Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
119 tayangan45 halaman

LAPLENG TEKCAR PANTUL Print

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 45

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI SEDIAAN CAIR DAN SEMI PADAT


“EMULSI“

OLEH :
TRANSFER A 2018

LABORATORIUM FARMASETIKA
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR
MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan
kosmetika. Salah satu sediaan farmasi yang mendominasi di kalangan
masyarakat yaitu obat. Adapun bentuk-bentuk sediaan farmasi berupa
obat yang sering dijumpai dipasaran yaitu emulsi.
Sediaan emulsi merupakan sediaan cair yang tidak stabil secara
termodinamika, mengandung paling sedikit dua fase yang tidak saling
bercampur (polifase sistem heterogen) dimana salah satu fase terdispersi
(fase internal) dalam satu fase lainnya (fase eksternal) secara seragam.
Sediaan emulsi dapat juga dikatakan bahan obat cair yang mengandung
larutan obat yang terdispersi dalam cairan pembawah dan distabilkan
dengan zat pengemulsi atau emulgator yang cocok (Voight, 1994).
Emulgator merupakan komponen yang penting untuk memperoleh
emulsi yang stabil. Emulgator merupakan film penutup dari minyak obat
agar menutupi rasa tidak enak (Anief, 2007). Dalam pembuatan suatu
sediaan emulsi, pemilihan emulgator merupakan faktor yang paling
penting untuk diperhatikan karena mutu dan kestabilan emulsi dipengaruhi
oleh emulgator yang digunakan. Emulgator dapat juga dikatakan pengikat
antara air dan minyak yang membentuk suatu keseimbangan (HLB) antara
kelompok hidrofil (emulgator mudah larut dalam air dan sebaliknya) (Anief,
2007).
HLB merupakan suatu ukuran untuk menunjukkan keseimbangan
antara gugus keseimbangan antara gugus hidrofil dan lipofil. Semakin
tinggi nilai HLB, surfaktan semakin bersifat hidrofilik. Emulsi dengan
potensi gugus hidrofilik lebih besar mempunyai viskositas yang lebih encer
(Mollet dan Grubertmann).
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas sebagai
mahasiswa farmasi sangatlah penting untuk mengetahui cara
memformulasi maupun cara pembuatan sediaan emulsi yang baik dan
stabil. Formulasi bertujuan untuk mengembangkan sediaan farmasi, maka
dari itu dilakukan percobaan mengenai formulasi parafin cair dan
fenolftalein sebagai laksatif. Percobaan ini sangat penting dilakukan agar
mahasiswa farmasi dapat menerapkan cara formulasi dan pembuatan
sediaan emulsi tersebut.
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
I.2.1 Maksud Percobaan
Adapun maksud dari percobaan ini yaitu mengetahui dan
memahami hal-hal dalam memformulasi, membuat sediaan dan
evaluasi sediaan emulsi.
I.2.2 Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dari percobaan ini adalah:
a. Memformulasi sediaan emulsi yang baik dan stabil
b. Membuat sediaan emulsi yang baik
c. Mengevaluasi sediaan emulsi yang telah di buat
I.3 Prinsip Percobaan
Adapun prinsip dari percobaan ini adalah berdasarkan hasil diskusi
rancangan formula, penentuan emulgator yang cocok, proses
pencampuran dengan metode gom kering, penentuan tipe emulsi dan
evaluasi sediaan sesuai persyaratan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pengertian emulsi
Emulsi adalah suatu sistem heterogen yang tidak stabil secara
termodinamika, yang terdiri atas paling sedikit 2 cairan yang tidak
bercampur, yang salah satunya fase terdispersi (fase internal)
terdispersi secara seragam dalam bentuk tetesan – tetesan kecil pada
medium pendispersi (fase eksternal) yang distabilkan dengan
emulgator yang cocok (Santi, 2016).
II.1.1 Aturan umum/karakteristik/persyaratan emulsi
 Sediaan emulsi yang baik adalah sediaan emulsi yang stabil
apabila sediaan emulsi tersebut dapat mempertahankan distribusi
yang teratur dari fase yang terdispersi jangka waktu yang lama
(Voight, 1994).
 Terdapat 2 zat yang tidak saling bercampur
 Terjadi proses pengadukan
 Terdapat emulgator
 Penyimpanan dalam wadah tertutup baik di tempat sejuk
 Pada etiket harus tertera “kocok dahulu” (Dirjen POM, 1979).
II.1.2 Jenis emulsi
Berdasarkan jenisnya, Emulsi dapat dibagi menjadi 3 tipe yaitu
1. Tipe O/ (M/A) : suatu emulsi dimana minyak terdispersi sebagai
W

tetesan dalam fase air disebut minyak dalam air.


2. Tipe W/ (A/M) : jika air adalah fase terdispersi dan minyak adalah
O

medium pendispersi. emulsi disebut air dalam minyak.


3. Emulsi ganda. Dalam tipe emulsi ini dihadirkan 3 fase yang disebut
bentuk emulsi W/ /W (A/M/A) atau O/ / (M/A/M) atau disebut emulsi
O W O

dalam emulsi.
Tipe emulsi (a) m/a; (b) a/m; (c) emulsi ganda dapat dilihat pada
Gambar 2.1 (Santi, 2016).

Gambar 2.1 Tipe emulsi (a) m/a; (b) a/m; (c) emulsi ganda
II.1.3 Tujuan pembuatan emulsi
Secara farmasetik, proses emulsifikasi memungkinkan ahli farmasi
dapat membuat suatu preparat yang stabil dan rata dari campuran dua
cairan yang tidak saling bisa bercampur. Untuk emulsi yang diberikan
secara oral, tipe emulsi m/a memungkinkan pemberian obat yang harus
diminum tersebut mempunyai rasa yang lebih enak walaupun yang
diberikan sebenarnya minyak yang tidak enak rasanya, dengan
menambahkan pemanis dan pemberi rasa pada pembawa airnya,
sehingga mudah dimakan dan ditelan sampai ke lambung. Ukuran
partikel yang diperkecil dari bola-bola minyak dapat mempertahankan
minyak tersebut agar lebih dapat dicernakan dan lebih mudah
diabsorpsi (Ansel, 1989).
II.1.4 Keuntungan dan kerugian emulsi
II.1.4.1 Keuntungan emulsi
1.Banyak bahan obat yang mempunyai rasa dan suasana yang tidak
menyenangkan dan dapat dibuat lebih enak bila diformulasikan
menjadi emulsi.
2.Beberapa obat menjadi lebih mudah diabsorbsi bila obat-obat
tersebut diberikan secara oral dalam bentuk emulsi
3.Emulsi memiliki derajat delegasi tertentu dan mudah dicuci bila
digunakan (Lachman, 1987).
II.1.4.2 Kerugian emulsi
1. Sulit diformulakan karena harus bercampur dua fase yang
tidaktercampur.
2. Mudah ditumbuhi oleh mikroba karena adanya air.
3. Kestabilan fisika dan kimia tidak terjamin dalam waktu lama
(Lachman, 1987).
II.1.5 Teori emulsifikasi
Tidak ada teori emulsifikasi yang umum, karena emulsi dapat dibuat
dengan menggunakan beberapa tipe zat pengemulsi yang masing-masing
berbeda tergantung pada cara kerjanya dengan prinsip yang berbeda
untuk mencapai suatu produk yang stabil. Adanya kegagalan dari dua
cairan yang tidak dapat bercampur untuk tetap bercampur diterangkan
dengan kenyataan bahwa gaya kohesif antara molekul-molekul dari tiap
cairan yang memisah lebih besar daripada gaya adhesif antara kedua
cairan. Gaya kohesif dari tiap-tiap fase dinyatakan sebagai suatu energi
antarmuka atau tegangan pada batas antara cairan-cairan tersebut.
Faktor yang umum untuk zat pengemulsi adalah pembentukan suatu
lapisan, apakah itu monomolekular, multimolekular atau partikel (Martin, et
al., 1993).
Ada beberapa teori emulsifikasi yang menjelaskan bagaimana zat
pengemulsi bekerja dalam menjaga stabilitas dari dua zat yang tidak
saling bercampur, yaitu adsorpsi monomolekuler, adsorpsi multimolekuler,
dan adsorpsi partikel padat.
a. Adsorpsi Monomolekuler / Oriented Wedge Theory
Zat yang aktif pada permukaan dapat mengurangi tegangan
antarmuka karena adsorpsinya pada batas m/a membentuk lapisan-
lapisan monomolekuler. Hal ini dianggap bahwa lapisan monomolekular
dari zat pengemulsi melingkari suatu tetesan dari fase dalam pada emulsi.
Teori tersebut berdasarkan anggapan bahwa zat pengemulsi tertentu
mengarahkan dirinya di sekitar dan dalam suatu cairan yang merupakan
gambaran kelarutannya pada cairan tertentu (Ansel, 1989).
Penggunaan emulsi kombinasi dalam pembuatan emulsi saat ini
lebih sering dibandingkan penggunaan zat tunggal. Kemampuan
campuran pengemulsi untuk mengemas lebih kuat menambah kekuatan
lapisan itu, dan karenanya menambah kestabilan emulsi tersebut.
Umumnya pengemulsi mungkin membentuk struktur gel yang agak rapat
pada antarmuka, dan menghasilkan suatu lapisan antarmuka yang stabil.
Pengertian dari suatu lapisan tipis monomolekular yang terarah dari zat
pengemulsi tersebut pada permukaan fase dalam dari suatu emulsi,
adalah dasar paling penting untuk mengerti sebagian besar teori
emulsifikasi (Martin, et al., 1993).
Pengemulsi campuran seringkali lebih efektif daripada pengemulsi
tunggal. Kemampuan campuran pengemulsi untuk mengemas lebih kuat
menambah kekuatan lapisan itu, dan karenanya menambah kestabilan
emulsi tersebut. Umumnya pengemulsi mungkin membentuk struktur gel
yang rapat pada antarmuka, dan menghasilkan suatu lapisan antarmuka
yang stabil. Tipe emulsi yang dihasilkan, m/a atau a/m, terutama
bergantung pada sifat zat pengemulsi. Karakteristik ini dikenal sebagai
kesimbangan hidrofil-lipofil (hydrophile-lipophile balance, HLB), yakni sifat
polar-nonpolar dari pengemulsi. Kenyataannya, apakah suatu surfaktan
adalah suatu pengemulsi, zat pembasah, detergen, atau zat penstabil
dapat diperkirakan dari harga kesimbangan hidrofillipofil (Martin, et al.,
1993).
b. Adsorpsi Multimolekuler
Koloid lipofilik ini dapat dianggap seperti zat aktif permukaan karena
tampak pada batas antarmuka minyak-air. Tetapi zat ini berbeda dari zat
aktif permukaan sintetis dalam dua hal, yaitu tidak menyebabkan
penurunan tegangan antarmuka dan membentuk suatu lapisan
multimolekuler pada antarmuka dan bukan suatu lapisan monomolekuler.
Zat ini bekerja sebagai bahan pengemulsi terutama karena efek yang
kedua, karena lapisan-lapisan yang terbentuk tersebut kuat dan
mencegah terjadinya penggabungan. Efek tambahan yang mendorong
emulsi tersebut menjadi stabil adalah meningkatnya viskositas dari
medium dispers. Karena zat pengemulsi yang terbentuk akan membentuk
lapisan-lapisan multilayer di sekeliling tetesan yang bersifat hidrofilik,
maka zat pengemulsi ini cenderung untuk membentuk emulsi m/a (Martin,
et al., 1993).
c. Adsorpsi Partikel Padat
Partikel-partikel padat yang terbagi halus yang dibasahi sampai
derajat tertentu oleh minyak dan air dapat bekerja sebagai zat
pengemulsi. Ini diakibatkan oleh keadaannya yang pekat antarmuka
dimana dihasilkan suatu lapisan berpartikel sekitar tetesan dispers
sehingga dapat mencegah terjadinya penggabungan. Serbuk yang mudah
dibasahi oleh air akan membentuk emulsi tipem/a, sedangkan serbuk
yang mudah dibasahi dengan minyak membentuk emulsi a/m (Martin, et
al., 1993).
d. Teori Tegangan Antarmuka
Walaupun pengurangan tegangan permukaan memnurunkan energi
bebas antarmuka yang dihasilkan pada dispersi, peranan zat pengemulsi
sebagai pembatas antarmuka adalah yang paling penting. Ini dapat dilihat
dengan jelas bila seseorang memperhatikan bahwa banyak polimer dan
padatan yang terbagi halus, tidak efesien dalam menurunkan tegangan
antarmuka, membentuk pembatas antarmuka yang baik sekali, bertindak
untuk mencegah penggabungan, dan berguna sebagai zat pengemulsi
(Lachman, 1994).
e. Teori Lapisan Antarmuka
Untuk mengharapkan molekul ampifilik untuk mengatur dirinya pada
suatu molekul antarmuka air-minyak dalam sebagian besar posisi, yang
paling disukai secara energik-bagian eleofilik dalam fase minyak dan
bagian hidrofilik dalam fase air. Juga sudah ditetapkan dengan baik
bahwa zat aktif permukaan cenderung berkumpul pada antarmuka, dan
pengemulsi diadsorbsi pada pada antarmuka minyak-air sebagai lapisan-
lapisan monomolekuler. Jika konsentrasi zat pengemulsi cukup tinggi,
pengemulsi membentuk suatu lapisan uang kaku antara fase-fase yang
tidak saling bercampur tersebut, yang bertindak sebagai sutau
penghalang mekanik, baik terhadap adhesi maupun menggabungnya
tetesan-tetesan emulsi. Pengukuran-pengukuran terhadap luas daerah
yang ditempati oleh molekul tunggal zat aktif permukaan pada antarmuka
tetesan-tetesan emulsi telah membuktikan bahwa dalam emulsi yang
stabil, molekul-molekul zat aktif permukaan dalam kenyataannya terkemas
rapat (berdekatan) dan membentuk suatu lapisan antarmuka yang kuat
(Lachman, 1994).
II.1.6 Zat pengemulsi
Tahap awal dalam pembuatan suatu emulsi adalah pemilihan zat
pengemulsi. Zat pengemulsi harus mempuyai kualitas tertentu. Salah
satunya harus dapat dicampurkan dengan bahan formulatif lainnya dan
tidak boleh terurai dalam preparat (Ansel, 1989). Zat pengemulsi
(emulgator) merupakan komponen yang paling penting agar memperoleh
emulsi yang stabil. Semua emulgator bekerja dengan membentuk film
(lapisan) di sekeliling butir-butir tetesan yang terdispersi dan film ini
berfungsi agar mencegah terjadinya koalesen dan terpisahnya cairan
dispers sebagai fase terpisah. Daya kerja emulsifier (zat pengemulsi)
terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat baik
pada minyak maupun air (Winarno, 1992).
Zat pengemulsi dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu emulsifier
alami dan emulsifier buatan.
1. Emulsifier alami
Umumnya dapat diperoleh dari tanaman, hewan atau mikroba
dengan cara eksudat, ekstraksi dan fermentasi. Eksudat diperoleh dari
cairan atau getah pada tanaman. Misalnya gum arab, gum pati, dan
gum tragakan. Hasil ekstraksi biasanya paling banyak diperoleh dari
rumput laut sedangkan hasil fermentasi banyak diperoleh dari
mikroorganisme baik. Salah satu gum yang penting dari hasil
fermentasi ini adalah xanthan gum. Xanthan gum merupakan
polisakarida dengan bobot molekul tinggi hasil fermentasi karbohidrat
dari Xanthomonas campetris yang dimurnikan, dikeringkan dan
digiling. Bakteri ini secara alami hidup di tanaman kubis (Winarno,
1992).
2. Emulsifier buatan
Disamping emulsifier alami telah dilakukan sintesis elmusifier
buatan seperti ester dari polioksietilena sorbitan dengan asam lemak
yang dikenal sebagai tween yang dapat membentuk emulsi m/a.
Sabun juga merupakan emulsifier buatan yang terdiri dari garam
natrium dengan asam lemak. Sabun dapat menurunkan tegangan
permukaan air dan meningkatkan daya pembersih air (Winarno,
1992).
II.1.7 Sistem kesimbangan hidrofil-lipofil (hydrophile-lipophile
balance (HLB)
Surfaktan atau amfifil, bekerja dengan menurunkan tegangan
antarmuka minyak-air dan membentuk film monomolekuler. Sifat-sifat aktif
dari molekul surfaktan disebut kesimbangan hidrofil-lipofil (hydrophile-
lipophile balance (HLB)). Keseimbangan dari sifat hidrofilik dan sifat
lipofilik dari suatu pengemulsi menentukan apakah akan dihasilkan suatu
emulsi m/a atau a/m. Umumnya emulsi m/a terbentuk jika kesimbangan
hidrofil-lipofil dari pengemulsi berkisar antara 8-18 dan terbentuk emulsi
a/m jika jaraknya berkisar antara 4-6. Fase dimana zat aktif permukaan itu
lebih larut adalah fase kontinu. Jenis zat pengemulsi dengan harga
kesimbangan hidrofil-lipofil yang tinggi lebih suka larut di dalam air dan
menghasilkan terbentuknya suatu emulsi m/a. Keadaan sebaliknya terjadi
dengan surfaktan yang memiliki kesimbangan hidrofil-lipofil rendah yang
cenderung untuk membentuk emulsi a/m (Martin, et al., 1993).
Tabel 2.1 Aktivitas dan harga keseimbangan hidrofil-lipofil pada surfaktan
Aktivitas Kesimbangan Hidrofil-Lipofil
Pengemulsi (a/m) 3 sampai 6
Zat pembasah (wetting agent) 7 sampai 9
Pengemulsi (m/a) 8 sampai 18
Detergen (zat pembersih) 13 sampai 15
Pelarut (solubilizer) 15 sampai 18

II.1.8 Komposisi emulsi


Secara umum, komposisi sediaan emulsi terdiri dari ;
a. Bahan aktif
Contoh : Parafin cair, Oleum iecoris aselli dan Curaubitae semin.
b. Bahan tambahan antara lain : (Voight, 1994).
 Emulgator
Menstabilkan dengan cara menempati antara permukaan
antara tetesan minyak dan air. Emulgator juga mengurangi
tegangan antar muka antara fase sehinggameningkatakan proses
emulsifikasi selama pencampuran. Contohnya, Gom Arabikum,
Tragakan, Merah telur, Carboxymethyloellulose (CMC)
1. Emulgaror alami
-Emulgator alam yang membentuk film multimolekuler,
contohnya akasia dan gelatin,
-Emulgator alam yang membentuk film monomolekuler.
Contohnya lesitin dan kolesterol
-Emulgator yang membentuk film berupa partikel padat.
Contohnya bentonit dan veegum.
2. Emulgator sintesis atau surfaktan ysng membentuk film
monomolekuler. Kelompok bahan aktif permukaan ini dibagi
menjadi anionik, kationik dan nonionik, tergantung dari muatan
yang dimiliki oleh surfaktan.
 Pengawet antimikroba
Sediaan emulsi memerlukan bahan antimikroba karena
fase air mempermudah pertumbuhan mikroorganisme. Sehingga
diperlukan agen antimikroba yang dapat mengurangi kontaminasi
mikroorganisme. Contoh: Asam benzoat Metil paraben (nipagin)
(fase air), Prophylparaben (nipasol) (fase minyak)
 Antioksidan
Diperlukan untuk mencegah terjadinya kekeringan dari fase
minyak ataupun oksidasi zat berkhasiat. Contohnya, Asam
askorbat, Asam sitrat, Askorbil sulfite, alfatokoferol dan BHT.
 Pembau / pengaroma
Zat pembau ditambahkan agar menutupi bau dari zat aktifnya
yang mungkin menyengat. Contohnya Oleum citri, Oleum
ricini, Oleum cinamommi, Vanillium dan lain-lain.
 Pewarna
Zat pewarna ditambahkan agar menutupi penampilan yang
tidak menarik dan meningkatkan nilai estetika suatu sediaan.
Contohnya Eritrosin, Tartrazin, Roosberry red dan lain-lain.
 Perasa / pemanis
Zat perasa ditambahkan agar menutupi rasa dari minyak,
sehingga dapat menarik bagi anak-anak. Contoh: Sukrosa, sorbitol,
manitol,
II.1.9 Metode pembuatan emulsi
Dalam pembuatan emulsi ada 3 cara yaitu dengan metode gom
kering, metode gom basah dan metode botol.
1. Metode gom kering
Korpus emulsi mula-mula dibuat dengan empat bagian lemak,
dua bagian air dan satu bagian gom, selanjutnya sisa air dan bahan
lain ditambahkan. Metode ini juga disebut metode 4:2:1. Cara
mencampurnya adalah empat bagian minyak dan satu bagian gom
diaduk dan dicampur dalam mortir yang kering dan bersih sampai
tercampur benar, lalu ditambahkan dua bagian air sampai terjadi
korpus emulsi. Tambahkan sirup dan tambahkan sisa air sedikit
demi sedikit. Bila ada cairan alkohol sebaiknya ditambahkan
setelah diencerkan sebab alkohol dapat merusak emulsi (Anief,
1994).
2. Metode gom basah
Cara ini dilakukan dengan, dibuat mucilago yang kental
dengan sedikit air lalu ditambahkan minyak sedikit demi sedikit lalu
diaduk cepat. Bila emulsi terlalu kental, tambahkan air sedikit demi
sedikit, diaduk lagi dan ditambahkan sisa minyak. Bila semua
minyak sudah masuk ditambah air sambil diaduk sampai volume
yang dikehendaki. Cara ini digunakan terutama bila emulgator yang
akan dipakai berupa cairan atau harus dilarutkan dulu dalam air
(Anief, 1994).
3. Metode botol
Untuk membuat emulsi dari minyak-minyak menguap dan
mempunyai viskositas rendah. Caranya, serbuk gom arab
dimasukkan ke dalam botol kering, lalu ditambahkan dua bagian air
kemudian air campuran tersebut dikocok dengan kuat dalam
keadaan wadah tertutup. Suatu volume air yang sama dengan
minyak kemudian ditambahkan sedikit demi sedikit, terus
mengocok campuran tersebut setiap kali ditambahkan air. Jika
semua air telah ditambahkan, emulsi utama yang terbentuk bisa
diencerkan sampai mencapai volume yang tepat dengan air atau
larutan zat formulatif lain dalam air (Ansel, 1989)
II.1.10 Stabilitas sediaan emulsi
Bila dua larutan murni yang tidak saling menyatu seperti minyak
dan air, kemudian dicampurkan, dan dikocok kuat-kuat, maka keduanya
akan membentuk sistem dispersi yang disebut emulsi. Secara fisik
terlihat seolah-olah salah satu fasa berada di sebelah dalam fasa yang
lainnya. Bila proses pengocokkan dihentikan, maka dengan sangat
cepat akan terjadi pemisahan kembali, sehingga kondisi emulsi yang
sesungguhnya muncul dan teramati pada sistem dispersi terjadi dalam
waktu yang sangat singkat.
Kestabilan emulsi ditentukan oleh dua gaya, yaitu:
1. Gaya tarik-menarik yang dikenal dengan gaya London-Van Der Waals.
Gaya ini menyebabkan partikel-partikel koloid berkumpul membentuk
agregat dan mengendap,
2. Gaya tolak-menolak yang disebabkan oleh pertumpang-tindihan lapisan
ganda elektrik yang bermuatan sama. Gaya ini akan menstabilkan
dispersi koloid (Athija Umi, 2011)
II.1.11 Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakstabilan emulsi
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakstabilan emulsi
yaitu :
1. Perbedaan berat jenis antara kedua fase
2. Kohesi fase terdispersi
3. Presentase padatan dalam emulsi
4. Temperatur luar yang ekstrim
5. Ukuran butiran fase terdispersi
6. Viskositas fase kontinu
7. Muatan fase terdispersi
8. Distribusi ukuran butiran fase terdispersi
9. Tegangan interfasial antara kedua fase (Attamimi, 2007).
II.1.12 Metode penentuan tipe emulsi
Beberapa metode yang biasa digunakan untuk menentukan tipe
dari suatu emulsi meliputi metode pengenceran fase, metode
konduktivitas listrik, uji kelarutan warna dan metode fluoresensi. Tipe
dari emulsi dapat ditentukan dengan cara berikut.
1. Uji pengenceran
Metode ini berdasarkan bahwa suatu emulsi m/a dapat diencerkan
dengan air dan emulsi a/m dengan minyak. Saat minyak
ditambahkan, tidak akan bercampur ke dalam emulsi m/a dan akan
nampak nyata pemisahannya. Tes ini secara benar dibuktikan bila
penambahan air atau minyak diamati secara mikroskop (Santi, 2016).
2. Uji Konduktivitas (Uji Hantaran Listrik)
Emulsi ketika fase kontinyu adalah air dapat dianggap memiliki
konduktivitas yang tinggi dibanding emulsi yang fase kontinyunya
adalah minyak. Ketika sepasang elektrode dihubungkan dengan
sebuah lampu dan sumber listrik, dimasukkan dalam emulsi m/a,
lampu akan menyala karena menghantarkan arus untuk kedua
elektrode Jika lampu tidak menyala, diasumsikan bahwa sistem a/m
(Santi, 2016).
3. Uji Kelarutan Warna
Bahwa suatu pewarna larut air akan larut dalam fase berair dari
emulsi. Sementara zat warna larut minyak akan ditarik oleh fase
minyak. Jadi, ketika pengujian mikroskopik menunjukkan bahwa zat
warna larut air menyebar dalam fase kontinyu maka dapat
diasumsikan bahwa tipe m/a, dan sebaliknya bila menggunakan
sejumlah kecil pewarna larut minyak, dan terjadi pewarnaan fase
kontinyu maka menunjukkan tipe a/m (Santi, 2016).
4. Tes Fluoresensi
Banyak minyak jika dipaparkan pada sinar UV, maka akan
berfluoresensi, jika tetesan emulsi dibentangkan dalam lampu
fluoresensi di bawah mikroskop dan semuanya berfluoresensi,
menunjukkan emulsi a/m. Tapi jika emulsi m/a, fluoresensinya
berbintik-bintik (Santi, 2016).
II.1.13 Penggunaan emulsi
Penggunaan emulsi dibagi menjadi dua golongan, yaitu emulsi
untuk pemakaian dalam dan emulsi untuk pemakaian luar.
a. Emulsi untuk pemakaian dalam
Emulsi untuk pemakaian dalam meliputi pemakaian per oral.
Emulsi untuk penggunaan oral biasanya mempunyai tipe m/a.
Emulgator merupakan film penutup dari minyak obat agar menutupi
rasa tidak enak (Anief, 1994).
b. Emulsi untuk pemakaian luar
Emulsi untuk pemakaian luar meliputi pemakaian obat dalam
bentuk emulsi yang digunakan pada kulit atau membran mukosa
yaitu lotion dan krim. Produk ini secara luas digunakan dalam
farmasi dan kosmetik untuk penggunaan luar. Emulsi parenteral
banyak digunakan pada makanan dan minyak obat untuk hewan dan
manusia (Anief, 1994). Misalnya, vitamin A diserap cepat melalui
jaringan, bila diinjeksikan dalam bentuk emulsi. Terutama untuk
lotion dermatologi dan lotion kosmetik serta krim karena dikehendaki
produk yang dapat menyebar dengan mudah dan dan sempurna
pada daerah dimana produk ini digunakan (Martin, et al., 1993).
II.1.14 Evaluasi sediaan emulsi
Evaluasi sediaan emulsi dilakukan untuk mengetahui kestabilan
dari suatu sediaan emulsi pada penyimpanan. Evaluasi ini dapat
dilakukan dengan beberapa uji :
1. Evaluasi Organoleptis
Mengamati perubahan penampuilan emulsi dari segi bau, warna,
pemisahan fase dan pecahnya emulsi secara makroskopis.
-Parameter : emulsi memenuhi syarat bila tidak terjadi perubahan
warna, pemisahan fase dan pecahnya emulsi secara
makroskopis.
2. Pengamatan Bobot Jenis
Membandingkan sediaan memiliki bobot zat uji di udara terhadap
bobot air dengan volume dan suhu yang sama dengan
menggunakan piknometer (bila tidak disebutkan dalam monografi,
maka pengukuran pada suhu 250 C)
-Parameter : sesuai yang tertera pada monografi
3. Penetapan pH
Pengukuran terhadap pH emulsi menggunakan pH meter yang telah
dikalibrasi dengan larutan dapar.
-Parameter: sesuai dengan persyaratan pH pada monografi
4. Penentuan volume terpindahkan
Melihat kesesuain volume sediaan, jika dipindahkan dari wadah
asli, dengan volume yang tertera pada etiket.
-Parameter : volume rata-rata larutan atau sirup yang diperoleh dari
30 wadah tidak kurang dari 100% dari yang tertera di
etiket, dan tidak lebih dari 30 wadah volume kurang
dari 95% tetapi tidak kurang dari 90% dari yang tertera
di etiket.
5. Penentuan tipe emulsi
1. Uji kelarutan zat warna : kelarutan zat warna yang larut dalam air
(mis. Metilen biru atau amarath) dalam salah satu emulsi
2. Uji pengenceran : ketercampuran atau kelarutan pelarut air
-Parameter :
1. Emulsi M/A bila fase kontinunya emulsi terwarnai larut air (mis.
Metilen biru atau amarath)
2. Emulsi A/M bila dapat diencerkan dengan pelarut aqueous ;
emulsi A/M bila tidak dapat diencerkan dengan pelarut aqueous.
6. Penentuan ukuran globul
Penentuan ukuran globul rata-rata dan distribusinya dalam selang
waktu tertentu dengan menggunakan mikroskop atau dengan
penghitung elektronik.
-Parameter : ukuran globul berkisar 0,25-10 µm dan mengikuti
distribusi normal
7. Pengukuran viskositas dan sifat aliran
Melakukan pengukuran viskositas dalam bebagai kecepatan dengan
viskometer Brookfield untuk mendapatkan viskositas dan diagram
sifat aliran emulsi.
-Parameter : viskositas dan sifat aliran memenuhi spesifikasi
8. Volume sedimentasi
Perbandingan antara volume akhir (Vu) sedimen dengan volume
awal (V0) sebelum terjadi pengendapan.
-Parameter : semakin besar nilai Vu atau nilai F=1 atau mendekati 1,
semakin baik suspensibilitasnya dan kurva yang
terbentuk antara F terhadap waktu membentuk garis
yang horisontal atau sedikit curam. Bila F>1 terjadi flok
sangat longgar dan halus maka perlu zat tambahan.
9. Sentrifugasi
Pengujian dilakukan dengan melakukan sentrifugasi sediaan emulsi
dengan kecepatan sentrifuga yang dinaikkan secara bertahap dalam
waktu tetentu.
-Parameter : makin tinggi kecepatan sentrifugasi yang dapat ditahan
oleh emulsi, berarti emulsi semakin emulsi.
10. Homogenitas
Homogenitas dapat ditentukan berdasarkan jumlah partikel maupun
distribusi ukuran partikelnya dengan pengambilan sampel pada
berbagai tempat menggunakan mikroskop untuk hasil yang lebih
akurat atau jika sulit dilakukan atau membutuhkan waktu yang lama,
homogenitas dapat ditentukan secara visual.
-Parameter : suspensi yang homogen akan memperlihatkan jumlah
atau distribusi ukuran partikel yang relatif hampir
sama pada bebagai tempat pengambilan sampel.
II.2 INFORMASI BAHAN AKTIF

II.2.1 Uraian Farmakologi


1. Parafin Cair (Rowe, 2009 Hal: 445)
Nama Resmi : PARAFIN LIQUIDUM
Sinonim : Parafin cair
Kelas farmakologi : Pencahar/ Laksatif
Indikasi : Sebagai pencahar untuk sembelit (susah
buang air besar)
Mekanisme kerja : merangsang peristaltik usus besar,
menghambat reabsorbsi, dan melancarkan
jalan feses.
Kontraindikasi : Penderita yang hipersensitif atau alergi
terhadap parafin , ileus obstruksi, nyeri
perut yang belum diketahui penyebabnya.
Efek samping : Dapat menyebabkan iritasi setelah
penggunaan jangka panjang, reaksi
granulomatosa disebabkan oleh absorpsi
sedikit parafin cair. Pneumonia lipoid, dan
gangguan absorpsi vitamin-vitamin larut
lemak
Toksisitas : Bila diinhalasi atau tersedak zat ini dapat
mengakibatkan sejenis radang paru-paru
berbahaya (pneumonia lipid). Penggunaan
selama kehamilan tidak dianjurkan.
Dosis dan : Dewasa 15-30 ml. Anak-anak (6-12 tahun)
pemberian 5-10 ml. 1 x 1 malam hari
Interaksi obat : Dapat bereaksi dengan sodium suksinat
farmakokinetik : Parafin cair tidak dicerna dalam usus dan
hanya sedikit yang diabsorpsi pada
limfonosi mesenterik hati dan limpa
2 Fenolftalein (Martindale, Hal: 1762)
Nama Resmi : PHELOPHTALEIN
Sinonim : Fenolftalein
Kelas farmakologi : Laksatif
Indikasi : Sebagai stimulan laksatif
Mekanisme kerja : Merangsang jaringan mukosa usus dengan
meningkatkan kontraksi otot usus dan
mengendurkan otot-ototnya
Efek samping : Karsinogenik dan genotoksik pada
penggunaan jangka panjang
Toksisitas : Hindari penggunaan dalam jangka lama.
Jika dosis melebihi nrmal dapat
menyebabkan diare
Dosis dan : Dosis dewasa: 30-200 mg setiap hari.
pemberian Untuk anak-anak 2-5 th : tidak melebihi 15-
30 mg
Interaksi obat : Dapat berinteraksi dengan obat-obatan
seperti betametason dan sulfolax
farmakokinetik : Diberikan peroral dan mengalami absorpsi
kira-kira 5% di usus halus. Efek fenolftalein
dapat bertahan karena mengalami sirkulasi
enterohepatik. Sebagian besar dieksresi
melalui tinja sebagain lagi melalui ginjal
dalam bentuk anaboliknya (Gunawan,
2007).

II.2.2 Uraian Sifat Fisika-Kimia Bahan Aktif


1 Parafin liquidum (Rowe, 2009 Hal: 445)
Nama resmi : PARAFIN LIQUIDUM
Nama lain : Parafin cair
RM : C15H11ClO7
BM : 92,09
Pemerian : Cairan kental, transparan, tidak
berfluorensasi, Tidak berwarna, hampir
tidak berbau, hampir Tidak mempunyai
rasa.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam
etanol (95%) P, larut dalam kloroform P,
dan dalam Eter P.
pKa/pH larutan : 9.37/-
Titik lebur : 50-61oC
Informasi tambahan : Simpan pada suhu tidak melebihi 40o C
Stabilitas : Suhu : Dapat teroksidasi leh panas

Cahaya : Tidak stabil terhadap cahaya

pH :-
Lainya : Stabil dalam sediaan cair
Inkompabilitas : Gugus fungsi :-

In logam :-

Senyawa tertentu : Dengan pengoksidasi


kuat

2 Fenolftalein (Martindale, 2009 Hal: 1762 )


Nama resmi : PHENOLPHTALEIN
Nama lain : Fenolftalein
RM : C20H14O4
BM : 318,23

Pemerian : Berbentuk kristal, putih kekuningan bau


khas rasa pahit.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam
etanol, tidak larut dalam eter.
pKa/pH larutan : -/ 8,00 – 10,0
Titik lebur : 258-261oC
Informasi tambahan : Stabil di udara
Stabilitas : Suhu :-

Cahaya : -

pH : 8-10,0

lainya : stabil di udara


Inkompabilitas : Gugus fungsi : -

Ion logam : -

Senyawa tertentu : -
II.3 INFORMASI BAHAN TAMBAHAN
1 Sorbitol (Rowe, 2009 Hal: 679) (Depkes, 1995 Hal: 756)
Nama resmi : SORBITOLUM
Nama lain : Sorbitol
Kelas : Pemanis
fungsional
Konsentrasi : 20%
RM : C6H14O6
BM : 182,17
Pemerian : Serbuk, granul atau lempengan, higroskopis,
warna putih, rasa manis.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, sukar larut dalam
etanol, dalam metanol dan dalam asam asetat
pKa/pH : -/4,5-7,0
Titik lebur : 1740-1790oC
Stabilitas : Stabil diudara tanpa adanya katalis dan dalam
asam encer dingin dan alkali
Inkompabilitas : Sorbitol akan membentuk khelat yag larut dalam
air dengan membentuk ion logam
Penanganan : Gunakan pelindung mata dan sarung tangan
Toksisitas : Kembung perut parah, dan bisa memicu situasi
darurat.
Saran : Dalam wadah kedap udara, ditempat sejuk
penyimpanan
2. Asam benzoat (Depkes, 2014 Hal: 144)
Nama resmi : BENZOIC ACID
Nama lain : Asam benzoat
Kelas : Pengawet
fungsional
Konsentrasi : 0,01-0,1%
RM : C7H6O3
BM : 122,12
Pemerian : Hablur bentuk jarum atau sisik; putih; sedikit
berbau, biasanya bau benzaldehida atau
benzoin. Agak
mudah menguap pada suhu hangat. Mudah
menguap
dalam uap air.
Kelarutan : Sukar larut dalam air; mudah larut dalam
etanol, dalam kloroform dan dalam eter.
pKa/pH : 2,8/Aktif pada pH <5 tidak aktif pada pH 5
Titik lebur : 122oC
Stabilitas : Penanganan natrium oxida telah terbukti telah
meningkatkan stabilitas asam benzoat dalam
percobaan permeasi lain.
Inkompabilitas : Mengalami reaksi khas asam organik, misalnya
dengan interaksi dengan kaolin
Penanganan : Menggunakan masker dan sarung tangan
Toksisitas : -
Saran : Disimpan dalam wadah tertutup rapat ditempat
penyimpanan sejuk dan kering
3. Span 80 (Rowe, 2009 Hal: 675)
Nama resmi : SORBITON MONOLEAT
Nama lain : Span 80, sorbiton
Kelas : Emulgator
fungsional
Konsentrasi : 1-10%
RM : C3O6H27Cl13
BM : 394,32
Pemerian : Cairan kental seperti minyak jernih, kuning, bau
asam lemak khas
Kelarutan : Tidak larut dalam air tetapi terdispersi, mudah
larut dalam etanol 95% p, sukar alrut dalam
parafin cair dan dalam minyak biji kapas
pKa/pH : 3,86 / 2,0-6,8
Titik lebur : Tidak kurang dari 540C
Stabilitas : Stabil terhadap asam dan basa lemah
Inkompabilitas : Dengan asam atau basa kuat, terjadi
pembentukan sabun dengan basa kuat
Penanganan : Menggunakan pelindung mata dan masker
Toksisitas : -
Saran : Dalam wadah tertutup baik
penyimpanan
4 Xhantan Gum (Depkes, 1995 Hal)
Nama resmi : XHANTAN GUM
Nama lain : Xhantan gummi
Kelas : Pengental
fungsional
Konsentrasi : 0,2%
RM : C35H49O29
BM : 933
Pemerian : Krem atau putih, tidak berasa, berbentuk halus
dan tidak berbau
Kelarutan : Larut dalam air panas atau hangat, praktis tidak
larut dalam etanol dan eter
pKa/pH : -/6,8
Titik lebur : 270OC
Stabilitas : Larutan berair stabil pada rentang pH 3-10
stabilitas maksimal pH 12 dan suhu 10-60oC
Inkompabilitas : Inkomptibel dengan surfaktan kationik dan
polimer surfaktan anionik pada konsentrasi
>15% b/v menyebabkan persipitasi
Penanganan : Menggunakan pelindung mata dan sarung
tangan
Toksisitas : Noniritan dan nontoksik
Saran : Dalam wadah tertutup baik, sejuk dan kering
penyimpanan
5. BHT (Rowe, 2009 Hal: 75)
Nama resmi : BUTYLATED HYDROXY
TOLUENA
Nama lain : BHT, butil hidroksi toluena
Kelas : Antioksidan
fungsional
Konsentrasi : 0,005%
RM : C16H24O
BM : 220,35
Pemerian : Warna kuning, putih atau pucat. Bau khas
berbentuk kristal padat
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, gliserin, PPG,
larutan alkali hidroksi dan asam mineral, mudah
larut dalam aseton, benzene, etanol (95%), eter
dan butanol
pKa/pH : -/ < 9
Titik lebur : 70oC
Stabilitas : Paparan cahaya, kelembapan, dan panas
menyebabkan perubahan warna dan hilangnya
aktivitas
Inkompabilitas : Inkompatibel dengan zat pengoksida seperti
peroksida dan permanganat. Garam besi
menyebabkan perubahan warna dan hilangnya
aktivitas
Penanganan : Menggunakan pelindung mata dan sarung
tangan
Toksisitas : Dapat mengiritasi mata dan kulit jika terhirup
Saran : Tertutup baik, terlindung cahaya pada tempat
penyimpanan sejuk dan kering
6. Oleum citri (Depkes,1979 Hal: 452)
Nama resmi : OLEUM CITRI
Nama lain : Minyak jeruk
Kelas : Pengaroma
fungsional -
Konsentrasi : 0,2-0,3%
RM : -
BM : -
Pemerian : Berwarna kuning pucat atau kuning kehijauan,
bau khas, pedas agak pahit
Kelarutan : Larut dalam bagian volume etanol (90%) P,
larutan agak berflourosensi dapat campur
dengan etanol mutlak P
Titik lebur : -
Stabilitas : Dapat disimpan dalam wadah gelas dan plastik
Inkompabilitas : -
Penanganan : Menggunakan sarung tangan dan masker
Toksisitas : -
Saran : Dalam wadah tertutup rapat
penyimpanan
7. Tween 80 (Depkes, 1994 Hal: 687)
Nama resmi : POLYSORBATE 80
Nama lain : Tween 80
Kelas : Emulgator
fungsional
Konsentrasi : 1-15%
RM : C64H18C26
BM : 1300
Pemerian : Cairan seperti minyak, jernih berwarna kuning
mudahingga coklat muda, bau khas lemah, rasa
pahit dan hangat.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, larutan tidak
berbau dan praktis tidak berwarna, larut dalam
etanol, dalam etil asetat, tidak larut dalam
minyak mineral.
pKa/pH : -/6-8
Titik lebur : 125o C
Stabilitas : Stabil terhadap elektrolit dan asam basa lemah.
Harus diperiksa kadar airnya sebelum
digunakan jika perlu dikeringkan
Inkompabilitas : Perubahan warna dan terjadi endapan fenol,
tanin. Aktivitas antimikroba dan produk
berkurang dengan adanya fluorosensi
Penanganan : Menggunakan pelindung mata dan masker
Toksisitas : Nontoksik dan noniritan
Saran : Wadah tertutup baik, terlindung cahaya, sejuk
penyimpanan dan kering.
8. Aquadest (Depkes, 1979 Hal: 96)
Nama resmi : AQUA DESTILLATA
Nama lain : Air suling, aquadest
Kelas : Pelarut
fungsional
Konsentrasi : Ad 100%
RM : H2O
BM : 18
Pemerian : Cairan jernih tidak berwarna, tidak berbau, tidak
berasa.
pKa/pH : /netral
Titik lebur : -
Stabilitas : Stabil
Toksisitas : Nontoksisk
Saran : Dalam wadah tertutup baik
penyimpanan
9. Tartrazine (Rowe, 2009 Hal: 195)
Nama resmi : TARTRAZINE
Nama lain : Hydrazine yellow
Kelas : Pewarna
fungsional
Konsentrasi : Quantum statis
RM : C16H9N4Na3O9S2
BM : 534,35
Pemerian : Serbuk kuning jingga
Kelarutan : 1 gram dalam 6 ml air, memberikan larutan
kuning emas agak larut dalam etanol, tidak larut
dalam minyak nabati, tidak dipengaruhi oleh
asam atau basa dalam larutan netral.
pKa/pH : /5-9
Titik lebur : 844oC
Stabilitas : Bersifat higroskopis
Inkompabilitas : Tidak cocok dengan asam askorbat, laktosa,
larutan glukosa 10%, larutan na. benzoat
Penanganan : Menggunakan pelindung mata, masker dan
sarung tangan
Toksisitas : Untuk oral >6 g/kg
Saran : Dalam wadah tertutup rapat dan kering
penyimpanan
BAB III

METODE KERJA

III.1 Formula

III.1.1 Formula Asli

Rancanga formula I

Tiap 100 ml mengandung :

R/ Paraffin cair 20 ml

Phenofthalein 30 mg

Tween 80
4%
Span 80

Sorbitol 20 %

Natrium metabisulfit 0,01 %

Asam benzoat 0,01 %

Xanthan gum 0,20 %

Aquadest ad 100 %

III.1.2 Formula Disetujui

Tiap 50 ml mengandung :

R/ Paraffin cair 15 ml

Phenofthalein 200 mg

Tween 80
4%
Span 80

Xanthan gum 0,20 %

Sorbitol 20 %

Asam benzoate 0,1 %


BHT 0,005 %

Tartrazin qs

Oleum citri qs

Aquadest ad 100 %

III.1.3 Master Formula

Nama Produk : Trilax®

Nomor Registrasi : DKL1900300171A1

Nomor Batch : J901001

Tabel Formula

Produksi : PT. TRI FARMA Isi Bersih : 50 mL

Tgl
Tgl Produksi : Dibuat Oleh:
Formula: Disetujui oleh:
21 November Kelompok III
13 Oktober
2019 dan VIII
2019
Kode Jumlah/ Jumlah/
Nama Bahan Fungsi
bahan Dosis Batch
001 PFC Paraffin cair Zat aktif 10 mg 3000 mg
002 PH Phenofthalein Zat aktif 30 mg 60 gram
003 TW80 Tween 80 Emulgator hidrofilik 4% 2,88 gram
004 SP80 Span 80 Emugator lipofilik 4% 1,12 gram
005 XG Xantan gum Pengental 0,2 % 0,1 gram
006 SB Sorbitol Pemanis 20 % 10 gram
007 AB Asam Benzoate Pengawet 0,1 % 0,05 gram
008 BHT BHT Antioksidan 0,005 % 0,0025 gram
009 TTZ Tartrazin Pewarna q.s q.s
010 OLC Oleum citri Pengaroma q.s q.s
011 AQ Aquadest Pelarut/Pembawa Ad 100 % Ad 100%
III. 1. 4 Perhitungan Bahan
1. Perhitungan bahan
Phenolftalein = 200 mg
Parafin cair = 15 mL
Span 80 =4%
4
Tween 80 × 50 mL = 2 mL + 10% = 2,2 mL
100
0,2
Xhantan gum 0,2 % = 100 × 50 mL = 0,1 g + 10% = 0,11 g
20
Sorbitol 20 % = 100 × 50 mL = 10 g + 10% = 11 g
0,01
Asam benzoate 0,01 % = × 50 mL = 0,005 g + 10% = 0,0055 g
100
0,05
BHT 0,05% = × 50 mL = 0,025 g + 10% = 0,0275 g
100

Tartrazin = qs
Oleum citri = qs
Aquadest = 50 ml – (0,22 mL + 16,5 mL + 2,2 mL + 0,11
mL + 11 mL + 0,0055 mL + 0,0275 mL)
= 50 mL – 30,063 mL
= 19,937 mL
2. Perhitungan HLB
Emulgator = 4%
4
= 100 𝑥 50 mL = 2 mL

HLB butuh = 12
HLB Tween 80 = 15
HLB Span 80 = 4,3
a = angka HLB tinggi
b = angka HLB rendah
Yang diukur :
Cara I:
𝑋− 𝐻𝐿𝐵𝑏
% Tween 80 = 𝐻𝐿𝐵𝑎−𝐻𝐿𝐵𝑏 x 100 %
12−4,3
= 15−4,3 x 100%
7,7
= 10,7 x 100 %

= 71,96% ≈ 72%

72
Tween 80 = 100 x 2 mL

= 1, 44 mL + 10 % = 1,58 mL
Span 80 = 2 mL – 1,44 mL
= 0,56 mL + 10% = 0,62 mL
Cara II :
(X × HLBa) + ((2 – a) × HLBb) = (2 × HLB butuh)
(a × 15) + ((2 – a) × 4,3) = (2 ×12)
15a + 8,6 – 4,3a = 24
15a – 4,3a = 24 – 8,6
10,7a = 15,4
15,4
a = 10,7

a = 1,44 mL
Tween 80 = 1, 44 mL + 10 % = 1,58 mL
Span 80 =2–a
= 2 – 1,44 mL
= 0,56 mL + 10% = 0,62 mL
III. 1. 5 Cara Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Dikalibrasi botol 50 mL
3. Ditimbang semua bahan sesuai perhitungan dan pisahkan fase
minyak (paraffin cair dan span 80) dan fase air (tween 80,
Phenofthalein dan sorbitol)
4. Dilarutkan asam benzoat dengan sedikit air hangat
5. Dibuat mucilago xanthan gum (dilarutkan dengan air 2 kali berat
xanthan gum) kemudian ditambahkan larutan asam benzoat, digerus
sampai homogeny
6. Digerus masing – masing fase (fase minyak dan fase air) di tempat
yang terpisah
7. Ditambahankan mucilago xanthan gum ke dalam campuran fase air
8. Dicampurkan fase minyak ke dalam fase air. Digerus dengan
kecepatan konstan sampai terbentuk korpus emulsi
9. Ditambahkan BHT, digerus sampai homogeny
10. Ditambahkan Oleum citri dan Tartrazin secukupnya digerus sampai
homogeny
11. Dimasukkan ke dalam botol, ditambahkan aquadest hingga batas
tanda kalibrasi
12. Dikemas dan diberi etiket
13. Dievaluasi
III. 2 Etiket, Wadah dan Brosur
III. 3 Evaluasi
Pemeriksaan Fisik
a. Organoleptik
Pemeriksaan pemerian obat jadi dilakukan dengan metode
sebagai berikut:
Parameter Spesifikasi
Bau
Rasa
Pemerian
Bentuk
Warna

b. Nilai pH
Pemeriksaan pH obat dilakukan dengan menggunakan pH
Universal sebagai berikut:

Parameter Spesifikasi
pH 6–7

c. Volume terpindahkan
Pemeriksaan volume terpindahkan dilakukan dengan
menggunakan gelas ukur :
Parameter Spesifikasi
Volume terpindahkan 50 mL (98% - 100%)
volume yang diperoleh
Volume terpindahkan = ×100 %
volume sediaan
49 mL
= ×100 %
50 mL
= 98 % ( Memenuhi syarat)
d. Tipe Emulsi
Pemeriksaan tipe emulsi dilakukan dengan metode pengenceran,
yaitu diencerkan dengan air :

Parameter Spesifikasi
Tipe emulsi
Dapat diencerkan (tipe emulsi minyak / air)
m/a
BAB IV
HASIL & PEMBAHASAN

IV.1 Data Pengamatan


IV.1.1 Alur Produksi

Tahap Bahan Alat Parameter Hasil


Phenolphtalein,
paraffin cair,
Akurat sesuai
span 80, tween
Akurat sesuai jumlah
80, sorbitol, Timbangan
jumlah perhitungan
BHT, Analitik
Penimbangan perhitungan bahan yang
asambenzoat,
bahan dilebihkan
xanthan gum,
10%
tatrazine, oleum
citri, aquadest
Sesuai batas Sesuai batas
kalibrasi kalibrasi pada
Kalibrasi Botol Aquadest Gelas Ukur
pada botol botol
Asam benzoate
dilarutkan,
dibuat mucilago
xanthan gum,
dimasukkan
asam benzoate
dalam mucilago, Mortir dan Tercampur Tercampur
Pencampuran
ditambahkan stamper merata merata
tween 80,
phenolphthalein,
sorbitol, dibuat
fase minyak
(paraffin cair
dan span 80)
ditambah BHT,
fase minyak
dicampur
kedalam fase
air, ditambah
oleum citri,
tatrazin
Sesuai
dengan Sesuai dengan
Sediaan emulsi
wadah wadah primer,
Pengemasan yang telah jadi Botol coklat
primer, dan dan sekunder
sekunder
Organoleptik,
Gelas ukur, Sesuai Sesuai
volume
tabung persyaratan persyaratan
terpindahkan,
Evaluasi reaksi, dan sediaan sediaan emulsi
tipe emulsi
pH emulsi yang yang
(pengenceran),
universal ditetapkan ditetapkan
dan pH

IV.1.3. Rekam Produksi


Tanggal Pengesahan 28/11/2019
Nama Produk : LAXAPINE® No. Reg : DTL190050032A3
No. Bets : J9001001

IV.1.4. Evaluasi
Jenis Evaluasi Alat Bahan Kriteria Hasil

Bau khas Bau khas


Sediaan oleum citri, oleum citri,
Organoleptik -
emulsi rasa manis, rasa manis,
warna kuning warna
kuning
Volume Sediaan 50 mL (< 95
Gelas ukur 49 mL
terpidahkan emulsi %)
Sediaan
pH pH universal 6-7 4
emulsi
Sediaan
emulsi yang
Tipe emulsi Tabung telah
M/A M/A
(pengenceran) reaksi diencerkan
dengan
aquadest

IV.2 Pembahasan
Emulsi adalah sistem dispersi dari dua atau lebih cairan yang tidak
saling bercampur satu sama lain. Dimana satu fase hidrofil yang lain
menunjukkan karakter lipofil, fase hidrofil umumnya adalah air atau suatu
cairan yang dapat bercampur dengan air,sedangkan sebagian fase lipofil
bertindak sebagai fase minyak mineral. Pada formulasi ini, fase hidrofilnya
adalah phenoftalein, sedangkan fase hidrofobiknya adalah paraffin
(Voight, 1994). Paraffin digunakarn sebagai emulsi yang kadang-kadang
dikombinasikan dengan phenoftalein (Tjay, 2007)
Pada praktikum ini dibuat sediaan emulsi dengan bahan aktif
phenolphthalein dan paraffin cair yang memiliki indikasi sebagai laxatif.
Paraffin termasuk zat penurun tegangan permukaan dan bekerja sebaga
pelicin bagi usus dan tinja. Sedangkan phenolphthalein bekerja dengan
merangsang mukosa, saraf intramural atau otot polos usus sehingga
meningkatkan peristaltik dan sekresi lendir usus (Gunawan,2007). Kerja
kedua obat ini saling bersinergi sehingga dapat dikombinasikan
dalam bentuk emulsi sehingga dapat disatukan dengan emulgator. Emulsi
diberikan secara oral, tipe emulsi M/A memungkinkan pemberian obat
yang harus diminum mempunyai rasa yag lebih enak dengan
menambahkan pemanis dan pemberian rasa pada pembawanya sehingga
mudah diminum dan ditelan sampai kelambung (Ansel, 1989).
Fenoftalein dan paraffin liquidum dibuat dalam bentuk emulsi dan
dikombinasikan antara laksansia dan emolient agar dapat memaksimalkan
efektivitas dan meminimalkan efek samping (Dewi R, 2016).
Adapun emulgator yang digunakan adalah tween 80 dan span 80
dari golongan surfaktan non-ionik sebagai bahan pengemulsi karena
sangat larut dalam air, larut dalam minyak mineral (Departemen
Kesehatan, 1979). Tween 80 memiliki keseimbangan hidrofilik, lipofilik
yang tidak mudah dipengaruhi oleh perubahan pH dan adanya elektrolit
(Gennaro, 1990). Tween 80 menghasilkan emulsi M/A dengan tekstur
yang halus. Stabil pada konsentrasi elektrolit yang tinggi dan stabil
terhadap perubahan pH (Aulton, 1991). Span 80 merupakan emulgator
nonionik yang larut dalam minyak yang menunjang terbentuknya emulsi
A/M dengan nilai HLB 4,3 (Pakki, 2010). Span 80 banyak digunakan
dalam pembuatan emulsi sebagai emulgator dengan konsentrasi
kombinasi 1-10% (Rowe, 2009). Pada formulasi ini dikombinasikan tween
80 dan span 80 dengan konsentrasi 4% mengacu pada artikel penelitian
yang dilakukan oleh Kurniawan (2013). Penggunaan tween 80 dan span
80 menunjukkan kestabilan viskositas pada formula ditandai dengan
terlihatnya hasil yang terhimpit menandakan viskositas tidak berbeda jauh
untuk pengukuran tiap minggunya selama 8 minggu.
Selain emulgator bahan yang digunakan untuk menstabilkan emulsi
adalah bahan pengental. Xanthan gum merupakan emulgator hidrokoloid
yang membentuk emulsi tipe M/A dan digunakan secara luas untuk
formulasi sediaan topikal dan oral. Xanthan Gum bersifat tidak toksik
dapat bercampur dengan bahan farmasetik serta stabilitas dan viskositas
yang baik pada rentang pH yang luas (Rowe, 2009). Pemilihan
berdasarkan keamanannya jika digunakan dalam sediaan oral. Pada
penelitian yang dilakukan oleh M.Ilham (2013) membandingkan beberapa
bahan pengental emulsi oral,diantaranya Na.CMC, Gom arab dan
Xanthan gum. Bahan pengental yang menghasilkan emulsi yang stabil
adalah Xanthan gum yang juga menggunakan emulgator tween 80 dan
span 80.
Untuk menambah nilai estetika suatu sediaan dan menutupi rasa
yang kurang nyaman maka ditambahkan bahan pemanis, pewarna dan
pengawet. Bahan pemanis yang digunakan pada formula ini adalah
sorbitol yang dimana pemanis sorbitol diberikan pada sediaan oral dengan
kisaran 20-50g bebas gula (Rowe, 2009). Selain itu sorbitol juga memiliki
keuntungan dimana rasa yang kuat, lebih rendah kalori sehingga bisa
ditoleransi oleh penderita diabetes karena sorbitol tidak diabsorbsi oleh
tubuh serta tidak mudah difermentasi oleh mikroorganisme oral sehingga
tidak menyebabkan karies gigi (Chabib, 2013). Oleum citri digunakan
sebagai perasa dalam sediaan cairan dengan konsentrasi 0,2-1%.
Tartrazin dan oleum citri sebagai pewarna kuning yang setara dalam
sediaan obat (RPS, 1989). Tartrazin digunakan sebagai pewarna dalam
sediaan cair biasanya dalam range 0,0005-0,001% dimana dalam
praktikum digunakan untuk memberikan warna kuning (RPS,1989). Asam
benzoat digunakan sebagai pengawet untuk mencegah kerusakan emulsi
karena mikroorganisme atau oksidasi. Asam benzoat banyak digunakan
dalam kosmetik, makanan dan sediaan farmasi lainnya dengan
konsentrasi 0,01-0,1% untuk penggunaan oral. pH optimum aktif pada pH
2,5-4,5 dan tidak aktif pada pH 5 (Rowe, 2009).
Butylated Hydroxytoluene atau biasa disebut BHT digunakan
sebagai antioksidan dalam kosmetik, dan obat-obatan, menunda atau
mencegah ketengikan oksidatif pada lemak dan minyak serta mencegah
hilangnya aktifitas vitamin yang larut dalam minyak (Rowe, 2009). Hal ini
mungkin dapat meminimalisir dari efek samping yang ditimbulkan oleh
paraffin yaitu megurangi penyerapan vitamin larut lemak oleh tubuh
(Gunawan , 2007). Konsentrasi 0,01 (Rowe, 2009).
Berdasarkan pengamatan untuk uji organoleptik meliputi, warna,
rasa, dan bau. Hasil yang didapatkan sediaan memiliki warna kuning, bau
khas oleum citri, dan rasa agak manis. Hasil pengamatan yang didapatkan
sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan. Pada pH, dimana rentang pH
yang diharapkan sesuai spesifikasi yaitu 5-7 (Nining, 2018). Pada saat
praktikum, sediaan emulsi yang diuji pH yang didapatkan yaitu pH 4
dengan menggunakan pH universal yang dicelupkan dalam sediaan
emulsi, hasil pengamatan yang dilakukan tidak sesuai dengan spesifikasi
yang diharapkan. Uji volume terpindahkan, uji ini dilakukan dengan cara
menuang sediaan dari botol kedalam gelas ukur kemudian diamati volume
yang tertera pada gelas ukur, dimana diharapkan volume yang tertera
sesuai dengan volume sediaan sesungguhnya yaitu 50 mL (<95%) dalam
satu botol. Setelah dilakukan pengujian didapatkan volume terpidahkan
dari sediaan yaitu 49 mL. Hasil yang didapatkan sesua idengan spesifikasi
yang diharapkan. Persyaratannya disebutkan volume rata-rata dari 10
botol tidak kurang dari 100% dan tidak ada 1 wadah kurang dari 95% dari
volume yang tertera pada etiket (Departemen Kesehatan, 1979).
Pengujian tipe emulsi yang dilakukan yaitu pengenceran dimana
spesifikasi yang diharapkan pada uji ini adalah tipe emulsi M/A,
yang dilakukan dengan cara memasukkan 5 mL sediaan emulsi kedalam
tabung reaksi dan 5 mL aquadest. Dimana hasil yang didapatkan yaitu
tipe emulsi M/A, hal ini sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Dalam memformulasikan sediaan emulsi yang baik dan stabil,
diperlukan bahan yang dapat menstabilkan sediaan emulsi, dapat
dilakukan dengan penambahan bahan pengemulsi (emulgator/
emulsifiying/surfaktan) berupa tween 80 dan span 80 serta bahan
pengental (viskositas) yang dapat menaikkan stabilitas suatu emulsi.
2. Dalam membuat sediaan emulsi yang baik perlu dipertimbangkan hal-
hal yang dapat mempengaruhi kestabilan dari suatu emulsi, dalam
pembuatan sediaan emulsi ini dilakukan dengan metode gom basah.
3. Hasil evaluasi sediaan emulsi, uji organoleptik diperoleh warna kuning,
bau khas oleum citri, dan rasa agak manis dimana sesuai dengan
spesifikasi. Pada uji pH, diperoleh sediaan dengan pH 4 dimana tidak
sesuai dengan spesifikais yaitu pH 5-7. Pada uji volume terpindahkan
didapatkan volume terpidahkan yaitu 49 mL, dimana sesuai dengan
spesifikasi volume sediaan sesungguhnya yaitu 50 mL (<95%) dalam
satu botol. Pada pengujian tipe emulsi dilakukan dengan pengenceran
didapat hasil sesuai dengan spesifikasi yaitu tipe emulsi M/A.
V.2 Saran
V.2.1 Untuk Asisten
Tetap pertahankan sifatnya yang ramah kepada praktikan dan Agar
tetap mendampingi praktikan dalam proses praktikum.
V.2.2 Untuk Dosen
Agar mendampingi praktikan khususnya dalam proses praktikum.
V.2.3 Untuk Laboratorium
Agar alat dan bahan lebih diperlengkap lagi sehingga dalam
praktikum, praktikan dapat meminimalisir waktu khususnya dalam proses
penimbangan.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M., 1996. Penggolongan Obat berdasarkan Khasiat dan
Penggunaannya. Gadjah Mada University Press; Yogyakarta.

Anief, M., 1993. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek. Gajah Mada
University Press; Yogyakarta.

Anief, M. 1994. Farmasetika. Gadjah Mada University Press; Yogyakarta.

Anief, M. 2007. Farmasetika. Gadjah Mada University Press; Yogyakarta.

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat.


terjemahan Farida Ibrahim, Universitas Indonesia (UI-Press); Jakarta.

Aulton.1991. Pharmaceutis The Suence of Dosage Form Design. ELB5


Fondan by British Goverment United Kingdom.

Chabib. L. Murukmihadi M, Aprianto. 2013. Pengaruh Pemberian Variasi


Campuran Sorbitol Dan Glukosa Cair Sebagai Pemanis Pada Sediaan
Gummy Candy Parasetamol. Jurnal ilmiah farmasi. 10(20): 69-77.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Departemen


Kesehatan RI; Jakarta.

Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Keempat. Departemen


Kesehatan RI; Jakarta.

Dirjen POM. 2014. Farmakope Indonesia Edisi Kelima. Departemen


Kesehatan RI; Jakarta.

Dewi R. 2016. Pengalaman Mahasiswa Dengan Penyakit Kronik. Indones


J Nurs Heal Sci. Volume 1 N.

Gennaro. A. R. 1990. Remingtons Pharmaceutical Science 8th ed.Mock


Publ.Co.Easton.

Gunawan Sulistra. 2007. Farmakologi Dan Terapi. FK UI; Jakarta.

Lachman,L.,Liberman, H.A., Karrig, J.L., 1994, Teori dan Praktek Farmasi


Industri, diterjemahkan oleh Siti Suyatmi, jilid 2, Edisi III, Penerbit UI;
Jakarta.

Martin, A., J. Swarbrick, dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik: Dasar-


dasar Farmasi Fisik dalam Ilmu Farmasetik. Edisi Ketiga.Penerjemah:
Yoshita. UI-Press; Jakarta.
M. ilham Tomragelar. 2003. Formulasi Emulasi Oral Minyak Jintan Hitam
Dengan Bahan Pengental. As-Syifa Vol 05 No.2.

Pakki, Emina. Mirnawati. Muh. Darwis.2010. Formulasi Dan Evaluasi


Kestabilan Fisik Emulsi Grandra Tipe A/M/A Dengan Emulgator Span
Tween 80. Majalah Farmasi Dan Farmakologi Vol 14 No.2.

Rowe et all,. 2009. Handbook Of Pharmaceutical excipients edition 6th.


Pharmaceutical express; London.

Santi, Sinila, 2016. Farmasi Fisik. Pusdik SDM Kesehatan; Jakarta.

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, PT. Elex
Media Komputindo; Jakarta.

Voight. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Gadjah Mada University


Press; Yogyakarta.

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka
Utama; Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai