(LP) Meningitis Sakura
(LP) Meningitis Sakura
(LP) Meningitis Sakura
Oleh:
Elya Triwiyan Sari, S.Kep
NIM 182311101097
Mahasiswa
DAFTAR PUSTAKA
ii
Halaman
HALAMAN JUDUL..................................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................................. iii
LAPORAN PENDAHULUAN.................................................................................................... 1
A. Anatomi Fisiologi............................................................................................................................. 1
B. Definisi................................................................................................................................................. 2
C. Epidemiologi...................................................................................................................................... 2
D. Etiologi................................................................................................................................................. 3
E. Tanda dan Gejala.............................................................................................................................. 3
F. Patofisiologi dan Clinical Pathway............................................................................................ 3
G. Pemeriksaan penunjang................................................................................................................ 6
H. Penatalaksanaan Medis................................................................................................................. 6
I. Penatalaksanaan Keperawatan.................................................................................................. 7
Daftar Pustaka.......................................................................................................................... 23
iii
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Anatomi Fisiologi
Meninges adalah sistem membran yang melapisi sistem saraf pusat. Meningen tersusun
atas unsur kolagen dan fibril yang elastis serta cairan serebrospinal Meninges terbagi menjadi
tiga lapisan, yaitu duramater, arachnoid dan piameter. Dura mater juga disebut sebagai
pachymeninx (membran keras), sedangkan arachnoid mater dan pia disebut sebagai
leptomeninges (Membran halus). Fungsi utama meninges dan kelenjar serebrospinal adalah
untuk melindungi sistem saraf pusat.
1. Duramater
Duramater kadangkala disebut pachimeningen atau meningen fibrosa karena
tebal, kuat, dan mengandung serabut kolagen. Pada duramater dapat diamati adanya
serabut elastis, fibrosit, saraf, pembuluh darah, dan limfe. Lapisan dalam dura mater
terdiri dari beberapa lapis fibrosit pipih dan sel-sel luar dari lapisan arachnoid.
2. Arachnoid
Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk pipih dan serabut kolagen.
Lapisan arachnoid mempunyai dua komponen, yaitu suatu lapisan yang berhubungan
dengan duramater dan suatu sistem trabekula yang menghubungkan lapisan tersebut
dengan piamater. Ruangan di antara trabekula membentuk ruang subarachnoid yang
berisi cairan serebrospinal dan sama sekali dipisahkan dari ruang subdural. Pada
beberapa daerah, arachnoid melubangi duramater, dengan membentuk penonjolan
yang membentuk trabekula di dalam sinus venous dura mater.
Bagian ini dikenal dengan vilus arachnoidalis yang berfungsi memindahkan
cairan serebrospinal ke darah sinus venous. Arachnoid merupakan selaput yang tipis
dan transparan. Arachnoid berbentuk seperti jaring laba-laba. Antara Arachnoid dan
piameter terdapat ruangan berisi cairan yang berfungsi untuk melindungi otak bila
terjadi benturan. baik arachnoid dan piameter kadang-kadang disebut
sebagai leptomeninges.
3. Piamater
Piameter adalah membran yang sangat lembut dan tipis. Lapisan ini melekat
pada otak. Pia mater mengandung sedikit serabut kolagen dan membungkus seluruh
permukaan sistem saraf pusat dan vaskula besar yang menembus otak.
1
B. Definisi Meningitis
3
melewati sel epitel ke dalam ruang intravaskuler di mana bakteri relatif terlindungi dari
respons humoral komplemen karena kapsul polisakarida yang dimilikinya.
Bakteri memasuki ruang subaraknoid dan cairan serebrospinal (CSS) melalui pleksus
koroid atau kapiler serebral. Perpindahan bakteri terjadi melalui kerusakan endotel yang
disebabkannya. Seluruh area ruang subaraknoid yang meliputi otak, medula spinalis, dan
nervus optikus dapat dimasuki oleh bakteri dan akan menyebar dengan cepat. Hal ini
menunjukkan meningitis hampir pasti selalu melibatkan struktur serebrospinal. Infeksi juga
mengenai ventrikel, baik secara langsung melalui pleksus koroid maupun melalui refl uks
lewat foramina Magendie dan Luschka.
Bakteri akan bermultiplikasi dengan mudah karena minimnya respons humoral
komplemen CSS. Komponen dinding bakteri atau toksin bakteri akan menginduksi proses infl
amasi di meningen dan parenkim otak. Akibatnya, permeabilitas SDO meningkat dan
menyebabkan kebocoran protein plasma ke dalam CSS yang akan memicu infl amasi dan
menghasilkan eksudat purulen di dalam ruang subaraknoid. Eksudat akan menumpuk dengan
cepat dan akan terakumulasi di bagian basal otak serta meluas ke selubung saraf-saraf kranial
dan spinal. Selain itu, eksudat akan menginfi ltrasi dinding arteri dan menyebabkan penebalan
tunika intima serta vasokonstriksi, yang dapat mengakibatkan iskemia serebral. Tunika
adventisia arteriola dan venula subaraknoid sejatinya terbentuk sebagai bagian dari membran
araknoid. Dinding vasa bagian luar sebenarnya sejak awal sudah mengalami proses infl amasi
bersamaan dengan proses meningitis (vaskulitis infeksius).
Selanjutnya, dapat terjadi syok yang mereduksi tekanan darah sistemik, sehingga dapat
mengeksaserbasi iskemia serebral. Selain itu, MB dapat menyebabkan trombosis sekunder
pada sinus venosus mayor dan tromboflebitis pada vena-vena kortikal. Eksudat purulen yang
terbentuk dapat menyumbat resorpsi CSS oleh villi araknoid atau menyumbat aliran pada
sistem ventrikel yang menyebabkan hidrosefalus obstruktif atau komunikans yang disertai
edema serebral interstisial. Eksudat tersebut juga dapat mengelilingi saraf-saraf kranial dan
menyebabkan neuropati kranial fokal (Meisadona et al, 2015).
4
Clinical Pathway
Kejang
Prosedur Kelemahan Pe
invasif fisik Permeabilitas
Risiko lumbal kapiler dan
injuri pungsi relensi cairan
Gangguan
ADL
Risiko kelebihan
volume cairan
5
G. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis MB ditegakkan melalui analisis CSS, kultur darah, pewarnaan CSS, dan
biakan CSS. Pada prinsipnya, pungsi lumbal harus dikerjakan pada setiap kecurigaan
meningitis dan/atau ensefalitis. Pada pemeriksaan darah, MB disertai dengan peningkatan
leukosit dan penanda infl amasi, dan kadang disertai hipokalsemia, hiponatremia, serta
gangguan fungsi ginjal dengan asidosis metabolik. Pencitraan otak harus dilakukan
secepatnya untuk mengeksklusi lesi massa, hidrosefalus, atau edema serebri yang merupakan
kontraindikasi relatif pungsi lumbal. Jika pencitraan tidak dapat dilakukan, pungsi lumbal
harus dihindari pada pasien dengan gangguan kesadaran, keadaan immunocompromised
(AIDS, terapi imunosupresan, pasca-transplantasi), riwayat penyakit sistem saraf pusat (lesi
massa, stroke, infeksi fokal), defisit neurologik fokal, bangkitan awitan baru, atau papil
edema yang memperlihatkan tanda-tanda ancaman herniasi.
Tekanan pembukaan saat pungsi lumbal berkisar antara 20-50 cmH2O. CSS biasanya
keruh, tergantung dari kadar leukosit, bakteri, dan protein. Pewarnaan Gram CSS memberi
hasil meningokokus positif pada sekitar 50% pasien dengan meningitis meningokokal akut.
Kultur darah dapat membantu, namun tak selalu bisa diandalkan. Pemeriksaan polymerase
chain reaction (PCR) bersifat sensitif terhadap Streptococcus pneumoniae dan Neisseria
meningitidis (Clarke et al, 2016)
H. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah pemberian antibiotik dan steroid.
1. Antibiotik
a. Berikan pengobatan antibiotik lini pertama sesegera mungkin.
seftriakson: 100 mg/kgBB IV-drip/kali, selama 30-60 menit setiap 12 jam; atau
sefotaksim: 50 mg/kgBB/kali IV, setiap 6 jam.
b. Pada pengobatan antibiotik lini kedua berikan:
Kloramfenikol: 25 mg/kgBB/kali IM (atau IV) setiap 6 jam ditambah ampisilin: 50
mg/kgBB/kali IM (atau IV) setiap 6 jam
c. Jika diagnosis sudah pasti, berikan pengobatan secara parenteral selama sedikitnya 5
hari, dilanjutkan dengan pengobatan per oral 5 hari bila tidak ada gangguan absorpsi.
Apabila ada gangguan absorpsi maka seluruh pengobatan harus diberikan secara
parenteral. Lama pengobatan seluruhnya 10 hari.
d. Jika tidak ada perbaikan:
6
-Pertimbangkan komplikasi yang sering terjadi seperti efusi subdural atau abses
serebral. Jika hal ini dicurigai, rujuk.
-Cari tanda infeksi fokal lain yang mungkin menyebabkan demam, seperti selulitis
pada daerah suntikan, mastoiditis, artritis, atau osteomielitis.
-Jika demam masih ada dan kondisi umum anak tidak membaik setelah 3–5 hari,
ulangi pungsi lumbal dan evaluasi hasil pemeriksaan CSS
e. Jika diagnosis belum jelas, pengobatan empiris untuk meningitis TB dapat
ditambahkan. Untuk Meningitis TB diberikan OAT minimal 4 rejimen:
-INH: 10 mg/kgBB /hari (maksimum 300 mg) - selama 6–9 bulan
-Rifampisin: 15-20 mg/kgBB/hari (maksimum 600 mg) – selama 6-9 bulan
-Pirazinamid: 35 mg/kgBB/hari (maksimum 2000 mg) - selama 2 bulan pertama]
-Etambutol: 15-25 mg/kgBB/hari (maksimum 2500 mg) atau Streptomisin: 30-50
mg/kgBB/hari (maksimum 1 g) – selama 2 bulan
2. Steroid
Prednison 1–2 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis, diberikan selama 2–4 minggu,
dilanjutkan tapering off. Bila pemberian oral tidak memungkinkan dapat diberikan
deksametason dengan dosis 0.6 mg/kgBB/hari IV selama 2–3 minggu.
I. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Anamnesa
a. Identitas Pasien
Identitas meliputi data demografi klien yang terdiri dari nama, usia, alamat, pekerjaan,
jenis kelamin, agama, status pernikahan, Nomor RM, Tanggal masuk rumah
sakit,diagnosa medis, dan tingkat pendidikan.
b. Keluhan Utama
c. Riwayat penyakit sekarang
d. Riwayat penyakit dahulu
e. Riwayat penyakit keluarga
f. Pengkajian pola fungsi Gordon
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
b) Pola nutrisi dan metabolisme
c) Pola eliminasi
7
d) Pola aktivitas dan latihan
e) Pola tidur dan istirahat
f) Pola hubungan dan peran
g) Pola persepsi dan konsep diri
h) Pola sensori dan kognitif
i) Pola reproduksi seksual
j) Pola managemen stress dan koping
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik bagi penderita meningitis sebaiknya dilakukan secara per sistem
(B1-B6) dengan fokus pengkajian pada pemeriksaan B3 atau brain yang terarah yang
dihubungkan dengan keluhan-keluhan pasien. Pemeriksaan fisik dimulai dengan
memeriksa tanda-tanda vital (TTV).Pada klien dengan meningitis biasanya
didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal, yaitu 38-41 oC, dimulai
dari fase sistemik, kemerahan, panas, kulit kering, berkeringat. Keadaan ini
biasanyadihubungkan dengan proses inflamasi dan iritasi meningen yang
sudahmengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi
terjadiberhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK.
a. Tingkat kesadaran
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien meningitis biasanyaberkisar
pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami
koma maka penilaian GCS sangat penting untukmenilai tingkat kesadaran
klien dan bahan evaluasi untuk memantaupemberian asuhan keperawatan.
b. Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilaigaya bicara
klien dan observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorikyang pada klien meningitis
tahap lanjut biasanya status mental klienmengalami perubahan.
c. Pemeriksaan saraf kranial
1) Saraf I. Biasanya pada klien meningitis tidak ada kelainan fungsipenciuman.
2) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan
papiledema mungkin didapatkan terutama pada meningitis supuratif disertai
abses serebri dan efusi subdural yangmenyebabkan terjadinya peningkatan TIK.
8
3) Saraf III, IV, dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil padaklien meningitis
yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanyatanpa kelainan. Pada tahap
lanjut meningitis yang telahmengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan
dari fungsi danreaksi pupil akan didapatkan. Dengan alasan yang tidak
diketahui,klien meningitis mengeuh mengalami fotofobia atau sensitif
yangberlebihan terhadap cahaya.
4) Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkanparalisis pada
otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak adakelainan.
5) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajahsimetris.
6) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tulipersepsi.
7) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik.
8) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Adanya
usaha dari klien untuk melakukan fleksi leherdan kaku kuduk (regiditas nukal)
9) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidakada fasikulasi.
Indra pengecapan normal.
d. Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada meningitis
tahap lanjut mengalami perubahan.
e. Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respons normal. Refleks patologis akan didapatkan
pada klien meningitis dengan tingkat kesadaran koma.Adanya refleks
Babinski (+) merupakan tanda adanya lesi UMN.
f. Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kedutan saraf, dan distonia. Pada
keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutamapada
anak dengan meningitis disertai peningkatan suhu tubuh yangtinggi.
Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan denganmeningitis. Kejang
terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yangpeka.
g. Sistem sensorik
Pemeriksaan sensorik pada meningitis biasanya didapatkan sensasiraba,
nyeri, dan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaa tubuh.
Sensasi proprioseptif dan diskriminatif normal.
9
2. Diagnosa Keperawatan yang sering muncul
2. Hipertermi (00007)
10
Definisi : Suhu inti tubuh diatas kisaran normal diurnal karena kegagalan
termoregulasi.
Batasan Karakteristik :
- Apnea
- Bayi tidak dapat mempertahankan menyusu
- Gelisah
- Hipotensi
- Kejang
- Koma
- Kulit kemerahan
- Kulit terasa hangat
- Letargi
- Postur abnormal
- Stupor
- Takikardia
- Takipnea
- Vasodilatasi
3. Ketidakefektifan pola nafas (00032)
Definisi: Inspirasi dan ekspirasi yang tidak memberi ventilasi
Batasan karakteristik:
- Perubahan kedalaman pernafasan
- Perubahan pergerakan otot dada
- Bradipnea
- Penurunan tekanan ekspirasi
- Dipsneu
- Penurunan kapasitas vital
- Pernafasan cuping hidung
- Terjadi purse libs breathing
- Takipnea
- Penggunaan otot aksesoris pernafasan
- Fase ekspirasi memanjang
4. Nyeri akut (00132)
Definisi : Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan dan muncul
akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial atau yang digambarkan sebagai
11
kerussakan
Batasan Karakteristik :
- Bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar periksa nyeri untuk pasien
yang tidak dapat mengungkapkannya
- Diaforesis
- Dilatasi pupil
- Ekspresi wajah nyeri
- Fokus menyempit
- Fokus pada diri sendiri
- Keluhan tentang intensitas menggunakan standar nyeri
- Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan mengguakan standar instrumen
nyeri
- Laporan tentang perilaku nyeri / perubahan aktivitas
- Mengekspresikan perilaku
- Perilaku distraksi
- Perubahan pada parameter fisiologi
- Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
- Perubahan selera makan
- Putus asa
- Sikap melindungi area nyeri
- Sikap tubuh melidungi
5. Mual (00134)
Definisi : Suatu fenomena subjektif tentang rasa tidak nyaman pada bagian
belakang tenggorok atau lambung, yang dapat atau tidak dapat mengakibatkan
muntah.
Batasan karakteristik :
- Keengganan terhadap makanan
- Mual
- Peningkatan menelan
- Peningkatan salivasi
- Rasa asam didalam mulut
- Sensasi muntah
6. Ansietas (00146)
Definisi : Perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respon
12
otonom; perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini
merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya
bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman.
Batasan Karakteristik :
Perilaku
- Agitasi
- Gelisah
- Gerakan extra
- Insomnia
- Kontak mata yang buruk
- Melihat sepintas
- Mengekspresikan kekhawatiran karena perubahan dalam peristiwa hidup
- Penurunan produktivitas
- Perilaku mengintai
- Tampak waspada
Afektif
- Berfokus pada diri sendiri
- Distres
- Gelisah
- Gugup
- Kesedihan yang mendalam
- Ketakutan
- Menggemerutukkan gigi
- Menyesal
- Peka
- Perasaan tidak adekuat
- Putus asa
- Ragu
- Sangat khawatir
- Senang berlebihan
Fisiologis
- Gemetar
- Peningkatan keringat
13
- Peningkatan ketegangan
- Suara bergetar
- Tremor
- Tremor tangan
- Wajah tegang
Simpatis
Parasimpatis
Kognitif
(Nanda, 2018)
7. Intoleransi aktivitas (00092)
Definisi: Ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk mempertahankan
atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus atau yang ingin
dilakukan
Batasan Karakteristik
- Dispnea setelah beraktivitas
- Perubahan elektrokardiogram(EKG) (misalnya aritmia, abnormalitas
konduksi, iskemia)
- Keletihan
- Ketidaknyamanan setelah beraktivitas
- Respons frekuensi jantung abnormal terhadap aktivitas
- Respons tekanan darah abnormal terhadap aktivitas
8. Ketidakseimbangan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh (00002)
Definisi : Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
Batasan Karakteristik :
- Berat badan 20% atau lebih dibawah rentang berat badan ideal
- Bising usus hiperaktif
- Cepat kenyang setelah makan
- Diare
- Gangguan sensasi rasa
- Kehilangan rambut berlebihan
- Kelemahan otot mengunyah
- Kelemahan otot untuk menelan
- Kerapuhan kapiler
14
- Kesalahan informasi
- Kesalahan persepsi
- Ketidakmampuan memakan makanan
- Kram abdomen
- Kurang informasi
- Kurang minat pada makanan
- Membran mukosa pucat
- Nyeri abdomen
- Penurunan berat badan dengan asupan makan adekuat
- Sariawan rongga mulut
- Tonus otot menurun
9. Risiko ketidakseimbangan volume cairan (00025)
Definisi : kerentanan terhadap penurunan, peningkatan, atau pergeseran cepat cairan
intravaskuler, interstisial, dan atau intraselular lain, yang dapat menganggu
kesehatan. Ini mengacu pada kehilangan, penambahan cairan tubuh, atau keduanya.
Faktor resiko :
- Asites
- Berkeringat
- Luka bakar
- Obstruksi intestinal
- Pankreatitis
- Program pengobatan
- Sepsis
- Trauma
15
10. Risiko cedera (00035)
Definisi : rentan mengalami cidera fisik akibat kondisi lingkungan yang berinteraksi
dengan sumber adaptif dan defensif individu, yang dapat menganggu kesehatan.
Faktor resiko :
Internal
- Disfungsi biokimia
- Disfungsi efektor
- Disfungsi imun
- Disfungsi integrasi sensori
- Gangguan mekanisme pertahanan primer
- Gangguan orientasi afektif
- Gangguan sensasi
- Hipoksia jaringan
- Malnutrisi
- Profil darah yang abnormal
- Usia ekstrem
Eksternal
- Agens nosokomial
- Gangguan fungsi kognitif
- Gangguan fungsi psikomotor
- Hambatan fisik
- Hambatan sumber nutrisi
- Mofa transportasi tidak aman
- Pajanan pada kimia toksik
- Pajanan pada patogen
- Tingkat imuniasasi di komunitas
18
2. Kekuatan tubuh komitmen klien
bagian atas
untuk
3. Kekuatan tubuh √
bagian bawah meningkatkan
4. Frekuensi nadi frekuensi dan jarak
saat beraktivitas
5. Frekuensi aktivitas
pernapasan saat 3. Bantu klien untuk
beraktivitas
mengidentifikasi
aktivitas yang
diinginkan
4. Bantu klien untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang
bermakna
5. Bantu klien untuk
menjadwalkan
waktu-waktu
spesifik terkait
dengan aktivitas
harian
6. Berkolaborasi
dengan ahli terapis
fisik, okupasi dan
terapis rekreasional
dalam perencanaan
dan pemantauan
program aktivitas,
jika memang
diperlukan
7. Bantu klien dan
keluarga untuk
mengidentifikasi
kelemahan dalam
level aktivitas
19
tertentu
8. Dorong keterlibatan
dalam aktivitas
kelompok maupun
terapi, jika memang
diperlukan
9. Bantu dengan
aktivitas fisik
secara teratur
(misalnya.,
ambulasi,
transfer/berpindah,
berputar dan
kebersihan diri),
sesuai dengan
kebutuhan
10. Ciptakan
lingkungan yang
aman
8. Risiko Setelah dilakukan perawatan 2x24 1. Monitor serum
ketidakseimba jamkeseimbangan cairan tidak mengalami
elektrolit
ngan volume penurunan dan kenaikan yang drastis
cairan (00025) dengan kriteria hasil : 2. Monitor adanya
kehilangan cairan
Tujuan
Indikator Awal
1 2 3 4 5 dan elektrolit, jika
Tekanan diperlukan
3
darah
Turgor 3. Monitor adanya
3
kulit mual, muntah dan
Berat
badan 3 diare
stabil 4. Ajarkan kepada
Keseimban
gan intake pasien cara
dan ootput 3 mencegah atau
dalam 24
jam meminimalisasi
Serum ketidakseimbangan
3
elektrolit
elektrolit
20
5. Anjurkan kepada
pasien dan/atau
keluarga mengenai
modifikasi diet
khusus, jika
diperlukan
Evaluasi
Merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatam evaluasi ini adalah
membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan dengan tujuan
yang diharapkan dalam perencanaan. Perawatan mempunyai tiga alternatif dalam
menentukan sejauh mana tujuan tercapai:
a. Berhasil: perilaku pasien sesuai pernyataan tujuan dalam waktu atau tanggal yang
ditetapkan di tujuan,
b. Tercapai sebagian: pasien menunjukkan perilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan
dalam pernyataan tujuan,
c. Belum tercapai: pasien tidak mampu sama asekali menunjukkan perilaku yang
diharapkan sesuai dengan pernyataan tujuan,
Discharge Planning
1. Berikan pendidikan kesehatan klien mengenai meningitis
2. Berikan pendidikan kesehatan pada klien mengenai komplikasi meningitis
3. Mengenali gejala kegawatan meningitis
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2016. Hospital care for children: Global Resource for Adressing the Quality of
care. Diunduh pada http://www.ichrc.org
22
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. 2016. Nursing
Intervention Classification (NIC), 6th Indonesian Edition. United Kingdom: Elseiver
Global Rights.
Meisadona, G., Soebroto, A.D., Estiasari, R. 2015. Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis
Bakterialis. Dept.Neurologi Fakultas Kedokteran:Jakarta
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. 2016. Nursing Outcomes
Classification (NOC), 5th Edition Indonesian Edition. United Kingdom: Elseiver Global
Rights
Prasad, K., Singh,M.B., Ryan,H. 2016. Corticosteroids for managing tuberculous meningitis.
Corticosteroids for managing tuberculous meningitis Review
Wilkinson, R.J., Rohlwink, U., Misra, U.K., Crevel, R.V., Mai, N.T.H., Dooley, K.E., Caws,
M., Figaji, A., Savic, R., Solomons, R., Thwaites, G.E. 2017. Tuberculous meningitis.
Nature Review Neurology. 13, pages 581–598
23