Sari Pustaka Low Vision
Sari Pustaka Low Vision
Sari Pustaka Low Vision
JANUARI 2020
LOW VISION
Oleh:
Ade Septriana
C025181005
Pembimbing:
dr. Adelina T. Poli, Sp.M, M.Kes
dr. Purnamanita Syawal, Sp.M, MARS
1
BAB I
PENDAHULUAN
Low vision adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan mereka yang
penglihatannya tidak dapat sepenuhnya dikoreksi dengan kacamata, lensa kontak, operasi refraktif,
atau operasi lainnya (Lee, Mesfin. 2019). WHO mendefinisikan low vision sebagai gangguan dari
fungsi visual bahkan setelah dilakukan pengobatan dan/atau koreksi refraksi standard, dan
memiliki visus kurang dari 6/18 hingga persepsi cahaya, atau lapang pandang kurang dari 10
derajat dari titik fiksasi, namun dapat menggunakan penglihatannya untuk aktivitas (WHO, 2012).
Jenis kehilangan penglihatan ini berbeda dengan kebutaan total, karena pada kondisi ini masih
didapatkan penglihatan dan kadang-kadang dapat ditingkatkan dengan penggunaan alat bantu
penglihatan (Cleveland Clinic, 2015). Gangguan pada low-vision biasanya berupa penglihatan
kabur, lapang pandang terbatas, defek lapang pandang (skotoma), sensitivitas silau, persepsi warna
abnormal, kontras berkurang, atau diplopia. Adakalanya pasien sering bingung dengan gambar
yang tumpang tindih tetapi berbeda dari masing-masing mata (Sterns, 2018). Low vision dapat
terjadi pada semua usia, tergantung pada kondisi yang mendasari. Akan tetapi, karena sebagian
besar gangguan mata yang mendasari merupakan gangguan mata terkait usia seperti degenerasi
makula dan glaucoma, low vision lebih umum terjadi pada orang dewasa berusia 45 tahun atau
lebih (Thapa, et al. 2019).
Berdasarkan data WHO tahun 2010, terdapat 285 juta manusia hidup dengan gangguuan
penglihatan, dengan 246 juta di antaranya mengalami low vision. Sejumlah 42% low vision di
dunia disebabkan oleh gangguan refraksi yang tidak dikoreksi, sedangkan 33% disebabkan oleh
katarak (WHO. 2012). Di Sumatra, Indonesia, prevalensi low vision sejumlah 5,8%, dengan
katarak sebagai penyebab utama (62,3%), diikuti dengan gangguan refraksi yang tidak dikoreksi
(12,9%), dan amblyopia (12,9%). Sedangkan penyebab dari low vision unilateral terbanyak adalah
katarak (48%), diikuti dengan gangguan refraksi yang tidak dikoreksi (12%) (Saw, et al. 2012).
Low vision dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis harus
mencangkup riwayat kesehatan pasien dan keluarga, riwayat penyakit mata pada pasien dan
keluarga, riwayat pengobatan, dan riwayat social seperti pekerjaan, pendidikan, aktivitas, hobi.
Pemeriksaan kesehatan mata harus dilakukan secara lengkap pada pasien dengan low vision.
2
Pemeriksaan kesehatan mata biasanya meliputi ketajaman visual, lapang pandang, otot
ekstraokular, pupil, uji penglihatan binokular, tekanan intraokular, segmen anterior, dan evaluasi
segmen posterior dengan pemeriksaan fundus dengan pupil yang dilebarkan. Pemeriksaan
tambahan seperti pengujian lapang pandang formal, potensi visual yang ditimbulkan,
elektroretinografi, elektrookulografi, tomografi koherensi optik, atau angiografi fluorescein
mungkin diperlukan untuk membantu menentukan etiologi, memantau, dan mengelola kondisi
dengan tepat (Sterns, 2018).
Low vision yang tidak ditangani akan menyebabkan gangguan pada kualitas hidup (QoL).
Oleh karena itu, diperlukan tatalaksana yang komprehensif. Low vision dapat ditangani dengan
alat bantu penglihatan. Alat bantu penglihatan merupakan alat yang dapat digunakan untuk
memperjelas penglihatan pada pasien dengan low vision. Terdapat dua jenis alat bantu
penglihatan, yaitu optikal dan nonoptikal. Terdapat berbagai jenis alat bantu penglihatan optikal,
tergantung pada fungsinya masing-masing. Secara umum, terdapat dua jenis alat bantu
penglihatan: alat bantu penglihatan jarak dekat dan alat bantu penglihatan jarak jauh. Pemilihan
alat bantu penglihatan optikal tergantung pada kondisi dari pasien dan aktivitas pasien. Seperti
contohnya, stand Magnifiers cocok digunakan untuk membaca dalam jangka waktu lama, tetapi
sulit untuk digunakan sebagai alat bantu penglihatan portable.
3
BAB II
Definisi
Seseorang dikatakan memiliki penglihatan normal bila dapat melakukan penglihatan dekat
dan jauh yang diharapkan dalam komunitas, sedangkan gangguan penglihatan merupakan istilah
yang digunakan untuk orang yang mengalami penurunan penglihatan. Gangguan penglihatan
(Visual Impairment) berbeda dengan penglihatan fungsional (Functional Vision), yaitu
penggunaan penglihatan untuk tujuan tertentu, seperti mengenali orang ataupun menghindari
objek. Penglihatan fungsional ini dipengaruhi oleh kemampuan atensi (kemampuan seseorang
untuk melihat dan mengenali benda), fiksasi (kemampuan untuk mengarahkan pandangan ke objek
tertentu atau bagian objek tertentu), tracking (kemampuan untuk mengikuti pergerakan benda),
scanning (kemampuan untuk mencari sebuah objek di antara objek-objek lain), diskriminasi
(kemampuan untuk membedakan objek), dan persepsi (memberikan makna pada objek yang
terlihat). Penurunan penglihatan ini dapat disebabkan oleh penyakit mata, kecelakaan, atau
gangguan penglihatan sejak lahir. Beberapa kondisi ini dapat diterapi atau dikoreksi. Penglihatan
yang dimiliki orang yang mengalami gangguan penglihatan inilah yang disebut sebagai “low
vision”.
Low vision adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan mereka yang
penglihatannya tidak dapat sepenuhnya dikoreksi dengan kacamata, lensa kontak, operasi refraktif,
atau operasi lainnya (Lee, Mesfin. 2019). WHO mendefinisikan low vision sebagai gangguan dari
fungsi visual bahkan setelah dilakukan pengobatan dan/atau koreksi refraksi standard, dan
memiliki visus kurang dari 6/18 hingga persepsi cahaya, atau lapang pandang kurang dari 10
derajat dari titik fiksasi, namun dapat menggunakan penglihatannya untuk aktivitas (WHO, 2012).
Jenis kehilangan penglihatan ini berbeda dengan kebutaan total, karena pada kondisi ini masih
didapatkan penglihatan dan kadang-kadang dapat ditingkatkan dengan penggunaan alat bantu
penglihatan (Cleveland Clinic, 2015).
Pasien low-vision biasanya memiliki gangguan kinerja visual: ketajaman visual (visus)
mereka tidak dapat diperbaiki dengan kacamata konvensional atau lensa kontak. Keluhan yang
4
terjadi dapat berupa penglihatan kabur, lapang pandang terbatas, defek lapang pandang (skotoma),
sensitivitas silau, persepsi warna abnormal, kontras berkurang, atau diplopia. Pasien sering
bingung dengan gambar yang tumpang tindih tetapi berbeda dari masing-masing mata (Sterns,
2018)
Klasifikasi
Penglihatan dapat diklasifikasikan dengan dua cara: menggunakan hasil dari pengukuran dan tes
seperti yang direkomendasikan oleh WHO, atau melalui assessment dan observasi dari penglihatan
fungsional seseorang. American Optometric Association (AOA) membagi low vision ke dalam
dua kategori (Cleveland Clinic, 2015):
• Sebagian terlihat": orang tersebut memiliki ketajaman visual antara 20/70 dan 20/200
dengan peresepan lensa konvensional.
• "Secara hukum buta": orang tersebut memiliki ketajaman visual tidak lebih baik dari
20/200 dengan koreksi konvensional dan / atau lapang pandang terbatas kurang dari 20
derajat.
5
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 1. (a) Kehilangan Penglihatan Sentral, (b) Kehilangan Penglihatan Perifer (tunnel
vision), (c) pandangan kabur (blurry vision), (d) pandangan berkabut (hazy vision)
6
BAB III
Epidemiologi
Berdasarkan data WHO tahun 2010, terdapat 285 juta manusia hidup dengan gangguuan
penglihatan, dengan 246 juta di antaranya mengalami low vision. Sejumlah 42% low vision di
dunia disebabkan oleh gangguan refraksi yang tidak dikoreksi, sedangkan 33% disebabkan oleh
katarak (WHO. 2012). Prevalensi low vision dan kebutaan untuk orang dewasa berusia ≥45 tahun
di Amerika Serikat pada 2017 diperkirakan ada sejumlah 3.894.406 orang dengan visus kurang
dari 20/40, 1.483.703 orang dengan visus kurang dari 20/60, dan 1.082.790 orang dengan visus
dari 20/200 atau kurang. Perkiraan insidensi tahunan 2017 (yang diproyeksikan dari data sensus
2010) dari low vision dan kebutaan di antara orang dewasa berusia ≥45 tahun di Amerika Serikat
adalah 481.970 orang dengan visus kurang dari 20/40, 183.618 orang dengan visus kurang dari
20/60, dan 134.002 orang dengan visus 20/200 atau kurang (Chan, et al. 2018). Penelitian yang
dilakukan di pusat Ophtalmology Kashan menunjukkan katarak sebagai penyebab terbanyak,
diikuti dengan DR dan degenerasi myopia, sedangkan trauma menjadi penyebab utama dari
gangguan penglihatan unilateral (Aghadoost, et al. 2008).
Data prevalensi low vision pada anak belum adekuat. Prevalensi low vision pada anak
bervariasi antara 0,65 hingga 2,75 dari 1.000 anak, dengan lesi retina dan amblyopia sebagai
penyebab utama (Gilbert C.E., et al. 2008). Di Tanzania, prevalensi low vision pada anak berusia
6-17 tahun sejumlah 9,5%, dengan 68% di antaranya terjadi pada perempuan. Penyebab utama
dari low vision diketahui karena anomaly kongenital (65%), diikuti dengan gangguan refraksi
(Kingo, Ndawi. 2009).
Di Sumatra, Indonesia, prevalensi low vision sejumlah 5,8%, dengan katarak sebagai
penyebab utama (62,3%), diikuti dengan gangguan refraksi yang tidak dikoreksi (12,9%), dan
amblyopia (12,9%). Sedangkan penyebab dari low vision unilateral terbanyak adalah katarak
(48%), diikuti dengan gangguan refraksi yang tidak dikoreksi (12%) (Saw, et al. 2012).
7
Low vision dapat terjadi pada semua usia, tergantung pada kondisi yang mendasari. Akan
tetapi, karena sebagian besar gangguan mata yang mendasari merupakan gangguan mata terkait
usia seperti degenerasi makula dan glaucoma, low vision lebih umum terjadi pada orang dewasa
berusia 45 tahun atau lebih, bahkan lebih umum terjadi pada orang dewasa berusia di atas 75 tahun.
Satu dari enam orang dewasa berusia di atas 45 tahun memiliki low vision; satu dari empat orang
dewasa berusia di atas 75 tahun memiliki low vision. Dibandingkan dengan usia 60-69 tahun,
risiko gangguan penglihatan 4 kali lebih tinggi pada orang berusia 70-79 tahun dan 14 kali lebih
tinggi pada kelompok usia 80 tahun ke atas, dengan penyebab utama low vision bilateral adalah
katarak (68,07%), diikuti oleh gangguan retina (28,64%) (Thapa, et al. 2018).
Etiologi
Penyebab lain dari low vision antara lain glaucoma, diabetic retinopathy (DR), trachoma,
AMD, dan opasitas kornea (WHO, 2012). Penyebab paling umum dari gangguan penglihatan
secara global adalah sebagai berikut:
Pada anak-anak, penyebab low vision paling utama adalah sebagai berikut (Mcnaughton, 2005):
• Optic atrophy
• Katarak Kongenital
• Nistagmus idiopatik kongenital
• Abnormalitas kongenital dari system saraf pusat
8
BAB IV
Tujuan dilakukannya assesmen awal low vision adalah untuk melakukan pendekatan awal
kepada pasien untuk konsultasi-konsultasi yang selanjutnya. Meresepkan alat bantu penglihatan
bukan merupakan tujuan dari pelayanan, melainkan awal dari pendekatan. Pada assesmen awal
low vision, hal pertama yang perlu dilakukan adalah memastikan hal-hal yang ingin dilakukan
oleh pasien sehingga penatalaksanaan yang tepat dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan:
meresepkan magnifiers, memberikan saran mengenai pencahayaan dan strategi untuk
mempermudah penglihatan, serta mendiskusikan program pelatihan dan rehabilitasi. Selain itu,
menjelaskan kondisi pasien mengenai kondisi matanya perlu dilakukan.
9
Sebelum dilakukan assessment, pemeriksa dapat memberikan kuesioner kepada pasien
untuk membantu pasien mengetahui masalah utama yang dialami pasien. Low Vision Quality of
Life Questionnaire (LVQOL) yang didesign oleh Wolffsohn dan Cochrane dapat digunakan
sebagai alat bantu.
Anamnesis
10
Pertanyaan tentang kesulitan saat bepergian sendiri juga penting untuk ditanyakan, misalnya
kesulitan saat menyesuaikan langkah dengan trotoar atau saat mengemudi. Sebagai tambahan,
pertanyaan umum tentang adaptasi yang telah dilakukan oleh pasien juga dapat ditanyakan,
serta perhatikan tingkat cahaya yang dibutuhkan oleh pasien untuk dapat beraktivitas dengan
baik.
d. Quality of Life
Dalam perjalanan anamesis, kebanyakan pasien akan mendeskripsikan dampak dari kekurangan
penglihatan terhadap gaya hidup, keluarga, pekerjaan, serta kegemaran mereka. Ketika
ditanyakan secara langsung, pasien dengan low vision umumnya akan mengeluhkan depresi
akibat keterbatasan kemampuan penglihatannya, dan hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi
pemeriksa untuk dapat segera melakukan rujukan kepada dokter spesialis yang sesuai.13,16
Selain itu, riwayat jatuh juga harus ditanyakan, sehingga dapat dilakukan pencegahan agar hal
ini tidak terulang. (Stern, .2015)
Assessment fungsional penglihatan dilakukan untuk menentukan fungsi visual dari pasien.
Pemeriksaan ini berbeda dari pemeriksaan mata pada umumnya karena terdapat beberapa
pemeriksaan tambahan yang dilakukan lebih mendetail, seperti visus jarak dan visus dekat, untuk
mengetahui fungsi visual residu pasien. Pemeriksaan ini terdiri atas pemeriksaan visus jarak, visus
dekat, tes refraksi retinoscopy, lapang pandang, sensitivitas kontras, tes buta warna, dan glare test
(Sahli, Idil. 2019).
Pemeriksaan visus pada pasien dengan low vision tidak dilakukan menggunakan Snellen
chart, melainkan dengan logMAR-based Bailey-Lowie atau Early treatment diabetic retinopathy
study charts, karena chart ini menggunakan skala logaritma dengan jumlah huruf yang sama pada
tiap barisnya. Visus dinilai sebagai 0,1 logMAR untuk tiap baris dan 0,02 logMAR untuk tiap
huruf yang dibaca dengan benar. Alat ini sesuai untuk pasien dengan low vision karena lebih
sensitive, serta sekaligus dapat digunakan untuk pemeriksaan refraksi (Sahli, Idil. 2019).
11
(a) (b)
Visus dekat dapat diperiksa dengan The Minnesota Low Vision Reading Chart (MNREAD),
dengan ukuran huruf disesuaikan dengan metric M-unit. Pengukuran visus dekat dilakukan dengan
monocular dan binocular pada jarak kerja/jarak baca (Sahli, Idil. 2019). Pada pemeriksaan ini,
pemeriksa merekam waktu yang dibutuhkan untuk membaca kalimat yang terdiri dari 60 huruf
dan Panjang kata standar 10
12
Gambar 3. The Minnesota Low Vision Reading Chart (MNREAD)
3.Refraction Test-Retinoscopy
Gambar 4. Retinoscopy
13
4.Pemeriksaan Lapang Pandang
Lapang pandang merupakan parameter paling penting dalam pemeriksaan fungsi visual
pada pasien dengan low vision. Umumnya lapang pandang diperiksa dengan Amsler Grid Test.
Amsler Grid Test dapat digunakan untuk mendeteksi lokasi dan ukuran scotoma sentral. Akan
tetapi, test ini tidak dapat digunakan untuk scotoma kecil dan penyakit yang melibatkan macula
seperti AMD, distrofi macular herediter, dan edema macula sehingga pemeriksaan menggunakan
scanning laser ophthalmoscope (SLO) disarankan (Sahli, Idil. 2019).
Untuk defek lapang pandang perifer, perimetri Kinetic (Goldman) dan static (Humprey,
Octopus) dapat digunakan untuk mendeteksi defek. Defek lapang pandang perifer sering terjadi
pada pasien dengan glaucoma dan retinitis pigmentosa (Sahli, Idil. 2019).
5.Sensitivitas Kontras
Sensitivitas kontras merupakan kekuatan untuk membedakan bayangan antara dua daerah.
Meskipun tes sensitivitas kontras tidak digunakan dalam praktek klinis untuk setiap pasien dengan
low vision, tes ini dapat dilakukan pada pasien dengan fungsi visual lebih buruk dari yang
diharapkan berdasarkan ketajaman visual yang diukur. Defisit dalam sensitivitas kontras umum
terjadi pada edema kornea, katarak, penyakit saraf optik, dan beberapa penyakit retina. Pasien
dengan sensitivitas kontras rendah memerlukan pembesaran lebih dari yang diharapkan untuk
ketajaman visual mereka dan mungkin memerlukan peningkatan penerangan sekitar. Sistem
televisi sirkuit tertutup yang meningkatkan kontras dan memperluas lapang pandang dapat
direkomendasikan untuk pasien ini. Chart yang umum digunakan untuk pasien dengan low vision
adalah CSV-1000LV, ELCT, and CSV-1000 1.5 cycles/degree (Sahli, Idil. 2019).
14
Gambar 6. LEA Symbol
Gangguan penglihatan warna herediter dan didapat memiliki beberapa karakteristik yang
membedakan. Buta warna herediter (protanopia dan deuteranopia) merupakan defisiensi
penglihatan warna merah-hijau yang stabil, teropong, yang umumnya mempengaruhi pria. Fungsi
visual lainnya normal. Kekurangan penglihatan warna yang didapat bisa bersifat monocular dan
asimetris, progresif, dan biasanya melibatkan kebutaan warna biru-kuning. Sebagian besar
gangguan penglihatan warna pada pasien dengan low vision adalah dischromatopsia biru-kuning,
yang juga sering ditemukan pada pasien dengan katarak dan glaucoma. Pseudoisochromatic plat
merupakan tes penglihatan warna yang paling umum digunakan. Ishihara test merupakan salah
satu dari pseudoisochromatic plat yang sering digunakan. Untuk pasien low vision yang seringg
mengalami dyschromatopsia biru-kuning, plat Farnsworth 100 Hue dan D 15 tests atau the Wang
& Wang color vision lebih cocok digunakan (Sahli, Idil. 2019).
15
Gambar 7. Plat Farnsworth 100 Hue
7.Glare Test
Glare mengacu pada tingkat kecerahan berlebihan pada lapang pandang, dan dapat disertai
dengan asthenopia, sakit kepala, dan menyipit. Kondisi glare dapat dikaitkan dengan kekeruhan
media seperti katarak dan bekas luka kornea, albinisme, achromatopsia, atau aniridia. Pemeriksaan
ini dapat dilakukan selama pengukuran visus dengan memegang sumber cahaya di dekat garis
fiksasi dan mengamati pengurangan jumlah garis atau huruf yang dapat dibaca pasien (Sahli, Idil.
2019).
16
Assessment Fungsional Penglihatan
Kemampuan Atensi
Pemeriksaan ini hanya dilakukan apabila pasien dapat melakukan uji visus penglihatan.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan pasien melihat dan memperhatikan
suatu objek. Pemeriksaan dilakukan dengan cara pemeriksa memegang benda di ketinggian mata
pasien dan berdiri 1 meter di depan pasien. Pemeriksa lalu meminta pasien untuk melihat benda
yang dipegang oleh pemeriksa. Pemeriksa lalu mengamati apakah fiksasi mata pasien berada pada
benda.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan untuk mengetahui apakah
pasien mampu meraih suatu benda secara akurat. Pemeriksaan ini dilakukan menggunakan benda
yang kontras dengan latar belakang seperti batu, makanan, balok, atau bola dengan berbagai
ukuran. Pasien diminta untuk menutup mata, kemudian pemeriksa meletakkan benda di depan
pasien. Pasien kemudian diminta untuk membuka mata, lalu mengambil benda yang diletakkan
tadi dengan satu tangan. Pemeriksa lalu mengamati apakah pasien mampu mengambil benda
dengan tepat dan akurat, atau butuh mencari dan merasakan. Variasi dari pemeriksaan ini dapat
dilakukan dengan mengganti ukuran benda dengan yang lebih kecil, atau mengganti posisi benda
jadi di samping atau di depan pasien.
Kemampuan Tracking
17
lalu menunjukkan benda kepada pasien. Setelah itu, pemeriksa menggelindingkan bola sejauh 4
meter. Bola tidak boleh digelindingkan dari tempat terang ke tempat gelap, begitu pula sebaliknya.
Pemeriksa kemudian memerhatikan apakah pasien dapat mengikuti pergerakan bola, dan apakah
pasien mampu berjalan langsung menuju arah bola. Variasi pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan mengubah jarak.
Pemeriksaan lain dapat dilakukan dengan cara pemeriksa berdiri sejauh satu meter di depan
pasien sembari memegang benda. Pemeriksa lalu meminta pasien untuk mengikuti pergerakan
benda yang dipegang pemeriksa. Pemeriksa kemudian dapat menggerakkan benda secara vertical,
dan horizontal sembari memerhatikan apakah pasien mampu mengikuti pergerakan benda dengan
mata maupun pergerakan kepala. Perhatikan pula apakah bola mata pasien terfiksasi atau bergerak-
gerak, atau mengalami nystagmus.
Kemampuan Scanning
Selain itu, pemeriksaan juga dapat dilkakukan dengan jarak jauh dan jarak dekat. Pasien
memegang 1 benda dan pemeriksa memegang 1 benda. Pemeriksa kemudian berdiri 3 meter di
depan pasien. Pasien kemudian diminta untuk melihat benda yang dipegang, kemudian benda yang
dipegang pemeriksa. Pemeriksa mengamati apakah pasien mampu mengubah pandangan secara
akurat.
Kemampuan Diskriminasi
18
Pemeriksa mengamati apakah pasien dapat menjelaskan posisi atau mengambil benda dengan
tepat.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan mengikuti jalur. Pasien
diminta untuk berjalan mengikuti jalur yang sudah disediakan. Pemeriksa mengikuti di belakang
pasien untuk mengamati apakah pasien mampu mengikuti jalur serta menjaga pasien agar tidak
terluka. Pemeriksa juga mengamati apakah selama berjalan pasien menunduk atau tidak.
Pemeriksaan serupa juga dapat dilakukan dengan cara menghindari objek. Pasien diminta
untuk berjalan sesuai arahan pemeriksa, Pemeriksa kemudian mengamati apakah pasien mampu
menghindari objek yang menghalangi jalan yang dilalui pasien. Pemeriksa berdiri di belakang
pasien untuk menjaga pasien agar tidak terluka.
Pada sesi ini juga dapat dilakukan penilaian kemampuan identifikasi benda pada pasien
dari jarak dekat (1 meter) atau jarak jauh. Pasien kemudian diminta untuk menyebutkan benda
yang dimaksud.
Kemampuan Identifikasi
Kemampuan identifikasi dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk mengikuti gestur
tubuh atau ekspresi wajah. Apabila pemeriksaan yang akan dilakukan adalah mengikuti gestur
tubuh, pemeriksa berdiri 5 meter di depan pasien, lalu meminta pasien untuk mengikuti gestur
yang dilakukan pemeriksa. Apabila pemeriksaan yang akan dilakukan adalah mengikuti ekspresi
wajah, pemeriksa berdiri 2 meter di depan pasien, lalu meminta pasien untuk mengikuti ekspresi
wajah pemeriksa. Pemeriksa kemudian mengamati apakah pasien mampu mengenali dan
melakukan sesuai dengan pemeriksa.
Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan menggunakan kartu bergambar atau kartu dengan
angka, di mana pasien diminta untuk menunjuk gambar/angka pada kartu berdasarkan
gambar/angka yang digambar oleh pemeriksa di kertas yang terpisah. Perhatikan jarak antara kartu
dengan pasien.
Selain itu, pemeriksaan juga dapat dilakukan menggunakan benda dengan berbagai ukuran.
Pemeriksa lalu menunjukkan suatu benda. Pasien kemudian diminta untuk mengelompokkan
19
benda dengan ukuran yang sama. Pada pemeriksaan ini, pasien hanya diberikan kesempatan untuk
1 kali mengambil benda yang sesuai. Perlu diperhatikan jarak yang dibutuhkan pasien untuk
mengenali benda dengan ukuran yang serupa.
20
BAB V
Rehabilitasi yang dibutuhkan oleh pasien dengan low vision bervariasi tergantung pada
visus, usia, status social dan kultural, dan diagnosis yang mendasari terjadinya low vision. Tujuan
dilakukannya rehabilitasi pada pasien dengan low vision adalah untuk menggunakan sisa
penglihatan yang dimiliki secara efektif dan efisien (Altinbay, Idil. 2019).
Pada pasien dengan low vision, terapi yang diterapkan berupa memberikan alat bantu
khusus setelah dilakukan assessment penglihatan untuk orang dengan low vision, pelatihan
kemampuan penglihatan, serta evaluasi. Selain itu, perlu dilakukan tatalaksana untuk menangani
penyakit yang mendasari, seperti gangguan refraksi, gangguan lapang pandang sentral atau perifer,
dan lain sebagainya. Selain itu, pengaturan cahaya dan kontras perlu diperhatikan karena
memengaruhi tajam penglihatan serta kenyamanan pasien. Untuk mendapatkan tajam penglihatan
yang maksimal, diperlukan strategi tertentu (American Opthometric Association, 2010):
21
Gambar 8. Proses Diagnosis dan Penentuan Tatalaksana pada Pasien dengan Low Vision
(American Opthometric Association, 2010)
Alat bantu penglihatan merupakan alat yang dapat digunakan untuk memperjelas
penglihatan pada pasien dengan low vision. Terdapat berbagai jenis alat bantu penglihatan,
tergantung pada fungsinya masing-masing. Secara umum, terdapat dua jenis alat bantu
penglihatan: alat bantu penglihatan jarak dekat dan alat bantu penglihatan jarak jauh. Alat bantu
penglihatan jarak dekat digunakan untuk aktivitas detail seperti membaca, menulis, menjahit. Alat
bantu penglihatan jarak jauh digunakan untuk kegiatan jarak jauh (yang jaraknya lebih dari satu
lengan), seperti membaca petunjuk jalan, melihat televisi, aktivitas di luar rumah (Gerritsen,
Duffy).
22
Tabel 3. Aktivitas Harian dan Alat Bantu Penglihatan yang Sesuai Dengan Aktivitas
(Gerritsen, Duffy)
Menggunakan alat bantu penglihatan untuk low vision pada awalnya akan terasa tidak
nyaman. Dibutuhkan latihan, kesabaran, serta dukungan dari orang-orang sekitar untuk
mempelajari cara penggunaan alat bantu penglihatan. Penggunaan alat bantu penglihatan
bergantung pada penerangan sehingga diperlukan penyesuaian penerangan pada lingkungan
sekitar pasien. Selain itu, menggunakan alat bantu penglihatan menyebabkan pasien harus
memegang benda dengan jarak lebih dekat daripada sebelumnya (Gerritsen, Duffy).
23
Tabel 4. Alat Bantu Penglihatan Jarak Dekat (Gerritsen, Duffy)
24
portable: membaca menu • Bila tidak diposisikan
restoran, label harga, dsb dekat dengan mata, lapang
pandang kecil
Magnifying Reading Glasses • Lapang pandang besar • Benda harus ditempatkan
• Mudah dibawa, portable dalam jarak dekat untuk
• Tidak perlu memegang bisa focus, yang dapat
• Mudah digunakan mengganggu penglihatan
bersamaan dengan • Benda harus dipegang
penggunaan computer, stabil agar focus sehingga
partiture music, atau sulit digunakan untuk
sambil melakukan jangka waktu lama
Disebut juga sebagai pekerjaan tangan
mikroskop • Dengan kekuatan rendah,
kedua mata dapat
digunakan bersamaan
Clip On Loupe • Tidak perlu memegang • berat, menyebabkan
magnifier kacamata sering turun
• Mudah digunakan • frame loupe dapat
• murah mengganggu lapang
pandang
• lapang pandang kecil
sehingga sulit untuk
membaca
Loupe terapasang pada
kacamata dan dapat dilepas
pakai sesuai kebutuhan
Kacamata Telemikroskopik • mempermudah pekerjaan • lapang pandang kecil
seperti membaca, • benda yang dilihat harus
mengerjakan pekerjaan, diletakkan pada jarak
bermain kartu dekat
25
• tidak mengganggu • gambar dapat terlihat
pekerjaan tangan gelap
• terasa berat di hidung dan
wajah
• mahal
Kacamata telemikroskop
digunakan untuk
mempermudah pekerjaan
pada jarak dekat
26
• Dapat digunakan untuk
melihat benda jarak dekat
dan jarak jauh lebih baik
• Dapat digunakan sebagai
binocular (untuk kedua
mata) atau monocular
Teleskop tertempel secara
(satu mata)
permanen pada kacamata.
• Tersedia dalam berbagai
Salah satu tipe yang tersedia
kekuatan lensa
berupa Bioptic Telescope:
Alat bantu non-optik yang dirancang untuk orang dengan low vision juga dapat membantu
mempermudah aktivitas orang dengan low vision. Beberapa perangkat non-optik yang populer
meliputi:
27
ketajaman visual, lapang pandang, otot ekstraokular, pupil, uji penglihatan binokular, tekanan
intraokular, segmen anterior, dan evaluasi segmen posterior dengan pemeriksaan fundus dengan
pupil yang dilebarkan. Pemeriksaan tambahan seperti pengujian lapang pandang formal, potensi
visual yang ditimbulkan, elektroretinografi, elektrookulografi, tomografi koherensi optik, atau
angiografi fluorescein mungkin diperlukan untuk membantu menentukan etiologi, memantau, dan
mengelola kondisi dengan tepat (Sterns, 2018).
Selain itu, perlu dievaluasi juga apakah pasien dapat menggunakan alat dengan baik,
apakah alat sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien, serta apakah terdapat peningkatan
kualitas hidup pasien. Penyesuaian alat dapat dilakukan apabila pasien kesulitan menggunakan alat
bantu yang diberikan (Sterns, 2018).
28
BAB VI
Kualitas Hidup pada Pasien dengan Low Vision
Tabel 6. LVQOL
Penilaian kualitas hidup penderita low vision dapat dinilai dengan kuesioner Low Vision
Quality of Life (LVQOL). Kuesioner ini dapat digunakan untuk menilai pengaruh low vision
terhadap aktivitas harian pasien, kegiatan harian pasien seperti membaca, aktivitas social pasien,
serta kondisi psikologis pasien. Hal ini penting karena gangguan penglihatan memengaruhi
29
penurunan kualitas hidup. Hal ini terkait dengan sifat kompleks antara fungsi penglihatan dengan
kesejahteraan emosional, hubungan sosial, keprihatinan, dan kenyamanan. Sejumlah penelitian
telah menunjukkan bahwa gangguan penglihatan terkait dengan penurunan kesehatan dan kualitas
hidup yang buruk. Sebuah studi terbaru menggunakan data Behavioral Risk Factor Surveillance
System (BRFSS) dari 22 negara bagian di antara individu berusia 40 hingga 64 tahun dengan
gangguan penglihatan mendapatkan bahwa persentase individu yang melaporkan ketidakpuasan
hidup, kesehatan yang buruk, hari-hari yang tidak sehat secara fisik dan mental, dan hari-hari
dengan aktivitas terbatas meningkat karena keparahan gangguan penglihatan meningkat. Studi
sebelumnya menemukan hasil yang serupa di antara orang berusia 65 dan lebih tua. Berdasarkan
berbagai instrumen pengukuran, QOL berkurang telah dikaitkan dengan keparahan penyakit pada
glaukoma, katarak, degenerasi makula terkait usia, dan strabismus. Satu penelitian menyimpulkan
bahwa gangguan penglihatan penting untuk perkiraan pasien terkait kualitas hidup terkait
penglihatan, terutama ketika penyakit mata yang mendasarinya mempengaruhi penglihatan tepi,
misalnya, dalam kasus glaucoma (National Academies of Science, Engineering, and Medicine.
2016).
Kehilangan penglihatan memengaruhi kemampuan pasien untuk bekerja atau merawat diri
mereka sendiri (atau orang lain), dan hal itu memengaruhi banyak kegiatan santai seperti
membaca, bersosialisasi, dan melakukan hobi. Gangguan penglihatan menyebabkan peningkatan
kesulitan untuk melakukan kegiatan perawatan-diri dan melakukan kehidupan sehari-hari seperti
makan, berpakaian, serta kegiatan sehari-hari seperti berbelanja, manajemen keuangan,
manajemen obat-obatan, dan mengemudi. Sebagian besar penelitian telah menemukan bahwa
kehilangan penglihatan lebih berdampak dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang
mengakibatkan ketergantungan dibandingkan dalam aktivitas dasar kehidupan sehari-hari (ADL).
Kegiatan instrumental dari kehidupan sehari-hari sangat penting bagi seseorang untuk berfungsi
dalam masyarakat modern. Secara khusus, kehilangan penglihatan dekat mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk melakukan berbagai tugas yang melibatkan membaca (misalnya,
mendapatkan informasi dari label obat atau mengikuti resep), mengenali wajah dan gambar
(misalnya, bersosialisasi, bermain kartu, menggunakan smartphone), atau memanipulasi benda
kecil (mis. menjahit, mengganti baterai) (National Academies of Science, Engineering, and
Medicine. 2016).
30
Gangguan penglihatan (didefinisikan sebagai ketajaman visual atau defisit lapang
pandang) secara signifikan terkait dengan kesulitan berjalan atau naik atau turun. Defisit lapang
pandang — tetapi bukan ketajaman visual atau defisit sensitivitas kontras — merupakan penyebab
penurunan kecepatan berjalan saat menunjukkan jalur rintangan. Sebuah studi dari Inggris
menemukan bahwa 46 persen orang tua yang dirawat karena patah tulang pinggul di dua distrik
rumah sakit memiliki gangguan penglihatan, di antaranya katarak yang tidak diobati (49 persen)
dan degenerasi makula (21 persen), serta gangguan refraksi yang tidak dikoreksi (17 persen).
Dalam Studi mengenai hasil rehabilitasi Low Vision, 16,3 persen peserta menyebutkan bahwa
salah satu masalah utama terkait penglihatan yang paling sering terjadi adalah masalah mobilitas
(National Academies of Science, Engineering, and Medicine. 2016).
Dibandingkan dengan orang dengan penglihatan normal, orang dengan low vision
memiliki kemungkinan lebih tinggi mengalami depresi, ansietas, dan masalah psikologis lainnya.
Tingkat kejadian depresi dan ansietas lebih tinggi pada pasien dengan low vision dibandingkan
dengan pasien dengan penyakit kronis seperti asma, bronchitis, gangguan jantung. Adanya depresi
menyebabkan limitasi fungsional yang lebih buruk (National Academies of Science, Engineering,
and Medicine. 2016). Sejumlah 55% dari 40 anak yang menderita low Vision mengalami depresi,
dan 60% di antaranya mengalami kesulitan dalam menjalani hidup sehari-hari (Ishtiaq, et al. 2016).
31
BAB VII
PENUTUP
Low Vision diawali dengan adanya penyakit mata atau sistemik yang mendasari. Low
vision dapat disebabkan oleh penyakit kongenital seperti retinitis pigmentosa, karena penyakit
mata yang didapat seperti glaucoma, katarak, dan gangguan refraksi, atau karena adanya penyakit
sistemik seperti retinopati diabetikum akibat penyakit diabetes., dengan penyebab terbanyak dari
low vision merupakan gangguan refraksi (42%). Oleh karena itu, low vision dapat mengenai
seluruh usia, namun terbanyak didapatkan pada usia 40-60 tahun.
Pada pasien dengan low vision, anamnesis dan pemeriksaan mata lengkap harus dilakukan.
Pemeriksaan mata yang dilakukan berupa pemeriksaan visus, pemeriksaan lapang pandang, tes
buta warna, tes sensitivitas kontras, retinoskopi, dan glare test. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
ini berguna untuk menentukan derajat keparahan dari low vision serta tatalaksana yang harus
dilakukan.
Low vision dapat memengaruhi kualitas hidup. Oleh karena itu, tatalaksana harus
dilakukan sedini mungkin. Tatalaksana utama dari low vision adalah memberikan alat bantu
penglihatan. Alat bantu penglihatan dapat berupa magnifier atau telescope, dengan berbagai
macam bentuk, disesuaikan dengan fungsi. Selain itu, dapat juga diberikan alat bantu nonoptik
seperti media cetak dengan huruf yang diperbesar. Akan tapi, penggunaan alat bantu penglihatan
optikal awalnya terasa tidak nyaman sehingga dibutuhkan latihan rutin.
32
DAFTAR PUSTAKA
Aghadoost D, Yeganeh Moghaddam A, Jamei B. 2006. Etiology of blindness and low vision in an
OPD- Ophthalmology Clinic Setting. Feyz. 2006; 9 (4) :27-30
Altinbay D., Idil S.A. 2019. Current Approaches to Low Vision (Re)Habilitation. Turk J.
Ophthalmol. 2019, 49(3): 154-163
American Ophtometric Association. 2010. Care of The Patient with Visual Impairment (Low
Vision Rehabilitation). Ophtometric clinical Practice Guideline, 2010, U. S. A.
Chan T., Friedman D.S., Bradley C., Massof R. 2018. Estimates of Incidence and Prevalence of
Visual Impairment, Low Vision, and Blindness in the United States. JAMA Ophthalmol. 2018,
136(1): 12-19. doi: 10.1001/jamaophthalmol.2017.4655.
Gerritsen B., Duffy M.A. What Are Low Vision Optical Devices? (diakses pada bulan Desember
2019), https://www.visionaware.org/info/everyday-living/helpful-products/overview-of-low-
vision-devices/low-vision-optical-devices/1245
Gilbert C.E., Ellwein L.B. Prevalence and causes of functional low vision in school-age children:
results from standardized population surveys in Asia, Africa, and Latin America. Invest
Ophthalmol Vis Sci. 2008, 49(3): 877-81. doi: 10.1167/iovs.07-0973
Ishtiaq R., Chaudhary M.H., Rana M.A., Jamil A.R. 2016. Psychosocial implications of blindness
and low vision in students of a school for children with blindness. Pak J Med Sci, 2016, 32(2):
431-434
Keefe J. Assessment of Functional Vision. World Health Organization: Programme for the
Prevention of Blindness and Low Vision Project International. Departement of Ophthalmology,
University of Melbourne, Australia.
Kingo A.U., Ndawi B.T. 2009. Prevalence and causes of low vision among schoolchildren in
Kibaha District, Tanzania. Tanzan J Health Res. 2009, 11(3): 111-5
33
Lee S.Y., Messfin F.B. 2019. Blindness. NCBI Bookshelf. 2019. PMID: 28846303
National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine; Health and Medicine Division;
Board on Population Health and Public Health Practice; Committee on Public Health Approaches
to Reduce Vision Impairment and Promote Eye Health; Welp A, Woodbury RB, McCoy MA, et
al., editors. Making Eye Health a Population Health Imperative: Vision for Tomorrow.
Washington (DC): National Academies Press (US); 2016 Sep 15. 3, The Impact of Vision Loss.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK402367/
Saw S., Husain R., Gazzard G.M., Koh D., Widjaja D., Tan D.H.T. 2003. Causes of low vision
and blindness in rural Indonesia. Br J Ophthalmol. 2003, 87(9).
Sahli, E., Idil A. 2019. A Common Approach to Low Vision: Examination and Rehabilitation of
the Patient with Low Vision. Turk J Ophthalmol. 2019, 49(2): 89-98
Seeley R.R., Stephens T.D., Tate P. 2006. Anatomy and Physiology. 6th ed. USA : McGraw Hill.
Sherwood L. 2001. Human Physiology From Cells to Systems. 5th ed. USA : Thomson
Learning Inc.
Thapa, Raba & Bajimaya, Sanyam & Paudyal, Govinda & Khanal, Shankar & Tan, Stevie &
Thapa, Saugat & Rens, Ger. 2018. Prevalence and causes of low vision and blindness in an elderly
population in Nepal: The Bhaktapur retina study. BMC Ophthalmology. 18. 10.1186/s12886-018-
0710-9.
Riordan-Eva P. 2018. Anatomy and Embryology of The Eye. Vaughan & Asbury's General
Ophthalmology 19th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2018.
Sterns G. 2018. Low Vision. Vaughan & Asbury's General Ophthalmology 19th ed. New York:
Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2018.
Van Dijk K., Kishiki E., Courtright P. Low Vision Care in Africa: Practical Approaches to Clinical
Services, Educational, Engagement, and Planning. Community Eye Health Journal. Diakses pada
bulan Desember 2019 dari cehjournal.org
34
Willmann D., Melanson S.W. 2019. Corneal Injury. StatPearls Publishing. 2019. PMID:
29083785
World Health Organization. 2012. Global Data on Visual Impairments 2010. (diakses pada bulan
Desember 2019); http://www.who.int/blindness/GLOBALDATAFINALforweb. pdf?ua=1 .
[Google Scholar]
35