Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

TK Tempe

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 6

Nama : Sayidil Tohari

NIM : 03031281722061

FERMENTASI TEMPE

1. Fermentasi pada Tempe


Pembuatan tempe umumnya membutuhkan bahan baku kacang-kacangan
seperti kedelai, kacang tanah, atau kacang hijau. Pembuatan tempe meliputi tahapan
pembersihan biji, hidrasi atau fermentasi asam, penghilangan kulit, perebusan,
penirisan, pendinginan, inokulasi dengan ragi tempe, pengemasan, dan inkubasi.
Proses peragian dilakukan setelah proses penirisan dan pendinginan. Pemberian
ragi dilakukan dengan cara menaburkan dan mencampurkan secara merata pada
kedelai. Tahapan yang melibatkan jamur dalam pembuatan tempe adalah saat
inokulasi atau fermentasi dengan bantuan kapang dari golongan Rhizopus sp
(Cahyadi, 2006). Ragi tempe biasanya mengandung jamur Rhizopus oligosporus
dan Rhizopus oryzae, sedangkan jenis kapang lain yang juga terdapat pada ragi
tempe adalah Rhizopus stolonifer dan Rhizopus arrhizus (Babu dkk, 2009).
Rhizopus oligosporus mempunyai kemampuan dalam menghasilkan berbagai
macam enzim selama proses fermentasi tempe. Enzim lipase, amilase, fitase, dan
enzim-enzim proteolitik dihasilkan dari kapang-kapang tersebut.
Kualitas tempe dipengaruhi oleh kualitas starter yang digunakan untuk
inokulasinya. Inokulum tempe disebut juga starter atau ragi tempe. Starter tempe
merupakan bahan yang mengandung biakan jamur tempe dan digunakan sebagai
agensia pengubah kedelai rebus menjadi tempe. Jamur yang tumbuh pada kedelai
melakukan kegiatan fermentasi dan mengubah karakteristiknya menjadi tempe.
Proses fermentasi berfungsi untuk mengubah senyawa makromolekul kompleks
seperti protein, lemak, karbohidrat menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti
peptida, asam amino, asam lemak, dan monosakarida. Kapang yang tumbuh
melakukan proses hidrolisis senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih
sederhana, sehingga mudah dicerna oleh manusia. Fermentasi pada tempe dapat
menghilangkan bau langu yang disebabkan oleh aktivitas dari enzim lipoksigenase.
Proses peragian sangat menentukan kualitas tempe yang akan dihasilkan.
Menurut Suhendri (2006), jumlah inokulum ditambahkan sebesar 0,2% dari berat
bahan baku. Penggunaan ragi tempe dengan jumlah yang banyak menyebabkan
waktu fermentasi menjadi terlalu kritis, karena menyebabkan proses fermentasi
berlangsung dengan cepat. Pemakaian ragi tempe dengan jumlah yang kurang
menyebabkan mikroba kontaminan dapat tumbuh karena kapang pada ragi tidak
dapat melakukan proses fermentasi secara menyeluruh pada bahan. Penambahan
atau pengurangan jumlah ragi tempe akan mempersingkat atau memperpanjang
waktu fermentasi (Intan, 2010). Ragi tempe memegang peranan penting dalam
pembuatan tempe karena mempengaruhi mutu yang dihasilkan.
Biji-biji kedelai dibungkus dengan plastik dan ditempatkan dalam wadah
untuk fermentasi setelah proses peragian dilakukan. Proses fermentasi dilakukan
setelah bungkus plastik ditutup dan diberi lubang untuk aerasi. Fermentasi biasanya
dilakukan selama 48 jam. Fermentasi adalah perubahan kimia dalam bahan
makanan yang disebabkan oleh enzim dari kedelai yang mengandung enzim
lipoksigenase. Fermentasi menyebabkan perubahan kimia maupun fisik pada biji
kedelai. Bahan pangan umumnya merupakan medium yang baik untuk
pertumbuhan berbagai jenis mikroorganisme (Hidayat, 2006). Kapang akan
menghasilkan enzim-enzim diantaranya protease, lipase, dan fitase, sehingga
protein, lemak dan karbohidrat menjadi lebih sederhana mudah dicerna di dalam
tubuh daripada yang terdapat dalam bahan mentah. Fermentasi biji-biji kedelai
menjadi tempe juga mengubah aroma kedelai yang berbau langu menjadi aroma
khas tempe, sehingga lebih dapat diterima untuk dikonsumsi masyarakat.
Aroma tempe yang dihasilkan pada fermentasi tempe terbentuk karena
adanya aktivitas enzim dari kapang yang digunakan. Enzim ini akan memecah
protein dan lemak kedelai membentuk aroma yang khas. Aroma yang muncul
tergantung oleh jenis komponen yang dihasilkan selama proses fermentasi. Selain
itu, juga sangat dipengaruhi oleh jenis kultur starter dan jenis kedelai yang
digunakan. Aroma kapang yang biasa tercium dari tempe yang normal dihasilkan
oleh komponen 3-octanone dan 1-octen-3-ol (Feng, 2007).
Menurut Hidayat (2006), proses fermentasi tempe dibagi menjadi tiga
tahap. Tahap pertama yaitu tahap pertumbuhan miselia cepat saat 0–30 jam
fermentasi. Jumlah asam lemak bebas dan suhu tejadi kenaikan, pertumbuhan jamur
cepat, dengan terlihat terbentuknya miselia pada permukaan biji makin lama makin
lebat, sehingga menunjukkan masa yang lebih kompak. Tahap kedua yaitu transisi
saat 30–50 jam fermentasi dan merupakan tahap optimal fermentasi serta siap
dipasarkan. Suhu mengalami penurunan, jumlah asam lemak yang dibebaskan dan
pertumbuhan jamur hampir rata atau bertambah sedikit, rasa spesifik tempe optimal
dan tekstur lebih kompak. Tahap terakhir yaitu pembusukan atau fermentasi lanjut
saat 50–90 jam fermentasi. Bakteri dan asam lemak bebas mengalami kenaikan,
pertumbuhan jamur menurun dan pada kadar air tertentu pertumbuhan jamur
terhenti. Rasa berubah karena degradasi protein lanjut sehingga terbentuk amonia.
Persyaratan tempat yang dipergunakan untuk inkubasi kedelai adalah
kelembapan, kebutuhan oksigen dan suhu yang sesuai dengan pertumbuhan jamur.
Oksigen diperlukan dalam pertumbuhan kapang, tetapi bila berlebihan dan tak
seimbang dengan pembuangnya, panas yang ditimbulkan menjadi lebih besar dari
pada panas yang dibuang dari bungkusan. Apabila kondisi ini terjadi, suhu kedelai
yang sedang difermentasi menjadi tinggi dan mengakibatkan kapangnya mati.
Fermentasi dapat dilakukan pada suhu 20–37°C selama 36-48 jam. Waktu
fermentasi yang lebih singkat biasanya untuk tempe yang menggunakan banyak
inokulum dan suhu yang lebih tinggi, sementara proses tradisional menggunakan
ragi dari daun biasanya membutuhkan waktu fermentasi sampai 36 jam. Proses
fermentasi yang terlalu lama menyebabkan kenaikan jumlah bakteri, jumlah asam
lemak bebas. Pertumbuhan jamur juga menurun dan menyebabkan degradasi
protein lanjut sehingga terbentuk amoniak. Tempe mengalami proses pembusukan
dan aromanya menjadi amoniak karena protein dipecah (Winarno, 2004).

2. Kapang
Kapang adalah fungsi multiseluler yang mempunyai filamen. Tumbuhnya
kapang pada substrat mudah dilihat karena penampakannya yang berserabut seperti
kapas. Pertumbuhannya mula-mula berwarna putih, tetapi jika spora telah timbul
akan terbentuk berbagai warna tergantung jenisnya. Kapang dapat dibedakan
menjadi dua kelompok berdasarkan struktur hifa, yaitu hifa bersekat dan tidak.
Kapang yang tidak memiliki sekat memiliki inti sel yang tersebar di sepanjang hifa.
Dinding penyekat pada kapang disebut dengan septum yang tidak tertutup rapat,
sehingga sitoplasma masih dapat bebas bergerak dari satu ruang ke ruang lainnya.
Koloni kapang mudah dibedakan dari koloni bakteri karena umumnya
kapang tumbuh berupa benang-benang halus, sedangkan koloni bakteri tampak
berupa bulatan kental dengan permukaan yang umumnya licin, redup, atau kasar.
Bagian kapang yang mencolok adalah miselium yang terbentuk dari kumpulan hifa
yang bercabang-cabang membentuk suatu jala berwarna putih. Kapang berkembang
biak dengan berbagai cara. Perkembang biakan secara aseksual dilakukan dengan
pembelahan, penguncupan, atau pembentukan spora, sedangkan secara seksual
dengan peleburan nukleus dari kedua induknya. Pembelahan dilakukan dengan
membentuk dua sel anak yang serupa, sedangkan penguncupan terjadi dengan suatu
sel anak yang tumbuh dari penonjolan kecil pada sel inangnya.

3. Rhizopus oligosporus
Rhizopus oligosporus adalah jamur kelas Zygomycetes yang memiliki
miselium tak bersekat. Perkembangbiakan jamur ini dilakukan secara aseksual
dengan sporangiospora yang tidak mampu mengembara dan secara seksual melalui
dua gametangium yang serupa untuk membentuk zigospora. Rhizopus oligosporus
dimanfaatkan dalam pembuatan tempe dari proses fermentasi kacang kedelai
karena menghasilkan enzim fitase. Enzim ini membuat komponen makro pada
kedelai dipecah menjadi komponen mikro, sehingga tempe lebih mudah dicerna
dan zat gizinya lebih mudah terserap tubuh. Inkubasi selama 12 jam pertama
berlangsung, enzim yang aktivitasnya tertinggi adalah enzim α-galaktosidase oleh
aktivitas Rhizopus. oligosporus. Enzim tersebut yang mendegradasi oligosakarida
pada kedelai kemudian menguraikan karbohidrat menjadi gula sederhana.

Gambar 1. Morfologi Rhizopus oligosporus


(Sumber: Feng, 2007)
Rhizopus oligosporus membentuk koloni berwarna berwarna abu-abu
kecokelatan yang pucat dan merupakan kapang utama dalam fermentasi tempe.
Suhu minimum untuk tumbuh adalah 12°C, suhu optimumnya 30-35°C, dan suhu
maksimumya 42°C (Bahri, 2011). Rhizopus oligosporus mempunyai koloni dengan
rata-rata tinggi satu mm atau lebih, rizoid dengan panjang yang pendek, dan
sporangium dengan diameter 80-120 μm yang pada hari ketujuh akan pecah
mengeluarkan spora. Sifat penting dari Rhizopus oligosporus meliputi aktivitas
enzimatiknya, kemampuan menghasilkan antibiotika, biosintesis vitamin B, dan
penetrasi miselia jamur tempe ke dalam jaringan biji kedelai.

4. Rhizopus oryzae
Rhizopus oryzae memiliki hifa yang panjang dan membentuk miselium
yang kompak. Koloninya berwarna putih yang akan berubahan menjadi abu-abu
kecokelatan dengan meningkatnya isolat. Temperatur optimum untuk pertumbuhan
berada pada suhu 35°C, suhu minimal 7°C, dan suhu maksimal pada 44°C.
Rhizopus oryzae memiliki aktivitas enzim amilase terkuat dibandingkan dengan
kapang jenis lain. Enzim amilase akan memecah pati menjadi gula sederhana yang
kemudian diubah secara fermentasi menjadi asam-asam organik. Enzim amilase
juga termasuk mengubah rasa dan aroma yang tidak disukai, warna yang gelap dan
dalam kondisi yang sesuai akan memproduksi sejumlah kecil alkohol. Koloni
Rhizopus oryzae berwarna putih dan berangsur-angsur menjadi abu-abu, stolonnya
halus atau sedikir kasar dan tidak berwarna hingga kuning kecokelatan.
Sporangiofor tumbuh dari stolon dan mengarah ke udara.

Gambar 2. Morfologi Rhizopus oryzae


(Sumber: Liou dan Lee, 2007)
DAFTAR PUSTAKA

Babu, P. D., Bhakyaraj, R. dan Vidhyalakshmi, R. 2009. A Low Cost Nutritious


Food “Tempeh”- a Review. World Journal of Dairy & Food Sciences. 4 (1):
22-27.
Bahri, S. 2011. Profil Asam Lemak dan Daya Terima Tempe Biji Saga Pohon yang
Difermentasi Menggunakan Kapang Lokal. Skrirpsi. Program Studi
Teknologi Industri Pertanian. Serpong: Institut Teknologi Indonesia.
Cahyadi, W. 2006. Kedelai Khasiat dan Teknologi. Bandung: Bumi Aksara.
Feng, X. M., Larsen, T. O., dan Schnure, J. 2007. Production of Volatile
Compounds by Rhizhopus Oligosporus During Soybean and Barley
Tempeh Fermentation. International Journal of Food Microbiology.
113(7): 133-141.
Hidayat, N., Padaga, M. C., dan Suhartini, S. 2006. Mikrobiologi Industri.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
Intan, W. R. 2010. Karakteristik Sensorik, Nilai Gizi dan Antioksidan Tempe
Kacang Gude dan Tempe Kacang Tunggak dengan Berbagai Variasi Waktu
Fermentasi. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.
Liou, G. Y. dan Lee, F. W. 2007. Rhizopus and Related Species from Peka in
Taiwan. Fungi Science. 22(1): 51-57.
Suhendri, T. 2006. Aplikasi Proses Termal sebagai Solusi Umur Simpan Pendek
pada Tempe. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai