarti kami harus mengikuti kelas tambahan. Aku panik. Pikiranku saat
ini hanya tertuju kepada satu hal, bagaimana caraku pulang ke rumah? Bus yang aku tumpangi
takkan mau menunggu selama itu. And for your information, sekolahku tidak mengizinkan
muridnya untuk membawa handphone. What a bad day!

Seperti dugaanku, ketika kelas usai, kulihat halte telah sepi. Hanya ada penjual cilok di depan
gerbang dan beberapa orang yang sedang menunggu jemputannya. Bagaimana caraku sampai ke
rumah sekarang? Aku hanya duduk terdiam di halte tanpa bisa berbuat apapun. Aku tidak
mempunyai teman dan jauh dari keluarga. Tamat sudah riwayatmu vyn.

Aku berpikir keras bagaimana caranya untuk pulang ke rumah. Nebeng teman? Ah aku belum
punya teman yang sedekat itu. Dan sekali lagi, gengsi mengalahkan ketakutanku. Tak lama
kemudian, terdengar suara motor yang terdengar tidak asing semakin lama semakin
mendekatiku. Motor itu berhenti tepat di hadapanku. Aku mendongakkan kepalaku,

“loh, kak Rey?”, sapaku dengan sedikit terkejut.

“mau bareng?”, tanyanya sambil tersenyum padaku.

“Mmmm.. aku takut ngerepotin kakak”. Dia tidak menjawab sepatah katapun. Tanpa basa basi,
kak Rey langsung turun dari motor dan memakaikan helm pink yang ia bawa di kepalaku.
Banyak sekali pertanyaan melayang-layang di kepalaku. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia
tidak berbicara apapun tetapi selalu memperhatikanku dari kaca spion. Langit yang cerah seolah-
olah menggambarkan bagaimana perasaanku pada sore hari itu, hangat.

Melalui kejadian itu, kak Rey menjadi lebih sering menghubungiku. Padahal kami baru saja
bertemu saat ospek beberapa waktu lalu. Awalnya memang hanya basa-basi, tetapi semakin lama
aku merasa bahwa dia sedang melakukan pendekatan terhadapku.

Hati ini awalnya menolak untuk jatuh cinta kepada seseorang yang asing bagiku. Mengenai pria-
pria yang mendekatiku, aku hanya sekedar memanfaatkan mereka di kala waktu boring-ku.
Tentu saja tidak pernah terbesit di dalam pikiran untuk menjalin hubungan serius dengan salah
satu di antara mereka.
Sampai pada akhirnya aku bertemu dengannya. Laki-laki yang membuatku takjub akan rahasia
hati. Dan cinta, ia selalu datang di waktu yang tepat. Aku tak pernah percaya dengan adanya
cinta yang membahagiakan karena teman-temanku berkata bahwa siap jatuh cinta berarti siap
untuk sakit. Tetapi, mengapa tuan? Sosokmu telah mengubah cara pandangku, perilakumu
membuatku merasa seperti wanita yang paling bahagia di dunia. Ah, mana ada wanita yang
seberuntung aku, kan?

Desember 2017

Hari demi hari kian berganti, kakak gugus yang kutemui kala itu, kini telah menjadi pujaan hati.
Bak dua sejoli yang sedang sama-sama di mabuk asmara, merasa dunia ini hanya milik kita
berdua. Sudah banyak sekali kenangan yang kita lalui bersama, menyusuri pantai, bercanda di
atas motor, menonton film kesukaan, saling menemani di manapun dan kapanpun. Tiada hari
yang kita lewati tanpa kita bersama.

Aku, gadis kecil yang lahir dari keluarga broken home, menemukanmu, pangeran berkuda yang
menolongku dari kegelapan, mengajakku berkelana bersamamu kemudian. Genggaman dan
dekapan itu selalu bisa menghangatkan. Aku merasa bahwa tidak apa-apa jika dunia tidak
berpihak kepadaku, asal dia ada di hidupku, hari-hariku akan berjalan lancar dan baik-baik saja.
Kami terlalu terbuai dalam asmara, sampai lupa bahwa di mana ada pertemuan juga akan ada
perpisahan. Hingga pada suatu hari, aku harus menerima kenyataan pahit, yang memaksa kita
untuk berpisah.

***

Di atas jembatan yang dipenuhi dengan lampu kelap-kelip, membuat suasana sangat romantis
malam itu. Sayangnya, aku mengetahui bahwa keromantisan itu takkan bertahan lama. Mungkin
ini adalah hari terakhirku menghabiskan waktu dengannya. Dengan berusaha menguatkan hati,
aku memberanikan diri untuk mengatakan hal itu kepadanya, sekaligus merupakan salam
perpisahan dariku.

“Vyn, liat deh. Langitnya, bagus banget! Pacar aku ini emang paling pandai nyari tempat
romantis kayak gini”, Rey berkata sambil menyubit kedua pipiku. Tetapi, aku hanya diam,
memandangi ombak di lautan yang menghantam terumbu karang. Seolah-olah memberiku
pertanda untuk segera memberitahu Rey akan kepergianku.
“Vyn? Ada apa?”, tanyanya yang tampak cemas.

“Rey, boleh aku bertanya?”, Rey membalas dengan bergumam yang menandakan boleh. Tetapi,
wajahnya tampak pucat. Menerka-nerka tentang hal buruk apa yang akan aku katakan.

Aku menghela nafas dalam-dalam. “Kamu dulu pernah berkata bahwa cinta adalah
mengikhlaskan. Begitulah yang kamu lakukan untuk melupakan wanita yang dahulu
membuatmu patah sampai akhirnya kamu menemukanku untuk memberi kesembuhan pada
hatimu. Dan… jika aku menghilang nanti, kamu juga hanya perlu melakukan hal yang sama,
bukan?”

“Enggak.”. Rey dengan sigap memegang tanganku, terlihat kumpulan air mata yang siap jatuh
sedang berlinang di matanya. “kenapa sih? kamu bercanda, kan? Kamu mau pergi kemana?”

Hancur. Itu yang kurasa ketika aku sadar bahwa penyebab wajah kecewa itu adalah aku. Aku
yang selama ini selalu berusaha menemaninya dan menjadi alasan untuk dia dapat tersenyum.
Kali ini, aku yang memudarkan senyuman itu. “I will follow my father and live in Prancis.
Mama memilih tinggal bersama suami barunya dan aku.. aku mau tidak mau harus ikut Papa ke
Prancis. No choice”. Aku berusaha tersenyum, walau hatiku seperti tertusuk jarum.

Rey memelukku dan menangis, aku hanya bisa menenangkannya. Aku tak ingin menunjukkan
kelemahanku karena yang dia butuhkan saat ini hanyalah semangat untuk bisa terus menjalani
hari meskipun tanpa ada aku lagi di kehidupannya. Kami tidak tahu harus berbuat apa. Rasanya
seperti baru saja kemarin kami menelusuri langit hingga menembus awan bersama, tetapi tiba-
tiba langit itu runtuh, kami jatuh bersamanya. Hancur tak tersisa.

Langit, bulan dan bintang menjadi saksi kandasnya cinta kami malam itu. Mereka bisu tetapi
merekam setiap kejadian indah dan pilu yang aku dan Rey alami. Rey memelukku erat malam
itu, dan butiran-butiran air mulai berjatuhan dari langit, seolah alampun besedih akan
perpisahanku dan Rey. Pangeran berkudaku kini harus kembali ke singgasananya tanpa
membawaku.

Oktober 2020
Di tengah kabutnya kota Paris, aku menulis cerita ini untuk mengenang sosoknya yang selalu
kurindukan. Sejak pertemuan terakhir kami malam itu, tak ada yang tersisa dari kami saat ini.
Hanya kenangan manis dan pahit yang masih membekas di ingatan.

Aku sengaja menghilang dari kehidupannya setelah itu karena aku merasa bersalah harus
meninggalkannya sendirian di sana. Aku hidup sebagai pengecut karena rasa bersalah yang
masih membekas. Sampai sekarang aku masih mengingat kalimat terakhir yang ia ucapkan
sebelum kita benar-benar berpisah, “jangan lupa untuk kembali karena kau adalah rumahku”.

Tidak, Rey. Aku bukan rumahmu karena kau tidak bisa menetap. Aku tak lebih dari tempat sewa
yang hanya bisa kau singgahi untuk sementara. Hanya sementara dan kau tetap harus berkelana
kembali mencari rumahmu yang sebenarnya. Rumah yang bisa memberimu kenyamanan tanpa
batas.

Seandainya kita tak bertemu kala itu, mungkin rasanya takkan pernah sesakit ini. Terkadang hati
ini merindukanmu, tetapi ego selalu menahanku untuk tahu diri. He deserves happy without me.

Ketika logika dan hati sudah tak sejalan

apakah sanggup hati ini terus bertahan?

Ketika raga tak lagi dapat kudekap

masih pantaskah aku sakit jika merasa tak dianggap?

Lihat aku, Rey. Apa yang tersisa dari kita sekarang?

Jangan tanyakan padaku.

Lihat ke dalam hatimu.

Dan jika kubertanya soal kesetiaan

Masihkah sama jawaban itu seperti dulu?

Di akhir cerita ini, kuselipkan puisi yang lagi dan lagi berisi tentangmu. Rey, namamu masih
terkenang di dalam sanubariku. Namun, tenang saja. Aku telah mengikhlaskanmu dan juga
hubungan kita. Walaupun harapan itu masih ada. Harapan untuk bisa memelukmu sekali lagi,
atau sekedar menyapa dan mengucapkan “hai, bagaimana kabarmu?”.
Teman Fiksi

“baiklah, anak-anak. Seperti yang sudah kalian ketahui, setelah ujian selesai, kita akan memasuki
liburan semester genap selama 2 bulan. Mulai besok, kalian bisa belajar di rumah. Akhir kata
saya ucapkan tetap jaga kesehatan dan kita bertemu kembali di semester depan. Selamat
berlibur”, Pak Sugi selaku kepala sekolah mengakhiri pidatonya dan disambut dengan sorak
sorai dan tepuk tangan meriah dari para murid yang berbaris rapi mengelilingi lapangan.

Mereka mulai mengeluarkan suara berisik, menerka-nerka apa yang harus dilakukan selama
liburan nanti. Tentu saja mereka telah lama menanti momen-momen di mana mereka tidak perlu
sakit kepala memikirkan tugas-tugas sekolah yang selalu mengantri di setiap harinya. Para siswa
ingin memanfaatkan waktu liburan ini dengan sebaik-baiknya.

Begitupula aku, Hana, salah satu siswi yang super excited menyambut liburan kali ini. Seperti
halnya liburan-liburan sebelumnya, aku tentu saja telah membuat beberapa planning mengenai
tempat yang akan dikunjungi atau hal apa saja yang akan aku lakukan selama liburan ini. Salah
satunya adalah aku akan bermalam selama beberapa hari di rumah sahabatku, Wenni.

“Wen, rencana kita jadi kan liburan ini?”, tanyaku.

“entahlah, aku khawatir akan mengecewakanmu”, jawab Wenni dengan wajah tertunduk. Aku
sedikit kaget dengan jawaban yang ia berikan karena kami sudah menyusun rencana ini dari jauh
sekali dan pada hari ini dia mengatakan bahwa ia tidak yakin dengan planning yang sudah kami
buat.

Aku memandangnya dengan raut sedikit kecewa, “Oh come on. What’s wrong?”, sahutku.

“everything is not going well. Nenekku yang di kampung sedang sakit. Ayah dan bundaku
mengajakku untuk pergi mengunjunginya sekaligus menghabiskan masa liburanku di sana.
Lagipun sudah lama sekali aku tidak berkunjung. Yaa.. kau tahu sangat sulit untuk aku menolak
permintaan mereka. I’m sorry, Hana. I would to tell you ‘bout this, b-but.. aku menunggu waktu
yang tepat untuk mengatakannya padamu”, Wenni melihatku dengan muka yang sedikit
memelas.

“I see. I’m sorry for your grandma, Wenni… Well, no problem. I will spend my time on this
wonderful holiday with my parents….”, aku tidak melanjutkan pembicaraan dan kami tertuju
pada sebuah mobil yang berhenti di depan rumah Wenni. “Ahh! See? Aku rasa kita harus
berpisah di sini. Papaku sudah di depan. Take care for you and have fun. See you on 2 months!”,
aku melambaikan tangan pada Wenni dan berlari menuju mobil yang tengah menungguku.

I don’t believe it! Aku sudah membuat banyak sekali rencana dan hal apa saja yang akan aku
lakukan ketika kami menghabiskan waktu liburan berdua, namun sekarang aku harus kehilangan
salah satu rencanaku. OK.. don’t be panic, Hana. Kamu masih bisa menghabiskan waktu liburan
ini dengan pergi ke tempat wisata bersama papa dan mama. Ya, aku yakin mereka akan
membawaku ke suatu tempat menarik. Yeah.. it will be a fantastic holiday!

***

Suara gemuruh terdengar dari luar. Ku pandangi meja belajar di sebelahku yang dipenuhi oleh
buku pelajaran dan juga notebook serta lampu remang-remang di sampingnya. Di dalam catatan
itu terdapat beberapa planning yang telah aku buat sebelumnya. Karena rencana berlibur
bersama wenni telah gagal, aku rasa aku harus mengubahnya sedikit. Aku beranjak dari tempat
tidur dan mulai duduk di meja belajar, menghapus beberapa rencana dan menggantinya dengan
rencana baru.

Beberapa saat kemudian, mama mengetuk pintu kamarku dan mengatakan bahwa papa sedang
menungguku di ruang keluarga karena ingin membicarakan sesuatu padaku. Mungkin ini waktu
yang tepat untuk sekaligus memberitahu papa tentang tempat-tempat yang harus kami kunjungi
nantinya. Aku bergegas keluar kamar sambil memegangi notebook di dadaku dan menuju ke
ruang keluarga. Ku lihat papa tengah duduk di sana dan mengobrol bersama mama.

“how was your day?” tanya Papa.

“not that good”, jawabku. Papa dan mama melihat ke arahku sambil mengernyitkan dahinya.
Mereka menungguku untuk mengatakan sesuatu atau lebih tepatnya meminta penjelasan dari
kalimat yang telah aku lontarkan sebelumnya.

“aku rasa liburan kali ini, aku tidak bisa bersama Wenni. Ia harus ikut orang tuanya ke kampung
karena neneknya sedang sakit. Aku sedih karena tidak bisa menghabiskan waktu dengannya
liburan ini. Tapi, aku pikir libur bersama kalian juga tidak buruk. Kita bisa mengunjungi
beberapa tempat wisata. Aku telah membuat list di dalam sini, jangan khawatir”, aku menunjuk
notebook yang sedang ku bawa. Aku memberitahu mereka dengan sangat menggebu-gebu.
Namun, tidak dengan mereka. Aku rasa mereka akan mengatakan sesuatu yang buruk.

“sayang.. we are sorry but we can’t take you anywhere because we are so busy for several weeks.
Papamu akan keluar kota selama satu bulan ke depan karena projek besar di kantornya dan kau
tahu, mama harus tetap stay di rumah ini karena lantai atas rumah kita sedang diperbaiki karena
cuaca buruk belakangan ini”, mama memandangku dengan muka bersalah. Buruk. Memang
buruk. Liburan kali ini akan menjadi liburan paling buruk sepanjang hidupku!

“tapi kamu tidak usah khawatir, mama ada ide bagus. Kau tahu tante Keylie? Teman SD mama
itu? kau akan pergi bersamanya dan berada di rumahnya selama beberapa minggu. Kamarmu
juga harus diperbaiki sehingga untuk sementara waktu, kau tidak bisa tinggal di sini”, lanjut
mama.

What the hell! Aku pernah mendengar sekilas tentang tante Keylie yang tinggal di desa tempat
mamaku dibesarkan. “Apakah mama bercanda? Bagaimana bisa aku menghabiskan masa
liburanku di desa yang membosankan seperti itu? I wanna stay here! Aku mau menghabiskan
masa liburanku di kota ini!” aku sangat kesal pada mama dan papa. Mereka tidak mengerti
bahwa aku ingin liburan yang mengesankan.

“Hana! desa itu tidak seburuk yang ada di pikiranmu. Sudah, balik ke kamarmu dan kemasi
barangmu, besok kami akan mengantarmu ke rumah tante Keylie. Papa tidak ingin mendengar
bantahan apapun darimu”, lanjut Papa.

Aku beranjak dan kembali ke kamarku dengan wajah kesal. Aku tidak habis fikir. Bagaimana
bisa mereka mengirimku ke desa yang membosankan? Aku kesal. Namun, mau tidak mau aku
harus mematuhi keinginan mereka.

***

Keesokan harinya, kami telah berada di perjalanan menuju ke rumah tante Keylie. Aku hanya
bisa diam sepanjang perjalanan karena sejujurnya bukan liburan seperti ini yang aku inginkan.
Bahkan, aku tidak tahu tante Keylie itu orang yang seperti apa.

Semakin kami mendekati rumah tante Keylie, semakin sepi jalanan dan juga terlihat hamparan
sawah di kanan dan kiri jalan. Aku hanya bisa melihat beberapa rumah di sepanjang perjalanan
itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana bisa aku tinggal di tempat seperti ini selama
beberapa minggu ke depan? Arrgh ini akan menjadi liburan yang paling terburuk sepanjang
masa.

Setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih 3 jam, mobil kami berhenti di depan rumah
putih dengan desain sederhana dan dikelilingi sawah di sekitarnya. Aku masih tidak percaya
dengan apa yang aku lihat. Aku tidak tahu harus melakukan apa di tengah-tengah desa seperti
ini. Bahkan, di sini tidak ada sinyal internet yang membuatku tidak bisa saling berbalas pesan
dengan Wenni. Aku harap aku akan segera menemuinya untuk menceritakan betapa anehnya
berada di desa ini. Jalanan yang sepi, hamparan sawah yang membosankan, tidak ada manusia
berkeliaran, tidak ada sinyal internet. Lengkap sudah penderitaanku.

Setelah mengantarku, mama dan papa dipersilakan untuk mengistirahatkan badan mereka
sejenak di rumah tante Keylie sedangkan aku sudah berada di kamar paling pojok yang berada di
lantai dua rumah ini. Kamar yang sederhana dengan interior yang juga sederhana pula. Lukisan
singa yang berukuran 2 meter terpampang jelas di dinding yang berada di depan tempat tidurku.

Anehnya, kamar ini terlihat cukup besar dan juga perabotannya cukup lengkap untuk dibiarkan
kosong dan tidak berpenghuni. Namun, mama berkata padaku bahwa tante Keylie hidup
sebatang kara karena telah bercerai lama dengan suaminya. Yahh.. setidaknya kamar ini tidak
cukup buruk untukku. Setelah merasa mempunyai cukup energi untuk kembali, orang tuaku
pamit untuk kembali ke kota dan meninggalkanku di sini bersama tante Keylie.

Keesokan harinya ketika matahari telah terbit dengan gagahnya, aku bangun dari tidurku,
berharap semua ini hanya mimpi dan aku masih berada di kota dengan kamarku yang nyaman.
Namun, aku bangun dengan kondisi kamar yang sama persis dengan tempat yang berada di
dalam mimpiku, disambut dengan singa cokelat yang menjagaku semalaman. Mimpi buruk yang
sangat nyata!

Aku memutuskan untuk mandi dan turun untuk melihat kondisi sekitar. Sejujurnya aku juga
lapar. Ku lihat tante Keylie telah berada di dapur. Ia menyiapkan sepotong roti dan juga kopi
serta susu di meja.

“Good morning, Hana. Come here. Tante sudah membuatkanmu sarapan”, panggilnya.
Aku duduk di depannya dan menyantap roti dan juga susu cokelat yang telah ia buat untukku.
Tante Keylie tengah membaca sebuah buku dan memakai kacamata. Ia memiliki bentuk wajah
yang bagus dan bulu mata yang sangat lentik. Namun, ia tidak banyak bicara, bahkan sama sekali
tidak bersuara hingga aku telah selesai dengan sarapanku. Ahh.. bagaimana bisa aku
menghabiskan waktu selama beberapa minggu ke depan dengan orang seperti dia? Pikiranku
mulai tidak karuan. Aku sepertinya harus mencari udara segar. Jika di rumah ini tidak ada
sesuatu yang menarik, setidaknya aku bisa mencarinya di luar. Semoga saja.

Aku menghabiskan makananku dan pamit kepada tante Keylie untuk berkeliling, mencari
sesuatu yang dapat membuat liburanku tidak berakhir sia-sia. Aku memulainya dengan
menyusuri hamparan sawah yang mengelilingi beberapa rumah warga, termasuk rumah tante
Keylie. Setelah sekitar 10 menit berjalan, aku dapat melihat jalan alternatif yang cukup rame di
lewati oleh penduduk dan juga orang-orang dari kota yang lalu lalang. Ku lihat ada beberapa
penduduk desa yang berjualan di sisi jalan. Di sebrang jalan raya itu terdapat taman bermain
sederhana dengan wahana yang terlihat cukup jadul dan telah berkarat. Aku mungkin bisa
bermain di sana, pikirku.

Aku menyebrang dengan hati-hati, meraih pintu masuk taman tersebut. Beberapa anak tengah
bermain di sana dengan riang. Aku menaiki salah satu ayunan yang berada di sudut taman,
mengayuhkan mainan tua itu dengan laju dan semakin laju. Aku ingin pulang, hanya hal itu yang
ada dipikiranku. Udara di sini sangat menyejukkan. Suasana yang terciptapun membuatku tak
ingin meninggalkan tempat ini. Dari sini aku bisa melihat kendaraan lalu lalang walau tak seribut
di kota. Setidaknya aku masih bisa melihat kehidupan.

Aku merebahkan diriku tepat di bawah pohon rindang yang berada di samping ayunan tua yang
baru saja kumainkan. Walau sangat sempit dan tua, taman ini sangat bersih.

“kau baru di sini?”, sapa seorang lelaki di sebelahku secara tiba-tiba. Ia memiliki kedua mata
yang bagus dan juga bulu mata yang lentik, sangat mirip dengan tante Keylie.

“ah.. ya. Aku datang dari kota dan sedang berlibur di rumah tanteku yang terletak di desa
sebrang”, jawabku. Ia memandangku dan tersenyum. Kami berkenalan. Joe berkata ia tinggal di
dekat taman itu. Dia anak yang menarik. Aku menceritakan bagaimana perjalanan burukku
hingga aku harus tinggal di tempat yang membosankan ini. Tanpa sadar, aku bercerita sambil
menggerutu. Ia tertawa.

“well, liburanmu akan menyenangkan mulai hari ini. Aku akan menemanimu kedepannya. Mari
bertemu di sini lagi besok. Pulanglah, hari semakin gelap”, sambung Joe.

Aku tak percaya aku memiliki teman di sini. Aku berpamitan dengan Joe dan kami berpisah di
sana. Semoga Joe benar-benar ingin menemaniku hingga aku tak akan kesepian di liburan kali
ini. Aku pulang ke rumah tante Keylie dengan hati gembira. Tante Keylie telah menungguku di
kursi depan rumahnya sambil bersantai.

“Bersihkanlah dirimu lalu mari makan malam bersamaku”, aku mengangguk dan bergegas untuk
membersihkan diriku. Setelah selesai, aku pergi ke dapur untuk menyantap makan malam
bersamanya.

“kau tampak senang, tidak seperti biasanya. Apakah ada hal menyenangkan yang kau temukan
tadi?” tanya tante Keylie. Aku sedikit ragu ingin bercerita atau tidak. Namun, karena tante
Keylie terlihat sangat menunggu ceritaku, akupun menceritakan anak lelaki itu kepadanya.

“he’s such a nice boy. You have a friend now… siapa namanya?”, tanyanya.

“mmm.. Joe. Apakah kau mengenalnya? Karena ia terlihat mirip denganmu, kupikir ia
merupakan keluargamu”, tante Keylie terlihat sedikit terkejut. Ia mengalihkan matanya ke bawah
selama beberapa saat sebelum menjawab pertanyaanku.

“tidak. Kau tahu aku hidup sendiri di sini. Kau bisa menceritakan lebih banyak tentangnya. Aku
akan membuatkanmu susu hangat agar kau bisa tidur nyenyak malam ini”, Ia mengambil piring
yang berada di meja dan mulai mencucinya. Kemudian memanaskan air untuk membuatkan susu
coklat hangat seperti yang ia katakan sebelumnya. Baru kali ini aku melihatnya berbicara sangat
banyak. Malam itu aku dan tante Keylie saling berbagi cerita. Ia telihat sangat hangat dan juga
mendengarkan. Aku rasa ia tak seburuk yang aku pikirkan sebelumnya.

***

Keesokan harinya, setelah menyantap sarapan, aku kembali lagi ke taman yang kemarin
kukunjungi. Ya.. aku memenuhi janjiku dengan Joe. Mulai hari itu dan seterusnya aku selalu
kembali ke taman itu untuk bertemu dengannya. Ia membawaku mengelilingi desa itu, mulai dari
menelusuri sungai dengan air terjun yang indah di kaki bukit hingga menuju perkebunan apel
yang sangat sejuk.

Dan mengenai hubunganku dengan tante Keylie, kami sudah sangat akrab sekarang. Ia menjadi
pribadi yang sangat berbeda dari sosok yang kutemui pertama kali. Dan seperti biasa, saat makan
malam aku menceritakan kepadanya hal menarik apa yang aku lakukan, kemana Joe
membawaku pergi dan juga berkelana mengusuri setiap tempat di desa yang takkan bisa kutemui
di kota. Pemikiranku tentang betapa membosankannya desa kini telah berubah.

Suasana di desa merupakan suasana yang berbeda. Ada sesuatu yang akan dirindukan, yang tak
bisa kau temukan di kota. Namun, apa mungkin liburanku tetap akan menyenangkan jika aku
tidak bertemu Joe? Ahh.. aku sudah sangat suka desa ini sampai aku lupa bahwa besok sudah
waktunya aku pulang, tepat di hari ulang tahunnya Joe. Bagaimanapun suasana yang
menyenangkan ini tercipta dan bermula dari Joe. Sebelum aku kembali ke rumah besok, aku
harus mengucapkan salam perpisahan padanya sekaligus memberikannya hadiah sebagai
kenang-kenangan. Aku akan meminta mama untuk membawakannya.

Mentari pagi telah bersinar dengan terang dan aku sudah dalam perjalanan menuju taman untuk
bertemu Joe, seperti biasa. Namun, sesampainya aku di taman itu, Joe tidak ada di sana. Tidak
seperti biasanya. Mengapa ia terlambat? Ia selalu menungguku di sana, tepat di bawah pohon di
mana kami pertama kali bertemu. Mungkin dia ada hambatan di dalam perjalanan. Aku
menunggunya sambil memandangi seisi taman yang cukup ramai. Aku melihat jam di tanganku.
Oh tidak! Sudah dua jam berlalu, ini sudah terlalu lama. Aku memutuskan untuk mencari Joe di
sekitar taman.

Aku teringat satu hal bahwa selama ini Joe tak pernah memberitahuku di mana letak persis
rumahnya. Dan anehnya lagi, di sekitar taman ini tidak ada rumah penduduk sama sekali. Hanya
ada gubuk kecil yang berisi hewan ternak milik penggembala. Lalu diikuti oleh hutan yang
sangat lebat di sampingnya. Setelah mencari ke sana ke mari dan menunggu hingga larut, aku
memutuskan untuk pulang dengan perasaan sedih dan campur aduk. Malam ini mama dan papa
akan menjemputku, namun aku belum sempat mengucapkan salam perpisahan pada Joe.
Dari kejauhan kulihat mama dan papa tengah menungguku di luar dengan wajah cemas. Kulihat
papa sedang menelpon seseorang dengan serius. Aku berlari ke arah mereka. Mama memelukku.
“ada apa?”, tanyaku.

“tante Keylie”, mama belum sempat melanjutkan kalimatnya dan mulai menangis. Melihat
respon mama, tanpa basa-basi, aku langsung melepaskan pelukannya dan berlari menuju ke
dalam rumah. Dengan sekuat tenaga, aku secepat mungkin menuju ke kamar tante Keylie.
Betapa terkejutnya aku melihat tante Keylie yang terbujur kaku dan juga kulit yang sudah
memucat. Ia memegang potongan dari salah satu berita koran lama.

Di koran tersebut tertulis “Kecelakaan Maut Menewaskan Seorang Anak Laki-Laki”. Tempat
kecelakaan itu persis di jalan depan taman yang biasa kulalui. Tanggal di koran menunjukkan
tanggal 10 January, tepat 8 tahun silam. Di samping tempat tidurnya, aku melihat foto tante
Keylie bersama seorang pria kecil yang seumuran denganku. Dadaku sesak. Air mataku perlahan
menetes dan semakin deras. Anak lelaki yang mengalami kecelakaan 8 tahun silam, anak lelaki
yang berada di dalam foto bersama tante Keylie itu… adalah Joe.

Anda mungkin juga menyukai