Cerpen Nostalgia
Cerpen Nostalgia
Cerpen Nostalgia
ORIENTASI
“Jika memang rasaku ini semu, maka ia akan hilang seiring dengan berjalannya waktu”
Kataku terkias di atas secarik kertas, kutulis dengan pena kesayanganku.
Dengan pena itu kucoba rapal bayangnya yang hanya ada dalam anganku. Bahkan bungkus coklat itu
masih hangat dalam ingatku. Sampai saat ini ia masih kusimpan apik di dalam bukuku. Darinya dulu.
Meski bukan sebuah kado istimewanya untukku. Ia berikan sebungkus coklat pada semua muridnya
dulu. Tepatnya sebagai tanda perpisahan karena ia akan melanjutkan studinya di tempat yang bahkan
saat itu aku belum tau. Dan kejadian itu telah berlalu tiga tahun yang lalu. Rasanya, ingin mengulang
kembali kenangan itu. Melihatnya yang sibuk mengajari muridnya yang nakal, dan juga
mendengarkan cerita darinya yang sangat penuh akan hikmah.
Aila, namaku Laila Azizatus Zahra. Saat ini umurku genap tujuh belas tahun. Tepat satu bulan yang
lalu ulang tahunku. Kata orang-orang umur tujuh belas itu masa jatuh cinta. Masa yang
menyenangkan katanya. Tapi justru aku takut, aku lebih memilih menjadi anak kecil yang tak
mengerti apa-apa, dari pada menjadi remaja. Masaku sekarang ini adalah masa transisi dan pencarian
jati diri. Itulah yang membuatku takut. Aku takut jatuh cinta yang pada akhirnya akan membuatku
jatuh pada lubang yang sangat dalam, hingga aku sulit keluar dari lubang itu. Dan rasa ini, rasa
kagumku padanya. Mungkin hanya rasa biasa, mungkin.
Hobiku menulis. Menulis segala tentangnya. Berkhayal dengan cerita tak masuk akal, berimajinasi
dengan cerpen fantasi. Ia yang selama ini selalu memenuhi sajak puisiku. Ia adalah tokoh utama di
setiap ceritaku.
Dan namanya adalah Kak Ali. Sosok guru yang Sholih dan tawadhu’. Ia adalah guru favoritku sewaktu
aku duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah. Aku mengaguminya. Mengagumi setiap perbuatannya,
mengagumi setiap perkataanya, mengagumi sikapnya, mengagumi semua yang ada pada dirinya.
RANGKAIAN PERISTIWA
“Krriiinggg” bel sekolahku berbunyi satu kali. Tanda pelajaran akan berganti.
Lamunanku terpecah. lamunanku tentangnya sedari tadi, tepatnya sejak guru matematikaku masuk
ke dalam kelas. Pelajaran matematika itu memang membosankan, hanya membahas angka, angka,
dan angka.
Beberapa menit kemudian. Palajaran berganti, pak Aman masuk ke kelasku. Ia adalah guru bahasa
indonesia yang cukup fenomenal dengan penilaian sinisnya terhadap murid-muridnya. Dengan segera
kumasukkan buku matematikaku dan mengeluarkan buku bahasa indonesiaku. Tumpukan kertas yang
kujepit dengan tablechis juga kukeluarkan, barang kesayanganku yang selalu kubawa. Penaku juga
telah kupegang dengan erat, seakan jariku enggan melepaskannya.
Kali ini kami mempelajari mengenai sajak dan puisi. Pas sekali denganku, ini memang bagian yang
sudah aku nanti-nanti. Pak Aman mulai menjelaskan, lalu kami diminta membuat contoh puisi.
Aku masih sangat ingat saat pertama kali aku mengenalnya. Aku tak pernah melupakan meski hanya
secuil kenangan tentangnya. Bagaimana aku bisa lupa, sedang semua peristiwa tentangnya selalu
kutancapkan dengan erat dalam kepalaku.
Matahari mulai terbenam. Menyusup lewat celah perbukitan. Cahaya mega mulai menyeruak dari balik
pepohonan dan rerumputan. Dan malam pun telah siap menyelimuti langit bersama rembulan dan
bintang-bintang. Aku masih termangu di depan rumah, menanti orang-orang pulang dari sholat
maghrib berjamaah di mushola. Ketika mereka pulang, barulah aku berangkat mengaji bersama
temanku. Umurku masih tiga belas tahun.
Kulepaskan sandal dari kaki kiriku, lalu kulanjutkan dengan kaki kanan. Aku dan teman-teman
langsung masuk ke ndalem. Di sana sudah ada temanku yang lainnya. Kami memulai kajian dengan
berdoa bersama.
“Itu siapa? Guru baru ya?” Tanyaku pada teman di sampingku.
“Kak Ali namanya”
“O… Yang namanya Kak Ali ini orangnya”
Sistem mengajar di tempat mengajiku membagi kami menjadi tiga kelas. Kelas Ula, kelas Wustho,
dan kelas Aliy. Aku berada di kelas Aliy. Dan ia mengajar di kelas Ula. Memang tak berada di satu
ruangan, tapi aku sengaja lewat di depan kelas tempat ia mengajar. Hanya untuk sekedar
mengintipnya yang sedang sibuk menertibkan murid-muridnya. Maklum saja, yang ia ajar mayoritas
anak yang masih di bangku taman kanak-kanak.
Saat itu ia masih bersekolah di sekolah yang sama denganku. Ia masih kelas tiga Madrasah Aliyah,
dan aku di kelas tiga Madrasah Tasanawiyah. Dia adalah salah satu santri di pondok tempatku
mengaji. Tapatnya santri yang baru saja pindah ke pondok itu beberapa hari yang lalu.
Sejak saat itulah aku mulai mengenalnya. Meski ia mungkin tak mengenalku. Kuputuskan untuk
menjadikannya guru favoritku. Meski ia tak pernah mengajar kelasku.
Ia mempunyai warna kesukaan yang sama denganku. Dulu kebetulan hobiku juga sama dengannya.
Menggambar. Kegemaran yang sama sekali tak pernah terlewatkan di setiap hariku. Pelukis, itu
menjadi sebuah impian yang ingin aku wujudkan sejak dulu. Dan ia menjadi sebuah bumbu yang luar
biasa pada hobiku itu. Masih kuingat pertama kali ia mulai mengenalku.
Tanganku mulai menari di atas layar ponsel. Mencari-cari kata indah penuh majas dan merangkai
sebait frasa indah untuknya. Sebenarnya bukan hanya untuknya saja. Kukirimkan puisi itu pada
semua guruku. Hanya sekedar rangkaian kata bertemakan islami. Ia bertanya nomor siapa ini. Sontak
aku langsung menjawab dengan menuliskan nama panjangku.
Mungkin ia pernah melihatku yang asyik ngobrol dengan temanku saat mengaji. Hingga aku tak perlu
menjelaskan panjang lebar mengenai diriku.
Dan waktu berlalu. Ia mulai dikenal banyak murid. Sebagai guru yang tampan, guru yang
menyenangkan, guru yang pandai menggambar, dan sebagainya. Tapi bagiku ia guru yang paling
istimewa.
Beberapa bulan berlalu. Kini umurku empat belas tahun. Kami semua semakin akrab dengannya.
Apalagi dengan adanya pertukaran guru antar kelas. Minggu pertama kami diajar Kak Hanafi. Lalu
minggu kedua Kak Shidqon. Dan ini minggu yang paling istimewa, minggu ketiga kami diajar Kak Ali.
Benar-benar sangat menyenangkan.
“Kakak mau lanjut ke mana? Kuliah apa mondok?” Tanya salah seorang temanku padanya.
“Lihat nanti aja ya…” Jawabnya gampang.
“Mau mondok kan”
“Doakan saja”
“Berarti nggak bakalan ketemu kakak lagi dong, jangan-jangan pas balik ke sini udah berkeluarga”
Goda temanku.
Kuharap tidak. Kuharap nantinya ia masih sering-sering ke sini. Hanya sekedar sowan atau apalah.
Aku hanya mampu terdiam, aku tak berani berbicara padanya seperti temanku yang lainnya. Ketika ia
pergi, ketika itulah aku tak akan melihatnya lagi. Aku tak bisa lagi melihat guru favoritku itu.
“Tolong dibuka halaman 114, silahkan dikerjakan. Lalu jawabannya tulis di bukumu!” Kata Pak Aman
pada murid-murid. Dan seperti biasa jawabannya pasti “Iya, Pak…”
Dan kembali lamunanku tentangnya terpecah. Memang saat ini bukan waktunya aku terbang tinggi
dalam nostalgiaku. Apalagi pelajarannya bahasa indonesia, pelajaran yang satu tahun belakangan ini
menjadi mata pelajaran kesukaanku. Rugi jika kulewatkan pengajaran Pak Aman. Dan tanpa terasa
bel berbunyi tiga kali, tanda sekolah telah usai. Pak Aman keluar. Dan kami pun bersiap untuk pulang.
Berdoa dengan mengikuti panduan dari audio sekolah.
Hari ini panas sekali. Air dalam botol minumanku pun telah habis, setetes pun tak tersisa. Terlihat di
depanku ada dua sekawan yang sedang berdiri di bawah parkiran, sekedar perteduh dari teriknya
matahari. Wajah mereka mengerut kepanasan, mata mereka pun ikut menyipit. Mereka semua
pulang, kembali ke rumah masing-masing, dan bersiap dengan tugas rumah untuk pelajaran esok
hari.
Dan aku. Aku masih harus bersabar untuk pulang. Tugas dari para mashayikh telah menantiku. Sudah
hampir dua tahun ini aku menjadi salah satu dari pengurus OSIS. Sebuah kebanggaan memang,
menjadi orang yang dipilih dari ribuan murid di sekolahku. Tapi tak jarang juga menjadi hal yang
kukeluhkan.
“Assalamu’alaikum kantor” aku masuk, dan meletakkan tasku dikursi.
Hari ini aku sangat sibuk. Tepat dua minggu lagi kepengurusan kami akan diganti. Aku dan teman-
temanku akan segera reorganisasi dari OSIS. Kebetulan aku ada dibagian dekorasi bersama Alin.
Rencananya hari ini kami akan membeli barang-barang keperluan dekorasi acara debat calon ketua
esok hari. Dengan segera kami berangkat ke toko tujuan kami.
Dan saat ini. Saat duniaku dipenuhi barang-barang itu. Saat hariku tak pernah terlepas dari pensil
warna, kuas dan cat. Ia tak lagi ada. Ia telah miliki kesibukan lainnya diluar sana. Ingin rasanya
kutunjukkan hasil karyaku padanya. Meski mungkin tak ada pujian “gambar kamu bagus” atau
perkataan sejenisnya, tapi setidaknya ia akan tau itu adalah karyaku. Setidaknya ia pernah melihat
karyaku yang lebih baik dari gambaran konyolku dahulu.
Angin berhembus dari arah selatan. Bersama dengan suara gemuruhnya. Semakin menambah dingin
malam ini. Aku dan teman-teman berjalan bersama menuju pondok. Sudah beberapa hari ini aku tak
mengaji karena sakit.
“Ini gambaran kamu, La?” Tanya Raisa padaku.
“Iya. Kenapa?” Jawabku.
“Bagus banget…”
“Ah, biasa aja”
“Pinjem ya” Kata Raisa sambil memegang kertas itu.
KOMPLIKASI
Lalu Raisa pergi dan menyodorkan kertas itu kepada dia. Memberitahunya bahwa gambar itu hasil
karyaku. Dia sedang duduk sambil memperhatikan murid-murid kecilnya. Malu memang, karena
hanya sebuah coretan sketsa tak jelas yang tak bisa kubanggakan didepannya. Dia tak berkata
sedikitpun, enggan berkomentar meski hanya dengan kata indah atau bagus. Ia hanya tersenyum
manis melihat gambaku itu.
“Aila! Kita jadi beli yang mana? Hijau apa biru?” Teriak Alin padaku.
“Loh, kok. Bukan kertas yang ini…”
“Kamu sih.. Dari tadi aku nanya, kamu malah di sini. Megang kuas sambil senyum-senyum lagi”
“Cuma keinget cerita dulu aja”
“Cerita apa?” Tanya Alin penasaran.
“Itu kertasnya, aku ambil dulu ya” Kataku mengalihkan pembicaraan.
“Ah, Aila.. Cerita apa?”
“Cerita pendek, cerpen” Jawabku menyeleweng.
—
Dua tahun telah berlalu. Umurku telah genap enam belas tahun tepat satu bulan yang lalu. Dan aku
masih mengaguminya. Sudah dua puluh lima bulan ini aku tak pernah lagi melihatnya, mendengar
suaranya. Tak pernah sekalipun aku bertemu dengannya. Setelah malam itu ia memberikan
sebungkus coklat pada murid-muridnya. Sejak saat itulah ia menghilang. Pergi melanjutkan studinya
di sebuah pondok yang sangat jauh dari daerahku.
Hari ini sangat membosankan. Aku hanya tidur sepanjang siang. Sambil memelototi layar ponselku.
Membuka beranda dan menelusuri akun-akun temanku.
“Assalamu’alaikum, Mbak” Katanya dalam chat facebook.
Aku terkejut setengah mati. Benarkah ini dia. Yang dulu diam-diam kulihat dari kejauhan, yang dulu
selalu kuperhatikan saat mengaji. Ternyata ia masih ingat denganku.
“Wa’alaikumussalam, Kak” Jawabku singkat. Tanganku masih gemetar.
“Apa kabar?”
“Baik, kakak juga apa kabar?” Aku balik bertanya padanya.
“Baik juga, pondok apa kabar sekarang?”
“Sekarang pondoknya diperluas lho, Kak. Kakak kapan maen ke sini?” Tanyaku penuh harap semoga
ia lekas kemari dan menyapa aku dan teman-teman di sini.
“Belum tau” Jawabnya membuatku lemas.
“Kapan Khatam?” Godaku padanya.
“Doain aja, cepet khatam. Aila Qur’annya gimana? Masih jalan kan?” Pertanyaannya yang membuat
dadaku tiba-tiba saja sesak. Tanganku semakin bergetar dan basah dengan keringat dingin.
“Berhenti, Kak. Udah nggak pernah lagi setoran. Tapi masih pengen lanjut lagi”
“Yang penting Murojaahnya, jangan lupa murojaahnya yang istiqomah”
Aku masih tak percaya. Baru saja aku chattingan dengan guru favoritku itu. Aku masih berharap
bertemu dengannya. Tapi jika memang tak bisa, aku masih bisa menyapanya lewat chat seperti ini.
Sejak saat itu. Kami sering chatting via facebook. Meski hanya sebulan sekali, tapi ini sudah cukup
untukku. Padahal, dulu saat ia ada di tempat yang sama denganku, aku tak pernah ngobrol
dengannya. Sepertinya jarak dan waktu telah berhasil membuatku akrab dan lebih mengenalnya. Ia
selalu memberikan motivasi dan juga semangat. Tak salah aku menjadikannya guru favoritku.
Akhirnya kami mendapatkan barang keperluan yang kami butuhkan. Dan kami pun kembali ke
sekolah.
“Kapan nih kita bikin hiasannya?” Tanyaku.
“Langsung sekarang aja” Jawab Alin.
“Astaghfirullah.. Lupa, kertas duplex-nya kan kita belum beli”
“Tadi katanya udah semuanya, jadi balik lagi dong ke sana”
RESOLUSI
Akhirnya kami kembali ke toko itu. Membeli barang yang kami butuhkan dan kembali ke sekolah lagi.
Lelah sekali rasanya, tapi bagaimanpun ini adalah tugas kami. Yang memang seharusnya kami
kerjakan.
Kuputuskan untuk menunggunya lewat seperti yang Mia katakan tadi. Kulihat jalan itu, satu jam
berlalu. Dan dia belum juga lewat di jalan itu. Hingga dua jam berlalu, ia belum juga melewati jalan
itu.
Mungkin memang belum saatnya aku bertemu dengannya. Bukan hari ini, mungkin esok, bulan
depan, tahun depan, atau entah kapan. Tapi aku yakin Allah akan mempertemukan aku dengannya.
Entah kapan waktunya, entah di mana tempatnya, dan entah dengan keadaan seperti apa.
Semua kenangan tentangnya, peristiwa tentangnya, dan segala tentangnya. Akan selalu kusimpan
dalam memoriku. Ia akan tetap menjadi guru favoriku. Dan aku akan terus mengaguminya.
LATAR TEMPAT :
sekolah
LATAR SUASANA:
Penuh drama dengan kesan ceria dan kenangan Aliya dengan guru favoritnya
Raisa:baik
Mia: baik
Ali : baik
AMANAT: Semua kenangan tentangnya, peristiwa tentangnya, dan segala tentangnya. Akan selalu
kusimpan dalam memoriku. Ia akan tetap menjadi guru favoriku. Dan aku akan terus mengaguminya
SUDUT PANDANG: