Bleaching Gigi Nonvital
Bleaching Gigi Nonvital
Bleaching Gigi Nonvital
Soner Şişmanoğlu
Abstrak: Gigi sering mengalami diskolorasi seiring waktu karena residu perawatan
endodontik pada ruang pulpa atau produk hemolitik yang terakumulasi di tubulus dentin
setelah trauma. Kondisi ini dapat menimbulkan masalah psikososial bagi pasien. Bleaching
nonvital semakin populer karena sifatnya yang konservatif dan biaya rendah untuk mengatasi
kondisi yang tidak menyenangkan ini. Artikel ini akan memberikan gambaran umum
mengenai teknik bleaching nonvital, bahan dan regimen yang digunakan, prosedur bleaching
dan efek sampingnya.
1. Pendahuluan
Saat ini, orang-orang sering merujuk ke dokter gigi untuk memiliki gigi yang tertata rapi,
berwarna terang, dan tampak alami. Bahkan mungkin untuk mengatakan bahwa ekspektasi
estetika hampir melampaui kebutuhan fungsional. Namun, profesi kedokteran gigi harus
Insisivus sentralis dan lateral merpakan gigi-geligi yang paling terdampak sebagai akibat
trauma, masing-masing 69% dan 20% (Abbott, 1997). Setelah trauma dental, gigi dapat
berubah warna seiring waktu karena residu perawatan endodontik pada kamar pulpa atau
produk-produk hemolitik yang terakumulasi dalam tubulus dentinalis (Abbott dan Heah,
2009). Diskolorasi pada regio anterior merupakan masalah kosmetik yang perlu dirawat
karena diskolorasi pada giig nonvital mudah untuk dibedakan. Diskolorasi pada gigi nonvital
biasanya asimetris dan terbatas pada satu gigi; namun, jarang melibatkan beberapa gigi
karena trauma. Bahan endodontik di ruang pulpa (khususnya pasta yang mengandung silver)
serta produk sampingan nekrotik merupakan penyebab utama diskolorasi. Irigasi yang tidak
memadai setelah ekstirpasi pulpa adalah penyebab iatrogenik yang paling sering terjadi.
Meskipun mekanisme pasti diskolorasi yang disebabkan oleh degenerasi pulpa tidak terlalu
jelas, ini dianggap disebabkan oleh produk-produk hemolitik yang berpenetrasi ke dentin.
Produk-produk ini adalah hemosiderin, hemin, dan hematopophyrin yang melepaskan besi
sebagai zat warna. Substansi-substansi yang meluas ke tubulus dentinalis dapat bergabung
dengan produk sampingan bakteri dan menyebabkan diskolorasi berwarna kuning kecoklatan
(Eisenberg, 1975).
Meskipun diskolorasi gigi dapat ditangani dengan perawatan endodontik, ini juga dapat
berhasil ditangani dengan bleaching. Bleaching merupakan pilihan yang lebih konservatif
dibandingkan dengan pilihan restoratif lain dan dapat dengan mudah serta aman diaplikasikan
(Kihn, 2007). Selain itu, bleaching lebih murah dibandingkan dengan perawatan restoratif
yang rumit. Meskipun mekanisme bleaching belum sepenuhnya dipahami (Sulieman, 2004),
sudah diterima secara luas bahwa zat bleaching menembus jaringan keras untuk
bleaching gigi nonvital terutama bergantung pada etiologi diskolorasi, diagnosis masalah
Bleaching gigi terdiskolorasi, tidak memiliki pulpa (nonvital) pertama kali dikemukakan oleh
Truman pada 1864 (Truman, 1864). Berbagai agen, seperti klorida, natrium hipoklorit,
sodium perborat, dan hidrogen peroksida telah diaplikasikan sendiri-sendiri atau dalam
kombinasi (Howell, 1980). Panas juga sering digunakan untuk aktivasi agen bleaching (Dahl
dan Pallesen, 2003). Pada 1961, teknik walking bleach diperkenalkan berdasarkan
penyimpanan campuran sodium perborate dan air di dalam ruang pulpa antara kunjungan
pasien (Spasser, 1961). Teknik ini dimodifikai dengan mencapurkan sodium perborate dan
30-35% hidrogen peroksida cair bukannya air untuk meningkatkan efektivitas bleaching
(Nutting dan Poe, 1963). Pada tahun 1960-an, karbamid peroksida 10%, yang efek
pemutihnya diamati secara tidak sengaja, mendapatkan popularitas pada teknik bleaching
vital nightguard pada 1989 dan mulai digunakan pada teknik bleaching nonvital (Haywood
Sistem bleaching saat ini terutama berdasarkan penggunaan hidrogen peroksida, sodium
perborate, atau karbamid peroksida dengan aktivasi seperti panas atau cahaya. Mereka dapat
diaplikasikan secara eksternal atau internal pada gigi nonvital yang terdiskolorasi untuk
2. Diskolorasi
Tampilan gigi berbeda berdasarkan sifat pemantulan dan penyerapan cahaya dari jaringan
gigi yang terdiri dari enamel, dentin, dan pulpa. Meskipun warna giig alami serupa dengan
dentin, transparensi dan ketebalan enamel juga efektif pada tampakan gigi (Greenwall, 2001).
Diskolorasi ekstrinsik terjadi secara lokal karena chromogen yang berada di dalam dentin
atau secara sistemik. Dinyatakan bahwa diskolorasi internal bermula secara eksternal dan
mereka menyebar secara internal melalui defek yang ditemukan pada enamel (Sulieman,
2008). Diskolorasi gigi nonvital sering melibatkan dentin dan asalnya intrinsik.
untuk perawatan endodontik (Plotino et al., 2009) (Tabel 1). Setelah perawatan saluran akar,
gigi dapat berubah warna karena bahan endoodntik, sisa-sisa pulpa, perdarahan selama
perawatan saluran akar (Watts dan Addy, 2001). Perawatan diskolorasi intrinsic lebih
kompleks dibandingkan dengan diskolorasi ekstrinsik. Meskipun gigi yang berubah warna
bervariasi bergantung pada jenis sealer endodontik dan durasi setelah perawatan endodontik
(van der Burgt dan Plasschaert, 1986). Contohnya, stain yang dihasilkan oleh ion logam sulit
untuk diputihkan. Oleh karena itu, semua residu di dalam ruang pulpa harus dibersihkan
dengan bur, scaler ultrasonik, atau air-abrasion sebelum memulai prosedur bleaching
intrakoronal. Alasan untuk diskolorasi intrinsik dengan indikasi bleaching nonvital adalah
sebagai berikut:
hemoragik pada tubulus dentinalis (Grossman et al., 1995; Ho and Goerig, 1989). Peradangan
pulpa karena iritasi bakteri, mekanis, atau kimiawi dapat menyebabkan nekrosis. Produk-
produk nekrotik yang berpenetrasi dari kompleks pulpa ke dalam tubulus dentinalis sebagai
akibat proses nekrotik menyebabkan diskolorasi pada dentin (Attin et al., 2003). Sifat
diskolorasi bergantung pada lamanya waktu setelah nekrosis pulpa; yaitu, semakin lama
komponen chromogenic tetap berada pada ruang pulpa, semakin besar intensitas diskolorasi.
Diskolorasi seperti itu secara umum dilakukan bleaching intrakoronal (Rostein, 2002).
Ekstirpasi pulpa atau trauma gigi yang parah dapat menginduksi perdarahan karena
kerusakan pembuluh darah pada jaringan pulpa. Komponen chromogenic dalam darah juga
mempenetrasi tubulus dentinalis dan menyebabkan diskolorasi (Arens, 1989; Goldstein dan
Garber, 1995). Diskolorasi yang awalnya diamati berwarna pink menjadi lebih gelap dan
memengaruhi seluruh gigi karena hemolysis sel-sel darah (Guldener dan Langeland, 993;
Watts dan Addy, 2001). Jika nekrosis pulpa tidak terjadi setelah trauma, dilaporkan bahwa
diskolorasi pink ini dapat menghilang dalam beberapa bulan karena revaskularisasi
Diskolorasi yang terjadi setelah perawatan endodontik dapat terlihat sebagai akibat
perdarahan yang berlebihan selama ekstirpasi pulpa atau pengangkatan jaringan pulpa yang
tidak sempurna. Sisa-sisa jaringan pulpa dapat tertinggal di dalam ruang pulpa ketika akses
kavitas endodontik tidak dipreparasi secara memadai (Brown, 1965; Faunce, 1983).
Mekanisme diskolorasi sisa-sisa jaringan pulpa ini serupa dengan perdarahan pulpa. Dengan
bleaching intrakoronal, gigi dapat berhasil direstorasi ke warna aslinya, tetapi akan lebih
akurat untuk melakukan perawatan endodontik yang lebih hati-hati pada awalnya dan tidak
dan pasien serta dapat mengganggu tampilan estetik gigi yang telah dirawat endodontik (van
der Burgt et al., 1986a; van der Burgt et al. 1986b). Bahan pengisi endodontik, sealer atau
sisa-sisa medikamen yang tertinggal dalam ruang pulpa menyebabkan (van der Burgt dan
Plasschaert, 1985; van der Burgt and Plasschaert, 1986; Kim et al., 2000). Diskolorasi yang
disebabkan oleh sisa bahan-bahan ini bergantung pada waktu kontak bahan dengan dentin.
Oleh karena itu, meskipun tampaknya tidak ada masalah pada awalnya, warna gigi menjadi
gelap dari waktu ke waktu (Vogel, 1975). Untuk menghindari masalah ini, pengisian saluran
Bahan-bahan endodontik mengandung barium, iodin, perak, gutta-percha, dan sealer saluran
akar juga dapat menyebabkan diskolorasi intrinsic (Bizhang et al., 2003; Grossman et al.,
1995). Diskolorasi yang disebabkan oleh medikamen endodontik atau pasta saluran akar
dapat terlihat berwarna jingga-kemerahan, merah gelap, abu-abu atau hitam (Bizhang et al.,
disebabkan oleh pasta N2 dan pasta poliantibiotik yang mengandung Terramycin® dan
Mineral trioxide aggregate (MTA) yang pertama dikembangkan berwarna abu-abu. Diketahui
bahwa gray MTA menyebabkan diskolorasi gigi. Diskolorasi terlihat pada 60% perawatan
pulpotomi menggunakan gray MTA (Hedge dan Naik, 2005; Maroto et al., 2006). Oleh
karena itu, white MTA dikembangkan dan white MTA tidak menunjukkan perbedaan
signifikan pada respon pulpa dibandingkan dengan gray MTA (Holland et al, 2001).
Perbedaan utama pada komposisi kimiawi antara white MTA dan gray MTA adalah
konsentrasi oksida logam seperti aluminium oksida, magnesium oksida, dan besi oksida, yang
Boutsioukis et al., 2008). Namun, diskolorasi ini terjadi di dalam bahan itu sendiri, bukan
pada dentin. Oleh karena itu, perbaikan signifikan tercapai pada warna dentin setelah
4. Agen Bleaching
Dalam kedokteran gigi, hidrogen peroksida dan turunannya dipilih sebagai agen bleaching
(Goldstein dan Garber, 1995). Hidrogen peroksida dapat digunakan secara langsung untuk
yang terurai menjadi hidrogen peroksida pada berbagai rasio sebagai akibat degradasi kimia.
Agen bleaching ini dapat digunakan secara terpisah atau dengan kombinasi (Attin et al.,
2003). Sebagai contoh, sodium perborate dapat digunakan dengan dicampur dengan akuades
atau dengan mencapurkan sodium perborate dengan hidrogen peroksida untuk meningkatkan
hasil bleaching.
Kebanyakan agen bleaching mengandung hidrogen peroksida sebagai bahan aktif. Hidrogen
peroksida memainkan peran sebagai agen pengoksidasi kuat melalui pembentukan radikal
bebas, molekul oksigen reaktif, dan anion hidrogen peroksida. Molekul-molekul reaktif ini
bereaksi dengan chromophores gelap berantai panjang untuk memisahkan mereka menjadi
molekul yang lebih kecil dan kurang berwarna (Dahl dan Pallesen, 2003). Hidrogen
peroksida dapat diberikan secara langsung atau dihasilkan melalui reaksi kimia dari sodium
stabil dalam kondisi kering. Namun, pada kondisi adanya asam, udara panas, atau
kelembapan, sodium perborate terurai menjadi hidrogen peroksida dan oksigen bebas
(Rotstein dan Friedman, 1991). Sodium perborate dihasilkan oleh reaksi disodium tetraborate
pentahydrate, hidrogen peroksida, dan natrium hidroksida. Sodium perborate dalam bentuk
monohydrate, trihydrate, dan tetrahydrate, serta jumlah oksigen yang dilepaskan bergantung
pada bentuknya (Ari dan Ungor, 2002). Bentuk monohydrate terurai lebih baik dibandingkan
tetrahydrate dan memiliki stabilitas suhu yang lebih tinggi (Schubert dan Brotherton, 2011).
Karbamid peroksida menghasilkan hidrogen peroksida dan urea yang terurai menjadi karbon
dioksida dan ammonia (Dahl dan Pallesen, 2003). Aktivitas karbamid peroksida pada gigi
vital dan nonvital bervariasi berdasarkan konsentrasinya (Lim, 2004). Gel karbamid
peroksida pada konsentrasi 10% sering digunakan pada home bleaching selama 4 sampai 8
5. Mekanisme Bleaching
Mekanisme bleaching gigi tidak dipahami sepenuhnya (Sulieman, 2004). Telah diterima
secara luas bahwa peroksida menembus jaringan keras dan radikal bebas mengoksidasi
Bleaching juga iketahui sebagai reaksi oksidasi-reduksi. Berdasarkan teori kimia yang
menjelaskan reaksi bleaching hidrogen peroksida, peroksida diubah menjadi radikal bebas
yang tidak stabil. Radikal bebas yang terbentuk sebagai hasil dekomposisi hidrogen peroksida
(Fasanaro, 1992; Plotino et al., 2008) berdifusi ke dalam regio interprismatik pada enamel
dan membawa molekul-molekul kecil yang mereka urai dari molekul organik besar
(chromophores) keluar ke permukaan pada enamel dan menghasilkan molekul sederhana
yang memantulkan cahaya yang lebih sedikit (Chng et al., 2005; Joiner 2004; McEvoy,
1989). Seraya proses bleaching berlanjut, hanya struktur hidrofilik tidak berwarna yang
tersisa, yang disebut titik saturasi. Bleaching menjadi lambat pada titik ini. Jika bleaching
berlanjut, bahan yang mengudng karbon dan ikatan karbon pada protein menjadi rusak.
Kelompok hidroksil mulai terurai dan subsrat terurai menjadi potongan yang jauh lebih kecil.
Subsrat yang tersisa secara cepat berubah menjadi karbon dioksida dan air, mempercepat
Benetti et al., (2004) melaporkan bahwa konsentrasi peroksida meningkat selama waktu
bleahing. Faktor-faktor seperti cahaya dan panas membatu reaksi ini dan mempercepat
Karbamid peroksida dapat digunakan pada berbagai konsentrasi. Mekanisme bleaching gigi
dengan karbamid peroksida berbeda dari hidrogen peroksida (Bulut et al., 2006). Pertama,
karbamid peroksida terurai menjadi hidrogen peroksida dan urea. Karbamid peroksida 10%
terurai menjadi 6,6% urea dan 3,4% hidrogen peroksida. Kemudian urea terurai menjadi
Radiografi dental pada gigi harus dibuat untuk menilai kualitas obturasi saluran akar dan
jaringan apikal sebelum prosedur bleaching. Jika terdapat kegagalan atau masalah pada
perawatan saluran akar, retreatment harus dilakukan sebelum bleaching. Teknik bleaching
nonvital meliputi walking belach, modified walking bleach, nonvital power bleaching
(dikenal pula sebagai heat atau light-activated bleaching), dan inside/outside bleaching.
6.1 Walking Bleach
Teknik ini pertama kali dijelaskan oleh Spasser dan Herbert (1961) dan dijelaskan sebagai
penempatan campuran sodium perborate dan air di dalam ruang pulpa. Pada kunjungan
selanjutnya, prosedur akan diulangi hingga warna yang diinginkan tercapai. Protokol aplikasi
teknik ini diberikan pada Tabel 2 dan sebuah kasus yang mewakilkan teknik walking bleach
1. Setelah penentuan warna dan foto awal diambil, gigi yang terdiskolorasi diisolasi
dengan rubber dam atau gingival barrier.
2. Restorasi yang ada dikeluarkan dan kavitas akses endodontik dimodifikasi untuk
memastikan bahwa tidak ada tanduk pulpa, sisa-sisa pulpa, atau residu bahan
endodontik yang tersedia. Karena, sisa-sisa ini akan menyebabkan rekurensi
diskolorasi.
3. Harus dipastikan bahwa semua bahan restorasi dihilangkan sampai permukaan dentin
tercapai. Selain itu, jika terdapat stain superfisial, stain juga harus dihilangkan
menggunakan metode non-agresif seperti abrasi udara.
4. Untuk mencegah resorpsi akar servikal, pengisian saluran akar harus dikeluarkan
hingga setinggi tulang proksimal menggunakan Gates-Glidden bur. Tinggi ini adalah
sekitar 2-3 mm apikal terhadap cemento-enamel junction (CEJ) dan dapat ditentukan
dengan bantuan probe periodontal. Kemudian, pengisian saluran akar harus ditutup
pada koronal dengan lapisan kalsium hidroksida dan glass ionomer cement.
5. Setelah sistem saluran akar ditutup, agen bleaching diaplikasikan pada ruang pulpa.
Untuk teknik walking bleach klasik, sodium perborate dicampur dengan akuades
untuk menghasilkan pasta semi-kental, kental sebagai bahan pemutih. Pada teknik
kombinasi (disebut juga sebagai modified walking bleach), hidrogen peroksida 30%
digunakan bukannya akuades. Setelah pasta dimasukkan ke ruang pulpa, kelebihan air
dihilangkan dengan cotton pellet. Saat ini, gel karbamid peroksida 10% yang dipilih
secara agen bleaching secara umum. Ruang pulpa ditutup dengan restorasi sementara
seperti glass ionomer cement.
6. Pasien dipanggil kembali bergantung pada bahan bleaching yang digunakan dan
perawatan diulangi jika warna yang diinginkan belum tercapai.
Gambar 1. Sebuah kasus menggambarkan teknik walking bleach. (A) Foto awal diskolorasi dan fraktur yang
disebabkan trauma. (B) Foto follow-up 6 bulan pada kasus setelah bleaching menggunakan karbamid peroksida
10%.
30% dan sodium perborate dalam ruang pulpa. Teknik ini disebut teknik modified atau
combination walking bleach (Nutting dan Poe, 1963). Hidrogen peroksida yang dicampur
dengan sodium perborate meningkatkan efek bleaching dan memberikan hasil yang lebih
baik. Proses ini lebih cepat dan oleh karena itu hasil dapat diperoleh setelah 1 minggu
(Rotstein, 2001). Pada teknik walking bleach saat ini, karbamid peroksida 10% dimasukkan
ke dalam ruang pulpa dengan syringe menggantikan campuran sodium perborate dan pasien
Teknik ini merupakan teknik yang paling tidak disukai karena penggunaan suhu tinggi
menyebabkan peningkatan risiko resorpsi akar servikal. Gel hidrogen peroksida diaplikasikan
pada ruang pulpa pada konsentrasi 30-35% dan diaktivasi dengan cahaya atau panas. Suhu
biasanya sekitar 50-60°C dan aktivasi panas sebaiknya dihentukan setelah 5 menit selama 5
menit untuk pendinginan (Rotstein, 2001). Gigi dievaluasi kembali setelah 2 minggu untuk
menentukan apakah perawatan tambahan diperlukan, dan jika diperlukan, teknik walking
bleach diaplikasikan (Sulieman, 2008) (Tabel 3). Sebuah kasus yang mewakili nonvital
Settembrini et al., (1997) mengajukan sebuah teknik bleaching yang disebut teknik
ekstrakoronal menggunakan karbamid peroksida. Pada teknik ini, pasien bertanggung jawab
untuk penggunaan sehari-hari bahan bleaching di rumah dan oleh karena itu efek bleaching
menggunakan karbamid peroksida pada berbagai konsentrasi yaitu 5%, 16%, 22% atau 35%.
Protokol aplikasi teknik ini diberikan pada Tabel 2 dan sebuah kasus yang mewakili teknik
1. Custom fitting tray dipersiapkan untuk pasien dan ruang pulpa ditutupi hanya dengan
cotton pellet. Pasien mengeluarkan cotton pellet dengan tusuk gigi dan memasukkan
bahan gel ke dalam kavitas untuk memulai sesi bleaching. Pasien juga
mengaplikasikan gel bleaching ke bagian bleaching tray yang sesuai dengan posisi
gigi dan memasukkan bleaching tray ke dalam mulut. Setelah insersi, pasien
mengeluarkan kelebihan gel dengan cotton bud atau sikat gigi.
2. Setelah sesi bleaching selama 2 jam, pasien membersihkan kavitas dengan syringe
yang tersedia dan memasukkan cotton pellet bersih. Juga, setiap setelah makan, cotton
pellet diganti dengan cara yang sama.
3. Pasien harus melindungi kavitas dari impaksi makanan dengan memasang cotton
pellet ke kavitas, dan tidak boleh makan apapun selama selama sesi bleaching.
4. Secara umum, dilaporkan bahwa hasil didapatkan setelah 5-8 kali aplikasi bergantung
pada frekuensi aplikasi. Oleh karena itu, pasien diapnggil kembali untuk pemeriksaan
setelah 3-7 hari.
5. Ketika warna yang diinginkan tercapai, ruang pulpa ditutup dengan restorasi
sementara, dan restorasi definitif dibuat setelah penundaan 2 minggu.
Gambar 3. Kasus inside/outside bleaching dengan karbamid peroksida 10%. (A) Foto awal pasien dengan
diskolorasi yang disebabkan trauma. (B) Foto follow-up kasus pada 7 bulan.
Teknik ini merupakan kombinasi sederhana teknik at-home bleaching dan teknik bleaching
intrakoronal. Keuntungan teknik ini pada bleaching gigi nonvital adalah bahan agen
bleaching diaplikasikan secara intrakoronal dan ekstrakoronal. Selain itu, bleaching gigi vital
(at-home bleaching) dan bleaching nonvital dapat digabungkan secara bersamaan dengan
teknik inside/outside bleaching (Carrillo et al., 1998). Konsentrasi agen yang rendah,
biasanya menggunakan karbamid peroksida 10% untuk mengurangi risiko resorpsi akar
servikal. Kerugian utama teknik ini adalah bahwa kepatuhan pasien diperlukan dan
keterampilan tangan diperlukan untuk memasukkan agen bleaching ke dalam ruang pulpa
(Sulieman, 2008).
7. Netralisasi
Bleaching pada gigi yang telah dirawat endodontik menggunakan karbamid peroksida,
sodium perborate atau hidrogen peroksida merupakan metode yang umum digunakan untuk
mendapatkan kembali warna alami gigi. Namun, telah dilaporkan bahwa prosedur ini diikuti
dengan resorpsi akar servikal (Friedman et al., 1988; Harrington dan Natkin, 1979). Beberapa
proses peradangan setelah resorpsi akar servikal (Fuss et al., 1989). Oleh karena itu, efek
Saat ini, bleaching intrakoronal rutin dilakukan sebagai metode perawatan berisiko rendah
untuk mengoreksi estetik gigi nonvital. Efek samping utama bleaching nonvital adalah
resorpsi akar servikal, yang dapat terjadi karena peradangan pada periodonsium. Risiko
resorpsi akar servikal dapat dikurangi dengan penutupan servikal yang adekuat dan
menghindari dosis tinggi agen bleaching (Zimmerli et al., 2010). Harringtin dan Natkin
(1979) melaporkan bahwa kebocoran bahan bleaching melalui tubulus dentinalis dapat secara
langsung merusak jaringan periodontal dan menginisiasi respon peradangan pada regio
servikal. Serupa, Lado et al., (1983) melaporkan bahwa agen bleaching dapat mempenetrasi
Kalsium hidroksida telah digunakan pada perawatan resorpsi akar servikal (Fuss et al., 1989).
Mekanisme yang membuat kalsium hidroksida efektif belum diketauhi. Telah diakemukakan
bahwa difuasi ion-ion dari saluran akar mengingkatkan pH jaringan gigi, sehingga
1981). Di sisi lain, penelitian oleh Lambrianidis et al., (2002) menunjukkan bahwa
penggunaan kalsium hidroksida sebagai barrier selama bleaching intrakoronal tidak memiliki
efek signifikan untuk mencgeah pH asam pada permukaan akar ekstermal. Namun, penelitian
Banyak metode telah dikemukakan untuk memperbaiki kekuatan ikatan bahan restoratif ke
jaringan gigi setelah perawatan bleaching. Metode pertama yang terpikirkan adalah “delayed
minggu untuk mengembalikan kekuatan ikatan (Lago and Garone-Netto, 2013; Miranda et
al., 2013). Benni et al., (2014) menyatakan bahwa penggunaan agen bonding berbasis etanol
atau aseton juga dapat meningkatkan kekuatan ikatan ke enamel yang telah dilakukan
bleaching.
Metode lain yang sering digunakan adalah aplikasi agen antioksidan ke permukaan enamel
setelah bleaching. Sodium askorbat, α--tocopherol (vitamin E), ekstrak biji anggur
antioksidan yang dikenal (Abraham et al., 2013; Guler et al., 2013; Khamverdi et al.,2013).
Pada penelitian terbaru, sodium askorbat telah digunakan sebagai antioksidan untuk
menghilangkan senyawa oksidatif, khususnya radikal bebas (Gutteridge, 1994; Rose and
Bode, 1993; Soeno et al., 2008). Soeno et al., (2008) melaporkan bahwa asam askorbat
berperan sebagai agen antioksidan, dan asam askorbat serta ferric chlorite meningkatkan
kekuatan ikatan ke dentin. Turkun et al., (2009) melaporkan bahwa perlekatan ke dentin
bertambah sebesar 35% setelah mengaplikasikan sodium askorbat sebagai antioksidan pada
waktu yang telah berlalu setelah bleaching (Friedman, 1997; Friedman et al., 1988; Glockner
et al., 1999; Holmstrup et al., 1988). Lise et al., membandingkan dua teknik bleaching
intrakorona (walking bleach dan inside/outside bleaching) serta melaporkan bahwa kedua
teknik efektif setelah follow up klinis 1 tahun tanpa rekurensi (Lise et al., 2018). Deliperi
mendeteksi rekurensi pada 15 dari 25 gigi dengan bleaching intrakoronal sebagai hasil
foloow up klinis 5 tahun, namun, dia menambahkan bahwa rekurensi memiliki maksimal 6
shade pada skala warna VITA (Deliperi, 2008) (Tabel 5). Pada penelitian lain yang dilakukan
oleh Deliperi dan Bardwell (2005), peneliti melaporkan tingkat rekurensi yang serupa sekitar
setengah dari 26 gigi yang dilakukan bleaching dengan perubahan hingga 4 shade. Glockner
et al., melaporkan 79% keberhasian klinis sebagai hasil follow-up klinis 5 tahun. Selain itu,
mereka melaporkan bahwa jika hanya kavitas akses endodontik yang dipreparasi dan jaringan
gigi yang tersisa utuh, tingkat keberhasilan meningkatkan hingga 91% (Glockner et al.,
1999). Berdasarkan Amato et al., (2006), tingkat keberhasilan bleaching intrakoronal setelah
16 tahun adalah 62,9%. Pada penelitian yang sama, tidak ada resorpsi servikal akar yang
diamati pada pemeriksaan radiologi (Amato et al., 2006). Rekurensi relatif umum pada
pada gigi untuk mengompensasi rekurensi (Bersezio et al, 2017) (Gambar 4).
Tabel 5. Urutan Vita Shade Guide berbdasarkan value (terang ke gelap berdasarkan pabrikan
shade guide)
Tab B1 A1 B2 D2 A2 C1 C2 D4 A3 D3 B3 A3.5 B4 C3 A4 C4
Uruta 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
n
Gambar 4. Diskolorasi yang berhubungan dengan perawatan endodontik. (A) dan (B) pengeluaran bahan
endodontik hingga setinggi tulang proksimal. (C) Gigi yang dilakukan overbleaching. (D) Foto follow-up 11
bulan.
Bersezio et al., mengevaluasi efektivitas walking bleach dengan berbagai agen bleaching
(hidrogen peroksida 35% dan karbamid peroksida 37%). Mereka juga meneliti efek
bleaching intrakoronal terjadap persepsi pasien mengenai psikososial dan estetik. Sebagai
hasil penelitian mereka, dilaporkan bahwa hasil efektif dan memuaskan didapatkan untuk
pasien setelah
bleaching intrakoronal (Bersezio et al., 2017). Gupta et al., melaporkan 95% kepuasan pasien
sebagai hasil bleaching intrakoronal yang dilakukan pada 41 pasien dengan diskolorasi
pada 1978 (CIELAB). SIstem ini meliputi variabel kecerahan (L*) dan koordinat kromatik
(merah/hijau,, a* dan kuning/biru, b*) dengan mengikuti persepsi warna manusia. Dengan
sistem ini, perbedaan antara dua pengukuran warna dapat ditentukan secara kuantitatif (∆E).
space) diperlukan untuk keberhasilan hasil perawatan bleaching (Bersezio et al., 2017). Oleh
bleaching yang efektif (Bersezio et al., 2017; Deliperi, 2008; Poyser et al., 2004). Di sisi lain,
dilaporkan pada sebuah penelitian bahwa dokter gigi lebih kritis dalam mengevaluasi hasil
bleaching dibandingkan dengan pasien. Sebagai hasil dari follow-up klinis selama 5 tahun
dari gigi yang dilakukan leaching intrakoronal, tingkat keberhasilan dinilai masing-masing
75% dan 98% menurut dokter gigi dan pasien (Glockner et al., 1999).
Meskipun resorpsi akar servikal merupakan efek samping paling serius pada bleaching
intrakoronal Feiglin, 1987; MacIsaac and Hoen, 1994), mekanisme yang mendasari belum
sepenuhnya dipahami. Kasus pertama resorpsi akar servikal dilaporkan oleh Harrington dan
Natkin (1979). Menurut Heithersay (1999a), resorpsi akar servikal hanya terlihat 3,9% dari
kasus bleaching intrakoronal. Dia juga melaporkan bahwa resorpsi akar servikal disebabkan
oleh perawatan ortodontik (24,1%), trauma gigi (15,1%), dan prosedur bedah seperti
periodontal atau transplantasi (5,1%). Namun, dalam kombinasi bleaching intrakoronal dan
trauma gigi, laju resorpsi akar servikal meningkat lebih tinggi (Heithersay, 1999b). Beberapa
penelitian lanjutan jangka panjang telah melaporkan bahwa resorpsi akar servikal dapat
dan Mayordomo, 1992; Anitua et al., 1990; Harrington dan Natkin, 1979; Holmstrup et. al.,
Diperkirakan bahwa resorpsi akar servikal akibat bleaching intrakoronal disebabkan oleh
meningkatkan penetrasi agen bleaching disebutkan (Baratieri et al., 1995; Friedman et al.,
bleaching konsentrasi rendah atau sodium perborate yang dicampur dengan akuades dengan
dinding dentin tipis. Dengan cara ini, kemungkinan penetrasi agen bleaching ke dalam
periodonsium akan berkurang. Selain itu, peningkatan insiden resorpsi akar servikal telah
dilaporkan pada pasien yang menjalani bleaching intrakoronal pada usia muda (AbouRass,
1998; Aldecoa dan Mayordomo, 1992; Anitua et al., 1990; Friedman et al., 1988; Harrington
dan Natkin. 1979; Holmstrup et al., 1988; Lado et al., 1983), karena memiliki tubulus dentin
Aktivasi panas diketahui dapat meningkatkan efektivitas agen bleaching. Dilaporkan bahwa
hidrogen peroksida yang diaplikasikan pada ruang pulpa dengan teknik termokatalitik dapat
menembus permukaan luar gigi (Al-Nazhan, 1991; Dahlstrom et al., 1997; Farmer et al.,
2006; Friedman et al., 1988; Friedman, 1989; Gimlin dan Schindler, 1990; Goon et al., 1986;
Lado et al., 1983; Latcham, 1986; Latcham, 1991; Madison dan Walton, 1990; Montgomery,
1984; Szajkis et al., 1986). Oleh karena itu, teknik termokatalitik tidak dipilih saat ini karena
risiko tinggi resorpsi akar servikal (Attin et al., 2003; Friedman, 1997; Madison dan Walton,
1990). Sebaliknya, resorpsi akar servikal tidak diamati pada sodium perborate - larutan
hidrogen peroksida dengan teknik waking bleach (Madison dan Walton, 1990). Saat ini,
karbamid peroksida sering dipilih sebagai agen bleaching intrakoronal (Bersezio et al., 2017;
Ganesh et al., 2013; Shaheen et al., 2017; Valera et al., 2009). Menurut Lee et al. (2004),
karbamid peroksida 35% menunjukkan difusi ekstraradikuler paling sedikit, diikuti oleh
sodium perborate dan hidrogen peroksida 35%. Selain itu, karbamid peroksida ditemukan
biokompatibel dibandingkan
2019).
resorpsi akar servikal dapat dikurangi menjadi 1,9% pada follow-up 16-19 tahun (Amato et
al., 2006; Heithersay et al., 1994), dengan penutupan servikal yang tepat (Heller et al., 1992).
Dietschi (2006) melaporkan bahwa resorpsi akar servikal tidak diamati setelah 20 tahun
bleaching intrakoronal dengan hidrogen peroksida 30% karena penutupan servikal yang
benar. Untuk memastikan penutupan servikal yang tepat, pengisian saluran akar perlu
dikurangi hingga 3 mm apikal dari cemento-enamel junction (CEJ) dan kemudian lapisan
kalsium hidroksida ditutup dengan bahan semen seperti zinc fosfat atau glass ionomer yang
servikal harus ditentukan sesuai dengan panjang mahkota gigi yang terlihat pada gigi yang
mengalami diskolorasi. Untuk ini, akan tepat untuk mengeluarkan pengisian saluran akar
yang ada hingga ketinggian tulang proksimal untuk menutup tubulus dentin interproksimal
(Carrillo et al., 1998; Steiner dan West, 1994) (Gambar 5 dan 6).
Gambar 5. Tampakan proksimal gigi anterior nonvital
umum asimptomatik secara klinis (Plotino et al., 2008). Oleh karena itu, gigi yang dilakukan
bleaching harus diperiksa secara radiografi dalam lima tahun pertama setelah bleaching
intracoronal. Diagnosis dini resorpsi akar servikal dapat dirawat, sedangkan ekstraksi adalah
satu-satunya pilihan pada resorpsi akar yang parah (Goon et al., 1986; Latcham, 1986).
Kesimpulan
Diskolorasi pada gigi nonvital, terutama pada daerah anterior menyebabkan masalah estetika
bagi pasien dan dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari. Meskipun keberhasilan 100%
tidak tercapai pada semua bleaching intrakoronal dan tingkat rekurensi tertentu ditemui, ini
adalah perawatan konservatif yang dapat dipilih setidaknya untuk menunda perawatan
restoratif invasif.
Resorpsi akar servikal diamati pada gigi nonvital yang mengalami bleaching, terutama
dengan adanya riwayat trauma gigi. Oleh karena itu, harus dipastikan bahwa penutupan
servikal yang memadai dilakukan terlebih dahulu. Di sisi lain, teknik termokatalitik dan
aplikasi hidrogen peroksida dosis tinggi harus dihindari. Rekurensi tampaknya tak
terhindarkan setelah bleaching intracoronal, oleh karena itu diperlukan lebih banyak uji klinis