Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Bab I-Vii Fix

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 93

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) saat ini merupakan penyakit yang menyebabkan kematian

di dunia. Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2016 menunjukkan,

70 persen dari total kematian di dunia yaitu sekitar 425 orang dan lebih dari setengah

beban penyakit diakibatkan diabetes. Sebanyak 90 sampai 95 persen dari kejadian

diabetes adalah diabetes tipe 2, sedangkan kasus diabetes tipe 2 dapat dicegah.

Menurut Internasional of Diabetic Federation bahwa telah terjadi peningkatan

kasus Diabetes Melitus di dunia dari tahun 2017 terjadi peningkatan kasus Diabetes

Melitus menjadi 425 juta kasus, tingkat prevalensi global penderita diabetes melitus

di Asia Tenggara pada tahun 2017 adalah sebesar 8,5%. Diperkirakan akan

mengalami peningkatan menjadi 11,1% pada tahun 2045 dimana Indonesia berada di

urutan ke-6 setelah Cina, India, Amerika Serikat, Brazil, dan Mexico dengan jumlah

penderita diabetes melitus sebesar 10,3 juta penderita (IDF, 2017). Hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 secara nasional menunjukkan bahwa

prevalensi diabetes melitus adalah 2,0%. meningkat dari 1,5% pada tahun 2013

menjadi 2,0% pada tahun 2018. Prevalensi diabetes melitus berdasarkan hasil

pengukuran gula darah pada penduduk umur ≥15 tahun yang bertempat tinggal di

perkotaan adalah 10,6%.

1
2

Provinsi dengan prevalensi tertinggi yaitu DKI Jakarta sebesar 3,4%. Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta menempati posisi ke tiga tertinggi di Indonesia.

Sedangkan provinsi Kepulauan Riau sendiri menempati posisi ke-21 dengan jumlah

masyarakat yang mengidap penyakit diabetes semakin tahun mengalami peningkatan

hampir 0,95% dari jumlah penduduk provinsi Kepri yang saat ini hampir 2 juta

penduduk yaitu hampir 600 jiwa lebih. Hal ini disebabkan selain dari gaya hidup

dengan pola makan penduduk kepri yang suka mengkonsumsi makanan yang manis-

manis, dan faktor yang mendukung lainnya adalah stres, disebabkan oleh pengaruh

dari perubahan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk Kepri yang semakin hari

bertambah (Riset Kesehatan Dasar, 2018).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Propinsi Kepulauan Riau, pada tahun 2017

terjadi peningkatan pasien Diabetes Mellitus sebanyak 11.725 jiwa, tahun 2018

prevalensi angka kejadian diabetes mellitus sebanyak 37.488 Jiwa dan tahun 2019

sebanyak 42.789 jiwa. Data dari RSUD Raja Ahmad Tabib didapatkan diabetes

mellitus berada di sepuluh besar penyakit rawat inap dan rawat jalan di Rumah Sakit

Umum Daerah Raja Ahmad Tabib tahun ada tahun 2017 sebesar 155 orang 2018

sebesar 174 orang dan pada tahun 2019 sebesar 204 orang (Rekam Medis RSUD

Raja Ahmad Tabib, 2019). Data dari poli klinik penyakit dalam “RSUD Raja Ahmad

Tabib” di peroleh data pada bulan Januari sampai Juni 2020 terdapat sekitar 274

pasien yang datang untuk kontrol dengan rerata satu bulan terakhir sebesar 64 pasien

dengan komplikasi. Alasan peneliti di poliklinik dikarenakan perawatan sudah

mendapatkan terapi lanjut dari dokter.


3

Kesepakatan pengolahan dan pencegahan DM di Indonesia mengungkapkan 4

pilar utama dalam pengelolaan penyakit Diabetes mellitus adalah Edukasi, Terapi gizi

medis, Latihan jasmani, dan Intervensi Farmakologis. Tujuan dari 4 pilar tersebut

ialah menjaga kadar gula darah (glukosa) darah tetap pada tingkat normal (tidak

terjadi hipoglikemia/hiperglikemia). Penderita DM yang tidak patuh pada 4 pilar

penatalaksanaan maka kadar gula darahnya tidak terkontrol dan akan terjadi

komplikasi misalnya Stroke, Gagal ginjal, Jantung, Kebutaan dan Bahkan harus

menjalani amputasi jika anggota badan menderita luka yang sukar atau tidak bisa

mengering darahnya. Komplikasi dapat timbul karena ketidakpatuhan pasien dalam

menjalankan program terapi yaitu : pengaturan diet, pengunaan obat-obatan (Eliana,

2015).

Terapi gizi merupakan komponen utama keberhasilan penatalaksanaan diabetes.

Kepatuhan pasien terhadap prinsip gizi dan perencanaan makan merupakan kendala

utama pada pasien diabetes mellitus. Pada pasien DM banyak yang berperasaan tidak

nyaman terhadap jenis dan jumlah makanan yang dianjurkan (Chatterjee S, Khunti K,

2017). Yang paling pokok bagi penderita DM adalah pengendalian kadar gula darah,

maka pasien perlu memahami mengenai hal-hal yang mempengaruhi pengendalian

kadar gula darah. Pengendalian kadar gula darah pada penderita DM berhubungan

dengan faktor diet atau perencanaan makan, karena gizi mempunyai kaitan dengan

penyakit DM. Hal ini disebabkan karena penyakit DM merupakan gangguan kronis

metabolism zat-zat gizi makro yaitu karbohidrat, protein, dan lemak dengan ciri-ciri
4

tingginya konsentrasi gula dalam darah walaupun perut dalam keadaan kosong, serta

sangat tinggi resikonya terhadap arteriosklerosis atau penebalan dinding pembuluh

nadi dengan timbunan zat lemak, dan kemerosotan fungsi syaraf (Qurratuaeni, 2019).

Sebagian faktor yang memegang peranan penting dalam perkembangan kasus

penderita diabetes mellitus adalah pola makan, perilaku yang menyimpang dan

mengarah pada makanan yang siap saji dengan kandungan berenergi tinggi, lemak

dan sedikit serat yang dapat memicu diabetes mellitus. Kontrol glikemik penderita

diabetes mellitus sangat dipengaruhi oleh kepatuhan klien tentang anjuran diet DM,

meliputi jenis jumlah dan waktu yang tepat untuk tercapainya tujuan pengobatan dan

memerlukan pemeriksaan yang sebenarnya tidak diperlukan (Tarwoto, 2015).

Penderita Diabetes Mellitus yang tidak menunjukkan sikap yang baik terhadap

pengelolaan diet, maka akan terjadi komplikasi yang bias menimbulkan kematian.

Sikap penderita DM sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, dalam hal ini pengetahuan

yang akan membuat penderita Diabetes Mellitus menentukan sikap, berpikir dan

berusaha untuk tidak terkena penyakit maupun mengurangi kondisi penyakitnya.

Apabila penderita DM mempunyai pengetahuan yang baik, maka sikap terhadap diet

DM dapat mendukung terhadap kepatuhan pengelolaan diet DM sendiri (Efendi,

2015).

Kepatuhan pasien diabetes dalam melaksanakan diet merupakan kunci utama

kestabilan kondisi kesehatan pasien diabetes mellitus (Nemes et al, 2017). Kepatuhan

dalam diet merupakan salah satu faktor untuk menstabilkan kadar gula dalam darah
5

menjadi normal dan mencegah komplikasi. Adapun faktor yang mempengaruhi

seseorang tidak patuh terhadap diet diabetes melitus adalah kurangnya pengetahuan

terhadap penyakit diabetes melitus, keyakinan, dan kepercayaan terhadap penyakit

dibetes melitus (Purwanto, 2015). Menurut Soegondo (2017) ketidakpatuhan pasien

dalam melakukan tatalaksana diabetes akan memberikan dampak negatif yang sangat

besar meliputi peningkatan biaya kesehatan dan komplikasi diabetes.

Penderita diabetes melitus harus rutin mengontrol kadar gula darah sesuai dengan

jadwal yang ditentukan, agar diketahui nilai kadar gula darah untuk mencegah

gangguan dan komplikasi yang mungkin muncul agar ada penanganan yang cepat dan

tepat. Disini perlu memberikan pengetahuan tentang manfaat dari kepatuhan klien

diabetes melitus dalam menjalankan kepatuhan kontrol, sehingga diharapkan terjadi

perubahan tingkah laku pasien diabetes mellitus (Tandra, 2015).

Penderita diabetes mellitus seharusnya menerapkan pola makan seimbang untuk

menyesuaikan kebutuhan gula darah sesuai dengan kebutuhan tubuh melalui pola

makan sehat. Suyono (2016) menyebutkan bahwa dalam penatalaksanaan

pengendalian kadar gula darah 86,2% penderita diabetes mellitus mematuhi pola diet

diabetes mellitus yang diajurkan, namun secara faktual jumlah penderita diabetes

mellitus yang disiplin menerapkan program diet hanya berkisar 23,9%.

Ketidakpatuhan terhadap pengaturan diet pasien DM disebabkan oleh beberapa

faktor antara lain pendidikan, pengetahuan, kejenuhan dalam pengobatan dan

keinginan untuk sembuh sehingga mengakibatkan komplikasi. Oleh karena itu maka

diet Diabetes Mellitus harus diakukan sesuai program yang dianjurkan. Pasien harus
6

belajar keterampilan khusus untuk merawat diri sendiri setiap hari guna menghindari

penurunan atau kenaikan kadar glukosa darah mendadak, disamping itu juga harus

memiliki perilaku preventif dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi diabetik

jangka panjang (Smeltzer et al., 2015)

PERKENI menyatakan bahwa setiap penyandang DM harus melakukan terapi diet

secara baik setiap hari. Namun, berbagai penelitian telah menunjukkan persentasi

kepatuhan diet DM yang rendah. Berdasarkan hasil penelitian lainnya yang dilakukan

oleh Risnasari (2014), kepatuhan diet pasien DM lebih dari setengah 32 orang

(56,145) dari total 57 responden tidak patuh pada diet. Menurut Fauzia et al (2015)

adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan yaitu faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal meliputi pengetahuan dan sikap sedangkan pada faktor

ekternal meliputi dukungan keluarga dan dukungan tenaga kesehatan. Menurut

Bistara dan Ainiyah (2017), bahwa penderita yang memiliki pengetahuan tentang diet

DM yang tinggi, otomatis juga memiliki kepatuhan diet yang baik, sebaliknya

penderita DM yang memiliki pengetahuan yang kurang cenderung kepatuhannya

rendah. Hasil penelitian tersebut menemukan hubungan dimana responden yang

memiliki pengetahuan rendah kepatuhannya rendah terhadap diet. Hal ini sesuai

dengan konsep perilaku yang menyatakan bahwa perilaku akan lebih menetap bila

didasari oleh pengetahuan sehingga memiliki kesadaran untuk bertindak (Hassan et

al, 2015).
7

Dari penelitian yang dilakukan oleh Citra Juniarti (2017) menunjukan bahwa dari

pengetahuan dengan kepatuhan diet yang pengetahuannya kurang dan tidak patuh

dalam diet sebanyak 16 responden (80,0%), sedangkan yang patuh dalam diet

sebanyak 4 responden (20,0%). Responden dengan tingkat pengetahuan baik dengan

tidak patuh dalam diet sebanyak 4 responden (25,0%), sedangkan yang patuh dalam

diet sebanyak 12 responden (75,0%).

Niven (2015), mengatakan profesional kesehatan menghadapi banyak masalah bila

mencoba mengikuti kerja sama terhadap pasien mereka dalam menaati nasihat medis.

Meskipun bila pasien telah memberikan upaya yang dapat dipertimbangkan dalam

mencari bantuan kesehatan. Kesempatan ini sangat tinggi dimana nasihat yang

diberikan akan diabaikan atau disalahterapkan (Rochmah, 2015). Dunbar & Stunkard

berpendapat bahwa saat ini ketidakpatuhan pasien telah menjadi masalah serius yang

dihadapi tenaga kesehatan profesional. Oleh karena itu penting untuk diketahui

tentang tingkat ketidakpatuhan. Niven (2015) mengartikan kepatuhan pasien sebagai

“sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh

professional kesehatan.” Pasien mungkin tidak mematuhi tujuan atau mungkin

melupakan begitu saja atau salah mengerti instruksi yang diberikan (Rochmah, 2015).

Ian P. Albery (2015), mengemukakan kepatuhan mengacu kepada situasi ketika

perilaku seorang individu sepadan dengan tindakan yang dianjurkan atau nasehat

yang diusulkan oleh seorang praktisi kesehatan atau informasi yang diperoleh dari

suatu sumber informasi lainnya. Dinicola dan Dimetto mengemukakan bahwa


8

perilaku kepatuhan sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, oleh karena itu perlu

dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya untuk mengubah perilaku tetapi juga

mempertahankan perilaku tersebut. Sikap pengontrolan diri membutuhkan

pemantauan terhadap diri sendiri, evaluasi diri dan penghargaan terhadap diri sendiri

dan terhadap perilaku yang baru (Rochmah, 2015).

Penelitian yang dilakkan oleh Widyaningsih (2016) lebih spesifik tentang

kepatuhan dalam pengobatan DM pada umumnya masih rendah, 80% pasien DM

terapi insulin dengan cara tidak tepat, 58% menyuntik insulin dengan ukuran yang

tidak sesuai, 77% memantau dan menginterprestasikan gula darah secara tidak tepat,

dan 75% tidak mau makan sesuai dengan anjuran (Sukraniti & Ambartana 2016).

Dalam upaya mengendalikan kadar gula darah yang tepat, pasien diabetes mellitus

juga perlu memiliki pengetahuan mengenai penyakitnya. Pengetahuan pasien diabetes

mellitus, dapat terlihat dalam sikap dan ketrampilannya seperti dalam upaya

pengendalian/pengontrolan kadar gula darah. Pengetahuan pada pasien diabetes

mellitus dipengaruhi pada latar belakang sosial, etnik, ekonomi, gaya hidup, pola

makan, kepercayaan dan tingkat pendidikan (Agus, 2015).

Pengetahuan yang minim tentang pengaturan makan pasien diabetes mellitus

berkaitan erat dengan kadar gula darah. Pola makan penderita diabetes mellitus yang

tidak sehat seperti cenderung terus menerus mengkonsumsi karbohidrat secara

berlebihan akan dapat menaikkan kadar gula darah. Selain itu ketidaktahuan dengan

jenis bahan makanan yang mengandung Indeks Glikemik (IG) tinggi, yang bila
9

dikonsumsi akan cepat meningkatkan kadar gula darah. Oleh karena pendapat atau

gagasan dan kemampuan maka penderita DM dapat mengembangkan perilaku hidup

sehat dan terbebas dari komplikasi penyakit DM (Tkáčová et al., 2020). Pengetahuan

mempunyai pengaruh yang besar untuk memerangi penyakit DM. Informasi/edukasi

yang didapat dari tenaga kesehatan juga dapat membantu penderita DM menilai risiko

DM, selain itu juga dapat memotivasi penderita DM untuk mencari pengobatan yang

tepat dalam perawatan, dan membantu penderita DM untuk terhindar dari komplikasi

DM tersebut (Gatimu et al., 2016). Pengetahuan juga dipengaruhi oleh pengalaman,

lingkungan dan sosial budaya. Pengalaman diperoleh, dipersepsikan, diyakini,

sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak dan akhirnya menjadi prilaku

(Hassan at al, 2015). Penderita DM yang memiliki pengetahuan baik. serta memiliki

sikap positif dapat mencegah komplikasi penyakit DM (Garcia–Perez et al, 2015).

Penyebab ketidakpatuhan pasien DM dalam menjalankan terapi adalah tidak

memahami dan salah memahami tentang manfaat diet. Pengetahuan yang baik akan

membantu seseorang untuk selalu berperilaku patuh terhadap terapi tersebut. Pasien

yang patuh pada diet akan mempunyai kontrol kadar gula darah (glikemik) yang lebih

baik, dengan kontrol glikemik yang baik dan terus menerus akan dapat mencegah

komplikasi akut dan mengurangi resiko komplikasi jangka panjang. Perbaikan

kontrol glikemik berhubungan dengan penurunan kejadian kerusakan retina mata

(retinopati), kerusakan pada ginjal (nefropati), dan kerusakan pada sel saraf

(neuropati), sebaliknya bagi pasien yang tidak patuh akan mempengaruhi kontrol
10

glikemiknya menjadi kurang baik bahkan tidak terkontrol, hal ini yang akan

mengakibatkan komplikasi yang mungkin timbul tidak dapat dicegah (Suyono, 2015).

Tanjungpinang, Propinsi Kepulauan Riau merupakan Kota dengan berbagai

makanan dan tempat wisata. Kebiasaan masyarakat Tanjungpinang yang masih

menganggap budaya pantangan makanan itu tidak ada. Berdasarkan studi

pendahuluan di Poli Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib dalam hal ini peneliti

mewancarai 10 orang penderita diabetes mellitus tipe 2, di dapatkan bahwa 2 pasien

mengetahui tentang diabetes mellitus dan mematuhi pola makan mengatakan sering

memeriksakan kadar gula darah namun tetap saja tidak ada perubahan kadar gula

darah, 3 mengemukakan mengetahui diet tetapi makan sesuai dengan menu sehari-

hari yang disediakan oleh keluarga dan tidak patuh berdasarkan diet diabetes mellitus

dikarenakan merasa bosan dengan makanan yang disediakan keluarga, 3 pasien

pasien mengetahui tentang diet diabetes mellitus terkait makanan yang boleh dan

tidak boleh dikonsumsi, pasien mengatakan patuh terhadap diet tetapi kadangkala

pasien mengkonsumsi makanan yang tidak diperbolehkan dikarenakan ingin

merasakan seperti anggota keluarga lain terhadap makanan apa yang dimasak oleh

keluarga, 2 pasien mengatakan tidak mengetahui tentang pengaturan makan pasien

diabetes mellitus serta penatalaksanaan diabetes, tetapi pasien mengatakan patuh

terhadap diet dikarenakan anggota keluarga yang sering memantau dalam hal

pengaturan makanannya.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang “Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Kepatuhan Diet dengan


11

Kadar Gula Darah Penderita Diabetes Mellitus Tipe II di Poli Penyakit Dalam RSUD

Raja Ahmad Tabib Tahun 2020”.

B. Rumusan Masalah

Merujuk dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan

masala lah penelitian ini adalah apakah ada hubungan tingkat pengetahuan dan

kepatuhan diet dengan kadar gula darah penderita diabetes mellitus tipe II di Poli

Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib Tahun 2020?.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui “Hubungan Tingkat

Pengetahuan dan Kepatuhan Diet dengan Kadar Gula Darah Penderita Diabetes

Mellitus Tipe II di Poli Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib Tahun 2020”.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu:

a. Mengetahui distribusi frekuensi tingkat pengetahuan penderita diabetes

mellitus tipe II di Poli Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib Tahun 2020

b. Mengetahui distribusi frekuensi kepatuhan diet penderita diabetes mellitus

tipe II di Poli Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib Tahun 2020

c. Mengetahui distribusi frekuensi kadar gula darah penderita diabetes mellitus

tipe II di Poli Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib Tahun 2020
12

d. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan kadar gula darah penderita

diabetes mellitus tipe II di Poli Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib

Tahun 2020

e. Mengetahui hubungan kepatuhan diet dengan kadar gula darah penderita

diabetes mellitus tipe II di Poli Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib

Tahun 2020

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Rumah Sakit

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh perawat dalam melakukan asuhan

keperawatan dalam menangani kadar gula darah penderita diabetes mellitus

2. Bagi Insitusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu keperawatan,

khususnya pengetahuan tentang stress dalam peningkatan gula darah pada pasien

DM.

3. Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan sebagai referensi peneliti yang ingin melakukan

penelitian yang berhubungan dengan masalah yang sama


13

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Diabetes Mellitus

1. Pengertian Diabetes Mellitus

Diabetes merupakan kompleks, penyakit kronis yang membutuhkan perawatan

medis terus-menerus dengan strategi pengurangan risiko multifaktorial di luar

kendali glikemik (American Diabetes Association, 2016). Diabetes mellitus yaitu

gangguan metabolik yang tidak menular melanda beberapa jutaan orang di seluruh

dunia. Hal ini terkait dengan beberapa komplikasi mikro dan makrovaskuler. Hal

ini juga merupakan penyebab utama kematian. Masalah yang belum terselesaikan

adalah bahwa definisi dari ambang diagnostik untuk diabetes (Singh et all, 2016).

DM tipe 2 yaitu suatu gangguan metabolik ditandai kenaikan glukosa darah karena

penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan resistensi

insulin (Eliana, 2015)

2. Jenis Diabetes Mellitus

Menurut etiologis DM menurut (American Diabetes Association, 2016), dibagi

dalam 4 jenis yaitu:

a. Diabetes mlitus tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM


14

DM tipe 1 diakibatkan adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab

autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali. Sekresi insulin

dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya 12 sedikit atau

tidak terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinis pertama dari penyakit adalah
13
ketoasidosis.

b. Diabetes mellitus tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus/ NIDDM

Pada penderita DM tipe ini terbentuknya hiperinsulinemia tetapi insulin tidak

bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin

yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan

glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.

Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena

dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi

relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin

pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas

akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe ini terjadi

perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi insulin yang

terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa

c. Diabetes melitus kehamilan

Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM

yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan. DM tipe ini

terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali
15

pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM kehamilan

berhubungan dengan meningkatnya.

d. Diabetes melitus tipe lain

DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel

beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik

endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik

lain.

Penyakit DM memiliki 2 Tipe, Pertama Diabetes Tipe I, yaitu Diabetes

tergantung insulin, karena sel-sel beta dari pulau-pulau Langerhans telah

mengalami kerusakan, sehingga pankreas berhenti memproduksi insulin. DM tipe

1 disebabkan faktor genetik, penyakit auto imun, dan infeksi virus. Kedua

Diabetes Tipe II, yaitu Diabetes tidak tegantung insulin terjadi jika insulin hasil

produksi pankreas tidak cukup atau sel lemak dan otot tubuh menjadi kebal

terhadap insulin, sehingga terjadi gangguan pengiriman gula ke sel tubuh. Orang

yang terkena penyakit diabetes tipe 2 adalah orang dewasa. Faktor risiko

terjadinya DM tipe 2 disebabkan oleh faktor keturunan (sebesar 5%), obesitas

akibat konsumerisme masyarakat dan gaya hidup yang dijalani, kelebihan berat

badan, kurang olahraga, umur, jenis kelamin, geografis, latar belakang ras dan

etnik, stress, hipertensi dan obat-obatan. DM tipe 2 adalah jenis yang paling

banyak di temukan (lebih dari 90%) dan prevalensi meningkat setelah umur 40

tahun. Diabetes melitus tipe II yaitu diabetes resisiten, lebih sering terjadi pada

dewasa di atas umur 45 tahun, tapi dapat terjadi pada semua umur. Kebanyakan
16

penderita kelebihan berat badan atau obesitas, pola hidup yang tidak sehat, kurang

olahraga, dan faktor keturunan (Kamal et al., 2017)

3. Patofisiologi

Serat dapat menurunkan efisiensi penyerapan karbohidrat yang akan menyebab

kan turunnya respon insulin. kerja pankreas akan semakin ringan dan memperbaiki

fungsi pankreas dalam menghasilkan insulin. Serat pangan yang dapat

memberikan fungsi tersebut ialah serat yang larut, misalnya pektin, guar gum, dan

glukomanan yang banyak terdapat pada sayur-sayuran, buah-buhan, dan umbi-

umbian. Penderita diabetes pada awalnya tidak menyadari bahwa mereka telah

mengidap diabetes. Penderita biasanya baru menyadari setelah mereka mengalami

berbagai komplikasi dan didiagnosis oleh dokter mengalami diabetes. Berbagai

reaksi muncul setelah penderita tahu bahwa mereka mengidap diabetes, mulai dari

perasaan takut, marah, cemas, stres, hingga depresi (Izzati et all, 2015). Secara

sosial penderita diabetes akan mengalami beberapa hambatan berkaitan dengan

pembatasan dalam diet yang ketat dan keterbatasan aktivitas. Dalam bidang

ekonomi, biaya untuk perawatan penyakit dalam jangka panjang dan rutin akan

menjadi beban tersendiri bagi pasien. Beban tersebut masih dapat bertambah lagi

dengan adanya penurunan produktifitas kerja sekaligus penghasilan karena

dampak akibat perawatan atas penyakitnya tersebut. Hal ini akan menimbulkan

stres bagi penderita diabetes (Izzati et all, 2015).


17

Pada Diabetes Mellitus tipe 2 tidak ditemukan pertanda auto antibody.Pada

resistensi insulin, konsentrasi insulin yang beredar mungkin tinggi tetapi pada

keadaan gangguan fungsi sel beta yang berat kondisinya dapat rendah.Pada

dasarnya resistensi insulin dapat terjadi akibat perubahan-perubahanyang

mencegah insulin untuk mencapai reseptor (praresptor), perubahan dalam

pengikatan insulin atau transduksi sinyal oleh resptor, atau perubahan dalam

salahsatu tahap kerja insulin pascareseptor. Semua kelainan yang menyebab

kangangguan transport glukosa dan resistensi insulin akan menyebabkan

hiperglikemia sehingga menimbulkan manifestasi Diabetes Mellitus (Rustama

dkk,2015).

4. Gejala Diabetes Mellitus

Pada penelitian ini akan berfokus pada DM Tipe 2. Gejala umum yang timbul

pada penderita diabetes diantaranya sering buang air kecil (poliuria) dan terdapat

gula pada air seninya (glukosuria) yang merupakan efek langsung kadar glukosa

darah yang tinggi (melewati ambang batas ginjal). Poliuria mengakibatkan

penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsia).

Poliuria juga mengakibatkan terjadinya polifagi (sering lapar), kadar glukosa darah

yang tinggi pada penderita diabetes tidak diserap sepenuhnya oleh sel-sel jaringan

tubuh. Penderita akan kekurangan energi, mudah lelah, dan berat badan terus

menurun (Suyono, 2015).

5. Diagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2


18

Diabetes mellitus dapat didiagnosis dengan cara sebagai berikut ( askandar

Tjokroprawiro, 2015)

a. Seseorang dikatakan penderita diabetes mellitus jika kadar glukosa darah ketika

puasa > 120 mg/dl atau memiliki kadar glukosa darah 200 mg/dl (2 jam setelah

minum larutan yang mengandung glukosa 75 gr).

b. Seseorang dikatakan terganggu toleransi glukosanya, jika kadar glukosa darah

ketika puasa 100-125 mg/dl atau memiliki kadar glukosa darah 140- 199 mg/dl

(2 jam setelah minum larutan yang mengandung glukosa 75 gr).

c. Seseorang dikatakan normal (tidak menderita diabetes mellitus), jika kadar

glukosa darah ketika puasa <110 mg/dl dan kadar glukosa darah 2 jam setelah

makan mencapai 140 mg/dl.

6. Komplikasi

DM tipe 2 yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan berbagai

komplikasi yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi kronis DM

tipe 2 dapat berupa komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular yang dapat

menurunkan kualitas hidup penderita. Penyebab utama kematian penyandang DM

tipe 2 adalah komplikasi makrovaskular. Komplikasi makrovaskular melibatkan

pembuluh darah besar yaitu pembuluh darah koroner, pembuluh darah otak, dan

pembuluh darah perifer. Mikrovaskular merupakan lesi spesifik diabetes yang

menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal


19

(nefropati diabetik), dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik) (Edwina & Efrida,

2015).

7. Tatalaksana

Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia Tahun

2016, terdapat empat pilar penatalaksanaan DM, yaitu (Eliana, 2015):

a. Edukasi

Edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi dibutuhkan untuk

memberikan pengetahuan mengenai kondisi pasien dan untuk mencapai perubahan

perilaku. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda, dan

gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.

b. Terapi nutrisi medis

Terapi nutrisi medis merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara

total. Prinsip pengaturan makanan penyandang diabetes hampir sama dengan

anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai

dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada pasien

diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan,

jenis, dan jumlah makanan, terutama pada pasien yang menggunakan obat penurun

glukosa darah atau insulin. Diet pasien DM yang utama adalah pembatasan

karbohidrat kompleks dan lemak serta peningkatan asupan serat.

c. Latihan jasmani

Latihan jasmani berupa aktivitas fisik sehari-hari dan olahraga secara teratur
20

3-4 kali seminggu selama 30 menit. Latihan jasmani selain untuk menjaga

kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas

insulin. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan yang bersifat aerobik

seperti jalan kaki, bersepeda santai, joging, dan berenang. Latihan jasmani

disesuaikan dengan usia dan status kesehatan.

d. Terapi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makanan dan latihan

jasmani. Terapi berupa suntikan insulin dan obat hipoglikemik oral, diantaranya

adalah metformin dan gibenklamid. Metformin adalah obat golongan biguanid

yang berfungsi meningkatkan sensitivitas reseptor insulin. Selain itu, metformin

juga mencegah terjadinya glukoneogenesis sehingga menurunkan kadar glukosa

dalam darah. Masa kerja metformin adalah 8 jam sehingga pemberiannya 3 kali

sehari atau per 8 jam. Metformin digunakan untuk menjaga kadar glukosa sewaktu

tetap terkontrol (Wicaksono & Fajriyah, 2018). Glibenklamid adalah golongan

sulfonilurea yang mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel

beta pankreas dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan

normal ataupun kurang. Penggunaan obat golongan sulfonilurea lebih efektif untuk

mengontrol kadar gula 2 jam setelah makan (Wicaksono & Fajriyah, 2018).

B. Konsep Diet Diabetes Mellitus

1. Pengertian Diet Diabetes Mellitus


21

Dalam Kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga keluaran Persatuan Ahli Gi

zi Indonesia (Persagi) dalam Ninda Fauzi (2015), diet memiliki arti sebagai

pengaturan pola dan konsumsi makanan seta minuman yang dilarang, dibatasi

jumlahnya, dimodifikasi, atau diperolehkan dengan jumlah tertentu untuk tujuan

terapi penyakit yang diderita, kesehtan atau penurunan berat badan.

Diet diabetes mellitus adalah diet yang diberikan kepada penyandang diabetes

mellitus, dengan tujuan membantu memperbaiki kebiasaan makan un tuk

mendapatkan control metabolic yang lebih baik dengan cara menyeimbangkan

asupan makanan dengan obat penurun glukosa oral maupuninsulin dan aktivitas

fisik untuk mencapai kadar gula darah normal, mencapai dan mempertahankan

kadar lipida dalam normal. Diet diabetes mellitus merupakan pengaturan pola

makan bagi penderita diabetes mellitus berdasarkan jumlah, jenis dan jadwal

pemberian makan (Syahbudin, 2017).

2. Tujuan Diet Diabetes Mellitus

Menurut Priyoto (2015) Tujuan dari terapi gizi pada penyakit Diabetes Mellitus

adalah menyesuaikan makanan dengan kesangupan dari tubuh untuk

menggunakannya, sehingga membantu penderita untuk :

a. Menurunkan kadar gula darah mendekati normal yang menjadi tujuan utama

dalam terapi gizi ini, meskipun kadar gula darah yang benar-benar dalam

kisaran normal sangat sulit untuk dipertahankan.

b. Menurunkan gula darah urine menjadi negatif.

c. Memberikan energi yang cukup untuk mencapai atau mempertahankan berat


22

badan yang ideal bagi orang dewasa dan mencapai pertumbuhan dan

perkembangan yang normal pada anak dan remaja.

d. Menghindari dan menangani komplikasi akut orang dengan diabetes mellitus

dan komplikasi kronik diabetes mellitus seperti penyakit ginjal, neuropatik

diabetikum, hipertensi dan penyakit jantung.

3. Syarat-syarat Diet Diabetes

Syarat-syarat yang diperlukan untuk diet Diabetes Mellitus (DM) menurut

Priyoto (2015) adalah :

a. Kebutuhan kalori disesuaikan dengan kelainan metabolic, umur, berat badan,

tinggi badan, dan aktivitas tubuh.

b. Jumlah hidrat arang disesuaikan dengan kesanggupan tubuh dalam

menggunakannya.

c. Cukup protein, mineral, vitamin didalam makanan

4. Pengaturan Diet bagi Penderita Diabetes Mellitus

Prinsip pengaturan makan pada diabetes mellitus hamper sama dengan anjuran

makan untuk orang sehat masyarakat umumnya, yaitu makanan yang beragam

bergizi dan berimbang atau lebih dikenal dengan gizi seimbang maksudnya adalah

sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Hal yang

sangat penting ditekankan adalah pola makan yang disiplin dalam hal Jadwal

makan, Jenis dan jumlah makanan atau dikenal dengan istilah 3J (Priyoto, 2015).

Prinsip pengaturan diet diabetes mellitus adalah 3J, yaitu :

a. J 1 = Jadwal (Tepat Jadwal)


23

Tepat jadwal sangat penting bagi penderita diet untuk pasien DM, karena

memakan makanan yang tepat jadwal sudah sangat membantu menjaga kadar gula

dalam darah. Tepat jadwal yang dimaksud disini adalah penderita harus mengikuti

jadwal makanan yang sudah deprogram yaitu jadwal makan harus diikuti interval

3 jam. Yaitu 6x makan, yaitu 3x makan berat dan 3x makan selingan atau snack.

Itu berarti jika pasien sudah sarapan, penderita tidak boleh makan makanan yang

berat seperti nasi dan kue sampai jadwal makan siang. Pasien hanya

diperkenankan makan snack yang berupa potongan kecil makanan rendah

karbohidrat dalam selang waktu 3 jam setelah sarapan dan 3 jam setelah snack

penderita boleh makan makanan utama lagi, begitu samapai makan malam. Pada

malam hari tidak diperkenankan makan lagi setelah makan malam (Ninda fauzi,

2015). Contoh jadwal makan pasien adalah makan pasien adalah sebagai berikut :

1) Makan pagi atau sarapan dilakukan pada pukul 07.00

2) Snack pertama dikonsumsi pada pukul 10.00

3) Makan siang dilakukan pada pukul 13.00

4) Snack kedua dikonsumsi pukul 16.00

5) Makan malam dilakukan pukul 19.00

6) Snack ketiga dikonsumsi pukul 21.00

Usahakan makan tepat waktu. Apabila terlambat makan maka akan bisa terjadi

hipoglikemia atau rendahnya gula darah. Hipoglikemia meliputi gejala seperti

pusing, mual dan pingsan. Apabila terjadi hal seperti ini segera minum air gula

atau teh manis.


24

b. J 2 = Jenis (Tepat Jenis)

Ada beberapa jenis makanan yang sebaiknya dihindari dalam melakukan diet.

Untuk pasien diabetes mellitus bukan karena tidak enak namun karena makanan

tersebut dapat membuat kadar gula darah naik secara drastis. Makanan-makanan

yang harus dibatasi misalnya segala macam kue dan roti yang mengandung banyak

gula, selai, es krim, permen, susu manis, buah-buahan yang berasa manis dan tentu

saja gula. Sementara itu makanan yang dianjurkan adalah banyak mengkonsumsi

sayuran mentah, sayuran olahan dan buah-buahan yang tidak terlalu manis (Ninda

fauzi, 2015).

c. J 3 = Jumlah (Tepat Jumlah)

Bagi penderita DM, gula dalam darah mereka sudah sangat tinggi oleh sebab itu

tubuh tidak membutuhkan banyak tambahan gula.Dan ketika pasien DM makan,

maka kalori yang masuk harus tepat bagi pasien DM, maka jumlah makanan yang

boleh dimakan harus tepat jumlahnya.Hal ini bisa dihitung dengan IMT (Index

Masa Tubuh) yang didapat dengan membagi berat badan dan tinggi badan.Jika

IMT tergolong kurus mengkonsumsi 40-60 kalori/hari x berat badan.Jika normal

bisa mengkonsumsi 30 kalori x berat badan.Untuk orang gemuk 20 kalori x berat

badan. Untuk orang obesitas kalori yang diperbolehkan yaitu 10-15 kalori x berat

badan (Ninda fauzi, 2015).

Tabel 2.1 Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT

Klasifikikasi Status Gizi Indek Masa Tubuh (IMT)(kg/m2)


25

Kurus (Underweight) <18,5


Normal 18,5-22,9
Gemuk (Overweight) >23
Resiko obesitas (At Risk) 23-24,9
Obesitas I 25-29,9
Obesitas II >30
Sumber : Ninda fauzi (2015)

5. Pengaruh Diet Terhadap Kadar Gula Darah

Diabetes mellitus merupakan kelainan pengolahan karbohidrat dalam tubuh

yang disebabkan oleh kurangnya hormone insulin, sehingga karbohidrat tidak

dapat digunakan oleh sel untuk diubah menjadi tenaga. Akibatnya, karbohidrat

yang ada didalam tubuh dalam bentuk glukosa dalam darah. Peningkatan

prevalensi diabetes mellitus, selain dari faktor keturunan juga berkaitan dengan

gaya hidup yaitu asupan makanan yang berlebihan dan kurangnya olahraga (Dewi,

2016).

Konsensus pengolahan dan pencegahan DM di Indonesia (2006)

mengungkapkan 4 pilar utama dalam pengelolaan penyakit Diabetes mellitus

adalah Edukasi, Terapi gizi medis, Latihan jasmani, dan Intervensi Farmakologis.

Tujuan dari 4 pilar tersebut ialah menjaga kadar gula darah (glukosa) darah tetap

pada tingkat normal (tidak terjadi hipoglikemia/hiperglikemia). (Devi,2015).

Terapi gizi merupakan komponen utama keberhasilan penatalaksanaan

diabetes.Kepatuhan pasien terhadap prinsip gizi dan perencanaan makan

merupakan kendala utama pada pasien diabetes mellitus. (Een, 2015). Kepatuhan

dalam menjalankan diet merupakan harapan dari setiap penderita diabetes mellitus.

Hal ini berarti bahwa setiap penderita diabetes mellitus harus mampu menjalankan
26

anjuran dokternya agar penyakit diabetes mellitus tetap terkontrol. Dalam

prakteknya kepatuhan diartikan sebagai tingkat pasien melaksanakan cara

pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau paramedis,

sebagaimanan ketentuan yang disarankan pada penderita diabetes mellitus yang

mengalami kegagalan pengobatan , hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor

diantaranya tidak menjalani diet dengan baik (Fahrun dan Rustini,2015).

C. Konsep Kadar Glukosa Dalam Darah

1. Pengertian Kadar Glukosa Dalam Darah

Kadar glukosa darah puasa adalah tingkat glukosa di dalam darah yang diukur

setelah pasien puasa selama 8 – 10 jam (Departemen Kesehatan RI, 2009; Eliana,

2015). Sasaran pengendalian glukosa darah puasa pada pasien DM tipe 2 yaitu 80-

130 mg/dL (Eliana, 2015). Kadar glukosa darah yang normal cenderung

meningkat secara ringan tetapi bertahap setelah usia 50 tahun, terutama pada

orangorang yang tidak aktif bergerak. Peningkatan kadar glukosa darah setelah

makan atau minum merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin sehingga

mencegah kenaikan kadar glukosa darah yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar

glukosa darah menurun secara perlahan (Khonsary, 2017).

Kadar glukosa darah sepanjang hari bervariasi dimana akan meningkat setelah

makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa darah yang normal

pada pagi hari setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah.

Kadar glukosa darah biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada 2 jam setelah
27

makan atau minum cairan yang mengandung glukosa maupun karbohidrat lainnya

(Khonsary, 2017)

2. Pemeriksaan Kadar Gula Darah

Macam kadar gula darah dibedakan berdasarkan waktu pemeriksaan. Gula

Darah Sewaktu (GDS), jika pengambilan sampel darah tidak dilakukan puasa

sebelumnya. Gula Darah Puasa (GDP), jika pengambilan sampel darah dilakukan

setelah klien puasa selama 8-10 jam, Gula Darah 2 jam Post Pradinal (Soegondo,

2015).

Tabel 2.2 Parameter Pemantauan Kadar Gula Darah


No Parameter Baik Sedang Buruk
1. Glukosa darah puasa 80-109 110-125 >126
(mg/dL) 80-109 110-
125 >126
2. Glukosa darah 2 jam 110-144 145-179 >180
(mg/dL) 110-144 145-
179 >180

Sumber : (Soegondo, 2015)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kadar Glukosa Darah

Kadar glukosa darah dipengaruhi oleh faktor endogen dan eksogen. Faktor

endogen yaitu humoral factor seperti hormon insulin, glukagon dan kortisol

sebagai sistem reseptor di otot dan sel hati. Faktor eksogen antara lain jenis dan
28

jumlah makanan yang dikonsumsi serta aktivitas yang dilakukan (Rudi & Kwureh,

2017). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kadar glukosa darah pada pasien

DM tipe 2, yaitu : (ADA, 2016)

1) Faktor Internal

1) Konsumsi Karbohidrat

Karbohidrat adalah salah satu bahan makanan utama yang diperlukan oleh

tubuh. Sebagian besar karbohidrat yang kita konsumsi terdapat dalam bentuk

polisakarida yang tidak dapat diserap secara langsung. Karena itu, karbohidrat

harus dipecah menjadi bentuk yang lebih sederhana untuk dapat diserap melalui

mukosa saluran pencernaan (Khonsary, 2017). Kebanyakan karbohidrat dalam

makanan akan diserap ke dalam aliran darah dalam bentuk monosakarida glukosa.

Jenis gula lain akan diubah oleh hati menjadi glukosa (Guyton & Hall, 2016).

2) Latihan Gerakan Tubuh

Aktivitas fisik mempengaruhi kadar glukosa dalam darah. Ketika aktivitas tu-

buh tinggi, penggunaan glukosa oleh otot akan ikut meningkat. Sintesis glukosa

endogen akan ditingkatkan untuk menjaga agar kadar glukosa dalam darah tetap

seimbang. Pada keadaan normal, keadaan homeostasis ini dapat dicapai oleh

berbagai mekanisme dari sistem hormonal, saraf, dan regulasi glukosa

(Kronenberg et al., 2015).

Ketika tubuh tidak dapat mengkompensasi kebutuhan glukosa yang tinggi

akibat aktivitas fisik yang berlebihan, maka kadar glukosa tubuh akan menjadi

terlalu rendah (hipoglikemia). Sebaliknya, jika kadar glukosa darah melebihi


29

kemampuan tubuh untuk menyimpannya disertai dengan aktivitas fisik yang

kurang, maka kadar glukosa darah menjadi lebih tinggi dari normal

(hiperglikemia) (ADA, 2016).

3) Penggunaan Obat

Berbagai obat dapat mempengaruhi kadar glukosa dalam darah, di antaranya

adalah obat antipsikotik dan steroid (ADA, 2016). Obat antipsikotik atipikal

mempunyai efek simpang terhadap proses metabolisme. Penggunaan klozapin dan

olanzapin sering kali dikaitkan dengan penambahan berat bahan sehingga

pemantauan akan asupan karbohidrat sangat diperlukan. Penggunaan antipsikotik

juga dikaitkan dengan kejadian hiperglikemia walaupun mekanisme jelasnya

belum diketahui. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh penambahan berat badan

akibat resistensi insulin (B. Katzung & Trevor, 2015). Steroid mempunyai efek

yang beragam karena steroid dapat mempengaruhi berbagai fungsi sel di dalam

tubuh. Salah satu di antaranya adalah efek steroid terhadap metabolisme

karbohidrat, protein, dan lemak. Steroid sintetik mempunyai mekanisme kerja

yang sama dengan steroid alami tubuh (B. Katzung & Trevor, 2015).

Glukokortikoid mempunyai peran penting dalam proses glukoneogenesis.

Kortisol dan glukokortikoid lainnya dapat meningkatkan kecepatan proses

glukoneogenesis hingga 6 sampai 10 kali lipat. Selain berperan dalam proses

glukoneogenesis, kortisol juga dapat menyebabkan penurunan pemakaian glukosa

oleh sel. Akibat peningkatan kecepatan glukoneogenesis dan penurunan


30

pemakaian glukosa ini, maka konsentrasi glukosa dalah darah akan meningkat

(Guyton, 2016).

4) Keadaan Tidak sehat

Beberapa penyakit dapat mempengaruhi kadar glukosa di dalam darah

seseorang, di antaranya adalah penyakit metabolisme diabetes mellitus dan

tirotoksikosis. Diabetes mellitus adalah sekelompok penyakit metabolik berupa

hiperglikemia yang diakibatkan oleh gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau

keduanya. Berdasarkan etiologinya, diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi

berbagai jenis, di antaranya adalah diabetes mellitus tipe 1 (DM tipe 1) dan

diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) (ADA, 2016).

DM tipe 2 adalah diabetes yang terjadi akibat resistensi hormon insulin. DM

tipe 2 ini ditandai dengan kelainan sekresi dan kerja insulin. Sel tidak lagi

responsif terhadap insulin sehingga terjadi pengikatan abnormal antara kompleks

reseptor-insulin dengan sistem transpor glukosa. Hal ini akan menggangu kerja

insulin hingga akhirnya sel beta pankreas gagal untuk menyekresikan insulin.

Defisiensi insulin ini akan menyebabkan keadaan hiperglikemia (Roberts et all ,

2015). Tirotoksikosis adalah respons jaringan tubuh akibat pengaruh metabolik

hormon tiroid yang berlebihan. Hormon tiroid mempunyai efek pada pertumbuhan

sel, perkembangan, dan metabolisme energi (Roberts et al, 2015). Tiroksikosis

dapat menaikkan kadar glukosa darah melalui efek hormon tiroid terhadap

metabolisme karbohidrat. Hormon tiroid dapat meningkatkan kecepatan

penggunaan glukosa oleh sel, meningkatkan proses glukoneogenesis,


31

meningkatkan kecepatan absorpsi saluran cerna, bahkan meningkatkan sekresi

insulin (Guyton, 2016).

5) Stres

Stres, baik stres fisik maupun neurogenik, akan merangsang pelepasan ACTH

(adrenocorticotropic hormone) dari kelenjar hipofisis anterior. Selanjutnya,

ACTH akan merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon

adrenokortikoid, yaitu kortisol. Hormon kortisol ini kemudian akan menyebabkan

peningkatan kadar glukosa dalam darah (Guyton, 2016). Hormon ini

meningkatkan katabolisme asam amino di hati dan merangsang enzim-enzim

kunci pada proses glukoneogenesis. Akibatnya, proses glukoneogenesis meningkat

(Murray et all, 2018). Stress juga merangsang kelenjar adrenal untuk

menyekresikan epinefrin. Epinefrin menyebabkan glikogenolisis di hati dan otot

dengan menstimulasi enzim fosforilase (Murray et al, 2018). Beberapa jenis stres

yang dapat meningkatkan pelepasan kotisol adalah:

a) Trauma.

b) Infeksi.

c) Suhu yang ekstrim.

d) Injeksi norepinefrin dan obat-obat simpatomimetik lain.

e) Pembedahan.

f) Injeksi bahan yang bersifat nekrolisis di bawah kulit.

g) Pengekangan sehingga tidak dapat bergerak.

h) Hampir setiap penyakit yang menyebabkan kelemahan (Guyton, 2016).


32

6) Siklus Menstruasi

Menstruasi adalah perdarahan pervaginam periodik yang terjadi akibat

peluruhan mukosa uterus (Sender & Decherney, 2016). Siklus menstruasi terdiri

dari tiga fase, yaitu fase proliferasi, sekretori, dan menstruasi. Selama siklus

menstruasi, terjadi fluktuasi hormon-hormon yang berperan dalam mengatur

siklus, termasuk estrogen dan progesteron. Selama fase proliferasi, terdapat

peningkatan kadar estrogen. Pada fase sekretori, kadar hormon estrogen dan

progesteron meningkat. Sedangkan pada fase menstruasi, kedua hormon ini

terdapat dalam kadar yang sangat rendah [CITATION She15 \l 1033 ]. Fluktuasi

hormon-hormon selama siklus menstruasi ini diduga menyebabkan perubahan

kadar glukosa darah. Peningkatan kadar progesteron dikatakan dapat

menyebabkan resistensi insulin temporer, sehingga menyebabkan kadar glukosa

darah lebih tinggi dari normal. Kadar estrogen yang tinggi dapat meningkatkan

sensitivitas terhadap insulin, sehingga kadar glukosa darah dapat lebih rendah dari

normal. Perubahan kadar glukosa darah ini mungkin juga berhubungan dengan

adanya inflamasi ringan sebelum menstruasi (Sangavi & Bennal, 2018).

7) Kekurangan Cairan

Kekurangan Cairan adalah suatu kondisi di mana tubuh kekurangan cairan

sehingga keseimbangan air menjadi negatif. Ketika tubuh kekurangan cairan,

maka tubuh akan melakukan kompensasi dengan cara mengaktifkan sistem renin-

angiotensin. Angiotensin II kemudian akan merangsang pelepasan vasopresin yang

salah satu efeknya adalah meningkatkan reabsorpsi air oleh tubulus ginjal
33

(Sherwood, 2015). Selain berfungsi dalam meretensi air, vasopresin juga

mempunyai efek terhadap metabolisme glukosa. Vasopresin memiliki reseptor di

hati dan di pulau Langerhans pankreas. Vasopresin merangsang proses

glukoneogenesis dan pelepasan glukagon sehingga meningkatkan kadar glukosa

dalam darah (El Khoury et al., 2018)

8) Konsumsi Alkohol

Konsumsi alkohol dikaitkan dengan hipoglikemia. Sebagian pecandu alkohol

mengalami hipoglikemia akibat gangguan metabolisme glukosa. Metabolisme

alkohol (etanol) melibatkan enzim alkohol dehidrogenase (ADH) yang terutama

terdapat di hati. Proses perubahan etanol menjadi asetaldehid menghasilkan zat

reduktif yang berlebihan di hati, terutama NADH (B. G. Katzung & Trevor, 2015).

9) Usia

Faktor usia merupakan faktor yang tidak bisa dimodifikasi atau di rekayasa.

Sesorang yang menderita DM apabila memiliki luka akan lama atau sulit

sembuhnya, dikarenakan semakin bertambahnaya usia semakin membuat kondisi

tubuh berkurang vitalitasnya salah satunya berkurangnya kemampuan jaringan

untuk memperbaiki.

10) Pemantauan (Monitoring) kadar gula darah

Pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri atau Self-Monitiring Blood

Glucose (SMBG) memungkinkan untuk deteksi dan mencegah hiperglikemia atau

hipoglikemia, pada akhirnya akan mengurangi komplikasi diabetic jangka panjang.

Pemeriksaan ini sangat dianjurkan bagi pasien dengan penyakit DM yang tidak
34

stabil, kecenderungan untuk mengalami ketosis berat, hiperglikemia dan

hipoglikemia tanpa gejala dengan ringan.Kaitanya dengan pemberian insulin, dosis

insulin yang diperlukan pasien ditenukan oleh kadr glukosa darah yang akurat.

SMBG telah menjadi dasar dalam memberikan terapi insulin (Damayanti, 2015)

b. Faktor Eksternal

1) Pendidikan

Pendidikan adalah salah satu upaya persuasi atau pembelajaran kepada

masyarakat agar mau melakukan tindakan-tindakan untuk memelihara atau

mengatasi masalah-masalah, dan meningkatkan kesehatanya.Pendidikan

mempunyai kaitan yang tinggi terhadap perilaku pasien untuk menjaga dan

meningkatkan kesehatanya. Pendidikan bagi pasien DMT 2 berhubungan dengan

perilaku pasien dalam melakukan pengendalian kadar glukosa darah agar tetap

stabil. Hasil atau perubahan perilaku dengan cara ini membutuhkan waktu yang

lama, namun hasil yang dicapai bersifat tahan lama karena didasari oleh kesadaran

sendiri ( Qurratuaeni, 2017).

2) Pengetahuan

Pengetahuan adalah domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru dalam diri orang tersebut

sehingga terjadi suatu proses (Rogers 1994 dalam Qurratuaeni 2017). Pasien DM

tipe 2 akan mampu melakukan pengendalian kadar gula darah (KGD) dengan baik

apabila didasari dengan pengetahuan mengenai penyakit DM, baik tanda dan

gejala serta penatlaksanaannya (Qurratuaeni, 2017).


35

D. Konsep Kepatuhan

1. Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan adalah sikap patuh, ketaatan, sedangkan patuh adalah suka menurut

perintah, taat kepada aturan/perintah (Depdikbud, 2015). Menurut Sackett (1976)

cit Niven (2016) kepatuhan klien adalah sejauh mana prilaku klien sesuai dengan

ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan. Kepatuhan merupakan

manifestasi dari suatu sikap dan perilaku berkaitan erat dengan motivasi. Motivasi

ini daya yang menggerakan manusia untuk berperilaku (Ninda fauzi, 2015).

Kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien yang tertuju terhadap instruksi atau

petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang ditentukan, baik diet,

latihan, pengobatan, atau menepati janji pertemuan dengan dokter (Bragista

Guntur, 2016).

Menurut Sarwono (2010) dalam Ninda fauzi (2015) perubahan sikap dan

perilaku individu dimulai dengan tahap identifikasi lalu kemudian menjadi tahap

internalisasi, tahap ini biasanya kepatuhan akan muncul. Tahap kepatuhan awalnya

bersifat sementara artinya bahwa mula-mula individu mematuhi anjuran atau

intruksi petugas tetapi berdasarkan keterpaksaan atau ketidakpahaman dimana

pada tahap ini biasanya masih dibawah pengawasan petugas.

Kepatuhan kemudian dapat berubah bentuk menjadi kepatuhan yang di dasari

alasan demi menjaga hubungan dengan petugas kesehatan atau tokoh yang

menganjurkan perubahan tersebut (change agent). Kepatuhan ini timbul karena


36

individu merasa tertarik atau mengagumi tokoh tersebut tanpa memahami

sepenuhnya arti dan manfaat dari tindakan tersebut, tahap ini disebut tahap

identifikasi. Setelah 2 tahapan diatas akan terjadi tahapan berikutnya yaitu tahap

internalisasi. Tahap inilah perubahan individu dapat menjadi optimal dimana

individu mulai berfikir dan merasakan bahwa perilaku baru yang dapat

diintergrasikan kedalam nilai-nilai lain dari hidupnya (Ninda fauzi, 2015)

2. Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

(Carpenito, 2000 dalam Bragista Guntur, 2016) berpendapat bahwa factor-

faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah segala sesuatu yang dapat

berpengaruh positif sehingga penderita tidak mampu lagi mempertahankan

kepatuhannya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak patuh. Adapun factor-faktor

yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya :

a. Faktor Intrinsik

Faktor intrinsik adalah faktor yang tidak perlu rangsangan dariluar, yang

berasal dari diri sendiri, yang terdiri dari :

1) Motivasi

Motivasi adalah daya yang menggerakkan manusia untuk berprilaku (Irwanto

dkk, 1998 dalam Ninda fauzi, 2015).

2) Keyakinan, Sikap dan Kepribadian

Blumental (1982) cit Niven (2015) telah menyelidiki tentang hubungan antara

pengukuran kepribadian dengan kepatuhan. Orang-orang yang tidak patuh adalah

orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas, memiliki kekuatan ego yang
37

lemah dan yang kehidupan socialnya lebih memusatkan perhatian kepada dirinya

sendiri. Ciri-ciri kepribadian yang disebutkan diatas itu yang menyebabkan

seseorang cenderung tidak patuh (Drop Out) dari program pengobatan.

3) Pendidikan

Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan pasien sepanjang bahwa

pendidikan tersebut adalah pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku

dan kaset oleh pasien secara mandiri (Niven, 2015).

4) Interaksi

Kualitas interaksi antara professional kesehatan dengan pasien merupakan bagi-

an yang penting dalam menentukan kepatuhan (Niven, 2015).

5) Perubahan Model Terapi

Program-program kesehatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan pasien

terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut (Niven, 2015).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan

Ketidakpatuhan menurut Guntur (2016) terjadi karena ketiga faktor, antara lain:

a. Faktor pasien

1) Ketidak seriusan pasien terhadap penyakitnya.

2) Ketidakpuasan terhadap hasil terapinya.

3) Kurangnya dukungan dari keluarga terkait pelaksanaan terapi.

b. Faktor komunikasi

1) Tingkat pengawasan tim kesehatan

2) Kurang penjelasan yang lengkap, tepat, dan jelas.


38

3) Interaksi dengan petugas kesehatan sedikit atau tidak sama sekali.

c. Faktor perilaku

1) Munculnya efek yang merugikan.

2) Hambatan fisik atau biaya untuk mendapatkan obat.

4. Manfaat Kepatuhan

Menurut (Widodo ,2015) manfaat dari kepatuhan yaitu :

1) Keberhasilan pengobatan, diet sangat berarti dan mempunyai efek bagi

penyembuhan.

2) Menurunkan biaya perawatan, karena kepatuhan terhadap obat dan diet

mempercepat perawatan sehingga tidak perlu lama-lama dirawat.

3) Tingkat kesembuhan meningkat, karena kepatuhan minum obat dan diet

mempunyai peluang untuk sembuh sangat besar.

Sedangkan ketidakpatuhan memperlama masa sakit atau meningkatkan

keparahan penyakit (Pratiwi, 2015).

5. Kepatuhan dalam Diet Diabetes Mellitus

Menurut Windusari (2015) kepatuhan diet DM adalah ketaat terhadap makanan

dan minuman yang dikonsumsi pasien DM setiap hari untuk menjaga kesehatan

dan mempercepat proses penyembuhan, diet ini berupa 3J yaitu tepat jadwal, tepat

jenis dan tepat jumlah.

a. Kepatuhan Perencanaan Makan

Perawatan pada pasien dengan DM difokuskan pada suatu program yang

melibatkan aktifitas sehari – hari yang dirancang untuk mengendalikan penyakit,


39

perawatan ini meliputi : mengendalikan asupan nutrisi / diet, berolah raga secara

teratur, menggunakan obat sesuai resep serta memantau kadar gula darah (Aspiani,

2018)

Konsesus Pengelolaan DM di Indonesia yang telah disusun oleh PERKENI

antara lain memberikan pedoman tentang kebutuhan gizi orang dengan DM dan

anjuran penggunaan Daftar Bahan Makanan Penukar dalam perencanaan diit .

Standar yang dianjurkan adalah santapan dengan komposisi seimbang berupa

karbohidrat (60-70 %), protein (10-15 %) dan lemak (20-25 %) (Sukardji, 2015).

Beberapa petunjuk pemberian diet pada penderita DM (Tjokroprawiro, 2015):

1) Pemberian diit diusahakan untuk dapat memenuhi beberapa persyaratan antara

lain :

a) Memperbaiki kesehatan umum pederita.

b) Menyesuaikan berat badan penderita ke berat badan normal

c) Menormalkan pertumbuhan DM anak atau dewasa muda (masa

pertumbuhan).

d) Mempertahankan glukosa darah sekitar normal.

e) Menekan atau menunda timbulnya angiopati diabetik.

f) Memberikan modifikasi diit sesuai dengan keadaan penderita .

g) Menarik serta mudah diterima penderita.

2) Dalam melaksanakan diit DM hendaknya diikuti pedoman " 3J " ( Jumlah,

Jadwal, Jenis),artinya :
40

J1 : jumlah kalori yang diberikan harus habis.

J2 : jadwal diit harus diikuti sesuai dengan intervalnya tiga jam.

J3 : jenis makanan yang manis harus dihindari.

3) Untuk kasus-kasus yang kadar glukosa darahnya sulit normal (resisten), latihan

tiga kali sehari pada saat 1-1½ jam sesudah makanan utama adalah mutlak

harus dilaksanakan.

4) Penentuan jumlah kalori diit Diabetes Mellitu DM s disesuaikan dengan status

gizi penderita. Penentuan gizi penderita dilaksanakan dengan menghitung

Percentage Of Relative Body Weigh (BBR) atau berat badan relative.

b. Kepatuhan Olah Raga Secara Teratur

Olah raga pada diabetisi dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pemakaian

glukosa oleh otot yang aktif,sehingga secara langsung menyebabkan penurunan

glukosa darah (Ilyas . E, 2017).

Pada pria paruh baya dan lansia membuktikan bahwa aktifitas fisik yang terdiri

atas latihan setidaknya seminggu sekali menurunkan resiko keseluruhan timbulnya

DM dengan 40 %. (Darmojo, 2015). Olah raga yang dapat dilakukan yaitu

pekerjaan rumah dan berkebun, berjalan – jalan, jalan cepat, berenang, bersepeda,

senam.Manfaat olah raga bagi penderita DM yaitu meningkatkan penurunan kadar

glukosa darah, mencegah kegemukan, berperan dalam mengatasi kemungkinan

terjadinya komplikasi dan mengurangi resiko penyakit jantung coroner dan

meningkatkan kualitas hidup diabetisi dengan meningkatnya kemampuan kerja.


41

c. Penggunaan Obat Sesuai Resep

Aspiani (2018) mengatakan pemberian obat peroral diberikan untuk

menstimulasi sekresi insulin oleh pankreas. Obat – obat DM yang sering

diresepkan dan dianjurkan antara lain :

1) Sulfoniluera (Glucotrol, Gliburide).

2) Glucophage : obat ini tidak menurunkan kadar gula darah, tetapi meningkatkan

penggunaan glukosa oleh jaringan perifer dan usus.

3) Terapi insulin : diperlukan untuk menambah suplai dari tubuh dan untuk

membatasi komplikasi penyakit .

Ketidakpatuhan pada penderita lansia terutama pada pengobatan sangatlah

besar. Untuk mengurangi ketidakpatuhan pada pemberian obat dapat diupayakan

hal – hal sebagai berikut : (Darmojo, 2015)

a) Penjelasan pada penderita : selama 15 menit akan mengurangi kesalahan

bahkan pada penderita yang orientasinya sudah berkurang.

b) Pilihan preparat : berperan sangat penting untuk meningkatkan kepatuhan. Obat

betuk cair lebih disukai dibanding tablet.

c) Wadah obat : mudah dibuka dan terbuat dari transparan, karena sering

menganali obatnya dari bentuk,warna dan ukurab tablet.

d) Label : harus memberikan petunjuk yang jelas .

e) Bantuan mengingat : dengan menggunakan kartu identifikasi obat atau kalender

sobek.
42

f) Pengawasan minum obat dapat dilakukan oleh keluarga atau perawat.

d. Pemantauan Kadar Gula Darah

Pemantauan DM merupakan pengendalian kadar gula darah mencapai kondisi

senormal mungkin. Dengan terkendalinya kadar gula darah maka akan terhindar

dari keadaan hiperglikemia dan hipoglikemia serta mencegah terjadinya

komplikasi (Soewondo, 2015). Hasil Diabetes Control And Complcation Trial

(DCCT) menunjukan bahwa pengendalian diabetes yang baik dapat mengurangi

komplikasi DM antara 20 – 30 % (Soewondo, 2015).

6. Faktor yang berhubungan dengan Kepatuhan Diet

a. Faktor demografi individu

Smeltzer, (2017) mengemukakan bahwa faktor demografi yang mempengaruhi

kepatuhan antara lain: usia, jenis kelamin, suku bangsa, statu ekonomi dan

pendidikan. Sedangkan Fleischhacker (2015) menguraikan bahwa usia, jenis

kelamin, gangguan kognitif, dan psikopatologi merupakan faktor yang

mempengaruhi kepatuhan.

1) Usia

Pada kasus Diabetes mellitus, usia berpengaruh terhadap kepatuhan terapi

non famakologis salah satunya diet. Dalam berbagai literature menunjukkan

bahwa usia mempunyai hubungan terhadap kepatuhan diet penderita DM. pada

beberapa penelitian membuktikan bahwa usia dewasa lebih patuh dibandingkan

lansia (Putu Keni, 2015). Menurut pendapat Hurlock bahwa usia dewasa
43

merupakan usia yang secara fisik sangat sehat, kuat dan cekatan untuk dapat

memahami dan menjalankan berbagai aturan dibandingkan orang yang sudah

usia lanjut (Lestari, 2015). Singgih D Gunarso mengemukakan bahwa semakin

tua umur seseorang maka proses perkembangan mentalnya bertambah baik,

akan tetapi pada umur tertentu bertambahnya proses perkembangan mental ini

tidak secepat seperti ketika berumur belasan tahun. Seorang pasien penderita

diabetes mellitus yang telah mempunyai usia >35 tahun cenderung tidak mudah

untuk menerima perkembangan atau informasi baru yang menunjang derajat

kesehatannya karena proses berpikir yang dimiliki responden mengalami

penurunan dalam mengingat dan menerima suatu hal yang baru Purwanto

(Purwanto, 2016).

2) Jenis kelamin

Beberapa penelitian Wong et al, (2015) menunjukkan faktor jenis kelamin

tidak berhubungan dengan kepatuhan diet penderita DM. Menurut Mursamimi

(2015) laki – laki lebih patuh dalam menjalankan diet karena berkaitan dengan

tanggungjawabnya sebagai pencari nafkah sehingga dirinya menyadari harus

patuh dalam diet, Namun ada beberapa penelitian lain yang menyatakan bahwa

jenis kelamin tidak mempunyai hubungan bermakna terhadap kepatuhan diet

penderita (Lestari, 2015)

3) Pengetahuan
44

Pengetahuan pasien tentang kepatuhan pengobatan yang rendah yang dapat

menimbulkan kesadaran yang rendah akan berdampak dan berpengaruh pada

pasien dalam mengikuti tentang cara pengobatan, kedisiplinan pemeriksaan

yang akibatnya dapat terjadi komplikasi berlanjut. Penelitian yang dilakukan

oleh Purwanto (2016) menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara

pengetahuan tentang diet diabetes dengan kepatuhan pelaksanaan diet penderita

diabetes mellitus tipe 2. Notoadmodjo (2019) menyatakan bahwa perilaku baru

terutama pada orang dewasa dimulai pada dominan kognitif dalam arti subjek

tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi objek diluarnya

menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap (Runtukahu, et al, 2015).

4) Pendidikan

Menurut Notoadmodjo (2003), pendidikan merupakan suatu kegiatan atau

proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan

sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdisi sendiri. Semakin rendah tingkat

pendidikan yang dimiliki maka akan semakin rendah pula kemampuan yang

akan dimiliki seseorang dalam menyikapi suatu permasalahan. Seorang pasien

diabetes mellitus yang mempunyai latar belakang pendidikan yang kurang

cenderung tidak dapat menerima perkembangan baru mengenai kesehatannya

(Purwanto, 2016).

5) Pendapatan
45

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ettner et al (2015) menunjukkan

bahwa ada hubungan antara pendapatan dengan kepatuhan dalam menjalankan

diet pada penderita DM. Hal tersebut sesuai dengan hasil penenlitian yang

dilakukan oleh Ellis (2015) bahwa penderita DM tipe 2 dengan pendapatan

yang rendah cenderung memiliki kapetuhan yg rendah pula, hal tersebut

dikarenakan orang yang mempunyai pendapatan rendah mempunyai peluang

untuk membeli makanan sesuai diet diabetes lebih sedikit dibandingkan dengan

yang pendapatannya tinggi (Lestari, 2015).

6) Lama Menderita dan Keparahan Penyakit

Niven (2015) mengemukakan bahwa lamanya waktu pasien harus memenuhi

nasihat yang diberikan selama sakit akan mempengaruhi tingkat kepatuhan

pasien pengobatan yang dijalani (Anggina, et al, 2015). Menurut Smeltzer et al.

(2015), variabel penyakit seperti tingkat kaparahan penyakit dan hilangnya

gejala akibat terapi dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam pengobatan

(Iswanti, 2015).

7) Persepsi

Menurut konsep model kepercayaan kesehatan (Health Believe Model),

persepsi positif dari sesorang merupakan unsur penting yang membentuk

seseorang untuk mengambil tindakan yng baik dan sesuai untuk menlakukan

tindakan pencegahan atau penyembuhan penyakit (Lestari, 2015).

8) Motivasi Diri
46

Motivasi diri merupakan dorongan, baik dari dalam maupun dari luar diri

sesorang untuk menggerakkan dan mendorong sikap serta perubahan

perilakunya.

9) Kepercayaan Diri

Kepercayaan diri adalah aplikasi dari sikap untuk penerimaan atau

penolakan, penilaian, suka atau tidak suka, kepositifan atau kenegatifan

terhadap suatu objek psikologis. Kepercayaan diri yang sudah terbentuk dan

berkembang dalam diri seseorang, dimana hal tersebut sudah menjadi bagian

dari dirinya dalam kehidupan sehari-hari akan cenderung dipertahankan dan

sulit sekali dirubah. Menurut Basuki (2016) kepatuhan penderita DM didasari

oleh rasa percaya diri dan motivasi dalam diri untuk mengikuti seluruh anjuran

dalam program diet bagi penderita DM (Hendro, 2015). Kepercayaan diri

merupakan faktor yang sangat penting terhadap perubahan perilaku, sesorang

yang mempunyai kepercayaan diri yang yang tinggi mempunyai peluang lebih

besar untuk melakukan perubahan perilaku (Tovar, 2015).

10) Keikutsertaan Penyuluhan Gizi

Tujuan penyuluhan bagi penderita DM adalah untuk menginkatkan

pengetahuan yang akan menjadi titik tolak perubahan sikap dan gaya hidup

sesorang sehingga akan mencapai kualitas hidup yang lebih baik, oleh

karena itu semakin sering sesoang mendapat penyuluhan makan akan

semakin baik pula perilakunya (Lestari, 2015)

11) Tenaga Kesehatan


47

Interaksi antara pasien dengan tenaga kesehatan sangat menentukan derajat

kepatuhan. Kegagalan dalam pemberian informasi yang lengkapmengenai obat

dari tenaga kesehatan dapat menjadi penyebab ketidakpatuhan pasien dalam

mengkonsumsi obat (Iswanti, 2015). Niven (2015) berpendapat bahwa kualitas

interaksi profisional kesehatan dengan pasien merupakan bagian penting dalam

menentukan derajat kepatuhan, orang – orang yang merasa menerima perhatian

seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mudah mengikuti nasihat

medis daripada pasien yang merasa kurang mendapat dukungan social dari

orang lain (Kamaludin et al, 2015: 23)

12) Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa

kehidupan, sifat dan jenis dukungan berbeda – beda dalam berbagai tahap

kehidupan. Namun demikian, dalam semua siklus tahapan kehidupan,

dukungan social keluarga dapat membuat keluarga mampu berfungsi dengan

berbagai kepandaian dan akal, sehingga meningkatkan kesehatan dan adaptasi

keluarga (Elmiani, et al, 2015). Keluarga dapat mempengaruhi keyakinan, nilai

kesehatan, dan menentukan program pengobatan yang diterima oleh pasien.

Keluarga berperan dalam pengambilan keputusan tentang perawatan anggota

keluarga yang sakit , menentukan keputusan mencari dan mematuhi pengobatan

(Iswanti, 2015). Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi ketaatan pasien dalam menjalankan diet, dimana dukungan

tersebut berupa dukungan emosional, materil, serta psikis (Elmiani, et al, 2015).
48

Pasien yang mendapat dukungan dan komunikasi yang baik dengan

keluarganya cenderung memiliki tingkat kepatuhan yang lebih baik

(Puspitasari, 2015)

13) Keteraturan Cek Kesehatan

Menurut O’Conner (2015) keteraturan cek kesehatan yang baik pada

penderita Diabetes mellitus akan membuat pasien lebih memahami tentang

pengelolaan DM dan akan lebih baik dalam menjalankan rekomendasi

pengobatan dari petugas kesehatan (Lestari, 2015).

E. Konsep Tingkat Pengetahuan

1. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa

dan raba. Sebagian besar, pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2015).

2. Kriteria Pengetahuan

Menurut Nursalam (2017) penilaian-penilaian didasarkan pada suatu kriteria

yang di tentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Misalnya, dapat membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan anak yang
49

kekurangan gizi. Kriteria untuk menilai dari tingkatan pengetahuan menggunakan

nilai :

a. Tingkat pengetahuan baik bila skor atau nilai 76-100%

b. Tingkat pengetahuan cukup bila skor atau nilai 56-75%

c. Tingkat pengetahuan kurang bila skor atau nilai ≤ 56%

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan :

a. Faktor Internal menurut Notoatmodjo (2015):

1) Pendidikan

Tokoh pendidikan abad 20 M. J. Largevelt yang dikutip oleh Notoatmojo

(2015) mendefinisikan bahwa pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh,

perlindungan, dan bantuan yang diberikan kepada anak yang tertuju kepada

kedewasaan. Sedangkan GBHN Indonesia mendefinisikan lain, bahwa

pendidikan sebagai suatu usaha dasar untuk menjadi kepribadian dan

kemampuan didalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup.

2) Minat

Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi

terhadap sesuatu dengan adanya pengetahuan yang tinggi didukung minat yang

cukup dari seseorang sangatlah mungkin seseorang tersebut akan berperilaku

sesuai dengan apa yang diharapkan.

3) Pengalaman

Pengalaman adalah suatu peristiwa yang dialami seseorang dikutip oleh

Azwar (2015), mengatakan bahwa tidak adanya suatu pengalaman sama sekali.
50

Suatu objek psikologis cenderung akan bersikap negatif terhadap objek tersebut

untuk menjadi dasar pembentukan sikap pengalaman pribadi haruslah

meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu sikap akan lebih mudah terbentuk

apabila pengalaman pribadi tersebut dalam situasi yang melibatkan emosi,

penghayatan, pengalaman akan lebih mendalam dan lama membekas.

4) Usia

Usia individu terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun.

Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih

matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat

seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya daripada orang yang belum

cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan

kematangan jiwanya, makin tua seseorang maka makin kondusif dalam

menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi (Azwar, 2015).

b. Faktor Eksternal menurut Notoatmodjo (2015), antara lain :

1) Ekonomi

Keluarga dengan status ekonomi baik lebih mudah tercukupi dibanding

dengan keluarga dengan status ekonomi rendah, hal ini akan mempengaruhi

kebutuhan akan informasi termasuk kebutuhan sekunder. Jadi dapat

disimpulkan bahwa ekonomi dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang

tentang berbagai hal.

2) Informasi
51

Informasi adalah keseluruhan makna, dapat diartikan sebagai pemberitahuan

seseorang adanya informasi baru mengenai suatu hal memberikan landasan

kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan

sugestif dibawa oleh informasi tersebut apabila arah sikap tertentu. Pendekatan

ini biasanya digunakan untuk menggunakan kesadaran masyarakat terhadap

suatu inovasi yang berpengaruh perubahan perilaku, biasanya digunakan

melalui media masa.

3) Kebudayaan/Lingkungan

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar

terhadap pengetahuan kita. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya

untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin berpengaruh

dalam pembentukan sikap pribadi atau sikap seseorang. Bagi penderita diabetes

tingkat pengetahuan tersebut sangat penting dan mempengaruhi dalam

penerapan manajemen diabetes untuk mengontrol kadar gula darah mereka.

Menurut Suriasumantri (2015), ada dua cara pada manusia untuk

mendapatkan pengetahuan yang benar yaitu melalui rasio dan pengalaman.

Rasio adalah pengetahuan yang bersifat abstrak dan pra pengalaman yang

didapatkan melalui penalaran manusia tidak memerlukan pengamatan fakta

yang ada. Sementara pengalaman adalah jenis pengetahuan yang didapat dilihat

oleh indra manusia berdasarkan pengalaman pribadi berupa fakta dan informasi

yang konkret dan memerlukan pembuktian lebih lanjut.


52

Menurut Notoatmodjo (2015), beberapa tahapan yang terjadi pada manusia

sebelum berperilaku baru berdasarkan pengetahuan adalah:

a) Awarness (kesadaran), orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui

stimulus (objek) terlebih dahulu.

b) Interest, yaitu orang mulai tertarik terhdap stimulus.

c) Evaluation, yaitu menimbang- nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut

bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d) Trial, yaitu orang sudah mulai mencoba perilaku baru.

e) Adoption, yaitu subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

BAB III

KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Teori

Faktor yang mempengaruhi kepatuhan ada 2 yaitu faktor intrisik dan faktor

ekstrinsik. Pada faktor intrinsik terdapat faktor motivasi, faktor keyakinan, sikap dan

kepribadian, faktor pendidikan dan faktor pemahaman terhadap interaksi. Pada faktor

ekstriksik terdapat faktor dukungan sosial, dukungan dari professional kesehatan,

kualitas interaksi dan perubahan model terapi. Dari faktor-faktor tersebut dapat
53

mempengaruhi Kepatuhan Diet Diabetes Mellitus, prisip Diet Diabetes Mellitus

dikenal juga dengan sebutan 3J yaitu tepat Jadwal, tepat Jenis dan tepat Jumlah dari

prinsip 3J tersebut berpengaruh terhadap tingkat kadar gula darah. Faktor yang

mempengaruhi perubahan tingkat kadar gula darah sendiri ada 2 yaitu ekternal dan

internal, pada faktor internalnya Penyakit & Stres, Obesitas, Makanan, Latihan atau

Olahraga, OHO dan Insulin, Usia serta Pemantauan (Monitoring ) Kadar Gula Darah.

Sedangkan faktor eksternal adalah Pendidikan dan Pengetahuan

Berdasarkan teori yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan kerangka

teori Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Kepatuhan Diet Dengan Kadar Gula Darah

Penderita Diabetes Mellitus Tipe II di Poli Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib

Tahun 2020 sebagai berikut :

Faktor Predisposisi
1. Usia 52
2. Jenis Kelamin Kepatuhan Diet Diabetes
3. Lama Menderita DM
Mellitus
4. Pengetahuan
5. Pendidikan
(3J) :
6. Persepsi
7. Motivasi a. Tepat Jadwal
8. Kepercayaan diri b. Tepat Jenis
Faktor Penguat c. Tepat Jumlah
1. Dukungan Keluarga
2. Dukungan Petugas
Kesehatan
Faktor Pendukung
1. Keikutsertaan
penyuluhan gizi
Kadar Gula Darah
54

Keterangan

Diteliti

Tidak diteliti

Bagan 3.1. Kerangka Teori Penelitian


(Dimodifikasi dari Priyoto, 2015, ADA, 2016, Niven, 2015 ).

B. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah uraian dan visualisasi kaitan atau hubungan

antara konsep yang satu dengan konsep yang lainnya, atau antara variabel yang satu

dengan variabel yang lain dari masalah yang diteliti (Notoatmodjo, 2018). Sesuai

dengan uraian hasil tinjauan teori peneliti, maka didapatlah kerangka konsep untuk

mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan kepatuhan diet dengan kadar gula

darah penderita diabetes mellitus tipe II di Poli Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad

Tabib.

Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Tingkat
Pengetahuan
Kadar Gula Darah

Kepatuhan Diet

Bagan 3.2
Kerangka Konsep
55

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah sebuah pernyataan tentang hubungan yang diharapkan antara dua

variabel atau lebih yang dapat diuji secara empiris (Nursalam, 2017). Hipotesis pada

penelitian ini adalah

1. Ada hubungan tingkat pengetahuan dengan kadar gula darah penderita

diabetes mellitus tipe II di Poli Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib.

2. Ada hubungan kepatuhan diet dengan kadar gula darah penderita diabetes

mellitus tipe II di Poli Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib.

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Peneltian

Jenis penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitatif korelasional dengan

pendekatan cross sectional. Penelitian cross sectional adalah penelitian di mana

variabel independen dan variabel dependen dinilai hanya satu kali pada suatu saat

(Nursalam, 2017). Pengukuran data penilitian (variabel bebas dan terikat) dilakukan

satu kali dan secara bersamaan. Pada penilitian ini akan menganalisis hubungan
56

tingkat pengetahuan dan kepatuhan diet terhadap kadar gula darah penderita diabetes

mellitus tipe II di Poli Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan jumlah yang terdiri dari atas objek atau subjek

yang mempunyai karakteristik dan kualitas tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk diteliti dan kemudian di tarik kesimpulannya (Sujarweni, 2015).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien diabetes mellitus tipe II di

Poli Penyakit Dalam di RSUD Raja Ahmad Tabib dalam kurun waktu 3 bulan

yang rata-ratanya 112 pasien.

2. Sampel
55
Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang akan diteliti (Sugiyono,

2016). Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien diabetes mellitus tipe II di

Poli Penyakit Dalam di RSUD Raja Ahmad Tabib dalam kurun waktu 3 bulan yang

rata-ratanya 112 pasien. Teknik pengambilan sampling adalah Teknik pengambilan

sampel menggunakan teknik purposive sampling yaitu tehnik menentukan sampel

penelitian dengan beberapa pertimbangan tertentu yang bertujuan agar data yang

diperoleh nantinya bisa lebih representatif (Sugiyono, 2016). Adapun besar sampel

ditetapkan dengan menggunakan rumus :


57

N
n=
1 + N ( d )2

Keterangan :

n : Perkiraan besar sampel

N : Perkiraan besar populasi

d : Jumlah signifikan (0,05)

n= 112
1 + 112(0,05)2

= 87,5 dibulatkan 88 orang

Kriteria Inklusi dalam penelitian adalah:

a. Penderita Diabetes Mellitus yang dibuktikan dengan data RM (Rekam Medis)

b. Penderita sebelumnya pernah mendapatkan informasi gizi atau konseling gizi

c. Penderita yang mendapatkan terapi farmakologi dari dokter

d. Bersedia menjadi responden

Kriteria Eksklusi dalam penelitian ini adalah :

a. Pasien DM tipe 1 dan DM Gestasional

b. Pasien DM yang mengkonsumsi non farmakologis dan herbal

C. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Poli Penyakit Dalam di RSUD Raja Ahmad Tabib

pada bulan 11 Desember 2020 sampai dengan 11 Januari 2021.


58

D. Variabel dan Definisi Operasional

Variabel penelitian berupa variabel bebas (independen) dan variabel terikat

(dependen). Variabel bebas (independen) dari penelitian ini adalah tingkat

penegtahuan dan kepatuhan diet, sedangkan variabel terikat (dependen) dari

penelitian ini adalah kadar gula darah.

Tabel 4.1 Variabel dan Definisi Operasional

N Skala
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil ukur
o Ukur
1 Independen
. Tingkat Segala Angket Kuesioner Ordinal Baik: Jika
Pengetahuan sesuatu skor nilai
yang dapat 76-100%
dijelaskan Cukup:
oleh Jika skor
seseorang nilai 56-
tentang 75%
diabetes Kurang:
mellitus Jika skor
meliputi nilai ≤56-
Pengetahua
n tentang 3
J yaitu
dalam
bentuk tepat
jadwal,
tepat jenis
dan tepat
jumlah

Kepatuhan Ketaatan Wawancara Kuesioner Ordinal Tidak


Diet pasien patuh,
dalam jika skor
penatalaksa ≤43
naan diet Patuh, jika
59

diabetes skor >43


mellitus
dalam
bentuk tepat
jadwal,
2 tepat jenis
Dependen dan tepat
Kadar Gula jumlah Hasil Laporan Ordinal Gula darah
Darah pemeriksaan medis klien puasa
yaitu
Baik : 80-
Kadar gula 109
darah puasa mg/dl
pada pasien Sedang :
diabetes 110-125
mellitus mg/dl
yang Buruk :
diambil ≥126
melalui mg/dl
hasil
pemeriksaa
n di Rumah
Sakit.

E. Instrument Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat bantu bagi peneliti dalam mengumpulkan data

(Nursalam, 2015). Alat pengumpulan data pada setiap variabel dalam penelitian ini

yaitu data demografi, pengukuran kadar gula darah, kuisioner pengetahuan, dan

kuisioner kepatuhan diet.

1. Data demografi

Di dalam kuisioner ini terdiri atas pertanyaan tentang data responden yang diisi

oleh responden, yaitu: Identitas yang terdiri dari nama/ inisial, umur, pendidikan

terakhir, pekerjaan
60

2. Instrumen Tingkat Pengetahuan

Instrumen Pengetahuan peneliti menggunakan kuesioner yang dikembangkan

peneliti dan peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen. Penilaian

diperoleh dengan cara pemberian skor yaitu skor 1 untuk jawaban yang benar dan

skor 0 untuk jawaban yang salah. Kuesioner yang telah diisi, kemudian dinilai

dengan rumus

Skor = Jawaban Benar x 100


Jumlah Pertanyaan

Hasil pengetahuan di atas kemudian dikelompokkan menjadi 3 kategori

menurut Nursalam (2017) yaitu :

a. Tingkat pengetahuan baik bila skor atau nilai 76-100%

b. Tingkat pengetahuan cukup bila skor atau nilai 56-75%

c. Tingkat pengetahuan kurang bila skor atau nilai ≤ 56%

Validitas instrumen ini menggunakan metode Alpha-Cronbach, dengan

membandingkan nilai r hitung dengan r tabel dengan tingkat kepercayaan 95%

atau tingkat signifikansi 5%. Besar r tabel ditentukan sesuai jumlah responden

yang diuji dengan tingkat signifikansi 5% (0,05) yaitu 0,464. Item instrument

dianggap valid atau relevan jika r hitung> r tabel yang telah ditentukan. Uji

reliabilitas pada kuesioner ini dilakukan setelah melakukan uji validitas. Hasil uji

reliabilitas pada kuesioner tingkat pengetahuan menunjukkan bahwa Cronbach

alpha sebesar 0,764, berarti pertanyaan pada kuesioner dinyatakan sangat reliable.

3. Instrumen Kepatuhan Diet


61

Instrumen kepatuhan berdasarkan penelitian Dody (2016). Untuk pengukuran

kepatuhan diet Selalu (SL) : Dilakukan 5 - 7 x dalam seminggu Sering (SR) :

Dilakukan 1- 4 x dalam seminggu Kadang-Kadang (KK) : Dilakukan 2- 2 x

dalam seminggu Tidak pernah (TP) : Tidak pernah dilakukan. Kemudian

ditentukan 3 kategori dengan ketentuan sebagai berikut : maka responden

mendapatkan skor :

a. Tidak patuh, jika skor ≤43

b. Patuh, jika skor >43

Validitas instrumen ini menggunakan metode Alpha-Cronbach, dengan

membandingkan nilai r hitung dengan r tabel dengan tingkat kepercayaan 95%

atau tingkat signifikansi 5%. Besar r tabel ditentukan sesuai jumlah responden

yang diuji dengan tingkat signifikansi 5% (0,05) yaitu 0,2960. Item instrument

dianggap valid atau relevan jika r hitung> r tabel yang telah ditentukan. Uji

reliabilitas pada kuesioner ini dilakukan setelah melakukan uji validitas. Hasil uji

reliabilitas menunjukkan bahwa Cronbach alpha sebesar 0,953, berarti pertanyaan

pada kuesioner dinyatakan sangat reliable.

4. Instrumen Kadar Gula Darah

Kadar gula darah pasien diambil melalui hasil pemeriksaan di Rumah Sakit

dengan kriteria :

a. Baik : 80-109 mg/dl

b. Sedang : 110-125 mg/dl

c. Buruk : ≥126 mg/dl


62

F. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti mendapat izin dari RSUD Kabupaten

Bintan untuk melakukan penelitian. Setelah mendapat izin, barulah melakukan

penelitian dengan menekankan masalah etika. Penelitian menggunakan etika sebagai

berikut (Nursalam, 2017) :

1. Informed Consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent

tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar

persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan informed consent adalah agar subjek

mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subjek

bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden

tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati hak pasien. Beberapa informasi

yang harus ada dalam informed consent tersebut antara lain: partisipasi pasien,

tujuan dilakukannya tindakan, jenis data yang dibutuhkan, komitmen, prosedur

pelaksanaan, potensial masalah yang akan terjadi, manfaat, kerahasian, informasi

yang mudah dihubungi, dan lain-lain.

2. Anonimity ( tanpa nama )

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan da-


63

lam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau

mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode

pada lembar pengumpulan data hasil penelitian yang akan disajikan, hanya

kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

3. Kerahasiaan ( confidentiality )

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya.

Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh peneliti, hanya

kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil penelitian.

G. Metode Pengumpulan data

1. Data Primer

Data primer didapatkan dari responden yaitu responden yang memenuhi kriteria

inklusi dengan membagikan kuesioner yang terdiri dan pemeriksaan gula darah.

Lembaran kuesioner dibagikan kepada responden untuk diisi sehingga didapatkan

data berupa karakteristik responden, skor dari pengetahuan, skor dari kepatuhan

diet dan kadar gula darah pada sampel penelitian.

Pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah berikut

a. Peneliti mengurus surat izin pengambilan data dan penelitian dari kampus dan

kemudian mengajukan izin penelitian ke Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan

Riau
64

b. Setelah mendapatkan izin dari dinas kesehatan Provinsi Kepulauan Riau,

peneliti mengajukan izin pengambilan data dan penelitian ke RSUD Raja

Ahmad Tabib

c. Setelah mendapatkan surat persetujuan dari direktur RSUD Raja Ahmad

Tabib, selanjutnya peneliti menentukan waktu penelitian.

d. Peneliti menemui penanggungjawab Poli Penyakit Dalam untuk meminta

bantuan dan kerja sama dalam pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data

tentang pasien DM Tipe 2.

e. Peneliti menemui responden dan menjelaskan tentang tujuan, manfaat

penelitian kemudian memberikan informed consent.

f. Responden yang menyetujui dijadikan responden dalam penelitian, diminta

untuk menandatangani lembar informed consent.

g. Peneliti melakukan pembagian kuesioner. Hasil kemudian dicatat sebagai data

penelitian

h. Melakukan pengambilan data pemeriksaan gula darah melalui hasil

pemeriksaan di Rumah Sakit dan hasil kemudian dicatat sebagai data penelitian

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data penunjang yang didapatkan dari Dinas

Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau tentang prevalensi Diabetes Mellitus di Kepu-

lauan Riau dan populasi pasien DM tipe II di RSUD Raja Ahmad Tabib.

H. Teknik Pengolahan Data


65

Seluruh kuesioner yang dikumpulkan diolah melalui proses dengan tahap sebagai

berikut (Sugiyono, 2016) :

a. Editing

Kegiatan pengecekan isian kuesioner, apakah sudah lengkap Identitas maupun

data responden, serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi sesuai dengan

petunjuk.

b. Coding

Peneliti melakukan pemberian kode pada data untuk memudahkan

pengelompokan dan klasifikasi. Klasifikasi dilakukan dengan cara menandai

masing-masing jawaban dengan kode berupa angka..

c. Entry

Memasukkan data yang telah diberi kode ke perangkat lunak komputer yaitu

IBM 25 dan melakukan tabulasi data.

d. Tabulating dan komputerisasi

Setelah data dientry kemudian dilakukan pengolahan data dan tabulating

dengan menggunakan perangkat lunak komputer

I. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisa univariat merupakan analisa terhadap masing-masing variabel. Analisa

menggunakan statistik deskriptif berupa distribusi persentase secara


66

komputerisasi. Presentase untuk masing-masing variabel dinilai secara

keseluruhan dengan menggunakan rumus analisa yaitu

P = F x 100
N

Keterangan :

P : Jumlah persentase

F : Frekuensi jumlah jawaban responden untuk setiap alternative jawaban

N : Jumlah responden

2. Bivariat

Untuk melihat hubungan antara variabel dependent dan variabel independent.

Analisis bivariat untuk menguji adanya hubungan menggunakan uji chi square. Uji

statistik yang sesuai adalah melalui perhitungan uji chi square selanjutnya ditarik

kesimpulan bila p lebih kecil dari nilai 0,05 (p< 0,05) maka ada hubungan bermakna

antara variabel independen dan variabel dependen dan bila p lebih besar dari 0,05

(p> 0.05) berarti tidak ada hubungan bermakna antara variabel independen dan

variabel dependen.

BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Data Umum Responden


67

Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Khusus Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad

Tabib Tanjungpinang. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan pada tanggal

11 Desember 2020 sampai dengan 11 Januari 2021 dengan cara menjelaskan tujuan

dari penelitian dan dilanjutkan dengan memberikan angket menggunakan kuesioner

kepada responden. Kuesioner ini terdiri dari 43 pertanyaan yang dibagi menjadi 4

bagian, yaitu karakteristik responden, pengetahuan data kepatuhan diet dan kadar

gula darah. Dimana kuesioner ini dibagikan kepada 88 orang responden di Poliklinik

Khusus Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib Tanjungpinang yang memenuhi

kriteria iklusi sampel. Pada bab hasil penelitian ini berdasarkan analisis univariat dan

bivariat.

B. Karakteristik Responden

Karakteristik dari 88 orang responden yang terdiri dari jenis kelamin, umur,

pendidikan terakhir, pekerjaan, penghasilan perbulan, lama sudah menderita Diabetes

Mellitus, keteraturan minum obat, obat-obat yang didapatkan dan diminum, konsumsi

herbal, jenis herbal, pernah mendapatkan informasi DM, sumber informasi.

Penjelasan dari karakteristik responden ini dapat dilihat pada tabel 5.1 berikut ini :

Tabel. 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Poliklinik Penyakit


66
Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib Tahun 2020

NO Karakteristik Responden f %
1 Jenis Kelamin
68

a. Laki-Laki 47 53,4
b. Perempuan 41 46,6
2 Umur
a. < 45 Tahun 2 2,3
b. 45-60 Tahun 43 48,9
c. >60 Tahun 43 48,9
3 Pendidikan
a. Tidak Sekolah 5 5,7
b. SD 25 28,4
c. SMP 36 40,9
d. SMA 16 18,2
e. Diploma/S1 6 6,8
4 Pekerjaan
a. Tidak Bekerja 5 45,5
b. Pedagang 25 38,6
c. TNI/Polri 36 10,2
d. PNS 16 4,5
e. Pegawai Swasta 6 1,1
5 Penghasilan
a. < Rp. 1.800.000 40 45,5
b. Rp. 1.800.000-Rp. 40 45,5
5.500.000 8 9,1
c. > Rp. 5.500.000PNS
6. Lama Menderita
a. < 5 Tahun 33 37,5
b. 5-10 Tahun 44 50,0
c. > 10 Tahun 11 12,5
7 Keteraturan Minum Obat
a. Ya 76 86,4
b. Tidak 12 13,6
8 Obat Yang didapat dan
diminum
a. Metformin dan 88 100
Glibenklamid
9 Konsumsi Herbal
a. Ya 12 13,6
b. Tidak 76 86,4
10 Jenis Herbal
a. Daun Belimbing 5 41,7
b. Kayu Manis 4 33,3
c. Daun Salam 2 16,7
d. Lidah Buaya 1 8,3
69

11 Pernah Mendapatkan
Informasi 88 100
a. Ya 0 0
b. Tidak
12 Sumber Informasi
a. TV 25 28,4
b. Koran 3 3,4
c. Buku 0 0
d. Internet 0 0
e. Orang terdekat 7 8,0
f. Petugas Puskesmas 53 60,2
Total 88 100

Berdasarkan tabel 5.1 diatas dapat dilihat bahwa paling banyak responden berjenis

kelamin laki-laki (53,4%), hampir separuh umur termasuk kriteria Lansia Awal (43

sampai lebih dari 60 tahun) (48,9%), berpendidikan SMP (40,9%), berpenghasilan

<Rp.1.800.000- Rp.5.500.000 (45,5%), lama menderita diabetes mellitus 5 samapi 10

tahun (50%), keteraturan minum obat rata-rata teratur (86,4%), semua obat yang

didapatkan met formin dan glibenklamid (100%), rata-rata tidak konsumsi herbal

(68,4%), jenis herbal yang konsumsi herbal yaitu daun belimbing (41,7%), semua

mendapatkan informasi tentang DM (100%) dan sumber informasi adalah Petugas

Puskesmas (60,2%%).

C. Analisis Univariat

1. Pengetahuan

Tabel. 5.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Pada Pasien DM Tipe 2 di


Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib Tahun
2020
70

No Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)


1. Baik 38 43,2
2. Cukup 35 39,8
3. Kurang 15 17,0
Jumlah 88 100

Berdasarkan tabel 5.2 diatas dapat dilihat bahwa pengetahuan responden pada

baik yaitu sebanyak 38 orang (43,2%), cukup sebanyak 35 orang (39,8%) dan kurang

sebanyak 15 orang (17,0%).

2. Kepatuhan Diet

Tabel. 5.3 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Diet Pada Pasien DM Tipe 2 di


Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib Tahun
2020

No Kepatuhan Diet Frekuensi Persentase (%)


1. Patuh 37 42,0
2. Tidak Patuh 51 58,0
Jumlah 88 100

Berdasarkan tabel 5.3 diatas dapat dilihat bahwa separoh responden tidak patuh

yaitu sebanyak 51 orang (58,0%) dan patuh sebanyak 37 orang (42,0%).

3. Kadar Gula Darah

Tabel. 5.4 Distribusi Frekuensi Kadar Gula Darah Pada Pasien DM Tipe 2
di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib Tahun
2020
71

No Kadar Gula Darah Frekuensi Persentase (%)


1. Baik 30 34,1
2. Sedang 58 65,9
Jumlah 88 100

Berdasarkan tabel 5.4 diatas dapat dilihat bahwa separoh responden kadar gula

darah sedang yaitu sebanyak 58 orang (65,9%), kadar gula darah baik yaitu sebanyak

30 orang (34,1%).

D. Analisis Bivariat

1. Hubungan Pengetahuan dengan Kadar Gula Darah Penderita Diabetes

Mellitus Tipe II Di Poli Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib Tahun

2020

Tabel. 5.5 Distribusi Frekuensi Pengetahuan dengan Kadar Gula Darah


Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit
Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib Tahun 2020

No Pengetahu Kadar Gula Darah Jumlah Nilai


an Baik Sedang p
n % n % n %
1. Baik 22 73,3 16 27,6 38 43,2 0,000
2. Cukup 7 23,3 28 48,3 35 39,8
3. Kurang 1 3,3 14 24,1 15 17,0
Jumlah 30 34,1 58 65,9 88 100

Berdasarkan tabel 5.5 dapat dilihat bahwa dari 38 responden didapatkan

persentase kadar gula darah baik dengan pengetahuan baik sebesar 22 orang (73,3%).

Sedangkan dari 35 responden kadar gula darah yang sedang dengan pengetahuan

cukup sebanyak 28 orang (48,3%). Berdasarkan analisis hubungan dengan

menggunakan uji statistik chi- square ditemukan p = 0,000 dengan p < 0,005. Berarti
72

ada hubungan antara pengetahuan dengan kadar gula darah responden secara

signifikan.

2. Hubungan Kepatuhan Diet dengan Kadar Gula Darah Penderita Diabetes

Mellitus Tipe II Di Poli Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib Tahun

2020

Tabel. 5.6 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Diet dengan Kadar Gula Darah
Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit
Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib Tahun 2020

No Kepatuhan Kadar Gula Darah Jumlah Nilai


Diet Baik Sedang p
n % n % n %
1. Patuh 20 66, 17 29, 37 42,0 0,001
7 3
2. Tidak 10 33, 41 70, 51 58,0
Patuh 3 7
Jumlah 30 34, 58 65, 88 100
1 9

Berdasarkan tabel 5.6 dapat dilihat bahwa dari 51 responden didapatkan

persentase kadar gula darah sedang dengan kepatuhan diet tidak patuh sebesar 41

orang (70,7%). Sedangkan dari 37 responden kadar gula darah yang baik dengan

kepatuhan diet patuh sebanyak 20 orang (66,7%). Berdasarkan analisis hubungan

dengan menggunakan uji statistic chi- square ditemukan p = 0,001 dengan p<0,05.

Berarti ada hubungan antara kepatuhan diet dengan kadar gula darah responden

secara signifika

BAB VI

PEMBAHASAN
73

A. Analisis Univariat

1. Pengetahuan

Berdasarkan hasil penelitian seperti terlihat pada tabel 5.2 diatas dapat dilihat

bahwa pengetahuan responden pada baik yaitu sebanyak 38 orang (43,2%), cukup

sebanyak 35 orang (39,8%) dan kurang sebanyak 15 orang (17,0%).

Berdasarkan butiran soal pertanyaan tentang jenis makanan, pengetahuan yang

kuranga dalah tentang bahan makanan yang cepat meningkatkan kadar gula darah

(yang memiliki Indeks Glikemik tinggi). Responden pada umumnya mengetahui

bahwa bahan makanan yang cepat meningkatkan kadar gula darah hanya makanan

yang terasa manis saja.

Pada penelitian ini pengambilan data diambil menggunakan kuesioner. Pada

analisis item kuesioner pengetahuan didapatkan bahwa skor tertinggi pada

pernyataan benar dengan skor 78 (89%) dan pernyataan salah skor 10 (11,4%) .

Pernyataannya yaitu “Asupan makanan yang dikonsumsi tidak harus disesuaikan

dengan kebutuhan energi yang diperlukan oleh tubuh kita”. Artinya mayoritas

responden mengetahui tentang asupan makanan yang dikonsumsi itu tidak harus

disesuaikan dengan kebutuhan energi. Sedangkan pada analisis item kuesioner

pengetahuan didapatkan bahwa skor terendah pada pernyataan benar dengan skor

46 (52,3%) dan pernyataan salah dengan skor 42 (47,7%). Pernyataannya yaitu”

Jumlah kalori dalam makanan untuk sekali makan dengan sayur, separo yang
72
lainnya dibagi dua lagi: satu untuk makanan padat atau karbohidrat dan bagian lain
74

untuk makanan sumber protein”. Artinya sebagian besar responden tidak

mengetahui tentang jumlah kalori dalam makanan utnuk sekali makan.

Hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Dwipayanti (2017) tentang hubungan pengetahuan tentang diet

Diabetes Mellitus dengan kepatuhan pelaksanaan diet pada penderita Diabetes

mellitus di Ruang Interna RSUD dr. H Moh Anwar Sumenep, menemukan bahwa

responden mempunyai pengetahuan yang kurang tentang diet Diabetes Mellitus

yaitu sebanyak 33 responden (55,0%).

Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa

dan raba. Sebagian besar, pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2015).

Berdasarkan umur pasien diperoleh hasil bahwa pasien dengan umur 43 sampai

lebih dari 60 tahun memiliki pengetahuan yang mayoritas baik dan cukup, hal ini

menunjukkan bahwa semakin cukup umur, tidak menjamin kematangan dan

kekuatan seseorang menuju kematangan dalam berfikir, termasuk juga tingkat

pengetahuan seseorang. Berdasarkan pekerjaan pasien diperoleh hasil bahwa

pasien dengan pekerjaan ibu rumah tangga dan pedagang memiliki pengetahuan

yang kurang baik dan cukup baik, sedangkan pasien dengan pekerjaan TNI/Polri

dan pegawai negeri sipil memiliki pengetahuan yang cenderung cukup baik dan
75

baik, hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan seseorang berpengaruh terhadap

tingkat pengetahuan seseorang.

Faktor berikutnya adalah pendidikan. Hasil penelitian didapatkan responden

pendidikan SMP lebih banyak. Notoatmodjo (2015) menyebutkan bahwa

pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk mengembangkan

atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat

berdiri sendiri. Semakin rendah tingkat pendidikan yang dimiliki maka akan

semakin rendah pula kemampuan yang akan dimiliki seseorang dalam menyikapi

suatu permasalahan. Seorang pasien Diabetes Mellitus yang memiliki latar

belakang pendidikan yang kurang atau dalam tingkatan dasar, cenderung tidak

dapat menerima perkembangan baru terutama yang menunjang derajat

kesehatannya. Hal ini dikarenakan pendidikan dasar merupakan tingkatan

pendidikan untuk sekedar mengenalkan ilmu baru kepada seseorang tanpa adanya

proses nalar dan pertimbangan akan suatu ilmu. Responden yang memiliki latar

belakang pendidikan yang rendah akan mengalami kesulitan untuk menerima

informasi baru karena proses berpikir yang telah tertanam dalam dirinya hanyalah

bersifat sementara karena tidak adanya proses nalar yang cukup dari penderita

Diabetes Mellitus itu sendiri yang dikarenakan latar belakang pendidikan yang

dimiliki.

Menurut Titik Lestari (2015), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

seseorang salah satunya adalah tingkat pendidikan. Selain tingkat pendidikan


76

seseorang, pengetahuan baik responden ini juga dikarenakan pengalaman orang

lain, baik dari media cetak maupun media elektronik mengenai informasi penyakit

diabetes. Sehingga pasien yang sudah terbiasa bercengkrama media cetak baik

berupa majalah, artikel, koran dan lain sebagai nya akan lebih banyak mengetahui

dan paham mengenai penyakit diabetes melitus. Begitu juga dengan pengetahuan

yang di dapat melalui media elektronik baik dari televisi, radio, telepon genggam

dan media lainnya akan lebih cepat dan mudah untuk memperoleh informasi

mengenai sesuatu hal termasuk tentang penyakit diabetes mellitus. Berdasarkan

hasil penelitian semua mendapatkan informasi tentang Diet DM (100%) dan

sumber informasi adalah Petugas Puskesmas (60,2%%).

Perkembangan komunikasi dan teknologi pada dekade ini membuat responden

mendapatkan informasi tentang diet DM Tipe II selain dari petugas kesehatan juga

dari media masa dan elektronik. Seluruh responden memanfaatkan televisi / radio

sebagai sarana untuk memperoleh informasi. Informasi adalah hasil pengolahan

data yang dipakai untuk suatu keperluan (Arikunto, 2019). Salah satu alat untuk

menyampaikan informasi kepada masyarakat adalah media massa. Media massa

itu sendiri merupakan suatu jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah

khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melewati media cetak atau

elektronik, sehingga pesan informasi yang sama dapat diterima secara serentak dan

sesaat. Masyarakat di Indonesia selama ini cenderung menggunakan televisi dan

radio sebagai sarana untuk mendapatkan informasi. Informasi yang disampaikan


77

terutama informasi mengenai diabetes mellitus melalui media televisi dan radio

dapat mempengaruhi pelaksanaan diet diabetes mellitus pada pasien diabetes

mellitus

Hasil penelitian ini sebanding dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Dwipayanti (2017) tentang hubungan pengetahuan tentang diet Diabetes

Mellitus dengan kepatuhan pelaksanaan diet pada penderita Diabetes mellitus di

Ruang Interna RSUD dr. H Moh Anwar Sumenep, menemukan bahwa responden

mempunyai pengetahuan yang kurang tentang diet Diabetes Mellitus yaitu

sebanyak 33 responden (55,0%).

Hasil penelitian ini juga sebanding dengan penelitian sebelumnya dilakukan

oleh Pujiastuti (2016) berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan

menggunakan kuesioner pengetahuan didapatkan data bahwa sebagian besar

pengetahuan responden akan penyakit dan diet DM adalah tinggi yakni sebanyak

151 orang (62,9%).

2. Kepatuhan Diet

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.3 diatas dapat dilihat bahwa separoh

responden tidak patuh yaitu sebanyak 51 orang (58,0%) dan patuh sebanyak 37

orang (42,0%)..

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebagian besar responden tidak patuh

terhadap diet DM. Hal ini terlihat dari hasil analisis kuesioner didapatkan bahwa

yang menyatakan sering pada pernyataan No.2 dengan jumlah 54 orang (61%) an

1 orang (1,1%) menjawab kadang-kadang yaitu pernyataan unfovourable tentang


78

“saya menambah porsi makan”, yang artinya masih banyak responden yang masih

kurang mengerti tentang jumlah kalori makananyang harus dikonsumsi

dikarenakan sering manambah porsi makan.

Bagi penderita DM, gula dalam darah mereka sudah sangat tinggi oleh sebab itu

tubuh tidak membutuhkan banyak tambahan gula.Dan ketika pasien DM makan,

maka kalori yang masuk harus tepat bagi pasien DM, maka jumlah makanan yang

boleh dimakan harus tepat jumlahnya.Hal ini bisa dihitung dengan IMT (Index

Masa Tubuh) yang didapat dengan membagi berat badan dan tinggi badan.Jika

IMT tergolong kurus mengkonsumsi 40-60 kalori/hari x berat badan.Jika normal

bisa mengkonsumsi 30 kalori x berat badan.Untuk orang gemuk 20 kalori x berat

badan. Untuk orang obesitas kalori yang diperbolehkan yaitu 10-15 kalori x berat

badan (Ninda fauzi, 2015).

Sedangkan responden yang patuh terhadap diet DM dapat dilihat dari hasil

analisis kuesioer didapatkan skor tertinggi yaitu menyatakan tidak pernah

sebanyak 47 orang (53,4%) dan 2 orang (2,3%) menyatakan selalu yaitu pernyatan

favourable tentang “Saya mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung

minyak/ tinggi lemak seperti gorengan, usus, hati serta fast food”, yang artinya

responden sudah mengerti tentang jenis makanan yang harus diperhatikan.

Ada beberapa jenis makanan yang sebaiknya dihindari dalam melakukan diet.

Untuk pasien diabetes mellitus bukan karena tidak enak namun karena makanan

tersebut dapat membuat kadar gula darah naik secara drastis. Makanan-makanan

yang harus dibatasi misalnya segala macam kue dan roti yang mengandung banyak
79

gula, selai, es krim, permen, susu manis, buah-buahan yang berasa manis dan tentu

saja gula. Sementara itu makanan yang dianjurkan adalah banyak mengkonsumsi

sayuran mentah, sayuran olahan dan buah-buahan yang tidak terlalu manis (Ninda

fauzi, 2015).

Hal yang diperlukan dalam melaksanakan kepatuhan diet adalah minat atau

keinginan dari penderita untuk melakukan diet. Minat atau keinginan untuk

mendapatakan tubuh yang sehat merupakan kekuatan terbesar dari dalam individu

untuk melakukan diet pada penderita DM. Minat atau keinginan sangat diperlukan

karena diet pada penderita DM tidak hanya memerlukan waktu yang singkat, perlu

waktu seumur hidup untuk melakukan kepatuhan diet. Kesabaran dan motivasi

sangat diperlukan pula untuk mendukung dalam menjalani kepatuhan diet.

Kesabaran dn motivasi dapat diperoleh dari hubungan dengan orang terdekat

seperti keluarga, teman, ataupun petugas kesehatan. Keluarga sebagai orang

terdekat sebaiknya ikut andil dalam memberikan dukungan kepada penderita DM.

Dukungan yang didapat dari keluarga terdekat akan meningkatkan keinginan

penderita dalam mencapai derajat kesehatan yang paling tinggi.

Kepatuhan adalah sikap patuh, ketaatan, sedangkan patuh adalah suka menurut

perintah, taat kepada aturan/perintah (Depdikbud, 2015). Menurut Sackett (1976)

cit Niven (2016) kepatuhan klien adalah sejauh mana prilaku klien sesuai dengan

ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan. Kepatuhan merupakan

manifestasi dari suatu sikap dan perilaku berkaitan erat dengan motivasi. Motivasi

ini daya yang menggerakan manusia untuk berperilaku (Ninda fauzi, 2015).
80

Kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang

diberikan oleh profesional kesehatan. Dalam memberikan diet Diabetes Mellitus

memiliki prinsip pengaturan diet. Prinsip diet DM adalah tepat jadwal, tepat

jumlah, dan tepat jenis (Tjokroprawiro, 2015).

Jumlah makan (kalori) yang dianjurkan bagi penderita DM adalah makan lebih

sering dengan porsi kecil, sedangkan yang tidak dianjurkan adalah makan dalam

porsi banyak/besar sekaligus. Tujuan cara makan seperti ini adalah agar jumlah

kalori terus merata sepanjang hari, sehingga beban kerja organ-organ tubuh tidak

berat, terutama organ pankreas.

Kepatuhan pada penelitian ini, perilaku pasien Diabetes Mellitus tipe 2 dalam

melaksanakan aturan diet yang sudah ditetapkan dan sesuai dengan instruksi

dokter, meliputi diet Diabetes, jenis diet, jumlah diet, dan jadwal diet. Rendahnya

tingkat kepatuhan pasien DM terhadap terapi diet sehubungan dengan jenis dan

jumlah makanan yang dianjurkan.Peneliti berpendapat kurangnya kepatuhan

menjalankan diet pada pasien DM Tipe II dapat dihubungkan dengan rata-rata

lama menderita DM yaitu 5 sampai dengan 10 tahun. Pasien dengan riwayat

menderita DM Tipe II lebih lama lebih sering mengkonsumsi makanan yang tidak

sesuai, dengan proporsi lemak jenuh yang besar serta tidak menjalani diet dengan

benar. Hal ini disebabkan oleh timbulnya perasaan jenuh, bosan dan depresi pada

sebagian besar pasien DM Tipe II yang menjalani terapi jangka panjang.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Ciechanowski (2015) ditemukan


81

bahwa gejala depresi timbul akibat kejenuhan dalam mematuhi aturan diet dan

pengobatan.

Hasil yang lebih baik ditemukan dari penelitian Senuk, dkk (2015), dimana

tingkat kepatuhan pasien DM terhadap terapi diet adalah 53,6%. Hasil penelitian

ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dwipayanti (2017) tentang

hubungan pengetahuan tentang diet Diabetes Mellitus dengan kepatuhan

pelaksanaan diet pada penderita Diabetes Mellitus di Ruang Interne RSUD dr. H

Moh Anwar Sumenep, menemukan bahwa lebih dari separoh responden tidak

patuh dalam pelaksanaan diet Diabetes Mellitus yaitu sebanyak 35 responden

(58,3%). Pada penelitian ini, kepatuhan tidak berbeda berdasarkan usia, jenis

kelamin maupun pendidikan

3. Kadar Gula Darah

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.4 diatas dapat dilihat bahwa separoh

responden kadar gula darah sedang yaitu sebanyak 58 orang (65,9%), kadar gula

darah baik yaitu sebanyak 30 orang (34,1%). Menurut peneliti kategori gula darah

masih dalam kategori yang harus diperhatikan dikarenakan masih kategori sedang.

Hal ini terlihat bahwa semua obat yang didapatkan metformin dan glibenklamid

(100%), rata-rata tidak konsumsi herbal (68,4%), bagi yang konsumsi herbal, jenis

herbal yang konsumsi herbal yaitu daun belimbing (41,7%).

Kepatuhan pasien yang rendah dalam mengkonsumsi obat anti diabetik

menyebabkan kadar gula darah tidak mencapai target normalnya. Namun jika

kepatuhan pasien meningkat tetapi kadar gula darah pasien tidak mengalami
82

penurunan, hal tersebut berkaitan dengan pengaturan pola makan yang tidak

sesuai. Selain itu, stres juga merupakan faktor yang berpengaruh penting bagi

penyandang DM. Stres yang tinggi dapat memicu kadar gula darah dalam tubuh

yang semakin meningkat sehingga semakin tinggi stres yang dialami oleh

penderita DM maka DM yang diderita akan semakin bertambah buruk

(Labindjang, 2015).

Pasien yang menggunakan herbal beranggapan bahwa herbal merupakan bahan

alami yang lebih aman, tidak menyebabkan efek sampingdan lebih efektif dalam

penurunan kadar gula darahdaripada menggunakan obat anti diabetes oral yang

diresepkan oleh dokter.

Kadar gula darah yang tidak terkontrol disebabkan oleh berbagai faktor yang

mempengaruhi, diantaranya pengetahuan pasien terhadap pengendalian gula darah

yang masih rendah yang disebabkan kurangnya memperoleh informasi tentang

pengendalian gula darah /penatalaksanaan DM, kemudian kesadaran pasien dalam

menjalankan program diet yang kurang patuh, aktifitas fisik yang kurang

(olahraga) disebabkan karena masih rendahnya kesadaran untuk menjalankan pola

hidup sehat dan asupan obat yang tidak teratur.

Kadar glukosa darah puasa adalah tingkat glukosa di dalam darah yang diukur

setelah pasien puasa selama 8 – 10 jam (Departemen Kesehatan RI, 2009; Eliana,

2015). Sasaran pengendalian glukosa darah puasa pada pasien DM tipe 2 yaitu 80-

130 mg/dL (Eliana, 2015). Kadar glukosa darah yang normal cenderung
83

meningkat secara ringan tetapi bertahap setelah usia 50 tahun, terutama pada

orangorang yang tidak aktif bergerak. Peningkatan kadar glukosa darah setelah

makan atau minum merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin sehingga

mencegah kenaikan kadar glukosa darah yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar

glukosa darah menurun secara perlahan (Khonsary, 2017).

Kadar glukosa darah sepanjang hari bervariasi dimana akan meningkat setelah

makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa darah yang normal

pada pagi hari setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah.

Kadar glukosa darah biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada 2 jam setelah

makan atau minum cairan yang mengandung glukosa maupun karbohidrat lainnya

(Khonsary, 2017)

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh meivy

(2017) diperoleh bahwa kadar gula darah diabetes mellitus tipe II yaitu responden

kadar gula darah buruk sebanyak 39 responden (52,0%) dan kadar gula darah

sedang 36 responden (48,0%). Hal ini dikarenakan pola makanan yang dikonsumsi

oleh penderita diabetes mellitus.

Penelitian yang dilakukan oleh Aulia (2016) menyatakan bahwa kadar gula

darah baik sebanyak 14 responden (38,9%) dan kadar gula darah buruk sebanyak

13 responden (36,1%). Masing-masing memiliki jumlah 50,0%, dikarenakan

selama menjalani diet DM, pasien tidak menaati aturan yang diberikan oleh dokter
84

ataupun petugas kesehatan lainnya, maka perubahan kadar gula darah diatas nilai

normal.

Rendy & Margareth (2016) tujuan utama diabetes melitus adalah mencoba

menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi

terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Penelitian Nugroho & Purwanti

(2015) di nyatakan bahwa tingkat kadar gula darah responden yang sebagian besar

buruk tersebut dikarenakan memang responden adalah pasien penderita diabetes

melitus. Namun selain faktor adanya penyakit diabetes melitus tersebut, faktor lain

yang mempengaruhi tingkat kadar gula darah adalah pola makan.

Menurut asumsi peneliti kadar gula darah yang sedang di sebabkan oleh

beberapa faktor diantaranya pola makan dan tidak rutin mengkonsumsi obat. Hal

ini menunjukkan bahwa asupan karbohidrat merupakan faktor dominan yang

berhubungan kadar gula darah puasa.

B. Analisis Bivariat

1. Hubungan Pengetahuan dengan Kadar Gula Darah Penderita Diabetes

Mellitus Tipe II Di Poli Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib Tahun

2020

Berdasarkan tabel 5.5 dapat dilihat bahwa dari 38 responden didapatkan

persentase kadar gula darah baik dengan pengetahuan baik sebesar 22 orang

(73,3%). Sedangkan dari 35 responden kadar gula darah yang sedang dengan

pengetahuan cukup sebanyak 28 orang (48,3%). Berdasarkan analisis hubungan


85

dengan menggunakan uji statistic chi- square ditemukan p = 0,000 dengan p <

0,005. Berarti ada hubungan antara pengetahuan dengan kadar gula darah

responden secara signifikan.

Hasil penelitian ini didukung teori Muhibuddin et al., (2016) bahwa

pengetahuan harus ditingkatkan baik pasien maupun keluarga adalah seperti

pengendalian penyebabnya, yang meliputi pengendalian kenaikan berat badan bisa

mengarah ke timbulnya obesitas, pengendalian timbulnya komplikasi penyakit

lain, serta perencanaan diit dan olahraga yang sesuai dengan pedoman untuk

penderita Diabetes Melitus.

Hasil penelitian ini sebanding dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Dwipayanti (2017) tentang hubungan pengetahuan tentang diet diabetes

mellitus dengan kepatuhan pelaksanaan diet pada penderita Diabetes Mellitus di

Ruang Interne RSUD dr. H Moh Anwar Sumenep, menemukan bahwa adanya

hubungan pengetahuan dengan kepatuhan diet Diabetes Mellitus.

Pengetahuan merupakan tahap pertama yang dibutuhkan seseorang untuk

membentuk suatu perilaku kepatuhan. Pengetahuan yang baik tentang kapan dan

bagaimana melaksanakan suatu terapi dapat membantu pasien untuk berfikir kritis

sehingga dapat meningkatkan pasien untuk selalu berperilaku patuh terhadap

terapi (Klein, 2015).

Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa


86

dan raba. Sebagian besar, pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2015).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden lebih banyak

mengetahui tentang jumlah kalori yang dibutuhkan dengan pernyataan benar

sebanyak 78 responden (88,6%). Sedangkan yang tidak mengetahui dengan

pernyataan salah sebanyak 46 responden (52,3%). Hal tersebut menunjukkan ada

faktor lain yang mempengaruhi tingkat kepatuhan selain pengetahuan tetapi tidak

dikendalikan oleh peneliti seperti faktor sumber informasi terutama petugas

kesehatan.

Dari hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan

dengan kadar gula darah dan teori yang ada, penderita DM perlu memiliki

pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai DM, karena akan lebih terbantu

dan mudah dalam mengikuti anjuran penatalaksanaan DM,tetapi sebaliknya bagi

pasien yang memiliki tingkat pengetahuan kurang, sulit untuk mengikuti

pengobatan DM. Pengetahuan juga akan berpengaruh pada perilaku diabetes yang

akirnya melakukan pengendalian kadar gula darah.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Madjid et al., (2019) Adanya

hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dan kadar gula darah karena

pengetahuan. hal ini karena dari beberapa responden sering berpartisipasi dalam

kegiatan edukasi mengenai program diet dalam mengontrol kadar gula darah yang

biasa dilakukan oleh petugas kesehatan, dari kegiatan tersebut perilaku dapat
87

tercipta karena didasari oleh pengetahun. Berdasarkan hasil penelitian, teori

penunjang, dan penelitian terkait menjelaskan bahwa semakin tinggi tingkat

pengetahuan akan penyakit DM secara tidak langsung akan berdampak terhadap

perubahan sikap dan tindakan sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien

dalam menjalani pengobatan yang pada akhirnya kadar glukosa darah sewaktu

dapat terkontrol.

Dari hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan

dengan kadar gula darah dan teori yang ada, penderita DM perlu memiliki

pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai diet DM yaitu 3 J tentang

Jumlah kalori dalam makanan untuk sekali makan dengan sayur, separo yang

lainnya dibagi dua lagi: satu untuk makanan padat atau karbohidrat dan bagian lain

untuk makanan sumber protein. Karena akan lebih terbantu dan mudah dalam

mengikuti anjuran penatalaksanaan DM,tetapi sebaliknya bagi pasien yang

memiliki tingkat pengetahuan kurang, sulit untuk mengikuti pengobatan DM

sehingga gula darah menjadi baik.

2. Hubungan Kepatuhan Diet dengan Kadar Gula Darah Penderita Diabetes

Mellitus Tipe II Di Poli Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib Tahun

2020

Berdasarkan tabel 5.6 dapat dilihat bahwa dari 51 responden didapatkan

persentase kadar gula darah sedang dengan kepatuhan diet tidak patuh sebesar 41

orang (70,7%). Sedangkan dari 37 responden kadar gula darah yang baik dengan

kepatuhan diet patuh sebanyak 20 orang (66,7%). Berdasarkan analisis hubungan


88

dengan menggunakan uji statistic chi- square ditemukan p = 0,001 dengan p <

0,005. Berarti ada hubungan antara kepatuhan diet dengan kadar gula darah

responden secara signifikan.

Kepatuhan adalah sikap patuh, ketaatan, sedangkan patuh adalah suka menurut

perintah, taat kepada aturan/perintah (Depdikbud, 2015). Menurut Sackett (1976)

cit Niven (2016) kepatuhan klien adalah sejauh mana prilaku klien sesuai dengan

ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan. Kepatuhan merupakan

manifestasi dari suatu sikap dan perilaku berkaitan erat dengan motivasi. Motivasi

ini daya yang menggerakan manusia untuk berperilaku (Ninda fauzi, 2015).

Kepatuhan diet merupakan terapi diet yang terdapat dalam penatalaksanaan DM

untuk pengendalian kadar gula darah. Dimana keptuhan merupakan wujud tingkah

laku pasien dalam mengontrol kadar gula darah. Kepatuhan diet didasarkan pada

aspek 3J, yaitu patuh jadwal, jenis dan jumlah. Perkeni (2015) terdapat 4 pilar

penatalaksanaan DM untuk pengendalian kadar gula darah, salah satunya terapi

diet. Terapi diet merupakan aspek kedua setelah edukasi dalam penatalaksanaan

DM, maka peran terapi gizi sangat penting bagi penderita DM, oleh sebab itu

kepatuhan untuk menjalankan program terapi diet sangat berkaitan dengan kadar

gula darah.

Perkeni (2015) terdapat 4 pilar penatalaksanaan DM untuk pengendalian kadar

gula darah, salah satunya terapi diet. Terapi diet merupakan aspek kedua setelah

edukasi dalam penatalaksanaan DM, maka peran terapi gizi sangat penting bagi
89

penderita DM, oleh sebab itu kepatuhan untuk menjalankan program terapi diet

sangat berkaitan dengan kadar gula darah.

Pengaturan makan merupakan gambaran tentang pola makan/kebiasaan makan

meliputi jenis dan frekuensi makan. Pengaturan ini merupakan bagian dari

penatalaksanaan Diabetes Melitus secara total. Salah satu usaha keberhasilan

dalam pengaturan makan adalah keterlibatan secara menyeluruh dari seluruh tim

(petugas kesehatan, keluarga dan pasien) (Struktural et al., 2018).

Penelitian yang dilakukan oleh Norma Risnasari (2015) menyatakan bahwa

tingkat hubungan kepatuhan diet dengan perubahan kadar gula darah pada pasien

DMsejumlah (56,14%), dikarenakan kepatuhan diet dapat mempengaruhi

perubahan kadar gula darah, jika kepatuhan baik maka kadar gula darah normal,

dan sebaliknya jika tidak patuh menjalani diet perubahan kadar gula darah di atas

nilai normal.

Hal ini sejalan dengan penelitian Dwi Vinti (2015) menunjukkan kadar gula

tidak terkontrol lebih banyak (89,3%) pada pasien yang tidak patuh terhadap diet

dibandingkan pada pasien yang patuh pada diet yang dianjurkan (45,8%). Hasil uji

statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepatuhan diet dengan kadar

gula darah responden (p<0,05).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Astari (2016)

yang menjelaskan bahwa banyak faktor mempengaruhi kadar gula darah meliputi

kepatuhan terapi diet, usia, jenis kelamin, kepatuhan minum obat, aktivitas fisik,
90

stres, pengetahuan, dukungan keluarga, obesitas, hipertensi, merokok, dan lama

menderita DM. Berdasarkan hasil penelitian, teori penunjang, dan penelitian

terkait menjelaskan bahwa Semakin patuh seorang pasien DM menjalankan diet

atau pengaturan makan maka semakin kecil peluang ia akan memiliki kadar gula

dara dalam katehori tidak normal. Hal ini disebabkan oleh karena semua makanan

yang dikonsumsi dapat menaikkan gula darah, dengan membuat perencanaan

makan yang terdiri dari jumlah, jenis serta jadwal, diharapkan dapat

mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal dan penderita

mendapatkan nutrisi yang optimal

Dari penelitian yang menunjukkan adanya hubungan kepatuhan diet dengan

kadar gula darah, maka perlunya kepatuhan penderita DM dalam menjalankan

anjuran diet yang diberikan petugas kesehatan. Penderita DM perlu untuk patuh

dan paham mengenai diet DM 3 J tentang Jumlah kaloriyang dibutuhkan dan jenis

makanan yang harus diperhatikan.


91

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang Hubungan Tingkat

Pengetahuan dan Kepatuhan Diet dengan Kadar Gula Darah Penderita Diabetes

Mellitus Tipe II di Poli Penyakit Dalam RSUD Raja Ahmad Tabib Tahun 2020, maka

dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pengetahuan responden pada baik yaitu sebanyak 38 orang (43,2%), cukup

sebanyak 35 orang (39,8%) dan kurang sebanyak 15 orang (17,0%).

2. Separoh responden tidak patuh yaitu sebanyak 51 orang (58,0%) dan patuh

sebanyak 37 orang (42,0%).

3. Separuh responden kadar gula darah sedang yaitu sebanyak 58 orang (65,9%),

kadar gula darah baik yaitu sebanyak 30 orang (34,1%).

4. Ada hubungan antara pengetahuan dengan kadar gula darah responden secara

signifikan. penderita DM perlu memiliki pengetahuan dan pemahaman yang

baik mengenai diet DM yaitu 3 J tentang Jumlah kalori dalam makanan untuk

sekali makan dengan sayur, separo yang lainnya dibagi dua lagi: satu untuk

makanan padat atau karbohidrat dan bagian lain untuk makanan sumber protein.
92

Karena akan lebih terbantu dan mudah dalam mengikuti anjuran

penatalaksanaan DM,tetapi sebaliknya bagi pasien yang memiliki tingkat

pengetahuan kurang, sulit untuk mengikuti pengobatan DM sehingga gula

darah menjadi baik

5. Ada hubungan antara kepatuhan diet dengan kadar gula darah responden secara

signifikan. Penderita DM perlu untuk patuh dan paham mengenai diet DM 3 J

tentang Jumlah kaloriyang dibutuhkan dan jenis makanan yang harus

diperhatikan.

B. Saran

1. Bagi RSUD Raja Ahmad Tabib

a. Perlu diadakannya edukasi khusus mengenai Diabetes Melitus kepada pasien

baik secara berkelompok atau perorangan 2-3 kali dalam sebulan untuk

pasien dan keluarga pasien mengenai tentang 3J, khususnya tentang jumlah

kalori yang dibutuhkan dan jenis makanan yang harus diperhatikan .

b. Sebaiknya perlu disediakannnya fasilitas ruang edukasi khusus DM beserta

media-media edukasi seperti poster, leaflet, barner mengenai tentang 3J,

khususnya tentang jumlah kalori yang dibutuhkan dan jenis makanan yang

harus diperhatikan.

c. Adanya pengembangan pemberian informasi tentang tentang 3J, khususnya

tentang jumlah kalori yang dibutuhkan dan jenis makanan yang harus

diperhatikan, seperti dengan pemasangan baliho/barner dilingkungan RS.


93

2. Bagi Universitas Andalas

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan tambahan referensi kepustakaan

yang berguna untuk mengembangkan penelitain tentang materi diet diabetes

mellitus.

b. Menjadi bahan tambahan informasi tentang upaya penanganan pada pasien

Diabetes Melitus dapat dilakukan dengan memberikan terapi diet

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Perlunya penelitian lebih lanjut mengenai variabel yang tidak diteliti pada

penelitian ini, seperti aktifitas fisik, dukungan keluarga ,motivasi pasien terhadap

pengendalian kadar gula darah, frekuensi dan kesesuaian konseling gizi pada

pasien.

Anda mungkin juga menyukai